Anda di halaman 1dari 4

DODOKUGMIM.

COM- Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus, sebuah


hubungan yang baik ditandai dengan adanya aktivitas dan komunikasi yang berjalan
dengan baik juga. Tanpa aktivitas dan komunikasi yang baik, sebuah hubungan tidak
akan berjalan sebagaimana seharusnya. Kehidupan orang percaya pun harus dipahami
demikian. Kekristenan adalah lebih dari sekadar agama dengan seperangkat aturan yang
harus dilakukan, yang membebani dan mengekang seseorang. Kekristenan adalah sebuah
hubungan. Itulah sebabnya, kehidupan orang percaya harus ditandai dengan hal-hal yang
menunjukkan adanya hubungan yang baik antara manusia dengan Allah, yakni melalui
aktivitas dan komunikasi yang terjalin dengan baik. Namun demikian, hal-hal itu tidak
selalu terjadi. Orang percaya dapat jatuh dalam godaan rutinitas agamawi, yang memang
mencerminkan adanya aktivitas keagamaan yang dilakukan, namun tidak mencerminkan
sebuah hubungan yang baik antara manusia dengan Allah.
Perjalanan umat Israel dan Yehuda sebagai umat Allah menunjukkan adanya
masalah-masalah yang demikian. Umat Allah jatuh dalam rutinitas agamawi dengan
seperangkat aktivitas yang mereka lakukan dari waktu ke waktu, tetapi yang jauh dari
kehendak Tuhan. Mungkinkah hal-hal yang demikian terjadi dalam kehidupan orang
percaya? Mungkinkah seseorang aktif melakukan banyak hal di hadapan Tuhan namun
jauh dari kehendak Tuhan? Di sinilah tugas nabi Yesaya untuk menyuarakan kehendak
Tuhan bagi pertobatan umat Allah. Allah meminta nabi Yesaya memberitakan kehendak-
Nya itu dengan keras dan tegas. Laksana orang yang berteriak dengan kerongkongannya,

1
Yesaya diminta untuk menyerukan dan menyaringkan suaranya untuk menyatakan
pelanggaran dan dosa umat-Nya (ay. 1). Umat Allah telah ada di titik di mana kesalehan
yang mereka tunjukkan adalah kesalehan yang palsu dan jauh dari kehendak Tuhan, dan
Tuhan membenci bentuk-bentuk kesalehan yang demikian. Bila melihat pada kulitnya
saja, mereka memang setiap hari mencari Allah dan suka untuk mengenal segala jalan-
Nya. Seperti bangsa yang melakukan yang benar dan yang tidak meninggalkan hukum
Allah, mereka menanyakan tentang hukum-hukum yang benar dan suka mendekat
menghadap kepada Allah (ay. 2). Lantas, di manakah masalahnya? Umat Allah memang
melakukan segala aktivitas keagamaannya, namun mereka melakukannya dengan
motivasi yang tidak benar, tanpa pertobatan yang benar, dan tidak menghasilkan dampak
kepada orang lain. Pada pasal 58 ini, Allah melalui nabi Yesaya menyoroti satu dari
sekian banyak aktivitas keagamaan yang dilakukan umat Allah, yakni puasa mereka.
Pada pasal 1, telah ada tuntutan kepada kepada umat Allah agar mereka bertobat.
Serangkaian aktivitas keagamaan mereka telah membuat Allah muak: korban
persembahan yang mereka berikan, perayaan-perayaan mereka, bahkan ibadah dan doa-
doa mereka. Allah muak dan jijik karena umat-Nya melakukan semuanya itu namun
tidak meninggalkan kejahatan-kejahatan mereka. Bagaimana dengan puasa yang mereka
lakukan?
Saudara-saudara, umat Allah melakukan puasanya dengan motivasi yang tidak
benar. Dalam puasanya, mereka menuntut agar Allah memenuhi keinginan-keinginan
mereka. Puasa mereka ditujukan untuk kepentingan diri mereka sendiri. “Mengapa kami
berpuasa dan Engkau tidak memperhatikannya juga? Mengapa kami merendahkan diri
dan Engkau tidak mengindahkannya juga? (ay. 3). Di setiap Hari Raya Pendamaian,
umat Allah akan mengkhususkan satu hari di mana mereka akan berpuasa, merendahkan
diri, tidak makan dan minum, sebagai aktivitas yang mereka lakukan secara teratur dari
waktu ke waktu. Namun di titik ini, umat Allah tidak lagi memahami tujuan puasa yang
dikehendaki Allah. Di sinilah bahaya formalitas belaka dan kemunafikan dapat merasuki
kehidupan beragama umat Allah. Hal itu terjadi karena umat melakukan tanpa mencari
kehendak Allah yang benar. Allah membuka segala borok umat-Nya melalui suara nabi-
Nya: “Sesungguhnya, pada hari puasamu engkau masih tetap mengurus urusanmu, dan
kamu mendesak-desak semua buruhmu. Sesungguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah
dan berkelahi serta memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena” (ay. 3-4). Puasa
yang diarahkan pada kepentingan diri sendiri membuat umat Allah bertindak jauh dari
kehendak Allah dan tidak memperhatikan sesama mereka. Yesaya menunjukkan bahwa
umat Allah tetap mengerjakan urusan mereka di hari puasa mereka. Pekerjaan dan urusan
yang mereka tinggalkan ketika mereka berpuasa mereka bebankan kepada pekerja-
pekerja mereka. Di hari puasa, umat Allah menekan dan memaksa orang lain demi
kepentingan mereka, sementara mereka dapat tetap “beribadah” kepada Tuhan. Orang-
orang ini sama sekali tidak mau merugi barang sehari. Puasa jalan, bisnis pun harus tetap
jalan. Di hari puasa, umat Allah memang tidak makan dan minum, namun amarah dan
2
kekerasan tidak berhenti dalam praktik hidup mereka. Di sinilah formalitas dan
kemunafikan, yang didasarkan pada ketidaktahuan akan kehendak Allah, telah memenuhi
hidup umat Allah.
Saudara-saudara, puasa yang demikian tidak akan diterima oleh Allah. Puasa
dengan model yang seperti ini membuat suara umat Allah tidak akan didengar Allah di
tempat tinggi. Puasa mereka memang dilakukan sambil menabur abu di atas kepala
mereka, kain kabung dikenakkan pada tubuh mereka, bahkan badan mereka dibaringkan
di atas tanah sebagai tanda merendahkan diri. Namun bahasa tubuh tidak selalu
mencerminkan kedalaman hati dan motivasi seseorang. Puasa umat Allah bukanlah puasa
pertobatan yang benar sebab puasa mereka justru menghasilkan kekerasan dan
penindasan kepada orang lain. Melalui nabi Yesaya, Tuhan menyatakan kehendak-Nya
kepada umat-Nya. Puasa yang dikehendaki-Nya adalah puasa yang membebaskan orang
yang tertindas dari penderitaan mereka. Tuhan berfirman, “Berpuasa yang Kukehendaki,
ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali
kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk,
supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke
rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang
telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap
saudaramu sendiri!” (ay. 6-7). Alih-alih menuntut berkat Allah atas kesalehan mereka
yang berpuasa, Allah menginginkan umat-Nya menjadi berkat untuk orang lain. Allah
menghendaki bahwa dalam puasa umat-Nya, mereka memakai harta benda dan segala
sesuatu yang dipercayakan Allah kepada mereka untuk menolong orang lain, yakni
membebaskan dan memerdekakan yang tertindas. Pengalaman puasa, di mana umat
Allah tidak makan dan minum dan merendahkan diri, mendorong umat Allah untuk
menyadari bahwa “manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi manusia hidup dari segala
yang diucapkan TUHAN” (Ulangan 8:3). Melalui puasa, umat Allah turut merasakan
penderitaan dan kesusahan orang lain, dan didorong untuk taat pada kehendak Allah.
Puasa justru dimaksudkan agar umat Allah mengosongkan dirinya dari segala
kepentingan diri sendiri, lalu dengan kesediaan yang penuh mau taat pada kehendak
Allah.
Saudara-saudara, puasa yang benar menuntut motivasi yang benar, pertobatan
yang benar, dan dampak dari puasa itu sendiri bagi kepentingan orang yang tertindas.
Dalam gumul inilah, GMIM melaksanakan puasa diakonal di dalam penghayatan
minggu-minggu sengsara Tuhan Yesus. Spiritualitas dan kerohanian seseorang akan
nyata pada tindakan-tindakannya yang mencerminkan motivasi dan pertobatan yang
benar serta kesediaannya memikul salib dan menyangkal dirinya setiap hari, sebagaimana
panggilan Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya (Lukas 9:23). Dalam hal inilah janji
Tuhan melalui nabi Yesaya harus dipahami, yakni bahwa terang yang merekah laksana
fajar, kebenaran yang menjadi barisan depan, dan kemuliaan Tuhan sebagai barisan
belakang, digenapi dalam hidup orang percaya yang berdampak di tengah dunia. Allah
3
tidak melihat puasa sebagai tindakan yang terpisah dari hasil puasa itu sendiri, sebab
puasa yang benar akan menghasilkan dampak bagi kepentingan orang lain.
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus, panggilan kita untuk melakukan
segala sesuatu di hadapan Tuhan, termasuk di dalamnya puasa dan aktivitas-aktivitas
kerohanian lainnya, bahkan seluruh kehidupan kita, haruslah dimaknai sebagai bentuk
ketaatan kepada Tuhan. Hal yang penting di sini adalah bahwa kita taat sebagai respons
kita kepada Allah yang telah memberkati, mengasihi, dan menyelamatkan kita. Di dalam
Yesus Kristus kita telah ditebus oleh darah-Nya yang tercurah di atas kayu salib di bukit
Kalvari, sehingga adakah respons terbaik yang dapat kita nyatakan di hadapan-Nya,
selain taat dan setia melakukan kehendak-Nya? Tuhan Yesus menolong kita dalam
menghayati sengsara-Nya. hidup dalam pertobatan yang benar setiap hari, dan
berdampak dalam hidup yang membebaskan orang lain dari penderitaan. Amin.

Anda mungkin juga menyukai