Tugas Resume
Tugas Resume
NPM: 2213024085
Kelas: B
Prodi: Pendidikan Biologi
Mata Kuliah: Pendidikan Kewarganegaraan
G30SPKI adalah pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang terjadi pada
tanggal 30 September 1965. Peristiwa ini berlangsung selama dua hari, dari tanggal
30 September hingga 1 Oktober 1965. Enam jenderal dan satu perwira TNI tewas
dalam peristiwa ini. dan kemudian jasadnya ditempatkan di sebuah sumur tua di
daerah Lubang Buaya. Ketujuh perwira itu dianugerahi gelar "Pahlawan Revolusi"
bersama tujuh jenderal Jenderal Ahmad Yani, Mayjen Raden Soeprapto, Mayjen Mas
Tirtodarmo Haryono, Mayjen Siswondo Parman, Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan
dan Brigjen Sutoyo. Siswodiharjo dan Lettu Pierre Andreas Tendean.
Awal tanggal 1 Oktober 1965, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya
tewas dalam kudeta yang dituduhkan kepada para pengawal keraton (Cakrabirawa),
yang diyakini loyal kepada PKI dan kemudian dipimpin oleh Letkol. Kolonel
Untung. Panglima Komando Strategis Angkatan Darat, Mayjen Soeharto, kemudian
mulai menekan gerakan tersebut. Salah satu jenderal yang selamat dari serangan PKI
adalah AH Nasution. Namun, putri mereka Ade Irma Suryani Nasution tidak bisa
diselamatkan. Sedangkan di Yogyakarta, G30S PKI pimpinan Mayor Mulyono
menyebabkan tewasnya Kolonel Angkatan Darat Katamso dan Letkol Sugiyono.
Tanggal 21 Mei 1998 ditandai sebagai berakhirnya era Orde Baru dan dimulainya era
Reformasi, sekitar pukul 09.00 WIB, Presiden Soeharto menyampaikan pidato
pengunduran dirinya sebagai presiden setelah menjabat lebih dari tiga dekade, yakni
32 tahun.
Beberapa peristiwa yang melatar belakangi lengsernya Soeharto yaitu krisis moneter
1997-1998, demonstrasi besar-besaran yang dilakukan rakyat Indonesia hingga
menimbulkan beberapa tragedi seperti Tragedi Trisakti, serta aksi Kerusuhan Mei
1998 yang menyebabkan, baik ekonomi maupun politik serta sosial menjadi tidak
stabil.
Namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut
tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana
pembentukan Komite tersebut. Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi
dengan cara yang sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat
diwujudkannya Komite Reformasi maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan
VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya
untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik.
Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945, dan setelah
dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan Pimpinan Dewan Perwakilan
Rakyat dan Pimpinan Fraksi-Fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk
menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung
sejak saya bacakan Pernyataan ini, pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998.
Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia, saya
sampaikan di hadapan Saudara-saudara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia yang juga adalah Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat yang juga
adalah pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, pagi ini pada kesempatan
silaturahmi.
Sesuai dengan pasal 8 Undang-Undang Dasar ’45 maka Wakil Presiden Republik
Indonesia yang Prof. Dr. Ing. B J. Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan
Presiden/Mandataris MPR 1998–2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama
saya memimpin Negara dan Bangsa Indonesia ini, saya ucapkan terima kasih dan
minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya. Semoga Bangsa
Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan Undang Dasar ’45-nya.
Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VII demisioner dan pada para menteri saya
ucapkan terima kasih.
Soeharto
*Tragedi Trisakti
Empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak mati di kampus dengan peluru tajam
di kepala, leher dan dada. Penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti itu
dipaparkan secara detail dan akurat oleh penulis dan jurnalis Anggie Dwi Widowati
Langit Merah di Jakarta, seperti dikutip situs Universitas Trisakti.
Korban yang tertembak kemudian pingsan dan dibawa ke RS Sumber Waras. Satuan
pengamanan setempat pada saat itu adalah Brimob, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon
Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan
Pergerakan Kodam dan Pasukan Bermotor. Mereka dipersenjatai dengan tameng, gas
air mata, senapan Steyr dan senapan serbu SS-1.
Tiga mahasiswa dipastikan tewas pada pukul 20.00 WIB dan satu orang dalam
kondisi kritis.
A. Otonomi Daerah
Otonomi daerah merupakan salah satu tuntutan dan program reformasi. Pemerintah
Indonesia telah mendeklarasikan otonomi daerah ini sejak tahun 1999 dengan nomor
UUD. 22 tahun 2001 tentang pemerintahan daerah. Belakangan, pemerintah merevisi
undang-undang tersebut dan menggantinya dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintahan Negara dan Daerah. Undang-undang baru ini kemudian
menegaskan bahwa otonomi daerah mengacu pada hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut undang-undang (UU No. 32). 2004 Pasal
1(5).
B. Konflik Etnis
Pada masa reformasi terjadi konflik horizontal dalam masyarakat yang berlatar
belakang suku, ras, dan agama. Berikut konflik-konflik pada masa reformasi:
1. Di Kalimantan Barat terjadi konflik etnis antara Dayak, Melayu dan suku
pendatang tertentu. Konflik mulai meletus pada 19 Januari 1999. Konflik itu
diselesaikan pada 26 April 1999. Suku yang bertikai duduk dan membentuk Forum
Komunikasi Masyarakat Kalbar.
2. Di Ambon terjadi konflik etnis yang berlatar belakang agama. Pemicu konflik di
Maluku adalah tabrakan antara warga Batumerah (Ambo) dengan seorang angkutan
kota. Peristiwa itu memicu konflik massal. Berbagai upaya mewujudkan perdamaian
di Maluku tampaknya menemui jalan buntu. Akhirnya, 11-12 Februari 2002,
Kesepakatan Malino disepakati di Sulawesi Selatan, dimana kedua pihak yang
berkonflik sepakat untuk mengakhiri konflik. 3. Terjadi pula konflik antara agama
Islam dan Kristen di Poso. Konflik tersebut dipicu oleh peristiwa sederhana yaitu
tawuran dalam keadaan mabuk antara Roy Runtuh Bisalembah (Kristen) dan Ahmad
Ridwan (Muslim) yang terjadi pada tanggal 26 Desember 1998 di Kecamatan Soja
Kabupaten Poso. Perkelahian ini berkembang menjadi konflik antar warga yang
berbeda agama. Pada tanggal 28 Desember 1998, konflik ini mencapai semua distrik.
Pemerintah mencoba menyelesaikan masalah ini dengan 19-20. mengadakan
pertemuan Malino di Sulawesi Selatan. Desember 2001. Dalam pertemuan tersebut
disepakati bahwa pihak lawan harus mengakhiri perselisihan dan menyepakati
pelaksanaan syarat-syarat perjanjian yang telah disepakati. disepakati bersama.
C. Ancaman Terorisme
Bahkan pada masa reformasi, bahkan sejak tahun 1997, sering terjadi ancaman bom
dan teror. Dari sekian banyak bom yang meledak di Indonesia, bom yang terjadi di
sebuah kafe di Jalan Legian adalah yang paling dahsyat dan memakan banyak korban
jiwa. Kuta (Bali) pada 12 Oktober 2002. membunuh lebih dari 180 orang,
kebanyakan dari mereka turis dari Australia. Ini adalah efek dari bom Bali.
Apa pun alasannya, serangan teroris dan pengeboman tidak dibenarkan karena
melukai, membunuh, dan melukai orang yang tidak bersalah. Apalagi segala bentuk
kepahlawanan yang mengatasnamakan agama, tetapi dengan niat menghancurkan dan
membunuh orang lain, hanya mencemarkan dan merendahkan agama itu sendiri.
bahwa agama akan datang. dari Tuhan, yang paling mencintai.
Hal ini tertera pada Perjanjian Lisbon 20 April 1859 yang dilakukan antara Belanda
dan Portugal. Perjanjian ini mengatur batas-batas wilayah koloni Belanda di Hindia
Belanda dan Portugal di Timor Portugis.
Pelanggaran HAM
Ketika memasukkan Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia, militer Indonesia
hanya memerlukan waktu kurang dari tujuh bulan untuk membungkam pasukan
FRETILIN.
Pada tahun 1991, terjadi peristiwa besar yang dikenal sebagai Pembantaian Santa
Cruz.
Saat ini, Timor Leste telah menjadi negara yang merdeka seutuhnya dengan nama
Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) di bawah kepemimpinan presidennya,
yaitu José Ramos Horta.
*Kerusuhan Ambon
Konflik sektarian Kepulauan Maluku adalah konflik etnis-politik yang melibatkan
agama di kepulauan Maluku, Indonesia, khususnya pulau Ambon dan Halmahera.
Konflik ini bermula pada era Reformasi awal 1999 hingga penandatanganan Piagam
Malino II tanggal 13 Februari 2002. Konflik ini mengandung isu SARA.
Penyebab utama konflik ini adalah ketidakstabilan politik dan ekonomi secara umum
di Indonesia setelah Soeharto tumbang dan rupiah mengalami devaluasi selama dan
seusai krisis ekonomi di Asia Tenggara. Rencana pemekaran provinsi Maluku
menjadi Maluku dan Maluku Utara semakin memperuncing permasalahan politik
daerah yang sudah ada. Karena permasalahan politik tersebut menyangkut agama,
perseteruan terjadi antara umat Kristen dan Islam pada Januari 1999. Perseteruan ini
dengan cepat berubah menjadi pertempuran dan tindak kekerasan terhadap warga
sipil oleh kedua belah pihak. Dua pihak utama yang terlibat konflik ini adalah
kelompok milisi agama dari kedua pihak, termasuk kelompok Islamis bernama
Laskar Jihad, dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Membunuh dengan berbagai senjata, parang sampai senjata api rakitan, membakar,
mengebom, "tanpa rasa (bersalah) apa-apa" sebagai "mesin pembunuh", merupakan
bagian hidup sehari-hari sebagian anak-anak berusia antara sembilan sampai belasan
tahun saat itu, selama bertahun-tahun.
Kebencian membara atas nama agama - Islam, Kristen- membuat hidup mereka
terkepung di lokasi konflik, dengan hanya satu tujuan "membunuh sebanyak-
banyaknya lawan iman."
Pada akhirnya, orang Maluku menyadari bahwa mereka telah lelah bertempur.
Berbagai upaya diambil untuk mengakhiri konflik, termasuk yang dipimpin oleh
petugas keamanan; pemerintahan pusat dan daerah; LSM internasional dan lokal;
masyarakat lokal dan kelompok perempuan. Dua pendekatan yang luas terhadap
pengelolaan konflik di Maluku muncul dari upaya berikut pendekatan keamanan dan
darurat dan pendekatan pemulihan dan pembangunan. Namun demikian, tidak ada
strategi atau perencanaan jangka panjang oleh baik Pemerintah maupun masyarakat
sipil. Alat pengelolaan konflik yang utama digunakan adalah pengiriman bantuan dan
keamanan, mengandalkan pada militer yang didatangkan dari luar Maluku. Hal ini
yang mendorong Pemerintah pusat memulai perundingan damai antara komunitas
Kristen dan Muslim yang memuncak pada perjanjian perdamaian Malino II pada
Februari 2002.
Setelah lama tenang, pada September 2011 Ambon kembali mengalami bentrokan
disebabkan oleh kematian salah satu tukang ojek beragama Muslim di wilayah
komunitas Kristen. Masyarakat begitu mudahnya terprovokasi oleh SMS yang
beredar bahwa korban dibunuh oleh orang Kristen. Menurut Tony Pariela, Guru besar
sosiologi FISIP Universitas Pattimura, bentrokan yang terjadi ini menjadi pertanda
bahwa penyelesaian konflik antar agama di Ambon belum sepenuhnya tuntas. Bahkan
menurutnya ada sesuatu yang menyebabkan akar rumput belum terkendali karena
pendekatan keamanan yang dikedepankan.
Pada tahun 1998 sengketa Sipadan-Ligitan dibawa ke ICJ kemudian pada hari Selasa
tanggal 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan putusan atas sengketa antara Indonesia
dan Malaysia tentang kedaulatan Kepulauan Sipadan-Ligitan. Hasilnya, 16 hakim
memihak Malaysia dalam pemungutan suara di lembaga itu, sementara hanya satu
orang yang memihak Indonesia. Dari 17 hakim tersebut, 15 merupakan hakim tetap
MI, satu hakim dipilih oleh Malaysia dan satu lagi oleh Indonesia. Malaysia menang
karena berdasarkan pertimbangan efisiensi (tanpa memutuskan masalah batas
perairan dan laut), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) mengambil tindakan
administratif yang konkrit dengan mengeluarkan peraturan untuk melindungi burung.
hewan, mengumpulkan telur penyu sejak tahun 1930-an dan operasi mercusuar sejak
tahun 1960-an. Tidak memperhitungkan aktivitas wisata Malaysia, serta penolakan
karena rantai properti (rantai properti Sultan Sulu), tetapi batas laut perbatasan
Malaysia-Indonesia tidak diperhitungkan. Jalan Makasar.