Anda di halaman 1dari 109

PEMBAGIAN WARIS YANG MENIADAKAN HARTA

BERSAMA (STUDI KASUS KECAMATAN


KERTAK HANYAR)

SKRIPSI

OLEH
ALI HUSEIN RAFSANJANI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


BANJARMASIN
2023
PEMBAGIAN WARIS YANG MENIADAKAN HARTA
BERSAMA (STUDI KASUS KECAMATAN
KERTAK HANYAR)

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah
untuk Memenuhi Sebagian Syarat
guna Mencapai Gelar Sarjana
dalam Ilmu Syariah

Oleh:
Ali Husein Rafsanjani
(190102010033)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS SYARIAH
PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM
BANJARMASIN
2023

i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

ii
Lampiran 1 : Sertifikat Bebas Plagiasi

iii
Lampiran 2 : Lembar Bimbingan Skripsi

iv
v
PERSETUJUAN

Skripsi yang berjudul : Pembagian Waris yang Meniadakan Harta Bersama


(Studi Kasus Kecamatan kertak Hanyar)
Ditulis Oleh : Ali Husein Rafsanjani
NIM : 190102010033
Fakultas : Syariah
Program : Strata Satu (S-1)
Program Studi : Hukum Keluarga Islam (Ahwal Syakhshiyyah)
Tahun Akademik : 2022/2023
Tempat dan tanggal lahir : Banjarmasin, 20 September 2001
Alamat : Jl. MT. Haryono Gg. Kelapa Sawit No. 100 Sampit

Setelah diteliti dan diadakan perbaikan seperlunya, kami dapat menyetujuinya


untuk dipertahankan di depan Sidang Tim Penguji Skripsi Fakultas Syariah UIN
Antasari Banjarmasin.
Banjarmasin, 14 Juni 2023

Pembimbing

Farihatni Mulyati, S.Ag., M.H.I.


NIP. 19701113 199803 2 004

Mengetahui,
Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam
Fakultas Syariah
UIN Antasari Banjarmasin,

Abdul Hafiz Sairazi, S.H.I, M.H.I.


NIP. 19781118 200312 1 005

vi
PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “Pembagian Waris yang Meniadakan Harta Bersama (Studi
Kasus Kecamatan Kertak Hanyar)”, ditulis Oleh Ali Husein Rafsanjani, telah
diujikan dalam Sidang Tim Penguji Skripsi Fakultas Syariah UIN Antasari
Banjarmasin Pada:
Hari :
Tanggal :
Dinyatakan LULUS dengan predikat:

Dekan Fakultas Syariah


UIN Antasari Banjarmasin

Dr. Hj. Amelia Rahmaniah, M.H.


NIP. 197105191997032001

Tim Penguji
Nama Tanda Tangan
1.
1.
(Ketua)
2.
2.
(Anggota)
3.
3.
(Anggota)
4.
4.
(Anggota)

vii
ABSTRAK

Ali Husein Rafsanjani. Pembagian Waris yang Meniadakan Harta bersama (Studi
Kasus Kecamatan Kertak Hanyar). Skripsi, Pembimbing: Farihatni Mulyati, S.Ag.,
M.H.I., pada Program Studi Hukum Keluarga Islam (Ahwal Al-Syakhṣiyyah),
Fakultas Syariah UIN Antasari. 2023.

Kata Kunci: Pembagian, waris dan harta bersama

Penelitian ini dilatarbelakangi adanya perbedaan pendapat mengenai harta


bersama pada saat pembagian harta warisan yang mana tidak ada nash dalam Al-
Qur’an maupun hadits yang menerangkan kasus tersebut, sehingga terjadinya
konflik dalam satu keluarga.

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian lapangan (field research)


dengan pendekatan yuridis normatif dengan menelaah teori-teori, konsep, asas-asas
hukum serta perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini dan
berlokasi di Kecamatan Kertak Hanyar. Teknik pengumpulan data melalui
wawancara yang tak berstruktur. Hasil penelitian diolah dengan teknik editting,
deskripsi dan matriksasi, selanjutnya dianalisis secara sistematis yang mengacu
pada hukum positif dan hukum Islam.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap satu keluarga yang


terdiri dari, istri, dua anak perempuan dan satu anak laki-laki, menunjukkan adanya
perbedaan pendapat mengenai harta bersama sebelum dilakukan pembagian waris.
Hal ini dibuktikan dari pernyataan istri dan anak ketiga yang menginginkan adanya
pembagian harta bersama sebelum pembagian waris dilakukan karena menurut
mereka ada dasar hukumnya yaitu dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo
Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan Pasal 35 dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Pasal 96 dan 97. Kemudian dibantah oleh anak laki-laki
dengan pernyataan bahwa seorang ibu rumah tangga tidak ada kontribusi dalam hal
menafkahi keluarga dan juga tidak ada nash yang menjelaskan bahwa harta bersama
harus dibagikan terlebih dahulu sebelum pembagian waris. Dengan demikian
ibunya memilih mengalah kepada anak kedua dan diikuti oleh dua anak
perempuannya.

viii
MOTTO

“Jangan bandingkan proses dirimu dengan orang lain, karena bunga yang tumbuh

dan mekar tidak selalu secara bersamaan”

“Yakinlah, ada sesuatu yang menantimu setelah banyak kesabaran (yang kau

jalani), yang akan membuatmu terpana hingga kau lupa betapa pedihnya rasa

sakit” (Ali bin Abi Thalib)

ix
PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini penyusun persembahkan kepada orang tua tercinta dan

segenap orang yang bertanya melulu tanpa henti, “kapan sidangnya?”.

Sekian terima Kasih

x
PEDOMAN TRANSLITER ARAB-INDONESIA

Transliterasi kata Arab ke dalam huruf Latin dalam skripsi ini berpedoman

pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia Tanggal 22 Januari 1988 Nomor 157/1987 dan

0593/1987.

I. Konsonan tunggal

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama


‫ا‬ alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan

‫ب‬ ba B be

‫ت‬ ta’ T te

‫ث‬ s\a’ s\ es (dengan titik di atas)

‫ج‬ jim J je

‫ح‬ h}a’ h} ha (dengan titik di bawah)

‫خ‬ kha’ kh ka dan ha

‫د‬ dal D de

‫ذ‬ z\al z\ zet (dengan titik di atas)

‫ر‬ ra’ R er

‫ز‬ zai Z zet

‫س‬ sin S es

‫ش‬ syin sy es dan ye

‫ص‬ s}ad s} es (dengan titik di bawah)

‫ض‬ d}ad} d} de (dengan titik di bawah)

‫ط‬ t}a’ t} te (dengan titik di bawah)

‫ظ‬ z}a’ z} zet (dengan titik di bawah)

xi
‫ع‬ ‘ain ‘ koma terbalik di atas

‫غ‬ gain g ge

‫ف‬ fa’ f ef

‫ق‬ qaf q qi

‫ك‬ kaf k ka

‫ل‬ lam L ‘el

‫م‬ mim m ‘em

‫ن‬ nun n ‘en

‫و‬ waw w we

‫ه‬ ha’ h ha

‫ء‬ hamzah ` apostrof

‫ي‬ ya’ y ye

II. Konsonan rangkap karena syaddah ditulis rangkap

‫متكبّر‬ ditulis mutakabbir

‫القدوس‬ ditulis al-qudu>s

III. Ta’ marbutah di akhir kata

a. Bila dimatikan ditulis h

‫متكبّر‬ ditulis mutakabbir

‫القدوس‬ ditulis al-qudu>s


(ketentuan ini tidak diperlukan untuk kata-kata Arab yang sudah terserap
dalam bahasa Indonesia, seperti salat, surat, ayat, zakat dan zebagainya,
kecuali bila dikehendaki lafal aslinya).
b. Bila diikuti dengan kata sandang ‘al’ serta bacaan kedua terpisah, maka ditulis

dengan h
xii
‫المكتبة الجميلة‬ ditulis al-maktabah al-jami>lah

IV. Vokal pendek


َ
Fathah ditulis a

Kasrah ditulis i
َ
َ
Dammah ditulis u

‫شكر‬ Fathah ditulis syakara

‫قرأ‬ Kasrah ditulis quri’a

‫ينطق‬ dammah ditulis yant}iqu

V. Vokal panjang
fathah + alif ditulis a>
1
‫كاملة‬ ditulis ka>milah
fathah + ya mati ditulis a>
2
‫صلى‬ ditulis s}alla>
kasrah + ya mati ditulis i>
3
‫شديد‬ ditulis syadi>d
dammah + wawu
ditulis u>
4 mati
ditulis s}udu>r
‫صدور‬

VI. Vokal rangkap


fathah + ya mati ditulis ai
1
‫رويد‬ ditulis ruwaidun
2 fathah + wawu mati ditulis au

xiii
‫األوتاد وفرعون ذي‬ ditulis wa fir’auna z\i al-auta>d

VII. Vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan
apostrof
‫أأنتم أشد خلقا‬ ditulis a’antum asyaddu khalqan

VIII. Kata sandang alif+lam


a. Bila diikuti huruf Qamariyyah
‫القران‬ ditulis al-Qur’a>n

‫الكتاب‬ ditulis al-kita>b

b. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan diidgamkan


‫الصبح‬ ditulis as}-s}ubh}u

‫الساهرة‬ ditulis as-sa>hirah

IX. Penulisan Kata-Kata Dalam Rangkaian Kalimat


Ditulis menurut bunyi atau pengucapannya dengan menulis penulisannya
‫بر الوالدين‬ ditulis birru al-wa>lidaini

‫إذا الشمس‬ ditulis Iz\a asy-syamsu

xiv
KATA PENGANTAR

‫الرحيــم‬
ّ ‫الرحمن‬
ّ ‫بــسم هللا‬
Segala puji hanyalah bagi Allah Swt., atas segala limpahan karunia, nikmat,

dan petunjuk-Nya sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat

serta salam selalu kita haturkan kepada panutan Nabi Besar Muhammad Saw.,

keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau hingga akhir zaman. Lepas dari khilaf

dan segala kekurangan, penulis merasa sangat bersyukur telah menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Pembagian Waris Yang Meniadakan Harta Bersama (Studi

Kasus Kecamatan Kertak Hanyar)”, sebagai salah satu syarat guna memperoleh

gelar strata satu Sarjana Hukum, pada Fakultas Syariah UIN Antasari Banjarmasin.

Penulis menyadari sepenuhnya, telah banyak mendapatkan dukungan,

bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak yang telah menyumbangkan pikiran,

waktu, tenaga dan sebagainya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan setulus

hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Mujibburahman, M.A., selaku Rektor Universitas Islam

Negeri Antasari Banjarmasin.

2. Ibu Dr. Hj. Amelia Rahmaniah, M.H. selaku Dekan Fakultas Syariah UIN

Antasari Banjarmasin

3. Bapak Abdul Hafiz Sairazi, S.H.I, M.H.I dan Bapak H. Rahmat Fadillah, S.H.I,

M.H., selaku ketua dan sekretaris program studi Hukum Keluarga Islam,

Fakultas Syariah UIN Antasari Banjarmasin.

xv
4. Ibu Farihatni Mulyati, S.Ag., M.H.I., selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan saran serta meluangkan waktunya kepada penulis selama

menyelesaikan skripsi.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah UIN Antasari Banjarmasin yang telah

memberikan bekal ilmu yang bermanfaat bagi penulis.

6. Bapak dan Ibu Tenaga Kependidikan Fakultas Syariah.

7. Ibu dan Bapakku, terima kasih atas doa, cinta dan pengorbanan yang tidak

pernah ada habisnya, kasih sayangmu tak pernah kulupakan.

Semoga Allah Swt., membalas segala bentuk kebaikan pihak-pihak yang

terkait. Akhir kata penulis mengharapkan ampunan dan Ridha Allah Swt., semoga

karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak dan menambah

khazanah pengetahuan, Amin.

Banjarmasin, 7 Juni 2023


Penulis,

(Ali Husein Rafsanjani)

xvi
DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ............................................................ ii

PERSETUJUAN................................................................................................... vi

PENGESAHAN ................................................................................................... vii

ABSTRAK .......................................................................................................... viii

MOTTO ................................................................................................................ ix

PERSEMBAHAN.................................................................................................. x

PEDOMAN TRANSLITER ARAB-INDONESIA ............................................ xi

KATA PENGANTAR ......................................................................................... xv

DAFTAR ISI ...................................................................................................... xvii

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xix

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xx

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian.................................................................................. 5
D. Signifikasi Penelitian............................................................................ 5
E. Definisi Operasional ............................................................................. 6
F. Kajian Pustaka ...................................................................................... 7
G. Sistematika Penulisan........................................................................... 9

BAB II KETENTUAN HUKUM WARIS TENTANG HARTA BERSAMA11

A. Pengertian Harta Bersama .................................................................. 11


B. Ruang Lingkup Harta Bersama .......................................................... 13
xvii
C. Jenis-Jenis Harta Bersama.................................................................. 16
D. Ketentuan Hukum Tentang Harta Bersama ....................................... 19
E. Pengertian Waris ................................................................................ 23
F. Dasar Hukum Harta Warisan ............................................................. 25
G. Rukun dan Syarat Waris ..................................................................... 30
H. Pembagian Warisan ............................................................................ 32

BAB III METODE PENELITIAN ................................................................... 39

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ......................................................... 39


B. Lokasi Penelitian ................................................................................ 40
C. Subjek dan Objek Penelitian .............................................................. 40
D. Data dan Sumber Data........................................................................ 40
E. Teknik Pengumpulan data .................................................................. 41
F. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data ....................................... 43
G. Tahapan Penulisan.............................................................................. 45

BAB IV LAPORAN PENELITIAN DAN ANALISIS .................................... 47

A. Gambaran Umum Kecamatan Kertak Hanyar ................................... 47


B. Penyajian Data.................................................................................... 49
C. Analisis Data dan Hasil Penelitian ..................................................... 58

BAB V PENUTUP .............................................................................................. 67

A. Kesimpulan......................................................................................... 67
B. Saran ................................................................................................... 68

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 69

LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 72

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... 88

xviii
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Matriks .................................................................................................. 56

Tabel 4.2 Pembagian Waris .................................................................................. 59

Tabel 4. 3 Pembagian Waris ................................................................................. 63

xix
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Sertifikat Bebas Plagiasi ................................................................... iii

Lampiran 2 : Lembar Bimbingan Skripsi............................................................... iv

Lampiran 3 : SK Pembimbing .............................................................................. 72

Lampiran 4 : Berita Acara ..................................................................................... 73

Lampiran 5 : SK Penguji Ujian Proposal .............................................................. 74

Lampiran 6 : SK Telah Melaksanakan Revisi Proposal........................................ 75

Lampiran 7 : SK Izin Riset.................................................................................... 76

Lampiran 8 : SK Telak Melaksanakan Riset......................................................... 77

Lampiran 9 : Hasil Pembagian waris dari notaris ................................................. 78

Lampiran 10 : SK Lulus Ujian Komprehensif ...................................................... 84

Lampiran 11 : Sertifikat Baca Tulis Al-Qur’an .................................................... 85

Lampiran 12 : Sertifikat LKK Komputer .............................................................. 86

Lampiran 13 : SK Perolehan SKK ........................................................................ 87

xx
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara hukum yang di mana untuk mencapai

kehidupan masyarakat yang aman, tenteram, tertib dan adil maka hukum harus

diterapkan dengan baik dan benar. Diberlakukannya hukum positif bagi

masyarakat Indonesia maka kita harus menaati dan menghormatinya begitu juga

diberlakukannya hukum Islam bagi orang-orang yang beragama Islam. Di dalam

berkehidupan masyarakat setiap orang memiliki kebiasaan sesuai dengan tempat

tinggalnya, baik adat ataupun suatu keadaan masyarakat tertentu. Tidak

terkecuali jika seseorang meninggal dunia, maka harta peninggalannya akan

diberikan kepada keluarga atau ahli warisnya yang ditinggalkan.

Dalam hukum Islam ketika seseorang meninggal dunia, maka harta yang

ditinggalkan akan dibagikan kepada keluarganya yang disebut dengan harta

warisan. Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara

keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan yang

sering kali di abaikan oleh kebanyakan masyarakat. Hukum waris sangat erat

hubungannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, karena setiap manusia

pasti akan mengalami kematian. Dengan terjadinya kematian maka akibat

hukum yang timbul adalah peristiwa hukum kematian seseorang, yaitu

menyelesaikan pengurusan hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia.

Harta waris atau fiqh mawaris dalam perspektif Islam ialah sejumlah harta benda

1
2

serta segala hak dari yang meninggal dalam keadaan bersih. Artinya, harta

peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris ialah sejumlah harta benda serta

segala hak, setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan

pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si pewaris.1

Sebelum dibagikannya harta warisan kepada ahli warisnya, ada yang namanya

harta bersama antara suami istri atau lebih dikenal dengan harta gono-gini. Harta

bersama adalah harta yang diperoleh suami istri selama ikatan perkawinan.

Bilamana suami istri bekerja, lalu bersepakat menjadikan penghasilan yang

diperolehnya untuk di satukan saja, maka harta yang dikumpulkan ini disebut

harta bersama.2 Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 35

(1) mendefinisikan harta bersama adalah harta yang diperoleh selama

perkawinan.3 Artinya bahwa terbentuknya harta bersama dalam perkawinan

ialah sejak tanggal terjadinya perkawinan sampai perkawinan tersebut putus

karena perceraian atau karena kematian. Berbeda dengan harta bawaan masing-

masing suami atau istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah

atau warisan yang disebut dengan harta pribadi yang sepenuhnya berada di

bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.4

1
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, 2 ed. (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hal. 13.

2
Muhammad Thalib, Manajemen Keluarga Sakinah (Jakarta: Pro-U Media, 2007), hal. 359.

3
“UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [JDIH BPK RI],” diakses 11 April 2023,
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/47406/uu-no-1-tahun-1974.

4
Bahder Johan Nasution, Hukum perdata Islam: kompetensi peradilan agama tentang
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, dan shodaqah (Mandar Maju, 1997), hal. 33.
3

Harta bersama atau harta gono-gini di sini adalah harta yang di dapat

suami atau istri selama perkawinan mereka. Pengakuan harta bersama dalam

keluarga di sini suami bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan

istri baik ia bekerja maupun sebagai ibu rumah tangga diperhitungkan sebagai

“menghasilkan”. Karena masing-masing menghasilkan sesuatu dalam

perkawinan tersebut.5

Pengaturan harta bersama di atur dalam Pasal 35 ayat 1 Undang-undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “harta benda yang diperoleh

selama perkawinan menjadi harta bersama.”6 Kemudian untuk pembagian harta

bersama di atur dalam Pasal 37 Undang-undang Perkawinan bahwa “apabila

perkawinan putus karena perceraian, harta bersama di atur menurut hukumnya

masing-masing.”7 Untuk pasangan yang beragama Islam, maka pembagian harta

bersama ketika terjadi perceraian akan di dasarkan atas Pasal 97 KHI bahwa

“Janda atau duda yang bercerai, maka masing-masing berhak seperdua dari harta

bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan,”8 dan

untuk pembagian harta bersama ketika terjadi cerai mati, maka akan di dasarkan

5
Ana Suheri, “Penyelesaian Sengketa Harta Gono-gini Dilihat dari Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam,” Morality 2, no.
2 (2015): hal. 3.

6
“UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [JDIH BPK RI].”

7
“UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [JDIH BPK RI].”

8
Mahkamah Agung RI, ed., Himpunan Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan
Dengan Kompilasi Hukum Islam Dengan Pengertian Dalam Pembahasannya (Jakarta: Mahkamah
Agung RI, 2011).
4

dalam Pasal 96 KHI bahwa “Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta

bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.”9

Pembagian harta warisan yang meniadakan harta bersama adalah

pembagian harta bersama oleh para ahli waris tanpa memandang adanya harta

bersama. hal ini mungkin karena perbedaan pendapat atau peraturan ahli waris,

sehingga mereka memutuskan untuk tidak mempertimbangkan harta bersama

dalam warisan. Kondisi ini dapat menimbulkan konflik antara ahli waris yang

bersangkutan, apalagi jika terjadi ketidakadilan dalam pembagian harta warisan.

Dalam hal ini terjadi satu keluarga di Kecamatan Kertak Hanyar tepatnya

di Komplek Permata Bunda pada saat pembagian waris, ketika itu terjadi

keributan mengenai harta bersama apakah di pakai atau tidak. Menurut pendapat

pertama selaku istri, anak pertama dan anak ketiga mengatakan bahwa harta

bersama dapat dibagikan ketika terjadi putusnya perkawinan karena perceraian

dan kematian karena hal ini terdapat dalam KHI Pasal 96 ayat (1) yang

menyatakan “Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi

hak pasangan yang hidup lebih lama”10 dan dapat menjamin keberlangsungan

hidup si istri di masa tua. Kemudian pendapat kedua selaku anak kedua dari si

pewaris mengatakan bahwa harta bersama dapat dibagikan terjadi karena

putusnya perkawinan karena perceraian saja, karena apabila di hubungkan

dengan putusnya perceraian karena kematian itu tidak adil terkecuali anak-

9
Mahkamah Agung RI.

10
Mahkamah Agung RI.
5

anaknya masih kecil atau masih dalam tanggungan orang tua sedangkan yang

terjadi anak-anaknya telah dewasa dan memiliki penghasilan masing-masing.

Berdasarkan pendapat satu keluarga tersebut, terdapat permasalahan

yaitu istri, anak pertama dan anak ketiga menginginkan ketika pembagian waris

harus memuat yang namanya harta bersama, tetapi anak kedua tidak

menginginkan pembagian harta bersama. Atas dasar pertimbangan tersebut

penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan dengan judul “PEMBAGIAN

WARIS YANG MENIADAKAN HARTA BERSAMA (STUDI KASUS DI

KECAMATAN KERTAK HANYAR)”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pembagian waris satu keluarga yang meniadakan harta bersama

yang terjadi di Kecamatan Kertak Hanyar?

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam tentang pembagian waris yang meniadakan

harta bersama?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pembagian waris satu keluarga yang meniadakan harta

bersama yang terjadi di Kecamatan Kertak Hanyar.

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam tentang pembagian waris yang

meniadakan harta bersama.

D. Signifikasi Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat penelitian, di

antaranya:
6

1. Meningkatkan dan mengembangkan kemampuan berpikir melalui karya

ilmiah dalam menempatkan teori-teori yang diperoleh selama perkuliahan di

UIN Antasari Banjarmasin.

2. Bagi akademis hasil penelitian ini dapat menambah pustaka yang ada di

perpustakaan UIN Antasari Banjarmasin.

E. Definisi Operasional

Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dalam mengartikan judul

yang akan diteliti dan kekeliruan dalam memahami tujuan penelitian ini maka

perlunya definisi operasional agar penelitian ini lebih terarah. Maka peneliti

mendefinisikan beberapa istilah, antara lain:

1. Waris

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, waris adalah orang yang

berhak menerima harta pusaka kepada orang yang telah meninggal.11 Waris

menurut hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta

kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi

para ahli warisnya.12 Waris yang di maksud dalam penelitian ini adalah orang

yang menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal kepada ahli

warisnya dengan meniadakan harta bersama.

11
“Etimologi - KBBI Daring,” diakses 17 Mei 2023,
https://kbbi.kemdikbud.go.id/Cari/Etimologi?eid=91076.

12
Effendi Perangin, Hukum Waris (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hal. 3.
7

2. Harta Bersama

Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, harta bersama adalah harta

yang digunakan (dimanfaatkan) bersama-sama.13 Harta bersama ialah harta

yang dimiliki atau diperoleh sepasang suami istri selama dalam ikatan

pernikahan baik suami istri yang bekerja atau hanya salah satunya saja. Harta

bersama yang dimaksud dalam penelitian ini ialah pembagian harta bersama

cerai mati yang telah diperoleh suami istri selama perkawinan berlangsung

baik suami istri yang bekerja atau hanya salah satunya saja.

F. Kajian Pustaka

Berdasarkan penelaahan yang telah dilakukan terhadap penelitian

terdahulu, penulis menemukan penelitian yang saling berkaitan, di antaranya:

Pertama, dari Muhammad Kholil Hushori NIM: 21141018 Universitas

Islam Negeri Sumata Utara Medan 2018, dengan judul Pembagian Harta

Bersama Setelah Terjadinya Cerai Mati Pada Masyarakat Desa Ara Condong

Kabupaten Langkat (Tinjauan Berdasarkan Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam).

Penelitian ini membahas tentang pembagian harta bersama setelah terjadinya

cerai mati yang berada di desa Ara Condong Kabupaten Langkat dengan tinjauan

Pasal 96 KHI.

Kedua, dari M. Beni Kurniawan, jurnal yudisial, Fakultas Hukum,

Universitas Indonesia. Vol. 11 No. 1 April 2018, dengan judul Pembagian Harta

Bersama Ditinjau Dari Besaran Kontribusi Suami Istri Dalam Perkawinan

13
“Hasil Pencarian - KBBI Daring,” diakses 17 Mei 2023,
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/harta%20bersama.
8

Kajian Putusan Nomor 618/PDT.G/2012/PA.BKT. Penelitian ini membahas

tentang pembagian harta bersama dengan menilai besaran kontribusi suami atau

istri, di mana pembagian yang adil tidak harus 50 persen untuk suami dan 50

persen untuk istri.

Ketiga, dari Liky Faizal, Jurnal Ijtima’iyya, Fakultas Syariah, IAIN

Raden Intan Lampung. Vol. 8 No. 2 Agustus 2015, dengan judul Harta Bersama

Dalam Perkawinan. Penelitian ini membahas tentang kedudukan harta bersama

dalam perkawinan dalam tinjauan hukum Islam dan hukum positif Indonesia.

Keempat, dari Tetty Hariyati, Jurnal Adigama, Fakultas Hukum,

Universitas Tarumanagara. Dengan judul Analisis Pembagian Harta Bersama

Dalam Kondisi Mati Kalalah (Studi Kasus Putusan Nomor 197/K/AG/2015).

Penelitian ini membahas tentang pembagian harta bersama dalam kondisi

kalalah menurut hukum kewarisan Indonesia dan pertimbangan hakim yang di

mana pembagian harta bersama akibat kematian tidak dibagi secara gono gini.

Kelima, dari Hanungrah Zulaiha NPM: 1721040019 Fakultas Syariah,

Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung 2021, dengan judul Hak

Pembagian Harta Waris Setelah Pembagian Harta Bersama Salah Satu

Pasangan Yang Meninggal Perspektif Hukum Islam (Studi di Desa La’ay

Kecamatan Karya Penggawa Kabupaten Pesisir Barat). Penelitian ini

membahas tentang hak pembagian harta waris setelah harta bersama dan tinjauan

hukum Islam terhadap pembagian harta waris setelah pembagian harta bersama

di desa La’ay Kecamatan Karya Panggawa Kabupaten Pesisir Barat.


9

Dari beberapa penelitian di atas jelas jauh berbeda dengan penelitian

yang akan di teliti penulis yaitu, permasalahan yang diangkat oleh penulis adalah

pembagian waris satu keluar yang meniadakan harta bersama, kemudian tempat

yang diteliti oleh penulis berada di Kecamatan Kertak Hanyar dan penulis juga

menambah data tambahan pendapat notaris terkait pembagian waris yang

dilakukan satu keluarga tersebut yang meniadakan harta bersama.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami dam mempelajari skripsi ini,

maka di sini akan dijelaskan mengenai sistematika penulisan melalui langkah-

langkah yang terdiri dari lima bab yang menjadi bahasan penjelasan.

BAB I Pendahuluan: Merupakan bab pendahuluan yang berisikan

tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

definisi operasional, Kajian pustaka dan sistematika penulisan.

BAB II Landasan Teori: membahas tentang pembagian harta bersama

pada saat terjadinya cerai mati.

BAB III Metode Penelitian: berisi tentang metode penelitian yang terdiri

dari jenis, sifat, lokasi penelitian, subjek dan objek, data dan sumber data, teknik

pengumpulan data, teknik pengolahan data, teknik pengolahan dan analisis data

serta prosedur penelitian.

BAB IV Penyajian Data: berisi tentang gambaran umum lokasi penelitian

dan hasil penelitian. Gambaran lokasi penelitian merupakan gambaran umum

lokasi yang diteliti yaitu Kecamatan Kertak Hanyar Komplek Permata Bunda

KM. 7, kemudian hasil wawancara bersama para informan.


10

BAB V Penutup: yang meliputi kesimpulan, saran dan memberikan

rekomendasi sebagai masukan pemikiran hasil analisis.


BAB II

KETENTUAN HUKUM WARIS TENTANG HARTA BERSAMA

A. Pengertian Harta Bersama

Sebelum itu penulis terlebih dahulu uraikan arti perkawinan, karena

pengertian perkawinan dalam tatanan hukum mempunyai akibat langsung

terhadap harta benda dalam perkawinan. Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa “perkawinan adalah ikatan

lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”.1 Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia dalam Pasal 2 menyatakan “perkawinan menurut hukum Islam adalah

pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau Miitsaaqon gholiidzan untuk

menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.2 Kekayaan

duniawi inilah yang disebut harta perkawinan, harta keluarga ataupun harta

bersama.3

Harta bersama adalah salah satu jenis harta yang dimiliki oleh seseorang.

Dalam kehidupan sehari-hari, harta memiliki makna yang penting bagi

seseorang karena dengan memiliki harta, mereka dapat memenuhi kebutuhan

1
“UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [JDIH BPK RI].”

2
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Cita Pustaka, 2001), hal.
114.

3
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Cet. 13 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 1995), hal. 149.

11
12

hidup secara normal dan mendapat status yang baik di masyarakat. Pentingnya

ini tidak hanya dari segi manfaat ekonomi, tetapi juga dari segi organisasinya.

Namun, secara hukum banyak orang mungkin belum memahami peraturan

hukum yang mengatur tentang harta, terutama dalam perkawinan di mana suami

dan istri memperoleh harta bersama.

Secara bahasa, harta bersama adalah dua kata yang terdiri dari kata harta

dan bersama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “harta dapat berarti

barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan dan dapat berarti

kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai.” Harta bersama berarti

harta yang dipergunakan bersama-sama.4

Harta Bersama merujuk pada kekayaan yang diperoleh selama

perkawinan tanpa melibatkan hadiah atau warisan. Artinya, harta tersebut

didapat melalui usaha bersama atau secara individu selama masa perkawinan.

Definisi ini sejalan dengan Bab VII mengenai harta dalam perkawinan, yaitu

Pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang secara terperinci menyatakan

hal berikut:

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama.

2. Harta bawaan dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di

bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan

lain. 5

4
Ahmad Warson Munawwir, “Kamus Al-Munawwir” (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997), hal. 342.

5
“UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [JDIH BPK RI].”
13

Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan penjelasan

tentang harta bersama, yaitu terdapat pada Pasal 1 huruf F bahwa “harta

kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik

sendiri-sendiri atau bersama-sama suami istri selama dalam ikatan perkawinan

berlangsung, dan selanjutnya disebut harta bersama tanpa mempersoalkan

terdaftar atas nama siapa pun.6

Oleh karena itu, bahwa harta bersama merujuk pada kekayaan yang

diperoleh selama pernikahan yang sah. Suami dan istri mempunyai hak dan

kewajiban yang sama terhadap harta bersama, yang di atur dalam Undang-

Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 51:

(1) Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan

tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan

dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan

hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama.

(3) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama

dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta

bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.7

B. Ruang Lingkup Harta Bersama

6
Mahkamah Agung RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan
Dengan Kompilasi Hukum Islam Dengan Pengertian Dalam Pembahasannya, hal. 51.

7
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
14

Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah

menentukan aturan tentang harta bersama, baik Pasal 35 ayat (1), Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 maupun dalam Komplikasi Hukum Islam (KHI) telah

ditentukan bahwa segala harta yang diperoleh selama perkawinan dengan

otomatis menurut hukum menjadi harta bersama. Adapun ruang lingkup tentang

harta bersama dalam suatu perkawinan, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Harta yang dibeli selama perkawinan

Patokan pertama untuk menentukan apakah suatu barang termasuk

objek harta bersama atau tidak, ditentukan pada saat pembelian. Setiap barang

yang dibeli selama perkawinan, harta tersebut menjadi objek harta bersama

suami istri tanpa mempersoalkan apakah suami atau istri yang membeli,

apakah harta tersebut terdaftar atas nama suami atau istri di mana harta

tersebut terletak. Apa saja yang dibeli selama perkawinan berlangsung

otomatis menjadi harta bersama tidak menjadi soal siapa di antara suami istri

yang membeli. Yang penting harta tersebut dibeli dalam masa perkawinan. 8

2. Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta

bersama

Patokan untuk menentukan sesuatu barang termasuk objek harta

bersama, ditentukan oleh asal-usul uang biaya pembelian atau pembangunan

8
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Jakarta: Sinar
Grafika, 2003), hal. 275-278.
15

barang yang bersangkutan, meskipun barang itu dibeli atau dibangun sesudah

terjadi perceraian.9

Contohnya ketika suami istri selama masa perkawinan memiliki

kekayaan dan tabungan. Lalu terjadi perceraian, semua harta dan tabungan

yang masih dikuasai oleh suami dan belum dibagikan. Dari tabungan itu,

suami memutuskan untuk membeli atau membangun sebuah rumah. Dalam

kasus seperti ini, rumah yang diperoleh atau dibangun oleh suami setelah

perceraian, tetapi apabila uang itu untuk membeli atau membangun rumah

tersebut berasal dari harta bersama, maka rumah tersebut tetap dianggap

sebagai harta bersama.

3. Harta yang dapat dibuktikan dan diperoleh selama perkawinan

Patokan ini sejalan dengan kaidah hukum harta bersama. Semua harta

yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama.

Namun kita sadar bahwa dalam sengketa perkara harta bersama, tidak

semulus dan sesederhana itu. Pada umumnya, setiap perkara harta bersama,

pihak yang digugat selalu mengajukan bantahan bahwa harta bersama yang

digugat bukan harta bersama, tetapi harta pribadi. Hak pemilikan tergugat

bisa dialihkan berdasarkan atas hak pembelian, warisan atau hibah. Apabila

tergugat mengajukan dalih yang seperti itu, patokan untuk menentukan

apakah suatu barang termasuk harta bersama atau tidak, ditentukan oleh

kemampuan dan keberhasilan penggugat membuktikan harta-harta yang di

9
Yahya Harahap, 275–278.
16

gugat benar-benar diperoleh selama perkawinan berlangsung, dan uang

pembeliannya tidak berasal dari uang pribadi.10

4. Penghasilan harta bersama dan harta bawaan

Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama atau berasal dari harta

berama akan menjadi harta bersama. Akan tetapi, bukan hanya yang tumbuh

dari harta bersama yang jatuh menjadi objek harta bersama di antara suami

istri, namun juga termasuk penghasilan yang tumbuh dari harta pribadi suami

istri akan jatuh menjadi objek harta bersama.11

5. Segala penghasilan pribadi suami istri

Segala penghasilan pribadi suami atau istri, baik yang diperoleh dari

keuntungan bisnis masing-masing ataupun hasil perolehan pribadi masing-

masing sebagai karyawan menjadi bagian dari harta bersama suami atau istri.

Oleh karena itu, selama tidak terjadi pemisahan penghasilan pribadi suami

atau istri, secara otomatis akan digabungkan ke dalam harta bersama.

C. Jenis-Jenis Harta Bersama

Jika diperhatikan asal usul harta suami istri diperoleh, dapat disimpulkan

bahwa ada tiga sumber yaitu:

1. Harta masing-masing suami istri yang telah dimilikinya sebelum kawin baik

diperolehnya karena mendapat warisan atau usaha-usaha lainnya disebut

sebagai harta bawaan.

10
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Yogyakarta:
Liberty, 1997), hal. 99.

11
Soemiyati, hal. 99.
17

2. Harta masing-masing suami istri yang diperolehnya selama berada dalam

hubungan perkawinan, tetapi diperoleh bukan karena usaha mereka bersama

maupun sendiri-sendiri, tetapi diperolehnya karena hibah, warisan ataupun

wasiat untuk masing-masing.

3. Harta yang diperoleh setelah mereka berada dalam hubungan perkawinan atas

usaha mereka berdua atau salah satu pihak dari mereka disebut harta

pencaharian.12

Dari segi hukum, harta bersama yang dimiliki oleh suami istri diatur

dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 35 dan 36 sebagai

berikut:

Pasal 35:

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda

bersama;

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang

diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah

penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.13

Pasal 36:

(1) Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan

kedua belah pihak.

12
Soemiyati, hal. 99.

13
“UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [JDIH BPK RI].”
18

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak

sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.14

Kemudian dalam Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan

bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan

adanya harta milik masing-masing suami atau istri.15 Adapun jenis-jenis harta

bersama dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 91 sebagai berikut:

(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 di atas dapat berupa

benda berwujud atau tidak berwujud.

(2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda

bergerak dan surat-surat berharga.

(3) Harta bersama tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.

(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak

atas persetujuan pihak lainnya.16

Mengamati Pasal 91 Kompilasi Hukum Islam (KHI) di atas, dapat

disimpulkan bahwa harta bersama merujuk kepada benda milik suami dan istri

yang memiliki nilai ekonomi dan nilai hukum, artinya memiliki nilai yang

berguna dan diatur oleh hukum. Benda yang termasuk harta bersama dapat

berupa benda yang bergerak dan tidak bergerak, surat-surat berharga, serta hak

dan kewajiban yang tidak berwujud.

14
“UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [JDIH BPK RI].”

15
Mahkamah Agung RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan
Dengan Kompilasi Hukum Islam Dengan Pengertian Dalam Pembahasannya, hal. 85.

16
Mahkamah Agung RI, hal. 86.
19

D. Ketentuan Hukum Tentang Harta Bersama

1. Harta bersama menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan

Mengenai harta bersama dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan pada bab VII dengan judul “harta bersama dalam perkawinan”

terdapat 3 Pasal yaitu Pasal 35, 35 dan 37 sebagai berikut:

Pasal 35:

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

(2) Harta bawaan dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di

bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak sudah

menentukan lain.17

Pasal 36:

(1) Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas

persetujuan kedua belah pihak.

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak

sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta

bendanya.18

Pasal 37:

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut

hukumnya masing-masing. 19

17
“UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [JDIH BPK RI].”

18
“UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [JDIH BPK RI].”

19
“UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [JDIH BPK RI].”
20

2. Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam

Tentang harta bersama juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam

(KHI) yakni dalam Pasal 85, 86, 87, 88, 91, 96 dan 97 sebagai berikut:

Pasal 85 KHI:

Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan

adanya harta milik masing-masing suami atau istri.20

Pasal 86 KHI:

(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri

karena perkawinan.

(2) Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian

juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.21

Pasal 87 KHI:

(1) Harta bawaan masing-masing suami dan istri dari harta yang diperoleh

masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam

perjanjian perkawinan.

(2) Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan

hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sedekah atau

lainnya.22

Pasal 88 KHI:

20
Mahkamah Agung RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan
Dengan Kompilasi Hukum Islam Dengan Pengertian Dalam Pembahasannya, hal. 85.

21
Mahkamah Agung RI, hal. 86.

22
Mahkamah Agung RI, hal. 86.
21

Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka

penyelesaian itu diajukan kepada Pengadilan Agama.23

Pasal 91 KHI:

(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 di atas dapat berupa

benda berwujud atau tidak berwujud.

(2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak,

benda bergerak dan surat berharga.

(3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.

(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai jaminan oleh salah satu pihak atas

persetujuan pihak lainnya.24

Pasal 96 KHI:

(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak

pasangan yang hidup lebih lama.

(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau

suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya

yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan

Agama.25

Pasal 97 KHI:

23
Mahkamah Agung RI, hal. 86.

24
Mahkamah Agung RI, hal. 86.

25
Mahkamah Agung RI, hal. 88.
22

Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama

sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.26

3. Harta bersama dalam Hukum Islam

Dalam hukum Islam tidak mengatur mengenai harta bersama dan

harta bawaan yang dibawa ke dalam perkawinan, yang dijelaskan hanya

mengenai kepemilikan suami atau istri serta mahar saat pernikahan

dilangsungkan. Dalam al-Qur’an disebutkan dalam Q.S An-nisa ayat/4 : 32.

ِ ‫ص‬ ِ ِ ِِ ِ ‫ص‬ ِ ِ ِ
.. ‫ْب‬
َ ْ ‫يب ِمَّا ا ْكتَ َس‬ ٌ َ‫ ل ِلر َجال ن‬....
ٌ َ‫يب ِمَّا ا ْكتَ َسبُوا ۖ َوللن َساء ن‬

“...Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi
perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan...”27

Ayat tersebut bersifat umum dan tidak hanya ditujukan terhadap

suami atau istri, melainkan semua pria dan wanita. Jika mereka berusaha

dalam kehidupannya sehari-hari, maka hasil usaha mereka itu merupakan

harta pribadi yang dimiliki dan kuasai oleh pribadi masing-masing. Untuk

hukum waris ayat tersebut mengandung pengertian bahwa setiap pria atau

wanita mempunya hak untuk mendapatkan bagian harta warisan yang

ditinggalkan atau diberikan orang tua.28

26
Mahkamah Agung RI, hal. 88.

27
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an (1967)/Tim Penyempurnaan
Terjemahan Al-Qur’an (2016-2019), Al-Qur’an dan Terjemahannya Edisi Penyempurnaan 2019,
Cet. 1 (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019).

28
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia. Menurut : Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama, Cet. 3 (Bandung: Mandar Maju, 2007), hal. 117.
23

Pemahaman hukum Islam yang membedakan harta kekayaan

pasangan sebenarnya mempermudah pemisahan mana yang termasuk harta

suami dan mana yang termasuk harta istri, maka harta bawaan suami dan

mana harta bawaan istri sebelum perkawinan, mana harta suami atau istri

yang diperoleh secara individu selama perkawinan, serta mana harta bersama

yang diperoleh secara bersama selama perkawinan.

Padangan Islam juga menegaskan bahwa harta yang diperoleh oleh

suami selama masa perkawinan menjadi hak milik suami, sementara istri

hanya berhak atas nafkah yang diberikan oleh suami kepada dirinya.

Meskipun demikian, tidak ada ketentuan yang jelas dalam Al-Qur’an dan

Hadits bahwa harta yang diperoleh suami selama masa perkawinan

sepenuhnya menjadi milik suami dan istri hanya berhak atas nafkah yang

diberikan oleh suami.

E. Pengertian Waris

Kata Waris berasal dari bahasa arab yaitu miras. Bentuk jamaknya

adalah mawaris, yang berarti harta peninggalan orang yang meninggal yang

akan dibagikan kepada ahli warisnya. Ilmu yang mempelajari warisan disebut

‘ilm al-mawaris atau lebih dikenal dengan istilah faraidh. Kata faraidh

merupakan bentuk jamak dari faridah, yang diartikan oleh para ulama Faradiyun

semakna dengan kata mafrudah, yaitu bagian yang telah ditentukan kadarnya.29

29
Ernawati, Hukum Waris Islam, Cetakan Pertama (Bandung: Widina Bhakti Persada
Bandung, 2022), hal. 1.
24

Adapun istilah ilmu mawaris atau ilmu faraidh menurut fuqaha adalah

“Suatu ilmu yang dengannya dapat kita ketahui siapa yang dapat menerima dan

yang tidak dapat menerima pusaka, dan kadar atau bagian yang diterima oleh

tiap-tiap ahli waris dan metode pembagiannya.”30 Dalam pengertian ini,

perpindahan sesuatu dari satu orang ke orang lain termasuk segala sesuatu yang

dapat dipindahkan baik berupa materi, in materi atau abstrak, seperti

perpindahannya ilmu pengetahuan, sebagaimana sabda Nabi SAW:

‫إن الْعُلُ َماءُ َوَرثَةُ اْألَنْبِيَ ِاء‬


“Ulama adalah ahli waris para Nabi.”31

Dari uraian tentang faraidh di atas, dapat dipahami bahwa ilmu

faraidh atai fiqh mawaris adalah ilmu yang membahas tentang ahli waris dari

yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik itu harta warisan, orang

yang berhak atas warisan, bagian masing-masing ahli waris, dan cara

penyelesaian pembagian harta warisan.32

Hukum waris di Indonesia masih majemuk karena ada tiga sistem hukum

waris yang berlaku saat ini, yaitu hukum waris adat, hukum waris Islam dan

hukum waris perdata. Dalam hukum waris adat, pengertian hukum waris adat

adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-

30
Abdillah Mustari, Hukum Kewarisan Islam, Cetakan I (Makassar: Alauddin University
Press, 2013), hal. 2-3.

31
Abdillah Mustari, hal. 3.

32
Hikmatullah, Fiqh Mawaris: Panduan Kewarisan Islam, Edisi 1 (Serang: A-Empat,
2021), hal. 6.
25

asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris serta cara

bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemiliknya dari pewaris

kepada ahli waris.33 Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), telah

diatur dan dimasukkan dalam pengertian hukum waris. Menurut Pasal 171 huruf

a yaitu dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI),

menyatakan bahwa “hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang

pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan pewaris dan menentukan siapa

saja yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing.”34

Sedangkan menurut hukum waris perdata, pengertian hukum waris dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata tidak ditemukan, karena tidak ada ketentuan

dalam KUH Perdata tentang rumusan hukum waris. KUH Perdata hanya

menyebutkan dalam Pasal 830 KUH Perdata bahwa “pewarisan hanya terjadi

karena kematian.”35

F. Dasar Hukum Harta Warisan

Sumber hukum mengenai harta warisan menurut jumhur ulama ada tiga,

yaitu Al-Qur’an, Hadits, ‘ijma, dan Ijtihad sebagai berikut:

1. Al-Qur’an

Al-Qur’an inilah yang menjadi sumber hukum dari berbagai persoalan

seperti waris dan Islam berlandaskan kepada Al-Qur’an dan juga Hadits Nabi

33
Yulia, Buku Ajar Hukum Adat, Cet. I (Sulawesi: Unimal Press, 2016), hal. 79.

34
Mahkamah Agung RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan
Dengan Kompilasi Hukum Islam Dengan Pengertian Dalam Pembahasannya.

35
Filipp Levin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta, 1847).
‫‪26‬‬

‫‪Muhammad saw. Dalam hal ini termasuk permasalahan waris yang diatur‬‬

‫‪dengan besaran pembagian untuk masing-masing ahli waris. Hal ini sesuai‬‬

‫‪dengan firman Allah Q.S An-Nisa/4 : 11-12 yang berbunyi:‬‬

‫ْي ۚ فَإِ ْن ُك َّن نِساء فَ ْو َق اثْنَ تَ ْ ِ‬


‫ْي فَلَ ُه َّن ثُلُثَا َما‬ ‫اَّلل ِِف أ َْوََل ِد ُكم ۖ لِ َّ‬
‫لذ َك ِر ِمثْل َح ِظ ْاألُنْثَيَ ْ ِ‬ ‫ِ‬
‫ًَ‬ ‫ُ‬ ‫ْ‬ ‫يُوصي ُك ُم َُّ‬

‫اح ٍد ِمن هما السد ِ‬


‫اح َدةً فَلَها النِصف ۚ وِألَب وي ِه لِ ُك ِل و ِ‬
‫تَرَك ۖ وإِ ْن َكانَت و ِ‬
‫س ِمَّا تَ َرَك إِ ْن َكا َن لَهُ‬
‫ْ ُ َ ُّ ُ ُ‬ ‫َ‬ ‫َ ْ ُ َ ََ ْ‬ ‫ْ َ‬ ‫َ َ‬

‫س ۚ ِم ْن بَ ْع ِد‬ ‫ث ۚ فَإِ ْن َكا َن لَهُ إِ ْخ َوةٌ فَِِل ُِم ِه ا ُّ‬


‫لس ُد ُ‬
‫ِ‬
‫َولَ ٌد ۚ فَإِ ْن ََلْ يَ ُك ْن لَهُ َولَ ٌد َوَوِرثَهُ أَبَ َواهُ فَِل ُِم ِه الثُّلُ ُ‬

‫اَّللِ ۗ إِ َّن‬
‫يضةً ِم َن َّ‬
‫ب لَ ُك ْم نَ ْف ًعا ۚ فَ ِر َ‬
‫ٍِ ِ ِ‬
‫َوصيَّة يُوصي ِبَا أ َْو َديْ ٍن ۗ َ‬
‫آَب ُؤُك ْم َوأَبْنَا ُؤُك ْم ََل تَ ْد ُرو َن أَيُّ ُه ْم أَقْ َر ُ‬

‫أَز َواجُ ُك ْم إِ ْن ََلْ يَ ُك ْن ََلُ َّن َولَ ٌد ۚ‬


‫ف مَ ا تَ َر َك ْ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ص ُ‬
‫يما۞ َولَ ُك ْم ن ْ‬
‫يما َحك ً‬
‫اَّللَ َكا َن َعل ً‬
‫َّ‬

‫أَو‬ ‫وص ِ‬ ‫ِ ِ ٍ ِ‬ ‫ِ‬ ‫فَإِ ْن َك ا َن ََل َّن ولَ ٌد فَ لَ ُك م ُّ ِ‬


‫ْي ِبَا ْ‬
‫الربُعُ ِمَّا تَ َر ْك َن ۚ م ْن بَ عْ د َوص يَّ ة يُ َ‬ ‫ُ‬ ‫ُ َ‬

‫الربُعُ ِِمَّا تَ َر ْك تُ ْم إِ ْن ََلْ يَ ُك ْن لَ ُك ْم َولَ ٌد ۚ فَإِ ْن َك ا َن لَ ُك ْم َولَ ٌد فَ لَ ُه َّن‬


‫دَ يْنٍ ۚ َو ََلُ َّن ُّ‬

‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ ٍ‬ ‫ِ‬ ‫ال ث ِ‬


‫ث‬ ‫أَو دَ يْنٍ ۗ َو إ ْن َك ا َن َر ُج لٌ يُ َ‬
‫ور ُ‬ ‫ُّم ُن ِمَّا تَ َر ْك تُ ْم ۚ م ْن بَ عْ د َوص يَّ ة تُوصُ و َن ِبَا ْ‬
‫ُ‬

‫س ۚ فَإِ ْن َك انُوا‬
‫الس ُد ُ‬
‫َك ََل لَةً أَ ِو ام رأَةٌ ولَه أَخٌ أَو أُخ ت فَلِكُ ِل و ِ‬
‫اح دٍ مِ نْ ُه َم ا ُّ‬ ‫َ‬ ‫ْ ْ ٌ‬ ‫َْ َ ُ‬

‫ِ‬ ‫ِ ِ ٍ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِ‬
‫أَ ْك ثَ َر مِ ْن ذَٰ ل َ‬
‫ك فَ هُ ْم شُ َر َك اءُ ِِف الثُّ لُث ۚ م ْن بَ عْ د َوص يَّة يُوصَ ٰى ِبَا ْ‬
‫أَو دَ يْنٍ‬

‫ِ‬ ‫اَّللِ ۗ و َّ ِ‬ ‫ٍ ِ ِ‬
‫اَّللُ عَ ل يمٌ َح ل يمٌ‬ ‫غَ ْْيَ مُ ضَ ار ۚ َوص يَّةً م َن َّ َ‬

‫‪“(11) Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian‬‬


‫‪warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama‬‬
27

dengan bagian dua orang anak perempuan. Jika anak itu semuanya
perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, bagian mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu sorang saja, dia
memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Untuk kedua orang tua,
bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang
meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai
anak dan dia diwarisi oleh kedua orang tuanya (saja), ibunya mendapat
sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, ibunya
mendapat seperenam. (Warisan tersebut dibagi) setelah (dipenuhi) wasiat
dibuatnya atau (dan dilunasi) utangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-
anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sesungguhnya Allah adalah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (12) Bagimu (para suami) seperdua
dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang
mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Bagi mereka (para istri)
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.
Jika kamu mempunyai anak, bagi mereka (para istri) seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan
setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang, baik laki-laki maupun
perempuan, meninggal dunia tanpa meninggalkan ayah dan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara
perempuan (seibu), bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. Akan tetapi, jika mereka (saudara-saudara seibu) itu lebih
dari seorang, mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah
(dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan
tidak menyusahkan (ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Penyantun.”36

Dalam sejarah menyebutkan bahwa pada masa jahiliyah, sistem

kewarisan yang dilakukan oleh orang Arab menggunakan sistem keturunan

nasab dan kekerabatan, tetapi itu hanya berlaku untuk keluarga yang berjenis

laki-laki. Dalam hal ini para wanita dan anak-anak tidak berhak mendapatkan

harta warisan karena mereka dianggap tidak mempunyai kemampuan dalam

menanggung beban keluarga. Tetapi praktik ini telah dihapuskan dengan

turunnya Q.S An-Nisa/4 : 19 yang berbunyi:

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an (1967)/Tim Penyempurnaan


36

Terjemahan Al-Qur’an (2016-2019), Al-Qur’an dan Terjemahannya Edisi Penyempurnaan 2019.


28

ِ ‫وه َّن لِتَ ْذ َهبُوا بِبَ ْع‬


‫ض َما‬ ِ ِ
ُ ‫آمنُوا ََل ََي ُّل لَ ُك ْم أَ ْن تَ ِرثُوا الن َساءَ َك ْرًها ۖ َوََل تَ ْع‬
ُ ُ‫ضل‬ َ ‫ين‬
ِ َّ
َ ‫ََي أَيُّ َها الذ‬

ِ ِ ٍ ٍ ِ ِ
‫وه َّن فَ َع َس ٰى أَ ْن‬ ُ ‫ْي بَِفاح َشة ُمبَ يِنَة ۚ َو َعاش ُر‬
ُ ‫وه َّن َِبلْ َم ْع ُروف ۚ فَإِ ْن َك ِرْهتُ ُم‬ َ ‫وه َّن إََِّل أَ ْن ََيْت‬
ُ ‫آتَ ْي تُ ُم‬

‫اَّللُ فِ ِيه َخ ْ ًْيا َكثِ ًْيا‬


َّ ‫تَكَْرُهوا َشْي ئًا َوََْي َع َل‬

“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi


perempuan dengan jalan paksa. Janganlah kamu menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.
Pergaulilah mereka dengan cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai
mereka, (bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya.”37

Kemudian dalam Q.S An-Nisa/4: 176 juga menjelaskan terkait waris

terhadap perempuan, yaitu sebagai berikut:

‫ف َما‬ ِ َ َ‫اَّللُ يُ ْفتِي ُك ْم ِِف الْ َك ََللَِة ۚ إِ ِن ْام ُرٌؤ َهل‬


َّ ‫ك قُ ِل‬
ُ ‫ص‬
ْ ‫ت فَلَ َها ن‬
ٌ ‫ُخ‬
ْ ‫س لَهُ َولَ ٌد َولَهُ أ‬
َ ‫ك لَْي‬ َ َ‫يَ ْستَ ْفتُون‬

ً‫ان ِِمَّا تَ َرَك ۚ َوإِ ْن َكانُوا إِ ْخ َوة‬


ِ َ‫ْي فَلَهما الثُّلُث‬
ِ ِ ِ
َ ُ ْ َ‫تَ َرَك ۚ َوُه َو يَِرثُ َها إ ْن ََلْ يَ ُك ْن ََلَا َولَ ٌد ۚ فَإ ْن َكانَتَا اثْنَ ت‬

ِ ٍ ِ َ‫اَّلل لَ ُكم أَ ْن ت‬
ِ َّ ‫ضلُّوا ۗ و‬ َّ ِ‫ِر َج ًاَل ونِساء فَل‬
ِ ْ َ‫لذ َك ِر ِمثْل َح ِظ ْاألُنْثَي‬
ٌ ‫اَّللُ ب ُك ِل َش ْيء َعل‬
‫يم‬ َ ْ َُّ ‫ْي‬ ُ َِ‫ْي ۗ يُب‬ ُ ًَ َ

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalālah). Katakanlah, “Allah


memberi fatwa kepadamu tentang kalālah, (yaitu) jika seseorang meninggal
dan dia tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai seorang saudara
perempuan, bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang
ditinggalkannya. Adapun saudara laki-lakinya mewarisi (seluruh harta
saudara perempuan) jika dia tidak mempunyai anak. Akan tetapi, jika saudara
perempuan itu dua orang, bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan. Jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) beberapa saudara
laki-laki dan perempuan, bagian seorang saudara laki-laki sama dengan
bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an (1967)/Tim Penyempurnaan


37

Terjemahan Al-Qur’an (2016-2019).


29

kepadamu agar kamu tidak tersesat. Allah Maha Mengetahui segala


sesuatu.”38

Dalam hal ini Allah Swt., juga menjelaskan bahwa laki-laki dan

perempuan dapat mewarisi harta peninggalan kerabat ataupun keturunannya.

2. Hadits

Ada hadits Rasulullah Saw. yang menjelaskan tentang pembagian

harta warisan yang benar. Dalam hadits ini Rasulullah Saw. menjelaskan

bahwa Islam menganjurkan pembagian harta peninggalan sesuai dengan

haknya dan sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam hukum waris

Islam. Hadits tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari

No. 6238 dalam kitab faraidh, yaitu sebagai berikut:

‫ال قَا َل‬ ٍ َّ‫ب َحدَّثَنَا ابْ ُن طَ ُاو ٍس َع ْن أَبِ ِيه َع ْن ابْ ِن َعب‬
َ َ‫اس ق‬ ِ ِ ِ
ٌ ‫َحدَّثَنَا ُم ْسل ُم بْ ُن إبْ َراه َيم َحدَّثَنَا ُوَهْي‬

‫ض ِِب َْهلِ َها فَ َما بَِق َي فَ ُه َو ِأل َْوََل َر ُج ٍل ذَ َك ٍر‬ ِ ِ ِ َّ ‫اَّللِ صلَّى‬
َ ‫اَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم أَ ْْل ُقوا الْ َفَرائ‬ َ َّ ‫ول‬
ُ ‫َر ُس‬

“Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim telah menceritakan


kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Ibnu Thawus dari
ayahnya dari Ibnu 'Abbas mengatakan, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: “Berikanlah bagian fara`idh (warisan yang telah
ditetapkan) kepada yang berhak, maka bagian yang tersisa bagi pewaris lelaki
yang paling dekat (nasabnya).”39

38
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an (1967)/Tim Penyempurnaan
Terjemahan Al-Qur’an (2016-2019).

39
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Al-Jami al-Musnad as-Sahih al-Mukhtasar min Umur
Rasulilah ‫ ﷺ‬wa Sunanihi wa Ayyamihi.
30

3. Ijma dan Ijtihad

Ijma' dan ijtihad para sahabat, ulama mazhab dan mujtahid ternama

banyak berperan dan banyak membantu dalam memecahkan masalah.

fara'idh atau warisan yang tidak dijelaskan dalam teks Al-Qur'an dan Hadits.

Banyak permasalahan fara'idh atau warisan yang ditentukan dengan ijma dan

ijtihad mereka, seperti:

1) Masalah saudara yang mewarisi bersama kakek, hal ini di dalam Al-

Qur’an maupun Hadits tidak dijelaskan.

2) Status cucu yang terlebih dahulu meninggal dunia dari pada kakek yang

akan diwarisi bersama-sama dengan saudara ayah (paman si cucu).40

G. Rukun dan Syarat Waris

Rukun kewarisan yang dimaksudkan ini adalah sesuatu yang harus ada

dalam setiap pemecahan masalah yang berkaitan dengan pembagian harta

warisan. Adapun rukun-rukunya sebagai berikut:

1. Pewaris (muwarrits), yaitu orang yang telah wafat, baik secara nyata, kasat

mata atau telah diketahui publik bahwa orang itu memang telah wafat yang

bisa disebut dengan istilah mati hakiki maupun mati hukmi. Artinya, mati

secara hukmi adalah orang yang telah di hukum meninggal dunia atas

perintah dari pengadilan karena suatu sebab, seperti mati karena telah lama

menghilang yang tidak diketahui keberadaannya, atau sebab lain yang

ditetapkan oleh pengadilan bawa orang tersebut telah meninggal dunia.

40
Asyhari Abta dan Junaidi Abd. Syukur, Ilmu Waris Al-Faraidl : Deskripsi Berdasar
Hukum Islam Praktis dan Terapan, Cet. 1 (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005), hal. 6.
31

2. Ahli waris atau yang mewarisi (warits), yaitu orang yang akan mengambil

alih harta warisan dari si mayit. Dalam hal ini yang menjadi ahli waris adalah

orang yang telah memenuhi syarat dan yang berhak menjadi ahli waris sesuai

dengan hukum pembagian waris.

3. Warisan (mauruts/turats/tirkah), adalah harta peninggalan atau harta pusaka

yang akan menjadi hak milik pewaris setelah pembiayaan kematian si

pewaris, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat. Dalam hal ini dengan

meninggalnya pewaris, maka harta milik pewaris berpindah menjadi hak

milik ahli warisnya, dan harta tersebut kemudian dibagikan menurut

ketentuan hukum Islam.41

Adapun syarat-syarat kewarisan merujuk pada kriteria yang telah

ditetapkan berdasarkan hukum waris Islam, yaitu sebagai berikut:

1. Kematian orang yang mewariskan (muwarits), yaitu bahwa si pewaris benar-

benar telah meninggal dunia.

2. Ahli waris yang diyakini masih ada pada saat meninggalnya pewaris. Artinya

pada saat meninggal pewaris, orang-orang yang akan menjadi ahli warisnya

harus diketahui secara jelas masih ada, karena orang yang sudah meninggal

dunia tidak punya hak untuk mengambil kembali.

41
Ahdiyatul Hidayah, “Pembagian Harta Waris Menurut Adat Masyarakat Banjar
Kalimantan Selatan,” Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan 16, no. 6 (25
Desember 2022): hal. 2116, https://doi.org/10.35931/aq.v16i6.1416.
32

3. Tidak adanya penghalang yang menghalangi pewarisan. Maksudnya adalah

kita harus mengetahui secara jelas dengan ahli warinya sehingga ketika

pembagian mengetahui bagaimana pembagiannya diberikan.42

H. Pembagian Warisan

1. Pembagian Waris Menurut Hukum Positif

Hukum waris merujuk pada peraturan yang mengenai bagaimana

harta kekayaan seseorang yang telah meninggal harus dialihkan dan dampak

terhadap ahli warisnya. Artinya, hanya hak dan tanggung jawab dalam ranah

hukum kekayaan yang dapat diturunkan. Pasal 830 KUH Perdata menyatakan

bahwa “pewarisan hanya berlangsung karena kematian.”43 Jadi, harta

peninggalan dapat dilakukan ketika terjadi kematian seseorang. Dalam hal

ini, ketentuan khusus dalam Pasal 2 KUH Perdata menyebutkan bahwa anak

yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, setiap

kali kepentingan si anak menghendakinya. Apabila telah mati sewaktu

dilahirkan maka dia dianggap tidak pernah ada. 44

Setelah seseorang dinyatakan meninggal dunia, terdapat beberapa

kewajiban bagi para ahli waris untuk dipenuhi sebelum harta warisan tersebut

42
A. Khisni, Hukum Waris Islam, Cet. II (Semarang: Unissula Press, 2013), hal. 5.

43
“JDIH Mahkamah Agung RI,” diakses 1 Juni 2023,
https://jdih.mahkamahagung.go.id/legal-product/kitab-undang-undang-hukum-perdata/detail.

44
Hanungrah Zulaiha, Hak Pembagian Harta Waris Setelah Pembagian Harta Bersama
Salah Satu Pasangan yang Meninggal Perspektif Hukum Islam (Studi di Desa La’ay Kecamatan
Karya Penggawa Kabupaten Pesisir Barat) (Lampung: Universitas Islam Negeri Raden Intan,
2021), hal. 24.
33

dibagikan kepada ahli warisnya. Kewajiban-kewajiban tersebut ialah sebagai

berikut:

a. Biaya administrasi jenazah. Seperti biaya membeli tanah pemakaman,

biaya mandi jenazah, biaya kain kafan dan biaya pemakaman;

b. Melunasi hutang-hutang si mayit, jika ada;

c. Melaksanakan wasiat si mayit, jika ada.45

Dalam undang-undang terdapat dua cara untuk mendapatkan suatu

warisan, yaitu sebagai berikut:

a. Secara ab intestato (ahli waris menurut undang-undang). Dalam Pasal 832

KUH Perdata menyebutkan, orang yang berhak menerima bagian warisan

ialah para keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin dan suami istri

yang hidup lebih lama. Keluarga sedarah yang menjadi ahli waris ini

dibagi dalam empat golongan yang masing-masing merupakan ahli waris

golongan pertama, kedua, ketiga dan golongan keempat.46

b. Secara testamentair (ahli waris karena di tunjuk dalam wasiat) terdapat di

Pasal 899 KUH Perdata. Dalam hal ini pemilik kekayaan membuat wasiat

untuk para ahli warisnya ditunjuk dalam surat wasiat.47

45
M. Anshary MK, Hukum Kewarisan Islam dalam Teori dan Praktik (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2013), hal. 14.

46
Hanungrah Zulaiha, Hak Pembagian Harta Waris Setelah Pembagian Harta Bersama
Salah Satu Pasangan yang Meninggal Perspektif Hukum Islam (Studi di Desa La’ay Kecamatan
Karya Penggawa Kabupaten Pesisir Barat), hal. 24-25.

47
Hanungrah Zulaiha, hal. 25.
34

2. Pembagian Waris Menurut Hukum Islam

Sebelum mengetahui bagian ahli waris, terlebih dahulu untuk

mengetahui jenis kelamin ahli waris yang terbagi menjadi dua kategori yaitu:

a. Sepuluh golongan ahli waris laki-laki yaitu; anak laki-laki, cucu laki-laki

dari anak laki-laki, suami, ayah, kakek, saudara laki-laki, keponakan laki-

laki dari saudara laki-laki, anak laki-laki paman, maula (orang yang telah

memerdekakan si mayit).

b. Tujuh golongan ahli waris dari perempuan yaitu; anak perempuan, cucu

perempuan dari anak perempuan, ibu, istri, nenek perempuan, saudara

perempuan, perempuan yang sudah memerdekakan si mayit.

Kemudian, jumlah bagian yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an ada

enam macam, yaitu setengah (½), seperempat (¼), seperdelapan (⅛), dua

pertiga (⅔), sepertiga (⅓), dan seperenam (⅙). Dalam hal ini akan dijelaskan

secara terperinci bagaimana pembagiannya, termasuk siapa-siapa saja yang

masuk dalam kelompok Ashabul Furudh dan bagian yang seharusnya mereka

terima.

a. Ashabul Furudh yang Berhak Mendapat ½

Golongan yang berhak atas setengah dari harta warisan yang

ditinggalkan oleh pewaris, yaitu Ashabul furudh yang terdiri dari lima

orang, satu laki-laki dan empat perempuan, sebagai berikut:

1) Seorang suami berhak atas setengah dari harta warisan, jika pewaris

tidak memiliki keturunan, baik itu anak laki-laki atau perempuan, yang

berasal ari suami atau tidak.


35

2) Anak perempuan kandung, dengan ketentuan bahwa pewaris tidak

memiliki anak laki-laki, dan anak perempuan tersebut adalah anak

tunggal.

3) Cucu perempuan dari anak laki-laki dengan ketentuan tidak memiliki

saudara laki-laki sebagai cucu tunggal, jika pewaris tidak memiliki

anak.

4) Saudara perempuan sekandung (sebapak seibu), dengan syarat tidak

memiliki saudara laki-laki sekandung, tidak lebih satu orang dan

pewaris tidak memiliki orang tua (bapak atau kakek) dan tidak memiliki

anak (baik anak laki-laki maupun perempuan).

5) Saudara perempuan seayah, dengan syarat jika ia tidak memiliki

saudara laki-laki, artinya ia anak tunggal. Pewaris tidak memiliki

saudari kandung perempuan, pewaris tidak memiliki ayah atau kakek

juga anak baik laki-laki atau perempuan.48

b. Ashabul furudh yang berhak mendapatkan ¼

Adapun kerabat dari pewaris yang berhak untuk mendapatkan

seperempat (1/4) dari harta peninggalan hanya ada dua yaitu suami dan

istri.

1) Seorang suami berhak menerima seperempat (¼) dari harta warisan

istrinya dengan syarat, yakni jika istri memiliki keturunan laki-laki,

baik itu anak atau cucu, yang berasal dari darah dagingnya sendiri atau

dari suami sebelumnya.

48
Hikmatullah, Fiqh Mawaris: Panduan Kewarisan Islam, hal. 54-55.
36

2) Istri berhak atas seperempat (¼) dari seluruh harta warisan suaminya,

asalkan suaminya tidak memiliki keturunan atau cucu dari pernikahan

sebelumnya atau dengan istri lain. Hak tersebut berlaku juga untuk

semua istri yang sah dari suami yang meninggal. Dengan demikian,

meskipun suami tersebut meninggalkan lebih dari satu istri, mereka

tetap berhak atas seperempat dari harta warisannya.49

c. Ashabul furudh yang berhak mendapatkan ⅛

Ashabul furudh yang berhak menerima seperdelapan (⅛) dari harta

warisan adalah istri. Seorang istri atau bahkan beberapa istri akan

menerima bagian seperdelapan dari hara warisan suaminya, asalkan

suaminya tersebut memiliki anak atau cucu, baik dari dirinya sendiri atau

dari istri lain.50

d. Ashabul furudh yang berhak mendapat ⅔

Ahli waris yang berhak mendapatkan ⅔ dari harta warisan pewaris

adalah sebagai berikut:

1) Dua anak perempuan (kandung) atau lebih dengan syarat tidak memiliki

anak laki-laki.

2) Dua anak perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih dengan syarat

tidak ada anak kandung (baik laki-laki maupun perempuan), tidak ada

dua orang anak perempuan kandung dan tidak ada saudara laki-laki.

49
Hikmatullah, hal. 55-56.

50
Hikmatullah, hal. 56.
37

3) Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih dengan syarat tidak

ada anak (laki-laki maupun perempuan) dan bapak atau kakek.

4) Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih dengan syarat tidak

ada anak atau orang tua, tidak ada saudara dan tidak ada anak

perempuan atau anak-anak perempuan dari anak laki-laki saudara

sekandung (baik laki-laki maupun perempuan).51

e. Ashabul furudh yang berhak mendapat ⅓

Adapun ashabul furudh yang menerima ⅓ dari harta warisan hanya

dua orang yaitu, ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan)

yang seibu.

1) Pewaris tidak memiliki anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak

laki-laki.

2) Pewaris tidak memiliki dua orang saudara atau lebih baik laki-laki

ataupun perempuan.52

f. Ashabul furudh yang berhak mendapat ⅙

Ahli waris yang berhak menerima ⅙ adalah sebagai berikut:

1) Seorang ibu berhak mendapatkan seperenam (⅙) apabila pewaris

memiliki anak atau anaknya anak laki-laki.

2) Seorang ayah berhak menerima seperenam (⅙) apabila pewaris

memiliki anak, naik itu anak laki-laki ataupun anak perempuan.

51
Hikmatullah, hal. 57-58.

52
Hikmatullah, hal. 58.
38

3) Seorang nenek berhak menerima seperenam (⅙) apabila pewaris tidak

memiliki ibu.

4) Seorang kakek berhak menerima seperenam (⅙) apabila pewaris

memiliki anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki dari

keturunan anak dengan syarat ayah pewaris tidak ada.

5) Seorang cucu perempuan (dari anak laki-laki) berhak menerima

seperenam (⅙) dengan syarat memiliki anak perempuan sekandung.

6) Saudara seibu (baik laki-laki atau perempuan) berhak menerima (⅙).

7) Saudara perempuan sebapak berhak menerima seperenam (⅙) dengan

syarat memiliki saudara perempuan yang seibu sebapak.53

53
Hikmatullah, hal. 59-60.
39

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yaitu

bertujuan untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan

sekarang dan interaksi lingkungan suatu unit sosial seperti individu, kelompok

dan masyarakat. Penelitian ini cirinya bersifat mendalam tentang suatu unit

sosial tertentu yang hasilnya merupakan gambaran yang lengkap dan

teroganisir.1 Dalam Penelitian ini penulis terjun langsung ke lapangan untuk

meneliti yang terjadi kepada satu keluarga di Kecamatan Kertak Hanyar tepatnya

di Komplek Permata Bunda yaitu, pembagian waris yang meniadakan harta

bersama.

Pendekatan dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan

yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan

sesuai dengan bahan hukum utama dengan menelaah teori-teori, konsep, asas-

asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

penelitian ini. Artinya penelitian ini melakukan pendekatan kepada hukum

undang-undang yang berlaku baik dari hukum positif, KHI maupun hukum

Islam terkait tentang pembagian harta bersama yang meniadakan harta bersama.

1
Suryana, METODOLOGI PENELITIAN Model Prakatis Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif (Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia, 2010), hal. 14.
40

B. Lokasi Penelitian

Tempat penelitian ini berlokasi kan di Kecamatan Kertak Hanyar

tepatnya di Komplek Permata Bunda. Pemilihan lokasi ini dikarenakan terdapat

kasus yang ditemukan oleh peneliti.

C. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah satu keluarga di Komplek Permata

Bunda Kecamatan Kertak Hanyar yang terdiri dari istri, dua anak perempuan dan

satu anak laki-laki. Kemudian objek dalam penelitian ini adalah pembagian

waris satu keluarga yang meniadakan harta bersama dan pandangan hukum

Islam mengenai pembagian waris yang meniadakan harta bersama.

D. Data dan Sumber Data

1. Data

Data adalah informasi yang diperoleh serta dapat dibedakan dengan

data yang lain dan dapat di analisis sesuai dengan permasalahan tertentu.

Data yang akan digali dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Identitas informan yang terdiri dari satu keluarga yaitu, istri, dua anak

perempuan dan satu anak laki-laki yang meliputi; nama, alamat,

pendidikan dan pekerjaan.

b. Lokasi yang di teliti bertempat di Kecamatan Kertak Hanyar tepatnya di

Komplek Permata Bunda.

c. Cara pembagian waris yang meniadakan harta bersama yang di lakukan

oleh satu keluarga.


41

d. Tinjauan hukum Islam mengenai pembagian waris yang meniadakan

harta bersama.

2. Sumber Data

Sumber data dapat diartikan tempat diperolehnya data yang

digunakan dalam penelitian. Sumber data pada penelitian ini adalah satu

keluarga yang terdiri dari istri, dua anak perempuan dan satu anak laki-laki

yang bertempat di Kecamatan kertak Hanyar tepatnya di Komplek Permata

Bunda (sebagaimana di sebutkan dalam subjek penelitian). Kemudian

sumber data tambahan berupa berkas atau hasil dari pembagian waris yang

di sah kan oleh notaris.

E. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis

dalam penelitian. Karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.

Tanpa data mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan

mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Selanjutnya

bisa dilihat dari segi cara atau teknik pengumpulan data, maka teknik data dapat

dilakukan dengan observasi (pengamatan), interview (wawancara) dan

dokumentasi.54

1. Observasi

Observasi ialah pengamatan dengan pencatatan yang sistematis

terhadap gejala-gejala yang di teliti. Observasi menjadi salah satu teknik

54
Hardani dkk., Metode penelitian Kualitatif & Kuantitatif, Cet I (Yogyakarta: CV. Pustaka
Ilmu, 2020), hal. 120-121.
42

pengumpulan data apabila: (1) sesuai dengan tujuan penelitian, (2)

direncanakan dan dicatat secara sistematis, dan (3) dapat dikontrol

keadaannya (rehabilitasnya) dan kesahihannya (validitasnya). Dalam

menggunakan teknik observasi yang terpenting ialah mengandalkan

pengamatan dan ingatan peneliti.55 Dalam penelitian ini observasi yang

dilakukan oleh penulis menggunakan observasi partisipatif yaitu peneliti

langsung terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati.56

Maka hal ini peneliti terlibat karena informan tersebut adalah keluarga yang

di mana peneliti dapat mengamati apa yang terjadi ketika satu keluarga

tersebut melakukan pembagian waris.

2. Wawancara

Wawancara ialah tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara

langsung atau percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan

oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan

pertanyaan dan yang diwawancarai (interview) yang memberikan jawaban

atas pertanyaan itu.57 Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara

yang tak berstruktur di mana penulis tidak menggunakan pedoman

wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk

pengumpulan datanya. Wawancara yang dilakukan hanya berupa garis besar

55
Hardani dkk., hal. 123.

56
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Ed. 2 (Bandung: Alfabeta,
2022), hal. 227.

57
Hardani dkk., Metode penelitian Kualitatif & Kuantitatif, hal. 137.
43

permasalahannya seperti pengetahuan informan mengenai harta bersama

baik itu menurut hukum positif, KHI maupun hukum Islam.

3. Dokumentasi

Dokumentasi berasal dari kata dokumen, yang artinya barang-barang

tertulis. Metode dokumentasi berarti cara mengumpulkan data dengan

mencatat data-data yang sudah ada.58 Dokumentasi dapat juga berupa catatan

yang diperoleh dari penelitian dan juga berupa dokumen ketika melakukan

penelitian. Dalam penelitian ini dokumentasi yang digunakan ialah catatan-

catan hasil wawancara dan dokumen yang berupa hasil dari pembagian waris

yang telah di sahkan oleh notaris.

F. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data

1. Teknik Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, maka terlebih dahulu penulis melakukan

pengolahan data dengan beberapa tahapan yaitu:

a. Editting, yaitu penulis meneliti kembali terhadap data pendapat satu

keluarga tentang pembagian waris yang meniadakan harta bersama dan

tinjauan hukum Islam tentang pembagian waris yang meniadakan harta

bersama yang diperoleh sehingga dapat melengkapi apabila ada data yang

kurang lengkap. Hal ini bertujuan agar data yang salah atau tidak sesuai

dapat diperbaiki.

58
Hardani dkk., hal. 149.
44

b. Deskripsi, yaitu penulis memaparkan atau menggambarkan data hasil

penelitian terkait pembagian waris yang meniadakan harta bersama di

Kecamatan Kertak Hanyar.

c. Matriks, yaitu penulis mengelompokkan data-data yang sudah terkumpul,

kemudian disusun ke dalam bentuk tabel. Hal ini bertujuan untuk

mempermudah memahami dan mengenalinya. Setelah itu data diolah dan

diproses sudah dianggap selesai, maka tahapan akhir dari hasil laporan

adalah analisis.

2. Analis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis

data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan

dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori,

menjabarkan ke dalam unit-unit, menyusun ke dalam pola, memilih mana

yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat simpulan sehingga

mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.59 Data-data yang

diperoleh dari observasi, wawancara dan dokumentasi terhadap subjek dan

objek penelitian, diperoleh materi-materi yang kemudian diteliti, di analisis,

dikembangkan dan disesuaikan dengan hukum positif dan hukum Islam.

59
Hardani dkk., hal. 162.
45

G. Tahapan Penulisan

1. Tahapan Pendahuluan

Pada tahap ini penulis melakukan kajian awal terhadap subjek dan

objek penelitian pada tanggal 26 Februari 2022, yang selanjutnya dituangkan

ke dalam desain proposal. Kemudian di konsultasikan dengan dosen

pembimbing untuk meminta penetapan untuk pengajuan desain proposal ke

program studi HKI melalui aplikasi Salam. Selanjutnya diadakan ujian

proposal yang dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 16 Februari 2023 pukul

09.30-10.15 WITA, setelah dilakukan ujian proposal maka diadakan

perbaikan yang ada di proposal yang akan ditulis peneliti.

2. Tahapan Pengumpulan Data

Pada tahap ini, penulis terjun ke lapangan dengan mengumpulkan

data dari informan sehingga data dapat diperoleh dalam konteks yang jelas

dan berkaitan dengan objek penelitian. Pengumpulan data ini dilakukan pada

tanggal 4 Mei 2023 – 4 Juni 2023 kepada satu keluarga di Kecamatan Kertak

Hanyar.

3. Tahapan Pengolahan Data

Pada tahap ini setelah data yang diperlukan sudah cukup, kemudian

data tersebut diolah sesuai dengan teknik pengolahan data, kemudian

dianalisis secara kualitatif dan di konsultasikan kepada dosen pembimbing

untuk perbaikan dan penyempurnaan.

4. Tahapan Penyempurnaan
46

Pada tahap ini, penulis menyusun hasil yang telah diperoleh sesuai

dengan sistematika penulisannya. Untuk kesempurnaan, maka

dikonsultasikan secara intensif kepada dosen pembimbing Ibu Farihatni

Mulyati, S.Ag., MHI sampai dianggap baik dan layak dijadikan sebuah karya

tulis ilmiah dalam bentuk skripsi yang siap disajikan.


BAB IV

LAPORAN PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Gambaran Umum Kecamatan Kertak Hanyar

Kecamatan Kertak Hanyar merupakan salah satu Kecamatan yang

berbatasan langsung dengan kota Banjarmasin yang jarak tempuh dari Ibu Kota

Kabupaten Banjar, Martapura ± 1 jam. Sedangkan jarak tempuh menuju ke kota

Banjarmasin dengan memerlukan waktu yang tidak lama, cukup ± 15 menit.

Adapun visi dan misi Kecamatan Kertak Hanyar adalah sebagai berikut:

1. Visi dan Misi Kecamatan Kertak Hanyar

a. Visi

“Mewujudkan Kecamatan Kertak Hanyar yang tertib dan agamis”

b. Misi

1) Iklim pembangunan yang berwawasan lingkungan.

2) Semangat pelayanan masyarakat yang prima.

3) Meningkatkan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat umum

(taat hukum).

4) Aplikasi pemberdayaan ekonomi kerakyatan.

5) Terciptanya suasana kehidupan yang Islami sebagai modal dasar

penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kegiatan

kemasyarakatan.

6) Memberikan kontribusi bagi peningkatan PAD Kabupaten Banjar

dari sektor PBB.

47
48

2. Letak Geografis Kecamatan Kertak Hanyar

Luas wilayah Kecamatan Kertak Hanyar ± 45,83 km2, tingkat

kepadatan penduduk: ± 849 jiwa/km2, yang terbagi menjadi 3 kelurahan dan

10 desa, yaitu:

a. Kelurahan Kertak Hanyar I

b. Kelurahan Manarap Lama

c. Kelurahan Mandar Sari

d. Desa Kertak Hanyar II

e. Desa Simpang Empat

f. Desa Manarap Tengah

g. Desa Manarap Baru

h. Desa Sungai Lakum

i. Desa Pasar Kamis

j. Desa Banua Anyar

k. Desa Mekar Raya

l. Desa Tatah Pamangkih Laut

m. Desa Tatah Belayung Baru

Secara Astronomi Kecamatan Kertak Hanyar berada di titik

koordinat Bujur Timur 3º 27’ 29” Lintang Selatan 114º 45’ 47”. Sedangkan

secara geografis letak Kecamatan Kertak Hanyar berbatasan dengan:

a. Sebelah Utara : Kota madya Banjarmasin

b. Sebelah selatan : Kecamatan Gambut

c. Sebelah Timur : Kecamatan Tatah Makmur


49

d. Sebelah Barat : Kecamatan Sungai Tabuk

B. Penyajian Data

Penulis memaparkan informasi dan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan pada

latar belakang tentang pembagian waris yang meniadakan harta bersama (studi

kasus Kecamatan Kertak Hanyar). Peneliti melakukan wawancara kepada satu

keluarga yang terdiri dari; istri, satu anak laki-laki dan dua anak perempuan

untuk mendapatkan data dari temuan penelitian. Berikut adalah hasil-hasil data

yang diperoleh penulis sebagai berikut:

1. Informan Pertama

Nama : R (istri pewaris)

Alamat : Jl. A. Yani KM. 7,400 Komplek Permata Bunda

Pendidikan : SLTP

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Hasil dari wawancara langsung dengan informan pertama menyatakan

bahwa:

“Menurut saya harta bersama adalah harta yang diperoleh selama

perkawinan dan dibagikan ketika terjadi perceraian, baik itu cerai hidup

ataupun cerai mati. Kemudian mengenai pembagian waris yang meniadakan

harta bersama, ini tidak sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 96

yang menyebutkan apabila terjadi cerai mati maka separuh dari harta

diberikan kepada hidup yang lebih lama dan kita hidup di Indonesia yang di

mana ada kesetaraan gender dalam hal pekerjaan berbeda dengan di negara

Arab Saudi yang istrinya hanya diam di rumah walaupun saya hanya seorang
50

ibu rumah tangga tetapi saya berkontribusi dalam rumah tangga dari segi

mendidik anak, mengurus rumah, belanja kebutuhan dan lain lain. namun,

yang terjadi pada saat pembagian waris saya mengalah dengan anak kedua

yang dikarenakan dia sangat berpegang teguh bahwa harta bersama itu tidak

ada dalam Al-Qur’an. Kemudian mengenai dasar hukum harta bersama dalam

Al-Qur’an dan hadits saya tidak tahu, tetapi saya berpegang dengan dasar

hukum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo Undang-Undang No. 16 Tahun

2019 tentang Perkawinan Pasal 35 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal

96 dan 97.”1

Dari wawancara tersebut, informan pertama mengemukakan pendapat

bahwa harta bersama adalah harta yang dibagi ketika terjadi perceraian, baik

itu cerai hidup maupun cerai mati. Hal ini berarti bahwa semua harta yang

dimiliki suami dan istri akan di bagikan sesuai dengan aturan yang ada.

Namun pendapat informan bertentangan dengan pembagian waris

yang meniadakan harta bersama, karena tidak sejalan dengan Pasal 96 KHI

yang sebagian besar harta akan diberikan suami atau istri yang lebih lama

hidupnya dan sebagiannya lagi diberikan kepada ahli waris yang telah

ditentukan.

Selain itu, informan juga menyatakan bahwa kesetaraan gender dalam

hal pekerjaan di Indonesia berbeda dengan di Arab Saudi, di mana istri hanya

diam di rumah. Hal ini menunjukkan kesadaran informan terhadap perbedaan

budaya dan norma di antara negara-negara tersebut dan bagaimana perbedaan

1
Hasil Wawancara Pribadi, Kertak Hanyar, 8 Mei 2023.
51

itu dapat mempengaruhi pandangan tentang masalah tertentu termasuk

pembagian harta dan hak-hak dalam perceraian.

Saat ditanya mengenai dasar hukum harta bersama dalam Al-Qur’an

dan Hadits, informan mengaku tidak mengetahui. Namun, informan

menegaskan bahwa ia mengikuti dasar hukum Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 jo Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan Pasal 35

dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 96 dan 97 dalam pandangannya

mengenai harta bersama pada saat perceraian.

Hal ini menunjukkan bahwa informan pertama mendasarkan

pandangannya dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu

Kompilasi Hukum Islam.

2. Informan Kedua

Nama : AD (anak pertama pewaris)

Alamat : Banjarbaru

Pendidikan : S1

Pekerjaan : Honorer RS

Hasil wawancara langsung dengan informan ketiga menyatakan

bahwa:

“Menurut saya harta bersama adalah harta yang di dapat selama

terjadinya status perkawinan. Tetapi saya tidak setuju dengan adanya harta

bersama, karena perlu membuat perjanjian pra-nikah terkait masalah harta

sebelum melaksanakan perkawinan yaitu pisah harta. Kemudian, yang terjadi

pada saat pembagian waris, saya hanya mengikuti ibu saya yang mengalah
52

kepada anak kedua dengan tidak memasukkan harta bersama dalam

pembagian waris karena saya tidak mau ribut. Namun, sebenarnya dalam

Islam tidak mengenal adanya harta bersama suami dan istri karena masing-

masing suami istri memiliki haknya masing-masing. Dalam Al-Qur’an dan

hadits pun tidak ada penjelasan mengenai harta bersama ini dan menurut saya

jika ada salah satu pasangan yang meninggal dunia maka harta bersama di

anggap putus.”2

Dari wawancara di atas menunjukkan bahwa informan memiliki

pandangan yang berbeda tentang konsep harta bersama dalam perkawinan.

Meskipun pada awalnya mengakui adanya harta bersama, tetapi harus

membuat perjanjian pra-nikah untuk memisahkan harta suami dan istri.

Selain itu, informan juga menerangkan bahwa dalam Islam

sebenarnya tidak mengenal adanya harta bersama karena masing-masing

suami dan istri memiliki hak atas hartanya masing-masing. Hal ini terlihat

dalam Al-Qur’an dan hadits yang tidak ada penjelasan tentang harta bersama

dalam hubungan perkawinan.

Dengan demikian, informan memilih untuk mengikuti keputusan

ibunya yang tidak memasukkan harta bersama dalam pembagian warisan

untuk menghindari adanya konflik. Informan juga menambahkan bahwa jika

salah satu pasangan meninggal dunia maka harta bersama dianggap putus.

3. Informan Ketiga

Nama : RA (anak kedua pewaris)

2
Hasil Wawancara Pribadi, Banjarmasin Utara, 9 Mei 2023.
53

Alamat : Jl. Manarap

Pendidikan : SLTP

Pekerjaan : Wiraswasta

Hasil dari wawancara langsung dengan informan kedua menyatakan

bahwa:

“Menurut saya harta bersama adalah harta suami istri yang di

dapatkan selama perkawinan berlangsung yang apabila terjadi perceraian

maka harta tersebut dibagi sesuai dengan hukum yang ingin digunakan.

Mengenai pembagian waris yang meniadakan harta bersama, menurut saya

tergantung bagaimana cara mendapatkan harta bersama sesuai dengan

keadaan. Yang terjadi di sini adalah ketika pembagian waris, ibu saya ingin

memuat harta bersama sebelum pembagian waris dilakukan. Kemudian saya

menolak dengan alasan ibu saya hanya sebagai ibu rumah tangga dan tidak

ada kontribusi dengan suami dalam menafkahi rumah tangga. Maka dalam

hal ini, dalam surah An-Nisa ayat 11-12 tidak ada konsep harta bersama di

mana pada zaman itu seorang istri hanya berdiam di rumah yang hanya

mengurus suami saja. Kemudian mengenai KHI Pasal 96 menurut saya harus

melihat keadaan yang menerima harta bersama tersebut sebagai contoh,

suami dan istri sama-sama bekerja dalam menafkahi rumah tangga maka

apabila terjadi cerai mati maka suami atau istri berhak mendapat setengah dari

harta pewaris.”3

3
Hasil Wawancara Pribadi, Manarap, 5 Mei 2023.
54

Dari wawancara di atas, informan menjelaskan pendapatnya tentang

harta bersama adalah harta suami istri yang diperoleh selama perkawinan

berlangsung dan harus dibagi sesuai dengan hukum yang berlaku jika terjadi

perceraian. Namun, pendapat informan tergantung pada bagaimana cara

mendapatkan harta bersama tersebut, seperti dalam hal kasus warisan.

Dia mengemukakan bahwa dalam pembagian waris, harta bersama

dapat dimasukkan sebelum pembagian waris dilakukan, tetapi tergantung

pada kontribusi terhadap masing-masing pihak dalam menafkahi rumah

tangga. Jika istri hanya berdiam di rumah dan tidak memberikan kontribusi

dalam menafkahi keluarga, maka tidak ada konsep harta bersama.

Selain itu, pendapat informan merujuk pada ayat-ayat dalam Al-

Qur’an dan Pasal 96 KHI. Dia menyatakan bahwa dalam surah An-Nisa ayat

11-12 tidak ada konsep harta bersama di mana seorang istri hanya berdiam di

rumah yang hanya mengurus suami saja. Namun dia mengakui bahwa dalam

KHI Pasal 96, harta bersama harus dilihat dari keadaan masing-masing pihak

yang menerima harta bersama tersebut, terutama jika suami dan istri sama-

sama bekerja dalam menafkahi rumah tangga. Dalam hal ini, jika terjadi cerai

mati, suami atau istri berhak atas setengah dari pewaris.

4. Informan Keempat

Nama : RS (anak ketiga pewaris)

Alamat : Jl. A. Yani KM. 7,400 Komplek Permata Bunda

Pendidikan : S1

Pekerjaan : Jaksa
55

Hasil wawancara langsung dengan informan keempat menyatakan

bahwa:

“Menurut saya harta bersama adalah harta yang didapatkan ketika

perkawinan berlangsung. Namun, apabila terjadi perceraian baik itu cerai

mati atau cerai hidup maka harta bersama tidak terputus. artinya, jika terjadi

perceraian maka harta bersama harus dibagikan sesuai dengan hukumnya.

Dalam pembagian waris, harta bersama harus dilakukan dulu sebelum

dilakukannya pembagian waris ini karena sesuai dengan KHI Pasal 96 yang

menyebutkan bahwa “apabila terjadi cerai mati maka separo dari harta

bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”. Dalam hal ini,

menurut saya dalam pembagian harta bersama kita harus melihat keadaan

yang menerima harta bersama tersebut. Kemudian kasus yang terjadi di

keluarga saya pada saat pembagian harta bersama, menurut saya harusnya

dalam pembagian waris harus memasukkan harta bersama karena dilihat dari

kondisi ibu saya yang sudah berumur harus mendapatkan setengah dari harta

bersama itu dan kakak kedua saya sudah beristri dan bisa menghasilkan uang

sendiri. Tetapi ibu saya memilih tidak memasukkan harta bersama dan

mengalah kepada anak keduanya yang tidak ingin adanya harta bersama

dalam pembagian waris karena menurutnya tidak ada dalam hukum Islam,

jadi saya mengikuti keputusan ibu saya.” 4

Dari wawancara di atas, informan memberikan pandangannya

mengenai harta bersama dalam konteks perkawinan dan perceraian.

4
Hasil Wawancara Pribadi, Kertak Hanyar, 26 Mei 2023.
56

Menurutnya, harta bersama adalah harta yang diperoleh selama

berlangsungnya perkawinan dan harus dibagi sesuai dengan hukum jika

terjadi perceraian, baik itu cerai mati atau cerai hidup.

Informan menjelaskan bahwa dalam pembagian waris, harta bersama

dalam hal kasus cerai mati dilakukan terlebih dahulu sebelum pembagian

waris, hal ini sesuai dengan Pasal 96 KHI yang menyatakan bahwa “apabila

terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang

hidup lebih lama.”

Selanjutnya, informan mengatakan dalam pembagian harta bersama,

harus mempertimbangkan kondisi orang yang menerima harta tersebut.

Seperti kasus yang terjadi, informan menyebutkan bahwa ibunya yang sudah

berumur harus mendapatkan separuh dari harta bersama itu, sedangkan kakak

kedua informan tidak mau memasukkan harta bersama karena tidak sesuai

dengan hukum Islam, padahal kakak keduanya sudah bisa menghasilkan uang

sendiri.

Namun, informan menambahkan bahwa dalam kasusnya, ibunya

memilih untuk tidak memasukkan harta bersama dalam pembagian waris dan

mengalah kepada anak keduanya dan informan pun mengikuti keputusan

ibunya.

Tabel 4.1 Matriks

No. Informan Pendapat


Istri (informan pertama) Harta bersama adalah harta yang
diperoleh selama perkawinan dan
1 dibagikan ketika terjadi
perceraian, baik itu cerai hidup
ataupun cerai mati. Kemudian
57

No. Informan Pendapat


mengenai pembagian waris yang
meniadakan harta bersama, ini
tidak sejalan dengan Kompilasi
Hukum Islam Pasal 96 yang
menyebutkan apabila terjadi
cerai mati maka separuh dari
harta diberikan kepada hidup
yang lebih lama dan kita hidup di
Indonesia yang di mana ada
kesetaraan gender dalam hal
pekerjaan berbeda dengan di
negara Arab Saudi yang istrinya
hanya diam di rumah walaupun
saya hanya seorang ibu rumah
tangga tetapi saya berkontribusi
dalam rumah tangga dari segi
mendidik anak, mengurus rumah,
belanja kebutuhan dan lain lain.
Anak Pertama (Informan Kedua) Harta bersama adalah harta yang
di dapat selama terjadinya status
perkawinan. Tetapi saya tidak
setuju dengan adanya harta
bersama, karena perlu membuat
perjanjian pra-nikah terkait
masalah harta sebelum
2 melaksanakan perkawinan yaitu
pisah harta. Dalam Al-Qur’an
dan hadits pun tidak ada
penjelasan mengenai harta
bersama ini dan menurut saya
jika ada salah satu pasangan yang
meninggal dunia maka harta
bersama di anggap putus.
Anak Kedua (Informan Ketiga) harta bersama adalah harta suami
istri yang di dapatkan selama
perkawinan berlangsung yang
apabila terjadi perceraian maka
harta tersebut dibagi sesuai
dengan hukum yang ingin
3
digunakan. Mengenai pembagian
waris yang meniadakan harta
bersama, menurut saya
tergantung bagaimana cara
mendapatkan harta bersama
sesuai dengan keadaan.
58

No. Informan Pendapat


Anak Ketiga (Informan harta bersama adalah harta yang
Keempat) didapatkan ketika perkawinan
berlangsung. Namun, apabila
terjadi perceraian baik itu cerai
mati atau cerai hidup maka harta
bersama tidak terputus. artinya,
jika terjadi perceraian maka harta
bersama harus dibagikan sesuai
dengan hukumnya. Dalam
pembagian waris, harta bersama
harus dilakukan dulu sebelum
4
dilakukannya pembagian waris
ini karena sesuai dengan KHI
Pasal 96 yang menyebutkan
bahwa “apabila terjadi cerai mati
maka separo dari harta bersama
menjadi hak pasangan yang
hidup lebih lama”. Dalam hal ini,
menurut saya dalam pembagian
harta bersama kita harus melihat
keadaan yang menerima harta
bersama tersebut.

C. Analisis Data dan Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil wawancara yang telah penulis paparkan di atas

mengenai pembagian waris yang meniadakan harta bersama, maka dengan ini

penulis memaparkan analisis hasil wawancara sebagai berikut:

1. Pembagian Waris yang Meniadakan Harta Bersama

Sebelum memaparkan analisis hasil wawancara, penulis akan

menguraikan kasusnya terlebih dahulu. Kasus ini terjadi pada tanggal 1

Agustus 2022, pada hari itu anak kedua meminta kepada ibunya segera

melakukan pembagian waris tetapi si ibunya meminta sabar dulu. Kemudian

anak kedua meminta kepada pamannya untuk menghitungkan jumlah

pembagian waris yang senilai Rp 1.650.000.000. Setelah menghitungnya


59

anak kedua memberitahukan hasil pembagian waris tersebut kepada ibunya

tetapi ibunya menolak dari hasil pembagian waris karna tidak memasukkan

harta bersama. Maka terjadilah keributan panjang sampai tertundanya

pembagian waris. setelah di rasa cukup damai, pembagian waris dilanjutkan

di KUA Kertak Hanyar dan di hadirkan seluruh ahli warisnya. Pada saat di

KUA anak kedua tetap pada pendiriannya bahwa harta bersama tidak ada

dalam pembagian waris karena di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan.

Kemudian ibunya (informan pertama) beserta anak pertama (informan kedua)

dan anak ketiga (informan keempat) memilih mengalah kepada anak kedua

(informan ketiga) dengan tidak memasukkan harta bersama. Menurut ibunya

harta bersama terdapat undang-undangnya yaitu Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 jo Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan Pasal

35 dan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 96 dan 97.

dengan demikian pembagian waris dilakukan di KUA dengan menghitung

hasil pembagiannya yaitu sebagai berikut:

Jumlah Harta Rp 1.650.000.000,-

Tabel 4.2 Pembagian Waris

No Ahli Waris Fardh

1 Istri ⅛

2 2 anak perempuan Ashobah/2

3 1 anak laki-laki Ashobah/2

Dari sini, maka dapat diselesaikan pembagian warisan tersebut yaitu:


60

• Istri ⅛ × Rp 1.650.000.000,- = Rp 206.250.000,-

Sisa = Rp 1.443.750.000,-

• 2 anak perempuan 2 ÷ Rp 1.443.750.000,- = Rp 721.875.000,-

Masing-masing anak perempuan mendapatkan = Rp 360.937.500,-

• 1 anak laki-laki 2 ÷ Rp 1.443.750.000,- = Rp 721.875.000,-

Berdasarkan hasil pembagian waris di atas, pihak keluarga membawa

hasil tersebut ke notaris untuk di sahkan dengan tidak memasukkan harta

bersama ke dalam pembagian waris.

Dari hasil wawancara dan uraian kasus yang telah penulis paparkan

terdapat perbedaan pendapat mengenai harta bersama dalam pembagian waris

yang di alami oleh satu keluarga. Pada dasarnya, tidak ada percampuran harta

kekayaan dalam perkawinan antara suami dan istri. Konsep harta bersama

pada awalnya berasal dari adat istiadat atau tradisi yang berkembang di

Indonesia. Kemudian, konsep ini didukung oleh hukum Islam dan hukum

positif yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, ada kemungkinan

terjadinya percampuran antara harta suami dan harta istri dalam perkawinan

mereka.

Dasar hukum mengenai harta bersama terdapat dalam hukum positif

dan Kompilasi Hukum Islam yaitu sebagai berikut:

a. Undang-undang perkawinan Pasal 35 ayat 1 yang menyebutkan bahwa

yang dimaksud harta bersama adalah “harta benda yang diperoleh selama

masa perkawinan.”5

5
“UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [JDIH BPK RI].”
61

b. Kitab undang-undang Hukum Perdata Pasal 119, menyebutkan bahwa

“sejak dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta

bersama menyeluruh antara suami-istri, sejauh tentang hal itu tidak

diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.”6

c. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 85 menyebutkan bahwa “adanya

harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya

harta bersama milik masing-masing suami atau istri.”7 Pasal ini

menyebutkan adanya harta bersama. artinya Kompilasi Hukum Islam

(KHI) mendukung adanya persatuan harta dalam perkawinan. Tetapi tidak

menutup kemungkinan adanya sejumlah harta milik suami atau istri.

d. Kompilasi hukum Islam Pasal 96 ayat 1 menyebutkan bahwa “apabila

terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang

hidup lebih lama.”8 Artinya, jika salah satu pasangan suami atau istri

meninggal maka setengah dari harta bersama menjadi milik pasangan yang

hidup lebih lama.

Melihat kasus yang terjadi di keluarga tersebut, informan pertama dan

informan keempat sebenarnya menginginkan adanya harta bersama ketika

pembagian waris dilakukan, karena menurutnya ada dasar hukumnya yaitu

dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo Undang-Undang No. 16 Tahun

6
“JDIH Mahkamah Agung RI.”

7
Mahkamah Agung RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan
Dengan Kompilasi Hukum Islam Dengan Pengertian Dalam Pembahasannya, hal. 85.

8
Mahkamah Agung RI, hal. 88.
62

2019 tentang Perkawinan Pasal 35 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal

96 dan 97. Tetapi dibantah oleh informan kedua yang mengatakan seorang

ibu rumah tangga tidak ada kontribusi dalam hal menafkahi keluarga maka

harta bersama tidak dapat dilakukan.

Pembagian harta bersama apabila terjadi putusnya perkawinan baik

perceraian atau kematian salah satu suam istri, Kompilasi hukum Islam

menjelaskan kedudukan harta bersama jika terjadi perceraian yaitu Pasal 96

ayat (1) menyatakan apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama

menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Kemudian di Pasal 97

menyatakan janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari

harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Dari pasal ini menimbulkan pertanyaan mengenai dasar hukum yang

digunakan untuk menetapkan bahwa harta bersama harus dibagi dua tanpa

memperhitungkan kontribusi utama dari pihak yang memiliki harta bersama

tersebut. Sebagian besar sumber harta berasal dari penghasilan kerja suami

atau istri. Namun, melihat kasus yang terjadi di mana ekonomi keluarga

hanya suami yang bekerja, maka peraturan pembagian harta bersama ini perlu

perubahan, hal ini sejalan dengan pendapat informan kedua yang

menganggap pembagian harta bersama harus melihat kondisi atau kontribusi

yang dilakukan oleh suam istri dalam mencari nafkah.

Mengenai pendapat informan pertama dan informan keempat yang

menginginkan adanya harta bersama dalam pembagian waris maka

pembagian yang terjadi adalah sebagai berikut:


63

Sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 96 ayat 1, maka jumlah harta

pewaris dibagi 2 dan diberikan kepada istri (informan pertama).

Jumlah harta pewaris Rp 1.650.000.000 ÷ 2 = Rp 825.000.000

Jadi, istri (informan pertama) mendapatkan Rp 825.000.000,- dari harta

bersama. kemudian, sisa harta tersebut dibagikan lagi kepada ahli warisnya

yaitu :

Sisa harta pewaris Rp 825.000.000.-

Tabel 4. 3 Pembagian Waris

No. Ahli Waris Faradh/bagian

1 Istri ⅛

2 2 anak perempuan Ashobah/2

3 1 anak laki-laki Ashobah/2

• Istri ⅛ × Rp 825.000.000,- = Rp 103.125.000,-

Sisa = Rp 721.875.000,-

• 2 anak perempuan 2 ÷ Rp 721.875.000,- = Rp 360.937.500,-

Masing-masing anak perempuan mendapatkan = Rp 180.468.750,-

• 1 anak laki-laki 2 ÷ Rp 721.875.000,- = Rp 360.937.500,-

Berdasarkan hasil pembagian di atas, istri mendapatkan Rp 825.000.000,-

dari harta bersama dan Rp 103.125.000,- sebagai ahli waris. kemudian

masing-masing anak perempuan mendapat Rp 180.468.750,- dan satu anak

laki-laki mendapat Rp 360.937.500,-.


64

2. Tinjauan Hukum Islam Tentang Pembagian Waris yang Meniadakan Harta

bersama

Pembagian harta warisan merupakan permasalahan yang kerap kali

menjadi perselisihan di dalam keluarga. Dalam hukum Islam, pembagian

harta warisan telah diatur secara rinci dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Pembagian waris dalam hukum Islam merupakan salah satu aspek penting

yang harus dipahami oleh setiap umat Muslim. Hal ini dikarenakan warisan

merupakan hak yang diberikan oleh Allah SWT kepada ahli waris yang harus

dikelola dengan baik dan sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan.

Dalam hukum Islam, konsep harta bersama mengacu pada

kepemilikan harta bersama antara suami dan istri yang tidak diterapkan dalam

pembagian waris. Oleh karena itu, pembagian waris adalah harta yang

ditinggalkan oleh pewaris dianggap sebagai harta individu yang akan dibagi

sesuai dengan ketentuan hukum waris yang ditetapkan dalam Al-Qur’an.

Kitab fikih tidak mengenal adanya percampuran harta suami istri

setelah berlangsungnya perkawinan.9 Pasangan suami istri memiliki harta

pribadi masing-masing. Baik itu harta yang dimiliki sebelum perkawinan

maupun harta yang diperoleh selama perkawinan, termasuk harta yang

berasal dari warisan, pemberian atau usaha pribadi masing-masing. Hal yang

sama juga berlaku untuk istri, yang memiliki hak atas harta pribadinya

sendiri, baik itu yang dimiliki sebelum perkawinan maupun yang diperoleh

9
Elimartati Elimartati dan Elfia Elfia, “Kritik Terhadap Kompilasi Hukum Islam Tentang
Ketentuan Harta Bersama Dalam Perkawinan,” JURIS (Jurnal Ilmiah Syariah) 19, no. 2 (18
Desember 2020): hal. 234, https://doi.org/10.31958/juris.v19i2.2283.
65

selama perkawinan, termasuk harta yang berasal dari warisan, pemberian dan

usaha pribadinya.

Penggunaan harta bersama pada masyarakat didasarkan pada adat

istiadat (‘urf) yang berlaku di suatu negeri yang tidak memisahkan antara

kepemilikan suami dan istri sehingga rasa kebersamaan menjadi lebih terlihat.

Berkembangnya sikap saling menghormati, saling membatu, saling kerja

sama dan saling bergantung antara suami istri dalam adat di Indonesia

merupakan kondisi yang mewujudkan harta bersama dalam perkawinan.

Teori penetapan harta bersama dalam perkawinan menurut hukum

Islam berbeda dengan hukum positif. Hukum Islam tidak mengatur tentang

harta bersama dalam perkawinan. Pemilikan harta secara otomatis dalam

hukum Islam merupakan milik pribadi orang yang mengusahakan harta itu.

Mengalihkan harta pribadi menjadi milik orang lain atau milik bersama dalam

perkawinan, tidak bisa terjadi kecuali dengan mengadakan perjanjian

perkawinan sebelum akad nikah.

Beberapa ulama membahas tentang masalah syirkah (kerja sama)

dalam hal transaksi bisnis. Namun, pembahasan ini tidak berkaitan dengan

harta bersama. oleh karena itu, pembahasan mengenai syirkah menurut Imam

Syafi’i dan para pengikutnya seperti Imam Nawawi dan Imam Syarbaini atau

dalam kitab-kitab lain seperti tulisan-tulisan Ibnu Hajar Al-Asqalani,


66

Muhammad Ibnu Isma’il al-Shan’ani, dan lain-lain ditemukan dibuku

Mualamah dan bukan dalam buku pernikahan.10

Dasar hukum pembagian harta bersama dalam hukum Islam adalah

melalui metode ‘urf, yaitu kebiasaan yang umum di masyarakat. Mayoritas

ulama setuju dengan cara yang dilakukan dalam masyarakat, selama tidak

bertentangan dengan syariat Islam. Namun, tidak ada ketentuan yang jelas

mengenai jumlah atau bagian yang harus diberikan kepada suami atau istri

saat salah satu dari mereka meninggal dunia. Tidak ada rujukan dari Al-

Qur’an, Hadits, ‘ijma dan qiyas yang dapat memberikan penjelasan secara

pasti.

Mengenai pembagian waris yang meniadakan harta bersama, dalam

hukum Islam ini dikembalikan lagi kepada ahli warisnya, jika istri atau suami

yang ditinggalkan menginginkan harta bersama dilakukan maka harus ada

kesepakatan dengan ahli warisnya. Jika ada kesepakatan mengenai

pembagian harta bersama, maka pembagian harta bersama secara otomatis

dibagikan kepada suami atau istri sebelum pembagian harta warisan.

10
Pardan Syafrudin, “Comparative Study On Gono Gini’s Assets Due To A Death
According To The Islamic Law And Positive Law,” Journal of Islamicate Studies 1, no. 1 (5 Januari
2019): hal. 16, https://doi.org/10.32506/jois.v1i1.438.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis

lakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pembagian waris yang dilakukan oleh satu keluarga menimbulkan perbedaan

pendapat terkait adanya harta bersama. Pada pendapat informan pertama

(istri) dan informan keempat (anak Ketiga) yang menyatakan bahwa jika

terjadi cerai mati, maka setengah harta bersama menjadi hak pasangan yang

hidup lebih lama, hal ini sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal

96 ayat (1). Artinya informan pertama (istri) mendapatkan setengah dari harta

pewaris (suaminya) dan Namun, informan ketiga (anak kedua) menolak

adanya pembagian harta bersama dengan alasan bahwa ibunya (informan

pertama) hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak ada sama sekali

kontribusi dalam menafkahi keluarga dan juga harta bersama dalam hukum

Islam sebenarnya tidak ada. Maka informan pertama (istri) memilih mengalah

kepada informan ketiga (anak kedua) yang tidak menginginkan adanya harta

bersama pada saat pembagian waris. Begitu juga informan kedua (anak

pertama) dan informan keempat (anak ketiga) yang memilih untuk mengikuti

ibunya (informan pertama). Dengan demikian, pembagian waris yang

dilakukan satu keluarga sepakat dengan tidak memuat harta bersama. Bagian

yang didapatkan oleh informan pertama (istri) adalah Rp 206.250.000,- dan

67
68

jika memasukan harta bersama maka yang didapatkan oleh istri adalah Rp

825.000.000,- dari harta bersama (sesuai dengan KHI Pasal 96) dan Rp

103.125.000,- sebagai ahli waris.

2. Dalam hukum Islam, konsep harta bersama antara suami dan istri tidak

diterapkan dalam pembagian waris. karena pembagian waris dianggap harta

individu yang akan dibagikan sesuai dengan ketentuan hukum waris yang

ditetapkan dalam Al-Qur’an. Penggunaan harta bersama di awali adanya

kebiasaan atau adat istiadat yang berlaku di suatu negeri, bahkan dalam

hukum Islam pembagian harta bersama ditentukan dengan metode ‘urf

(kebiasaan yang umum dimasyarakat), selama tidak bertentangan dengan

syariat Islam. Dengan demikian, pembagian harta bersama dapat dilakukan

jika ada kesepakatan antara ahli waris dan suami atau istri yang ditinggalkan.

Jika ada kesepakatan mengenai pembagian harta bersama, maka harta

bersama tersebut dibagikan secara otomatis kepada suami atau istri sesuai

hukum yang berlaku sebelum dilakukannya pembagian harta warisan.

B. Saran

Untuk satu keluarga seharusnya lebih mempelajari lagi mengenai harta

bersama dan harta warisan baik itu dari segi hukum Islam ataupun hukum positif

agar tidak terjadi konflik antar keluarga. Kemudian kepada tokoh agama yang

berada di Kertak Hanyar khususnya di Komplek Permata Bunda agar

mengadakan kajian Islam tentang harta warisan dan harta bersama agar

masyarakat dapat memahami dan mengaplikasikannya ke keluarganya.


69

DAFTAR PUSTAKA

A. Khisni. Hukum Waris Islam. Cet. II. Semarang: Unissula Press, 2013.

Abdillah Mustari. Hukum Kewarisan Islam. Cetakan I. Makassar: Alauddin


University Press, 2013.

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Cita Pustaka, 2001.

Ahmad Warson Munawwir. “Kamus Al-Munawwir,” 1634. Surabaya: Pustaka


Progressif, 1997.

Ana Suheri. “Penyelesaian Sengketa Harta Gono-gini Dilihat dari Undang-undang


Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Berdasarkan Kompilasi Hukum
Islam.” Morality 2, no. 2 (2015): 158–74.

Asyhari Abta dan Junaidi Abd. Syukur. Ilmu Waris Al-Faraidl : Deskripsi Berdasar
Hukum Islam Praktis dan Terapan. Cet. 1. Surabaya: Pustaka Hikmah
Perdana, 2005.

Bahder Johan Nasution. Hukum perdata Islam: kompetensi peradilan agama


tentang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, dan shodaqah. Mandar
Maju, 1997. https://books.google.co.id/books?id=PMq1AAAACAAJ.

Beni Ahmad Saebani. Fiqh Mawaris. 2 ed. Bandung: Pustaka Setia, 2012.

Effendi Perangin. Hukum Waris. Jakarta: Rajawali Pers, 2008.

Elimartati, Elimartati, dan Elfia Elfia. “KRITIK TERHADAP KOMPILASI


HUKUM ISLAM TENTANG KETENTUAN HARTA BERSAMA
DALAM PERKAWINAN.” JURIS (Jurnal Ilmiah Syariah) 19, no. 2 (18
Desember 2020): 231. https://doi.org/10.31958/juris.v19i2.2283.

Ernawati. Hukum Waris Islam. Cetakan Pertama. Bandung: Widina Bhakti Persada
Bandung, 2022.

“Etimologi - KBBI Daring.” Diakses 17 Mei 2023.


https://kbbi.kemdikbud.go.id/Cari/Etimologi?eid=91076.

Hanungrah Zulaiha. Hak Pembagian Harta Waris Setelah Pembagian Harta


Bersama Salah Satu Pasangan yang Meninggal Perspektif Hukum Islam
(Studi di Desa La’ay Kecamatan Karya Penggawa Kabupaten Pesisir
Barat). Lampung: Universitas Islam Negeri Raden Intan, 2021.

Hardani, Nur Hikmatul Auliya, Helmina Andriani, Roushandy Asri Fardani, Jumari
Ustiawaty, Evi Fatmi Utami, Dhika Juliana Sukmana, dan Ria Rahmatul
70

Istiqomah. Metode penelitian Kualitatif & Kuantitatif. Cet I. Yogyakarta:


CV. Pustaka Ilmu, 2020.

“Hasil Pencarian - KBBI Daring.” Diakses 17 Mei 2023.


https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/harta%20bersama.

Hidayah, Ahdiyatul. “Pembagian Harta Waris Menurut Adat Masyarakat Banjar


Kalimantan Selatan.” Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan
Kemasyarakatan 16, no. 6 (25 Desember 2022): 2106.
https://doi.org/10.35931/aq.v16i6.1416.

Hikmatullah. Fiqh Mawaris: Panduan Kewarisan Islam. Edisi 1. Serang: A-Empat,


2021.

Hilman Hadikusuma. Hukum Perkawinan Indonesia. Menurut : Perundangan,


Hukum Adat, Hukum Agama. Cet. 3. Bandung: Mandar Maju, 2007.

“JDIH Mahkamah Agung RI.” Diakses 1 Juni 2023.


https://jdih.mahkamahagung.go.id/legal-product/kitab-undang-undang-
hukum-perdata/detail.

Levin, Filipp. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta, 1847.

M. Anshary MK. Hukum Kewarisan Islam dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013.

Mahkamah Agung RI, ed. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan yang


Berkaitan Dengan Kompilasi Hukum Islam Dengan Pengertian Dalam
Pembahasannya. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2011.

Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Al-Jami al-Musnad as-Sahih al-Mukhtasar min


Umur Rasulilah ‫ ﷺ‬wa Sunanihi wa Ayyamihi, t.t.

Muhammad Thalib. Manajemen Keluarga Sakinah. Jakarta: Pro-U Media, 2007.

Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan.


Yogyakarta: Liberty, 1997.

Soerojo Wignjodipoero. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Cet. 13. Jakarta:
Toko Gunung Agung, 1995.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Ed. 2. Bandung:


Alfabeta, 2022.

Suryana. METODOLOGI PENELITIAN Model Prakatis Penelitian Kuantitatif dan


Kualitatif. Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia, 2010.
71

Syafrudin, Pardan. “COMPARATIVE STUDY ON GONO GINI’S ASSETS DUE


TO A DEATH ACCORDING TO THE ISLAMIC LAW AND POSITIVE
LAW.” Journal of Islamicate Studies 1, no. 1 (5 Januari 2019).
https://doi.org/10.32506/jois.v1i1.438.

“Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,” t.t.

“UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [JDIH BPK RI].” Diakses 11 April
2023. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/47406/uu-no-1-tahun-
1974.

Yahya Harahap. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta:


Sinar Grafika, 2003.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an (1967)/Tim


Penyempurnaan Terjemahan Al-Qur’an (2016-2019). Al-Qur’an dan
Terjemahannya Edisi Penyempurnaan 2019. Cet. 1. Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur’an, 2019.

Yulia. Buku Ajar HUKUM ADAT. Cet. I. Sulawesi: Unimal Press, 2016.
72

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 3 : SK Pembimbing
73

Lampiran 4 : Berita Acara


74

Lampiran 5 : SK Penguji Ujian Proposal


75

Lampiran 6 : SK Telah Melaksanakan Revisi Proposal


76

Lampiran 7 : SK Izin Riset


77

Lampiran 8 : SK Telak Melaksanakan Riset


78

Lampiran 9 : Hasil Pembagian waris dari notaris


79
80
81
82
83
84

Lampiran 10 : SK Lulus Ujian Komprehensif


85

Lampiran 11 : Sertifikat Baca Tulis Al-Qur’an


86

Lampiran 12 : Sertifikat LKK Komputer


87

Lampiran 13 : SK Perolehan SKK


88

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Ali Husein Rafsanjani


2. Tempat dan Tanggal Lahir : Banjarmasin, 20 September 2001
3. Agama : Islam
4. Kebangsaan : Indonesia
5. Status Perkawinan : Belum Kawin
6. Alamat Rumah : Jl. MT. Haryono Gg. Kelapa Sawit. Sampit
7. Hp/E-mail : 081528420204/huseinali471@gmail.com
8. Pendidikan
a. : TK Aulia Sampit
b. : SDN 5 Mentawa Baru Hulu Sampit
c. : MTsN 1 Kotawaringin Timur
d. : MAN Kotawaringin Timur
9. Orang Tua
Ayah
Nama : Fauzi
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. MT. Haryono Gg. Kelapa Sawit. Sampit
Ibu
Nama : Amalia Yuniarti
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. MT. Haryono Gg. Kelapa Sawit. Sampit
10. Saudara (Jumlah Saudara ) :1

Banjarmasin, 14 Juni 2023


Penulis,

(Ali Husein Rafsanjani)

Anda mungkin juga menyukai