Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah gangguan jiwa semakin meningkat, menurut studi tahun 2019 oleh WHO

(Organisasi Kesehatan Dunia), 264 juta orang menderita depresi, 45 juta menderita

gangguan bipolar, 50 juta menderita demensia, dan 20 juta menderita gangguan jiwa. Di

Indonesia, Kementerian Kesehatan melaporkan pada tahun 2020 terdapat 277.000 kasus

gangguan jiwa selama pandemi Covid-19 pada Juni 2020, jumlah kasus tersebut

meningkat dibandingkan tahun 2019 yang hanya mencapai 197 ribu kasus. 

Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara

fisik menta, spiritual, dan social sehingga individu tersebut menyadari kemampuan

sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu member

kontribusi bagi komunitasnya (UU No.18 tahun 2015). Keadaan seseorang dikatakan

sehat jiwa apabila mampu mengendalikan diri dalam mengahadapi stressor dilingkungan

sekitar dengan selalu berfikir positif dalam keselarasan tanpa adanya tekanan fisik dan

psikologis, baik secara internal maupun eksternal yang mengarah pada kestabilan

emosional (UU No. 18 tahun 2015).

Kondisi kesehatan jiwa di Indonesia menjadi masalah yang memprihatinkan dan

sangat serius. Hal ini ditunjukkan oleh hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesda,

2013), menyebutkan bahwa sebanyak 1,7 per mil masyarakat Indonesia mengalami

gangguan jiwa berat. Data dari Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesda, 2017) juga
menyebutkan angka kejadian gangguan jiwa mencapai 11,6% dan bervariasi setiap

provinsi dan /kabupaten/kota.

Gangguan jiwa adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya emosi,

proses berpikir, perilaku dan persepsi (penangkapan panca indra) (Sutejo, 2017).

Gangguan jiwa ini menimbulkan stress bagi penderita dan keluarganya. Gangguan jiwa

tersebut dapat menyerang setiap orang tanpa mengenal usia, ras, agama, maupun status

social-ekonomi (Sutejo, 2017).

Kekambuhan gangguan jiwa adalah suatu peristiwa dimana gejala gangguan jiwa

atau gangguan jiwa yang timbul dari gangguan jiwa kronis sebelumnya timbul kembali.

Diperkirakan 50% pasien gangguan jiwa kronis kambuh dalam tahun pertama dan 70%. di

tahun kedua. Kekambuhan biasanya terjadi ketika hal buruk terjadi pada orang dengan

masalah kesehatan mental, seperti diusir oleh keluarganya sendiri (Suripto, 2016).

Dukungan sosial adalah salah satu faktor terpenting dalam memprediksi kesehatan

fisik dan kesejahteraan semua orang dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Kurangnya

dukungan sosial menunjukkan beberapa kelemahan di antara individu. Dalam kebanyakan

kasus, dukungan sosial juga dapat memprediksi buruknya kesehatan fisik dan mental

seseorang (Clark, 2015). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Richmond (2012) dalam

jurnalnya mengemukakan bahwa dukungan sosial dapat menjadi faktor pelindung bagi

seseorang, mencegah mereka mengalami gangguan jiwa sebelum suatu masalah.

Menurut Ozbay (2017) dukungan sosial sangat diperlukan terutama untuk

kesehatan fisik dan psikologis. Secara keseluruhan, tampak bahwa dukungan sosial yang

positif dan berkualitas tinggi dapat meningkatkan ketahanan terhadap stres, membantu

melindungi terhadap kesehatan psikopatologis yang terkait dengan masalah yang dihadapi
seseorang. Berbeda dengan dukungan sosial yang rendah, dukungan sosial yang tinggi

muncul untuk penyangga atau melindungi seseorang terhadap dampak dari penyakit

mental dan fisik.

Dukungan sosial ternyata tidak hanya memberikan efek positif dalam

mempengaruhi kejadian dan efek stress. Menurut sarafino ( Azima 2016) kurangnya

dukungan social masyarakat akan memperburuk kondisi seseorang. Beberapa efek negatif

yang ditimbulkan bisa terjadi karena dukungan sosial tidak sesuai dengan apa yang

diharapkan pada pasien, sumber dukungan memberikan contoh buruk pada individu, dan

pasien menganggap dukungan tersebut tidak diperlukan sehingga individu merasa tidak

perlu dibantu atau terlalu khawatir secra emosional sehingga tidak memperhatikan

dukungan yang diberikan.

Kekambuhan menurut Ayuzo dan Dorlan (2019), adalah kembalinya gejala-gejala

gangguan jiwa pada pasien yang sudah lama dinyatakan bebas dari gejala gangguan.

Menurut kamus kedokteran kekambuhan merupakan munculnya kembali gejala-gejala

yang cukup parah dan mengganggu aktivitas sehari-hari sehingga membutuhkan

perawatan baik rawat inap maupun rawat jalan dengan jangka waktu yang cukup lama.

Pasien gangguan jiwa yang telah menjalani terapi atau yang sudah dipulangkan

memiliki kemungkinan untuk mengalami kekambuhan. Menurut Johnson dan Lundstrom

(2013) pasien yang sedang mengalami rawat jalan dan telah kembali ke dalam masyarakat

apabila dukungan dari masyarakat tidak ada, maka akan beresiko untuk mengalami

kekambuhan.
Kekambuhan bisa disebabkan karena kurangnya interaksi antara masyarakat

dengan penderita gangguan jiwa. Menurut penelitian Harry (2017), untuk orang-orang

dengan penyakit mental ditemukan sedikit anggota masyarakat yang mendukungngnya,

masyarakat memandang rendah pasien gangguan jiwa dan memilih tidak berteman dengan

mereka.

Menurut Canadian Institute For Health Information (CIHI, 2012) secara khusus ,

orang-orang yang mengalami gangguan jiwa cenderung melaporkan lebih sedikit teman-

teman,keluarga ataupun masyarakat yang mendukung , kurang kontak dengan teman-

teman,ataupun masyarakat sekitar tempat tinggal, dan kurangnya dukungan dari

masyarakat maupun kerabat mereka.

Akibat pemahaman masyarakat mengenai gangguan jiwa yang sangat minim,

menyebabkan penderita kerap kali mendapatkan perilaku yang tidak menyenangkan dari

masyarakat dan bahkan dari keluarga penderita sendiri. Perlakuan yang didapatkan oleh

penderita ganguan jiwa saperti diskriminasi, mereka terisolasi, bahkan dikucilkan, padahal

penderita gangguan jiwa berhak mendapatkan hak-hak mereka sebagai manusia dan dapat

mengembankan diri dan menasah potensi-potensi yang dimilikinya (Lubis, 2016).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti dapat merumuskan

permasalahan diatas yaitu: Apakah dukungan sosial masyarakat berhubungan dengan

kejadian relaps (kekambuhan) pada pasien gangguan jiwa?


1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum:

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

dukungan sosial masyarakat dengan kejadian relaps (kekambuhan) pada pasien

gangguan jiwa.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi dukungan sosial masyarakat pada pasien gangguan jiwa.

2. Mengidentifikasi angka kejadian relaps (kekambuhan) pada pasien gangguan

jiwa.

3. Mengetahui distribusi frekuensi hubungan dukungan sosial masyarakat dengan

kejadian relaps (kekambuhan) pada pasien gangguan jiwa.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bidang Peneliti

1. Dapat menambah wawasan dan pemahaman tentang pentingnya dukungan

sosial masyarakat dengan kejadian relaps (kekambuhan) pada pasien

gangguan jiwa.

2. Mampu memahami lebih jelas tentang keperawatan jiwa terutama tentang

dukungan sosial.

1.4.2 Bagi Institusi

1. Dapat digunakan sebagai sumber informasi dan khasanah wacana

kepustakaan.
2. Dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya khususnya

ilmu keperawatan jiwa.

1.4.3 Bagi Masyarakat.

1. Dengan adanya penelitian ini masyarakat dapat termotivasi untuk

meningkatkan kesehatan global khususnya mengenai penyakit gangguan jiwa.

2. Masyarakat dapat mengetahui pentingnya dukungan sosial pada penderita

gangguan jiwa.

3. Masyarakat dapat memberikan dukungan sosial pada pasien gangguan jiwa.

1.4.4 Bagi Peneliti

Manfaat penelitian bagi penulis adalah menambah wawasan penelitian

tentang riset keperawatan khususnya tentang hubungan dukungan sosial

masyarakat dengan kejadian kekambuhan pada gangguan jiwa (ODGJ).

1.4.5 Bagi Peneliti Selanjutnya

Menambah pengetahuan dan pengalaman serta dapat dijadikan landasan

agar hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan kajian lebih lanjut

dimsa yang akan datang, khususnya bagi yang ingin meneliti tentang hubungan

dukungan sosial masyarakat dengan kejadian kekambuhan pada gangguan jiwa

(ODGJ).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dukungan Sosial

2.1.1 Pengertian Dukungan Sosial

Menurut Sarafino (Rohimah, Meilianawati 2015), dukungan social

adalah tingkat dukungan yang diterima individu, terutama ketika dibutuhkan

oleh mereka yang memiliki hubungan emosional yang dekat dengan orang

tersebut. Dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, pengasuhan, harga

diri, atau segala bentuk dukungan yang diterima individu dari individu atau

kelompok lain. 

Menurut Sarafino (Rokhimah, dalam Meilianawati 2015) Dukungan

sosial pada umumnya menggambarkan mengenai peranan atau pengaruh

yang dapat ditimbulkan oleh orang lain yang berarti seperti keluarga, teman,

saudara, dan rekan kerja. Menurut Gonollen dan Bloney (dalam As'ar, 2008)

dukungan Sosial adalah tingkat dukungan yang diberikan kepada seseorang,

terutama ketika Saya membutuhkan orang-orang dengan hubungan

emosional yang erat dengan orang tersebut. 

Dukungan sosial melibatkan hubungan sosial yang berarti, sehingga

dapat menimbulkan pengaruh positif bagi si penerimanya. Menurut Ganster

dan Victor (dalam Rustiana, 2006; Rima & Raudatussalamah, 2012)


mencatat bahwa dukungan sosial dapat meningkatkan kesehatan dan

kesejahteraan psikologis. Sejumlah penelitian juga menemukan bahwa

dukungan sosial turut mempengaruhi kesehatan fisik (Rustiana, dalam Rima

& Raudatussalamah, 2012).

2.1.2 Bentuk Dukungan Sosial

Beberapa bentuk dukungan sosial menurut Cohen & Hoberman (dalam

Isnawati & Suhariadi, 2017 ) yaitu :

a. Appraisal Support

Yaitu adanya bantuan yang berupa nasehat yang berkaitan dengan

pemecahan suatu masalah untuk membantu mengurangi stress.

b. Tangiable support

Yaitu bantuan yang nyata yang berupa tindakan atau bantuan fisik dalam

menyelesaikan tugas.

c. Self esteem support

Dukungan yang diberikan oleh orang lain terhadap perasaan kompeten

atau harga diri individu atau perasaan seseorang sebagai bagian dari

sebuah kelompok diamana para anggotanya memiliki dukungan yang

berkaitan dengan self-esteem seseorang.

d. Belonging support

Menunjukkan perasaan diterima menjadi bagian dari suatu kelompok dan

rasa kebersamaan.
Sedangkan menurut Cutrona & Gardner (2004) dan Uchino (2004) (dalam

Sarafino, 2019 ) dijelaskan secara rinci terdapat empat bentuk dukungan

sosial, yaitu:

a. Emotional Support

Mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap

orang yang bersangkutan sehingga individu merasa nyaman, aman, juga

merasa dicintai saat individu sedang mengalami tekanan atau dalam

keadaan stress.

b. Esteem Support

Dukungan ini ada ketika seseorang memberikan penghargaan

positif kepada orang yang sedang mengalami stress, dorongan atau

persetujuan terhadap ide ataupun perasaan individu, ataupun melakukan

perbandingan positif antara individu dengan orang lain. Dukungan ini

dapat menyebabkan individu yang menerima dukungan membangun rasa

menghargai dirinya, percaya diri, dan merasa bernilai. Dukungan jenis ini

sangat berguna ketika individu mengalami stress karena tuntutan tugas

yang lebih besar daripada kemampuan yang dimilikinya.

c. Tangiable or Instrumental Support

Dukungan yang berupa bantuan secara langsung dan nyata seperti

berupa materi atau jasa.Misalnya memberi atau meminjamkan uang atau

membantu meringankan tugas orang yang sedang mengalami stress.

Dengan adanya bantuan yang mengacu pada ketersediaan peralatan,


materi atau jasa dapat membantu mengatasi permasalahan –

permasalahan yang bersifat prakits.

d. Informational Support

Mencakup memberi nasehat. Petunjuk, saran ataupun umpan balik,

sehingga dapat mengarahkan bagaimana individu memecahkan masalah

yang dihadapi.

2.1.3 Faktor-faktor yang menghambat pemberian Dukungan Sosial

Faktor-faktor yang menghambat pemberian dukungan sosial adalah sebagai

berikut (Apollo & Cahyadi, 2018) :

a. Penarikan diri dari orang lain, disebabkan karena harga diri yang rendah,

ketakutan untuk dikritik, pengaharapan bahwa orang lain tidak akan

menolong, seperti menghindar, mengutuk diri, diam, menjauh, tidak mau

meminta bantuan.

b. Melawan orang lain, seperti sikap curiga, tidak sensitif, tidak timbal

balik, dan agresif.

c. Tindakan sosial yang tidak pantas, seperti membicarakan dirinya secara

terus menerus, menganggu orang lain, berpakaian tidak pantas, dan tidak

pernah merasa puas.

2.2 Konsep Kekambuhan Gangguan Jiwa

2.2.1 Defenisi Kekambuhan

Kekambuhan menurut Ayuzo dan Dorlan (2016), adalah kembalinya

gejala-gejala gangguan jiwa pada pasien yang sudah lama dinyatakan bebas
dari gejala gangguan. Menurut kamus kedokteran kekambuhan merupakan

munculnya kembali gejala-gejala yang cukup parah dan mengganggu aktivitas

sehari-hari sehingga membutuhkan perawatan baik rawat inap maupun rawat

jalan dengan jangka waktu yang cukup lama.

Menurut Kaliat (2015), pasien yang tidak minum obat secara teratur

memiliki kecenderungan untuk kambuh lebih tinggi. Peran pengasuh sangat

penting dalam melakukan pengawasan kepada pasien apabila mulai

menunjukkan gejala kekambuhan, sehingga dapat melakukan tindakan

sesegera mungkin.

2.2.2 Dimensi kekambuhan

Kekambuhan dapat dicirikan dengan munculnya kembali karakteristik

gngguan jiwa menurut PPDGJ-III maupun DSM-V. Menurut salah satu tokoh

yakni Kaliat, memaparkan beberapa tanda kekambuhan pada pasien gangguan

jiwa, yakni:

a. Secara fisik meliputi, munculnya kembali gangguan makan (makan

berlebihan atau makan kurang), munculnya kembali gangguan tidur,

penampilan kembali tidak teratur atau tidak rapi, kemampuan merawat

diri kembali menurun (bau badan, kuku kotor, rambut kusut, dan kulit

kotor)

b. Secara emosi meliputi, pasien kembali meracau tidak jelas dan

bertingkah seperti anak kecil, munculnya kembali kecemasan, rasa takut

yang berlebihan, mulai kembali gelisah, mood swing, munculnya

kembali sikap agresif (menyerang), berbicara sendiri, melamun, mulai


tidak aktif bergerak dan pasif, komunikasi kembali tidak lancar, merasa

tidak peracaya diri dan curiga terhadap lingkungan.

c. Secara sosial meliputi, menarik diri dari lingkungan dan orang sekitar,

kegiatan mulai berkurang, kembali berperilaku tidak sesuai norma.

2.2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Kekambuhan

Menurut Kaliat, kekambuhan muncul karena beberapa faktor diantaranya

yakni:

a. Klien

Gangguan jiwa mengharuskan pederitanya untuk selalu minum obat.

Jika jadwal minum obat mulai tidak teratur sudah sangat mungkin akan

menyebabkan kekambuhan pada penderita. Misalnya pada gangguan jiwa

tipe skizofrenia, penderita harus selalu minum obat, namun penderita

skizofrenia sangat sulit untuk minum obat secara teratur karena adanya

gangguan sulit mengambil keputusan.

b. Penanggung jawab

Penderita gangguan jiwa banyak yang mendapatkan perawatan di

rumah sakit. Dan ketika gejala kesembuhan mulai meningkat pihak rumah

sakit biasanya akan memperbolehkan penderita untuk pulang. Namun ,

perawat tetap bertangguh jawab tentang program adaptasi di rumah.

Sehingga penanggung jawab memiliki kekuasan untuk sering bertemu

penderita dan dapat segera memeberikan tindakan apabila terlihat

munculnya kembali gejala gangguan.


c. Keluarga

Dukungan emosional keluarga sangat penting untuk mengontrol

kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat.

d. Lingkungan masyarakat

Lingkungan sosial juga memiliki andil dalam munculnya

kekambuhan pada pasien. Karena kurangnya dukungan dan cenderung

mengucilkan sebab dianggap aneh atau berbahaya.

2.2.4 Tahap Munculnya Kekambuhan

Salah satu tokoh yakni Sudeen memaparkan beberapa tahap muncunya

kekambuhan, yakni:

a. Overextention

Pada tahap ini, penderita akan menunjukkan ketegangan dan merasa

perasaannya terbebani. Gejala cemas semakin intensif.

b. Restricted Conciousnes

Kesadaran mulai terbatas dan perkembangan kecemasan berubah menjadi

depresi.

c. Disinhibition

Mulai timbul gangguan mood swing (perubahan perasaan secara

tibatiba). Dan timbul waham kebesaran, kepercayaan diri berlebihan dan

euphoria berlebihan.

d. Psychotic Disorganization

Pada tahap ini penderita mulai kehilangan identitas, ingatan tentang

lingkungan atau keluarga mulai hilang, penderita mulai kehilangan


kemampuan untuk membedakan realita, dan yang terakhir sering terjadi

di rumah sakit, penderita diberi obat sekaligus perawatan dan masih

mengalami psikosis tetapi gejala berhenti atau diam.

2.3 Hubungan Dukungan Sosial Masyarakat dengan Kejadian Kekambuhan pada Pasien

Gangguan Jiwa.
BAB III

KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Teori

Anda mungkin juga menyukai