Anda di halaman 1dari 15

~1~

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL


PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI
NOMOR P.9/PHPL/SET/KUM.1/11/2018

TENTANG
PEDOMAN PENERAPAN TEKNIK PEMANENAN BERDAMPAK RENDAH
(REDUCED IMPACT LOGGING /RIL) PADA AREAL IZIN USAHA PEMANFAATAN
HASIL HUTAN KAYU DALAM HUTAN ALAM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Peraturan


Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2014
tentang Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala
dan Rencana Kerja Pada Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu dalam Hutan Alam, menyebutkan
perusahaan pemegang IUPHHK-HA yang sudah
melaksanakan Reduced Impact Logging (RIL) dapat
mengajukan permohonan peningkatan efisiensi
penebangan khususnya faktor eksploitasi;
b. bahwa pelaksanaan Reduced Impact Logging (RIL)
sebagaimana dimaksud huruf a, perlu Pedoman
yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari tentang Pedoman Penerapan
Teknik Pemanenan Berdampak Rendah (Reduced
Impact Logging / RIL) pada Areal Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam;
~2~

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang


Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun l999 Nomor 167, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3888),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2OO4 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor I Tahun 2OO4 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2OO4 Nomor 86,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4412);
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
(Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5432);
4. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang
Pengesahan Paris Agreement To The United Nations
Framework Convention on Climate Change
(Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja
Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan
Iklim). (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 204);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004
tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 146,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4452);
~3~

6. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2OO7


tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO7
Nomor 22), sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2OO7 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta
Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 16);
7. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.11/Menhut-
II/2009 tentang Sistem Silvikultur dalam Areal Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan
Produksi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 24) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.65/Menhut-
II/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.11/Menhut-II/2009 tentang
Sistem Silvikultur dalam Areal Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan
Produksi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 1311);
8. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/Menhut-
II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi Dari
Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 88);
9. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-
II/2014 tentang Inventarisasi Hutan Menyeluruh
Berkala dan Rencana Kerja Pada Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 690);
10. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.18/MenLHK-II/2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan
~4~

Hidup dan Kehutanan (Berita Negara Republik


Indonesia Tahun 2015 Nomor 713);
11. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.43/Menlhk-Setjen/2015
Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari
Hutan Alam (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 1248);
12. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.70/Menlhk/Setjen/Kum.1/
12/2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan Reducing
Emissions From Deforestation and Forest
Degradation, Role of Conservation, Sustainable
Management of Forest and Enhancement of Forest
Carbon Stocks (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 161);
13. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha
Kehutanan Nomor P.2/VI-BUHA/2014 tentang
Pedoman Penyusunan, Penilaian, Persetujuan, dan
Pelaporan Rencana Kerja Tahunan dan Bagan Kerja
pada Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam
Hutan Alam;
14. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha
Kehutanan Nomor P.9/VI-BUHA/2014 tentang
Pedoman Penyusunan, Penilaian dan Persetujuan
Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
pada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
dalam Hutan Alam;
15. Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari Nomor P.14/PHPL/SET/4/2016
tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan
Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK);
~5~

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL TENTANG
PEDOMAN PENERAPAN TEKNIK PEMANENAN
BERDAMPAK RENDAH (REDUCED IMPACT LOGGING
/RIL) PADA AREAL IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL
HUTAN KAYU DALAM HUTAN ALAM.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian

Pasal 1
Dalam peraturan ini, yang dimaksud dengan:
1. Teknik Pemanenan Berdampak Rendah (Reduced Impact
Logging) yang selanjutnya disingkat RIL adalah teknik
dengan suatu pendekatan secara sistematik dan
menyeluruh (komprehensif) dalam pemanenan hasil hutan
kayu yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi, dengan tujuan
untuk mengurangi kerusakan pada tanah dan tegakan
tinggal, meningkatkan efisiensi pemanfaatan hasil hutan
kayu, serta meminimalkan dampak pemanenan hutan
terhadap aspek ekologi dan sosial.
2. Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam
yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HA adalah izin usaha
yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan kayu
dalam hutan alam pada hutan produksi melalui kegiatan
pemanenan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan,
dan pemasaran.
3. Peta Topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk
permukaan bumi yang ditandai dengan adanya garis-garis
kontur yang menunjukkan titik-titik yang memiliki
ketinggian sama.
4. Peta Trase Jalan Sarad adalah peta yang menggambarkan
rencana jalur untuk pembukaan jalan sarad.
~6~

5. Peta Sebaran Pohon adalah peta yang mengambarkan


posisi pohon yang akan ditebang, pohon inti, dan pohon
yang dilindungi.
6. Peta Rencana Operasional Pemanenan Kayu adalah peta
arahan rencana pemanenan kayu yang
mempertimbangkan Peta Topografi, Peta Sebaran Pohon,
informasi nomor pohon, garis kontur, jalan sarad, tempat
pengumpulan kayu sementara dan informasi-informasi
lain terkait rencana pemanenan.
7. Tempat Pengumpulan Kayu Sementara yang selanjutnya
disingkat TPn adalah tempat untuk pengumpulan kayu-
kayu hasil penebangan dan penyaradan kayu di dalam
petak tebangan sebelum diangkut ke Tempat
Penimbunan Kayu (TPK).
8. Jalan sarad adalah jalan untuk kegiatan penyaradan kayu
bulat yang bermuara pada TPn.
9. ID Barcode adalah QRCode atau Barcode 2D yang
merupakan tanda legalitas kayu bulat dalam bentuk label
yang menempel pada batang pohon atau kayu bulat yang
memuat informasi legalitas dan asal-usul kayu bulat, yang
dapat dibaca dengan menggunakan perangkat tertentu.
10. Penebangan adalah kegiatan yang bertujuan untuk
merebahkan pohon yang telah ditandai untuk ditebang di
dalam petak tebangan, dan memotong batang menjadi
sortimen dengan ukuran tertentu dan siap untuk disarad.
11. Penyaradan adalah kegiatan penarikan kayu bulat dari
lokasi penebangan menuju ke TPn melalui jalan sarad
yang telah dipersiapkan.
12. Sudetan (parit cegat) adalah saluran air melintang pada
jalan sarad untuk mengalirkan air dari jalan sarad
menuju areal sekitarnya untuk mencegah terjadinya erosi
berlebihan
13. Operator adalah tenaga lapangan yang bertugas
melakukan kegiatan pemanenan hutan alam (penebangan
pohon dan/atau penyaradan kayu bulat), dan telah
mendapatkan pelatihan teknis penerapan RIL atau
~7~

berpengalaman kerja di bidang pemanenan hutan alam


paling sedikit selama 2 (dua) tahun.
14. Winching adalah teknik penyaradan kayu bulat
menggunakan kabel yang ditarik-ulur menggunakan
mesin putar (winch) yang tersambung ke mesin traktor.

Bagian Kedua
Maksud, Tujuan dan Ruang Lingkup

Pasal 2
Pedoman penerapan RIL dimaksudkan antara lain untuk
memberikan acuan penerapan RIL di lapangan dan arahan
umum kepada seluruh pemegang IUPHHK-HA.

Pasal 3
Pedoman penerapan RIL bertujuan antara lain:
a. pemanenan hasil hutan kayu dapat dilaksanakan secara
efektif dan efisien sehingga dapat mencapai tingkat
produktivitas yang tinggi dengan tingkat kerusakan
terhadap lingkungan serendah-rendahnya.
b. pemegang IUPHHK-HA dapat mengelola hutan alam tanah
kering dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam
Indonesia (TPTI).
c. pelaksanaan kegiatan penilaian Sertifikasi PHPL yang
dilakukan oleh Lembaga Penilai Independen dalam
penerapan RIL.

Pasal 4
Ruang lingkup pengaturan Pedoman Penerapan RIL pada
IUPHHK-HA, terdiri atas:
a. Perencanaan Pemanenan,
b. Pelaksanaan Pemanenan, dan
c. Paska Pemanenan.
~8~

BAB II
PERENCANAAN PEMANENAN

Pasal 5
Perencanaan Pemanenan dilaksanakan melalui kegiatan:
a. Pembuatan Peta Rencana Operasional Pemanenan Kayu;
b. Penetapan Lokasi TPn;
c. Pembuatan Trase Jalan Sarad; dan
d. Tahapan Kegiatan Pemanenan Hutan Alam.

Pasal 6
(1) Pembuatan Peta Rencana Operasional Pemanenan Kayu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a,
berdasarkan:
a. Peta Sebaran Pohon;
b. Peta Topografi;
c. Peta Jaringan Jalan Sarad; dan
d. Peta TPn.
(2) Pembuatan Peta Sebaran Pohon sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, berdasarkan Laporan Hasil Cruising
(LHC) pada petak tebangan tahun berjalan yang
ditumpang susun di atas Peta Topografi dan Peta Jaringan
Jalan Sarad.
(3) Peta Sebaran Pohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, skala minimal 1 : 2.000 sampai dengan 1 : 5.000.
(4) Setiap pohon ditandai dengan simbol/titik yang berbeda
untuk pohon yang akan ditebang, pohon yang dilindungi,
dan pohon inti.
(5) Peta Rencana Operasional Pemanenan Kayu berisi semua
data topografi, seperti lokasi pohon, nomor pohon, batas
areal penebangan, jalan sarad untuk dapat menentukan
arah rebah secara efektif untuk memudahkan penyaradan
kayu.
~9~

Pasal 7
(1) Penetapan lokasi TPn sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 huruf b, dilarang pada areal:
a. kawasan lindung;
b. kawasan yang mempunyai nilai budaya penting;
c. kawasan dengan nilai konservasi tinggi (high
concervation value forest/HCVF); dan
d. diantara jarak paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari
sungai.
(2) Penetapan lokasi TPn sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diupayakan:
a. berada pada areal yang landai dan diupayakan di atas
punggung bukit/pematang seluas + 900 m2 (sembilan
ratus meter persegi), dengan mempertimbangkan
topografi areal dan alat sarad yang digunakan; dan
b. drainase berjalan dengan baik di TPn sehingga air
tidak menggenang dan aliran air tidak menuju jalan
sarad.
(3) Penetapan lokasi TPn diberikan tanda batas yang
mudah dikenali.

Pasal 8
(1) Pembuatan trase jalan sarad sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf c, dilarang pada areal:
a. kawasan lindung;
b. kawasan yang mempunyai nilai budaya penting; dan
c. kawasan dengan nilai konservasi tinggi (high
concervation value forest/HCVF).
(2) Pembuatan trase jalan sarad sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diupayakan:
a. menjangkau potensi pohon yang akan ditebang secara
maksimal dan menghindari melintas sungai, anak
sungai atau alur. Jika terpaksa harus dibuatkan
jembatan sementara; dan
~ 10 ~

b. mempertimbangkan posisi pohon yang ditebang,


topografi, dan alat sarad yang akan digunakan, untuk
meminimalisir jumlah kerusakan tegakan hutan di
areal tersebut.
(3) Pembuatan trase jalan sarad dilakukan dengan:
a. penandaan jalur sarad di lapangan melalui pencatatan
koordinat setiap titik untuk memudahkan operator
traktor melihat dan mengikutinya saat membuka jalan
sarad dan sebagai dasar pembuatan Peta Trase Jalan
Sarad; dan
b. penggambaran hasil trase jalan sarad ke dalam Peta
Jaringan Jalan Sarad skala minimal 1 : 2.000 sampai
dengan 1 : 5.000.

Pasal 9
Tahapan Kegiatan Pemanenan Hutan Alam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf d, dilakukan mengikuti tata
waktu dan tahapan dalam sistem silvikultur TPTI, yaitu:
a. Penataan Areal Kerja (PAK);
b. Inventarisasi Tegakan Sebelum Pemanenan (ITSP);
c. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH);
d. Pemanenan;
e. Penanaman dan pemeliharaan;
f. Pembebasan pohon binaan; dan
g. Perlindungan dan pengamanan hutan.

BAB III
PELAKSANAAN PEMANENAN

Pasal 10
Pelaksanaan pemanenan dilaksanakan melalui kegiatan:
a. Pembukaan Jalan Sarad;
b. Penebangan;
c. Penyaradan; dan
d. Pembagian Batang.
~ 11 ~

Pasal 11
(1) Pembukaan jalan sarad sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 huruf a, dilakukan pada lokasi yang telah
direncanakan dan sesuai Peta Trase Jalan Sarad yang
telah dibuat dan dilaksanakan sebelum pelaksanaan
penebangan.
(2) Pembukaan jalan sarad sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diupayakan:
a. tidak merusak pohon sekitar dan melakukan
penggusuran tanah.
b. jarak jalan sarad paling lebar 4 (empat) meter dan
diupayakan sedekat mungkin dengan TPn.
c. kemiringan jalan sarad paling banyak 45% (empat
puluh lima persen) dan sedapat mungkin menghindari
kegiatan penggalian dan penimbunan tanah (cut and
fill).
d. hindari pembukaan jalan sarad dengan tikungan
tajam untuk mengurangi resiko kayu yang disarad
patah dan/atau pecah.
e. pencatatan dan pelaporan setiap perubahan jalur
sarad dari rencana trase jalan sarad.
f. penggambaran jalan sarad yang telah dibuka ke dalam
Peta Jalan Sarad.

Pasal 12
(1) Penebangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf
b, dilaksanakan oleh Operator.
(2) Operator sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
menggunakan alat pelindung diri (APD) yang memadai
seperti topi pelindung kepala (helmet), sepatu lapangan
dan sarung tangan untuk mengurangi resiko kecelakaan
kerja.
(3) Sebelum melaksanakan penebangan, operator wajib:
a. memeriksa setiap pohon yang akan ditebang untuk
memastikan pohon dalam kondisi yang layak untuk
ditebang (masak tebang, sehat, tidak cacat).
~ 12 ~

b. melakukan pembersihan pohon yang akan ditebang


dari gangguan liana agar pada saat rebahnya pohon
tidak menarik pohon lain di sekitarnya dan tidak
merubah arah rebah.
c. memeriksa pohon yang akan ditebang adalah pohon
yang telah diberi label ID Barcode.
(4) Dalam melaksanakan penebangan, operator mengacu
pada Peta Sebaran Pohon yang akan ditebang dan Peta
Rencana Operasional Pemanenan Kayu.

Pasal 13
(1) Penebangan pohon dilakukan dengan:
a. teknik penebangan yang sesuai kondisi masing-masing
pohon dan mengikuti arah rebah yang telah
ditentukan.
b. dalam hal pada areal yang curam, arah rebah
diusahakan menyerong ke samping lereng atau sejajar
kontur.
c. serendah mungkin dari permukaan tanah dengan
tinggi takik tebang + 50 cm (lima puluh centimeter).
d. dalam hal pohon berbanir, penebangan dilakukan
setelah menghilangkan banir terlebih dahulu.
e. Pemasangan label ID barcode pada tunggak setelah
penebangan selesai sesuai dengan nomor identitas
yang sama dengan label ID barcode yang terpasang
pada pohon asal.
(2) Penentuan arah rebah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, dengan mempertimbangkan:
a. kondisi pohon di sekitar dan kemiringan areal, dengan
membentuk sudut 300 – 450 (pola sirip ikan) atau
posisi arah rebah sejajar terhadap jalan sarad yang
terdekat.
b. keselamatan operator dan orang-orang yang berada di
sekitarnya, kualitas pohon setelah ditebang, dan
kerusakan terhadap tegakan di sekitarnya.
(3) Pembuatan takik balas pada ketinggian sama atau lebih
rendah dari pada takik rebah sebagaimana dimaksud
~ 13 ~

pada ayat (1) huruf c, wajib dihindari untuk mengurangi


limbah kayu akibat terjadinya serat kayu yang tertarik
(unusan), terjepitnya bar gergaji rantai dan keselamatan
kerja.
(4) Dilarang melakukan penebangan pohon pada saat hujan
dan angin kencang.

Pasal 14
(1) Penyaradan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf
c, dilaksanakan oleh Operator.
(2) Dalam melaksanakan penyaradan, operator:
a. mengacu pada Peta Jalan Sarad dan tidak membuka
jalur baru;
b. mengatur posisi alat penyaradan untuk mendapatkan
arah penyaradan yang terbaik berdasarkan posisi kayu
terhadap jalan sarad;
c. pada saat penarikan kayu:
1. bagian ujung atau pangkal kayu harus diangkat
dan pisau traktor tidak menyentuh/mengupas
tanah serta melukai pohon di kiri-kanan jalan
sarad untuk mengurangi kerusakan terhadap kayu
yang disarad, tegakan tinggal dan tanah;
2. semaksimal mungkin menggunakan teknik
winching sehingga alat penyaradan tidak perlu
masuk terlalu dalam ke lokasi penebangan;
3. pohon dengan jarak 20 meter dari jalan sarad
sebaiknya ditarik dari jalan sarad dengan
menggunakan winch traktor.
d. Dalam hal kondisi belokan jalan sarad yang tajam,
penyaradan kayu dilakukan dengan sistim langsir
untuk mengurangi kerusakan tegakan dan tanah.
(3) Hindari melakukan penyaradan kayu pada waktu hujan
dan kondisi tanah masih basah.
~ 14 ~

Pasal 15
(1) Pembagian Batang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf d, dilakukan di lokasi tebangan atau di TPn dengan
pertimbangan optimalisasi pemanfaatan kayu dan/atau
rencana penggunaan/penjualan kayu.
(2) Pembagian batang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan beberapa saat setelah pohon rebah karena
cabang-cabang yang patah dari pohon yang ditebang
dapat menimpa tajuk pohon disekitarnya dan jatuh.
(3) Pemotongan ujung batang utama dilakukan sedekat
mungkin dengan cabang pertama untuk memperoleh
efisiensi pemanfaatkan kayu maksimal.
(4) Pemasangan label ID barcode pada setiap sortimen kayu
bulat yang akan dimanfaatkan dengan nomor identitas
yang sama dengan label ID barcode pohon asal sortimen
tersebut.

BAB IV
PASKA PEMANENAN

Pasal 16
Pelaksanaan paska pemanenan dilaksanakan melalui
kegiatan:
a. Penutupan (Deaktivasi) Jalan Sarad; dan
b. Penutupan (Deaktivasi) TPn.

Pasal 17
Penutupan (Deaktivasi) Jalan Sarad sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 huruf a, dilakukan dengan:
a. secara bertahap untuk mencegah jalan sarad berubah
menjadi saluran erosi yang menyebabkan sedimentasi
pada sungai;
b. membuat sudetan melintang di sepanjang jalan sarad
dengan intensitas disesuaikan dengan curah hujan,
kemiringan dan profil jalan sarad; dan/atau
c. jalan sarad yang sudah dilakukan deaktivasi
dimungkinkan untuk ditanami kembali.
~ 15 ~

Pasal 18
Penutupan (Deaktivasi) TPn sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 huruf b, dilakukan dengan:
a. mengembalikan lapisan atas tanah (top soil) ke areal bekas
TPn atau penggemburan tanah yang keras untuk
penanaman pohon;
b. penanaman pada areal bekas TPn dilakukan secepatnya
untuk mempercepat rehabilitasi lahan dan meningkatkan
produktivitas hutan apabila areal tersebut tidak
digunakan pada rotasi tebangan berikutnya; dan/atau
c. mengupayakan tidak ada genangan air di bekas TPn dan
tidak ada aliran air secara langsung yang menuju sungai.

BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 19
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku,
RKUPHHK-HA dan RKTUPHHK-HA yang telah disusun dan
disetujui dinyatakan tetap berlaku sampai masa berakhirnya
RKUPHHK-HA dan RKTUPHHK-HA.

Pasal 20
Peraturan Direktur Jenderal ini berlaku pada tanggal
ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 15 November 2018
DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN
HUTAN PRODUKSI LESTARI,

ttd

HILMAN NUGROHO

Anda mungkin juga menyukai