Anda di halaman 1dari 12

TUGAS 7

BIMBINGAN DAN KONSELING


KELUARGA

Dosen:
Drs. Taufik, M.Pd., Kons.

OLEH:
ELTRY PRATAMI ALMEZANDA
20006131

JURUSAN BIMBINGAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2022
DAFTAR ISI

TUGAS 7............................................................................................................................................1

BIMBINGAN DAN KONSELING KELUARGA...........................................................................1

DAFTAR ISI......................................................................................................................................2

PENJELASAN MATERI PERSIAPAN -PERSIAPAN UNTUK BERKELUARGA...................3

A. Persiapan – Persiapan Untuk Berkeluarga..........................................................................3

a) Aspek fisik atau biologis....................................................................................................4

b) Aspek mental atau psikologis............................................................................................4

c) Aspek psikososial dan spiritual.........................................................................................4

d) Aspek budaya atau adat istiadat.......................................................................................4

e) Pergaulan............................................................................................................................4

f) Pekerjaan dan kondisi ekonomi........................................................................................4

B. Prinsip Membangun Keluarga Bahagia...............................................................................4

C. Kesiapan Fisik........................................................................................................................8

D. Kesiapan Mental....................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................11
PENJELASAN MATERI PERSIAPAN -PERSIAPAN
UNTUK BERKELUARGA
A. Persiapan – Persiapan Untuk Berkeluarga
Kesiapan menikah diasumsikan akan lebih dipikirkan oleh dewasa muda, karena
menikah adalah salah satu tugas perkembangan masa dewasa muda. Erickson (dalam
Sari, F. & Euis S. 2013) menambahkan bahwa masa dewasa muda merupakan masa
keintiman melawan isolasi (intimacy vs isolation). Oleh karenanya, dewasa muda akan
lebih memikirkan dan mencari informasi mengenai kesiapan menikah, akan tetapi
sumber informasi mengenai kesiapan menikah masih sangat sedikit. Dengan demikian,
penelitian mengenai kesiapan menikah masih sangat dibutuhkan.
Duvall dan Miller (dalam Putriani, Lisa. Daharnis & Riska Ahmad, 2019)
mengemukakan kesiapan menikah merupakan keadaan siap atau bersedia dalam
berhubungan dengan pasangan, siap menerima tanggung jawab sebagai suami atau istri,
siap terlibat dalam hubungan seksual, siap mengatur keluarga, dan siap mengasuh anak..
Selama ini banyak pasangan yang hendak menikah memandang kesiapan menikah
sebagai persiapan untuk melaksanakan persta pernikahan, padahal kesiapan menikah
sejatinya adalah kesiapan lahir batin menghadapi bahtera rumah tangga. Yusuf dan
Sugandi (dalam Putriani, Lisa. Daharnis & Riska Ahmad, 2019) mengungkapkan
bahwa kesiapan diri untuk menikah sangat diperlukan dengan tujuan agar masing-
masing pasangan dapat mengetahui, memahami, serta menyikapi nilai-nilai pernikahan
yang merujuk kepada makna dan hikmah pernikahan dalam hidup berkeluarga.
Semakin dini kesiapan menikah dilakukan, maka akan semakin siap individu
menghadapi pernikahan. Perempuan disebutkan sebagai individu yang cenderung
mempersiapkan diri lebih dini untuk menikah dibandingkan laki-laki. Kesiapan menikah
seharusnya dilakukan oleh kedua pasangan yang ingin menikah guna mencapai
kesejahteraan dalam pernikahan.
Menurut Yusuf (2006) kehidupan berkeluarga adalah “Hidup bersama antara
suami istri atau orang tua dan anak sebagai hasil dari ikatan pernikahan”. Oleh karena
itu awal dari sebuah kehidupan berkeluarga adalah pernikahan sebagai bentuk ikatan
lahir dan bathin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Pernikahan
menurut islam merupakan pondasi untuk membentuk sebuah keluarga. Kehidupan
berkeluarga perlu memperhatikan berbagai aspek untuk mempersiapkan diri
seseorang.Aspek-aspek yang perlu diperhatikan untuk mempersiapkan diri dalam
kehidupan berkeluarga sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hawari dalam Khoeriyah
(2013) adalah sebagai berikut:
a) Aspek fisik atau biologis
Usia ideal menurut kesehatan dan program KB untuk berumah tangga berada
antara 20-25 tahun bagi wanita dan usia antara 25-30 tahun bagi pria. Lazimnya usia
pria lebih daripada usia wanita, namun perbedaan usia relative sifatnya.
b) Aspek mental atau psikologis
Aspek mental atau psikologis merupakan faktor utama dalam
pernikahan.Pasangan yang bermental sehat dapat saling memberikan kebutuhan
yang sangat penting bagi keharmonisan keluarga. Mental yang sehat akan
menciptakan kebahagiaan dalam kehidupan berkeluarga dan begitu sebaliknya jika
salah satu suami atau istri tidak memiliki mental yang sehat, ini akan berdampak
negatif terhadap kehidupan berkeluarga.
c) Aspek psikososial dan spiritual
Agama sangat penting dala stabilitas rumah tangga, sementara perbedaan
agama dalam sebuah rumah tangga dapat menimbulkan konflik. Latar belakang
sosial keluarga juga perlu diperhatikan. Apakah pasangan berasal dari keluarga baik-
baik atau tidak, karena latar belakang keluarga sangat berpengaruh pada kepribadian
anak yang dilahirkan dan dibesarkan.
d) Aspek budaya atau adat istiadat
Aspek ini perlu diperhatikan untuk diketahui oleh masingmasing pasangan
agar dapat saling menghargai dan menyesuaikan diri.Pernikahan antara suku dan
antara bangsa tidak menjadi halangan bagi agama Islam, selama masih seagama.
e) Pergaulan
Bergaul dan juga berbusana hendaknya tetap menjaga kesopanan dan
menutup aurat agar tidak dapat menimbulkan nafsu syahwat. Dengan demikian
aspek pergaulan sangat penting dalam kehidupan keluarga untuk menghindarkan
hal-hal negatif yang tidak diinginkan.
f) Pekerjaan dan kondisi ekonomi
Pernikahan tidak dapat bertahan hanya dengan ikatan cinta dan kasih
sayang, bila tidak ada materi yang mendukungnya. Adapun kebutuhan materi
sifatnya relatif disesuaikan dengan kebutuhan.
B. Prinsip Membangun Keluarga Bahagia
Membangun keluarga bahagia jelas adalah impian setiap manusia. Meskipun
cita-cita tersebut jelas untuk semua orang, namun jalan menuju bahagia tidaklah mudah,
ada banyak ujian dan cobaan yang harus dihadapi. Berangkat dari permasalahan-
permasalahan dalam keluarga sebagaimana yang telah diuraikan, menurut Mulia
Moeslim (dalam Laela, F. N. 2017) ada beberapa prinsip yang perlu untuk diterapkan
sebagai upaya untuk menciptakan keluarga yang bahagia, antara lain :
a) Tumbuhkan komitmen bersama
Kebahagiaan sebuah keluarga berawal dari adanya komitmen dari masing-
masing pihak untuk membangun keluarga bahagia, sebagaimana tujuan dari
perkawinan atau terbentuknya sebuah keluarga yang bahagia. Dan ini harus menjadi
komitmen bersama sebagai suami dan istri, dan komitmen ini menjadi penggerak
upaya masing-masing pihak untuk saling membahagiakan, menjadi semacam
energy untuk saling menggerakkan. Komitmen untuk membangun sebuah keluarga
yang bahagia dapat dipandang sebagai pondasi awal yang diperlukan untuk
langkah-langkah selanjutnya. Sehingga menjadi misi dari keluarga tersebut. Tanpa
komitmen bersama, kesulitan dan persoalan yang muncul dalam kehidupan sebuah
keluarga akan sulit diatasi dan mudah tergoyahkan bahkan menghancurkan
keluarga, sehingga upaya membangun keluarga yang bahagia akan kehilangan
pondasinya.
b) Berikan apresiasi
Setelah membangun komitmen bersama ke arah kebahagiaan, berikutnya
diperlukan adanya kemampuan untuk menyatukan kekuatan dari masing-masing
pihak. Sebuah kolaborasi harus dibangun diatas sikap yang positif akan kemampuan
masing- masing. Untuk itu mulailah dengan melihat sisi positif masing-masing
pihak. Tanpa kesediaan untuk melihat hal-hal yang positif pada pasangan masing-
masing, maka tidak ada sinergi yang tulus ke arah kebahagiaan. Sikap positif pada
pasangan dapat ditunjukkan dan ditumbuhkan dalam aktivitas sehari-hari, melalui
kebiasaan untuk memberikan apresiasi dan pujian yang tulus pada pasangan.
Sebuah apresiasi yang lahir dari sikap respek dan bukan sekedar basa-basi akan
memiliki kemampuan untuk menumbuhkan sisi positif pada pasangan kita, maupun
terhadap anak-anak. Begitu juga sebaliknya, kurangnya apresiasi dapat membuat
masing-masing pihak merasa tidak dihargai dan tidak dibutuhkan. Jika sudah
demikian komitmen yang telah dibentuk untuk membangun kebahagiaan akan
berantakan.
c) Pelihara kebersamaan
Fondasi berikutnya yang diperlukan untuk membentuk keluarga bahagia
adalah kebersamaan. Luangkan waktu untuk bersama, bermain bersama, bekerja
dan berlibur bersama. Kebersamaan adalah sebuah momen untuk saling berbagi (a
moment for sharing). Ia akan melahirkan perasaan saling membutuhkan dan saling
melengkapi diantara masing-masing. Sebuah hubungan yang didasarkan pada
perasaan saling membutuhkan secara positif akan menjadi awal yang baik bagi
sebuah kebahagiaan bersama seperti yang diinginkan. Sebuah kebersamaan dapat
diibaratkan bagaikan setetes air yang dapat menyuburkan tanaman, juga bagaikan
setetes embun di gurun sahara, begitu bermaknanya oleh karena itu tanpa air akan
matilah tanaman tersebut.
d) Ciptakan Komunikasi yang efektif
Komunikasi adalah proses pertukaran makna guna melahirkan sebuah
pengertian bersama. Sebuah komunikasi baru dapat dikatakan terjadi bila dua belah
pihak atau lebih yang terlibat dalam proses komunikasi mencapai pemahaman
bersama. Komunikasi dapat dikatakan sukses bila masing-masing pihak membagi
makna yang sama. Komunikasi
jelas akan melahirkan pertautan perasaan atau emosi yang kuat diantara mereka
yang terlibat, karena itu guna meraih kebahagiaan keluarga, sebaiknya
kemunikasikan berbagai peristiwa penting yang dialami dalam keseharian agar
masing-masing pihak semakin mengenal dunia masing-masing dan merasa
dilibatkan dalam dunia satu sama lain. Berkomunikasi adalah juga sebuah isyarat
bahwa kita menginginkan pihak lain masuk dalam kehidupan kita, hal ini dapat
terjadi dalam keseharian yang sederhana, misalnya diskusikan tentang hal-hal yang
sedang atau yang sudah dikerjakan. Ketiadaan komunikasi bukan saja akan dapat
menyebabkan kesalahpahaman, namun juga saling menjauhkan dunia masing-
masing pihak, sehingga akan nampak semakin lebar jarak antara satu dengan yang
lain, akibat yang lebih jauh hubungan dalam keluarga tersebut bisa jadi semakin
jauh dan kaku, karena yang demikian maka dapat dikatakan komunikasi adalah
sebagai urat nadi kehidupan sebuah keluarga.
e) Agama atau falsafah hidup
Menyakini falsafah hidup yang sama semakin memperkuat tali bathin
keluarga. Menjalani bersama ritus agama membuat harmoni keluarga terjalin lebih
hangat dan dalam. Pahami kebersamaan keluarga sebagai bagian dari falsafah hidup
yang bermakna. Ajak dan libatkan anak dalam acara keagamaan. Kegiatan seperti
itu akan membantunya untuk menyadari hal-hal yang bersifat lebih mendasar dalam
hidup, sebuah kecerdasan spiritual yang jelas sangat berpengaruh pada
kesanggupan orang untuk bahagia.
f) Bermain dan humor
Permainan melahirkan canda dan tawa, hal-hal sederhana namun teramat
penting untuk sebuah kebahagiaan. Jadilah teman bagi pasangan dan anakanak
anda, dengan permainan keteganganketegangan dan persoalan akan lebih mudah
cair.
g) Berbagi tangung jawab
Berbagi peran dan tanggung jawab membuat masing-masing pihak semakin
merasa sebagai satu kesatuan. Banyak masalah dalam keluarga timbul hanya karena
enggan berbagi tugas, suami merasa tidak perlu menangani pekerjaan dapur dan
anak, sementara beban sang istri begitu banyak. Begitu juga sebaliknya suami
dengan tugas-tugasnya sebagai karyawan kantor dituntut untuk lebih professional,
disisi lain sebagai kepala rumah tangga harus dapat menjadi pemimpin bagi
keluarganya, hal yang demikian kadang-kadang membuat beban semakin berat.
h) Melayani untuk orang lain
Melayani dan menolong orang lain yang kurang mampu atau tertimpa
bencana akan memberi pengaruh positip. Pengalaman seperti ini akan membuat
masing-masing pihak semakin bersyukur berada dalam kondisi yang lebih baik bila
dibandingkan dengan komunitas yang ditolong. Secara bersama, menolong orang
lain membuat kebersamaan itu semakin bermakna.
i) Sabar, tahan dengan cobaan atau problem
Sadari dan camkanlah bahwa tidak ada manusia di dunia ini yang hidup
tanpa masalah, setiap permasalahan tentu ada jalan keluarnya, tinggal bagaimana
usaha manusia, hadapi dengan tenang, berfikirlah positip, janganlah segan-segan
apabila tidak mampu menyelesaikan, mintalah bantuan orang lain dalam hal ini
adalah konselor keluarga atau family terapi sehingga penanganannya lebih
professional.
j) Miliki kepentingan dan kegemaran bersama
Dalam setiap anggota keluarga disamping memiliki perbedaan tentu juga
ada kesamaan. Untuk memperkuat fondasi bagi kebersamaan keluarga, sebaiknya
carilah atau ciptakan kegemarankegemaran atau kepentingan yang sama tersebut
dalam setiap keluarga. Lalu rencanakan secara bersama dalam sebuah program
untuk menjalani kegemaran dan kepentingan tersebut. Kegemaran tersebut dapat
dalam bentuk ringan misalnya berlibur ke tempat saudara, teman atau lain
sebagainya, bisa juga dalam bentuk berat misalnya terkait dengan bisnis usaha yang
dapat menunjang kehidupan sebuah keluarga, atau bisa juga aktif di organisasi
sosial, keagamaan bahkan berpolitik. Merencanakan, menjalankan dan
mengevaluasi kegiatan tersebut secara bersama hal ini semakin menguatkan
kesatuan dalam keluarga.
C. Kesiapan Fisik
Kesiapan fisik yang sehat sama pentingnya baik bagi laki-laki atau
perempuan. Hal ini berkaitan dengan tujuan pernikahan yaitu memiliki keturunan.
Mereka yang memiliki kondisi fisik yang kurang sehat misalnya kurang subur atau
memiliki riwayat penyakit degenerative seperti diabetes mellitus, hendaknya lebih
mempersiapkan kesehatan diri misalnya dengan menjalankan pola hidup sehat (Sari,
F. & Euis S. 2013). Kesiapan yang dimaksud dalam hal ini adalah keadaan siap yang
tercermin pada diri seseorang. Siap secara fisik artinya seseorang sudah matang
perkembangan anggota tubuhnya. Seorang laki-laki dan perempuan yang
memutuskan menikah hendaknya memeriksakan diri terkait dengan kesehatan fisik
dan kesehatan reproduksinya. Hal ini penting dilakukan untuk mendeteksi kesehatan
reproduksi pasangan sejak dini, sehingga setelah menikah diharapkan kedua
pasangan ini mampu melaksanakan fungsinya sebagai suami istri secara optimal dan
mampu melahirkan keturunan yang sehat. Apabila ada gangguan terhadap organ
reproduksinya misalkan ditemukan adanya penyakit dan kelainan tertentu, maka
harus segera diobati. (BKKBN. 2017: 52).
Kesiapan kesehatan dan tenaga dalam rangka menjalani kehidupan berumah
tangga juga perlu dipersiapkan karena setelah menikah pasangan pengantin harus
hidup mandiri. Hidup mandiri berarti berusaha mencukupi segala kebutuhan hidup
dirinya dan pasangannya sendiri tanpa mengharapkan bantuan dari kedua orang tua.
Keadaan fisik yang prima menjadi sebuah keharusan bagi pasangan suami istri untuk
memenuhi kebutuhan mereka dalam menjalani kehidupan rumah tangga. (Nisa. 2009
: 17) Secara biologis dari segi fisik, laki-laki ataupun perempuan harus melakukan
persiapan menikah mencakupi penjagaan kondisi fisik serta pengalaman seksual
(Carroll, dkk, 2009). Menurut WHO (world healt organization) (dalam Rahmah, P.
Y. 2018) tentang persiapan pernikahan yang ditulis oleh Hawari dalam bukunya,
aspek fisik meliputi:
1. Usia yang ideal menurut kesehatan dan juga program KB, maka usia
antara 20-25 tahun bagi wanita dan usia antara 25-30 tahun bagi pria
adalah masa yang paling baik untuk berumah tangga. Lazimnya usia
pria lebih daripada usia wanita, perbedaan usia relatif sifatnya. Kondisi
fisik bagi orang yang akan berkeluarga amat dianjurkan untuk menjaga
kesehatan, sehata jasmani dan juga sehat rohani.
2. Kesehatan fisik meliputi kesehatan dalam arti orang itu tidak mengidap
penyakit (apalagi penyakit yang menular) dan bebas dari penyakit
keturunan. Pemeriksaan kesehatan (atau laboratorium) dan konsultasi
pranikah amat dianjurkan bagi pasangan yang hendak berkeluarga yang
terlalu dekat. Masalah kecantikan dan ketampanan itu relatif, yang
penting adalah tidak ada cacat yang dapat menimbulkan disabilitas
(ketidakmampuan untuk berfungsi dalam kehidupan berkeluarga
(Rahmah, P. Y. 2018).

D. Kesiapan Mental
Pernikahan adalah kehidupan baru yang sangat jauh berbeda dari masa-masa
sebelumnya. Dalam pernikahan berkumpul dua pribadi yang berbeda yang berasal
dari keluarga yang memiliki kebiasaan yang berbeda. Didalamnya terbuka semua
sifat-sifat asli masing-masing. Mempersiapkan diri untuk berlapang dada
menghadapi segala kekurangan pasangan adalah hal yang mutlak diperlukan. Begitu
juga cara-cara mengkomunikasikan pikiran dan perasan kita dengan baik kepada
pasangan juga perlu diperhatikan, agar emosi negatif tidak mewarnai rumah tangga
kita.Di dalam pernikahan juga diperlukan rasa tanggung jawab untuk untuk
memenuhi hak dan kewajiban masingmasing. Sehingga setiap anggota keluarga
tidak hanya menuntut hak-haknya saja, tetapi berusaha untuk lebih dulu memenuhi
kewajibannya. Kesiapan psikologis dapat diartikan sebagai suatu kemauan/keinginan
tertentu yang tergantung pada tingkat kematangan, pengalaman, dan emosi.
Kesiapan psikologis merupakan emosi yang matang pada seseorang dalam
mempersiapkan untuk menghadapi sesuatu, dalam konteks ini adalah persiapan
mental bagi pasangan dalam menghadapi pernikahan agar mereka siap secara lahir
maupun batin (Salamah, dalam Aini, Hidayati & Afdal, 2020). Kesiapan psikologis
merupakan keseluruhan kondisi seseorang yang membuatnya siap untuk
memberikan respon terhadap sesuatu yang berhubungan dengan batin dan karakter
seseorang. Kesiapan psikologis sangat penting dipersiapkan bagi pasangan dalam
menghadapi pernikahan.
Selanjutnya hasil penelitian Benjamin Silliman & Walter R. Schumm (dalam
Aini, Hidayati & Afdal, 2020) mengemukakan tentang pentingnya kesiapan dalam
menghadapi pernikahan untuk memperkuat hubungan pasangan serta memberikan
maanfaat yang signifikan kepada pasangan sehingga pasangan mampu melaksanakan
tugas dan peran di dalam keluarga. Kemudian hasil penelitian Jeffry H. Larson, dkk.
(dalam Aini, Hidayati & Afdal, 2020) menjelaskan pentingnya persiapan psikologis
dalam menghadapi pernikahan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi angka
perceraian. Oleh karena itu berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu betapa
pentingnya bagi laki-laki dan perempuan untuk memiliki kesiapan secaara pribadi
terutama kesiapan psikologis dalam menghadapi pernikahan.
Secara psikologis, individu perlu mempersiapkan diri dengan matang dalam
melakukan suatu hubungan baik intrapersonal ataupun interpersonal serta
mempersiapkan menghadapi peran dan tugas baru. Laki-laki harus mempersiapkan
diri untuk menjadi seorang suami serta ayah dan menjalin hubungan dengan keluarga
dan lingkungan istri, sedangkan perempuan mempersiapkan diri untuk menjadi
seorang istri dan ibu serta menjalin hubungan dengan keluarga dan lingkungan
suami (Mawaddah, S. dkk. 2019).
Menurut Wahyunisari, N. I. (2020) Indikator kesiapan mental dalam hukum
Islam adalah sebagai berikut:
1. Dewasa
Kesiapan mental seseorang juga dapat dilihat dari kemauan untuk
mengenal calon pasangan hidup beserta keluarganya begitu juga
sebaliknya. Sikap mau mengenal lebih dalam kehidupan calon pasangan
ini merupakan sebuah kedewasaan dan kematangan mental, karena bisa
saja kedua calon pengantin ini berasal dari latar belakang keluarga yang
berbeda, suku atau ras yang berbeda, serta memiliki kebiasaan-kebiasaan
yang berbeda, sehingga diperlukan penyesuaian dan komunikasi yang
terbuka.
2. Kesadaran beragama
Menyatakan kesiapan mental ditandai dengan ketenangan jiwa, akhlak
mulia, kesehatan, dan kekuatan badan, memenuhi kebutuhan dasar
dengan cara yang halal, memenuhi kebutuhan spiritual dengan
berpegangan teguh pada akidah, mendekatkan diri kepada Allah dengan
menjalankan ibadah dan melakukan amal shaleh, dan menjauhkan diri dari
segala keburukan.
3. Kesiapan Ekonomi
Kesiapan ekonomi adalah keadaan seseorang yang siap secara materi
untuk melangsungkan pernikahan. Siap secara ekonomi tidak berarti harus
kaya raya, akan tetapi adanya kesiapan untuk memberikan nafkah kelak
bagi anggota keluarga.

DAFTAR PUSTAKA
Aini, Hidayati & Afdal. 2020. Analisi Kesiapan Psikologis pasangan dalam
menghadapi pernikahan. Jurnal Aplikasi IPTEK Indonesia, 4 (2).
BKKBN. 2017. Peraturan Kepala Badan kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional Nomor 24 tahun 2017 Tentang Pelayanan keluarga Berencana
Pasca Persalinan dan Pasca Keguguran. Jakarta: BKKBN.
Khoeriyah. N. 2013. Program Pranikah untuk Meningkatkan Pemahaman Kehidupan
pernikahan.Skripsi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Laela, F. N. 2017. Bimbingan Konseing, Keluarga dan Remaja. Surabaya : UIN
Sunan Ampel,
Mawaddah, S. dkk. 2019. Perbedaan kesiapan menikah pada dewasa awal ditinjau
dari jenis kelamin di Banda Aceh. Jurnal Empati, Vol. 8 No. 1.
Nisa, Aimatun. 2009. Upaya Membentuk Keluarga Sakinah Bagi Keluarga
Pernikahan Dini. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Putriani, Lisa. Daharnis & Riska Ahmad. 2019. Kesiapan menikah mahasiswa
ditinjau dari jenis kelamin, latar belakang budaya dan sosial ekonomi. Jurnal
Penelitian Guru Indonesia, Vol. 4 No. 2.
Rahmah, P. Y. 2018. Kesiapan Membangun Rumah Tangga (Studi kasus remaja
putri K-popers Kota Malang). Skripsi. Fakultas Syari’ah. UIN Maulana
Malik Ibrahim. Malang.
Sari, F. & Euis S. 2013. Kesiapan menikah pada dewasa muda dan pengaruhnya
terhadap usia menikah. Jur. Ilm. Kel. & Kons., Vol. 6 No. 3.
Wahyunisari, N. I. 2020. Efektivitas bimbingan pra nikah terhadap kesiapan mental
dalam membentuk keluarga sakinah (studi pada muslimah care lampung).
Skripsi. Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Raden Intan. Lampung.
Yusuf. S. 2006. Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah (SLTP dan SLTA).
Bandung: Pustaka Bani Quraisy.

Anda mungkin juga menyukai