Anda di halaman 1dari 7

Di masa awal Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres No.

28 Tahun 1967 tentang


Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaannya, tim tidak bisa melakukan
pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa dikatakan hampir tidak berfungsi.
Peraturan ini malahan memicu berbagai bentuk protes dan demonstrasi mulai tahun 1969 dan
puncaknya di tahun 1970 yang kemudian ditandai dengan dibentuknya Komisi IV yang bertugas
menganalisa permasalahan dalam birokrasi dan mengeluarkan rekomendasi untuk
mengatasinya.

Orde baru bisa dibilang paling banyak mengeluarkan peraturan karena masa Orde Baru yang
cukup panjang. Namun sayangnya tidak banyak peraturan yang dibuat itu berlaku efektif dan
membuat korupsi sedikit berkurang dari bumi Indonesia. Menyambung pidatonya di Hari
Kemerdekaan RI 17 Agustus 1970, pemerintahan Soeharto mengeluarkan UU No.3 tahun 1971
tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi. Aturan ini menerapkan pidana penjara
maksimum seumur hidup serta denda maksimum Rp 30 juta bagi semua delik yang
dikategorikan korupsi.

Pada Pidato Kenegaraan tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak
mampu memberantas korupsi. Pidato tersebut memberi isyarat bertekad untuk membasmi korupsi
sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa
Agung.

Berikut ini beberapa peraturan yang terbit di masa Orde Baru berkaitan dengan
pemberantasan korupsi :

 GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan Bersih dalam
Pengelolaan Negara;
 GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan Langkah-Langkah dalam rangka Penertiban
Aparatur Negara dari Masalah Korupsi, Penyalahgunaan Wewenang, Kebocoran dan
Pemborosan Kekayaan dan Kuangan Negara, Pungutan-Pungutan Liar serta Berbagai
Bentuk Penyelewengan Lainnya yang Menghambat Pelaksanaan Pembangunan;
 Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi;
 Keppres No. 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat dan PNS;
 Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban;
 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.

REFORMASI : PERJUANGAN PEMBERANTASAN KORUPSI MASIH


BERLANGSUNG
Berganti rezim, berganti pula harapan rakyat Indonesia untuk bisa mengenyahkan
koruptor dari Indonesia. Orde Baru kandas, muncul pemerintahan baru yang lahir
dari gerakan reformasi pada tahun 1998. Di masa pemerintahan Abdurrahman
Wahid Muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang
Bersih dan Bebas KKN. Pemerintahan Gus Dur kemudian membentuk badan-badan
negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan
Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi
Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.

Pada masa itu, ada beberapa catatan langkah radikal yang dilakukan oleh
pemerintahan Gus Dur. Salah satunya, mengangkat Baharudin Lopa sebagai Menteri
Kehakiman yang kemudian menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI sempat
melakukan langkah-langkah kongkret penegakan hukum korupsi. Banyak koruptor
kelas kakap yang diperiksa dan dijadikan tersangka pada saat itu.

Di era Presiden SBY, visi pemberantasan korupsi tercermin dari langkah awal yang
dilakukannya dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 dan kemudian
dilanjutkan dengan penyiapan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN) yang
disusun oleh Bappenas. RAN Pemberantasan Korupsi itu berlaku pada tahun 2004-2009.
Dengan menggunakan paradigma sistem hukum, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono
diuntungkan sistem hukum yang mapan, keberadaan KPK melalui Undang-undang Nomor
30 Tahun 2002, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang terpisah dari pengadilan
umum, dukungan internasional (structure), dan instrument hukum yang saling mendukung
antara hukum nasional dan hukum internasional.

Korupsi
Era Orde Lama
Di era Orde Lama, kebijakan anti korupsi diluncurkan di akhir 1950-an.  Melalui UU
Keadaan Bahaya, dibentuk Panitia Retooling (Paran) yang terdiri dari satu ketua dan dua
anggota. Keberadaan Paran segera hilang setelah dianggap bertentangan dengan
kewenangan pemberantasan korupsi ada di tangan Presiden. Paran kemudian dibubarkan
setelah melalui kekicruhan politik.

Pada tahun 1963, Presiden Soekarno menerbitkan Kepres No. 275 tahun 1963 sebagai
landasan pembentukan lembaga Operasi Budhi yang bertugas menjerat perusahaan dan
lembaga negara yang melakukan aksi korupsi. Awal kinerja Operasi Budhi dipandang
menjanjikan karena berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Rp 11 milyar. Operasi
Budhi dibubarkan ketika akan menjerat Direktur Pertamina dan diganti dengan lembaga
baru yakni Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar). Kontrar tidak
memiliki catatat signifikan dalam pemberantasan korupsi dan dibubarkan ketika
Soekarno tidak lagi menjadi presiden. 
Era Orde Baru
Pada tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto mengkritik kegagalan Soekarno (Orde Lama
atau Orla) dalam melakukan pemberantasan korupsi. Hal ini disampaikan oleh Soeharto
pada saat pidato kenegaraan, seiring dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK)
yang diketuai oleh Jaksa Agung. TPK dipandang gagal memiliki kemampuan dan kemauan
dalam memberantas korupsi ketika kasus korupsi di Pertamina yang diajukan oleh TPK
tidak ditanggapi oleh berbagai institusi penegak hukum lainnya. Melemahnya TPK
mendorong pembentukan Operasi Tertib (Opstib) pemberantasan korupsi. Opstib ini
menjadi tidak berfungsi karena terjadi perselisihan internal.

Era Reformasi
Pada era reformasi, spirit reformasi dituangkan ke dalam TAP MPR XI/1998 tentang
penyelenggaraan negara yang bersih bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal ini
diperkuat dengan TAP MPR VIII/2001 tentang arah kebijakan pemberantasan dan
pencegahan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Di era Presiden BJ Habibie, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara


yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme bersamaan pembentukan
lembaga anti korupsi Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan Ombudsman. Namun secara umum lembaga-
lembaga ini belum menunjukan kemampuan pemberantasan korupsi di Indoenesia,
dengan pandangan bahwa lembaga ini masih baru dibentuk sehingga masih berkutat
dengan permasalahan adminsitrasi dan tata tertib kelembagaan.

Berikut tiga tokoh Indonesia yang dikenal sangat antikorupsi.

1. Mohammad Hatta

Nama Mohammad Hatta sudah tak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Ia adalah salah satu
pahlawan proklamasi bersama Sukarno. Selain berjasa besar bagi kemerdekaan Indonesia,
Bung Hatta, sapaan akrabnya, juga memiliki rekam jejak sebagai seorang sosok yang
sangat anti terhadap korupsi.

Salah satu kisahnya ada pada 1970, ketika Bung Hatta dan rombongan mengunjungi
Tanah Merah, Irian Jaya, tempat ia sempat dibuang oleh kolonial Belanda. Di Irian Jaya,
Bung Hatta disodori amplop berisi uang. Uang tersebut sebenarnya bagian dari biaya
perjalanan Bung Hatta yang ditanggung pemerintah.
Namun, Bung Hatta menolaknya. "Uang apa lagi...? Bukankah semua ongkos perjalanan
saya sudah ditanggung pemerintah? Dapat mengunjungi daerah Irian ini saja saya sudah
bersyukur. Saya benar-benar tidak mengerti uang apa lagi ini?" kata Bung Hatta.

Bung Hatta juga mengatakan bahwa uang pemerintah pun sebenarnya adalah uang rakyat.
"Tidak, itu uang rakyat, saya tidak mau terima.. Kembalikan," tegas Bung Hatta seperti
dikutip dari buku berjudul Mengenang Bung Hatta (2002).

Ketegasan Bung Hatta perihal korupsi juga tecermin pada hal yang sederhana. Pada suatu
ketika, Hatta menegur sekretarisnya karena menggunakan tiga lembar kertas kantor
Sekretariat Wakil Presiden untuk mengirim surat pribadi. Menurut Hatta, kertas itu adalah
aset negara yang merupakan uang rakyat. Hatta pun mengganti kertas tersebut dengan
uang pribadinya. (Andri Setiawan)

2 dari 3 halaman

2. Hoegeng

 
Perbesar

Usai pensiun, Kapolri Hoegeng tak memiliki rumah mewah ataupun kendaraan mewah. Ia hidup sederhana dengan kejujuran
hingga akhir hayatnya. (Istimewa)

Gus Dur pernah berkata, "Hanya ada tiga polisi yang tidak bisa disuap, yakni patung polisi,
polisi tidur, dan Hoegeng." Kalimat tersebut diutarakan Gus Dur lantaran Hoegeng memang
merupakan ikon polisi jujur dan antisuap. Sepak terjangnya sebagai seorang polisi yang
amanah memang patut ditiru.

Ketika menjabat sebagai Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet, Hoegeng seharusnya


mendapat mobil dinas dan mobil keluarga. Ia menolak satu mobil, yaitu mobil keluarga.
"Hoegeng mau simpan di mana lagi, Mas Dharto? Hoegeng tak punya garasi lagi," katanya
kepada sekretarisnya dalam Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan (2014).

Namun karena sudah ketentuan, mobil tersebut akhirnya diterima. Akan tetapi, mobil
tersebut disimpan di rumah sekretarisnya dan hanya akan dipakai ketika perlu saja.

Selain itu, Hoegeng juga pernah menerima hadiah mobil dari perusahaan Dasaad Musin
Concern yang memegang lisensi beberapa mobil merek Eropa dan Jepang. Namun, oleh
Hoegeng surat pemberitahuan hadiah tersebut tak ditanggapi dan malah diberikan kepada
seorang teman.

Selain mobil, Hoegeng juga pernah menolak hadiah dua motor. Oleh Hoegeng, kedua
motor tersebut langsung dikembalilan pada hari kedatangan. Ia memang tak pernah mau
menerima hadiah-hadiah yang tidak jelas juntrungannya.

Ketika menjadi Kapolri, pemilik rumah yang disewa Hoegeng tidak mau dibayar. Ia akhirnya
harus membayarnya lewat wesel. Hoegeng memang sangat menghindari politik balas budi
meski dalam bentuk yang paling sederhana.

Hoegeng berpesan mengenai cara memberantas korupsi yang menurutnya efektif.

"Kalau mau menghilangkan korupsi di negara ini, sebenarnya gampang. Ibaratnya, kalau
kita harus dimulai dari atas ke bawah. Membersihkan korupsi juga demikian. Harus dimulai
dengan cara membersihkan korupsi di tingkat atas atau pejabatnya lebih dulu, lalu ke turun
badan atau level pejabat eselonnya dan akhirnya ke kaki hingga telapak atau ke pengawal
bawah," kata Hoegeng kepada anaknya Didit Hoegeng.

4. Mohammad Hatta
Proklamator dan Wakil Presiden pertama Indonesia, Bung Hatta, juga layak dijadikan
teladan dengan semangat antikorupsi tinggi. Hatta disebut memiliki kepribadian yang
sangat sederhana, jujur, dan bijaksana.
Ia pernah disodorkan uang yang merupakan sisa dana nonbujeter guna keperluan
operasionalnya selama menjabat sebagai wapres. Namun, Hatta menolak hal tersebut
dan lebih memilih mengembalikannya kepada negara. Hatta menyadari bahwa dana
itu bukanlah hak dirinya sehinga ia tidak menerimanya.

3. Mar’ie Muhammad
Mar’ie adalah mantan Menteri Keuangan pada masa Kabinet Pembangunan IV. Ia
diangkat sebagai menteri pada 17 Maret 1993 oleh Presiden Soeharto. Pria asal
Surabaya yang lahir pada 3 April 1939 ini dijuluki Mr. Clean lantaran mampu
mempertahankan prinsipnya yang antikorupsi.
Melansir laman resmi Kementerian Keuangan, Mar’ie menolak adanya dana taktis
dan anggaran perjalanan dinas yang dinilainya terlalu besar. Ada beberapa kebijakan
yang dilakukan Mar’ie selama menjabat dan dipandang sangat menyehatkan sektor
perbankan.
Contohnya adalah meningkatkan kolektibilitas kredit yang disalurkan dan setiap
kredit yang diberikan wajib diawasi betul penggunaannya (tanpa mencampuri urusan
internal si pemegang kredit). Ia juga menekankan bahwa pemberian kredit wajib
diterapkan sesuai kaidah perbankan yang sesuai dan sehat.
1. Hoegeng Imam Santoso
Hoegeng sudah dikenal masyarakat Indonesia sebagai seorang polisi jujur. Pria yang
pernah menjadi Kepala Kepolisian Indonesia pada 1968 sampai 1971 ini tidak
mempan disogok dan sangat menjunjung tinggi kejujuran.
Hoegeng sering sekali menerima banyak godaan suap saat menangani berbagai kasus.
Salah satunya, ia pernah dirayu pengusaha cantik keturunan Makassar-Tionghoa yang
terlibat dalam perkara penyelundupan.
Alih-alih mengajak berdamai, pengusaha tersebut justru memberikan Hoegeng
berbagai barang dan hadiah mewah. Sudah dapat dipastikan, Hoegeng menolak
mentah-mentah pemberian itu dan tetap memproses kasus tersebut. Di sisi lain, sikap
antisuap dan antikorupsinya itulah yang membuat Hoegeng memiliki karier cemerlang
di Indonesia, hingga dipercaya Soeharto sebagai Kapolri.
2. Baharuddin Lopa
Indonesia mempunyai ikon antikorupsi bernama Baharuddin Lopa. Melansir laman
Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan RI, Baharuddin adalah seorang Jaksa
Agung yang tidak pernah pandang bulu dalam menegakkan hukum di Indonesia. Ia
menjabat sebagai Jaksa Agung Indonesia pada 6 Juni 2001 sampai ia mengembuskan
napas terakhir di tanggal 3 Juli 2001.
Semasa hidupnya, Baharuddin Lopa dikenal tidak sedikit pun mempunyai rasa takut
akan kasus-kasus yang ditanganinya dalam memberantas korupsi. Meskipun tak lama
menjabat sebagai Jaksa Agung, namun Lopa berhasil mendorong Kejaksaan Agung
untuk segera menuntaskan perkara korupsi dan mencatat pengusaha-pengusaha berat
yang terlibat dalam KKN.

Anda mungkin juga menyukai