Anda di halaman 1dari 21

RESUME

Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik

Dewi Rusmy Mustari

Fakultas Hukum Universitas Indonesia / 0906519356

A. Hak Asasi Manusia

1. Pemilihan Istilah Human Right dalam Universal Declaration of Human Right

Istilah Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan suatu istilah baru yang menggantikan

istilah Natural right (hak-hak alam), dan dalam frasa the Rights of

Man yang muncul kemudian dianggap tidak mencakup hak-hak wanita. Eleanor Roosevelt

kemudian terpilih menjadi Ketua Bersama dari Komisi PBB tentang HAM (United

Nations Commision on Human Rights), ketika menyusun rancangan Universal

Declaration of Human Right (UDHR) yang menemukan bahwa frasa The Right of Man

tersebut telah muncul dalam sejumlah dokumen HAM, yang di beberapa belahan dunia

dianggap tidak mencakup hak-hak wanita.

2. Asal Usul Historis Konsepsi HAM

Asal-usul historis konsepsi HAM dapat ditelusuri hingga ke masa Yunani dan

Roma, dimana ia memiliki kaitan yang erat dengan doktrin hukum alam pra modern dari

Greek Stoisism (Stoisisme Yunani), yang antara lain berpendapat

bahwa kekuatan kerja yang universal mencakup semua ciptaan dan tingkah laku manusia,

oleh karenanya harus dinilai berdasarkan kepada dan sejalan dengan hukum alam.

Sebagian Stoisme Yunani berperan dalam pembentukan dan penyebaran, sedangkan

hukum Romawi memungkinkan eksistensi hukum alam, Berdasarkan ius gentium (hukum

bangsa-bangsa atau hukum internasional), beberapa hak yang bersifat universal

berkembang melebihi hak-hak warga negara.


Menurut ahli hukum Romawi Ulpianus, misalnya, doktrin hukum alam menyatakan bahwa

alamlah – bukan negara yang menjamin semua manusia, baik ia merupakan warga negara atau

bukan.

3. Kaitan dengan Teori tentang Negara dan Hukum

Menurut J.J. Von Schmid, pemikiran tentang negara dan hukum tidak menda hului

pembentukan dan pertumbuhan peradaban-peradaban, tetapi merupakan gejala sosial

yang menampakkan diri setelah berabad-abad lamanya ada peradaban yang tinggi. Dalam

konteks kaitan dengan teori tentang negara hukum ini, dalam masa Yunani juga terdapat

beberapa karya Plato yang sangat relevan dengan masalah kenegaraan. Ketiga karya

tersebut antara lain adalah: (1) Politea (the republic) yang ditulis karena Plato merasa

prihatin melihat keadaan negaranya yang dipimpin oleh orang-orang yang haus akan harta,

kekuasaan, dan gila hormat. Pemerintahan sewenang-wenang yang tidak

memperhatikan penderitaan rakyatnya telah menggugah Plato untuk menulis buku ini,

dimana ia mengangankan eksistensi suatu negara yang ideal sekali sesuai dengan cita-

citanya, suatu negara yang bebas dari pemimpin negara yang rakus dan jahat , tempat

keadilan dijunjung tinggi. Buku yang kedua adalah (2) Politicos (the Statesman);

(3) Nomoi (the Law).

4. Doktrin Hukum Alam dan Pemikiran Liberal Mengenai Hak-Hak Alam

Sebelum sampai dengan abad pertengahan doktrin hukum alam mengalami

perubahan terkait dengan pemikiran-pemikiran liberal mengenai hak-hak alam (natural

rights). Namun dalam periode ini tampak kegagalan dari para penguasa untuk memunuhi

kewajibannya berdasarkan hukum alam sebagai kewajiban- kewajiban menjadi hak-hak

yang sedang dibuat. Dalam masa krisis tersebut

masuklah Plato dalam karyanya yang kedua, Politicos yang memasukkan perlunya
eksistensi hukum untuk mengatur kehidupan warga negara. Namun dalam karyanya yang

ketiga, Nomoi Plato telah mengubah pendiriannya dan memberikan perhatian dan arti

yang lebih tinggi pada hukum. Menurut Plato, penyelenggaraan pemerintahan yang baik

adalah yang diatur oleh hukum.

5. Pengaruh Pemikiran Thomas Aquinas dan Beberapa Pemikir Lain

Pada periode ini ajaran Thomas Aquinas dan Hugo Grotius dan beberapa dokumen

HAM yang ada seperti Magna Charta (1215), Petition of Rights (1628), dan Bill of Rights

(1689), merupakan bukti dari perubahan. Semua bukti tersbeut telah memeberikan

kesaksian bahwa manusia telah diberkati dengan hak-hak yang kekal dan tak dapat dicabut

oleh siapapun, yang tak terlepaskan ketika manusia “terkontrak” untuk memasuki

masyarakat dari suatu negara yang primitif dan tidak pernah dikurangi oleh tuntutan yang

berkaitan dengan hak-hak ketuhanan dari raja. Bagi Aquinas, pemahamannya terhadap

hukum alam terletak di dalam domain alasan politik.

6. Pengaruh Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Keberhasilan Intelektual

Salah satu filsuf yang tulisannnya harus dicacat pada abad ke-17 salah satunya adalah

John Locke, terutama dalam tulisan yang dibuat dalam kaitan dengan Rovolusi 1688 (the

Glorius Revolution) bahwa hak-hak tertentu dengan jelas mengenai individu-individu

sebagai manusia, karena mereka eksis dalam “keadaan alami” sebelum manusia memasuki

masyarakat, yang mengemukan diantara hak-hak tersebut ialah hak hidup, hak

kemerdekaan (bebas dari kesewenang-wenangan), dan hak milik. Menurut teori kontrak

sosial, yang dilepaskan manusia kepada negara hanyalah hak untuk menegakkan hak-hak

ini, dan bukannya hak-hak itu sendiri.

7. Pengaruh Pemikiran John Locke dalam Beberapa Dokumen HAM


Semua pemikiran liberal ini sangat mempengaruhi dunia Barat dalam akhir abad ke-

18 dan awal abad ke -19, antara lain dengan munculnya Bill of Rights dan

Declaration of Independence. Selain itu dalam Declaration of the Rights of Man and Citizen,

Marquis de Lafayette menyatakan bahwa “manusia terlahir dan tetap bebas dan berkesamaan

dalam hak-haknya”.

8. Ide-Ide Ham dan Absolutisme Politik

Ide-ide HAM memainkan peranan kunci pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19,

dalam perjuangan melawan absolutisme politik. Hal tersebut dikarenakan oleh kegagalan

para penguasa untuk menghormati prinsip-prinsip kebebasan dan persamaan, yang

merupakan suatu hal yang penting dari filosofi hukum alam sejak awalnya. Oleh karena

hal tersebut maka dalam perjanjian pendirian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), semua

negara bersepakat untuk melakukan langkah-langkah baik secara bersama-sama maupun

terpisah untuk mencapai “Universal respect for and observance of human rights and

fundamental freedoms

for all without distinction as to race, sex, language, or religion”. Selanjutnya Universal

Declaration of Human Rights, hak-hak didalamnya disepakati dengan “as a common

standard of achievement for all peoples and all nations”. Dan pada tahun 1976 Kovenan Hak

Sipil dan Politik dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dinyatakan berlaku.

9. Generasi-generasi HAM

a. Generasi Pertama

Tergolong dalam hak-hak sipil dan politik, terutama yang berasal dari teori-

teori kaum reformis yang lebih menghargai ketiadaan intervensi pemerintah dalam

pencarian martabat manusia. Termasuk dalam kelompok ini


adalah hak-hak yang dirumuskan dalam Pasal 2 – 21 Universal Declaration of

Human Right . b.

Generasi kedua

Generasi kedua ialah yang tergolong dalam hak ekonomi, sosial, dan

budaya yang berakar secara utama pada tradisi sosialis. Ketentuan- ketentuannya

dirumuskan dalam pasal 22-27 Universal Declaration of Human

Rights.

c. Generasi Ketiga

Generasi ketiga merupakan cakupan hak-hak solidaritas (solidarity rights)

merupakan bentuk rekonseptualisasi dari kedua generasi HAM sebelumnya.

Tercantum dalam pasal 28 Universal Declaration of Human

Rights, yang mencakup enam hak sekaligus. Diantara enam hak tersebut antara lain

adalah : (1) the right to polical, economic, social, and cultural self- determination; (2)

the right to economic and social development ; (3) the right to participate in and benefit

from “the common heritage of Mankind”; (4) the right to peace; (5) the right to a

healthy and balanced environment ; dan (5) the right to humanitarian disaster relief.

10. Universal Declaration of Human Responsibilities

Dibentuk dengan tujuan untuk melangkapi Universal Declaration of Human Rights.

Pemikiran yang berkembang adalah sudah waktunya hak diimbnagi dengan tanggung jawab

atau kewajiban. Prinsip dasar dari Deklarasi Universal tentang Tanggung Jawab Manusia

tersebut adalah tidak hanya tercapainya kebebasan sebanyak mungkin, tetapi juga

berkembangnya rasa tanggung jawab penuh yang memungkinkan kebebasan itu semakin

bertumbuh.

11. Cairo Declaration of Human Rights in Islam


Deklarasi ini ditetapkan dalam forum The Ninettenth Islamic Conference of Foregn

Ministers (salam sesi dengan tema “Peace, Interdepence, and

Development”) yang diselenggarakan di Kairo, Mesir. Apabila ditilik dari isi pasal-pasal

yang terdapat dalam Cairo Declaration of Human Rights in Islam terdapat beberapa kesesuaian

dengan pasal-pasal yang terdapat dalam Universal

Declaration of Human Rights. Dalam konteks perbandingan kedua dokumen

tersebut, menarik pula untuk sidimak adanya wacana tentang universalisme versus

relativisme budaya dalam HAM, baik dalam perspektif umum maupun dalam perspektif

Islam.

12. Universalisme versus Relativisme Budaya

Perbedaan pandangan mengenai teori mana yang berlaku di antara kedua kutub tersebut

– universalisme versus relativisme budaya sangat tajam. Dalam perspektif umum,

menurut kalangan relativis budaya, tidak ada suatu HAM yang bersifat universal, dan teori

hukum alam mengabaikan dasar masyarakat dari identitas indovidu sebagai manusia,

karena seorang manusia selalu menjadi produk dari beberapa lingkungan, sosial, dan

budaya. Kelompok relativis budaya dapat dibagi menjadi beberapa kelompok :

1. Radical cultural relativisme yang menyatakan bahwa “culture is the sole

source of the validity of a moral right or rule.”

2. Strong cultural relativisme yang menyatakan bahwa “culture is the principal source of the

validity of the moral right or rule.”

3. Weak cultural relativisme, yang menyatakan bahwa “culture may be an important source

of the validity of a moral right or rule.”

Menyikapi hal tersebut muncul gugutan yang muncul dari perspektif Islam yang

dilontarkan oleh Eggi Sudjana, yaitu pertama, Islam memiliki konsepsi


HAM yang benar-benar bersumber dari ajaran dan nilai-nilai keagamaan. Kedua, akan

toleransi dari luar Islam sebagaimana toleransi umat Islam terdapat Barat dengan

Universal Declaration of Human Rights-nya karena pada prinsipnya menyuarakan

konsepsi HAM dalam perspektif Islam pada hakekatnya merupakan bagian dari

pelaksanaan HAM juga, yaitu dari umat Islam.

B. Transisi Politik Menuju Demokrasi

1. Dari Otoritarianisme ke Demokrasi : Kemunculan Negara-negara Demokrasi Baru

Otoriter dan totaliter adalah suatu ideologi negara yang kekuasaan tertingginya

dipegang oleh militer sehingga muncullah diktator. Negara-negara yang tadinya otoriter,

lama kelamaan berubah menjadi demokrasi dikarenakan oleh kegerahan masyarakatnya

yang ditindas. Demokrasi adalah suatu ideologi negara yang berasal, dari, dan untuk

rakyat. Merupakan pengharapan baru bagi pemimpin- pemimpin negara yang memakai

paham demokrasi, antara lain : Yunani, Spanyol, Argentina, Chile, Brazil, Uruguay,

Polandia, Jerman Timur, Hongaria, Afrika Selatan, dan lain sebagainya. Untuk memajukan

negara yang sudah demokrasi maka tidak terlepas dari rekonsiliasi dengan masa lampau

negaranya yang berupa pelanggaran HAM.

Menurut Samuel P. Huntington, negara yang otoriter dulunya berubah menjadi

demokrasi adalah lebih dari 40 (empat puluh) negara. Adapun perubahan tersebut dengan

cara, antara lain :

o Ada perubahan dengan cara yang signifikan;

o Penguatan kelompok reformis yang mengambil inisiatif untuk mendorong transisi;


o Negosiasi dengan kelompok oposisi; dan

o Intervensi Amerika Serikat sebagai negara adi kuasa.

Menurut Anthony Giddens fungsi pemerintah dalam hal transisi, antara lain :

o Menyediakan sarana untuk kepentingan-kepentingan yang beragam;

o Menawarkan sebuah forum untuk rekonsiliasi kepentingan-kepentingan yang saling

bersaing;

o Menciptakan dan melindungi ruang publik yang terbuka, dimana debat bebas mengenai

isu-isu kebijakan bisa terus dilanjutkan;

o Menyediakan beragam hal untuk memenuhi kebutuhan warga negara, termasuk

bentuk-bentuk keamanan dan kesejahteraan yang kolektif;

o Mengatur pasaar menurut kepentingan publik, dan menjaga persaingan pasar ketika

monopoli mengancam;

o Menjaga keamanan sosial melalui kontrol sarana kekerasan dan melalui penetapan

kebijakan;

o Mendukung perkembangan sumber daya manusia melalui peran utamanya dalam

sistem pendidikan;

o Menopang sistem hukum yang efektif;

o Memainkan peran ekonomis secara langsung, sebagai pemberi kerja dalam

intervensi makro maupun mikro – ekonomi, plus penyediaan infrastruktur;

o Membudayakan masyarakat – pemerintah merefleksikan nilai dan norma yang berlaku

secara luas, tetapi juga bisa membantu membentuk nilai dan norma tersebut, dalam

sistem pendidikan dan sistem-sistem lainnya; dan

o Mendorong aliansi regional dan transnasional, serta sasaran-sasaran global.


Negara totaliter bukan sekedar hanya mengontrol kehidupan masyarakat,

mempertahankan kekuasaan sebuah elit politik, juga bukan sekedar rezim seorang diktator

yang haus kuasa, tetapi juga sebuah sistem politik yang melebihi bentuk kekuasaan negara

yang mengontrol, menguasai, dan memobilisasi segala segi kehidupan masyarakat.

Ada 2 (dua) rezim totaliter yang dikenal pada abad ini, yaitu : pemerintahan

Nasional – Sosialisme (NAZI), Adolf Hitler (1933-1945) di Jerman; dan kekuasaan

Bolshevisme Soviet di bawah kepemimpinan Jossif W. Stalin (1922- 1953), yang

kemudian menyebar ke negara lain di Eropa Timur, Cina, Korut, dan Indocina.

2. Reposisi Hubungan Sipil – Militer

Bagi negara-negara yang baru menganut demokrasi maka diperlukan untuk memisahkan

hubungan antara sipil – militer, membangun kekuasaan wilayah publik, merancang

konstitusi baru, menciptakan sistem kompetisi partai dan institusi-institusi demokrasi,

liberalisasi, privatisasi, dan bergerak ke arah ekonomi pasar, meningkatkan pertumbuhan

ekonomi dengan menahan laju inflasi dan pengangguran, mengurangi defisit anggaran,

membatasi kejahatan dan korupsi, serta mengurangi ketegangan dan konflik antar etnis

dan kelompok agama.

Seperti di Indonesia setelah ORBA (Orde Baru), kekuasaan militer masih sangat

besar. Terlihat pada rangkap jabatan yang berlaku pada masa itu. Contoh : seorang TNI-

POLRI bisa menduduki kursi DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Maka langkah yang

harus diambil adalah recovery militer untuk kembali kepada fungsinya yang dasar yaitu

sebagai pertahanan dan keamanan negara. Dalam

negara-negara maju seperti di Amerika Utara dan dan Eropa Barat, pemetaan
kedua fungsi militer-politik sudah bisa berjalan seimbang dan berperan sesuai dengan

fungsinya.

3. Perumusan Kebijakan Baru Untuk Menyelesaikan Hubungan dengan Rezim

sebelumnya

Perubahan politik dari totaliter ke demokrasi menyebabkan transisi politik yang kemudian

adanya kebijakan-kebijakan baru. Solon sebagai salah satu filsuf Yunani mengadakan revisi

drastis terhadap sistem ekonomi, sosial, dan politik di Athena. Solom membagi populasi

ke dalam kelas dan mengkoordinasikan bantuan hutang, membatasi kekuasaan kepala

rumah tangga, melarang penjualan anak- anak, melembagakan majelis rakyat, serta

memperkenalkan pemeriksaan pengadilan yang dilakukan oleh juri.

Selanjutnya dikembangkan oleh Bronkhorst yaitu : memperbaharui tatanan sosial

baru; membuat suatu propaganda yang mengatakan bahwa salah untuk menghina pihak-

pihak yang dulu kaya dan sangat berkuasa dengan tujuan untuk menghindari proses balas

dendam dikarenakan pihak-pihak yang dulunya berkuasa dapat dengan mudah

mengambil alih kekuasaan mereka kembali. Sumber daya yang ada pada penguasa yang

lama adalah sangat diperlukan untuk proses rekonstruksi sebuah negara; dan melakukan

pembersihan pada setiap lini pemerintahan.

4. Demiliterisasi Tidak Hanya Berkaitan dengan Militer

Demiliterisasi bukan merupakan suatu masalah yang akan terkait dengan militer.

Tradisi politik dari negara-negara yang pernah diteliti menunjukkan adanya adanya proses

campur tangan antarapolitisi sipil dan pihak militer khususnya menghadapi ketidakpastian

dari proses demokrasi. Kenyataan yang ada

menunjukkan bahwa pihak militer tidak akan melakukan intervensi jika tidak ada
dukungan dari pihak sipil. Melihat kenyataan tersbeut TNI dituntut untuk mengarah ke

arah kondisi baru demokratisasi di Indonesia untuk melepaskan Dwifungsi, yang

selama ini dijadikan landasan untuk melegitimasi kekuasaan

politiknya. Berdasarkan hal tersebut kemudian diformulasikan “Paradigma Baru” atau “Lima

Langkah Reformasi TNI” yang menunjukkan dukungan terhadap demokratisasi dan secara

berkala merujuk pada “supremasi sipil”.

C. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik

1. Kasus Pembunuhan Steven Biko di Afrika Selatan

Pada tanggal 12 September 1977, Steven Biko, seorang pendiri dari Gerakan

Kesadaran Kaum Kulit Hitam ditemukan terbaring telanjang di atas tikar dari lantai batu

di penjara Prtoriam dengan mulut penuh bekar pukulan dan penuh busa. Pembunuhan

tersebut merupakan salah satu bentuk kejahatan dari sederatan kekejaman mengerikan

yang banyak terjadi selama diterapkannya siste apartheid. Dua puluh tahun kemudian

kelompok polisi yang melakukan pembunuhan terhadap Biko mengajukan amnesty

kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan. Potensi pembebasan hukuman

silakukan sebagai salah satu alternatif paling ideal untuk memotivasi kekuatan militer

untuk melindungi pelaksanaan pemilihan umum demokrasi pertama. Amnesty yang lebih

kuat tersebut dilakukan karena dibutuhkan bagi pelaksanaan rekonsiliasi dan

rekonstruksi Afrika Selatan.

2. Makna Keadilan dalam Proses Rekonsiliasi

Selanjutnya, istri dari Steven Biko adalah Ntsiki Biko mengajukan tuntutan kepada

pelaku yang menganiaya suaminya agar dihukum sebelum para pelaku

tersebut melakukan pengajuan amnesti dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi


Afrika Selatan. Bahkan, Ntsiki Biko mengajukan gugatan di Mahkamah Konstitusi

Afrika Selatan bahwa pengajuan amnesti adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan

hukum internasional. Namun, gugatan tersebut ditolak dan mendalilkan bahwa

kewenangan komisi untuk memberikan amnesti, bahkan juga bila diberlakukan bagi

kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pada akhirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan kemudian

menyatakan menolak untuk memberikan amnesti terhadap para pembunuh Steven Biko

dikarenakan para pembunuh belum memberikan kesaksian dengan jujur dan pembunuhan

tersebut tidak terkait dengan suatu tujuan politik.

3. Perspektif Hukum Internasional

Gugatan Ntisiki Biko terhadao Mahkamah Konstitusi Afrika selatan menyatakan

bahwa kewenangan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan untuk

memberikan amnesti adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan hukum

internasional. Walaupun perspektif hukum internasional memberikan kepada dirinya

sendiri suatu pembatasan terhadap pilihan-pilihan yang dapat diambil oleh negara-negara

domestik, yang mendesak mereka lebih memilih penghukuman daripada amnesti, namun

dalam kenyataannya ia mensyaratkan adanya hukum yang sah yang memungkinkan

baginya menjatuhkan penghukuman, daripada mengupayakan suatu pembalasan dendam.

Berkaitan dengan perspektif hukum internasional terdapat pula perdebatan antara

kelompok yang menganut prinsip inward looking dan outward looking. Prinsip outward

looking berpendapat bahwa semua ketentuan dari badan-badan internasional bersifat

mengikat (binding) dan harus dilaksanakan. Sedangkan kelompok yang bersikap inward

looking berpendapat bahwa keputusan-keputusan

internasional memang perlu dihormati dan dilaksanakan, sebab kedaulatan negara


yang digerogoti oleh berkembangnya peran PBB dan fenomena globalisasi, terutama

globalisasi ekonomi.

D. Pengalaman Beberapa Negara

1. Beberapa Negara Amerika Latin

a. Beberapa Karakteristik Transisi Politik di Amerika Latin dan Eropa Selatan Faktor-faktor

internasional lebih menguntungkan transisi politik yang

terjadi di negara-negara Eropa Selatan. Perbedaan-perbedaan dan pertentangan-

pertentangan itu juga mendukung suatu prediksi yang lebih optimistis perihal prospek

penegakkan demokrasi. Dalam analisisnya, O’Donnell mencatat adanya heteroginitas

yang lebih tinggi di Amerika Latin daripada di Eropa Selatan seperti diantaranya

Argentina, Bolivia, Brazil, Chile, Mexico, Peru, Uruguay, dan Venezuela yang

memenuhi otoriterisme birokratis sebelum memulai masing-masing transisi politik.

b. Beberapa Rezim “Ototerisme Birokratis” atau “Tradisional”

Amerika Latin dinilai lebih heterogen apabila dibandingkan dengan Eropa

Selatan. Beberapa ahli ilmu politik menyebutkan bahwa rezim di beberapa negara

Amerika Latin pra-transisi politik sebegai “otoriterisme

birokratis”. Tranformasi politik di Amerika Latin dibagi menjadi beberpa rezim yang

antara lain adalah rezim Somoza yang pernah memerintah di Nikaragua, rezim Batista

di Kuba, dan Rezim Stroessner di Paraguay.

Sedangkan untuk transisi di Eropa Selatan ditinjau dari praktek transisi politik

di Yunani dan Spanyol. Transisi politik ditandai dengan adanya rezim militer yang

dipimpin oleh George Papadopoulos.

c. Peru Sebagai Suatu Negara Ototerisme “Populis”


Dalam kasus Peru, peran sentral dimainkan oleh angkatan bersenjata atau

kalangan militernya berbeda dengan rezim militer yang ada di Amerika Latin. Rezim

militer yang populis di Peru berlawanan dalam beberapa aspek penting dengan rezim

birokratik otoriter.

d. Perbedaan dengan Rezim Birokratik Otoriter

Perbedaan penting antara kasus Peru dengan kasus rezim birokratik otoriter adalah

bahwa sebagai reaksi atas kebijakan-kebijakan yang sangat radikal yang semula

diterapkan di kalangan militer yang populis, kelas-kelas dominan Peru menuntut

dengan serta merta pemulihan demokrasi politik

e. Beberapa Kasus Lainnya

Kasus lain yang dapat ditinjau antara lain adalah mengenai kasus yang terjadi

di Chile dan Meksiko. Chile tergolong dalam tipe birokratik otoriter. Rezim Meksiko

berbeda dari rezim birokratik otoriter dalam tingkat pelembagaannya yang relatif

tinggi. Sisi khas rezim Meksiko adalah adanya suatu gerakan rakyat yang

revolusioner, yang berbeda tajam dengan kuatnya unsur dukungan kelas dominan

terhadap kudeta yang mencetuskan rezim- rezim birokratik otoriter.

2. Beberapa Negara Non-Amerika Latin

a. Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Yunani

Kejatuhan rezim otoriter Yunani pada tanggal 23 Juli 1974 telah membuka

jalan bagi pendirian suatu pemerintahan yang demokratis dalam sejarah Yunani

modern. Pada masa itu Yunani telah dapat menerapkan sanksi yang berat terhadap

sekelompok individu, termasuk para personil militer, yang terbukti bersalah dalam

melakukan berbagai kejahatan dalam rezim-rezim


non-demokratis. Yunani dinilai berhasil dalam menerapkan suatu wilayah kebijakan

yang bersifat krusial dimana berbagai negara lainnya telah gagal.

b. Konsepsi “Jalan Tengah” di Jerman dan Cekoslavia

Jerman maupun Cekoslovakia telah mengalami berbagai tingkat kebebasan

dan akses kepada arsip rezim masa lalunya. Dengan demikian resolusi-resolusi yang

dilakukan di kedua negara tersebut bersifat kompromistis, yang bersifat jalan

tengah, yakni tidak terjadi perusakan terhadap arsip masa lalu, namun juga tidak dapat

dilakukan akses sepenuhnya terhadap arsip tersebut. Dalam menyelesaikan kasus-

kasus kejahatan dan pelanggaran yang terjadi Republik Federal Jerman tampak

menikmati keuntungan-keuntungan yang tak terduga.

c. Perspektif Beberapa Negara Lainnya

Dalam perspektif negara-negara Eropa Tengah, pemrintah Jerman dapat

menggambarkan suatu keuntungan kelembagaan yang tidak dapat disangkal jika

dibandingkan dengan berbagai negara komunis, seperti Polandia, Hongaria, dan

Cekoslavia. Tidak seperti kasus yang terjadi kemudia, dimana norma-norma

demokratis dan budaya hukum liberal harus direkonstruksikan sendiri dari dasar,

para penyusun kebijakan jerman dapat menikamati suatu kondisi dari unifikasi

nasional untuk membimbing mereka. Salah satu hal yang memperkuat Jerman adalah

pengalaman Jerman selama lebih dari 40 tahun dengan konsepsi negara hukumnya.

Sebagai hasilnya Republik Federal Jerman telah menawarkan suatu rekaman keadilan

transisional yang tampaknya akan tetap tidak ada bandingannya dalam era pasca

komunis.
TANGGAPAN

Dalam bab mengenai Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik tersebut telah dijelaskan

mengenai perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) dari masa pembentukan dan terciptanya HAM

sampai dengan transisi politik atau gejolak-gejolak yang terjadi pada masa perkembangannya. HAM

sudah ditemukan sejak jaman Yunani dan Romawi yang muncul dari pengaruh pemikiran-pemikiran

filsuf pada masa itu. Konsepsi HAM pada masa itu sangat dipengaruhi adanya konsepsi yang melekat

erat pada masa itu yaitu mengenai hukum alam.

Gagasan mengenai hukum alam tersebut dikemukakan oleh Thomas Aquinas yang

menyatakan asal muasal hukum pada dasarnya bersumber dari 2 tempat yaitu wahyu dan akal budi

manusia. Hukum yang berasal dari wahyu ilahi disebut dengan ius divinum positivum, sementara yang

berasal dari akal budi manusia terdiri dari beberapa macam, yang diantaranya adalah ius naturale

(hukum alam), ius gentium (hukum bangsa-bangsa atau hukum internasional), dan ius positivism

humanum (hukum positif manusiawi). Hukum alam sendiri terbagi atas 2 golongan, yang pertama

adalah hukum alam primer yaitu semua aturan aturan hukum yang mengatur kepentingan manusia oleh

sebab itu bersifat umum, yang salah satu contohnya memberikan apa yang menjadi hak setiap orang.

Sedangkan golongan yang kedua adalah hukum alam sekunder yaitu setiap aturan hukum yang bersumber

pada hukum kodrat primer, akan tetapi mendapat pengecualian karena adanya situasi tertentu, misalnya

mengenai perintah jangan membunuh. Apabila dikaitkan dengan teori HAM dengan hukum alam

muncul dari adanya teori hukum alam primer mengenai pemberian hak dasar manusia atas sifat

alamiah manusia. Sehingga dalam hal ini alamlah yang menjamin atas hak dasar manusia tersebut

melainkan bukan negara maupun manusia sebagai warga negara.


Oleh karena itu berdasarkan doktrin hukum alam tersebut dokumen HAM yang ada seperti

Magna Charta (1215), Petition of Rights (1628), dan Bill of Rights (1689), dapat dijadikan bukti dari

adanya sebuah perubahan. Semua bukti tersebut telah memberikan kesaksian bahwa manusia telah

diberkati dengan hak-hak yang kekal dan tak dapat dicabut oleh siapapun, yang tak terlepaskan ketika

manusia “terkontrak” untuk memasuki masyarakat dari suatu negara yang primitif dan tidak pernah

dikurangi oleh tuntutan yang berkaitan dengan hak-hak ketuhanan dari raja. Bagi Aquinas,

pemahamannya terhadap hukum alam terletak di dalam domain alasan politik.

Setelah muncul pemikiran Thomas Aquinas mengani hukum alam, HAM mengalami

perkembangan dengan adanya tulisan dari John Locke mengenai “kontrak sosial” yang menyatakan

bahwa yang dilepaskan manusia kepada negara hanyalah hak untuk menegakkan hak-hak ini, dan

bukannya hak-hak itu sendiri. Sehingga melalui pemikiran tersebut dapat muncullah Universal

Declaration of Human Right . Universal Declaration of Human Right dapat dikatakan sebagai lahirnya

sebuah momen sejarah HAM yang sangat fantastis karena di setelah mengalami perjalanan yang

panjang masalah HAM dapat disusun dalam sebuah peraturan yang bersifat internasional yang di

dalamnya terdapat aturan-aturan yang menjamin HAM baik dalam bidang sosial-politik maupun

dalam hal ekonomi, sosial, dan budaya.

Universal Declaration of Human Right merupakan sebuah tonggak sejarah HAM yang baru

karena setelah terbentuknya generasi HAM terbagi menjadi 3 generasi yang dimulai dengan adanya

generasi pertama yang mengkritisi masalah hak sosial dan hak politik yang pada saat itu sedang

banyak diperbincangkan karena banyaknya perang dan penjajahan yang terjadi di masa itu. Puncak

dari generasi pertama HAM tersebut adalah dengan munculnya Konvensi Hak Sosial dan Politik.

Generasi HAM yang kedua ditandai dengan adanya tradisi sosialis yang mengatur hak ekonomi,

sosial, dan budaya. Sedangkan yang terakhir adalah

generasi HAM yang ketiga yang mengatur mengenai hak-hak solidaritas yang terdapat adalah
Universal Declaration of Human Right . Pengelompokkan generasi HAM tersebut dilakukan supaya

memudahkan dalam membagi perkembangan HAM dalam perkembangan hak-hak dasar apa saja yang

dilindungi terkait dengan adanya transisi politik dunia yang sedang terjadi pada masa itu.

Pada masa tersebut sempat terjadi pertentangan mengenai universalisme dan kaum relativis

budaya. Pertentangan tersebut muncul akibat munculnya Cairo Declaration of

Human Rights in Islam sebagai pemicu. Universalisme yang dimaksudkan adanya mengenai adanya

penyatuan faham mengenai HAM melalui Universal Declaration of Human Right sehingga pengaturan

HAM menurut ego dunia barat hanya boleh diatur dalam Universal

Declaration of Human Right tersebut. Sedangkan menurut pengamat Islam, dengan munculnya

Cairo Declaration of Human Rights in Islam sama sekali tidak menentang tiang- tiang dasar yang

terdapat dalam Universal Declaration of Human Right. Mengenai persoalan tersebut dalam membuat

kebijakan perlindungan HAM seharusnya diberikan kebebasan karena sekali lagi menurut teori

hukum alam hak dasar manusia sudah melekat dalam diri manusia sedangkan negara hanyalah

melindungi hak dasar yang melekat pada diri manusia tersebut. Oleh karena itu, apabila suatu

pengaturan tersebut tidak menentang atas adanya hak- hak dasar dalam diri manusia maka seharusnya

hal tersebut seharusnya tidak boleh dihambat. Dunia barat pun sudah sepantasnya memberikan

kesempatan kepada negara-negara lain yang ingin berkembang untuk mengembangkannya dari yang

sudah ada sebelumnya.

Otoriter dan totaliter adalah suatu ideologi negara yang kekuasaan tertingginya dipegang oleh

militer sehingga muncullah diktator. Demokrasi adalah suatu ideologi negara yang berasal, dari, dan

untuk rakyat. Merupakan pengharapan baru bagi pemimpin-pemimpin negara yang memakai paham

demokrasi. Untuk memajukan negara yang sudah demokrasi maka tidak terlepas dari rekonsiliasi

dengan masa lampau negaranya yang berupa

pelanggaran HAM. Di negara yang menganut ideologi otoriter dan totaliter dapat dipastikan
tidak dapat terlepas dari adanya pelanggaran HAM berat yang ada pada negara tersebut. Rezim militer

yang cenderung lebih berkuasa pun menjadi suatu petunjuk adanya sebuah keotoriteran dari pemimpin

negara tersebut dimana banyak rakyat-rakyat yang tertindas dan dilanggaranya hak-hak pribadi

seseorang.

Politisasi yang dilakukan kaum sipil dan militer juga menjadi salah satu bentuk dari adanya

sebuah rezim otoriter dimana terdapat percampuran pemerintahan dalam pos-pos yang seharusnya

diduduki oleh kaum sipil dan kemudian dilakukan pendudukan oleh kaum militer. Kaum militer

mengutamakan kekuatan yang dimilikinya untuk memegang peranan yang lebih penting di suatu

pemerintahan. Dengan kekuatan yang dimiliki oleh kaum militer itulah muncul pelanggaran-

pelanggaran HAM yang selanjutnya menimbulkan gejolak dari masyarakat. Gejolak dalam masyarakat

dalam menolak rezim otoriter tersebut dilakukan sebagai bentuk protes terhadap kondisi sosial-politik

pada masa itu. Kekuatan masal digunakan sebagai boomerang untuk menghancurkan rezim tersebut.

Transisi politik HAM yang berkembang selanjutnya merangkak menuju kasus-kasus yang

sedang terjadi di dunia internasional. Kasus pembunuhan Biko merupakan sebuah titik balik mengenai

HAM pada masa. Perspektif HAM dilihat dari kaca inward looking dan outward looking pun

menjadi sebuah sorotan karena adanya permohonan amnesty dari pelaku pembunuhan tersebut.

Menurut saya, apabila melihat kasus pembunuhan tersebut dilihat dari kaca outward looking memang

seharusnya mengenai keputusan-keputusan internasional memang perlu dihormati dan dilaksanakan,

sebab kedaulatan negara yang digerogoti oleh berkembangnya peran PBB dan fenomena globalisasi.

Selain dari kasus pembunuhan Biko juga ditemukan banyak kasus lain di negara lain yang

merupakan sebuah transisi politik yang dapat mengubah perspektif HAM. Munculnya berbagai

macam rezim di negara-negara di benua Amerika tentu saja menimbulkan sebuah

dampak yang cukup besar. Dengan munculnya rezim-rezim politik tersebut secara langsung
pasti akan muncul bentuk protes dari masyarakat. Protes dan gejolak masyarakat tersebutlah yang

digunakan sebagai momentum perkembangan HAM di Amerika karena pada dasarnya munculnya

sebuh rezim pasti menyisakan sebuah luka di masyarakat dimana hal tersebut sangat dekat dengan

adanya pelanggaran HAM. Sedangkan masa transisi potilik di negara- negara non-Amerika sudah

dimulai sejak masa bangsa Yunani dan Romawi. Transisi politik di negara Yunani dan Romawi itulah

yang kemudian memunculkan pemikiran-pemikiran para filsuf yang kemudian berkembang sehingga

dapat memunculkan konsep HAM.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa perkembangan HAM dari masa ke masa sangat

dipengaruhi dengan adanya transisi politik di suatu waktu dan suatu tempat. Dimana dari adanya

transisi politik tersebut muncul pemikiran-pemikiran akan perlindungan HAM bagi tiap-tiap individu.

Anda mungkin juga menyukai