Tugas U1 Politik Hukum & Globalisasi
Tugas U1 Politik Hukum & Globalisasi
OLEH:
NENI YULIA YAHYA
I2B02310058
Politik hukum Indonesia sangat berkaitan dengan realita sosial dan tradisional yang terdapat di dalam
negara Indonesia (faktor internal), serta politik hukum internasional (faktor eksternal). Faktor internal
antara lain meliputi latar belakang sejarah, kebudayaan dan adat - istiadat, serta cita - cita masyarakat atau
bangsa Indonesia. Perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia sejak Orde Lama
(ORLA), Orde Baru (ORBA) sampai dengan Orde Reformasi sekarang ini mengalami perubahan yang
sangat besar terutama dalam rangka mewujudkan tujuan gerakan reformasi di bidang hukum yang
Namun demikian, meskipun terhadap Undang - Undang Dasar 1945 telah dilakukan amandemen
beberapa kali, orientasi pembangunan hukum harus tetap mencerminkan / merefleksikan kehendak untuk
terus menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata,
serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis
berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945 (a reflection of willing to nicrease continually
the Indonesians’ prosperity which is just and well distributed, to develop a social life and carry out a
developed a democratic and democratic country based on Pancasila and 1945 Constitution). Pancasila
merupakan dasar filsafat dan sumber dari segala sumber hukum negara Republik Indonesia yang secara
resmi disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 dan
dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945, diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tahun
Dalam perjalanan sejarah, sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia mengalami berbagai
interpretasi dan manipulasi politik sesuai dengan kepentingan dan arah politik hukum penguasa (rezim)
untuk mempertahankan kekuasaannya. Dengan perkataan lain, Pancasila tidak diposisikan sebagai
pandangan hidup (way of life) bangsa dan negara Indonesia, melainkan direduksi dan dimanipulasi demi
kepentingan politik rezim yang berkuasa. Begitu pula, peranan politik hukum pemerintah dalam
pembangunan hukum nasional pada hakekatnya tidak lagi bertujuan untuk “menciptakan masyarakat adil
A. LATAR BELAKANG
Nilai - nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila digali dan bersumber dari agama, kebudayaan,
serta adat istiadat yang terdapat di negara Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum harus dijadikan dasar dan pedoman untuk menentukan politik hukum dalam
pembangunan hukum nasional Indonesia. Namun demikian, harus diakui bahwa dari dahulu sampai
sekarang banyak pihak - pihak yang mencoba mempengaruhi dan mengarahkan kebijakan politik
(political will) dan politik hukum pemerintah dalam pembangunan hukum nasional Indonesia agar tidak
lagi menjadikan Pancasila sebagai pedoman. Berdasarkan kenyataan tersebut, diharapkan agar kerangka
pemikiran dalam karya ilmiah (makalah) ini dapat dijadikan refleksi yang bertujuan untuk
mengembalikan kedudukan dan fungsi Pancasila dalam rangka menyikapi peranan politik hukum dalam
Pada saat ini bangsa Indonesia ada di persimpangan jalan (crossroad) yang sangat menentukan masa
depan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam pengertian ini, apakah
pemerintah dapat menjalankan peranan politik hukumnya sebagai suatu political will untuk membangun
hukum nasional yang berwawasan nusantara dan kebangsaan yang dapat dijadikan sebagai perekat untuk
mempertahankan keutuhan rakyat Indonesia sebagai suatu nation. Oleh karena pada masa sekarang ini,
faktanya masih terdapat produk hukum dan peraturan perundang-undangan yang yang membahayakan
disintegrasi bangsa tetapi sengaja dipertahankan oleh pemerintah meskipun keberlakuannya bersifat
inkonstitusional. Termasuk adanya pola-pola kebijakan pemerintah dalam melaksanakan peranan politik
hukumnya, yang dianggap mencederai rasa keadilan masyarakat Indonesia dan bertentangan dengan nilai-
nilai hukum.
Undang - Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Pembangunan Hukum Nasional (Propenas) Tahun
2000 - 2004, sebagai penjabaran dari Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 - 2004, sama sekali
tidak memberikan arah dan tujuan yang jelas mengenai pembangunan hukum nasional. Propenas hanya
memberi gambaran mengenai upaya mewujudkan Supremasi Hukum dan Pemerintahan yang Baik.
Secara umum, dalam Propenas dinyatakan “Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin
kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia perlu
didukung dengan mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan
pihak mana pun, dan upaya menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah, dan
terbuka, serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan
kebenaran”.
Latar belakang masalah sebagaimana dipaparkan diatas fakta yuridis (das sollen) dan fakta riil (das
sein) yang menjadi rujukan untuk menganalisa masalah / pembahasan masalah dalam makalah ini, yaitu:
- Pancasila.
- Teori Hukum Hans Kelsen, yang menyatakan: “Kaedah hukum mempunyai kelakukan yuridis apabila
- Teori Hukum W. Zevenbergen, yang menyatakan: “Kaedah hukum mempunyai kekuatan yuridis, jikalau
- Teori Hukum J.H.A. Logemann, yang menyatakan: “Kaedah hukum mengikat secara yuridis, apabila
Banyak faktor - faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi peranan politik hukum pemerintah
Perumusan masalah dalam karya ilmiah (makalah) ini diidentifikasi berdasarkan fakta - fakta
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia sebagai suatu negara hukum yang menganut prinsip
- prinsip Demokrasi Pancasila. Selain itu, juga dihubungkan dengan fenomena tata kebudayaan dan
tuntutan perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia yang semakin dinamis tetapi cenderung
fluktuatif. Fakta - fakta dan fenomena tersebut sebenarnya merupakan rangkaian - rangkaian yang
saling kait - mengkait dengan peranan politik hukum dalam pembangunan hukum nasional Indonesia.
Sering kali fakta - fakta dan fenomena tersebut menjadi halangan atau kendala untuk membentuk
suatu sistem hukum ideal yang dicita - citakan. Masalah-masalah tersebut pada pokoknya dapat
1. Peranan politik hukum dalam pembangunan hukum nasional Indonesia untuk membentuk sistem
2. Faktor - faktor yang mempengaruhi peranan politik hukum pemerintah dalam pembangunan
PEMBAHASAN
Roscoe Pound menyatakan pendapatnya bahwa “hukum harus dilihat atau dipandang sebagai suatu
lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan - kebutuhan sosial. Hukum sangat
berhubungan erat dengan perubahan - perubahan sosial kemasyarakatan. Mengenai hubungan ini Emile
masyarakat”. Oleh karena itu, agar program pembangunan hukum nasional Indonesia dapat mencapai
sasaran maka politik hukum pemerintah harus memperhatikan stabilitas dalam segala bidang yang
berhubungan dengan kepentingan nasional dan internasional yang diselaraskan dengan unsur - unsur
agama, kebudayaan dan adat-istiadat masyarakat Indonesia, sehingga kepentingan - kepentingan pokok
Metode, strategi dan paradigma pembangunan hukum nasional Indonesia dewasa ini dipandang sangat
penting untuk mendapat perhatian yang sungguh - sungguh, melihat kenyataan adanya tendensi degradasi
kesadaran hukum masyarakat untuk mematuhi hukum dan peraturan perundang - undangan. Degradasi
kesadaran hukum tersebut tidak hanya terjadi pada kalangan masyarakat biasa pada umumnya, kelompok
-kelompok masyarakat atau lapisan masyarakat kelas bawah (lower class), tetapi juga pada tataran
kalangan birokrasi, pejabat dan badan-badan aparatur negara, juga lapisan masyarakat kelas menengah
(middle class) dan kelas atas (upper class) termasuk kalangan intelektual. Asumsi hipotetis tersebut
Pemerintah sebagai pemegang peranan (role occupant) seyogyanya dapat menjalankan politik hukum
dalam pembangunan hukum nasional Indonesia yang relevan dengan perkembangan jaman dan dapat
mengakomodir kepentingan - kepentingan sosial masyarakat. Pembangunan hukum nasional harus dapat
mencapai kesejahteraan materil dan spirituil masyarakat maupun individu (azas welvaartstaat), agar
hukum yang diformulasikan dalam peraturan perundang - undangan tersebut tidak sekedar kumpulan
huruf - huruf mati (doode letter / black letter law) melainkan secara normatif mengikat warga
masyarakat. Berkaitan dengan pembangunan hukum nasional, Andi Amrullah dalam tulisannya yang
berjudul Tantangan Bagi Pembangunan Hukum Nasional, menulis sebagai berikut, “ pembangunan
hukum itu dapat diadakan di sela - sela pembangunan phisik dan mental, dengan terlebih dahulu
menentukan tujuan hukum dan perkembangannya, mengadakan suatu analisa deskriftif dan prediktif, dan
mengumpulkan data-data tentang hukum yang masih dianggap melekat dalam diri anggota - anggota
masyarakat. Menentukan tujuan hukum dan perkembangannya saya kira tidaklah sulit, sebaliknya yang
saya anggap sulit adalah menetapkan apakah anggota - anggota masyarakat itu dapat menerima atau
mengakui tujuan hukum tersebut oleh karena taatnya anggota - anggota masyarakat kepada hukum dapat
1. bahwa tujuan hukum idfentik dengan tujuan / aspirasi anggota - anggota masyarakat itu atau
dengan kata lain taatnya anggota - anggota masyarakat pada hukum adalah karena terdapatnya
2. karena adanya kekuasaan yang imperatif melekat dalam hukum tersebut, dengan sanksi apabila
ada orang yang berani melanggarnya ia akan memperoleh akibat - akibat hukum yang tak
diingini.
Dengan demikian, deskripsi ilmiah diatas merupakan bahan kajian bagi pemerintah untuk
melaksanakan peranan politik hukumnya dalam pembangunan hukum nasional Indonesia agar tercipta
suatu sistem hukum nasional, sebagai pengejawantahan tujuan negara Indonesia sebagaimana tercantum
dalam alinea keempat Pembukaan Undang - Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selain itu, dapat pula dijadikan penyeimbang antara
peranan politik hukum pemerintah dengan kepentingan politiknya (pemerintah yang berkuasa) dan
1. Peranan politik hukum dalam pembangunan hukum nasional Indonesia untuk membentuk sistem
hukum ideal yang dicita-citakan.
Ensiklopedi Umum menjelaskan bahwa ius constitutum merupakan hukum yang berlaku dalam suatu
negara pada suatu saat. Dengan perkataan lain, ius constitutum adalah hukum positif suatu negara.
Sedangkan “ius constituendum adalah hukum yang dicita-citakan oleh pergaulan hidup dan negara,
tetapi belum menjadi kaidah berbentuk undang - undang atau peraturan lain (Ensiklopedi Umum:
1977)”.
Sedangkan Sudiman Kartohadiprodjo menyatakan, “Hukum positif dengan nama asing disebut juga
ius constitutum sebagai lawan daripada ius constituendum, yakni kesemuanya kaidah hukum yang kita
cita -citakan supaya memberi akibat peristiwa-peristiwa dalam suatu pergaulan hidup yang tertentu”.
Berkaitan dengan definisi - definisi tersebut, W.L.G. Lemaire menyatakan,”Het recht ordent dus een
menselijk samenleving van een bepaalde plaats en een bepaalde tijd. Het is een historisch product, dat
geworden is en vervallen zal (Terjemahan bebas: Dengan demikian maka hukum menerbitkan pergaulan
hidup manusia disuatu tempat tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Hukum merupakan hasil
Pembangunan hukum nasional yang ideal sesuai dengan ekspektasi masyarakat sangat penting dan
mendesak untuk segera diimplementasikan karena sampai saat ini masih banyak peraturan perundang -
undangan yang dirasakan sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman, termasuk peraturan perundang
- undangan produk kolonial Belanda. Selain itu, banyak pula peraturan perundang - undangan sebagai
suatu kaidah hukum tidak mempunyai keberlakuan secara yuridis oleh karena bertentangan dengan
peraturan perundang - undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Sehingga dalam pelaksanaannya,
peraturan perundang - undangan tersebut menimbulkan polemik pro - kontra dan bahkan sering
dimanipulasi kelompok - kelompok tertentu sebagai alat pembenaran untuk melakukan perbuatan
Efektivitas keberlakuan hukum (peraturan perundang - undangan) bukanlah masalah yang berdiri
sendiri, melainkan erat hubungannya dengan masalah - masalah kemasyarakatan lainnya, terutama
masalah pembangunan karakter bangsa Indonesia. Oleh karena itu pembangunan hukum nasional tidak
mungkin dipisahkan dari perkembangan masyarakat Indonesia, atau dengan perkataan lain pembangunan
hukum nasional tidak mungkin dipisahkan dari pembangunan bangsa. Dalam kerangka berpikir demikian
maka dapat dikemukakan asumsi ilmiah bahwa pembangunan hukum termasuk proses penegakkan
hukum harus dikembangkan secara positif dan kreatif untuk kemajuan di bidang hukum yang digerakkan
secara serasi, terarah untuk mewujudkan masyarakat yang sadar dan taat pada hukum.
Strategi pembangunan hukum harus didasarkan pada semangat kebangsaan (nasionalisme) dan
mengarah pada konsep pembangunan sosial kemasyarakatan yang menyeluruh (komprehensif) dan utuh
sebagai satu kesatuan (integral). Dasar politik hukum yang demikian akan menjadi landasan yang kuat
dan memainkan peranan yang positif terhadap pembangunan hukum nasional sebagai suatu sistem hukum
ideal yang dicita - citakan. Kaidah - kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang - undangan akan
dirasakan tidak hanya sebagai sesuatu yang harus dipatuhi / ditaati, melainkan akan menjadi bagian dari
nilai tata kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat merasa wajib untuk menegakkannya.
Disamping semangat kebangsaan sebagai dasar strategi pembangunan hukum nasional, politik hukum
pemerintah harus pula memperhatikan asas - asas hukum universal tetapi tetap becorak pada identitas
bangsa Indonesia. Indentitas bangsa Indonesia tersebut adalah Pancasila sebagai pandangan hidup (way of
life) dan sumber dari segala sumber hukum. Dengan demikian, peranan politik hukum pemerintah sangat
menentukan arah dan corak dari pembangunan hukum nasional untuk membentuk sistem hukum ideal
Pemerintah harus dapat memainkan peranan politik hukumnya sebagai pelopor perubahan (agent of
change) dalam rangka pembangunan hukum nasional untuk membentuk sistem hukum ideal yang dicita -
citakan. Sistem hukum yang demikian adalah tatanan hukum yang dapat menjamin tercapainya cita - cita
bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang - Undang Dasar 1945, yaitu;
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Berkaitan dengan cita - cita luhur
tersebut, asas negara Indonesia yang berdasarkan hukum, harus tetap menjadi semangat yang dinamis
dan positif.
Politik hukum sebagai suatu kebijakan pemerintah, mencakup juga pelaksanaan tertib hukum dalam
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di Indonesia. Sehingga, apabila peranan politik
hukum demikian dapat dijalankann maka hukum akan merupakan alat penting yang luwes agar tercapai
suasana kehidupan masyarakat Indonesia yang tertib oleh karena hukum ditaati / dipatuhi atas dasar
kesadaran karena hukum dianggap sebagai suatu budaya. Oleh karena itu, peranan politik hukum tidak
boleh menggunakan analytical jurisprudensce, yaitu analisis dari prinsip - prinsip utama hukum tanpa
memperhatikan aspek historis maupun aspek etis termasuk aspek sosio - kemasyarakatan.
Politik hukum dalam rangka pembangunan hukum nasional berkenaan juga dengan pembangunan
kesadaran hukum masyarakat. “Faham tentang kesadaran hukum sebetulnya berkisar pada Pikiran -
Pikiran yang menganggap bahwa kesadaran dalam diri warga - warga masyarakat suatu faktor yang
menentukan bagi sahnya hukum”. Pembangunan hukum nasional harus sesuai dengan filosofi
fundamental yang menyataka, “Merupakan suatu keadaan yang dicita - citakan atau dikehendaki, bahwa
ada keserasian proporsional antara pengendalian sosial oleh penguasa, kesadaran warga masyarakat
perubahan terhadap peraturan - peraturan yang telah ada, akan tetapi malahan termasuk mengganti secara
keseluruhan peraturan perundang - undangan yang dianggap sudah usang dan tidak sesuai dengan
perkembangan jaman (out of date). Dalam konteks pembangunan hukum termasuk pembaharuan hukum,
maka hukum tidak boleh memberikan keadaan statis atau mempertahankan status quo dari suatu keadaan
atau peristiwa. Hukum merupakan sarana yang penting dalam masyarakat sehingga harus dikembangkan
agar dapat memberi ruang gerak bagi perubahan masyarakat. Tidak sebaliknya, mempertahankan status
quo atau nilai - nilai yang tidak sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat.
Adanya hubungan timbal balik (causalitas) antara pembangunan hukum dan pembangunan masyarakat
sebagai suatu fenomena dalam politik hukum sangat penting mendapat kajian dan penjabaran
(uitwerking) secara mendalam agar tujuan pembentukkan hukum ideal yang dicita - citakan dapat
tercapai. Hal tersebut didasarkan pada pendapat bahwa hukum merupakan sarana pembagaruan dan
pembangunan masyarakat. Hukum sebagai alat/sarana pembaharuan masyarakat mirip dengan konsepsi
law as a tool of social engineering yang di negara barat dipopulerkan oleh aliran Pragmatic Legal
Realism.
Berbicara mengenai pembangunan hukum nasional dan hukum sebagai sarana pembangunan maka
yang menjadi pemikiran fundamental (basic thinking) adalah bahwa hukum positif nasional (ius
contitutum) yang akan dijadikan sebagai sarana pembaharuan masyarakat, justru memerlukan
pembaharuan dan pembangunan agar menjadi alat yang ideal untuk memperbaharui prilaku dan pola -
pola interaksi kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Hukum sebagai sarana / alat pembaharuan atau
pembangunan masyarakat pada hakekatnya berorientasi pada anggapan - anggapan, yaitu; 1) adanya sikap
tindak yang teratur (ajeg) dalam masyarakat atau adanya ketertiban dalam usaha pembangunan atau
pembaharuan masyarakat dipandang sebagai seuatu yang bersifat mutlak (absolut), 2) hukum dalam arti
kidah / norma dapat berfungsi sebagai sarana pengendali sosial (social control) kegiatan manusia /
adalah Pancasila. Berkaitan dengan itu Kaelan M.S. berpendapat bahwa, “Pancasila merupakan cita -
cita hukum, kerangka berpikir, sumber nilai serta sumber arah penyusunan dan perubahan hukum positif
di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka Pancasila berfungsi sebagai paradigma hukum terutama
dalam kaitannya dengan berbagai macam upaya perubahan hukum, atau Pancasila harus merupakan
paradigma dalam suatu pembaharuan hukum. Materi - materi dalam suatu produk hukum atau
perubahan hukum dapat senantiasa berubah dan diubah sesuai dengan perkembangan zaman,
perkembangan iptek serta perkembangan aspirasi masyarakat namun sumber nilai (yaitu nilai - nilai
Pancasila) harus senantiasa tetap. Hal ini mengingat kenyataan bahwa hukum itu tidak berada pada
situasi vacum”.
Agar dapat dibentuk sistem hukum ideal sesuai dengan ekspektasi (yang dicita - citakan) masyarakat,
maka dalam kaitannya dengan pembangunan hukum nasional , kiranya sangat relevan pendapat Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto yang mengatakan bahwa sejak diundangkan peraturan perundang -
a. Syarat keterbukaan yaitu bahwa sidang-sidang di Dewan Perwakilan Rakyat dan perikelakukan anggota
eksekutif dalam pembuatan undang-undang diumumkan, dengan harapan akan adanya tanggapan warga
b. Memberikan hak kepada warga masyarakat untuk mengajukan usul - usul (tertulis) kepada penguasa.
1. Penguasa setempat mengundang mereka yang berminat untuk menghindari suatu pembicaraan
2. Suatu Departemen mengundang organisasi - organisasi tertentu untuk memberikan usul - usul tentang
4. Pembentukan komisi - komisi penasihat yang terdiri dari tokoh - tokoh dan ahli - ahli terkemuka.
Sedangkan berkaitan dengan ide pembangunan hukum nasional untuk membentuk sistem hukum ideal
sesuai yang dicita - citakan, menurut Soerjono Soekanto bahwa dalam rangka penyempurnaan pembinaan
(pembangunan) hukum, maka paling sedikit perlu diperhatikan syarat - syarat sebagai berikut:
1. Hukum tidak merupakan aturan - aturan yang bersifat ad hoc, akan tetapi merupakan aturan - aturan
2. Hukum tadi harus diketahui dan jelas bagi para warga masyarakat yang kepentingan - kepentingannya
5. Tidak ada peraturan - peraturan yang saling bertentangan, baik mengenai satu bidang kehidupan tertentu,
6. Pembentukan hukum harus memperhatikan kemampuan para warga masyarakat untuk mematuhi hukum
tersebut;
7. Perlu dihindarkan terlalu banyaknya dan seringnya frekuensi perubahan-perubahan pada hukum, oleh
karena warga - warga masyarakat dapat kehilangan ukuran dan pedoman bagi kegiatan - kegiatannya;
8. Adanya korelasi antara hukum dengan pelaksanaan atau penerapan hukum tersebut;
Disamping pendapat Soerjono Soekanto tersebut diatas, apabila dihubungkan dengan keanekaragaman
(diversity) bangsa Indonesia yang terjewantah dalam kebudayaan, adat-istiadat, suku, agama dan
kepecayaan, serta Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelago) maka agar tercipta sistem hukum
nasional yang ideal, menjadi sangat relevan apabila peranan politik hukum (rechtpolitiek) dalam
ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar i945 sebagai tertib hukum tertinggi, yaitu;
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
2. Orientasi landasan yuridis yang tetap berpedoman pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum.
5. Pengimplementasian nilai-nilai pembaharuan dan pelestarian (azas welvaarstaat) yang bersifat tahan
lama (duurzaamheid);
Sesuai dengan semangat perjuangan, nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan serta cita-cita luhur
bangsa Indonesia yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 maka pembangunan
hukum nasional hendaknya harus mencerminkan sifat; gotong royong, kekeluargaan, toleransi, anti
dengan memadukan tujuan membangun hukum nasional yang satu atau menyatukan dengan
memperhatikan keanekaragaman budaya dari penduduk yang mendiami suatu negara kepulauan.
Pedoman yang dapat digunakan dalam membangun hukum nasional adalah untuk mengusahakan
bagaimanapun juga mengutamakan kepastian (Unity whenever possible, diversity where desireable, but
Suatu fakta yang lazim bahwa kaidah - kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang -undangan
yang dirancang, disusun dan diformulasikan oleh pemerintah adakalanya tidak sesuai dengan
kepentingan - kepentingan dan nilai - nilai yang diharapkan oleh masyarakat sebagai suatu pedoman atau
patokan interaksi sosial. Akibat ketidaksesuain tersebut, kadang - kadang timbul ketegangan dan gerakan
- gerakan protes dari kelompok - kelompok masyarakat. Bahkan sering terjadi kecenderungan bahwa
sebagai efek domino dari ketegangan dan gerakan-gerakan protes tersebut, terjadi gesekan atau konflik di
Peranan politik hukum sebagai sarana transformasi struktur dan kultur masyarakat harus dilakukan
dengan kebijakan - kebijakan yang terarah dan terukur. Menurut C.F.G. Sunaryati Hartono, ”Tranformasi
struktur dan kultur masyarakat dapat ditempuh melalui berbagai cara dan tindakan sebagai berikut:
a. Masyarakat dibiarkan berkembang secara alami tanpa ada campur tangan dari pihak manapun. Cara ini
biasanya memakan waktu yang sangat lama, kadang-kadang sampai beberapa abad.
b. Perubahan masyarakat secara mendadak dan cepat (revolusioner). Transformasi masyarakat melalui
cara ini sering kali terjadi sebagai akibat peristiwa berdarah yang bertujuan menggantikan pimpinan
negara ataupun asas-asas pemerintahan secara tiba-tiba. Kelemahan dari cara revolusioner ini ialah
bahwa besar kemungkinannya masyarakat akan mengalami set back karena perubahan itu terjadi
secara mendadak. Karena itu, diabad ke - 20 ini lebih banyak ditempuh cara yang lebih evolusioner,
yaitu:
c. Perubahan masyarakat yang direncanakan dan diarahkan supaya perubahan masyarakat terjadi secara
yang dimaksud dalam hal ini adalah kebijakan pemerintah untuk melakukan pembangunan hukum
nasional dengan merencanakan dan mengarahkan perubahan masyarakat secara bertahap dan wajar
(evolusioner). Pertimbangan konsepsi yang demikian didasarkan pada kultural masyarakat indonesia yang
sangat variatif. Oleh karena, apabila perubahan masyarakat dibiarkan secara alami maka mungkin
mengakibatkan terjadinya perkembangan ke arah yang tidak diinginkan atau bahkan dapat mengakibatkan
Pada asasnya prosedur pembentukan hukum nasional Indonesia menganut civil law system atau sistem
eropa kontinental. Dalam hal yang demikian, kaidah-kaidah hukum dirumuskan dan diformulasikan
dalam bentuk peraturan perundang-undangan terlebih dahulu oleh para pembentuk undang-undang (law
makers) baru kemudian diberlakukan dalam masyarakat setelah dimuat dalam Lembaran Negara dan
diumumkan melalui berita negara. Hal tersebut sangat kontradiktif dengan common law system atau
sistem anglo saxon, dimana hukum dibuat atas dasar kebiasaan-kebiasaan dan pola-pola pergaulan hidup
masyarakat sehari-hari.
Dalam hal ini, oleh karena tata cara pembentukan hukum atau peraturan perundang - undangan
Indonesia menganut civil law system atau sistem eropa kontinental maka dalam proses pembentukan
hukum tersebut terdapat faktor - faktor yang dapat mempengaruhi politik hukum pemerintah untuk
membentuk hukum yang dicita - citakan (ius constituendum) yang ideal bagi masyarakat Indonesia.
Faktor - faktor tersebut dapat diidentifikasi antara lain, adanya penetrasi kepentingan negara - negara
maju, kepentingan politik pemerintah, dan kebudayaan masyarakat. Kenyataan tersebut menyebabkan
kebijakan pembangunan hukum nasional untuk membentuk sistem hukum ideal yang dicita - citakan tidak
mendominasi peranan politik hukum pemerintah dalam membangun hukum nasional Indonesia. Penetrasi
(pressure) tersebut biasanya dikaitkan dengan bantuan di bidang ekonomi, keuangan (fiskal), peralatan
tempur dan kerjasama militer dan sebagainya. Dalam hal demikian tersebut, terjadi tawar - menawar
(bargaining position) antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara maju yang menyangkut
Kondisi - kondisi yang ditentukan sejak Konsensus Washington (1980) telah mendorong perubahan
berbagai kebijakan di seluruh negara termasuk prilaku pejabat publik di negara berkembang. Negara
berkembang seperti Indonesia berusaha mematuhi dan melaksanakan konsensus tersebut bukan hanya di
bidang perdagangan internasional tetapi juga dalam sektor lainnya seperti keamanan, ketertiban dan
penegakkan hukum. Prilaku negara - negara maju telah memasuki bidang kamtibgakkum melalui
berbagai prosedur dalam pembentukan peraturan perundang - undangan nasional di negara - negara
berkembang termasuk Indonesia. Masih jelas dalam ingatan kita ketika awal reformasi 1998, IMF telah
Prilaku hipokrit negara - negara maju yang telah memasuki bidang seperti keamanan, ketertiban dan
penegakkan hukum (kamtibgakkum) melalui berbagai prosedur dalam pembentukan peraturan perundang
- undangan nasional, jelas merupakan bentuk penetrasi untuk memaksakan kepentingan - kepentingan
tertentu. Sikap hipokrit negara - negara maju sudah terbukti dalam pembentukan undang - undang tindak
pidana suap (bribery) dan tindak pidana pencucian uang. Oleh karena itu, peranan politik hukum
pemerintah dalam menerbitkan produk perundang - undangan yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat
harus dikaji secara mendalam dari berbagai aspek. Harus dilihat aspek kemanfaatan terbesar untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan konsep analisis ekonomi terhadap pembentukan hukum
(utilitarianisme). Konsep ekonomi dalam pembentukan hukum (undang - undang) bertumpu pada tiga
mempengaruhi rakyat / masyarakat dan pihak - pihak lain menurut kehendak dan tujuan politiknya.
Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan negara merupakan pihak yang memerintah (The ruler),
sedangkan rakyat / masyarakat yang berada dalam lingkup kekuasaan pemerintah merupakan pihak yang
diperintah (The ruled). “Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk
mempengaruhi tingkah lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu
menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu”. Sedangkan
Robert M. MacIver memberikan batasan makna mengenai kekuasaan, yaitu “Kekuasaan sosial adalah
kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain, baik secara langsung dengan memberikan
perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia
(Social power is the capacity to control the behavior of others either directly by fiat or indirectly by the
Pengambilan keputusan (decision making) dalam menjalankan peranan politik hukum pemerintah
untuk membangun hukum nasional sering kali dipengaruhi kepentingan - kepentingan yang diusung /
diajukan oleh partai politik tertentu. Terutama kepentingan - kepentingan yang diusung atau diajukan
oleh kelompok - kelompok penekan (preassure group) yang tergabung dalam koalisi partai. Kepentingan
politik pemerintah sering kali dijadikan alasan dan pertimbangan untuk membentuk suatu peraturan
perundang - undangan. Tidak jarang kepentingan politik tersebut bertentangan dengan syarat - syarat ideal
yang harus dipenuhi untuk sahnya keberlakuan suatu hukum atau peraturan perundang - undangan, yaitu
keberlakuan secara yuridis, keberlakuan secara filosofis dan keberlakuan secara sosiologis. Padahal
Soerjono Soekanto secara elementer mengatakan, “Masyarakat luas secara sadar maupun tidak sadar
akan beranggapan, bahwa hukum akan berwibawa, apabila hukum tadi berlaku secara yuridis, filosofis
dan sosiologis. Pertama - tama artinya adalah, bahwa hukum tadi diperlakukan sesuai dengan syarat -
syarat yuridis. Kedua hal itu berarti, bahwa hukum tadi adalah sesuai dengan pandangan hidup atau
falsafah hidup dari masyarakat yang bersangkutan. Dan yang terakhir, hukum tadi memang secara nyata
Sebagai contoh konkrit adanya kepentingan politik pemerintah dalam pembentukan peraturan
perundang – undangan yaitu dengan diundangkannya Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Nomor 8
Tahun 2006 dan Menteri Agama Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah / Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Substansi / materi dari Peraturan Bersama
Menteri tersebut sangat tidak sesuai dengan nilai – nilai hukum yang terkandung di dalam Pembukaan
Undang – Undang Dasar 1945 sebagai tertib hukum yang tertinggi, jiwa dan semangat Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum, Batang Tubuh Undang – Undang Dasar 1945 sebagai norma dasar
(grundnorm) dan Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006 dan Menteri Agama Nomor 9
Tahun 2006 tersebut tidak mempunyai dasar keberlakuan secara yuridis oleh karena bertentangan denga
kaidah - kaidah hukum yang lebih tinggi tingkatannya. Dalam Undang - Undang Dasar 1945 dan Undang
- Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan secara tegas bahwa hak untuk
memeluk agama dan beribadat sesuai dengan agama dan keyakinan masing - masing individu dijamin dan
dilindungi oleh undang - undang, akan tetapi dalam Peraturan Bersama Menteri tersebut asas kebebasan
beragama dan beribadat menjadi absurd dan tidak jelas. Selain itu, Peraturan Bersama Menteri tersebut
juga tidak mempunyai keberlakuan secara sosiologis karena tidak sesuai dengan harapan - harapan
kelompok masyarakat tertentu dan dalam praktek pemberlakuannya mendapat perlawanan dan protes
yang keras dari sebagian masyarakat Indonesia. Secara filosofis, Peraturan Bersama Menteri tersebut
juga dapat mengganggu integritas, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, serta dapat menjadi pemicu
Selain itu, contoh klasik yang menarik perhatian adanya intervensi peranan politik hukum
pemerintah di bidang yudikatif berkaitan dengan putusan badan peradilan adalah Putusan Mahkamah
Agung yang telah menerima permintaan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum
dalam beberapa kasus yang telah ada, seperti putusan kasus Muchtar Pakpahan, Kasus Ram Gulumal alias
V. Ram (The Gandhi Memorial School),kasus Soetiyawati maupun kasus Pollycarpus Budihari Priyanto,
yang dapat dianggap sebagai kontroversi. Sikap Mahkamah Agung tersebut dianggap dianggap tidak
melaksanakan aturan formal atau telah bertindak melebihi ketentuan Hukum Acara Pidana mengenai hal
pengaturan permintaan Peninjauan Pembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Mahkamah Agung disinyalir telah melanggar ketentuan faham positivisme atau analytical
positivism atau rechtsdogmatiek yang cenderung melihat bahwa hukum sebagai suatu yang otonom, yang
bertugas untuk mewujudkan kepastian hukum, terutama mengenai ketentuan Peninjauan Kembali yang
diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dengan sikap ambivalence dari
Mahkamah Agung tersebut masyarakat menduga adanya peranan politik hukum pemerintah yang
C. Kebudayaan masyarakat
Keadaan yang sangat mengkhawatirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia
dewasa ini adalah terdapatnya keanekaragaman hukum yang berlaku di Indonesia yang didasarkan pada
pertimbangan - pertimbangan politik hukum pemerintah terhadap daerah - daerah tertentu. Terdapat
beberapa peraturan perundang - undangan yang memberi kesan perlakuan istimewa / khusus terhadap
daerah - daerah tertentu di Indonesia, seperti; Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh, Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2001 Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2001
Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Peraturan Pengganti Undang - Undang Nomor 1 Tahun
2008 Tentang Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 Tentang Majelis Rakyat Papua. hal ini suatu
saat akan dapat menimbulkan problematika serius, oleh karena bukan tidak mustahil daerah - daerah lain
di Indonesia pada suatu saat menuntut perlakuan yang sama dari pemerintah. Disamping itu, ada pula
kemungkinan bahwa daerah - daerah yang telah diberikan perlakukan istimewa / khusus tersebut, suatu
saat menuntut perlakuan yang lebih dari pemerintah pusat. Semua gejala - gejala tersebut pada akhirnya
akan mempengaruhi bahkan menjadi kendala bagi penerapan azas unifikasi keberlakuan suatu peraturan
Memang, kebudayaan dan asal - usul sejarah suatu daerah harus dipertimbangkan sebagai bagian dari
politik hukum pemerintah dalam membangun hukum nasional. Akan tetapi, sebaiknya pemerintah dalam
melaksanakan peranan politik hukumnya, membangun hukum nasional yang dapat menampung
kepentingan - kepentingan semua masyarakat tanpa memandang perbedaan antara belakang daerah dan
perbedaan antara golongan suku. Apabila konsep latar belakang daerah dan perbedaan golongan suku
dijadikan pertimbangan mendasar oleh pemerintah dalam menjalankan peranan politik hukumnya untuk
membangun hukum nasional, hal itu berarti bangsa Indonesia mengalami kemunduran (set back) dalam
Latar belakang kebudayaan, asal - usul sejarah suatu daerah dan perbedaan golongan suku (ethnic)
tetap harus diperhatikan / dipertimbangkan pemerintah dalam politik hukumnya, tetapi hal tersebut harus
mengalami asimilasi bentuk - bentuk hukum baru yang selaras dengan perubahan dan perkembangan
masyarakat untuk mengarah kepada tercapainya sutau tata hukum yang berkeadilan dan dapat diterima
oleh kelompok masyarakat di luar ruang lingkup batas - batas daerah tersebut. Justeru peranan politik
hukum pemerintah jangan terjebak pada pola - pola primordial sehingga tidak dapat membentuk sistem
hukum ideal yang dicita - citakan. Sebaliknya, akan sangat berbahaya apabila dengan alasan - alasan
subjektif mempertimbangkan kebudayaan, asal - usul sejarah suatu daerah dan perbedaan golongan suku,
akhirnya pemerintah melakukan kekeliruan dengan membentuk sistem hukum nasional yang bersifat
diskriminatif, mengandung nuansa provokatif, tidak mengakomodir cita - cita bangsa Indonesia
sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang - Undang Dasar 1945, atau bahkan bertentangan
dengan prinsip - prinsip dasar dan asas - asas umum dalam hukum yang berlaku secara universal.
Sangat ironi apabila dengan alasan pertimbangan latar belakang kebudayaan, asal - usul sejarah suatu
daerah dan perbedaan golongan suku masyarakat Indonesia, pada akhirnya peranan politik hukum
pemerintah dalam membangun hukum nasional indonesia bertentangan dengan ketentuan - ketentuan
dalam Universal Declaration of Human Rights, padahal negara Indonesia telah menjadi negara peserta
yang turut meratifikasi Universal Declaration of Human Rights tersebut. Hak - hak yang diadopsi dalam
piagam tersebut yang harus dimasukkan dalam pertimbangan politik hukum pemerintah untuk
membangun hukum nasional, antara lain; hak hidup, hak kebebasan, hak keamanan pribadi, kebebasan
berpikir, kebebasan beragama, kebebasan berbicara, kebebasan dari rasa takut dan kesengsaraan dan
sebagainya. Negara Indonesia juga telah menjadi negara peserta yang turut meratifikasi Internasional Bill
of Human Rights, yang meliputi: 1) Universal Declaration of Human Rights, 2) Internasional Covenant
on Economic, Social, and Cultural Rights, 3) International Covenant on Civil and Political Rights and
PENUTUP
Kesimpulan
- Orientasi pembangunan hukum harus tetap mencerminkan / merefleksikan kehendak untuk terus
menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta
mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis
- Pedoman politik pemerintah Hindia Belanda di Indonesia pada waktu dahulu didasarkan pada Wet op
de staatsinrichting van Ned - Indie, khususnya yang termaktub dalam pasal 131 jo. pasal 163
- Landasan atau dasar - dasar pokok kebijakan hukum nasional pada era Orde Baru, tercantum dalam
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR RI) IV / 1973 Tentang
Garis - Garis Besar Haluan Negara (GBHN), serta juga dirumuskan dalam REPELITA II BAB 27
Tentang Hukum.
- Pada era Reformasi sekarang ini, sama sekali tidak ada konsep yang jelas mengenai pedoman arah
dan tujuan pembangunan hukum nasional. Bahkan terdapat kecenderungan adanya peraturan
perundang - undangan produk lembaga eksekutif (pemerintah) dan lembaga legeslatif (Dewan
Perwakilan Rakyat) yang tidak mencerminkan semangat reflormasi dan nilai - nilai demokrasi yang
bersifat universal.
- Undang - Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Pembangunan Hukum Nasional (Propenas) Tahun
2000 - 2004, sebagai penjabaran dari Garis - Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 - 2004, sama
sekali tidak memberikan arah dan tujuan yang jelas mengenai pembangunan hukum nasional.
Propenas hanya memberi gambaran secara umum mengenai upaya mewujudkan supremasi hukum
- Agar program pembangunan hukum nasional Indonesia dapat mencapai sasaran maka politik hukum
pemerintah harus memperhatikan stabilitas dalam segala bidang yang berhubungan dengan
kepentingan nasional dan internasional yang diselaraskan dengan unsur - unsur agama, kebudayaan
dan adat - istiadat masyarakat Indonesia, sehingga kepentingan - kepentingan pokok warga
masyarakat terpenuhi.
- Peranan politik hukum pemerintah untuk membangun hukum nasional yang ideal sesuai dengan
ekspektasi masyarakat sangat penting dan mendesak untuk segera diimplementasikan karena sampai
saat ini masih banyak peraturan perundang - undangan yang dirasakan sudah tidak sesuai dengan
perkembangan jaman, dan terdapat pula peraturan perundang - undangan yang keberlakukannya
Sunaryati Hartono, C.F.G. Bhineka Tunggal Ika sebagai Asas Hukum bagi Pembangunan
Hukum Nasional. Bandung (Penerbit:PT. Citra Aditya Bakti) Tahun 2006.
Abdul Manan, H. Bahan Kuliah Politik Hukum. Jakarta (Universitas Jayabaya) Tahun 2012.
Budiardjo, Miriam. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta (Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama)
Tahun 2000.
Purbacaraka, Purnadi, Soerjono Soekanto. Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung (Penerbit:
Alumni) Tahun 1980.
Purbacaraka, Purnadi, Soerjono Soekanto. Sendi – Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum. Bandung
(Penerbit: Alumni) Tahun 1979.
Soekanto, Soerjono. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum. Bandung (Penerbit:
Alumni) Tahun 1979
Subekti. Pokok – Pokok Hukum Perdata. Jakarta (Penerbit: PT. Intermasa) Tahun 1994