MODUL IV Daring
MODUL IV Daring
TUJUAN PERTEMUAN:
INDIKATOR:
BAHAN BACAAN:
Media/Bahan Pembelajaran
Tatkala para pendiri bangsa Indonesia dalam Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) merumuskan
kemerdekaan bangsa Indonesia, salah satu pertanyaan yang muncul adalah dasar apa
yang dipakai untuk Indonesia merdeka. Pertanyaan ini pun pernah kembali
mengemuka pada saat Sidang Dewan Konstituante yang hendak membentuk
konstitusi Indonesia pada tahun 1955 sampai 1959.
Anggota BPUPK dilantik pada 28 Mei 1945 dan menggelar sidang yang
membahas rancangan UUD. Sidang BPUPK meliputi sidang pertama pada 29 Mei
hingga 1 Juni 1945 dan sidang kedua yang diselenggarakan pada 11 sampai 17 Juli
1945. Pada sidang pertama tanggal 29 Mei, Ketua BPUPK Radjiman
Wedyodiningrat menyampikan hal yang penting untuk dibahas, yaitu tentang dasar
Negara (Martosoewignyo, 1987: 25).
Pancasila sebagai dasar negara dapat didasarkan pada tinjauan historis yang
melatarbelakangi lahirnya Pancasila. Nilai-nilai Pancasila mengemuka dan
selanjutnya terumuskan adalah pada saat para pendiri bangsa sedang mencari dasar
dari negara yang akan dibentuk. Hal itu diawali dari pertanyaan Ketua BPUPKI, Dr.
Radjiman Wediodiningrat yang mengajukan pertanyaan “Negara Indonesia yang akan
kita bentuk itu apa dasarnya?” Pertanyaan tentang dasar negara itu ditafsirkan oleh
peserta rapat, terutama Soekarno sebagai “philosophische grondslag”, yaitu
fundamen, filsafat, pikiran-pikiran yang sedalam- dalamnya, jiwa, hasrat yang
sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan bangunan Indonesia merdeka. Dasar
negara tersebut oleh Hatta juga diartikan sebagai ideologi negara yang membimbing
politik negara dan hukum tata negara Indonesia (Sastrapratedja, 2009: 67).
Oleh karena itu dasar negara adalah serangkaian nilai yang digali dari dan
tumbuh berkembang dalam masyarakat Indonesia sendiri sejak berabad yang lalu,
yang memuat gagasan tentang cita negara (staatsidee) dan cita hukum (rechtsidee)
sehingga dijadikan sebagai sumber bagi penyusunan hukum dasar atau pasal-pasal
Konstitusi. Sebagian besar anggota BPUPK memberikan pandangannya tentang dasar
4
- dasar negara yang akan dibentuk (Yamin, 1971: 59 – 396). Anggota yang berlatar
belakang gerakan keislaman menghendaki agar dasar-dasar negara digali dari nilai-
nilai ajaran agama Islam, sedangkan anggota yang berlatar belakang gerakan
kebangsaan menghendaki agar dasar-dasar negara digali dari nilai-nilai budaya bangsa
dan teori-teori ketatanegaraan yang sedang berkembang. Salah satu pandangan yang
mendapat sambutan paling hangat dari para peserta ialah pandangan Soekarno yang
memperkenalkan Pancasila sebagai dasar negara.
Pada masa akhir masa sidang pertama, BPUPK membentuk Panitia Kecil
beranggotakan delapan orang yang dipimpin oleh Soekarno. Panitia ini bertugas
meneliti serta mempelajari usul-usul yang telah disampaikan para anggota BPUPK,
melakukan inventarisasi, serta menyusunnya sebagai sebuah naskah yang akan
dibahas pada masa sidang kedua yang direncanakan berlangsung bulan Juli 1945
(Martosoewignyo, 1987: 27).
5
Susunan Keanggotaan Panitia Sembilan
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab
itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-
kemanusiaan dan peri-keadilan.
Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Hukum Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan, dengan
6
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ir. Soekarno
Mr. A. A. Maramis
Abikoesno Tjokrosoejoso
H. Agoes Salim
Badan ini segera menjadwalkan sebuah pertemuan pada 18 Agustus 1945 untuk
menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Namun, sehari sebelum rapat
dimulai, persisnya setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, tersiar kabar
bahwa rakyat Kristen di wilayah Indonesia bagian timur akan menolak bergabung
kedalam Republik Indonesia jika syariat Islam masuk di dalam UUD. Dalam buku
Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Tintamas, Jakarta, 1970, Moh. Hatta
menceritakan bahwa kabar mengenai keberatan dimasukkannya syari’at Islam dalam
UUD datang dari seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) yang menemuinya.
Namun dalam buku Lahirnya Satu Bangsa dan Satu Negara, O.E. Engelen dkk.
menyatakan bahwa yang menemui Moh. Hatta adalah tiga mahasiswa Ika Daigaku
yakni Piet Mamahit, Moeljo, dan Imam Slamet yang berpakaian seragam Angkatan
Laut Jepang. Kelompok mahasiswa Asrama Prapatan 10 mengutus tiga orang itu
setelah beberapa tokohnya berdiskusi dengan Dr. Ratulangi, Mr. A. A. Maramis, dan
Mr. Pudja. Menanggapi keberatan tersebut, Moh. Hatta mengumpulkan beberapa
wakil golongan Islam yang duduk di PPKI, yakni K.H. Wachid Hasjim, Ki Bagus
Hadikoesoemo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Mohammad Hasan, untuk
membicarakan persoalan tersebut. Dalam pembicaraan informal itu wakil-wakil
golongan Islam dengan ikhlas merelakan dihapusnya tujuh kata dalam Mukaddimah,
dua kata dalam Pasal 6 ayat (1), dan tujuh kata dalam Pasal 29 ayat (1) demi
terwujudnya persatuan Indonesia (Basalim, 2002: 39).
8
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan
oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
9
menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih, sidang PPKI
kemudian mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
10
hukum, Von Savigny menyatakan bahwa jiwa bangsa antara lain berisi perasaan
keadilan kolektif yang menjadi sumber hukum nasional (Mahfud, MD. 2).
Jiwa bangsa di satu sisi menentukan eksistensi negara dan di sisi lain
menjadi pedoman dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada
saat jiwa bangsa telah padam atau dipadamkan, maka eksistensi negara pun terancam.
Sebaliknya, hidup dan padamnya jiwa bangsa bergantung sepenuhnya kepada warga
bangsa dan penyelenggara negara itu sendiri. Pada saat nilai-nilai yang menghidupi
jiwa bangsa telah ditinggalkan atau diingkari, pada saat itu pula secara pelan-pelan
kita sudah memadamkan jiwa bangsa. Akibatnya, kita akan kehilangan identitas dan
pegangan untuk hidup bersama sebagai satu bangsa dan satu negara.
Konsekuensi dari Pancasila sebagai dasar negara, maka Pancasila menjadi cita
hukum nasional. Dalam sejarah hukum Indonesia, konsep cita hukum termuat dalam
Penjelasan UUD 1945 Bagian III alenia I sebelum perubahan yang menyatakan
“Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang- Undang
Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum
(Reichtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis
(Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis.” Alenia ini terkait
dengan pokok-pokok pikiran yang diuraikan dalam Bagian II yaitu (1) negara
persatuan; (2) negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat; (3)
negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan
perwakilan; dan (4) negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab. Pokok-pokok pikiran inilah yang mewujudkan
cita hukum. Lalu apakah yang menjadi cita hukum itu sendiri?
11
grundnorm, juga berpandangan bahwa Pancasila adalah cita hukum sebagai yardstick
dalam menafsirkan konstitusi dan sebagai panduan dalam menata kehidupan
berbangsa dan bernegara (Asshiddiqie, 2007). Oleh karena itu Pasal 2 UU Nomor 12
tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pancasila
ditempatkan sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dapat dipahami
sebagai hubungan yang bersifat formal dan material. Hubungan secara formal
menunjuk pada tercantumnya Pancasila secara formal di dalam Pembukaan yang
mengandung pengertian bahwa tata kehidupan bernegara tidak hanya bertopang pada
12
asas sosial, ekonomi, politik, akan tetapi dalam perpaduannya dengan keseluruhan
asas yang melekat padanya, yaitu perpaduan asas-asas kultural, religius dan asas-asas
kenegaraan yang unsur-unsurnya terdapat dalam Pancasila (Kaelan, 2009: 90-91).
Dalam hubungan yang bersifat formal rumusan Pancasila sebagai dasar Negara
Republik Indonesia adalah sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD NRI
tahun 1945 alinea keempat. Pembukaan UUD NRI tahun 1945 merupakan Pokok
Kaidah Negara yang Fundamental sehingga terhadap tertib hukum Indonesia
mempunyai dua macam kedudukan, yaitu: 1) sebagai dasarnya, karena Pembukaan
itulah yang memberikan faktor-faktor mutlak bagi adanya tertib hukum Indonesia; 2)
memasukkan dirinya di dalam tertib hukum tersebut sebagai tertib hukum tertinggi
(Kaelan, 2009: 90-91).
Hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI tahun 1945 secara material
adalah menunjuk pada materi pokok atau isi Pembukaan yang tidak lain adalah
Pancasila. Oleh karena kandungan material Pembukaan UUD NRI tahun 1945 yang
demikian itulah maka Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dapat disebut sebagai Pokok
Kaidah Negara yang Fundamental yang berintikan Pancasila (Kaelan, 2009: 90-
91).
13