Anda di halaman 1dari 20

Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang
Subarachnoid hemorrhage (SAH) atau perdarahan subaraknoid (PSA) menyiratkan adanya
darah didalam ruang subarachnoid akibat beberapa proses patologis. Penggunaan istilah medis umum
SAH merujuk kepada tipe perdarahan non-traumatik, biasanya berasal dari ruptur aneurisma Berry
(75%) atau arteriovenous malformation (AVM)/malformasi arteriovenosa (MAV) sebesar 10%.1
Aneurisma terjadi apabila terdapat gangguan pada lamina elastis interna atau dinding arterial
yang bisa menyebabkan ruptur. Kebanyakan pasien yang mengalami ruptur berusia di antara 35
hingga 65 tahun. Aneurisma sering terjadi pada bifurcatio arteri serebri atau cabangnya. 85%
aneurisma terletak pada sirkulasi anterior dan 15% aneurisma terletak pada sirkulasi posterior.
Aneurisma multipel di identifikasi pada 15 hingga 20% pasien. Arteri serebri terletak di dalam ruang
subarachnoid maka apabila terjadi ruptur dapat menyebabkan PSA2,3.
Ruptur aneurisma intrakranial dapat menyebabkan kematian pada sebagian pasien dan
sebagian pasien yang masih hidup akan mengalami defisit neurologik yang disebabkan oleh
komplikasi seperti perdarahan ulang, vasospasme atau hidrosefalus. Penatalaksanaan Perdarahan
Subarachnoid memerlukan teknik intervensi bedah saraf dan perawatan Intensive Care Unit (ICU)
yang baik.
Insiden bagi perdarahan subarachnoid lebih tinggi pada pria daripada wanita bagi usia
di bawah 40 tahun tetapi pada usia lebih dari 40 tahun perbandingan wanita : pria adalah 3:2. Di
Amerika Serikat, dilaporkan terdapat 6 hingga 28 kasus per 100.000 orang per tahun. Perdarahan
subaraknoid sering terjadi pada usia lebih daripada 50 tahun dan insiden tertinggi terjadi pada usia 50
hingga 60 tahun. Penyebab kongenital bisa memicu perdarahan subaraknoid misalnya pada kejadian
aneurisma multipel. Insiden dapat meningkat bagi pasien dengan penyakit sistemik herediter. 1

B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini ialah untuk memberikan pengetahuan mengenai gambaran klinis dan
penatalaksanaan mutahkir untuk perdarahan subaraknoid.

1
Bab II

Tinjauan Pustaka

A. Anatomi

Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah duramater dan
lapisan dalamnya, dibagi menjadi arachnoidea dan piamater.

 Duramater

Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat dengan suatu lapisan
dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua lapisan dural yang melapisi otak umumnya
bersatu, kecuali di tempat di tempat dimana keduanya berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus
venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di antara lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana
lapisan dalam membentuk sekat di antara bagian-bagian otak. 4

 Arachnoidea

Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya terpisah
dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi spatium subarachnoideum
yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis dan dihubungkan ke piamater oleh
trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu anyaman padat yang menjadi system rongga-
rongga yang saling berhubungan.

Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang secara relative
sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun rongga tersebut menjadi jauh
bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak. Pelebaran rongga ini disebut cisterna arachnoidea,
seringkali diberi nama menurut struktur otak yang berdekatan. Cisterna ini berhubungan secara bebas
dengan cisterna yang berbatasan dengan rongga sub arachnoid umum.

 Piamater

Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi permukaan otak
dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan sekitar pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga
membentang ke dalam fissure transversalis di abwah corpus callosum. Di tempat ini pia membentuk
tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-
pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan
ependim berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu. 4

2
Walaupun berat otak adalah 2% daripada jumlah total berat badan namun otak menerima 15
hingga 20% darah yang dipompa oleh jantung. Darah tiba di otak melalui a. carotis interna dan
a.vertebralis. a. vertebralis bergabung membentuk a. basilaris yang berada pada ventral batang otak. a.
basilaris dan a. carotis interna membentuk Sirkulus Willisi. Cabang-cabang dari Sirkulus Willisi dan
dari a. basilaris mensuplai darah ke otak.

Kortex Serebri pada otak kiri dan kanan disuplai dengan darah oleh tiga cabang arteri dari
Sirkulus Willisi yaitu; a. serebri anterior, a. serebri media dan a. serebri posterior. Arteri a. serebri
media mensuplai darah pada permukaan lateral otak. a. serebri anterior mensuplai darah pada bagian
medial lobus parietalis dan frontalis. a. serebri posterior mensuplai darah pada lobus occipital dan
permukaan medial lobus temporal. Arteri serebri dan cabangnya terletak dalam ruang subarachnoid.
Cabang arteri meninggalkan ruang subarachnoid dan memasuki piamater. Cabang pre kapiler
meninggalkan piamater dan memasuki otak. Arteri di dalam otak membentuk kapiler. 5

B. Pengertian

Perdarahan Subarachnoid adalah perdarahan ke dalam rongga diantara otak dan selaput otak

(rongga subarachnoid). Perdarahan subarachnoid merupakan penemuan yang sering pada trauma

kepala akibat dari robeknya pembuluh darah leptomeningeal pada vertex di mana terjadi pergerakan

otak yang besar sebagai dampak, atau pada sedikit kasus, akibat rupturnya pembuluh darah Serebral

Major.6

C. Dasar Diagnosis

a. Anamnesis1

(1) Nyeri kepala. Pasien mengalami onset mendadak nyeri kepala yang hebat. Nyeri kepala
prodromal (peringatan) dari kebocoran darah kecil (ditunjuk sebagai nyeri kepala sentinel) dilaporkan
pada 30-50% aneurisma PSA. Nyeri kepala sentinel dapat muncul beberapa jam sampai beberapa
bulan sebelum ruptur, dengan nilai tengah yang dilaporkan adalah 2 minggu sebelum diagnosa PSA.
Kebocoran kecil umumnya tidak memperlihatkan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
atau rangsang meningeal. Kebocoran kecil bukanlah gambaran MAV.

(2) Lebih dari 25% pasien mengalami kejang mendekati onset akut; lokasi pusat kejang tidak
ada hubungannya dengan lokasi aneurisma.

(3) Mual dan/atau muntah

3
(4) Gejala rangsang meningeal (misal kaku kuduk, low back pain, nyeri tungkai bilateral): ini
terlihat pada lebih dari 75% kasus PSA, namun kebanyakan membutuhkan waktu berjam-jam untuk
terbentuk.

(5) Fotofobia dan perubahan visus

(6) Hilangnya kesadaran; sekitar setengah pasien mengalami hal ini ketika onset perdarahan.

b. Pemeriksaan Fisik

Temuan pada pemeriksaan fisik bisa jadi normal, atau dokter mungkin menemukan beberapa
hal berikut: 1

o Kelainan neurologis global atau fokal pada lebih dari 25% pasien

o Sindroma kompresi nervus kranialis

 Kelumpuhan nervus okulomotorius (aneurisma arteri komunis posterior) dengan atau


tanpa midriasis ipsilateral.

 Kelumpuhan nervus abdusens

 Hilangnya penglihatan monokuler (aneurisma arteri oftalmika menekan nervus optikus


ipsilateral)

o Defisit motorik dari aneurisma arteri serebral media pada 15% pasien

o Tidak ada tanda-tanda lokal pada 40% pasien

o Kejang

o Tanda-tanda oftalmologis

 Perdarahan retina subhyaloid (perdarahan bulat kecil, mungkin terlihat miniskus, dekat
dengan pangkal nervus optikus), perdarahan retina lainnya.

 Edema papil

o Tanda – tanda vital

 Sekitar setengah pasien memiliki peningkatan tekanan darah (TD) ringan sampai sedang.

 TD menjadi labil seiring meningkatnya TIK.

4
 Demam tidak biasa pada awalnya namun umum setelah hari keempat dari gangguan darah
didalam ruang subarachnoid.

 Takikardi mungkin muncul selama beberapa hari setelah kejadian perdarahan.

o Tingkatan PSA berdasarkan skema berikut:

 Grade I – nyeri kepala ringan dengan atau tanpa rangsang meningeal

 Grade II – nyeri kepala hebat dan pemeriksaan non-fokal, dengan atau tanpa midriasis

 Grade III – perubahan ringan pada pemeriksaan neurologis, termasuk status mental

 Grade IV – pastinya penekanan tingkat kesadaran atau defisit fokal

 Grade V – posturisasi pasien atau koma

o Ada juga skala baru telah disusun dan diakui oleh World Federation of Neurosurgeont
(WFN) melibatkan Glasgow Coma Scale :
WFN Grade GCS Motor defisit
I 15 Tidak ada
II 14-13 Tidak ada
III 14-13 Ada
IV 12-7 Ada/tidak ada
V 6-3 Ada/tidak ada
Tabel 1. Skala tingkat keparahan perdarahan subarachnoid WFN¹

o Derajat SAH menurut Hunt and Hess

Derajat Manifestasi Klinis

1 Asimtomatik atau nyeri kepala dan kaku kuduk yang ringan

2 Nyeri kepala yang sedang sampai berat, kaku kuduk dan tidak ada defisit
neurologis kecuali pada saraf kranial

3 Bingung, penurunan kesadaran, defisit fokal ringan

4 Stupor, hemiparesis ringan sampai dengann berat, desereberasi, gangguan


fungsi vegetatif

5
5 Koma dalam, desereberasi, moribund appearance

D. Pemeriksaan Penunjang

1. Jumlah sel darah lengkap

2. Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT)

3. Pemeriksaan golongan darah

o Pemeriksaan golongan darah diindikasikan ketika PSA teridentifikasi atau diduga ada
perdarahan hebat.
o Transfusi intra operatif mungkin dibutuhkan
o Troponin I (cTnI): pengukuran cTnI adalah alat prediksi yang sangat hebat pada
kemunculan komplikasi pulmonal dan kardial, namun cTnI tidak membawa nilai
prognosis tambahan untuk hasil akhir klinis pada pasien dengan aneurisma PSA. 7
4. CT Scan

Computed tomography (CT) Scan adalah pilihan awal untuk mengevaluasi perdarahan. Pada
pasien yang mengeluh dengan mengatakan “nyeri kepala yang sangat hebat” dapat di suspek
perdarahan di dalam ruang Subarachnoid. Darah yang berada dalam ruang Subarachnoid pada fasa
akut mempunyai intensitas yang sama dengan cairan Serebrospinal maka MRI tidak disarankan.
Suspek dengan kasus perdarahan Subarachnoid seharusnya dievaluasi dengan CT scan tanpa zat
kontras. 8

CT scan bisa positif pada 90% kasus jika CT scan dilakukan dalam beberapa hari
selepas perdarahan. Pada CT scan, gambaran perdarahan Subarachnoid menunjukkan peningkatan
density (hiperdens) pada ruang cairan Serebrospinal. Aneurisma sering terjadi pada Sirkulus Willisi
maka pada CT scan, darah tampak pada Cisterna Basalis. Perdarahan yang hebat bisa menyebabkan
seluruh ruang Subarachnoid tampak opasifikasi. Jika hasil CT scan negatif tetapi terdapat
gejala perdarahan Subarachnoid yang jelas, pungsi lumbal harus dilakukan untuk memperkuatkan
diagnosis. 9
Perdarahan Subarachnoid non-traumatik harus dilakukan pemeriksaan angiografi
untuk mendeteksi aneurisma karena bisa terjadi perdarahan ulang. Melalui pemeriksaan angiografi
dapat dilakukan terapi intervensi neuroradiologi. Perdarahan dari ruptur aneurisma bisa meluas
sehingga ke parenkim otak dan lebih jauh ke dalam sistem ventrikular. Perdarahan Subarachnoid yang
hebat bisa mengganggu absorpsi Cairan Serebrospinal dan hidrosefalus bisa terjadi. 10

6
Gambar 1. CT scan kepala normal dan CT scan kepala dengan SDH
.

A B

Gambar 2. A. CT scan kepala di mana terdapat gambaran hiperdens dalam cisterna suprasellar (anak
panah besar) dan dalam fissura Sylvian (anak panah kecil) yang menunjukkan perdarahan
Subarachnoid. B. CT scan kepala di mana terdapat gambaran hiperdens dalam fissura Sylvian
(anak  panah) yang menunjukkan perdarahan Subarachnoid.

5. MRI

MRI dilakukan jika tidak ditemukan lesi pada angiografi. Sensitivitasnya dalam mendeteksi
darah dianggap sama atau lebih rendah dibanding CT scan. Biaya lebih tinggi, availabilitas lebih
rendah, dan waktu studi yang lebih lama menjadikannya kurang optimal untuk mendeteksi PSA. MRI
seringnya digunakan untuk mendeteksi kemungkinan MAV yang tidak terlihat pada angiografi.
MRI dapat kehilangan lesi simtomatik kecil yang belum ruptur. Magnetic resonance
angiography (MRA) kurang sensitif dibandingkan angiografi dalam mendeteksi lesi vaskular;
bagaimanapun banyak yang percaya angiografi CT dan/atau MRA akan memainkan peranan yang
lebih terpusat suatu hari nanti.
Multidetector computed tomography angiography (MD-CTA) pada pembuluh darah
intrakranial sekarang ini merupakan pemeriksaan rutin, digabungkan seutuhnya kedalam algoritma
7
pencitraan dan perawatan pada pasien dengan PSA akut di banyak pusat studi di Inggris dan Eropa.
*Pengurangan-digital angiografi serebral telah menjadi kriteria standar untuk mendeteksi aneurisma
serebral, namun angiografi CT lebih populer dan sering digunakan berdasar pada sifat non-invasifnya
dan; sensitifitas dan spesifitas dapat dibandingkan dengan angiografi serebral. 7
6. Angiografi serebral dilakukan ketika diagnosa PSA sudah dibuat.
 Studi ini menilai hal-hal berikut:
 Anatomi vaskular
 Tempat perdarahan terbaru
 Kehadiran aneurisma lainnya
Studi ini membantu merencanakan pilihan operasi. Temuan angiografi negatif pada 10-20%
pasien dengan PSA. Jika negatif, beberapa menganjurkan untuk angiografi ulangan beberapa minggu
kemudian.

7. Pemeriksaan Tambahan:
 EKG
Sekitar 20% kasus PSA memiliki iskemik miokard akibat peningkatan sirkulasi katekolamin.
Hasil khusus adalah ST non-spesifik dan perubahan gelombang-T, segmen QRS memanjang,
gelombang U, dan peningkatan interval QT. Perubahan EKG mencerminkan iskemik miokard atau
infark dan harus diobati dengan cara biasa. Dugaan PSA kontraindikasi untuk terapi trombolitik
dan antikoagulan.

 Lumbal Punksi
Punksi lumbal diindikasikan jika pasien memiliki kemungkinan PSA dan temuan CT-scan
negatif. Melakukan CT scan sebelum punksi lumbal untuk menyingkirkan efek massa intrakranial
penting atau perdarahan intrakranial yang nyata. Punksi lumbal bisa jadi negatif jika dilakukan
kurang dari 2 jam setelah perdarahan; punksi lumbal paling sensitif pada 12 jam setelah onset
gejala.
Sel darah merah pada cairan serebrospinal meningkat secara konsisten dalam 2 contoh tabung
pada PSA, dimana jumlah sel darah merah pada trauma punksi secara teknis menurun seiring
berjalannya waktu. Xanthochromia (supernatan cairan serebrospinal kuning-merah muda)
biasanya terlihat 12 jam setelah onset perdarahan; idealnya diukur secara spektrografis walaupun
banyak laboratorium bersandar pada inspeksi visual. Temuan punksi lumbal disangka positif pada
5-15% dari seluruh gambaran PSA yang tidak jelas pada CT-scan. Angka ini mungkin tidak lagi
valid dengan kehadiran generasi baru CT scan. Tabel retrospektif kecil akhir-akhir ini meninjau
ulang tentang pasien pada bagian emergensi yang mengalami generasi kelima CT-scan dan punksi
lumbal; menunjukkan tidak ada pasien dengan lumbal punksi positif dan CT scan negatif. 7
8
E. Epidemiologi

Ruptur aneurisma yang disertai perdarahan subaraknoid secara klinis signifikan paling sering
terjadi pada dekade ke lima dan sedikit lebih sering pada wanita. Apabila berdasarkan kisaran ukuran
aneurismanya, secara kasar angka perdarahan terjadi sekitar 1,3% per tahun meskipun probabilitas
ruptur meningkat seiring dengan ukuran lesi. 6 Malformasi arteio vena dua kali lebih sering terjadi
pada pria dibanding wanita dan lesi sering diketahui secara klinis pada usia antara 10 dan 30 tahun. 11

F. Etiologi

Penyebab tersering perdarahan subaraknoid yang secara klinis signifikan adalah ruptur
aneurisma sakular /berry aneurysm (75%). Aneurisma sakular (aneurisma kongenital) adalah sejenis
aneurisma intrakranium yang paling sering terjadi. Tipe-tipe aneurisma yang lebih jarang antara lain
adalah aneurisma aterosklerotik (fusiform; umumnya diateri basilaris), mikotik, traumatik, dan
disekans. Tiga tipe aneurisma yang terakhir, seperti aneurisma sakular, terutama terjadi di sirkulasi
anterior. Aneurisma-aneurisma ini biasanya menimbulkan infark serebrum dan bukan perdarahan
subaraknoid. Aneurisma yang diameternya lebih dari 10 mm memiliki risiko mengalami perdarahan
sekitar 50% per tahun. Ruptur dapat terjadi kapan saja, tetapi pada sekitar sepertiga kasus ruptur
disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan intrakranium, misalnya saat mengejan atau orgasme
seksual. Aneurisma sakular pecah atau tidak pecah, ditemukan pada sekitar 2% pemeriksaan pasca
mortem; angka yang sedikit lebih rendah dilaporkan dari klinik-klinik radiologi. sekitar 90%
aneurisma sakular terbentuk di sirkulasi anterior dan ditemukan terutama di dekat: percabangan arteri
utama; pada penelitian-penelitian autopsi, aneurisma multipel ditemukan pada 20-30% kasus.
Hubungan aneurisma dengan penyakit sistemik tertentu termasuk sindroma Ehlers-Danlos, sindroma
Marfan, koarktasio aorta, dan penyakit ginjal polikistik.

Sementara 10% kasus dikaitkan dengan malformasi arteriovena. Penyebab lainnya antara lain:
Ruptur aneurisma fusiform, ruptur aneurisma mikotik, kelainan darah (diskrasia darah, penggunaan
antikoagulan, dan gangguan pembekuan darah), perluasan hematom traumatik, masuknya perdarahan
intraserebrum hipertensif ke dalam sistem ventrikel, infeksi, neoplasma, dan trauma. Faktor
lingkungan yang dihubungkan dengan defek dinding pembuluh darah termasuk usia, hipertensi,
merokok dan arterosklerosis. 1,6

G. Patofisiologi

Patogenesis aneurisma sakular. Etiologi aneurisma sakular tidak diketahui. Meskipun


sebagian besar terjadi secara sporadis, faktor genetik mungkin penting dalam patogenesisnya. Terjadi

9
peningkatan risiko kejadian pada penderita penyakit herditer tertentu (misalnya penyakit ginjal
polikistik dominan autosomal, sindrom Ehlers-Danlos tipe vaskular [tipe 4], neurofibromatosis tipe 1,
dan sindrom Marfan) dan penderita displasia fibromuskular arteri ekstrakranium dan koarktasio aorta.
Merokok dan hipertensi (diperkirakan didapat pada 54%) diterima sebagai faktor predisposisi
timbulnya aneurisma sakular. Aneurisma terkadang disebut sebagai kelainan kongenital. Aneurisma
tidak terdapat pada saat lahir tetapi berkembang seiring degan waktu akibat efek tunika media
pembuluh darah. 6

H. Gejala Klinis

Malformasi arterio vena merupakan tipe malformasi vaskular yang paling sering terjadi dan
secara klinis signifikan. Bermanifestasi sebagai gangguan kejang, perdarahan intraserebrum, atau
perdarahan subarakhnoid. Tempat tersering adalah daerah yang diperdarahi oleh arteri serebri media,
terutama cabang – cabang posteriornya, meskipun malformasi artrio vena dapat terjadi di mana saja di
otak tengah, serebelum, atau medula spinalis. Malformasi arteio vena besar yang terjadi pada masa
neonatus dapat menyebabkan gagal jantung kongestif akibat efek pirau, terutama jika malformasi
melibatkan vena Galeni. 6

Aneurisma dapat terjadi akibat robekan kecil dan darah bocor ke bagian subarakhnoid, disebut
sentinel bleeds. Nyeri kepala tiba – tiba yang tidak dapat dijelaskan sebabnya pada lokasi di mana saja
harus dicurigai sebagai SAH dan harus diinvestigasi, karena perdarahan minimal dapat terjadi di
dekatnya.

Kebanyakan robekan aneurisma intrakranial tidak ada gejalanya. Saat terjadi robekan
aneurisma, tekanan intrakranial tiba–tiba meningkat. Hal ini mengakibatkan hilangnya kesadaran tiba
– tiba, terjadi pada setengah pasien yang terkena. Kebanyakan pasien awalnya mengeluh sakit kepala
sesaat setelah kembali sadar. Pada 10% kasus, perdarahan aneurisma dapat mengakibatkan terjadinya
hilang kesadaran selama beberapa hari. Pada 45% kasus, sakit kepala berat yang terjadi bersamaan
dengan aktivitas yang berlebihan. Sakit kepala terjadi akibat darah dibawah tekanan arteri dipaksa
masuk ke dalam ruang subaraknoid. Pasien sering mengeluhkan ini sebagai ”riwayat sakit kepala
paling parah seumur hidupnya”; namun, ciri – cirinya yang penting adalah onset yang cepat (disebut
thunderclap headache). Baru – baru ini, robekan tersebut dapat dikeluhkan pasien sebagai sakit
kepala dengan intensitas sedang atau hanya sebagai perubahan pada sakit kepala yang biasa terjadi
pada pasien. Sakit kepala ini umumnya merata, sering terjadi bersamaan kaku pada leher, dan muntah
sering terjadi. Antara 25- 50% pasien meninggal pada ruptur pertama, tetapi sebagian besar pasien
yang bertahan hidup akan membaik dan pulih kesadarannya dalam beberapa menit.

10
Meskipun sakit kepala tiba – tiba merupakan penanda dari robekan aneurisma, defisit fokal
neurologis dapat terjadi. Arteri komunikans anterior atau arteri cerebral media dapat robek pada
bagian otak yang berdekatan atau ruang subdural dan membentuk hematom yang cukup besar,
sehingga menghasilkan efek yang banyak. Defisit yang terjadi dapat berupa hemiparesis, afasia, dan
abulia. 12

Baru – baru ini, gejala prodromal menunjukkan letak lesi dari ruptur aneurisma. Lumpuhnya
saraf kranial ke 3, yang berkaitan dengan dilatasi pupil, kehilangan refleks cahaya ipsilateral, dan
nyeri fokal di atas atau belakang mata, dapat terjadi akibat melebarnya aneurisma ke arah
persimpangan dari arteri komunikans posterior dan arteri karotis interna. Lumpuhnya saraf kranial 6
dapat mengindikasikan adanya aneurisma pada sinus kavernosus, dan kurangnya lapang pandang
dapat terjadi dengan melebarnya aneurisma supraklinoid karotis atau arteri cereblar anterior. Nyeri
pada oksipital dan servikal posterior mungkin tanda dari aneurisma arteri cerebelar posterior inferior
atau arteri cerbelar inferior. Nyeri pada mata, belakang mata atau pinggir bawah dari kelopak mata
dapat terjadi pada pelebaran aneurisma MCA. Sakit kepala yang tiba – tiba merupakan variasi dari
migrain yang dapat menstimulasi SAH.

Manifestasi klinis awal dari SAH dapat di klasifikasikan dengan menggunakan Hunt-Hess atau
World Federation of Neurological Socities classification schemes. Untuk ruptur aneurisma, semakin
tinggi derajat klasifikasinya maka prognosis akan semakin buruk. Sebagai contoh, pada pasien dengan
klasifikasi Hunt-Hess grade 1 tidak biasanya mati jika aneurisma telah ditolong, namun rata – rata
kematian untuk grade 4 dan 5 dapat mencapai 80%. 12

I. Komplikasi SAH

Komplikasi neurologis pada perdarahan subaraknoid meliputi ruptur berulang, hidrosefalus,


vasospasme, hiponatremia (cerebral salt-wasting syndrome), bangkitan (seizure), dan perluasan
perdarahan ke intraparenkim.11

1. Ruptur berulang. Perdarahan ulang sering terjadi pada mereka yang selamat, dan kini belum
dapat diperkirakan pasien mana yang akan mengalami kekambuhan perdarahan. Insiden dari ruptur
kembali dari aneurisma yang tidak diobati pada bulan pertama diikuti dengan kasus SAH adalah 30%,
dengan puncaknya pada hari ke 7. Pada setiap episode perdarahan, prognosis semakin buruk.
Pengobatan yang cepat menyingkirkan resiko ini.6

2. Hidrosefalus. Hidrosefalus akut dapat menyebabkan stupor dan koma dan dapat dimitigasi
dengan menggunakan pompa ventrikular eksternal. Hidrosefalus subakut lebih sering terjadi dalam
beberapa hari atau minggu dan menyebabkan kantuk progresif atau gangguan mental yang
11
berkelanjutan. Cara membedakan hidrosefalus dengan vasospasme cerebelar yaitu dengan CT scan,
CT angiogram, Doppler ultrasound transkranial, atau angiografi x-ray. Hidrosefalus dapat hilang
dengan sendirinya atau membutuhkan pompa ventrikuler sementara. Hidrosefalus kronis dapat terjadi
beberapa minggu atau bulan setelah SAH dan bermanifestasi sebagai gangguan berjalan,
inkontinensia, atau gangguan pikiran. Gejala ringan yang dapat terjadi berupa apatis atau status
mental yang terganggu akibat ventrikulomegali. Gejala timbul secara tiba-tiba berupa tingkat
kesadaran yang somnolen, stupor dan koma disertai mata yang melirik ke atas. Setelah beberapa hari
terjadinya SAH, gejala awal yang muncul dapat berupa kelumpuhan dan refleks pegang bilateral. CT
scan dapat menunjukkan peningkatan ukuran ventrikuler sebesar 1 mm, yang menyebabkan
penurunan kesadaran. Sindrom ini biasanya ditemukan pada pasien lansia dengan compliance jaringan
otak yang tinggi. Dengan menggunakan kateter intraventrikuler diatas 5 cm diatas telinga, efektif
mengurangi ukuran ventrikuler dan memperbaiki status neurologi. Perdarahan diatas 10 hari
menyebabkan gangguan gait progresif, inkontinensia urin dan apatis. Tekanan intrakranial biasanya
tidak meingkat. Pungsi lumbal dengan volume tinggi dapat menurunkan besarnya ventrikel dan
mengurangi gejala, namun VP shunt berguna untuk perbaikan yang bertahan lama. 12,13

3. Vasospasme. Pada periode pasca-perdarahan subaraknoid dini, apapun etiologi


perdarahannya, terjadi peningkatan risiko cedera yang mengenai pembuluh-pembuluh lainnya,
contohnya pembuluh besar di sirkulus Willisi. Vasospasme ini dapat menyebabkan cedera iskemik
tambahan. Berbagai mediator diperkirakan berperan dalam proses reaktif ini; sebagian data
mengisyaratkan adanya efek vasokonstriktif endotelin-1 yang bekerja dari sisi adventisial, disertai
penurunan kadar vasodilator NO66. Pada fase penyembuhan perdarahan subaraknoid, terjadi fibrosis
dan pembentukan jaringan parut meningen, kadang – kadang menyebabkan obstruksi aliran CSF serta
interupsi terhadap jalur – jalur normal penyerapan CSF. 6

Penyempitan arteri dalam otak yang mengikuti SAH menyebabkan iskemia dan infark
simptomatik sekitar 30% pasien, merupakan penyebab utama dari kematian. Tanda dari iskemia
muncul pada hari ke 4 sampai ke 14 setelah perdarahan, paling sering pada hari ke 7. Biasanya
sembuh dalam waktu 7 hari setelah onset. Keparahan dan distribusi dari vasospasme menentukan
apakah infark akan terjadi.

Vasospasme yang melambat dianggap sebagai efek langsung akibat pembekuan darah dan hasil
pemecahan produk pada arteri dalam ruang subaraknoid. Umumnya, semakin banyak darah yang
mengelilingi arteri, semakin tinggi kemungkinan untuk terjadinya vasospasme simptomatik. Lumpuh
dari arteri utama menghasilkan gejala yang mengarah pada area vaskular yang terkena. Pada
kebanyakan kasus, lumpuh fokal digambarkan dengan adanya gangguan pada status mental pasien.

12
Vasospasme dapat dideteksi dengan menggunakan angiografi x-ray, namun prosedur invasif ini
mahal dan dapat beresiko stroke serta komplikasi lainnya. Ultrasound TCD(transcranial doppler)
didasarkan pada prinsip bahwa kecepatan aliran darah dalam arteri akan meningkat saat diameter
lumen menyempit. CT angiografi merupakan metode lain yang dapat mendeteksi vasospasme. 12

Edema serebral berat dapat berkontribusi untuk meningkatkan tekanan intrakranial sehingga
tekanan perfusi serebral berkurang. Pengobatan yang dapat diberikan berupa manitol, hiperventilasi,
dan hemikraniektomi; hipothermia sedang dapat juga berperan.

Tatalaksana vasospasme yaitu terapi tripel H. Pada praktik klinis, bedah dan flebotomi
diagnostik cenderung mengurangi hematokrit pada tingkat yang diinginkan (31%, dimana aliran
serebral optimal). Hipervolemi sulit dicapai pada pasien dengan fungsi jantung yang normal, biasanya
ada pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah.

Hipertensi dapat diinduksi dengan agen pressor IV, dengan tekanan darah sistolik maksimum
220 mmHg. Vasospasme yang tidak responsif terhadap terapi hipertensi, dapat diberikan angioplasti
transluminal perkutan pada arteri yang berhubungan. Waktu yang optimal untuk angioplasti belum
diketahui. Angioplasti dapat memperbaiki fungsi neurologis pada 60-80% pasien, dengan risiko
komplikasi <5%. Arteri dengan angioplasti biasanya tidak muncul spasme berulang. Nikardipin dapat
juga mengurangi vasospasme namun hanya berefek jangka pendek.

4. Hiponatremi. Hiponatremi dapat dijumpai dan dapat berkembang cepat pada awal minggu
ke 2 diikuti oleh SAH. Pada SAH terjadi pembuangan natrium lewat urin dan berkurangnya volume
cairan, sehingga terjadi hiponatremi (disebut juga ”cerebral salt-wasting syndrome”) dan hipovolemi.
Natriuretik peptida dilepaskan oleh jaringan otak yang rusak dan menyebabkan natriuresis secara
langsung. Jaringan otak yang rusak secara tidak langsung melalui aktivitas adrenergik yang meningkat
juga menyebabkan natriuresis. Aktivitas adrenergik yang meningkat menyebabkan peningkatan
tekanan darah, perfusi, dan pelepasan dopamin, sehingga meningkatkan natriuresis. Biasanya
keadaan ini berakhir pada minggu ke 1-2 dan dengan adanya SAH, tidak boleh diobati dengan
restriksi air karena dapat meningkatkan resiko stroke.

Tatalaksana untuk hiponatremi yaitu pemberian cairan yang banyak disertai garam. Pemberian
infus normal saline atau suplemen NaCl oral sebanyak 2-3 gram, 3-4 kali sehari. Jika tidak
mencukupi, maka infus 3% cairan salin sebanyak 10-50 ml/jam dan pemberian fludrocortisone.
Homeostasis garam yang normal biasanya dicapai dalam waktu 21 hari.12

5. Henti Jantung Neurogenik. Pasien dengan perdarahan subaraknoid akut dapat


menimbulkan perubahan EKG, yaitu gelombang T yang terbalik dan elevasi segmen ST. Sementara
troponin jantung dan kreantinin kinase serum meningkat ringan. Dan dapat menyebabkan fraksi ejeksi
13
menurun, gagal jantung kongestif, dan hipotensi. Disfungsi jantung neurogenik dapat terjadi pada
gagal jantung kongestif ketika menginduksi hipertensi untuk vasospasme. Pada EKG menunjukkan
pergerakan abnormal secara fokal atau umum. Dopamin / dobutamin dibutuhkan untuk perfusi
serebral. Disfungsi jantung neurogenik hampir tidak pernah terjadi akibat penyakit jantung koroner
atau iskemi miokardium. SAH dapat menginduksi pelepasan katekolamin, yang secara langsung
merusak miokardium dengan mekanisme pemisahan reseptor membrane intraseluler. Gejalanya
bersifat self limited, namun dapat menyebabkan hipotensi, yang menyebabkan iskemi otak akibat
vasospasme. Fungsi miokardium biasanya menjadi normal selama beberapa minggu. 12

J. Tatalaksana SAH

Semua pasien SAH sebaiknya dievaluasi dan dirawat sesuai dengan prosedur emergensi seperti
pengaturan jalan nafas dan fungsi kardiovaskuler. Setelah stabilisasi awal, pasien sebaiknya dirujuk
ke pusat yang memiliki keahlian di bidang neurovaskular dan akan lebih baik bila pusat tersebut
memiliki unit perawatan kritikal untuk kasus – kasus neurologi. Dalam keadaan kritis, tujuan utama
dari perawatan adalah untuk mencegah pendarahan berulang, mencegah dan manajemen keadaan
vasospasme, dan perawatan untuk komplikasi medis dan neurologis lainnya. Misalnya vasospasme
serebelar dan hidrosefalus akut.

Perjalanan awal dari pengobatan pasien dengan aneurisma terdiri dari dua tahap yang berbeda.
Fase pertama terdiri dari fase akut, 24-48 jam pertama setelah aneurisma pecah. Tahap kedua di mulai
pada hari ke 3, yang merupakan tahap yang berbeda dari fase pertama.

A. Manajemen awal dari akut aneurismal SAH

Tujuan awal dari manajemen SAH adalah untuk mengamankan aneurisma yang robek untuk
mencegah perdarahan berulang (manajemen bedah saraf), mencegah cedera otak sekunder
(manajemen neurologis), dan mencegah komplikasi medis pada pasien kritis (manajemen medis)

B. Manajemen medis dan neurologis

Pasien dengan SAH akut yang kritis membutuhkan perawatan intensif dari staf yang
berpengalaman. Tujuan terapi awal adalah untuk mengantisipasi, mencegah, dan mengobati secara
klinis dan komplikasi neurologis, serta dengan cepat mengatasi penyebab disfungsi neurologis. 12

1. Intubasi
Pasien harus diintubasi jika mereka tidak bisa melindungi jalan napas. Kebanyakan tidak
membutuhkan ventilasi mekanis, namun beberapa pasien mungkin telah disedot isi lambungnya dan
memiliki cedera paru akut atau gagal jantung akibat SAH sendiri (edema paru neurogenik, henti
14
jantung neurogenik) dan mungkin membutuhkan bantuan mekanik. Pasien dapat ditemukan dalam
keadaan tak sadarkan diri dan harus dianggap memiliki fraktur tulang serviks sampai radiografi
membuktikan sebaliknya. Akses intra vena harus di stabilkan, dapat diberikan 0,9% NaCl 100-150
mL/jam. JIka didapati koagulopati, harus diperpaiki secepat mungkin. Pasien dibaringkan di tempat
tidur dengan posisi tenang dan nyaman, dengan sedasi dan analgesia yang dibutuhkan. Pada SAH,
sakit kepala bersifat intens dan harus ditangani dengan morfin.
2. Manajemen tekanan darah
Pengelolaan tekanan darah tinggi setelah pecahnya aneurisma akut masih kontroversial.
Kebanyakan pasien mengalami peningkatan tekanan darah saat serangan akut, namun tekanan darah
mungkin menurun setelah pengobatan nyeri atau kecemasan, atau dengan istirahat. Beberapa dokter
menganjurkan mempertahankan tekanan darah sistolik lebih rendah dari 130 mmHg, namun belum
ada data yang dapat mendukung teori tersebut dan beberapa menganjurkan menurunkan tekanan MAP
kurang dari 120 atau tekanan darah sistolik kurang dari 180. Pasien yang datang dalam keadaan sadar
biasanya tidak mengalami peningkatan tekanan intra cranial dan penurunan MAP kurang dari 100
mmHg yang tidak dapat mendukung perfusi serebral. Pasien yang datang dalam keadaan depresi
mungkin memerlukan penempatan kateter intraventikular (dibahas berikutnya), yang memfasilitasi
pengukuran dan manipulasi tekanan intra cranial, sehingga dapat memungkinkan titrasi ke tingkat
yang tidak mengganggu perfusi sereblar. Berdasarkan alasan tersebut, penurunan MAP wajar
dilakukan pada tekanan 100-110 pada pasien sadar yang datang dalam 24 jam pertama setelah
robeknya aneurisma. Terapi yang digunakan adalah obat yang tidak menyebabkan vasodilatasi
sereblar dan memperburuk peningkatan tekanan intra kranial, seperti labetolol intravena, enalapril,
atau nikardipine. Karena nitropisid dapat meningkatkan volume darah otak dan dengan demikian
meningkatkan tekanan intra kranial, obat tersebut harus dihindari kecuali tekanan intra kranial secara
langsung dipantau. 12

Nimodipin merupakan antagonis kalsium dari bagian 1,4-dihidripiridine yang berguna untuk
mencegah masuknya ion kalsium melalui jalur masuk dependen dan melambatkan saluran reseptor di
sel membran dan merelaksasi jaringan otot vaskular. Dibandingkan nifedipine, nimodipine lebih
bersifat lipofilik, yang lebih poten sebagai vasodilator cereblar dan lebih cepat dan lebih luas
menyebar di jaringan cereblar, dan dapat memperbaiki hasil dari pengobatan SAH yang lama.
Nimodipine yang merupakan antagonis saluran kalsium dengan sifat vasodilator selektif pada
pembuluh darah cereblar, telah di akui untuk meningkatkan defisit neurologis akibat kejang yang
diikuti dengan SAH. Nimodipin memiliki bioviabilitas oral yang rendah (2,7-27,9%), waktu paruh
yang pendek (2 jam), terikat kuat dengan protein (98-99%), dan di metabolisme di hati. 13

Karena nimodipin larut dalam lemak, obat dapat dengan mudah melewati sawar darah otak. Hal
ini mengakibatkan penurunan kontraksi otot dan juga berkurangnya substans vasoaktif dari
15
endotelium, yang mengakibatkan penyempitan arteri. Nimodipin juga memliki beberapa bahan
neuroprotektif, seperti mencegah serangan radikal bebas pada mitokondria intraneuron, meningkatkan
reaktifasi karbon diaosida dan metabolisme oksigen di cereblar, atau mengurangi kerusakan jaringan
akibat berlebihnya kalsium pada iskemik neuron.

Nimodipin telah digunakan secara luas untuk mencegah vasospasme yang berkaitan dengan
SAH. Setelah terjadi perdarahan, pasien diberi profilaksis berupa nimodipin oral dengan dosis 60mg,
setiap 4 jam, dalam 21 hari. Dengan catatan, obat ini tidak meningkatkan kaliber dari penyempitan
arteri pada angiograph cereblar. Beberapa contoh percobaan kasus telah dikemukakan. Pada analisa
dari beberapa percobaan yang dilakukan mendukung hasil nimodipin digunakan sebagai pofilaksis
semakin baik. Nikardipin juga telah di gunakan sebagai subjek penelitian. Walaupun hasil dari
percobaan menunjukkan hasil yang rendah untuk mengurangi defisit iskemik sekunder akibat cerebral
vasospasme, hasil keseluruhannya tetap tidak berkembang.

Pada percobaan di kelinci dengan vasospasme cerebral kronik, hasilnya menindikasikan bahwa
penggunaan nimodipin intra arterial selektif efektif untuk membalikkan vasospasme pada percobaan
SAH. Infusi nimodipin intra arteri diketahui lebih efektif dibandingkan penggunaan secara intratekal
pada arteri basilar. Hal ini mungkin akibat limitasi difusi dari penggunaan secara intratekal.
Penggunaan intraarteri dan intratekal nimodipin sama efektifnya pada arteri vertebral, yang
memnunjukkan efektifitas vasodilator dari obat tersebut. Infusi intraarteri nimodipin lebih efektif
dibandingkan infusi intraarteri papaverin pada vertebral dan arteri basilar. Pengobatan selektif
intraarteri nimodipin dapat di anggap sebagai teknik alternatif untuk pengobatan alternatif pada
vasospasme akibat SAH. Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk melihat apakah obat ini
dapat digunakan secara klinis.13

3. Kateter intraventikular
Banyak pasien dengan perdarahan subaraknoid akut mengalami hidrosefalus akut, akibat
perpanjangan perdarahan intra ventricular atau obstruksi cairan serebrospinal oleh darah cisternal.
Hidrosefalus paling mungkin terjadi akibat ruptur arteri komunikans dan arteri aneurisma basilar;
Secara keseluruhan hidrosefalus berkembang pada 10-20% pasien dan berkontribusi pada status
neurologis yang buruk. Gejala yang didapat pada hidrosefalus akut dapat berupa stupor atau koma
yang terjadi secara cepat yang bertahan setelah perdarahan awal. Sulit menentukan secara klinis
apakah tingkat depresi kesadaran dikarenakan ventrikel yang besar (gejala hidrosefalus) atau cedera
otak primer dari perdarahan itu sendiri. Oleh karena itu, beberapa pihak berwenang
merekomendasikan setiap pasien SAH dengan tingkat kesadaran depresi dan ventrikel yang membesar
harus dianggap memliki gejala hidrosefalus dan pemasangan kateter intraventikular harus

16
ditempatkan dengan benar. Kateter harus dibiarkan terbuka untuk mengalirkan 10 cm di atas
akustikus meatus internal.

4. Farmakoterapi

Pada pasien dalam keadaan stupor atau koma, penyebab lain dari defisit status neurologis harus
dipertimbangkan, termasuk aktivitas kejang, elektrolit atau kelainan metabolik lainnya, dan infeksi.
Penggunaan antikonvulsan profilaksis masih controversial, namun masih dapat digunakan fenitoin
profilaksis intravena untuk penanganan kejang akibat tekanan darah yang meningkat, peningkatan
aliran darah ke otak yang berlebih dan resiko aneurisma pecah kembali. Jika kejang tidak terjadi saat
pulang dari rumah sakit, pemberian obat anti kejang dapat dihentikan. Terapi dimulai dengan
pemberian nimodipin 60 mg tiap 4 jam, dilanjutkan hingga 21 hari. Obat ini memperbaiki hasil klinis
pasien dalam pengaturan vasospasme, namun mekanisme perbaikan tidak jelas. Terapi obat ini
mempunyai efek neuroprotektif langsung. Efek samping utama nimodipin adalah hipotensi, yang
dapat merepotkan dalam upaya induksi hipertensi setelah aneurisma di terapi. Jika hipotensi tidak
terjadi, dosis dapat dibagi dan dapat diberikan setiap 2 jam, atau dikurangi.

Manajemen Bedah Saraf


1. Mencegah perdarahan berulang aneurisma

Perdarahan ulang meningkatkan resiko kematian dua kali akibat SAH, dan pencegahan
perdarahan ulang adalah salah satu tujuan utama dari terapi awal. Risiko perdarahan ulang antara 4-
10% dalam 24 jam pertama setelah SAH akut, dan perdarahan ulang sering terjadi saat pasien sedang
menunggu untuk dioperasi aneurisma. Setidaknya setengah dari pasien yang meninggal adalah pasien
dengan perdarahan berulang; perdarahan ulang sering disertai koma yang tiba – tiba dan hilangnya
reflex batang otak. Resiko perdarahan ulang pada bulan pertama setelah pecahnya aneurisma sekitar
30%. Karena resiko perdarahan ulang dini yang tinggi, intervensi bedah saraf awal telah menjadi
pengobatan standar untuk sebagian besar pasien dengan kondisi yang optimal untuk dioperasi. Tujuan
pengobatan adalah untuk menyingkirkan rupture aneurisma dari sirkulasi intracranial dan dengan
demikian menghilangkan resiko perdarahan.

2. Pengobatan aneurisma yang pecah

Ada dua pengobatan untuk pecahnya aneurisma otak yaitu kliping bedah saraf dan coiling
endovascular. Masing – masing memiliki keuntungan dan kerugian. Pilihan terapi sering dibedakan
berdasarkan keahlian dokter, morfologi dan lokasi aneursima, dan keadaan klinis pasien. Ada
penelitian yang menyarankan coiling endovascular lebih murah dari pada kliping, memiliki mortalitas
dan morbiditas jangka pendek yang lebih rendah, dan waktu perawatan di rumah sakit lebih cepat. 12

17
Sejak dulu, pembedahan penjepitan pembuluh darah kecil lebih sering digunakan sebagai
metode pengobatan. Walaupun waktu pembedahan sering diperdebatkan, kebanyakan dokter bedah
neurovaskular merekomendasikan pengoperasian secepatnya. Bukti dari percobaan menunjukkan
bahwa pasien yang dioperasi secepatnya menunjukkan rendahnya kemungkinan perdarahan ulang dan
cenderung lebih membaik dari pada pengobatan lainnya. Pengobatan pada ruptur aneurisma juga akan
memfasilitasi pengobatan dari komplikasi seperti vasospasme cereblar.

Ketika vasospasme menjadi refrakter terhadap pengobatan medis yang maksimal yang terdiri
dari induksi hipertensi, hipervolemia, dan penggunaan antagonis saluran kalsium, terapi endovaskular
sebaiknya digunakan. Pengobatan endovaskular pada aneurisma telah ada sebagai alternatif untuk
terapi bedah selama 15 tahun. Lilitan ini dibuat dari platinum dan ditempelkan pada kawat pengantar.
Ketika posisi yang baik sudah didapatkan, lilitan ditempelkan pada kawat. Lilitan banyak denan
berbadai panjang dan diameter sering di gunakan pada aneurisma untuk menyingkirkan dari sirkulasi.

Pusat penelitian aneurisma subarakhnoid telah memeriksa pasien dengan ruptur aneurisma
yang dianggap cocok baik dengan cara lilitan endovaskular atau penjempitan arteri kecil. Peneliti
mengemukakan bahwa untuk kumpulan orang yang telah dipilih tersebut, hasil yang diharapkan
seperti bebas dari kelumpuhan selama lebih dari 1 tahun lebih banyak terjadi pada pasien yang di
obati dengan cara lilitan endovaskular daripada dengan cara penjempitan. Resiko terjadinya epilepsi
cenderung lebih rendah terjadi pada lilitan endovaskular, namun resiko perdarahan ulang lebih tinggi
terjadi. Pasien dengan angiografi cereblar, hasil dari oklusi total pada aneurisma lebih baik
dibandingkan operasi penjempitan. 13

K. Prognosis

Prognosis tergantng pada jenis stroke dan sindrom klinis stroke. Kemungkinan hidup setelah
menderita stroke bergantung pada lokasi, ukuran, patologi lesi, serta usia pasien dan penyakit yang
menyertai sebelum stroke.

Mortalitas dalam 30 hari setelah SAH berkisar antara 25-50%. Faktor yang dapat
memperkirakan mortalitas dini meliputi status neurologis yang buruk, usia tua, aneurisma yang besar,
hematom intraparenkimal yang terjadi bersamaan, penggunaan alkohol (>150 g etanol/ minggu), dan
hipertensi. Skoring Hunt and Hess terhadap status neurologis merupakan faktor prediksi yang paling
penting.11

18
Bab III

Penutup

Subarachnoid hemorrhage (SAH) atau perdarahan subaraknoid (PSA) menyiratkan adanya


darah didalam ruang subarachnoid akibat beberapa proses patologis. Insiden bagi perdarahan
subarachnoid lebih tinggi pada pria daripada wanita bagi usia di bawah 40 tahun tetapi pada usia lebih
dari 40 tahun perbandingan wanita : pria adalah 3:2. Gejala yang ditemukan dapat berupa nyeri kepala
yang timbul secara mendadak (thunderclap headache), kejang, mual dan/atau muntah, fotofobia dan
perubahan visus, dan hilangnya kesadaran.

Derajat SAH dapat ditentukan berdasarkan kriteria Hunt and Hess. Penyebab SAH dibagi
menjadi traumatik dan non traumatik. Non traumatik paling sering disebabkan oleh aneurisma dan
MAV. Komplikasi neurologis pada perdarahan subaraknoid meliputi ruptur berulang, hidrosefalus,
vasospasme, hiponatremia (cerebral salt-wasting syndrome), bangkitan (seizure), dan perluasan
perdarahan ke intraparenkim. Komplikasi yang biasa terjadi pada SAH berupa DCI(Delay Cerebral
Ischemic) harus diatasi agar tidak terjadi deficit neurologis berlebih.

Tujuan awal dari manajemen SAH adalah untuk mengamankan aneurisma yang robek untuk
mencegah perdarahan berulang (manajemen bedah saraf), mencegah cedera otak sekunder
(manajemen neurologis), dan mencegah komplikasi medis pada pasien kritis (manajemen medis).

Terapi yang di anjurkan oleh lembaga yang berwenang berupa terapi bedah saraf awal yang
dibagi menjadi dua yaitu coiling dan kliping aneurisma yang robek. Pemilihan terapi disesuaikan
dengan keuntungan dan kerugian yang di dapatkan dari masing – masing teknik. Setelah penanganan
robekan aneurisma, pemberian obat – obatan untuk meningkatkan tingkatan perfusi darah ke otak
dapat diberikan untuk mencegah deficit neurologis.

19
Daftar Pustaka

1. Alfa AY, Soedomo A, Toyo AR, Aliah A, Limoa A, et al. Gangguan peredaran darah otak
(GPDO). Dalam: Harsono, editor. Buku ajar neurologi klinis. Edisi 1. Yogyakarta: Gadjah Madya
University Press; 2009. h. 59-107
2. Bernstein RA. Cerebrovascular disease: hemorrhagic stroke. In: Brust JCM, editor.
Currentdiagnosis & treatment in neurology. United States of America: The McGraw-Hill
Companies,Inc; 2007.
3. Lycette CA, Doberstein C, Rodts GE, Jr., McBride DQ. Neurosurgical critical care. In:Bongard
FS, Sue DY, editor. Current critical care diagnosis & treatment. 2 nd edition. United State of
America: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2003.
4. Lombardo MC. Penyakit Serebrovaskular dan Nyeri Kepala Dalam: Price SA eds. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 4th ed. Jakarta: EGC; 2008. p. 961-79
5. Tate SS. Brain and cranial nerves. In: Tate SS, editor. Anatomy and Physiology. 6th
edition.United State of America: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2004.
6. Buku patofisiologi robins cotrans

7. Jauch CE. Acute Stroke Management [Online]. 2007 Apr 9 [cited 2015 April 19]; Available from:
URL:hhtp://emedicine.com/neuro-vascular/topic334.htm

8. Mayor NM. Neuroimaging. In: Mayor NM, editor. A practical approach to


radiology.Philadelphia: Saunders, an imprint of Elsevier Inc; 2006.

9. Georgiadis D, Schwab S, Werner H. Critical Care of The Patient with Acute Stroke In: Therapy
In: Mohr JP, Choi DW, Grotta JC, Weir B, Wolf PA eds. Stroke Pathophysiology, Diagnosis, and
Management. 4th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2004. p. 987-1024

10. Mendelow AD. Intracerebral Hemorrage In: Therapy In: Mohr JP, Choi DW, Grotta JC, Weir B,
Wolf PA eds. Stroke Pathophysiology, Diagnosis, and Management. 4 th ed. Philadelphia:
Churchill Livingstone; 2004. p. 1217-30
11. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf. Jakarta:
EGC; 2009. h.31-6.
12. Brust JCM. Current diagnosis and treatment neurology. New York: McGraw Hill; 2013. h.142-3
13. Harsono. The characteristics of subarchnoid hemorrhage. Maj Kedokt Indon, 2009, Januari. 59
(I): 20-6.

20

Anda mungkin juga menyukai