Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

PERANAN POLITIK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL


INDONESIA

OLEH:
NENI YULIA YAHYA
I2B02310058

MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2023
BAB I
PENDAHULUAN

Politik hukum Indonesia sangat berkaitan dengan realita sosial dan tradisional yang terdapat di dalam

negara Indonesia (faktor internal), serta politik hukum internasional (faktor eksternal). Faktor internal

antara lain meliputi latar belakang sejarah, kebudayaan dan adat - istiadat, serta cita - cita masyarakat atau

bangsa Indonesia. Perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia sejak Orde Lama

(ORLA), Orde Baru (ORBA) sampai dengan Orde Reformasi sekarang ini mengalami perubahan yang

sangat besar terutama dalam rangka mewujudkan tujuan gerakan reformasi di bidang hukum yang

diimplementasikan melalui beberapa kebijakan hukum diantaranya dengan melakukan perubahan

(amandemen) terhadap Undang - Undang Dasar 1945.

Namun demikian, meskipun terhadap Undang - Undang Dasar 1945 telah dilakukan amandemen

beberapa kali, orientasi pembangunan hukum harus tetap mencerminkan / merefleksikan kehendak untuk

terus menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata,

serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis

berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945 (a reflection of willing to nicrease continually

the Indonesians’ prosperity which is just and well distributed, to develop a social life and carry out a

developed a democratic and democratic country based on Pancasila and 1945 Constitution). Pancasila

merupakan dasar filsafat dan sumber dari segala sumber hukum negara Republik Indonesia yang secara

resmi disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 dan

dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945, diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tahun

II No. 7 bersama - sama dengan batang tubuh UUD 1945.

Dalam perjalanan sejarah, sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia mengalami berbagai

interpretasi dan manipulasi politik sesuai dengan kepentingan dan arah politik hukum penguasa (rezim)

untuk mempertahankan kekuasaannya. Dengan perkataan lain, Pancasila tidak diposisikan sebagai
pandangan hidup (way of life) bangsa dan negara Indonesia, melainkan direduksi dan dimanipulasi demi

kepentingan politik rezim yang berkuasa. Begitu pula, peranan politik hukum pemerintah dalam

pembangunan hukum nasional pada hakekatnya tidak lagi bertujuan untuk “menciptakan masyarakat adil

dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

A. LATAR BELAKANG

Nilai - nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila digali dan bersumber dari agama, kebudayaan,

serta adat istiadat yang terdapat di negara Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila sebagai sumber dari

segala sumber hukum harus dijadikan dasar dan pedoman untuk menentukan politik hukum dalam

pembangunan hukum nasional Indonesia. Namun demikian, harus diakui bahwa dari dahulu sampai

sekarang banyak pihak - pihak yang mencoba mempengaruhi dan mengarahkan kebijakan politik

(political will) dan politik hukum pemerintah dalam pembangunan hukum nasional Indonesia agar tidak

lagi menjadikan Pancasila sebagai pedoman. Berdasarkan kenyataan tersebut, diharapkan agar kerangka

pemikiran dalam karya ilmiah (makalah) ini dapat dijadikan refleksi yang bertujuan untuk

mengembalikan kedudukan dan fungsi Pancasila dalam rangka menyikapi peranan politik hukum dalam

pembangunan hukum nasional Indonesia.

Pada saat ini bangsa Indonesia ada di persimpangan jalan (crossroad) yang sangat menentukan masa

depan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam pengertian ini, apakah

pemerintah dapat menjalankan peranan politik hukumnya sebagai suatu political will untuk membangun

hukum nasional yang berwawasan nusantara dan kebangsaan yang dapat dijadikan sebagai perekat untuk

mempertahankan keutuhan rakyat Indonesia sebagai suatu nation. Oleh karena pada masa sekarang ini,

faktanya masih terdapat produk hukum dan peraturan perundang-undangan yang yang membahayakan

disintegrasi bangsa tetapi sengaja dipertahankan oleh pemerintah meskipun keberlakuannya bersifat

inkonstitusional. Termasuk adanya pola-pola kebijakan pemerintah dalam melaksanakan peranan politik

hukumnya, yang dianggap mencederai rasa keadilan masyarakat Indonesia dan bertentangan dengan nilai-

nilai hukum.
Undang - Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Pembangunan Hukum Nasional (Propenas) Tahun

2000 - 2004, sebagai penjabaran dari Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 - 2004, sama sekali

tidak memberikan arah dan tujuan yang jelas mengenai pembangunan hukum nasional. Propenas hanya

memberi gambaran mengenai upaya mewujudkan Supremasi Hukum dan Pemerintahan yang Baik.

Secara umum, dalam Propenas dinyatakan “Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin

kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia perlu

didukung dengan mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan

pihak mana pun, dan upaya menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah, dan

terbuka, serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan

kebenaran”.

Latar belakang masalah sebagaimana dipaparkan diatas fakta yuridis (das sollen) dan fakta riil (das

sein) yang menjadi rujukan untuk menganalisa masalah / pembahasan masalah dalam makalah ini, yaitu:

1. Fakta Yuridis (das sollen), yaitu:

- Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

- Pancasila.

- Undang-Undang Dasar 1945.

- Teori Hukum Hans Kelsen, yang menyatakan: “Kaedah hukum mempunyai kelakukan yuridis apabila

penentuannya didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi tingkatannya”.

- Teori Hukum W. Zevenbergen, yang menyatakan: “Kaedah hukum mempunyai kekuatan yuridis, jikalau

kaedah tersebut terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan”.

- Teori Hukum J.H.A. Logemann, yang menyatakan: “Kaedah hukum mengikat secara yuridis, apabila

menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya”.

2. Fakta Riil (das`sein), yaitu:

Banyak faktor - faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi peranan politik hukum pemerintah

dalam pembangunan hukum nasional di Indonesia.


B. RUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah dalam karya ilmiah (makalah) ini diidentifikasi berdasarkan fakta - fakta

kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia sebagai suatu negara hukum yang menganut prinsip

- prinsip Demokrasi Pancasila. Selain itu, juga dihubungkan dengan fenomena tata kebudayaan dan

tuntutan perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia yang semakin dinamis tetapi cenderung

fluktuatif. Fakta - fakta dan fenomena tersebut sebenarnya merupakan rangkaian - rangkaian yang

saling kait - mengkait dengan peranan politik hukum dalam pembangunan hukum nasional Indonesia.

Sering kali fakta - fakta dan fenomena tersebut menjadi halangan atau kendala untuk membentuk

suatu sistem hukum ideal yang dicita - citakan. Masalah-masalah tersebut pada pokoknya dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1. Peranan politik hukum dalam pembangunan hukum nasional Indonesia untuk membentuk sistem

hukum ideal yang dicita-citakan.

2. Faktor - faktor yang mempengaruhi peranan politik hukum pemerintah dalam pembangunan

hukum nasional Indonesia.


BAB II

PEMBAHASAN

Roscoe Pound menyatakan pendapatnya bahwa “hukum harus dilihat atau dipandang sebagai suatu

lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan - kebutuhan sosial. Hukum sangat

berhubungan erat dengan perubahan - perubahan sosial kemasyarakatan. Mengenai hubungan ini Emile

Durkheim menyatakan,”bahwa hukum merupakan refleksi daripada solidaritas sosial dalam

masyarakat”. Oleh karena itu, agar program pembangunan hukum nasional Indonesia dapat mencapai

sasaran maka politik hukum pemerintah harus memperhatikan stabilitas dalam segala bidang yang

berhubungan dengan kepentingan nasional dan internasional yang diselaraskan dengan unsur - unsur

agama, kebudayaan dan adat-istiadat masyarakat Indonesia, sehingga kepentingan - kepentingan pokok

warga masyarakat terpenuhi.

Metode, strategi dan paradigma pembangunan hukum nasional Indonesia dewasa ini dipandang sangat

penting untuk mendapat perhatian yang sungguh - sungguh, melihat kenyataan adanya tendensi degradasi

kesadaran hukum masyarakat untuk mematuhi hukum dan peraturan perundang - undangan. Degradasi

kesadaran hukum tersebut tidak hanya terjadi pada kalangan masyarakat biasa pada umumnya, kelompok

-kelompok masyarakat atau lapisan masyarakat kelas bawah (lower class), tetapi juga pada tataran

kalangan birokrasi, pejabat dan badan-badan aparatur negara, juga lapisan masyarakat kelas menengah

(middle class) dan kelas atas (upper class) termasuk kalangan intelektual. Asumsi hipotetis tersebut

didasarkan pada indikator kesadaran hukum masyarakat, yaitu:

a. Adanya pengetahuan hukum

b. Adanya pemahaman hukum

c. Sikap terhadap hukum

d. Pola perilaku hukum


e. Taat kepada hukum

Pemerintah sebagai pemegang peranan (role occupant) seyogyanya dapat menjalankan politik hukum

dalam pembangunan hukum nasional Indonesia yang relevan dengan perkembangan jaman dan dapat

mengakomodir kepentingan - kepentingan sosial masyarakat. Pembangunan hukum nasional harus dapat

mencapai kesejahteraan materil dan spirituil masyarakat maupun individu (azas welvaartstaat), agar

hukum yang diformulasikan dalam peraturan perundang - undangan tersebut tidak sekedar kumpulan

huruf - huruf mati (doode letter / black letter law) melainkan secara normatif mengikat warga

masyarakat. Berkaitan dengan pembangunan hukum nasional, Andi Amrullah dalam tulisannya yang

berjudul Tantangan Bagi Pembangunan Hukum Nasional, menulis sebagai berikut, “ pembangunan

hukum itu dapat diadakan di sela - sela pembangunan phisik dan mental, dengan terlebih dahulu

menentukan tujuan hukum dan perkembangannya, mengadakan suatu analisa deskriftif dan prediktif, dan

mengumpulkan data-data tentang hukum yang masih dianggap melekat dalam diri anggota - anggota

masyarakat. Menentukan tujuan hukum dan perkembangannya saya kira tidaklah sulit, sebaliknya yang

saya anggap sulit adalah menetapkan apakah anggota - anggota masyarakat itu dapat menerima atau

mengakui tujuan hukum tersebut oleh karena taatnya anggota - anggota masyarakat kepada hukum dapat

disebabkan oleh dua faktor dominan, yaitu:

1. bahwa tujuan hukum idfentik dengan tujuan / aspirasi anggota - anggota masyarakat itu atau

dengan kata lain taatnya anggota - anggota masyarakat pada hukum adalah karena terdapatnya

perasaan keadilan dan kebenaran dalam hukum itu sendiri.

2. karena adanya kekuasaan yang imperatif melekat dalam hukum tersebut, dengan sanksi apabila

ada orang yang berani melanggarnya ia akan memperoleh akibat - akibat hukum yang tak

diingini.

Dengan demikian, deskripsi ilmiah diatas merupakan bahan kajian bagi pemerintah untuk

melaksanakan peranan politik hukumnya dalam pembangunan hukum nasional Indonesia agar tercipta

suatu sistem hukum nasional, sebagai pengejawantahan tujuan negara Indonesia sebagaimana tercantum
dalam alinea keempat Pembukaan Undang - Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selain itu, dapat pula dijadikan penyeimbang antara

peranan politik hukum pemerintah dengan kepentingan politiknya (pemerintah yang berkuasa) dan

penetrasi kepentingan negara - negara maju.

1. Peranan politik hukum dalam pembangunan hukum nasional Indonesia untuk membentuk sistem
hukum ideal yang dicita-citakan.

Ensiklopedi Umum menjelaskan bahwa ius constitutum merupakan hukum yang berlaku dalam suatu

negara pada suatu saat. Dengan perkataan lain, ius constitutum adalah hukum positif suatu negara.

Sedangkan “ius constituendum adalah hukum yang dicita-citakan oleh pergaulan hidup dan negara,

tetapi belum menjadi kaidah berbentuk undang - undang atau peraturan lain (Ensiklopedi Umum:

1977)”.

Sedangkan Sudiman Kartohadiprodjo menyatakan, “Hukum positif dengan nama asing disebut juga

ius constitutum sebagai lawan daripada ius constituendum, yakni kesemuanya kaidah hukum yang kita

cita -citakan supaya memberi akibat peristiwa-peristiwa dalam suatu pergaulan hidup yang tertentu”.

Berkaitan dengan definisi - definisi tersebut, W.L.G. Lemaire menyatakan,”Het recht ordent dus een

menselijk samenleving van een bepaalde plaats en een bepaalde tijd. Het is een historisch product, dat

geworden is en vervallen zal (Terjemahan bebas: Dengan demikian maka hukum menerbitkan pergaulan

hidup manusia disuatu tempat tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Hukum merupakan hasil

perkembangan sejarah, yang terbentuk dan akan hilang)”.

Pembangunan hukum nasional yang ideal sesuai dengan ekspektasi masyarakat sangat penting dan

mendesak untuk segera diimplementasikan karena sampai saat ini masih banyak peraturan perundang -

undangan yang dirasakan sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman, termasuk peraturan perundang

- undangan produk kolonial Belanda. Selain itu, banyak pula peraturan perundang - undangan sebagai
suatu kaidah hukum tidak mempunyai keberlakuan secara yuridis oleh karena bertentangan dengan

peraturan perundang - undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Sehingga dalam pelaksanaannya,

peraturan perundang - undangan tersebut menimbulkan polemik pro - kontra dan bahkan sering

dimanipulasi kelompok - kelompok tertentu sebagai alat pembenaran untuk melakukan perbuatan

melanggar atau melawan hukum.

Efektivitas keberlakuan hukum (peraturan perundang - undangan) bukanlah masalah yang berdiri

sendiri, melainkan erat hubungannya dengan masalah - masalah kemasyarakatan lainnya, terutama

masalah pembangunan karakter bangsa Indonesia. Oleh karena itu pembangunan hukum nasional tidak

mungkin dipisahkan dari perkembangan masyarakat Indonesia, atau dengan perkataan lain pembangunan

hukum nasional tidak mungkin dipisahkan dari pembangunan bangsa. Dalam kerangka berpikir demikian

maka dapat dikemukakan asumsi ilmiah bahwa pembangunan hukum termasuk proses penegakkan

hukum harus dikembangkan secara positif dan kreatif untuk kemajuan di bidang hukum yang digerakkan

secara serasi, terarah untuk mewujudkan masyarakat yang sadar dan taat pada hukum.

Strategi pembangunan hukum harus didasarkan pada semangat kebangsaan (nasionalisme) dan

mengarah pada konsep pembangunan sosial kemasyarakatan yang menyeluruh (komprehensif) dan utuh

sebagai satu kesatuan (integral). Dasar politik hukum yang demikian akan menjadi landasan yang kuat

dan memainkan peranan yang positif terhadap pembangunan hukum nasional sebagai suatu sistem hukum

ideal yang dicita - citakan. Kaidah - kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang - undangan akan

dirasakan tidak hanya sebagai sesuatu yang harus dipatuhi / ditaati, melainkan akan menjadi bagian dari

nilai tata kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat merasa wajib untuk menegakkannya.

Disamping semangat kebangsaan sebagai dasar strategi pembangunan hukum nasional, politik hukum

pemerintah harus pula memperhatikan asas - asas hukum universal tetapi tetap becorak pada identitas

bangsa Indonesia. Indentitas bangsa Indonesia tersebut adalah Pancasila sebagai pandangan hidup (way of

life) dan sumber dari segala sumber hukum. Dengan demikian, peranan politik hukum pemerintah sangat
menentukan arah dan corak dari pembangunan hukum nasional untuk membentuk sistem hukum ideal

yang dicita - citakan.

Pemerintah harus dapat memainkan peranan politik hukumnya sebagai pelopor perubahan (agent of

change) dalam rangka pembangunan hukum nasional untuk membentuk sistem hukum ideal yang dicita -

citakan. Sistem hukum yang demikian adalah tatanan hukum yang dapat menjamin tercapainya cita - cita

bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang - Undang Dasar 1945, yaitu;

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Berkaitan dengan cita - cita luhur

tersebut, asas negara Indonesia yang berdasarkan hukum, harus tetap menjadi semangat yang dinamis

dan positif.

Politik hukum sebagai suatu kebijakan pemerintah, mencakup juga pelaksanaan tertib hukum dalam

kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di Indonesia. Sehingga, apabila peranan politik

hukum demikian dapat dijalankann maka hukum akan merupakan alat penting yang luwes agar tercapai

suasana kehidupan masyarakat Indonesia yang tertib oleh karena hukum ditaati / dipatuhi atas dasar

kesadaran karena hukum dianggap sebagai suatu budaya. Oleh karena itu, peranan politik hukum tidak

boleh menggunakan analytical jurisprudensce, yaitu analisis dari prinsip - prinsip utama hukum tanpa

memperhatikan aspek historis maupun aspek etis termasuk aspek sosio - kemasyarakatan.

Politik hukum dalam rangka pembangunan hukum nasional berkenaan juga dengan pembangunan

kesadaran hukum masyarakat. “Faham tentang kesadaran hukum sebetulnya berkisar pada Pikiran -

Pikiran yang menganggap bahwa kesadaran dalam diri warga - warga masyarakat suatu faktor yang

menentukan bagi sahnya hukum”. Pembangunan hukum nasional harus sesuai dengan filosofi

fundamental yang menyataka, “Merupakan suatu keadaan yang dicita - citakan atau dikehendaki, bahwa

ada keserasian proporsional antara pengendalian sosial oleh penguasa, kesadaran warga masyarakat

dan kenyataan dipatuhinya hukum positif tertulis”.


Pembangunan hukum nasional dalam kenyataannya tidak hanya sebatas melakukan perubahan -

perubahan terhadap peraturan - peraturan yang telah ada, akan tetapi malahan termasuk mengganti secara

keseluruhan peraturan perundang - undangan yang dianggap sudah usang dan tidak sesuai dengan

perkembangan jaman (out of date). Dalam konteks pembangunan hukum termasuk pembaharuan hukum,

maka hukum tidak boleh memberikan keadaan statis atau mempertahankan status quo dari suatu keadaan

atau peristiwa. Hukum merupakan sarana yang penting dalam masyarakat sehingga harus dikembangkan

agar dapat memberi ruang gerak bagi perubahan masyarakat. Tidak sebaliknya, mempertahankan status

quo atau nilai - nilai yang tidak sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat.

Adanya hubungan timbal balik (causalitas) antara pembangunan hukum dan pembangunan masyarakat

sebagai suatu fenomena dalam politik hukum sangat penting mendapat kajian dan penjabaran

(uitwerking) secara mendalam agar tujuan pembentukkan hukum ideal yang dicita - citakan dapat

tercapai. Hal tersebut didasarkan pada pendapat bahwa hukum merupakan sarana pembagaruan dan

pembangunan masyarakat. Hukum sebagai alat/sarana pembaharuan masyarakat mirip dengan konsepsi

law as a tool of social engineering yang di negara barat dipopulerkan oleh aliran Pragmatic Legal

Realism.

Berbicara mengenai pembangunan hukum nasional dan hukum sebagai sarana pembangunan maka

yang menjadi pemikiran fundamental (basic thinking) adalah bahwa hukum positif nasional (ius

contitutum) yang akan dijadikan sebagai sarana pembaharuan masyarakat, justru memerlukan

pembaharuan dan pembangunan agar menjadi alat yang ideal untuk memperbaharui prilaku dan pola -

pola interaksi kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Hukum sebagai sarana / alat pembaharuan atau

pembangunan masyarakat pada hakekatnya berorientasi pada anggapan - anggapan, yaitu; 1) adanya sikap

tindak yang teratur (ajeg) dalam masyarakat atau adanya ketertiban dalam usaha pembangunan atau

pembaharuan masyarakat dipandang sebagai seuatu yang bersifat mutlak (absolut), 2) hukum dalam arti

kidah / norma dapat berfungsi sebagai sarana pengendali sosial (social control) kegiatan manusia /

masyarakat dalam interaksi antara yang satu dengan yang lain.


Kaidah yang merupakan sumber hukum positif (staatsfundamentalnorm) dalam negara Indonesia

adalah Pancasila. Berkaitan dengan itu Kaelan M.S. berpendapat bahwa, “Pancasila merupakan cita -

cita hukum, kerangka berpikir, sumber nilai serta sumber arah penyusunan dan perubahan hukum positif

di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka Pancasila berfungsi sebagai paradigma hukum terutama

dalam kaitannya dengan berbagai macam upaya perubahan hukum, atau Pancasila harus merupakan

paradigma dalam suatu pembaharuan hukum. Materi - materi dalam suatu produk hukum atau

perubahan hukum dapat senantiasa berubah dan diubah sesuai dengan perkembangan zaman,

perkembangan iptek serta perkembangan aspirasi masyarakat namun sumber nilai (yaitu nilai - nilai

Pancasila) harus senantiasa tetap. Hal ini mengingat kenyataan bahwa hukum itu tidak berada pada

situasi vacum”.

Agar dapat dibentuk sistem hukum ideal sesuai dengan ekspektasi (yang dicita - citakan) masyarakat,

maka dalam kaitannya dengan pembangunan hukum nasional , kiranya sangat relevan pendapat Purnadi

Purbacaraka dan Soerjono Soekanto yang mengatakan bahwa sejak diundangkan peraturan perundang -

undangan tersebut harus memenuhi beberapa syarat prosedural, yaitu:

a. Syarat keterbukaan yaitu bahwa sidang-sidang di Dewan Perwakilan Rakyat dan perikelakukan anggota

eksekutif dalam pembuatan undang-undang diumumkan, dengan harapan akan adanya tanggapan warga

masyarakat yang berminat.

b. Memberikan hak kepada warga masyarakat untuk mengajukan usul - usul (tertulis) kepada penguasa.

Cara-caranya, antara lain:

1. Penguasa setempat mengundang mereka yang berminat untuk menghindari suatu pembicaraan

penting yang menyangkut suatu peraturan di bidang tertentu.

2. Suatu Departemen mengundang organisasi - organisasi tertentu untuk memberikan usul - usul tentang

rancangan undang - undang tertentu.

3. Acara dengar pendapat (hearing) di Dewan Perwakilan rakyat.

4. Pembentukan komisi - komisi penasihat yang terdiri dari tokoh - tokoh dan ahli - ahli terkemuka.
Sedangkan berkaitan dengan ide pembangunan hukum nasional untuk membentuk sistem hukum ideal

sesuai yang dicita - citakan, menurut Soerjono Soekanto bahwa dalam rangka penyempurnaan pembinaan

(pembangunan) hukum, maka paling sedikit perlu diperhatikan syarat - syarat sebagai berikut:

1. Hukum tidak merupakan aturan - aturan yang bersifat ad hoc, akan tetapi merupakan aturan - aturan

umum dan tetap;

2. Hukum tadi harus diketahui dan jelas bagi para warga masyarakat yang kepentingan - kepentingannya

diatur oleh hukum tersebut;

3. Dihindari penerapan peraturan - peraturan yang bersifat retroaktif (berlaku surut);

4. Hukum tersebut harus dimengerti oleh umum;

5. Tidak ada peraturan - peraturan yang saling bertentangan, baik mengenai satu bidang kehidupan tertentu,

maupun untuk pelbagai bidang kehidupan (konsisten);

6. Pembentukan hukum harus memperhatikan kemampuan para warga masyarakat untuk mematuhi hukum

tersebut;

7. Perlu dihindarkan terlalu banyaknya dan seringnya frekuensi perubahan-perubahan pada hukum, oleh

karena warga - warga masyarakat dapat kehilangan ukuran dan pedoman bagi kegiatan - kegiatannya;

8. Adanya korelasi antara hukum dengan pelaksanaan atau penerapan hukum tersebut;

9. Hukum mempunyai landasan yuridis, filosofis maupun sosiologis;

10. Perlu diusahakan agar hukum tersebut diberi bentuk tertulis.

Disamping pendapat Soerjono Soekanto tersebut diatas, apabila dihubungkan dengan keanekaragaman

(diversity) bangsa Indonesia yang terjewantah dalam kebudayaan, adat-istiadat, suku, agama dan

kepecayaan, serta Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelago) maka agar tercipta sistem hukum
nasional yang ideal, menjadi sangat relevan apabila peranan politik hukum (rechtpolitiek) dalam

pembangunan hukum nasional secara representatif harus didasarkan pada:

1. Pencerminan dari kehendak untuk mewujudnyatakan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana

ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar i945 sebagai tertib hukum tertinggi, yaitu;

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

2. Orientasi landasan yuridis yang tetap berpedoman pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber

hukum.

3. Penetapan Bhineka Tunggal Ika sebagai asas hukum.

4. Pengimplementasian asas non diskriminatif.

5. Pengimplementasian nilai-nilai pembaharuan dan pelestarian (azas welvaarstaat) yang bersifat tahan

lama (duurzaamheid);

Sesuai dengan semangat perjuangan, nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan serta cita-cita luhur

bangsa Indonesia yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 maka pembangunan

hukum nasional hendaknya harus mencerminkan sifat; gotong royong, kekeluargaan, toleransi, anti

kolonialisme, imperialisme dan feodalisme, serta berwawasan nusantara.

Mengenai pembangunan hukum yang berwawasan nusantara ini, Mochtar Kusumaatmadja

mengatakan,”Membangun hukum berdasarkan wawasan nusantara berarti membangun hukum nasional

dengan memadukan tujuan membangun hukum nasional yang satu atau menyatukan dengan

memperhatikan keanekaragaman budaya dari penduduk yang mendiami suatu negara kepulauan.

Pedoman yang dapat digunakan dalam membangun hukum nasional adalah untuk mengusahakan

kesatuan apabila mungkin, membolehkan keanekaragaman bila keadaan menghendakinya, tetapi

bagaimanapun juga mengutamakan kepastian (Unity whenever possible, diversity where desireable, but

above all certainty)”.


2. Faktor - faktor yang mempengaruhi peranan politik hukum pemerintah dalam pembangunan
hukum nasional Indonesia.

Suatu fakta yang lazim bahwa kaidah - kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang -undangan

yang dirancang, disusun dan diformulasikan oleh pemerintah adakalanya tidak sesuai dengan

kepentingan - kepentingan dan nilai - nilai yang diharapkan oleh masyarakat sebagai suatu pedoman atau

patokan interaksi sosial. Akibat ketidaksesuain tersebut, kadang - kadang timbul ketegangan dan gerakan

- gerakan protes dari kelompok - kelompok masyarakat. Bahkan sering terjadi kecenderungan bahwa

sebagai efek domino dari ketegangan dan gerakan-gerakan protes tersebut, terjadi gesekan atau konflik di

kalangan masyarakat akar rumput (grass root).

Peranan politik hukum sebagai sarana transformasi struktur dan kultur masyarakat harus dilakukan

dengan kebijakan - kebijakan yang terarah dan terukur. Menurut C.F.G. Sunaryati Hartono, ”Tranformasi

struktur dan kultur masyarakat dapat ditempuh melalui berbagai cara dan tindakan sebagai berikut:

a. Masyarakat dibiarkan berkembang secara alami tanpa ada campur tangan dari pihak manapun. Cara ini

biasanya memakan waktu yang sangat lama, kadang-kadang sampai beberapa abad.

b. Perubahan masyarakat secara mendadak dan cepat (revolusioner). Transformasi masyarakat melalui

cara ini sering kali terjadi sebagai akibat peristiwa berdarah yang bertujuan menggantikan pimpinan

negara ataupun asas-asas pemerintahan secara tiba-tiba. Kelemahan dari cara revolusioner ini ialah

bahwa besar kemungkinannya masyarakat akan mengalami set back karena perubahan itu terjadi

secara mendadak. Karena itu, diabad ke - 20 ini lebih banyak ditempuh cara yang lebih evolusioner,

yaitu:

c. Perubahan masyarakat yang direncanakan dan diarahkan supaya perubahan masyarakat terjadi secara

bertahap dan wajar (evolusioner)”.


Sehungan dengan pendapat C.F.G. Sunaryati Hartono tersebut, peranan politik hukum pemerintah

yang dimaksud dalam hal ini adalah kebijakan pemerintah untuk melakukan pembangunan hukum

nasional dengan merencanakan dan mengarahkan perubahan masyarakat secara bertahap dan wajar

(evolusioner). Pertimbangan konsepsi yang demikian didasarkan pada kultural masyarakat indonesia yang

sangat variatif. Oleh karena, apabila perubahan masyarakat dibiarkan secara alami maka mungkin

mengakibatkan terjadinya perkembangan ke arah yang tidak diinginkan atau bahkan dapat mengakibatkan

kemunduran dan kegagalan dalam kebijakan pembangunan hukum nasional.

Pada asasnya prosedur pembentukan hukum nasional Indonesia menganut civil law system atau sistem

eropa kontinental. Dalam hal yang demikian, kaidah-kaidah hukum dirumuskan dan diformulasikan

dalam bentuk peraturan perundang-undangan terlebih dahulu oleh para pembentuk undang-undang (law

makers) baru kemudian diberlakukan dalam masyarakat setelah dimuat dalam Lembaran Negara dan

diumumkan melalui berita negara. Hal tersebut sangat kontradiktif dengan common law system atau

sistem anglo saxon, dimana hukum dibuat atas dasar kebiasaan-kebiasaan dan pola-pola pergaulan hidup

masyarakat sehari-hari.

Dalam hal ini, oleh karena tata cara pembentukan hukum atau peraturan perundang - undangan

Indonesia menganut civil law system atau sistem eropa kontinental maka dalam proses pembentukan

hukum tersebut terdapat faktor - faktor yang dapat mempengaruhi politik hukum pemerintah untuk

membentuk hukum yang dicita - citakan (ius constituendum) yang ideal bagi masyarakat Indonesia.

Faktor - faktor tersebut dapat diidentifikasi antara lain, adanya penetrasi kepentingan negara - negara

maju, kepentingan politik pemerintah, dan kebudayaan masyarakat. Kenyataan tersebut menyebabkan

kebijakan pembangunan hukum nasional untuk membentuk sistem hukum ideal yang dicita - citakan tidak

sesuai dengan harapan masyarakat.

A. Penetrasi kepentingan negara - negara maju


Harus diakui bahwa pengaruh negara - negara asing terutama negara - negara maju dapat

mendominasi peranan politik hukum pemerintah dalam membangun hukum nasional Indonesia. Penetrasi

(pressure) tersebut biasanya dikaitkan dengan bantuan di bidang ekonomi, keuangan (fiskal), peralatan

tempur dan kerjasama militer dan sebagainya. Dalam hal demikian tersebut, terjadi tawar - menawar

(bargaining position) antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara maju yang menyangkut

kebijakan bidang hukum yang akan diberlakukan di Indonesia.

Kondisi - kondisi yang ditentukan sejak Konsensus Washington (1980) telah mendorong perubahan

berbagai kebijakan di seluruh negara termasuk prilaku pejabat publik di negara berkembang. Negara

berkembang seperti Indonesia berusaha mematuhi dan melaksanakan konsensus tersebut bukan hanya di

bidang perdagangan internasional tetapi juga dalam sektor lainnya seperti keamanan, ketertiban dan

penegakkan hukum. Prilaku negara - negara maju telah memasuki bidang kamtibgakkum melalui

berbagai prosedur dalam pembentukan peraturan perundang - undangan nasional di negara - negara

berkembang termasuk Indonesia. Masih jelas dalam ingatan kita ketika awal reformasi 1998, IMF telah

memaksakan pemberlakuan Undang - Undang Kepailitan dalam versi IMF.

Prilaku hipokrit negara - negara maju yang telah memasuki bidang seperti keamanan, ketertiban dan

penegakkan hukum (kamtibgakkum) melalui berbagai prosedur dalam pembentukan peraturan perundang

- undangan nasional, jelas merupakan bentuk penetrasi untuk memaksakan kepentingan - kepentingan

tertentu. Sikap hipokrit negara - negara maju sudah terbukti dalam pembentukan undang - undang tindak

pidana suap (bribery) dan tindak pidana pencucian uang. Oleh karena itu, peranan politik hukum

pemerintah dalam menerbitkan produk perundang - undangan yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat

harus dikaji secara mendalam dari berbagai aspek. Harus dilihat aspek kemanfaatan terbesar untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan konsep analisis ekonomi terhadap pembentukan hukum

(utilitarianisme). Konsep ekonomi dalam pembentukan hukum (undang - undang) bertumpu pada tiga

prinsip yaitu maksimalisasi, keseimbangan dan efisiensi (Cooter dan Ullen).

B. Kepentingan politik pemerintah


Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan sering menggunakan hegemoninya dengan cara

mempengaruhi rakyat / masyarakat dan pihak - pihak lain menurut kehendak dan tujuan politiknya.

Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan negara merupakan pihak yang memerintah (The ruler),

sedangkan rakyat / masyarakat yang berada dalam lingkup kekuasaan pemerintah merupakan pihak yang

diperintah (The ruled). “Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk

mempengaruhi tingkah lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu

menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu”. Sedangkan

Robert M. MacIver memberikan batasan makna mengenai kekuasaan, yaitu “Kekuasaan sosial adalah

kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain, baik secara langsung dengan memberikan

perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia

(Social power is the capacity to control the behavior of others either directly by fiat or indirectly by the

manipulation of available means)”.

Pengambilan keputusan (decision making) dalam menjalankan peranan politik hukum pemerintah

untuk membangun hukum nasional sering kali dipengaruhi kepentingan - kepentingan yang diusung /

diajukan oleh partai politik tertentu. Terutama kepentingan - kepentingan yang diusung atau diajukan

oleh kelompok - kelompok penekan (preassure group) yang tergabung dalam koalisi partai. Kepentingan

politik pemerintah sering kali dijadikan alasan dan pertimbangan untuk membentuk suatu peraturan

perundang - undangan. Tidak jarang kepentingan politik tersebut bertentangan dengan syarat - syarat ideal

yang harus dipenuhi untuk sahnya keberlakuan suatu hukum atau peraturan perundang - undangan, yaitu

keberlakuan secara yuridis, keberlakuan secara filosofis dan keberlakuan secara sosiologis. Padahal

Soerjono Soekanto secara elementer mengatakan, “Masyarakat luas secara sadar maupun tidak sadar

akan beranggapan, bahwa hukum akan berwibawa, apabila hukum tadi berlaku secara yuridis, filosofis

dan sosiologis. Pertama - tama artinya adalah, bahwa hukum tadi diperlakukan sesuai dengan syarat -

syarat yuridis. Kedua hal itu berarti, bahwa hukum tadi adalah sesuai dengan pandangan hidup atau
falsafah hidup dari masyarakat yang bersangkutan. Dan yang terakhir, hukum tadi memang secara nyata

dapat diperlakukan dan benar – benar berlaku dalam masyarakat” .

Sebagai contoh konkrit adanya kepentingan politik pemerintah dalam pembentukan peraturan

perundang – undangan yaitu dengan diundangkannya Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Nomor 8

Tahun 2006 dan Menteri Agama Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala

Daerah / Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum

Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Substansi / materi dari Peraturan Bersama

Menteri tersebut sangat tidak sesuai dengan nilai – nilai hukum yang terkandung di dalam Pembukaan

Undang – Undang Dasar 1945 sebagai tertib hukum yang tertinggi, jiwa dan semangat Pancasila sebagai

sumber dari segala sumber hukum, Batang Tubuh Undang – Undang Dasar 1945 sebagai norma dasar

(grundnorm) dan Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006 dan Menteri Agama Nomor 9

Tahun 2006 tersebut tidak mempunyai dasar keberlakuan secara yuridis oleh karena bertentangan denga

kaidah - kaidah hukum yang lebih tinggi tingkatannya. Dalam Undang - Undang Dasar 1945 dan Undang

- Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan secara tegas bahwa hak untuk

memeluk agama dan beribadat sesuai dengan agama dan keyakinan masing - masing individu dijamin dan

dilindungi oleh undang - undang, akan tetapi dalam Peraturan Bersama Menteri tersebut asas kebebasan

beragama dan beribadat menjadi absurd dan tidak jelas. Selain itu, Peraturan Bersama Menteri tersebut

juga tidak mempunyai keberlakuan secara sosiologis karena tidak sesuai dengan harapan - harapan

kelompok masyarakat tertentu dan dalam praktek pemberlakuannya mendapat perlawanan dan protes

yang keras dari sebagian masyarakat Indonesia. Secara filosofis, Peraturan Bersama Menteri tersebut

juga dapat mengganggu integritas, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, serta dapat menjadi pemicu

konflik horisontal di kalangan masyarakat Indonesia.

Selain itu, contoh klasik yang menarik perhatian adanya intervensi peranan politik hukum

pemerintah di bidang yudikatif berkaitan dengan putusan badan peradilan adalah Putusan Mahkamah
Agung yang telah menerima permintaan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum

dalam beberapa kasus yang telah ada, seperti putusan kasus Muchtar Pakpahan, Kasus Ram Gulumal alias

V. Ram (The Gandhi Memorial School),kasus Soetiyawati maupun kasus Pollycarpus Budihari Priyanto,

yang dapat dianggap sebagai kontroversi. Sikap Mahkamah Agung tersebut dianggap dianggap tidak

melaksanakan aturan formal atau telah bertindak melebihi ketentuan Hukum Acara Pidana mengenai hal

pengaturan permintaan Peninjauan Pembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap. Mahkamah Agung disinyalir telah melanggar ketentuan faham positivisme atau analytical

positivism atau rechtsdogmatiek yang cenderung melihat bahwa hukum sebagai suatu yang otonom, yang

bertugas untuk mewujudkan kepastian hukum, terutama mengenai ketentuan Peninjauan Kembali yang

diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dengan sikap ambivalence dari

Mahkamah Agung tersebut masyarakat menduga adanya peranan politik hukum pemerintah yang

mengintervensi proses peradilan dalam perkara – perkara tersebut diatas.

C. Kebudayaan masyarakat

Keadaan yang sangat mengkhawatirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia

dewasa ini adalah terdapatnya keanekaragaman hukum yang berlaku di Indonesia yang didasarkan pada

pertimbangan - pertimbangan politik hukum pemerintah terhadap daerah - daerah tertentu. Terdapat

beberapa peraturan perundang - undangan yang memberi kesan perlakuan istimewa / khusus terhadap

daerah - daerah tertentu di Indonesia, seperti; Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang

Pemerintahan Aceh, Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2001 Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah

Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2001

Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Peraturan Pengganti Undang - Undang Nomor 1 Tahun

2008 Tentang Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi

Provinsi Papua, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 Tentang Majelis Rakyat Papua. hal ini suatu

saat akan dapat menimbulkan problematika serius, oleh karena bukan tidak mustahil daerah - daerah lain

di Indonesia pada suatu saat menuntut perlakuan yang sama dari pemerintah. Disamping itu, ada pula
kemungkinan bahwa daerah - daerah yang telah diberikan perlakukan istimewa / khusus tersebut, suatu

saat menuntut perlakuan yang lebih dari pemerintah pusat. Semua gejala - gejala tersebut pada akhirnya

akan mempengaruhi bahkan menjadi kendala bagi penerapan azas unifikasi keberlakuan suatu peraturan

perundang - undangan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Memang, kebudayaan dan asal - usul sejarah suatu daerah harus dipertimbangkan sebagai bagian dari

politik hukum pemerintah dalam membangun hukum nasional. Akan tetapi, sebaiknya pemerintah dalam

melaksanakan peranan politik hukumnya, membangun hukum nasional yang dapat menampung

kepentingan - kepentingan semua masyarakat tanpa memandang perbedaan antara belakang daerah dan

perbedaan antara golongan suku. Apabila konsep latar belakang daerah dan perbedaan golongan suku

dijadikan pertimbangan mendasar oleh pemerintah dalam menjalankan peranan politik hukumnya untuk

membangun hukum nasional, hal itu berarti bangsa Indonesia mengalami kemunduran (set back) dalam

pembangunan hukum nasional.

Latar belakang kebudayaan, asal - usul sejarah suatu daerah dan perbedaan golongan suku (ethnic)

tetap harus diperhatikan / dipertimbangkan pemerintah dalam politik hukumnya, tetapi hal tersebut harus

mengalami asimilasi bentuk - bentuk hukum baru yang selaras dengan perubahan dan perkembangan

masyarakat untuk mengarah kepada tercapainya sutau tata hukum yang berkeadilan dan dapat diterima

oleh kelompok masyarakat di luar ruang lingkup batas - batas daerah tersebut. Justeru peranan politik

hukum pemerintah jangan terjebak pada pola - pola primordial sehingga tidak dapat membentuk sistem

hukum ideal yang dicita - citakan. Sebaliknya, akan sangat berbahaya apabila dengan alasan - alasan

subjektif mempertimbangkan kebudayaan, asal - usul sejarah suatu daerah dan perbedaan golongan suku,

akhirnya pemerintah melakukan kekeliruan dengan membentuk sistem hukum nasional yang bersifat

diskriminatif, mengandung nuansa provokatif, tidak mengakomodir cita - cita bangsa Indonesia

sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang - Undang Dasar 1945, atau bahkan bertentangan

dengan prinsip - prinsip dasar dan asas - asas umum dalam hukum yang berlaku secara universal.
Sangat ironi apabila dengan alasan pertimbangan latar belakang kebudayaan, asal - usul sejarah suatu

daerah dan perbedaan golongan suku masyarakat Indonesia, pada akhirnya peranan politik hukum

pemerintah dalam membangun hukum nasional indonesia bertentangan dengan ketentuan - ketentuan

dalam Universal Declaration of Human Rights, padahal negara Indonesia telah menjadi negara peserta

yang turut meratifikasi Universal Declaration of Human Rights tersebut. Hak - hak yang diadopsi dalam

piagam tersebut yang harus dimasukkan dalam pertimbangan politik hukum pemerintah untuk

membangun hukum nasional, antara lain; hak hidup, hak kebebasan, hak keamanan pribadi, kebebasan

berpikir, kebebasan beragama, kebebasan berbicara, kebebasan dari rasa takut dan kesengsaraan dan

sebagainya. Negara Indonesia juga telah menjadi negara peserta yang turut meratifikasi Internasional Bill

of Human Rights, yang meliputi: 1) Universal Declaration of Human Rights, 2) Internasional Covenant

on Economic, Social, and Cultural Rights, 3) International Covenant on Civil and Political Rights and

Optional Protocol for The Covenant on Civil and Political rights.


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

- Orientasi pembangunan hukum harus tetap mencerminkan / merefleksikan kehendak untuk terus

menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta

mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis

berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945.

- Pedoman politik pemerintah Hindia Belanda di Indonesia pada waktu dahulu didasarkan pada Wet op

de staatsinrichting van Ned - Indie, khususnya yang termaktub dalam pasal 131 jo. pasal 163

Indische Staatsregeling Stb. 1854 (sebelum itu pasal 75 Regeringsreglement).

- Landasan atau dasar - dasar pokok kebijakan hukum nasional pada era Orde Baru, tercantum dalam

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR RI) IV / 1973 Tentang

Garis - Garis Besar Haluan Negara (GBHN), serta juga dirumuskan dalam REPELITA II BAB 27

Tentang Hukum.

- Pada era Reformasi sekarang ini, sama sekali tidak ada konsep yang jelas mengenai pedoman arah

dan tujuan pembangunan hukum nasional. Bahkan terdapat kecenderungan adanya peraturan

perundang - undangan produk lembaga eksekutif (pemerintah) dan lembaga legeslatif (Dewan

Perwakilan Rakyat) yang tidak mencerminkan semangat reflormasi dan nilai - nilai demokrasi yang

bersifat universal.
- Undang - Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Pembangunan Hukum Nasional (Propenas) Tahun

2000 - 2004, sebagai penjabaran dari Garis - Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 - 2004, sama

sekali tidak memberikan arah dan tujuan yang jelas mengenai pembangunan hukum nasional.

Propenas hanya memberi gambaran secara umum mengenai upaya mewujudkan supremasi hukum

dan pemerintahan yang baik.

- Agar program pembangunan hukum nasional Indonesia dapat mencapai sasaran maka politik hukum

pemerintah harus memperhatikan stabilitas dalam segala bidang yang berhubungan dengan

kepentingan nasional dan internasional yang diselaraskan dengan unsur - unsur agama, kebudayaan

dan adat - istiadat masyarakat Indonesia, sehingga kepentingan - kepentingan pokok warga

masyarakat terpenuhi.

- Peranan politik hukum pemerintah untuk membangun hukum nasional yang ideal sesuai dengan

ekspektasi masyarakat sangat penting dan mendesak untuk segera diimplementasikan karena sampai

saat ini masih banyak peraturan perundang - undangan yang dirasakan sudah tidak sesuai dengan

perkembangan jaman, dan terdapat pula peraturan perundang - undangan yang keberlakukannya

bertentangan secara yuridis, filosofis, dan sosiologis.


DAFTAR PUSTAKA

Sunaryati Hartono, C.F.G. Bhineka Tunggal Ika sebagai Asas Hukum bagi Pembangunan
Hukum Nasional. Bandung (Penerbit:PT. Citra Aditya Bakti) Tahun 2006.

Abdul Manan, H. Bahan Kuliah Politik Hukum. Jakarta (Universitas Jayabaya) Tahun 2012.

M.S., Kaelan. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta (Penerbit:Paradigma) Tahun 2008.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR – RI ) IV / 1973


Tentang Garis – Garis Besar Haluan Negara.

Budiardjo, Miriam. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta (Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama)
Tahun 2000.

Kusumaatmadja, Mochtar. Konsep – Konsep Hukum Dalam Pembangunan. Bandung (Penerbit:


PT. Alumni) Tahun 2006.

Purbacaraka, Purnadi, Soerjono Soekanto. Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung (Penerbit:
Alumni) Tahun 1980.

Purbacaraka, Purnadi, Soerjono Soekanto. Perundang – Undangan dan Yurisprudensi. Bandung


(Penerbit:PT. Citra Aditya Bakti) Tahun 1993.

Purbacaraka, Purnadi, Soerjono Soekanto. Sendi – Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum. Bandung
(Penerbit: Alumni) Tahun 1979.
Soekanto, Soerjono. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum. Bandung (Penerbit:
Alumni) Tahun 1979

Subekti. Pokok – Pokok Hukum Perdata. Jakarta (Penerbit: PT. Intermasa) Tahun 1994

Anda mungkin juga menyukai