Anda di halaman 1dari 4

Nama: Firstly Shalsabila Burokah

NPM: 2213024085
Kelas: B
Prodi: Pendidikan Biologi
Mata Kuliah: Pendidikan Kewarganegaraan

*Resume Film G30SPKI

Film ini secara sangat ’luar biasa’ memuja-muja pribadi Soeharto sebagai tokoh
penyelamat bangsa. Menurut Eros Djarot, film ini merupakan sebuah rekonstruksi
visual yang diambil langsung dari kepala Soeharto, superhero satu-satunya dalam
film tersebut. Versi yang diindoktrinasikan selama 32 tahun berkuasanya Soeharto ini
sangat sulit diubah.

Dalam film ini digambarkan secara visual keterlibatan perempuan Gerwani dalam
pembunuhan di Lubang Buaya. Mereka adalah ”perempuan-perempuan murtad, keji
dan bagian dari organisasi komunis gila” yang telah ”menjadi tangan utama dalam
penyiksaan dan pembunuhan para jenderal”. Bahkan stereotype yang selalu direwind
mengenai peristiwa Lubang Buaya ditampakkan pula. ”Gerwani dengan bertelanjang
dada menari-nari dan memotong-motong zakar para jenderal”.

Dikisahkan bahwa pada tanggal 4 Oktober, Soeharto memimpin kegiatan


pengangkatan jenazah para jenderal dari dalam sumur tua. Soeharto digambarkan
dengan jelas sebagai pahlawan penyelamat bangsa, sebaliknya PKI digambarkan
benar-benar bukan hanya sebagai kriminal tetapi lebih dari itu sebagai pengkhianat
bangsa. Pada 4 Oktober 1965, ketika dilakukan penggalian jenazah para jenderal di
Lubang Buaya, Mayjen Suharto, Panglima Kostrad menyampaikan pidato yang
disiarkan luas yang menyatakan bahwa para jenderal telah dianiaya sangat kejam dan
biadab sebelum ditembak. Dikatakan olehnya bahwa hal itu terbukti dari bilur-bilur
luka di seluruh tubuh para korban. Di samping itu disiarkan secara luas foto-foto dan
film jenazah yang telah rusak yang begitu mudah menimbulkan kepercayaan tentang
penganiayaan biadab itu. Hal itu diliput oleh media massa yang telah dikuasai AD,
yakni RRI dan TVRI serta koran milik AD Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha.
Sementara seluruh media massa lain dilarang terbit sejak 2 Oktober (Harsutejo,
2007).

Dilukiskan terdapat kerjasama erat dan serasi antara Pemuda Rakyat dan Gerwani
serta anggota ormas PKI lainnya dalam melakukan penyiksaan para jenderal dengan
menyeret, menendang, memukul, mengepruk, meludahi, menghina, menusuk-nusuk
dengan pisau, menoreh silet ke mukanya. Dan puncaknya kaum perempuan Gerwani
itu dilukiskan sebagai telah kerasukan setan, menari-nari telanjang yang disebut tarian
harum bunga, sambil menyanyikan lagu Genjer-genjer, lalu mecungkil mata korban,
menyilet kemaluan mereka, dan memasukkan potongan kemaluan itu ke mulutnya.
*Kemunduran Soeharto

Tanggal 21 Mei 1998 ditandai sebagai berakhirnya era Orde Baru dan dimulainya era
Reformasi, sekitar pukul 09.00 WIB, Presiden Soeharto menyampaikan pidato
pengunduran dirinya sebagai presiden setelah menjabat lebih dari tiga dekade, yakni
32 tahun.

Beberapa peristiwa yang melatar belakangi lengsernya Soeharto yaitu krisis moneter
1997-1998, demonstrasi besar-besaran yang dilakukan rakyat Indonesia hingga
menimbulkan beberapa tragedi seperti Tragedi Trisakti, serta aksi Kerusuhan Mei
1998 yang menyebabkan, baik ekonomi maupun politik serta sosial menjadi tidak
stabil.

Berikut saya lampirkan pidato kemunduran Presiden Soeharto:


“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Sejak beberapa waktu terakhir,
saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi
rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan
bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut,
dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi tersebut perlu dilaksanakan secara
tertib, damai dan konstitusional demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa
serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan pembentukan
Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII.

Namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut
tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana
pembentukan Komite tersebut. Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi
dengan cara yang sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat
diwujudkannya Komite Reformasi maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan
VII menjadi tidak diperlukan lagi.

Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya
untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik.
Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945, dan setelah
dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan Pimpinan Dewan Perwakilan
Rakyat dan Pimpinan Fraksi-Fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk
menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung
sejak saya bacakan Pernyataan ini, pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998.

Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia, saya
sampaikan di hadapan Saudara-saudara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia yang juga adalah Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat yang juga
adalah pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, pagi ini pada kesempatan
silaturahmi.
Sesuai dengan pasal 8 Undang-Undang Dasar ’45 maka Wakil Presiden Republik
Indonesia yang Prof. Dr. Ing. B J. Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan
Presiden/Mandataris MPR 1998–2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama
saya memimpin Negara dan Bangsa Indonesia ini, saya ucapkan terima kasih dan
minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya. Semoga Bangsa
Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan Undang Dasar ’45-nya.

Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VII demisioner dan pada para menteri saya
ucapkan terima kasih.

Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan


sumpah di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat maka untuk menghindari kekosongan
pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara Wakil
Presiden sekarang juga agar melaksanakan pengucapan sumpah jabatan presiden di
hadapan Mahkamah Agung Republik Indonesia.”

Jakarta, 21 Mei 1998.

Presiden Republik Indonesia

Soeharto

*Tragedi Trisakti

Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan terhadap mahasiswa yang tengah


berdemonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatan Presiden pada tanggal 12 Mei
1998.
Mahasiswa korban Tragedi Trisakti berjumlah 4 korban jiwa, yaitu Elang Mulia
Lesmana (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Arsitektur, 1978-1998),
Hafidhin Royan (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Teknik Sipil,1977-
1998), Hery Hartanto (Fakultas Teknik Industri, 1976-1998), dan Hendriawan Sie
(Fakultas Ekonomi, 1975-1998).

Keempat mahasiswa Universitas Trisakti tersebut tewas ditembak di dalam kampus,


terkena peluru tajam di kepala, tenggorokan, dan dada. Peristiwa penembakan empat
mahasiswa Universitas Trisakti ini digambarkan dengan detail dan akurat oleh
penulis sastra dan jurnalis Anggie Dwi Widowati dalam Langit Merah Jakarta, seperti
dikutip dari laman Universitas Trisakti

Latar Belakang dan Penyebab Tragedi Trisakti


Mahasiswa melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke Gedung Nusantara, salah
satu gedung utama MPR/DPR RI di Jakarta. Termasuk di antaranya adalah
mahasiswa Universitas Trisakti. Para mahasiswa menuntut tanggung jawab
pemerintah atas terjadinya krisis ekonomi Indonesia pada awal 1998 yang
dipengaruhi krisis finansial Asia 1997-1999.
Para mahasiswa melakukan aksi damai dengan berjalan dari dari kampus Trisakti ke
Gedung Nusantara pada pukul 12.30 WIB. Namun, aksi mereka dihambat blokade
Polri dan militer. Beberapa mahasiswa lalu mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.

Mahasiswa pun akhirnya bergerak mundur pada pukul 17.15 WIB seiring aparat
keamanan bergerak maju. Aparat keamanan lalu menembakkan peluru ke arah
mahasiswa. Kerumunan mahasiswa yang panik lalu berpencar, sebagian besar
berlindung di kawasan Universitas Trisakti. Di saat ini, aparat keamanan terus
melakukan penembakan.

Korban tembak lalu berjatuhan dan dilarikan ke RS Sumber Waras. Satuan


pengamanan di lokasi pada saat itu adalah Brimob, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon
Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan
Anti Huru Hara Kodam, serta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng,
gas air mata, rangkaian senapan Steyr, dan senapa serbu SS-1.

Tiga mahasiswa dipastikan tewas pada pukul 20.00 WIB, dan satu orang kritis.

Pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, tetapi hasil
otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam. Hasil sementara saat itu
memprediksi bahwa peluru tersebut hasil pantulan peluru tajam dari tanah untuk
tembakan peringatan.

*Kerusuhan Era Reformasi 1998

Anda mungkin juga menyukai