Anda di halaman 1dari 15

RANCANGAN PERUBAHAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 2 TAHUN 2010


TENTANG
PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA
Menjadi
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT
NOMOR :….. TAHUN…..
TENTANG
PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,


Menimbang :
a. bahwa secara geologis, geografis, biologis, hidrologis, klimatologis, sosial,
budaya, ekonomi dan teknologi, Jawa Barat merupakan wilayah rawan
bencana yang dapat menimbulkan korban jiwa, kerugian harta benda dan
dampak psikologis, sehingga diperlukan upaya penanggulangan bencana
secara sistematis, terencana, terkoordinasi dan terpadu;
b. bahwa upaya penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada huruf a,
dilaksanakan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari
ancaman bencana dan menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana
mulai dari prabencana, saat tanggap darurat dan pascabencana;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan
b, perlu membentuk Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi
Jawa Barat (Berita Negara Republik Indonesia tanggal 4 Juli 1950) Jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Jakarta
Raya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 15) sebagaimana
telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4744) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4010);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4844);
4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4438);
5. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4441);
6. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
7. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
8. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967);
9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4988);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan
dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4593);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 30, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4638);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4828)
14. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan
Pengelolaan Bantuan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4829);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga
Internasional dan Lembaga Asing Non Pemerintahan dalam
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4830);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber
Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4858);
18. Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan
Infrastruktur;
19. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional
Penanggulangan Bencana;
20. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4330) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh atas
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
21. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewaspadaan Dini Masyarakat di Daerah;
22. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006 tentang Pedoman
Umum Mitigasi Bencana;
23. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan
Kawasan Rawan Gempa Bumi;
24. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor;
25. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pedoman
Penyiapan Sarana dan Prasarana dalam Penanggulangan Bencana;
26. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2003 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat (Lembaran Daerah
Tahun 2003 Nomor 2 Seri E);
27. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Pembentukan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2005 Nomor 13
Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 15);
28. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2008 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun
2005-2025 (Lembaran Daerah Tahun 2008 Nomor 8 Seri E, Tambahan
Lembaran Daerah Nomor 45);
29. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Urusan Pemerintahan Provinsi Jawa Barat (Lembaran Daerah Tahun 2008
Nomor 9 Seri D, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 46);
30. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Jawa Barat
Tahun 2008-2013 (Lembaran Daerah Tahun 2009 Nomor 2 Seri E,
Tambahan Lembaran Daerah Nomor 60);
31. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Provinsi Jawa Barat (Lembaran Daerah Tahun 2009 Nomor 9 Seri D,
Tambahan Lembaran Daerah Nomor 67);

Ditambah : Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2008 tentanng Keterbukaan


Informasi Publik
Penjelasan : Dirujuk sebagai dasar penambahan prinsip keterbukaan informasi

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI JAWA BARAT
dan
GUBERNUR JAWA BARAT
MEMUTUSKAN :
PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN
BENCANA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
PASAL 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan :
Ayat 1 Sampai 29 (Cukup Jelas)
Ditambah
Ayat 30. Mitigasi Bencana upaya yang memiliki sejumlah tujuan yakni untuk mengenali risiko,
penyadaran akan risiko bencana, perencanaan penanggulangan, dan sebagainya/ mitigasi
bencana adalah segala upaya mulai dari pencegahan sebelum suatu bencana terjadi sampai
dengan penanganan usai suatu bencana terjadi.
Penjelasan:
Setiap daerah dengan segala potensi alam di daerahnya harus memperkenalkan resiko bencana
alam yang kemungkinan terjadi, sehingga masyarakat perlu untuk mendapatkan sosialisasi
tersebut dan mengetahui segala upaya yang perlu dilakukan melalui sistem penyelenggaraan
pendidikan baik di tingkat dasar, menengah,lanjut hingga bersifat umum.
Hal ini juga bermanfaat bagi masyarakat untuk dapat mengelola perilaku dan emosi masyarakat
dalam menghadapi segala bentuk bencana yang dihadapinya, sehingga proses pemulihan materil,
ekonomi, dan psikologis masyarakat diharapkan lebih terarah dan stabil.

BAB II
ASAS DAN PRINSIP
PASAL 2
Huruf A sampai I (Cukup Jelas)

Ditambah

J. Asas Gotong Royong

Penjelasan:

Gotong-royong berarti kegiatan bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Gotong-royong


atau to help and to support each other dimaknai sebagai bentuk kerjasama oleh semua dalam
rangka tujuan kesejahteraan bersama.

Dalam gotong-royong masyarakat memberikan pertolongan tanpa pamrih (interest), tidak


mengandalkan atau mengharapkan imbalan, baik sekarang maupun di kemudian hari.

Dalam gotong-royong ini kepentingan perseorangan tercerap ke dalam totalitas kehidupan


bersama atas prinsip bahwa dalam kehidupan bersama seseorang harus mendahulukan
kepentingan bersama daripada kepentingannya sendiri, dengan tujuan mengupayakan dan
menjaga ketertiban, perdamaian, dan kesejahteraan di dalam masyarakat.

Dalam hal penanggulangan bencana, masyarakat harus disadarkan bahwa dalam kondisi tersebut
kepentingan umum layak didahulukan daripada kepentingan pribadi. Hal ini dapat terwujud jika
masyarakat cukup memahami lewat pendidikan dan sosialisasi dalam segala upaya yang dapat
dilakukan dalam kondisi menjadi korban bencana.
Bukan atas dasar kekerabatan mendahulukan orang-orang yang lebih dekat dengan pemangku
kebijakan, sehingga bantuan yang harusnya merata malah menyasar orang-orang yang tidak
memiliki urgensi mendapat bantuan dan sebagainya.
PASAL 3
Huruf A Sampai I (Cukup Jelas)
Ditambah
J. Prinsip keterbukaan informasi

Penjelasan :
Informasi selain merupakan kebutuhan pokok setiap orang untuk pengembangan diri dan sosial,
juga merupakan bagian penting ketahanan nasional. Hak untuk memperoleh informasi adalah
hak asasi manusia. Keterbukaan informasi publik adalah salah satu ciri penting negara
demokratis yang menjunjung tinggi kedaulat an rakyat yang pada dasarnya bertujuan untuk
mewujudkan good governance.
Pengelolaan informasi publik yang baik merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan
masyarakat informasi.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
yang diundangkan pada tanggal 30 April 2008 mengisyaratkan bahwa penyelenggaraan negara
harus dilakukan secara terbuka atau transparan. Setiap orang dijamin haknya untuk memperoleh
informasi publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ini antara lain bertujuan agar penyelenggaraan negara dapat diawasi oleh publik dan keterlibatan
masyarakat dalam proses penentuan kebijakan publik semakin tinggi. Keterlibatan tersebut pada
akhirnya akan menghasilkan penyeleggaraan negara yang lebih berkualitas. Partisipasi seperti itu
menghendaki adanya jaminan terhadap keterbukaan informasi publik.
Setiap badan publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan informasi publik
yang berada di bawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik, kecuali informasi
yang termasuk kategori "dikecualikan". Informasi yang diberikan harus akurat, benar, dan tidak
menyesatkan.
Berkaitan dengan itu, setiap badan publik memiliki kewajiban melaksanakan kearsipan dan
pendokumentasian berdasarkan peraturan perundang-undangan. Selain itu, setiap badan publik
berkewajiban menyediakan dan mengumumkan informasi dalam tiga kategori berikut:

1. Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala


2. Informasi yang wajib diumumkan secara serta-merta, dan
3. Informasi yang wajib tersedia setiap saat.
Prinsip keterbukaan informasi perlu diamalkan dalam hal penanggulangan bencana khusus dalam
hal pengelolaan dana bantuan bencana yang bersumber dari organisasi ataupun individu yang
disalurkan melalui pemerintah daerah yang ditujukan bagi korban bencana.
Sehingga pemimpin dalam hal ini di tingkat daerah, kota atau kabupaten terbebas dari prasangka
adanya tindakan yang dapat merugikan korban bencana alam seperti Korupsi Dana Bantuan.
Dengan demikian masyarakat terhindar dari perasaan ketidakjelasan nasib sebagai korban
bencana alam.
Kemudian daripada itu, mekanisme yang didasarkan pada keterbukaan informasi bagi publik
dalam tindak lanjut pemulihan masyarakat bisa menghasilkan sistem yang lebih terorganisir bila
didukung dengan serangkaian penerangan segala jenis informasi yang diberikan secara aktif dan
komprehensif oleh pemerintah daerah, kota atau kabupaten.
Dampak dari tidak terbukanya informasi?
Keterbukaan informasi publik merupakan poin penting bagi terwujudnya akuntabilitas
penyelenggaraan pelayanan publik, dimana tidak ada lagi 'sekat' penghalang masyarakat untuk
mengetahui apa saja yang telah diperbuat oleh penyelenggara pelayanan publik, khususnya
terkait dengan standar operasional. Namun demikian, urgensi tersedianya informasi bagi
masyarakat belum dipahami oleh semua Badan Publik.
Pada tanggal 23 Januari 2023 lalu, masyarakat yang terdampak gempa “menggeruduk” pendopo
Bupati Kabupaten Cianjur.
Sebagian besar masyarakat dalam aksi tersebut mempertanyakan bagaimana kelanjutan
pembangunan rumah yang rusak terdampak dan tidak dapat ditinggali.
Banyak masyarakat yang menyayangkan bahwa tidak adanya transparansi pengalokasian hingga
pendistribusian logistik yang dititipkan melalui badan publik, dalam hal ini pemerintah daerah
Kabupaten Cianjur.
Adapun bantuan untuk korban gempa Cianjur rumah rusak ringan Rp.15.000.000 (Lima Belas
Juta Rupiah)rusak sedang Rp. 30.000.000 (Tiga Puluh Juta Rupiah), dan rusak berat
Rp.60.000.000 (Enam Puluh Juta Rupiah).
Ketidakjelasan informasi yang diberikan oleh pihak pemerintah Kabupaten Cianjur soal dana
ganti rugi kerusakan bangunan sampai saat ini belum mampu memenuhi prinsip keterbukaan
informasi publik. Sehingga menimbulkan keresahan, kecurigaan masyarakat terhadap
penyelenggara penanggulangan bencana.

Padahal, Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). UU
KIP memberikan jaminan kepastian, khususnya bagi masyarakat untuk dapat mengakses
informasi yang ada di badan publik. Sebagaimana ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf a, bahwa
Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik dan berkewajiban menyampaikan kebijakan
Pejabat Publik dalam pertemuan yang terbuka untuk umum.
Hal ini menunjukkan tidak ada lagi celah bagi badan publik untuk tidak atau bahkan
menghalang-halangi masyarakat untuk mengetahui semua informasi yang tersedia padanya
(kecuali informasi yang masuk dalam ketegori rahasia atau dikecualikan).

Tak hanya itu, Pasal 2 UU KIP juga memberikan jaminan bagi masyarakat untuk mendapatkan
informasi dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana. Jika dikaitkan dalam
konteks pelayanan publik, maka hal ini masuk dalam kategori adanya kepastian layanan dalam
hal jangka waktu dan biaya yang menjadi bagian penting dari komponen standar pelayanan
dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana ketentuan Pasal 21 UU No. 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik.

BAB III
MAKSUD DAN TUJUAN
PASAL 4
Huruf A sampai C (cukup jelas)
Diganti
Huruf D. Membangun partisipasi dan kemitraan publik dan swasta
Menjadi : Membangun partisipasi masyarakat
Penjelasan :
Kemitraan dikenal dengan istilah gotong royong atau bekerjasama dari berbagai pihak, baik
secara kelompok maupun individual. Kemitraan adalah suatu kerjasama usaha formal yang
saling menguntungkan antara pengusaha kecil dengan pengusaha menengah atau besar untuk
mencapai suatu tujuan bersama berdasarkan kesepakatan prinsip bersama.
Misalnya, istilah kemitraan digunakan dalam dunia UMKM. Bagi pengusaha kecil kemitraan
dianggap menguntungkan karena dapat mengambil manfaat dari pasar dan kewirausahaan yang
dikuasai oleh usaha besar. Dalam kerjasama harus ada misi, visi, tujuan dan kesepakatan yang
telah dibuat bersama dan saling berbagi resiko maupun keuntungan yang diperoleh masing-
masing pelaku kemitraan.
Adapula pengertian kemitraan yang dijelaskan oleh beberapa ahli kemitraan adalah suatu strategi
bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih
keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan.
Penanggulangan bencana alam adalah tanggung jawab bersama yang dilakukan oleh pemerintah
dan masyarakat, kata “kemitraan” mengandung arti kerja sama dalam ranah pekerjaan yang
mengandung unsur profit.
Sehingga tidak tepat apabila dikaitkan dengan penanggulangan bencana alam yang notabenenya
merupakan tanggung jawab bersama, antara stake holder dan masyarakat itu sendiri.
Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan dalam penanggulangan bencana karena masyarakat
dapat menjadi orang-orang pertama yang terkena dampak. Masyarakat juga menjadi orang yang
pertama kali memberikan respons terhadap bencana yang mereka hadapi.
Untuk membangun masyarakat yang tangguh terhadap bencana, perlu mengutamakan
pengelolaan risiko secara terpadu dengan secara penuh melibatkan partisipasi seluruh warga
masyarakat serta memperkuat masyarakat dan sistem institusi untuk kesehatan, pendidikan,
pelayanan sosial dan penghidupan masyarakat.
Dikurangi
Huruf E. Mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan dan kedermawanan
Menjadi : Mendorong semangat gotong royong
Penjelasan :
Karena makna dari gotong royong itu sendiri adalah salah satu budaya khas Indonesia hasil
warisan masa lalu yang mengedepankan kepentingan umum dibandingkan kepentingan pribadi.
Dalam KBBI, istilah gotong-royong diartikan sebagai bekerja bersama-sama atau tolong-
menolong, bantu-membantu satu sama lain.
Sehingga kata “kesetiakawanan” dan “kedermawanan” sudah dicakup dalam makna “gotong
royong”.
Jadi apabila masih ada kedua kata tersebut dapat menjadi pemborosan kalimat/kata yang dapat
menimbulkan multi tafsir.
Diganti
Huruf f Menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
Menjadi : Menciptakan rasa aman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
Penjelasan:
Hak atas rasa aman merupakan hak mendasar dan merupakan bagian dari hak asasi yang melekat
pada diri setiap manusia. rasa aman sendiri tercipta karena adanya sistem hukum yang berjalan
efektif dan konsisten dalam menjaga kestabilan keamanan, ketentraman, dan ketertiban di
lingkungan masyarakat.
Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa setiap manusia berhak atas rasa aman dan rasa
tentram serta mendapatkan perlindungan dari setiap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang dapat mengenai hak hidup dalam berbangsa dan bernegara.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM Bagian keenam dengan judul ‘Hak atas
Rasa Aman’, menjelaskan secara rinci mengenai hak-hak lain yang perlu dilindungi
pemenuhannya yang berhubungan dengan hak atas rasa aman. hak atas rasa aman selaras pula
dengan dengan Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia serta Pasal 21 Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.

BAB IV
TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG
PASAL 5
Huruf A sampai f (cukup jelas)
Ditambah :
g. Penyelenggaraan pendidikan kebencanaan bagi masyarakat/korban bencana
h. Pemenuhan sistem informasi terpadu bagi masyarakat/korban bencana
Penjelasan :
Pasal 1 Ayat (9) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang penanggulangan bencana
menyebutkan, “Bencana tidak dapat dihindari, akan tetapi dapat dikurangi dampak negatif atau
resiko bencananya”
Menurut United International Strategy for Disaster Reduction, Badan PBB untuk Strategi
Internasional pengurangan risiko bencana, bahwa penting bagi semua lapisan masyarakat untuk
mengenalkan pendidikan mitigasi bencana sejak dini di sekolah, dikarenakan Indonesia termasuk
negara yang paling rawan terjadi bencana alam di dunia.
Berbagai bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, tanah longsor,
banjir dan bebagai bahaya lainnya yang terjadi di Indonesia, sehingga perlu untuk mengajarkan
kepada masyarakat mulai dari dia siswa tentang mitigasi bencana atau siaga bencana melalui
pendidikan kebencanaan.
Hal ini perlu dilakukan agar dapat mengurangi jatuhnya korban jiwa yang salah satunya anak-
anak, dikarenakan mereka masih belum mengetahui hal-hal yang menyangkut bencana apalagi
mitigasinya.
Pentingnya penerapan pendidikan mitigasi bencana di sekolah perlu dilakukan sejak dii, agar
memberikan pendalaman pengetahuan dan kesiapsiagaan, sehingga siswa mampu bertindak pada
saat sebelum dan sesudah terjadinya bencana. Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir
dampak yang akan terjadi.
Program pendidikan dan peningkatan kesadaran masyarakat adalah tindakan mitigasi yang
bertujuan untuk menginformasikan dan mengedukasi warga, pejabat terkait, dan pemilik
properti, tentang bencana alam beserta potensi cara untuk mengurangi risikonya. Jenis mitigasi
ini merupakan fondasi penting untuk menjamin kesuksesan tindakan mitigasi bencana.
BAB V
BAGIAN PENANGGULANGAN BENCANA
Cukup Jelas

BAB VI
PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA
Bagian Kesatu
Umum
PASAL 12
Penyelenggaraan penanggulangan bencana alam di Daerah dilaksanakan berdasarkan 4 (empat)
aspek, meliputi :
Ditambah
Huruf A psikososial, ekonomi dan budaya masyarakat
Huruf B Hingga D (Cukup Jelas)
Penjelasan :
Psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada individu yang mencakup aspek psikis dan
sosial atau sebaliknya. Psikososial menunjuk pada hubungan yang dinamis antara faktor psikis
dan sosial, yang saling berinteraksi dan memengaruhi satu sama lain.
Bencana membawa efek negatif luar biasa pada seluruh sendi kehidupan manusia. Temuan
berbagai penelitian menunjukkan adanya peningkatan yang sangat signifikan pada berbagai
problem kesehatan fisik dan psikologis penyintas bencana jangka panjang. Itu bisa berupa
penurunan kemampuan individu dalam melakukan penyesuaian diri karena berkaitan dengan
perubahan kehidupan personal, interpersonal, sosial, dan ekonomi pasca bencana.
Penelitian lain juga menemukan adanya hubungan negatif yang signifikan antara hilangnya
kekayaan pribadi, dukungan sosial, dan kesehatan fisik dengan meningkatnya stress psikologis
pasca bencana. Dampak bencana menurut Gregorsangat terasa pada sebagian orang akibat
kehilangan keluarga dan sahabat, kehilangan tempat tinggal, dan harta benda, kehilangan akan
makna kehidupan yang dimiliki, perpindahan tempat hidup serta perasaan ketidakpastian karena
kehilangan orientasi masa depan, serta keamanan personal.
Baik pada anak maupun pada orang dewasa dampak bencana bervariasi dari jangka pendek
sampai jangka panjang. Dampak emosional jangka pendek yang masih dapat dilihat dengan jelas
meliputi rasa takut dan cemas yang akut, rasa sedih dan bersalah yang kronis, serta munculnya
perasaan hampa. Pada sebagian orang perasaan-perasaan ini akan pulih seiring berjalannya
waktu. Namun pada sebagian yang lain dampak emosional bencana dapat berlangsung lebih
lama berupa trauma dan problem penyesuaian pada kehidupan personal, interpersonal, sosial,
dan ekonomi pasca bencana.
Gejala-gejala gangguan emosi yang terjadi merupakan sumber distress dan dapat mempengaruhi
kemampuan penyintas bencana untuk menata kehidupannya kembali. Apabila tidak segera
direspons akan menyebabkan penyintas, keluarga, dan masyarakat tidak dapat berfungsi dalam
kehidupan dengan baik.
Riset tentang hubungan antara bencana dan gangguan jiwa juga datang dari Masahiro Kokai
beserta tim peneliti yang mengangkat isu soal prevalensi morbiditas psikiatri setelah gempa
Hanshin-Awaji. Menurut laporan bertajuk "Natural disaster and mental health in Asia" yang
diterbitkan jurnal Psychiatry and Clinical Neurosciences (2004) ini, istilah morbiditas psikiatri
mengacu pada kerusakan fisik dan psikologis akibat kondisi kejiwaan.
Metode yang ditempuh Kokai dkk adalah mengobservasi korban gempa Hanshin-Awaji. yang
dirawat jalan di sebuah rumah sakit universitas. Hasilnya, gangguan kecemasan sebagai dampak
langsung dari kejadian yang traumatis jamak ditemukan pada pasien pada bulan pertama setelah
gempa. Umumnya, korban bencana mengalami depresi.
Namun, jumlah kasus depresi berkurang dalam waktu satu tahun. Korban selamat yang depresi
biasanya menganggur, terus memikirkan beban untuk kembali membangun rumahnya,
mengalami kelelahan fisik, dan kesulitan menyesuaikan diri di tempat rekolasi. Selain morbiditas
psikiatri, Kokai dkk juga menemukan kasus Gangguan Stress Pascatrauma atau Post-traumatic
Stress Disorder (PTSD).
Dari 322 pasien yang dirawat jalan di rumah sakit universitas, terdapat enam korban yang
menderita PTSD karena gempa. Hasil tersebut didapat setelah tim periset mengamati subjek
penelitian dengan menggunakan pedoman Diagnostic and Statistical manusal of Mental
Disorders. Assosiasi Professor Komunikasi dan Kesehatan Publik University of Missouri-
Columbia J. Brian Houston dan Manajer Program Kesehatan Mental Bencana Disaster and
Community Crisis Center Jennifer M. First mengatakan bahwa PTSD menjadi problem
kesehatan mental yang banyak diteliti oleh psikologi dan psikiater terkait topik korban bencana
alam.
Lebih lanjut, Houston dan First menjelaskan bahwa persoalan kesehatan mental pasca-bencana
dapat menimbulkan masalah sosial yang mengkhawatirkan, yakni kekerasan domestik.
Sementara dalam sektor ekonomi, Pemerintah Jawa Barat dapat belajar dari peristiwa tsunami di
aceh hingga Palu.
Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap bencana alam, seperti gempa bumi, letusan
gunung berapi, tsunami, dan sebagainya. Bangsa Indonesia perlu menyadari bahwa Indonesia
adalah negara kepulauan dengan 129 gunung api aktif yang berada di jalur cincin api dan terletak
di atas pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dunia, yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng
Eurasia, dan Lempeng Pasifik.
Selain itu, Indonesia juga berada di wilayah tropis dengan kondisi hidrologis yang dapat memicu
bencana alam lainnya, seperti tornado, curah hujan ekstrem, banjir, tanah longsor, dan
kekeringan. Namun, bencana alam bukanlah satu-satunya yang dapat mengancam jiwa dan harta
benda, ada pula bencana yang disebabkan oleh manusia yang seringkali terjadi di negara ini,
antara lain pembakaran hutan dan lahan, konflik sosial, serta kegagalan teknologi.
Pada 28 September 2018, gempa bumi dahsyat berkekuatan magnitudo 7,5 pada kedalaman 10
km terjadi di sekitar jalur sesar Palu Koro dengan pusat gempa di Kabupaten Donggala, Provinsi
Sulawesi Tengah. Akibat bencana alam ini, 4.340 korban jiwa meninggal dunia, hilang, dan tidak
teridentifikasi serta terjadi kerusakan bangunan yang signifikan di wilayah terdampak bencana.
Kegiatan masyarakat, khususnya di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala pun
menjadi lumpuh pasca kejadian gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi. Selain itu, 53.182 KK di
Provinsi Sulawesi Tengah terpaksa mengungsi dan kehilangan mata pencaharian akibat
kerusakan yang ditimbulkan bencana alam tersebut.
Guna membantu pemulihan ekonomi masyarakat di daerah terdampak bencana, pemerintah
daerah menyediakan berbagai bantuan serta dukungan melalui APBD dan program pemulihan
dari kementerian terkait (APBN). Instansi pemerintah di tingkat provinsi bekerja sama dengan
kementerian terkait turut menyelenggarakan berbagai pelatihan untuk pemulihan mata
pencaharian. NGO (Non-Govermental Organization), baik internasional maupun lokal, serta
mitra pembangunan juga memberikan berbagai bantuan materiil, antara lain makanan dan
peralatan.
Berdasarkan pembelajaran dari pelaksanaan kegiatan percontohan di Provinsi Sulawesi Tengah
serta pengalaman pemulihan dan pembangunan kembali pascabencana di Jepang, pendekatan
utama pemulihan mata pencaharian dan penguatan masyarakat terdampak bencana dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1. Memperkuat gotong royong
2. Menjamin transparansi dan akuntabilitas
3. Memfasilitasi masyarakat dalam kegiatan pemulihan yang berkelanjutan
4. Mempertimbangkan perbedaan kebutuhan dan kondisi masyarakat terdampak pada setiap
tahap pemulihan dan rekonstruksi
Dari pengalaman penanganan beberapa peristiwa bencana, diketahui bahwa pemerintah
seringkali mengalami kesulitan untuk segera membantu korban dan penyintas akibat lumpuhnya
fungsi administrasi pemerintahan di daerah bencana.
Untuk mengurangi dampak kerusakan yang lebih besar dan luas akibat bencana, amatlah penting
untuk meningkatkan gerakan swadaya dan gotong royong antarwarga. Pada praktiknya akan
sedikit sulit untuk mengorganisasi para individu yang tidak saling mengenal menjadi suatu
kelompok dan saling bekerja sama dalam kegiatan pemulihan mata pencaharian karena belum
terjalinnya rasa saling percaya antar satu sama lain, terutama bagi masyarakat yang tinggal di
daerah perkotaan dan pinggiran kota.
Oleh karena itu, sebaiknya menerapkan pendekatan kelompok dalam beberapa program/kegiatan
pascabencana untuk memperkuat hubungan sosial kemasyarakatan dan kegotongroyongan. Di
masa awal pascabencana, para pengungsi cenderung mengalami stres yang tinggi dan trauma.
Guna mengurangi stres dan trauma pascabencana, penting bagi setiap individu untuk
memulihkan mata pencahariannya dan bagi masyarakat untuk mempererat hubungan sosial
kemasyarakatannya. Jika kegiatan berkelompok dapat dilakukan pada tahap ini, hal tersebut
dapat mengurangi tingkat stres serta mengalihkan pikiran mereka dari trauma bencana.
Kegiatan kelompok memberikan peluang bagi anggotanya untuk berinteraksi satu sama lain.
Pendekatan ini bisa membantu mengurangi kekhawatiran dan kecemasan bahkan ketika
hubungan dalam kelompok itu sendiri belum terlalu kuat. Berbagi asa dan rasa dengan para
korban dan penyintas lain yang senasib sepenanggungan dapat sedikit mengurangi beban emosi
yang ditanggung.
Mengetahui bahwa ada korban dan penyintas lain dengan pengalaman dan emosi yang sama
dapat membantu meringankan beban emosi yang harus ditanggung. Kebersamaan dan
kegotongroyongan, selain mempererat hubungan kemasyarakatan juga menjadi modal sosial di
masa mendatang.
Meskipun bukan topik baru, perlu ditekankan bahwa perencanaan dan penganggaran harus
dilaksanakan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat para korban berada
dalam kondisi sulit, cemas, dan ragu mengenai kapan dan/atau bagaimana bantuan dapat diterima
secara adil dan merata, maka transparansi menjadi sangat penting guna menjamin akuntabilitas
program serta menjaga stabilitas dan solidaritas masyarakat.
Untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi, pelibatan masyarakat dalam setiap langkah
kegiatan menjadi pendekatan yang efektif. Situasi pascabencana yang penuh dengan
ketidakpastian dan membingungkan
Pada praktiknya semua hal tersebut akan sulit namun jika pemerintah daerah, kota dan kabupaten
berkomitmen dalam melayani masyarakat, semua dapat dilakukan dengan catatan-catatan
perubahan dan penggantian sebagaimana sudah dijelaskan oleh penulis.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
PASAL 142
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis
pelaksanaannya, ditetapkan oleh Gubernur.

PASAL 143
Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah ini harus telah ditetapkan dalam waktu paling lama 1
(satu) tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan Daerah ini.
PASAL 144
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat.

Anda mungkin juga menyukai