Anda di halaman 1dari 66

BAB 6

KAJIAN ILMU FARMASI

6.1 Pengantar
Sepanjang sejarah perjalanan hidup manusia, orang
selalu berurusan dengan penyakit, sakit dan kematian,
meskipun berbagai diagnosis dan penyembuhan telah dilakukan
bervariasi dari berbagai daerah. Dibanyak tempat, penyakit
dipandang baik sebagai invasi tubuh oleh beberapa racun atau
dikaitkan dengan kelakuan manusia yang membuat dewa marah
dan atau ilmu sihir. Oleh karena itu, seseorang ahli dalam
pengobatan atau dulu dikenal sebagai tabib untuk
menyembuhkan pasien menggunakan tiga peran sekaligus yaitu
sebagai dokter, apoteker, dan imam/pendeta/ulama. Untuk
sementara, mereka percaya bahwa pengobatan medis bisa
meringankan penyakit, sedangkan penyebab utama hanya bisa
dihilangkan dengan doa dan pengorbanan kepada para dewa.
Berbagai catatan pengobatan kuno yang terkenal adalah
Papyrus Eber di Mesir, dan Aryuveda di India, serta berbagai
prasasti-prasasti lainnya yang tidak tercatat dengan baik.
Secara keilmuan sebelum datangnya Islam,
perkembangan keilmuan sangat lambat bahkan tidak jalan sama
sekali. Hal ini disebabkan karena pada jaman itu, barangsiapa
yang mengemukakan gagasan baru yang belum ada dalam
tradisi kebudayaan yang diajarankannya pada waktu itu, maka
dilarang bahkan ditangkap dan dibunuh. Sebagaimana telah
terjadi pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan di

225
Eropa, yang melumpuhkan pergerakan ilmu pengetahuan kala
itu. Pada masa kurun pertengahan abad ke-16, terus menerus
sampai permulaan pergerakan ilmiah dan revolusi bangsa Eropa,
terjadi pemberontakan terhadap pihak gereja. Puncak dari
pemikiran pemberontakan ini adalah terbentuknya The France
National Assembly (Perhimpunan kebangsaan perancis) sebagai
akibat dari revolusi perancis dengan menetapkan kebebasan ini,
yang tujuannya adalah meniadakan campur tangan gereja yang
hidup dalam kependetaan dan kerahiban terhadap gagasan
tentang keilmuan.
Sejak Islam berjaya, kondisi diatas berbanding terbalik
dengan nasib gereja. Dimana pada masa itu, sama sekali tidak
bertentangan atau perselisihan jalan kaum Muslimin dalam hal
ilmu pengetahuan, baik dari segi teori maupun dari aplikasi
nyata. Bahkan Islam menganjurkan untuk menuntut ilmu, secara
mutlak memberikan akal kedudukan yang bebas merdeka,
mutlak dalam berpendapat, berfikir dan merenung, jauh dari
cerita-cerita dongeng nenek moyang, taqlid, memperturutkan
hawa nafsu dan ambisi. Jadi, terdapat perbedaan yang sangat
kental antara pemikiran Islam yang tegak atas dasar kebebasan
berfikir dan hubungan antara Allah dan hamba tanpa adanya
perantaraan dengan pemikiran di Eropa sebelum revolusi
peniadaan campur tangan pihak gereja terhadap gagasan
tentang keilmuan. Ini merupakan pemikiran yang
memperbaharui akal dan merupakan inti antara pemikiran
Masehi dalam abad pertengahan yang bersumber dari
kebebasan berfikir yang meletakkan penguasa gereja di antara
hamba dan Tuhan.

226
Para ilmuwan kaum Muslimin tidak hanya mencukupkan
diri dengan mengkritik teori-teori terdahulu dan menyelidikinya,
tetapi kebanyakan mengadakan penyelidikan tentang sesuatu
yang baru dan berlaku, kemudian menyelidikinya sampai pada
suatu kesimpulan yang benar terjadi pada teori tersebut. Jika
memang terbukti bahwa teori itu mendekati kebenaran, lalu
menyelidiki teori tersebut sampai ditetapkan akhir dari
penelitian mereka bahwa teori tersebut merupakan hakikat
kebenaran dan bukan hanya sebatas teori. Dari sudut aplikasi
ilmu, kaum Muslimin juga telah memulai kajian-kajian dengan
menggunakan metode baru yang terlihat pada masanya,
khususnya jika peradaban kaum Muslimin itu dibandingkan
dengan peradaban Romawi. Demikian kaum Muslimin
mengubah dari ruang lingkup dan metode pemikiran para
ilmuwan terdahulu. Pertama kali dalam catatan sejarah, kaum
Muslimin telah menciptakan spesifikasi ilmiah secara sempurna.
Banyak sekali para pakar ilmu yang menguasai bidang-bidang
tertentu, untuk mengeluarkan kita pada puncak realita
sempurna yang membawa manfaat, yang sebelumnya tidak
terlihat cahayanya kecuali berpegang lebih banyak pada
spesifikasi-spesifikasi ilmu.
Dalam Islam, ilmu dikenal dengan beberapa nama
seperti Ilmu Kauniyah (Alam), Ilmu Taqniyah (Teknik), Ilmu
Tathbiqiyah (Praktik), dan Ilmu Eksperimen. Semua ilmu ini
penyebutannya digolongkan dalam ilmu hayat lantaran berbeda
dengan ilmu syariat. Ilmu hayat berhubungan dengan
kemashalatan dunia. Yakni ilmu yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia dengan menggunakan akal, eksperimen dan
penemuan. Dengan demikian, manusia bisa memakmurkan

227
bumi dan membuat kemashalatan serta membuka peluang,
menyingkap rahasia alam dan lingkungan. Diantaranya adalah
Ilmu kedokteran (sudah termasuk ilmu farmasi didalamnya
terutama tentang bahan-bahan yang digunakan untuk
penyembuhan), arsitektur, ilmu astronomi, kimia, fisika,
matematika (sawail), geografi, ilmu bumi, tumbuh-tumbuhan
(nabati), hewan, dan sebagainya yang meliputi segala materi
yang tumbuh di alam semesta. Semua itu dibutuhkan manusia
untuk kemashalatan kehidupan mereka.
Ilmu farmasi (Apoteker) muncul setelah Jabir bin Hayyan
dan Khalid bin Yazid menciptakan rumus-rumus dan dasar-dasar
ilmu kimia yang memasukkan eksperimen ilmiah (uji coba
ilmiah), mereka melakukan eksperimen-eksperimen dalam
metode pembahasan ilmu yang digambarkan dalam rumusnya.
Ilmu kimia berpindah dan berkembang dari tahap permulaan
terjemah Yunani menuju tahap pencapaian rumus dan
penemuan yang jelas. Atas dasar inilah metode eksperimen ini
tegak, sebagaimana mereka katakan “Kesempurnaan
penguasaan penciptaan ilmu ini akibat dari eksperimen. Siapa
yang tidak berbuat, ia tidak akan mencoba. Siapa yang tidak
mencoba, ia tidak akan pernah mendapatkan sesuatu
selamanya”, yang dikutip dalam buku yang ditulis oleh As-Sirjani
(2012).
Menurut As-Sirjani (2012), dengan penemuan ilmu kimia
dan menjelaskannya sebagai ilmu pengetahuan, mereka mampu
menguraikan beberapa bahan atau materi yang tidak terbatas
pada penguraian secara kimia. Mereka juga melahirkan karya
dalam bidang pepohonan, membedakan antara alkali dan asin
masam, menghitung bahan-bahan (materi) yang condong

228
kearahnya, mereka juga mempelajari ratusan obat-obat untuk
pengobatan, menyusun dan membuat ratusan obat-obat.
Keduanya telah menulis banyak buku yang diterjemahkan
kedalam bahasa latin, yang menjadi rujukan paling hebat pada
bidang kimia hampir seribu tahun lamanya. Karyanya meliputi
banyak catatan ilmu kimia yang belum pernah dikenal
sebelumnya. Karyanya menjadi bahan penelitian terkenal di
kalangan para ilmuwan barat, antara lain gelas atau piala (alu:
alat penumbuk obat), Protolia, akar-akaran adalah sumber-
sumber yang diletakkan dalam zat-zat timbul tenggelam dalam
air. Ia juga memecah-mecah berat yang menorehkan pengaruh
sekitarnya bagi para ilmuwan dan menjadikannya sebagai bahan
penelitian.
Secara umum kaum Muslimin telah menemukan dasar-
dasar terpenting dalam ilmu kimia dan segala misterinya.
Diantara yang paling penting dalam penemuan mereka adalah
air perak (asam neutrik), minyak zat (asam kibritik), air emas
(asam neuro hidroklorik), hajar jahannam (neutro perak),
silmani (campuran klorida), rasib merah (campuran oksid), milhu
barut (potasium karbonat), zat besi. Mereka juga menemukan
alkohol, potas (kalium karbonat), amoniak, dan Al-Quluyad yang
dimasukkan dalam bahasa Eropa dengan nama Arab adalah
Alkali. Mereka juga telah menggunakan ilmu kimia sebagai
pengobatan kedokteran dan menciptakan obat-obatan.
Merekalah orang pertama yang menyebarluaskan campuran
obat, membuat tambang, cara penambangan, dan
membersihkan tambang. Banyak temuan yang dijadikan sebagai
acuan dari penciptaan-penciptaan baru sekarang, seperti:
sabun, kertas, sutera, celupan atau warna, bahan peledak,

229
menyamak kulit, mengeluarkan bau obat-obatan, menciptakan
baja, mengkilaukan hasil tambang, dan sebagainya.
Kemajuan kaum muslimin di bidang kimia
menghantarkan mereka untuk memperoleh capaian penting di
berbagai cabang ilmu pengetahuan khususnya ilmu Farmasi
(Apoteker) kedepannya. Demikian itu lantaran obat-obatan
membutuhkan kajian penelitian berdasarkan rumus-rumus dan
dasar-dasar ilmu kimia. Hingga muncul obat-obat kimia dalam
bentuk yang efektif, membuka pintu-pintu zaman batu dalam
bidang pengobatan di atas pergulatannya. Farmasi kedepannya
merupakan ilmu yang sangat menarik sebagaimana masa
pertama dari awal peradaban yang mengkaji dan diketahui
campuran obat-obatan dalam bentuk ilmiah dan efektif dengan
cara yang baru. Namun, pada masa itu istilah farmasi
sebenarnya belum spesifik dikenal sebagai ilmu karena masih
merupakan perpaduan ilmu antara kimia dan kedokteran
terutama dalam hal kajian secara ilmia obat-obatan.

6.2 Sejarah Awal Kajian Ilmu Farmasi


Sejarah farmasi sebagai ilmu yang berdiri sendiri dimulai
pada awal abad ke-19. Sebelum itu farmasi berkembang dari
zaman farmasi kuno sebagai bagian dari ilmu kedokteran,
namun, setelah Raja Ferederck II membuat undang-undang
pemisahan antara farmasi dan kedokteran, sehingga Farmasi
berdiri sendiri dalam menjalankan praktek kefarmasian dan
menjadi sebuah ilmu. Meskipun secara de facto profesi farmasi
telah dijalankan dan dapat ditelusuri kembali terutama pada
populasi masyarakat Sumeria yang tinggal di Irak modern. Dari
sekitar 4000 SM, mereka menggunakan tanaman obat seperti

230
akar manis, mustard, mur, dan opium. Para tabib dalam
menyembuhkan pasien, ada beberapa orang yang terpisah
bekerja dan fokus untuk mempersiapkan obat-obatan, sebagai
peran yang terpisah dari diagnosis dan pengobatan yang
dilakukan oleh tabib/petugas medis. Peran apoteker ini juga
dikombinasikan dengan peran mereka sebagai imam/pendeta.
Tabib Sumeria menulis resep dari sejak awal sekitar 2700 SM
atau sekitar 5000 tahun yang lalu. Bangsa Mesir Kuno memiliki
penyusun/penyedia khusus obat, dikenal sebagai Pastophor.
Farmasi dipandang sebagai cabang status yang tinggi dari bagian
kedokteran, dan seperti di Sumeria, apoteker ini juga menjadi
imam/pendeta dan berlatih di kuil-kuil. Untuk mempertahankan
pengobatan Papyrus, terutama dibuat catatan yang disebut
Papyrus Eber yang berasal sekitar 1500 SM. Orang mesir
membuat sediaan obat dalam bentuk infus, salep, pastiles
(lozenges), suppositoria, lotion, enema, dan pil. Papryrus Eber
berisi sebanyak 875 resep obat dan 700 daftar obat. Sementara
itu, di Cina pada sekitar era yang sama (2000 SM), seorang pria
bernama Shen Nung menulis Pen T’sao atau dikenal herbal asli
yang berisi deskripsi dari 365 obat nabati pada Dinasti Han. Di
Jepang, pada periode akhir Asuka (538-710) dan awal periode
Nara (710-794), orang-orang tertentu melakukan peran sebagai
apoteker modern yang sangat dihormati. Tempat apoteker
dalam masyarakat itu secara tegas ditetapkan dalam Taiho Code
(701) dan dinyatakan kembali dalam Yoro Code (718).
Sejak didirikannya Apotek (Pharmacy) atau toko obat
pertama di Baghdad pada tahun 754 M dibawah khalifah Abbasi
selama masa kejayaan Islam, dan diatur secara resmi oleh
negara melalui peraturan perundang-undangan. Sejak itu, Ilmu

231
Farmasi mulai dikenal dan terus berkembang seiring
perkembangan ilmu-ilmu lain terutama kedokteran dan kimia.
Bagdad menjadi ibukota kekhalifahan Timur. Pemerintahan ini
mengembangkan ilmu pengetahuan, pengobatan dan farmasi
serta mendorong koleksi, penyalinan, dan penerjemahan
manuskrip-manuskrip Yunani hingga karya-karya Hippocrates,
Galen, Dioscorides diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab.
Terjemahan ini ternyata dapat melestarikan karya-karya Yunani
klasik tersebut sehingga membebaskannya dari kepunahan.
Termasuk karya Dioscorides dan Galen kedalam bahasa Arab.

Gambar 6.1 Buku Panduan De Materia Medica of Dioscorides


yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Arab

232
Kemajuan yang dibuat di Timur Tengah terutama dalam
ilmu botani dan ilmu kimia yang dipimpin seorang ahli dalam
bidang kedokteran pada abad pertengahan hingga secara
substansial mampu mengembangkan ilmu Farmakologi yaitu
Muhammad bin Zakariya Ar-Razi (Rhazes) (865-915), yang
bertindak untuk mempromosikan penggunaan medis dari
senyawa kimia. Rhazes (865-925) yang seangkatan dengan
Hippocrates, Aretaceus dan Sydenham. Deskripsinya tentang
cacar dan dan campak dianggap begitu hidup dan lengkap.
Continens, satu ensiklopedi pengobatan yang disusunnya, yang
telah diterjemahkan dalam bahasa Latin banyak berisi berbagai
eksperimen terapi. Sabur Ibnu Sahl (869) merupakan dokter
pertama yang memulai membuat pharmacopedia, yang
menggambarkan berbagai macam bahan obat dan obat untuk
penyakit. Ali Abbas (994) adalah pengarang dari ‘’Buku Diraja’’
suatu risalah pengobatan yang telah diterjemahkan dalam
bahasa Latin dan memuat antara lain tentang anatomi. Abu Al-
Qasim Al-Zahrawi (Abulcasis) (939-1013) mempelopori
pembuatan obat-obatan oleh sublimasi dan distilasi. Al-Biruni
(973-1050) menulis salah satu karya Islam yang paling berharga
dalam bidang Farmakologi berjudul kitab Al-Saydalah (Kitab
Obat), dimana ia memberikan pengetahuan rinci tentang sifat
obat dan dijelaskan peran apoteker serta fungi dan tugas
apoteker. Ibnu Sina (Avicenna) (980-1037) adalah orang yang
dijuluki Pangeran Tabib. Dia menulis lebih dari 100 karya dan
yang pertama-tama membuat deskripsi tentang sifat-sifat asam
sulfat dan alkohol. Dia pula yang memperkenalkan pil opium
untuk menyembuhkan batuk dan ekstrak colchici untuk
mengobati reumatik. Kedua jenis obat ini masih dipakai sampai

233
sekarang. Beliau mencatat keseluruhan obat terkait dengan sifat
obat, mekanisme aksi, dan indikasi yang disebut The Canon of
Medicine, dan Ibnu Al-Walid (1008-1074), menerjemahkan
karya-karya tersebut kedalam bahasa latin lebih dari lima puluh
kali sebagai De Medicinis universalibus et particularibus by
`Mesue' the younger, and the Medicamentis simplicibus by
`Abenguefit'. Selain itu, Orang-orang Arab melakukan perbaikan-
perbaikan terhadap produk – produk farmasi dan membuatnya
menjadi lebih elok dan lebih enak. Farmasi dan materia
medikanya tetap hidup sepanjang abad.
Pada awal abad ke-16 di Eropa, Paracelcus
memperkenalkan khasiat garam-garam stibium sebagai obat
serbaguna. Selama satu periode terapi logam mendominasi
resep-resep tradisional. Salah satu pengobatan rempah-rempah
yang terbesar diperkenalkan di Eropa pada abad ke-17 oleh
misionaris Jesuit yang menyertai Conquistador Spanyol dalam
eksplorasinya ke jantung Amerika Selatan. Rempah yang
diperkenalkan adalah klika kina yang diperoleh dari suku Indian
di Amerika Selatan yang telah lama menggunakannya sebagai
obat untuk melawan demam yang menggigil. Segera obat
tersebut menjadi terkenal di Eropa sebagai obat untuk demam,
menggigil dan malaria. Dua abad berikutnya yakni pada tahun
1820 zat aktifnya yakni kuinina, baru dapat diisolasi. Walaupun
sejumlah besar obat-obat organik yang berasal dari tumbuhan
ditemukan pada abad ke-16 dan 17 itu, namun karena kemajuan
ilmu kimia organik kalah cepat daripada kimia anorganik maka
obat-obat yang berasal dari mineral tetap lebih disukai.
Sejak akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 lebih dari
500 buku yang paling berpengaruh dan klasik di Eropa adalah

234
buku Dioscorides yang berjudul De materia medica. Sampai
penemuan kembali cetakan yang dibuat pada pertengahan abad
ke-15 oleh orang Eropa Gutenberg. Teks-teks berupa kodeks
tulisan tangan yang khususnya digunakan oleh kependetaan dan
pelajar-pelajar biara. Penyebaran informasi yang lebih luas
mengenai tumbuhan obat di Eropa dimulai dengan herbal-
herbal awal yang secara epat menjadi sangat populer sehingga
informasi mengenai tumbuhan obat tersedia dalam berbagai
bahasa awam. Pada akhir abad ke-17 dan awal abad 18,
pengetahuan tentang obat yang berasal dari tumbuhan semakin
meluas tetapi usaha-usaha untuk mendestilasi zat aktif dari
tumbuha tidak berhasil. Hasil utama selama periode ini
merupakan hasil observasi detail mengenai manfaat klinis
produk-produk medis yang telah dicatat pada abad sebelumnya
atau diambil dari negara selain Eropa.
Pada abad ke-18, seorang Inggris, Withering
memperkenalkan pemakaian ekstrak tumbuhan digitalis untuk
pengobatan penyakit gembur-gembur, yaitu sakit lemah jantung
yang gejalanya ditandai dengan akumulasi cairan secara
berlebihan pada bagian bawah dari tungkai penderita. Dia
memakai ekstrak ini atas nasihat orang-orang desa yang telah
bertahun-tahun memakai elixir ini. Ini merupakan satu contoh
penyelidikan bagi ahli obat dalam menjejaki dan
mengembangkan bahan obat penuntun dari budaya tradisional.
Zat aktifnya, glikosida digitalis, sampai sekarang masih dipakai
untuk pengobatan penyakit gagal jantung yang cukup
menakutkan itu. Walaupun diakui bahwa penemuan-penemuan
tersebut merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi manusia
tetapi satu kenyataan bahwa baru pada 150 tahun terakhir ini,

235
berkat pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, jumlah dan jenis
obat berkembang sedemikian melimpah.
Pada tahun 1828 Wohler, yang berhasil mensintesis
urea dari senyawa-senyawa anorganik, menyingkapkan bahwa
pada dasarnya tidak ada yang misterius tentang senyawa
organik dan meletakkan dasar-dasar kimia organik. Sejak saat
itu, para ahli telah mampu untuk mensintesis senyawa-senyawa
yang berstruktur kompleks, termasuk banyak di antaranya
senyawa yang terdapat dalam alam; dan banyak pula yang tidak,
yang ternyata aktif farmakologis. Jadi senyawa penuntun tidak
lagi menjadi monopoli senyawa alam.

6.3 Fokus Kajian Ilmu Farmasi


Pada awal abad ke-19, dimana sebelumnya ilmu farmasi
tercerai berai dan masih dalam posisi persimpangan antara
kedokteran dan kimia, pada abad ini ilmu farmasi sudah mulai
fokus terutama munculnya istilah Farmakognosi dalam bahasa
Inggris disebut Pharmacognosy yang dibuat oleh professor
Austria, John Adam Schmidt (1759-1809) dan dimasukkan dalam
buku Lehrbuch der Materia Medica (1811) yang dipublikasikan
setelah beliau wafat. Selain itu, jauh sebelumnya di Timur
tengah telah memperkenalkan istilah Farmakologi dalam bahasa
Inggris disebut Pharmacology. Dimana kedua istilah ini sangat
erat kaitannya dalam pengembangan ilmu Farmasi. Dilihat dari
sejarahnya istilah farmakologi terkait dengan efek dan
mekanisme kerja obat sedangkan farmakognosi terkait dengan
segala aspek dan informasi yang berkaitan dengan obat. Sejak
didirikannya Apotek (Pharmacy) pertama di Baghdad, pada
waktu itu tidak hanya menyediakan obat dalam bentuk sediaan

236
sederhana akan tetapi juga menyediakan sediaan-sediaan dalam
bentuk paling canggih pada masa itu, misalnya dalam bentuk
larutan, elixir, pil, salep, tingtur, kapsul dan lain-lain sebagainya.
Jauh sebelumnya telah diperkenalkan sediaan galenik oleh
Galen, maka para ilmuwan juga lebih banyak mengkaji tentang
pembuatan sediaan-sediaan obat terutama mempelajari
catatan-catatan dari resep-resep kuno, maka muncullah istilah
Ilmu Resep dan lebih dikenal dengan nama Farmasetika yaitu
ilmu mengenai ilmu resep dan peracikan obat. Selanjutnya,
diakhir abad ke-19 seiring dengan perkembangan ilmu kimia
terutama sintesis dimana para kimiawan mulai mensintesis
senyawa organik dengan struktur yang semakin kompleks,
sehingga dikenal lagi istilah Kimia Medisinal yaitu ilmu terkait
sintesis obat.
Keempat bidang ilmu meliputi, Farmakognosi,
Farmakologi, Kimia Medisinal, dan Farmasetika merupakan
fokus utama dalam melakukan kajian-kajian tentang ilmu
farmasi. Namun, kenyataannya keempat istilah-istilah tersebut
semuanya bermuara pada obat. Obat sesuai dengan definisinya
terus mengalami pengembangan dan tidak sedikit eksperimen-
ekperimen telah dilakukan. Semakin berjalannya waktu
kompleksisitas penyakit semakin rumit dan perkembangan
eksperimen-ekperimen dalam bidang ilmu lainnya terutama
yang berhubungan dengan ilmu Farmasi. Hal ini menyebabkan
eksperimen-eksperimen terus mengalami peningkatan yang
begitu cepat. Dari eksperimen-eksperimen ilmiah tentang obat
dari jaman kuno hingga jaman sekarang baik yang tercatat
dalam buku-buku maupun dalam jurnal-jurnal sangat banyak
dan sangat sulit untuk memilah-milah eksperimen-eksperimen

237
tersebut kedalam keempat kelompok diatas. Jika masih terus
dipaksakan, maka akan terjadi tumpang tindih antara masing-
masing eksperimen, dimana sebagian eksperimen masuk
kedalam semua kelompok istilah diatas. Oleh karena itu, untuk
fokus kajian ilmu farmasi tidaklah tepat jika hanya empat
kelompok diatas, karena semuanya akan terus mengalami
perkembangan dan kajian-kajian semakin mendalam.
Sampai saat ini, kajian-kajian farmasi tidak hanya
terbatas pada obat saja, akan tetapi juga sudah mencakup
nutraseutikal atau makanan fungsional, alat kesehatan, dan
kosemetika, serta kajian terkait dengan kesehatan secara
holistik.
Berdasarkan penjelasan diatas dan secara historis ilmu
farmasi berbeda dengan ilmu kedokteran dan ilmu kimia, ilmu
farmasi dikembangkan pada posisi diantara keduanya dan tidak
bisa dilepaskan diantara keduanya, maka fokus kajian ilmu
farmasi dibagi dalam beberapa kelompok besar yaitu sebagai
berikut:
1. Kajian ilmu Farmasi yang berfokus pada pencarian dan
pengembangan bahan farmasi. Dimana bahan farmasi
yang dimaksud adalah bahan untuk sediaan farmasi baik
yang diperoleh secara biologi maupun secara kimia
(termasuk secara fisika).
2. Kajian ilmu Farmasi yang berfokus pada pembuatan
sediaan farmasi. Dimana pembuatan yang dimaksud
adalah formulasi berbagai bentuk sediaan farmasi
berdasarkan sifat dan karakteristik fisikokimia dari zat
aktif dan eksipien atau bahan tambahan yang digunakan
berdasarkan ketersediaan teknologinya.

238
3. Kajian ilmu Farmasi yang berfokus pada penggunaan
sedian farmasi secara efektif dan efisien. Dimana
penggunaan yang dimaksud adalah nasib bahan/sediaan
farmasi terhadap tubuh dan nasib tubuh terhadap
bahan/sediaan farmasi, serta segala macam interaksi
dan perubahannya termasuk toksisitasnya.
4. Kajian ilmu Farmasi yang berfokus pada pelayanan
kefarmasian dalam bidang kesehatan. Dimana
pelayanan kefarmasian yang dimaksud adalah
pelayanan kepada pasien dan pelayanan umum terkait
bidang kefarmasian.
Keempat fokus kajian inilah yang secara keseluruhan
disebut ilmu Farmasi, sehingga menghasilkan dan melahirkan
definisi-definisi sendiri seperti yang telah dibahas pada bab
sebelumnya. Ilmu Farmasi ditinjau dari kelahirannya hingga
perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari kelahiran dan
perkembangan ilmu pengetahuan secara universal yang
pondasinya dibangun oleh dua entitas, yakni filsafat moral dan
filsafat alam.
Keempat fokus kajian ilmu Farmasi tersebut terus
mengalami perkembangan dan secara umum diaplikasikan
dalam sistem pembelajaran pada program pendidikan dalam
berbagai level pendidikan yang disesuaikan dengan jenjang
pendidikan yang ditempuh meskipun dengan sistem yang
berbeda-beda dari masing-masing lembaga pendidikan. Untuk
level diploma farmasi minimal mengetahui dasar-dasar dari
keempat fokus kajian ilmu farmasi dan terutama difokuskan
pada keterampilan terkait dengan pekerjaan kefarmasian. Untuk
level sarjana farmasi minimal menguasai dasar-dasar dari

239
keempat fokus kajian tersebut, yang akan menjadi dasar setelah
melanjutkan baik pada profesi apoteker maupun lanjut ke
jenjang magister farmasi. Untuk level profesi apoteker
menguasai dasar-dasar dari keempat kajian ilmu farmasi dan
juga mampu melakukan praktek pekerjaan kefarmasian yang
tergantung dimana dan fokus yang mana dia bekerja, misalnya
terutama bila bekerja di industri harus mampu melakukan
praktek pekerjaan kefarmasian yang berfokus pada pembuatan
sediaan farmasi; bila bekerja di pelayanan misalnya sebagai
penanggungjawab apotek harus mampu melakukan pekerjaan
yang berfokus pada penggunaan produk farmasi dan pelayanan
kefarmasian dalam bidang kesehata. Sedangkan untuk level
Magister dan Doktor lebih berfokus pada kajian keilmuan yang
diminati.
Seseorang yang belajar dalam bidang ilmu farmasi harus
mengetahui dan menguasai minimal dasar-dasar dari keempat
fokus kajian tersebut, jika hanya sebagian maka akan lebih
condong ke bidang ilmu lain terutama ilmu kimia dan ilmu
kedokteran maupun bidang ilmu lainnya. Meskipun dalam
kenyataannya, pekerjaan kefarmasian tidak semua fokus kajian
digunakan. Akan tetapi dengan mengetahui dan menguasai
minimal dasar-dasar keempat fokus ilmu farmasi akan menjadi
pembeda antara seorang farmasis dengan non farmasis,
sekalipun bekerja diluar bidang kefarmasian. Sampai saat ini,
kajian-kajian ilmu farmasi terus dikembangkan hanya terbatas
pada lembaga-lembaga pendidikan tinggi maupun lembaga riset
yang bergerak dalam bidang farmasi.
Namun, tidak sedikit pula lembaga non farmasi tertarik
melakukan kajian-kajian terkait ilmu kefarmasian. Secara de

240
facto hal tersebut tidak masalah, karena secara filosofis
siapapun yang ingin mengetahui sesuai kemampuan dan
keingintahuannya tidak ada yang berhak melarang karena ilmu
pengetahun bersifat merdeka (freedom) dan tidak terikat aturan
hukum, selama individu yang bersangkutan mampu dan
mengaplikasikan ilmu untuk kebenaran dan kesejahteraan dunia
terutama untuk manusia. Secara de jure hal tersebut menjadi
ada masalah dan tidak terkait dengan kebebasan individu untuk
melakukan eksperimen. Namun, yang menjadi masalah adalah
legalitas institusi/lembaga baik pendidikan maupun riset untuk
bidang ilmu tertentu yang dibentuk secara hukum agar dapat
lebih berfokus mengembangkan bidang ilmunya, akan tetapi
tidak sedikit yang menyeberang kebidang yang lain sehingga
pengembangan keilmuan tidak terarah sesuai dengan
pembentukan lembaga baik pendidikan maupun riset. Hal ini
menyebabkan banyak riset-riset terutama terkait kefarmasian
tidak pada tempatnya. Contoh kongkrit adalah riset tentang
formulasi atau uji aktivitas terkait keilmuan farmasi dilakukan
dari lembaga non farmasi, menyebabkan tumpang tindih antara
masing-masing lembaga dan keluar dari jalur ke ilmuan sesuai
pengelompokan lembaga yang dibentuk secara hukum.
Adapun kajian terkait diluar kefarmasian yang
dikembangkan oleh individu dari lembaga baik pendidikan
maupun riset, seharusnya dilakukan untuk memperkuat atau
memperdalam atau mengembangkan fokus kajian keilmuan
tersebut diatas dan selama tidak lepas dari kerangka hirearki
dan filosofi keilmuan farmasi. Begitu juga sebaliknya bagi
individu dari lembaga baik pendidikan maupun riset dari
keilmuan non farmasi. Sehingga tidak melenceng dari tujuan

241
pengelompokan institusi/lembaga berdasarkan keilmuan yang
dibentuk secara hukum.

6.4 Kelompok Bidang Ilmu Farmasi


Sejak ilmu farmasi terpisah dari kedokteran dan berdiri
sendiri sebagai ilmu hingga kini, sumbangan ilmu farmasi
terhadap dunia terutama dalam bidang kesehatan sangatlah
besar dengan ditemukannya berbagai obat dan sistem
pengobatan yang rasional dengan mengutamakan unsur
keselamatan pasien. Sudah menjadi tanggungjawab dan
kewajiban bagi para ahli farmasi untuk terus melakukan kajian–
kajian dalam penemuan dan pengembangan obat–obat baru
untuk hasil penelitian oleh para peneliti–peneliti dalam bidang
tersebut. Selain itu, farmasis memiliki tanggungjawab dan
kewajiban terkait dengan penggunaan obat secara rasional dan
perlindungan masyarakat terhadap efek dari indikasi dan
kontraindikasi obat–obatan selama digunakan.

242
Gambar 6.2 Tingkatan hirearki dan disiplin ilmu yang terlibat
dalam pengembangan pendidikan Ilmu
Kefarmasian

Secara sederhana hirearki pengelompokan bidang ilmu


farmasi dengan pendekatan fundamental dalam berbagai level
disiplin dalam pendidikan kefarmasian telah dijelaskan secara
singkat oleh Sorensen dan kawan-kawan pada tahun 2003 (pada
skema pada Gambar 6.2). Objek utama kajian ilmu Farmasi
adalah sediaan farmasi dengan empat fokus utama yang
bertujuan untuk memperbaiki, memelihara, mencegah dan
mengobati manusia dari berbagai macam penyakit. Melahirkan
bidang–bidang ilmu farmasi yang terdiri dari Ilmu Farmasi Sains
dan Teknologi, Farmasi Klinik dan Komunitas, dan Farmasi
Sosial. Di Indonesia, perkembangan pendidikan farmasi pada

243
awal kemerdekaan hingga tahun 2000-an masih
menitikberatkan pada Farmasi Sains dan Teknologi, dan Farmasi
Klinik dan Komunitas baru mulai dikembangkan sejak tahun
2000-an hingga saat ini, sedangkan Farmasi Sosial belum banyak
dikaji dan sebagian besar memasukkan ke kelompok Farmasi
Klinik dan Komunitas. Ilmu Farmasi Sains dan Teknologi terbagi
menjadi empat bidang ilmu meliputi Biologi Farmasi, Kimia
Farmasi, Farmakologi, dan Farmasetika dan Teknologi Farmasi.
Sedangkan Ilmu Farmasi Klinik & Komunitas dan Farmasi Sosial
terus mengalami perkembangan. Sementara itu, perkembangan
Farmasi Sosial di Indonesia masih dalam wacana dan masih
terus didiskusikan, meskipun di UGM telah dimulai.
Sebagai seorang farmasis yang bergerak dalam bidang
kajian/penelitian terutama yang bertugas di lembaga pendidikan
tinggi dengan segala kompleksisitasnya terus menerus harus
melakukan pengembangan keilmuan. Sampai saat ini, pada
umumnya ilmu Farmasi Sains dan Teknologi, Ilmu Farmasi Klinik
& Komunitas, dan Farmasi Sosial. Namun, pengelompokan ini
sifatnya umum dan tidak mengikat yang bertujuan untuk
memudahkan untuk melakukan pengembangan keilmuan
dengan tetap berfokus pada keempat kajian ilmu farmasi
sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Istilah-istilah
pengelompokan bidang ilmu juga berbeda-beda dari masing-
masing lembaga/institusi pendidikan tinggi maupun riset.
Meskipun demikian, istilah apapun yang digunakan tetap
bermuara pada keempat fokus kajian ilmu farmasi dan hanya
berbeda dari porsi arah pengembangan dari masing-masing
lembaga/institusi.

244
Pembagian ilmu Farmasi menjadi beberapa bidang ilmu
bukan berarti memecah belah Ilmu Farmasi itu sendiri dan
kemudian masing-masing bidang ilmu berdiri sendiri, karena jika
hal ini terjadi maka akan menyebabkan ilmu Farmasi akan
mengalami blok-blok pada lintas bidang. Pembagian bidang ilmu
ini hanya untuk mempermudah kita untuk lebih fokus
menguasai bidang tertentu lebih dalam yang akan bersinergi
dengan bidang lain sehinga bisa menghasilkan sesuatu yang
dapat dimanfaatkan oleh manusia dalam hal peningkatan
kualitas kesehatan.
Farmasi ditinjau dari objek materinya, memiliki kerangka
dasar dari ilmu-ilmu alam; Kimia, Biologi, Fisika dan Matematika.
Sedangkan ilmu farmasi ditinjau dari objek formalnya
merupakan ruang lingkup dari ilmu-ilmu kesehatan. Secara
historis ilmu farmasi dikembangkan dari medical sciences, yang
berdasarkan kebutuhan yang mendesak perlunya pemisahan
ilmu farmasi sebagai ilmu pengobatan dari ilmu kedokteran
sebagai ilmu tentang diagnosis. Ilmu farmasi pada
perkembangan selanjutnya mengadopsi tidak hanya ilmu kimia,
biologi, fisika, dan matematika, melainkan termasuk pula dari
ilmu-ilmu terapan seperti pertanian, teknik, ilmu kesehatan,
bahkan dari behavior science. Berdasarkan ulasan tersebut,
dapat dikatakan bahwa disatu pihak farmasi tergolong seni
teknis (Technical arts) apabila ditinjau dari segi pelayanan dalam
penggunaan obat (medicine); di lain pihak farmasi dapat pula
digolongkan dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural
science).
Berdasarkan cakupan Farmasi sebagai ilmu diatas,
secara umum terbentuk cabang-cabang ilmu farmasi yang terdiri

245
dari Ilmu Farmasi sains & teknologi, Ilmu Farmasi Klinik &
Komunitas, dan Farmasi Sosial. Kategori ilmu farmasi sains dan
teknologi terus mengalami perkembangan menjadi beberapa
bidang yang meliputi, Kimia Farmasi, Biologi Farmasi,
Farmakologi, dan farmasetika dan Teknologi Farmasi, dimana
masing-masing bidang terus mengalami spesialisasi. Demikian
juga untuk Ilmu Farmasi Klinik dan Komunitas dan Farmasi Sosial
terus mengalami perkembangan. Alasan-alasan pembentukan
bidang ilmu berdasarkan aspek filosofis yang terdiri dari aspek
ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

6.4.1 Farmasi Sains dan Teknologi


Farmasi Sains dan Teknologi mengkaji ilmu pengetahuan
dan teknologi di bidang farmasi, mencakup berbagai aspek yang
berhubungan dengan produk farmasi mulai dari
pencarian/penemuan, pengolahan dan pengembangan bahan
baku hingga menjadi sediaan farmasi yang siap digunakan.
Dalam arti lain, Farmasi Sains dan Teknologi berorientasi kepada
pengembangan pharmaceutical science & technology atau
pendekatannya bersifat product oriented untuk memenuhi
kebutuhan tenaga riset, pengembangan, produksi dan
pemeriksaan produk farmasi dan alat kesehatan. Kategori ilmu
farmasi sains dan teknologi terus mengalami perkembangan
menjadi beberapa bidang yang meliputi, Kimia Farmasi, Biologi
Farmasi, Farmakologi, dan farmasetika dan Teknologi Farmasi
yang dijelaskan dengan pendekatan filosofis sebagai berikut:

246
6.4.1.1 Bidang Ilmu Biologi Farmasi
Biologi Farmasi (dalam arti luas) ialah ilmu (terapan)
dalam bidang farmasi berlandaskan biologi yang penerapannya
mencakup penemuan, pengembangan dan produksi obat,
standardisasi, pengendalian pengolahan serta penggunaan.
Biologi farmasi mempunyai sub-disiplin dasar antara lain
sitologi, genetika, mikrobiologi, botani, zoology, biokimia,
biologi molekul, farmakologi, toksikologi, bioteknologi dan
farmakognosi-fitokimia. Kaitan dengan ini farmakognosi-
fitokimia ialah ilmu mengenai obat dan bahan pembantu yang
berasal dari organisme (mikroba, tumbuhan dan hewan) dan
organisme penghasilnya. Seringkali farmakognosi-fitokimia
diartikan sebagai biologi farmasi dalam arti sempit. Dengan
melihat definisi-definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa
bidang ilmu biologi farmasi diperlukan dalam praktek
kefarmasian, dan khususnya di Indonesia hal ini memiliki nilai
lebih karena berkaitan dengan banyaknya bahan alam
(khususnya tumbuhan) yang digunakan sebagai bahan obat dan
obat, yang tentunya hal itu memerlukan evaluasi, standardisasi
ataupun pengembangan yang konsekuensinya akan didasari
oleh ilmu biologi farmasi itu sendiri.
Ditinjau dari objek yang ditelaah, bidang ilmu Biologi
Farmasi memiliki kerangka dasar ilmu-ilmu alam, yaitu biologi,
kimia, fisika dan matematika. Dalam ilmu farmasi pembagian
bidang keilmuan terutama biologi farmasi tidak ada yang baku
dan pembagian tersebut masih tergantung kebijakan perguruan
tinggi atau kelompok praktisi peneliti masing-masing bahkan
beberapa perguruan tinggi tidak menggunakan istilah Biologi
Farmasi, dan tetap ada yang menyebut Kelompok

247
Farmakognosi-Fitokimia dan hal demikian juga terjadi di
universitas-universitas di luar negeri, tetapi objek kajian yang
dikaji dari kelompok ini sama, namun hanya menggunakan
istilah yang berbeda.
Secara umum Biologi Farmasi hanyalah sebuah istilah
untuk perluasan makna dari pengertian Farmakognosi-Fitokimia,
dimana istilah farmakognosi telah muncul sebelum Ilmu Farmasi
dipisahkan dengan Ilmu Kedokteran oleh Kaisar Frederick II.
Biologi Farmasi difokuskan pada kajian-kajian untuk penemuan
bahan baku farmasi dari alam.
Aspek Kajian Biologi Farmasi
1. Aspek Ontologi
Dari aspek Ontologi, yaitu eksistensi (keberadaan)
dan essensi (keberartian) dari bidang ilmu Biologi
Farmasi. Objek yang dibahas dalam bidang biologi
farmasi sangatlah luas dan harus melibatkan disiplin
ilmu lain seperti biologi (botani, mikrobiologi, Biologi sel
dan molekuler), kimia, fisika, matematika sebagai alat
komunikasi (bahasa) ilmu pengetahuan dan ilmu sosial
lainnya (seperti ekonomi, hukum, perundang-undangan,
sosiologi dan antropologi). Dalam kajian yang dilakukan
dalam lingkup bidang ilmu Biologi Farmasi meliputi:
Botani Farmasi, Farmakognosi-Fitokimia, dan
Mikrobiologi-Bioteknologi.
Dalam Ilmu Mikrobiologi-Bioteknologi Farmasi
merupakan kelompok ilmu farmasi yang merupakan
bagian bidang ilmu biologi farmasi tetapi juga
merupakan bagian ilmu bidang yang lain. Mengingat
mikrobiologi dan bioteknologi dapat dimanfaatkan

248
untuk mencarian bahan obat baru secara biologi baik
dari cara isolasi dari bakteri atau jamur (terutama jamur
endofit), kultur jaringan, sampai rekayasa genetika.
Bidang ilmu Botani Farmasi merupakan cabang dari
Biologi Farmasi yang dikembangkan lebih lanjut
mengenai sistematika dan morfologi tumbuhan,
anatomi dan fisiologi tumbuhan, serta eksplorasi
tumbuhan obat secara etnobotani. Bahasan tersebut
akan menunjang kepada penggalian kepada tumbuh-
tumbuhan sebagai obat baik dari identifikasi tanaman
obat, kandungan kimia dan metode pemisahannya.
Bidang Farmasi dalam ilmu botani ini dikembangkan
lebih lanjut dalam ilmu farmakognosi, bahan alam
farmasi dan fitokimia.
Bidang Ilmu Farmakognosi-Fitokimia merupakan
cabang tertua dalam ilmu farmasi masuk dalam bidang
Ilmu Biologi Farmasi yang dikembangkan lebih lanjut
mengenai kajian tentang bahan-bahan farmasetis yang
berasal dari mahluk hidup, meliputi: dimana terdapat
dialam, biosintesanya, penentuan kadar secara
kuantitatif di dalam bahan alam, dari mana bahan
tersebut berasal, cara isolasinya, struktur kimiawi, sifat-
sifat fisis dan kimiawi, penggunaan dan cara kerjanya.
Termasuk juga dalam hal ini; cara penanaman, seleksi,
pengumpulan, produksi, pengawetan, penyimpanan dan
perdagangan dalam bentuk simpleks/simplisia dan
galenik. Selain itu, yang paling penting dalam bidang
ilmu biologi farmasi yaitu penyediaan bahan alam
sebagai bahan baku obat atau obat yang terstandarisasi

249
agar dapat digunakan oleh masyarakat secara aman,
berkhasiat, dan bermutu. Bahkan lebih spesifik oleh The
American Society of Pharmacognosy, 2001 menyatakan
bahwa ruang lingkup Farmakognosi-Fitokimia meliputi:
studi mengenai sifat fisika, kimia, biokimia dan biologi
obat, bahan obat atau bahan lain yang berpotensi
sebagai obat yang berasal dari alam untuk mencari obat
baru yang berasal dari bahan alam.
Para pakar dalam bidang ini tidak hanya selalu
mencari senyawa baru dari alam baik secara etnobotani
maupun secara etnofarmakologi, akan tetapi terus
mengembangkan metode-metode untuk melakukan
pengayaan material aktif dari bahan alam yang telah
diketahui aktivitasnya. Mengingat metabolit sekunder
yang dihasilkan oleh suatu organisme terutama
tumbuhan sangat terbatas sehingga perlu melakukan
kajian-kajian yang lebih kompleks mulai dari budidaya,
pemanenan, sampai metode pemisahan, sehingga
organisme terutama tumbuhan tidak mengalami
kepunahan. Bahkan lebih menariknya lagi kajian
pengayaan metabolit sekunder secara rekayasa
genetika. Semua metode-metode yang digunakan masih
terus berkembang seiring perkembangan ilmu lain
terutama perkembangan bidang ilmu farmasi lainnya.
2. Aspek Epistemologi
Dari Aspek Epistemologi, yaitu metode yang
digunakan untuk membuktikan kebenaran bidang ilmu
botani farmasi. Landasan epistemologis farmasi ialah
logika deduktif dan logika induktif dengan pengajuan

250
hipotesis, yang dinamakan pula metode logiko-
hipotetiko-verifikatif. Logika deduktif membicarakan
cara-cara untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan bila
lebih dahulu telah diajukan pertanyaan-pertanyaan
mengenai semua atau sejumlah logika di antara suatu
kelompok masalah tertentu. Kesimpulan yang sah pada
suatu penalaran deduktif selalu merupakan akibat yang
bersifat keharusan dari pernyataan-pernyataan yang
lebih dulu diajukan. Pembahasan mengenai logika
deduktif itu sangat luas dan meliputi satu diantara
persoalan-persoalan yang menarik. Logika induktif
membicarakan tentang penarikan kesimpulan bukan
dari pernyataan-pernyataan yang umum, melainkan dari
pernyataan-pernyataan yang khusus. Kesimpulannya
hanya bersifat probabilitas berdasarkan atas
pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan.
Pembagian bidang ilmu biologi farmasi terutama
Farmakognosi telah dimulai sejak manusia itu ada.
Sejarah farmasi identik dengan sejarah farmakognosi,
semenjak pemisahan farmasi dan kedokteran oleh
Kaisar Frederik II pada Tahun 1240, banyak catatan dari
negara-negara Arab, Eropa, Cina dan Asia lainnya
tentang penggunaan bahan alam sebagai obat. Namun
secara eksplisit biologi farmasi khususnya farmakognosi
dan bahan alam di Eropa mulai diperkenalkan dan
dikembangkan pada abad ke-18 dan ke-19. Proses
terbentuk dan pengembangannya tentu saja sejalan
dengan perkembangan bidang ilmu farmasi lainnya dan
bidang ilmu selain farmasi.

251
Penyusunan Bidang Ilmu Biologi Farmasi didasarkan
atas penemuan-penemuan. Teori-teori biologi farmasi
(meliputi ilmu Botani Farmasi, ilmu Farmakognosi-
Fitokimia, dan Mikrobiologi-Bioteknologi), baik dalam
studi eksplorasi bahan alam (Hewan, Tumbuhan,
mikroorganisme), identifikasi, karakterisasi, skrining
aktivitas, rekayasa genetika, sampai penggalian
informasi pengunaan bahan alam secara etnobotani dan
etnofarmakologi. Disusun secara sistematik yang
diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan
dengan metode ilmiah yang mencirikan pada observasi,
pengukuran, penjelasan dan verifikasi, dengan
mempergunakan metode logiko-hipotetiko-verifikatif.
3. Aspek Aksiologi
Dari aspek Aksiologi, yaitu manfaat dari bidang
ilmu Biologi Farmasi. Disini mempertanyakan apa nilai
kegunaan pengetahuan tersebut. Kegunaan atau
landasan aksiologis biologi farmasi adalah bertujuan
untuk kesehatan manusia.
Alam telah menyediakan material yang diperlukan
untuk peningkatan derajat kesehatan manusia, akan
tetapi cara memperoleh dan mengolahnya menjadi
sesuatu yang berguna tidaklah mudah untuk
mengetahuinya, karena alam masih menyimpan misteri-
misteri yang sulit untuk dimengerti oleh manusia. Ilmu
Biologi Farmasi diperlukan untuk mengkaji semuanya,
bidang ilmu ini tertantang untuk mengungkap misteri-
misteri yang ada di alam ini, sehingga akan menjadi

252
kepuasan tersendiri oleh praktisinya jika telah berhasil
mengungkap sebagian kecil misteri tersebut.
Dengan menerapkan bidang ilmu ini,
memungkinkan praktisinya untuk menemukan sumber-
sumber obat baru dari alam yang dibutuhkan untuk
kesehatan manusia. Dengan demikian, penerapan
bidang ilmu biologi farmasi dapat memberikan
kontribusi dalam pengolahan dan penggunaan bahan
alam sebagai obat untuk kehidupan masyarakat yang
lebih sehat dan lebih baik.
Penggunaan bahan alam sebagai obat oleh
masyarakat untuk mengobati suatu penyakit maka
diperlukan keahlian biologi farmasi dari berbagai aspek
agar masyarakat dapat menggunakan bahan alam
sebagai obat yang tepat, efektif, aman, dan berkhasiat.
Dengan pesatnya perkembangan obat herbal di
Indonesia yang ditandai dengan semakin besarnya jumlah
industri obat tradisional dan produk herbal baik dalam kategori
jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka sangat dibutuhkan
penelitian-penelitian yang berkualitas dalam berbagai bidang
terkait. Kebijakan pemerintah tentang saintifikasi jamu
mempertegas perlunya pendekatan-pendekatan ilmiah dalam
penggunaan obat herbal sehingga dapat digunakan dengan
tepat di masyarakat. Di samping produk herbal tersebut, bahan
obat yang berasal dari bahan alam juga mengalami peningkatan.
Penemuan senyawa baru yang dapat dijadikan senyawa model
(lead compound) sangat dimungkinkan dengan berkembangnya
teknologi dan peralatan yang mendukung. Penggunaan bahan
alam tidak terbatas untuk pengobatan, tetapi juga dibutuhkan

253
dalam bidang kosmetik, pangan, pangan fungsional suplemen
dan lain-lain yang membutuhkan pengembangan setiap saat
sehingga penelitian di bidang tersebut perlu medapatkan
perhatian. Bidang ilmu Biologi Farmasi dengan sumberdaya dan
keahlian yang ada berpartisipasi aktif bersama-sama stakeholder
lainnya di dalam dan luar negeri untuk berkontribusi bagi
perkembangan bahan alam Indonesia untuk berbagai tujuan
terutama peningkatan kualitas kesehatan masyarakat.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
bidang Ilmu Biologi Farmasi merupakan salah satu bidang ilmu
farmasi yang penerapannya mencakup penemuan,
pengembangan dan produksi obat, standardisasi, pengendalian
pengolahan serta penggunaan bahan obat alami. Bidang Ilmu
Biologi Farmasi dari segi aspek kajiannya bukanlah bagian yang
terpisahkan dari bidang ilmu lain dalam lingkup ilmu farmasi,
namun melainkan bidang yang berfokus pada pengkajian bahan
baku obat atau bahan obat secara biologi yang terus mengalami
perkembangan seiring perkembangan ilmu-ilmu lainnya
termasuk perkembangan ilmu filsafat. Bidang ilmu Biologi
Farmasi dengan sumberdaya dan keahlian yang ada
berpartisipasi aktif bersama-sama stakeholder lainnya di dalam
dan luar negeri untuk berkontribusi bagi perkembangan bahan
alam Indonesia untuk berbagai tujuan terutama dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat.

6.4.1.2 Bidang Ilmu Kimia Farmasi


Kimia Farmasi atau Pharmaceutical Chemistry adalah
ilmu terapan dalam bidang Farmasi yang berlandaskan kimia
yang penerapannnya mencakup penemuan dan pengembangan

254
analisa (secara kualitatif, dan kuantitatif), isolasi, sintesis,
identifikasi, dan interpretasi cara kerja senyawa biologis aktif
(obat) pada tingkat molekul. Kimia Farmasi mempunyai sub-
disiplin dasar yaitu kimia dasar, kimia analisis, kimia fisika, kimia
organik, kimia anorganik, biologi sel dan molekuler, biokimia,
mikrobiologi, farmakologi, toksikologi. Kelompok bidang ilmu
kimia farmasi terdiri dari dua subkelompok keilmuan utama
yaitu Farmasi Analisis dan Kimia Medisinal. Kimia Farmasi
analisis melibatkan penggunaan sejumlah teknik dan metode
untuk memperoleh aspek kualitatif, kuantitatif, dan informasi
struktur dari suatu senyawa obat pada khususnya dan bahan
kimia pada umumnya. Sedangkan Kimia Medisinal terlibat dalam
identifikasi, isolasi, sintesis, dan pengembangan entitas kimia
baru (new chemical entity) yang dapat digunakan untuk terapi.
Kelompok bidang Ilmu Kimia Farmasi berfokus pada aspek
kualitas bahan obat atau obat dan bertujuan untuk memelihara
kesehatan sebagai tujuan dari produk obat.
Aspek Kajian Bidang Ilmu Kimia Farmasi
1. Aspek Ontologi
Dari aspek Ontologi, yaitu eksistensi (keberadaan)
dan essensi (keberartian) dari bidang ilmu Kimia
Farmasi. Secara umum, bidang Ilmu Kimia Farmasi
terdiri dari dua sub-kelompok keilmuan yaitu Farmasi
Analisis dan Kimia Medisinal yang mana kedua sub-
kelompok bidang ilmu ini sangatlah luas dan melibatkan
berbagai disiplin keilmuan seperti kimia (kimia organik,
biokimia, kimia anorganik, kimia analisis, kimia fisika,
dan instrument kimia modern), fisika, biologi,
matematika dan statistik, ilmu komputer, dan ilmu sosial

255
(termasuk, ekonomi, hukum, sosiologi, antropologi, dan
lain-lain).
Dalam ilmu Farmasi Analisis merupakan kelompok
ilmu farmasi yang termasuk kedalam kelompok kimia
farmasi yang berfokus pada pengembangan dan validasi
metode analisis untuk dapat diaplikasikan dan
mengontrol kualitas obat sebagai produk akhir, yang
meliputi analisis farmasi, analisis klinik, analisis
mikrobiologi, toksikologi analisis, dan analisis makanan
dan kosmetik (baik kandungan maupun keamanannya).
Farmasi Analisis fokus pada aspek kualitas bahan dan
produk farmasi yang bertujuan untuk menjamin
keamanan dan efektivitas penggunaan produk farmasi.
Dalam ilmu Kimia Medisinal merupakan cabang dari
ilmu kimia farmasi yang berfokus pada studi identifikasi,
perancangan, isolasi, sintesis, dan pengembangan
senyawa kimia baru yang sesuai untuk digunakan
dibidang pengobatan (obat); termasuk didalamnya studi
hakikat obat dan aktivitas biologisnya, serta hubungan
struktur aktivitas secara kuantitiatif (HKSA). Kimia
Medisinal merupakan sub-kelompok bidang ilmu yang
sangat melibatkan bidang-bidang ilmu lain dengan
menggabungkan kimia organik, biokimia, kimia
komputasi, farmakologi, biologi molekular, statistika,
dan kimia fisik.
Eksistensi dan essensi bidang ilmu kimia farmasi
sangat penting terutama untuk menjamin keamanan
dan efektifitas sediaan farmasi. Disisi lain, bidang ilmu
kimia farmasi terus melakukan pencarian dan

256
pengembangan bahan obat dan bahan sediaan farmasi
lainnya seiring dengan semakin kompleksnya penyakit
yang muncul hingga saat ini.
2. Aspek Epistomologi
Dari Aspek Epistemologi, yaitu metode yang
digunakan untuk membuktikan kebenaran bidang ilmu
Kimia Farmasi. Landasan epistemologis farmasi ialah
logika deduktif dan logika induktif dengan pengajuan
hipotesis, yang dinamakan pula metode logiko-
hipotetiko-verifikatif.
Pengelompokan bidang ilmu Kimia Farmasi telah
dilakukan secara de facto sebelum Kaisar Federick II
memisahkan Farmasi dengan Kedokteran, terutama
dimulai pada saat berkembangnya ilmu kimia pada masa
kejayaan Islam di Timur Tengah, dimana pada waktu itu
sudah banyak senyawa-senyawa kimia digunakan dalam
pengobatan. Selanjutnya, diakhir abad ke-19 seiring
dengan perkembangan ilmu kimia terutama sintesis
dimana para kimiawan mulai mensintesis senyawa
organik dengan struktur yang semakin kompleks,
sehingga dikenal lagi istilah Kimia Medisinal yaitu ilmu
terkait sintesis obat. Dalam melakukan sintesis obat
tidak sedikit metode analisis telah dikembangkan, pada
tahun 1920-an semua teknik analisis menggunakan
metode konvensional baik secara kualitatif maupun
secara kuantitatif .
Selain itu, aspek epistomologi bidang ilmu Kimia
Farmasi juga didasarkan atas penemuan-penemuan.
Teori-teori tentang Kimia Farmasi (Farmasi Analisis dan

257
Kimia Medisinal), baik dalam studi tentang Analisis
Farmasi, Analisis Klinik, Analisis mikrobiologi, toksikologi
analisis, dan analisis makanan dan kosmetik (baik
kandungan maupun keamanannya). Disusun secara
sistematik yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang
dilakukan dengan metode ilmiah yang mencirikan pada
observasi, pengukuran, penjelasan dan verifikasi.
Dengan mempergunakan metode logiko-hipotetiko-
verifikatif.
3. Aspek Aksiologi
Dari aspek aksiologi, yaitu manfaat dari bidang ilmu
Kimia Farmasi. Bidang ilmu Kimia Farmasi merupakan
ilmu yang sangat menantang yang dilahirkan untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang diajukan oleh
Alam. Dengan menerapkan ilmu ini, memungkinkan
seseorang untuk menemukan obat baru, yang
merupakan satu kebutuhan bagi kelangsungan hidup
manusia, mengetahui benar tentang obat yang
ditelitinya, efek biologis dan mekanisme efek biologis
yang ditimbulkannya, serta berbagai faktor yang dapat
mmpengaruhi efek biologis obat itu. Selain itu, bidang
ilmu Kimia Farmasi juga merupakan ilmu yang
digunakan untuk pemastian mutu sediaan farmasi.
Mulai dari identitas dan kemurnian obat, kandungan
obat, bahan-bahan pengotor, stabilitas, sampai
konsentrasi obat dalam jaringan atau dalam cairan
biologis.
Dengan demikian, dengan menerapkan bidang ilmu
Kimia Farmasi, seseorang mempunyai kesempatan

258
untuk berpartisipasi secara mendasar pada pencegahan,
pengobatan dan pemahaman penyakit, sehingga bidang
ilmu Kimia Farmasi mempunyai kontribusi kepada
kehidupan masyarakat yang lebih sehat dan lebih
bahagia, dan juga berkontribusi dalam mengontrol
kualitas obat yang beredar dari segi mutu, khasiat, dan
keamanan serta berpartisipasi dalam optimalisasi
penggunaan obat dalam terapi guna meningkatkan
kualitas hidup masyarakat/pasien.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa
Bidang Ilmu Kimia Farmasi merupakan salah satu bidang ilmu
farmasi yang penerapannya mencakup penemuan dan
pengembangan analisa (secara kualitatif, dan kuantitatif),
isolasi, sintesis, identifikasi, dan interpretasi cara kerja senyawa
biologis aktif (obat) pada tingkat molekul. Sama halnya dengan
bidang ilmu lainnya, Bidang ilmu Kimia Farmasi dari segi aspek
kajiannya bukanlah bagian yang terpisahkan dari bidang ilmu
lainnya dalam lingkup ilmu farmasi, namun melainkan bidang
yang berfokus pada pengkajian bahan baku obat atau bahan
obat secara kimia (terutama subbidang kimia medisinal dan
kimia analisis) yang terus mengalami perkembangan seiring
perkembangan ilmu-ilmu lainnya.

6.4.1.3 Bidang Ilmu Farmakologi


Ilmu Farmakologi merupakan bagian ilmu farmasi
(istilah farmakologi juga digunakan secara luas dalam bidang
Kedokteran) adalah disiplin yang sangat luas dimana
menggambarkan penggunaan bahan kimia untuk mencegah,
mengobati, dan menyembuhkan penyakit, serta dapat

259
mempertahankan seseorang tetap menjadi sehat dan bugar.
Bidang ilmu farmakologi berfokus pada khasiat obat di segala
segi termasuk sifat kimia, sifat fisika, kegiatan fisiologis/efeknya
terhadap fungsi biokimia dan faal, cara kerja, absorbsi, nasib
(distribusi, biotransformasi), eksresinya didalam tubuh, serta
efek toksiknya mulai dari tingkat organ hingga tingkat
molekular. Ilmu farmakologi harus didukung oleh ilmu-ilmu
dasar seperti pada bidang ilmu biologi farmasi dan kimia
farmasi, terutama ilmu biokimia, anatomi dan fisiologi.
Dalam bidang ilmu Farmakologi terdapat cabang-cabang
ilmu yang terdiri dari Farmakodinamika, Farmakokinetika,
Imunologi, Farmakoterapi, dan Toksikologi. Semua cabang-
cabang ilmu farmakologi tersebut berfokus pada bahan aktif
yang memberikan pengaruh pada tubuh, bukan mengarah
kepada diagnosis penyakit.
Aspek Kajian Bidang Ilmu Farmakologi
1. Aspek Ontologi, yaitu yaitu eksistensi (keberadaan) dan
essensi (keberartian) dari bidang ilmu Farmakologi.
Secara umum Farmakologi merupakan ilmu yang
mempelajari setiap zat kimia yang mempengaruhi
proses hidup yang dirumuskan sebagai kajian terhadap
bahan-bahan yang berinteraksi dengan sistem
kehidupan melalui proses kimia, khususnya melalui
pengikatan molekul-molekul regulator yang
mengaktifkan atau menghambat proses-proses tubuh
yang normal. Untuk lebih detail dan lebih rinci maka
terbentuk cabang-cabang ilmu yang lebih berfokus pada
pencapaian bidang ilmu farmakologi meliputi
Farmakodinamik, Farmakokinetik, Imunologi,

260
Farmakoterapi, dan Toksikologi. Farmakodinamik
merupakan cabang ilmu farmakologi yang berfokus
mempelajari dan mengkaji aktivitas obat (terutama
interaksi obat dan reseptor), cara kerja obat, efek obat
terhadap fungsi berbagai organ serta pengaruh obat
terhadap reaksi biokimia dan struktur organ atau
disingkat pengaruh obat terhadap tubuh;
Farmakokinetik yang merupakan cabang ilmu
farmakologi yang berfokus mempelajari absorbsi,
distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat (ADME) atau
dalam istilah sederhana pengaruh tubuh terhadap obat;
Imunologi merupakan cabang ilmu farmakologi yang
berfokus mempelajari antigen, antibodi, dan fungsi
pertahanan tubuh inang/host yang diperantarai oleh sel,
terutama yang berhubungan dengan imunitas terhadap
penyakit, reaksi biologis hipersensitifitas, alergi dan
penolakan benda asing; Farmakoterapi merupakan
cabang ilmu farmakologi yang berfokus mempelajari
tentang penggunaan obat dalam pengobatan penyakit;
dan Toksikologi merupakan cabang ilmu farmakologi
yang berfokus mempelajari tentang zat-zat racun
dengan khasiatnya serta cara-cara untuk
mengenal/mengidentifikasi dan melawan efeknya.
Eksistensi dan essensi bidang ilmu farmakologi
sangat penting terutama untuk memastikan dosis,
khasiat, dan keamanan bahan obat sebelum dibuat
dalam bentuk sediaan, hingga menjamin efek obat
setelah masuk kedalam tubuh, bahkan efek jangka

261
panjang penggunaan obat, dimana khasiat obat sangat
ditentukan oleh faktor seperti genetik, nutrisi, dan dosis.
2. Aspek Epistomologi, yaitu metode yang digunakan
untuk membuktikan kebenaran bidang ilmu
Farmakologi. Landasan epistemologis farmasi ialah
logika deduktif dan logika induktif dengan pengajuan
hipotesis, yang dinamakan pula metode logiko-
hipotetiko-verifikatif.
Ilmu Farmakologi mulai berkembang pada abad
kejayaan Islam di Timur tengah, ilmu Farmakologi
pertama kali dikembangkan oleh Muhammad bin
Zakariya Ar-Razi (Rhazes) (865-915), dengan
mempromosikan penggunaan bahan kimia untuk tujuan
pengobatan. Meskipun jauh sebelum itu telah dipelajari
ilmu toksikologi atau yang paling dikenal The Royal
Toxicologist oleh Mithridates VI, juga dikenal sebagai
“Mithradates of Great” (Megas) dan Eupator Dionysius,
menjadi raja Pontus dan sebagian Armenia di daerah
Anatolia timur (sekarang Turki) sekitar tahun 120-63 SM.
Kemudian pengetahuan ini menjadi cikal bakal ilmu
farmakologi yang berfokus pada toksikologi. Johann
Jakob Wepfer (Tahun 1620-1695), merupakan orang
pertama yang melakukan verifikasi dengan melakukan
eksperimen tentang aksi farmakologi atau toksikologi
menggunakan hewan coba.
Periode modern pada abad 18-19, mulai dilakukan
penelitian eksperimental tentang nasib obat, tempat
dan cara kerja obat, pada tingkat organ dan jaringan.
Rudol Buchhein (1820 – 1879) mendirikan institut

262
farmakologi pertama di Universitas Dorpat (Tartu,
Estonia). John J. Abel (1857-1938) dikenal sebagai “The
Father of American Pharmacology” merupakan orang
Amerika pertama yang melakukan pelatihan uji
farmakologi di laboratorium Schmiedeberg dan pendiri
Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutics
(yang diterbitkan sejak tahun 1909 hingga saat ini)
bersama dengan Oswald Schmiedeberg (1838 – 1921)
dan Bernhard Naunyn (1857 – 1938). Sejarah penelitian
bidang farmakologi terus mengalami perkembangan
hingga saat ini.
Pengujian terhadap suatu bahan obat atau obat
terus berkembang mulai dari berdasarkan empirik
kemudian dilanjutkan dengan uji farmakologi secara
eksperimen terutama menggunakan hewan coba,
jaringan, dan eksplorasi fungsional pada tingkat organ
tertentu dan sel target) termasuk uji keamanan (uji
toksikologi dan uji teratogenik) kemudian uji
farmakologi lanjutan pada tingkat biokimia dan
molekuler, dan uji tahap farmakologi klinik sebelum
dipasarkan.
Jadi, dari aspek epistomologi ilmu Farmakologi
merukan cabang ilmu farmasi yang disusun berdasarkan
hasil penemuan-penemuan ilmiah yang terus
mengalami perkembanggan (dapat dilihat pada jurnal-
jurnal ilmiah Internasional dan Nasional yang bereputasi
tinggi). Riset-riset yang dipublikasikan terutama dalam
cabang ilmu farmakologi yang berfokus pada
Farmakodinamik, Farmakokinetika, Imunologi,

263
Farmakoterapi, dan Toksikologi yang terus mengalami
perkembangan seiring perkembangan ilmu lainnya yang
terkait dengan ilmu Farmakologi.
3. Aspek Aksiologi, yaitu kemanfaatan ilmu Farmakologi.
Ilmu Farmakologi merupakan ilmu yang sangat
menantang dan memiliki keahlian khusus terutama
penanganan objek eksperimen yang berupa mahluk
hidup yang memiliki kemanfaatan sama dengan bidang
ilmu Farmasi lainnya.
Farmakologi merupakan ilmu yang sangat
dibutuhkan terutama yang berhubungan dengan obat
dan secara umum sediaan farmasi lainnya, sebagai
contoh pembuktian secara ilmiah herbal yang digunakan
secara tradisional melalui serangkaian penelitian yang
dilakukan dari segi efektivitas dan keamanan sebelum
dipasarkan dan digunakan oleh konsumen. Dengan ilmu
ini, memungkinkan kita untuk mengembangkan obat,
bahan obat, dan obat tradisional yang meliputi
beberapa cara yaitu: (1) menentukan mekanisme kerja
obat, bahan obat, dan obat tradisional dalam
mempengaruhi fisiologi tubuh; (2) membuktikan
keamanan obat, bahan obat, dan obat tradsional; (3)
menentukan dosis yang tepat dalam penggunaan obat;
dan (4) menentukan aturan dan cara pakai obat yang
tepat. Dengan demikian, ilmu Farmakologi memiliki
peran dalam mengontrol kualitas, efikasi, keamanan,
dan pengembangan obat terutama pada tahap praklinik
dan klinik, serta berpartisipasi dalam optimalisasi
penggunaan obat melalui pengobatan rasional.

264
Berdasarkan uraian diatas, Bidang Ilmu Farmakologi
merupakan salah satu bidang dalam Ilmu Farmasi yang berfokus
pada khasiat obat di segala segi termasuk sifat kimia, sifat fisika,
kegiatan fisiologis/efeknya terhadap fungsi biokimia dan faal,
cara kerja, absorbsi, nasib (distribusi, biotransformasi),
eksresinya didalam tubuh, serta efek toksiknya mulai dari
tingkat organ hingga tingkat molekular. Ilmu Farmakologi sangat
penting terutama untuk mendukung penggunaan bahan obat
atau obat berdasarkan hasil penemuan baik secara biologi
maupun secara kimia, tidak sampai disitu farmakologi juga
berperan penting dalam pengembangan obat seiring dengan
perkembangan dan tingkat kompleksisitas penyakit yang muncul
sampai saat ini. Serta, ilmu ini juga berperan penting dalam hal
keamanan, khasiat seluruh sediaan farmasi sebelum dipasarkan
ke masyarakat. Kajian-kajian dalam bidang ilmu Farmakolologi
terus mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan
ilmu-ilmu lainnya.

6.4.1.4 Bidang Ilmu Farmasetika dan Teknologi Farmasi


Ilmu Farmasetika dan Teknologi Farmasi merupakan
bagian ilmu farmasi yang berfokus pada cara penyediaan obat,
seni peracikan obat, dan pembuatan sediaan farmasi menjadi
bentuk tertentu hingga siap digunakan sebagai obat, serta
perkembangan obat yang meliputi ilmu dan teknologi
pembuatan obat dan sediaan farmasi lainnya terutama
menyangkut teknik dan prosedur pembuatan sediaan farmasi
dalam skala industri farmasi termasuk prinsip kerja serta
pemeliharaan alat-alat teknologi produksi dan penunjang sesuai
ketentuan cara pembuatan obat yang baik (CPOB). Kelompok

265
bidang ilmu Farmasetika dan Teknologi Farmasi memiliki ilmu-
ilmu dasar sama seperti ilmu-ilmu dasar yang diperlukan pada
bidang ilmu Biologi Farmasi, Kimia Farmasi terutama pada
penekanan sifat fisikokimia bahan baku hingga sediaan jadi
untuk sediaan farmasi, meliputi kimia, biokimia, biologi,
matematika, statistik, fisika, ilmu kedokteran, dan ilmu teknik
(engineering).
Bidang ilmu Farmasetika dan Teknologi Farmasi memiliki
cabang-cabang ilmu yang terdiri dari, Biofarmasi, Farmasetika,
dan Teknologi Farmasi. Masing-masing cabang dari ilmu
Farmasetika dan Teknologi Farmasi berfokus pada pembuatan
dan pengembangan sediaan farmasi dari bahan-bahan farmasi
baik yang diperoleh secara biologi maupun secara kimia, bahkan
pengembangan sediaan farmasi yang dikembangkan dari bahan
yang diperoleh secara fisika (dalam bidang ilmu farmasi belum
ada dan masih dikelompokkan dalam bidang ilmu Kimia Farmasi)
terutama terkait dengan alat kesehatan.
Aspek Kajian Bidang Ilmu Farmasetika dan Teknologi Farmasi
1. Aspek Ontologi, yaitu eksistensi (keberadaan) dan
essensi (keberartian) dari bidang ilmu Farmasetika dan
Teknologi Farmasi. Tujuan utama dari bidang ilmu
Farmasetika dan Teknologi Farmasi adalah untuk
mengembangkan sediaan farmasi dan sistem
penghantaran obat, menggunakan dan melibatkan
berbagai disiplin ilmu seperti seperti kimia, teknik kimia,
biologi, statistik, ekonomi, dan pemasaran untuk
mengembangkan obat untuk mengobati,
menyembuhkan, dan mencegah penyakit.

266
Bidang ilmu Farmasetika dan Teknologi Farmasi
berfokus pada penemuan dan pengembangan sediaan
farmasi yang dalam eksperimen-ekperimennya
melibatkan tiga cabang-cabang ilmu meliputi Biofarmasi,
Farmasetika, dan Teknologi Farmasi. Biofarmasi
merupakan cabang ilmu Farmasetika dan Teknologi
Farmasi yang fokus mempelajari pengaruh-pengaruh
pembuatan sediaan farmasi terhadap efek terapeutik
sediaan farmasi (terutama fisikokimia, sistem
penghantaran, sistem pelepasan, drug-drug interaction,
incompabilitas, bioavailabilitas dan biaequivalent).
Farmasetika merupakan cabang ilmu yang fokus
mempelajari tentang cara penyediaan obat (meliputi
pengumpulan, pengenalan, pengawetan, dan
pembakuan bahan obat-obatan), seni meracik obat,
pembuatan (formulasi) sediaan farmasi menjadi bentuk
tertentu hingga siap digunakan (mulai dalam bentuk
sedian padat, semipadat/semicair, sediaan cair, dan
sediaan lain), dan perkembangan ilmu dan teknologi
pembuatan obat dalam bentuk sediaan yang dapat
digunakan dan diberikan kepada pasien. Teknologi
Farmasi merupakan cabang ilmu Farmasetika dan
Teknologi Farmasi yang berfokus mempelajari teknik
dan prosedur pembuatan sediaan farmasi baik dalam
skala pilot maupun skala industri termasuk prinsip kerja
serta perawatan/pemeliharaan alat-alat produksi dan
penunjangnya sesuai ketentuan yang telah ditetapkan
oleh pemerintah atau regulasi (dalam hal ini adalah
CPOB, CPOBT, GMP, dan lain-lain).

267
Produk-produk sediaan farmasi sangat tergantung
pada teknologi, yang membantu untuk mengatasi
kebutuhan medis yang belum terpenuhi dari
pasien/audiens/konsumen. Industri farmasi dan
kompleksisitas pasien yang beragam menyebabkan ilmu
Farmasetika dan Teknologi Farmasi terus mengelamii
perkembangan untuk mengatasi keterbatasan sediaan
farmasi yang telah diproduksi oleh industri farmasi
sebelumnya. Industri farmasi biasanya memiliki bagian
Research and Dopelovment (R & D) untuk mengkaji ini
dan kebanyakan adalah bidang ilmu Farmasetika dan
Teknologi Farmasi.
2. Aspek Epistomologi, yaitu metode yang digunakan
untuk membuktikan kebenaran bidang ilmu Farmasetika
dan Teknologi Farmasi menggunakan landasan
epistomologi dengan pendekatan logika deduktif dan
logika induktif dengan pengujian hipotesis.
Bidang Ilmu Farmasetika dan Teknologi Farmasi
(terutama Ilmu Resep atau ramuan-ramuan) telah ada
sejak jaman kuno dan tidak ada catatan sejarah kapan
manusia pertama mulai mencampur zat dan menyusun
formula untuk diproduksi terutama sediaan yang
memberikan efek terapi, tetapi diketahui bahwa
peracikan sediaan obat baik dari sumebr hewan,
tumbuhan, dan mineral atau yang lebih dikenal sumber
materia medica telah dipraktekkan dalam bentuk
canggih dengan berbagai peradaban (peradaban Mesir
Kuno, Cina dan India Kuno, Yunani dan Romawi Kuno,
dan lain-lain), akan tetapi Farmasetika telah

268
berkembang pesat dimasa kejayaan Islam di Timur
Tengah, hal ini dapat dilihat sejak didirikannya Apotek
(Pharmacy) atau toko obat pertama di Baghdad pada
tahun 754 M dibawah Khalifah Abbasi, dan diatur secara
resmi oleh negara melalui peraturan perundang-
undangan. Meskipun Dioscoirides pada Awal Abad 1
Masehi telah mencatat ramuan-ramuan untuk
pengobatan dan bukunya diterjemahkan kedalam
bahasa Arab adalah buku Dioscorides yang berjudul De
materia medica.
Banyak teks-teks penting yang berisi informasi
tentang obat-obatan dan peracikan yang disusun oleh
dokter-dokter Arab dari abad ketujuh sampai abad
ketigabelas, termasuk yang dilakukan oleh John Mesue
Senior (857 M), Abu Mansur (970 M), Ibnu Sina
(Avicenna, 980 – 1036 M) dan Ibnu Al-Baitar dari Malaga
(1197 – 1248 M). Catatan-catatan pada periode dan
daerah tertentu dari Corpus of Simples, yang disusun
oleh Ibnu Al-Baitar yang berisi informasi tentang obat-
obatan dan peracikan menunjukkan bahawa setidaknya
ada 300 bahan obat yang sebelumnya tidak pernah
terpakai dalam membuat sediaan farmasi dan mulai
diperkenalkan pertama oleh orang-orang Arab,
termasuk cengkeh, pinang, rhubarb, nux vomica, dan
penggunaan secara luas gula tebu sebagai kompenen
formulasi
Pada awal abad ke-16 di Eropa baru mulai
berkembang terutama Kejayaan Islam telah mulai
meredup, adalah Paracelcius telah memperkenalkan

269
ramuan-ramuan berbahan garam untuk pengobatan.
Pada tahun 1600 – 1940 telah banyak resep-resep hasil
pengkajian-pengkajian baik yang diperoleh dari alam
maupun sintesis telah digunakan secara resmi dan
dispensing dan compounding dilakukan secara resmi
oleh ahli farmasi di apotek-apotek (Apoteker), disisi lain
kajian-kajian tentang ilmu resep terus dilakukan. Pada
tahun 1940 – 1970, yang seiring dengan revolusi
industri, kajian-kajian dalam hal ilmu formulasi dan
teknologi untuk produksi obat terus dilakukan. Tidak
sedikit tokoh-tokoh ilmuan yang ahli dalam bidang ini
sejak rentang tahun 1600 sampai tahun 1970-an.
Publikasi-publikasi dan teks-teks tentang Farmasetika
dan Teknologi Farmasi sangat banyak dan terus
mengalami perkembangan hingga saat ini.
Jadi secara epistomologi telah membuktikan bahwa
Bidang Ilmu Farmasetika dan Teknologi Farmasi
terdefinisikan yang dibuktikan dalam berbagai eksprime-
eksperimen yang telah dilaporkan melalui publikasi dan
teks.
3. Aspek Aksiologi, yaitu manfaat dari bidang ilmu
Farmasetika dan Teknologi Farmasi. Disini
mempertanyakan apa nilai kegunaan pengetahuan
tersebut. Kegunaan atau landasan aksiologis biologi
farmasi adalah bertujuan untuk kesehatan manusia.
Bidang ilmu Farmasetika dan Teknologi Farmasi
merupakan ilmu yang penuh tantangan, mengingat
kebutuhan obat-obatan semakin kompleks, belum lagi
terkait bahan aktif untuk khasiat tertentu dengan

270
kestabilan yang rendah dan rasa yang tidak
menyenangkan. Oleh karena itu, bidang ilmu
Farmasetika dan Teknologi Farmasi berperan penting
untuk menyediakan sediaan-sediaan farmasi yang
memiliki khasiat dengan penggunaan yang tepat.
Bentuk-bentuk sediaan farmasi khususnya obat-obatan
yang yang sangat bermanfaat dalam pengobatan
meliputi bentuk sediaan dalam bentuk kapsul, tablet,
tablet salut, salep, krim, injeksi, aerosol, syrup, emulsi,
suppositoria hingga sediaan dalam bentuk nano
teknologi tentunya bentuk–bentuk tersebut bertujuan
demi kenyamanan pada saat digunakan dan kestabilan
bahan aktif.
Selain itu, bidang ilmu Farmasetika dan Teknologi
bermanfaat dalam menjamim mutu, khasiat, dan
keamanan sediaan yang diproduksi dalam skala besar
untuk digunakan dalam pengobatan termasuk prinsip
kerja serta perawatan/pemeliharaan alat-alat produksi
dan penunjangnya sesuai ketentuan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah atau regulasi (dalam hal ini
adalah CPOB, CPOBT, GMP, dan lain-lain), dan yang lebih
penting produk-produk yang dihasilkan dapat dijangkau
oleh seluruh lapisan masyarakat yang memerlukan.

6.4.2 Farmasi Klinik & Komunitas


Bidang ilmu Farmasi Klinik & Komunitas merupakan
cabang ilmu Farmasi yang mempelajari dan menekankan fungsi
farmasis untuk memberikan asuhan kefarmasian
(pharmaceutical care) kepada pasien, yang bertujuan untuk

271
meningkatkan outcome pengobatan yang meliputi: (1)
memaksimalkan efe terapeutik; (2) meminimalkan resiko; (3)
meminimalkan biaya; (4) menghormati pilihan pasien. Oleh
karena itu, Bidang Ilmu Farmasi Klinik & Komunitas lebih banyak
berorientasi pada pelayanan kefarmasian. Hal ini sejalan dengan
paradigma baru pelayanan kefarmasian yang tidak hanya
difokuskan pada produk, tetapi juga lebih berorientasi diarahkan
pada pasien.
Dalam bidang Ilmu Farmasi Klinik & Komunitas, selain
mempelajari Ilmu Farmasi Sains dan Teknologi juga akan
pempelajari aspek-aspek penunjang pelayanan terutama
Patologi, patofisiologi, Farmakokinetik klinik, Farmakoekonomi,
Farmakoepidemologi, Sosial Farmasi, Ilmu komunikasi, Farmasi
Rumah Sakit, Manajemen Kewirausahaan, dan lain-lain. Secara
umum, seorang farmasis yang ahli dalam bidang ini setidaknya
mampu menguasai ilmu Farmasetika, Farmakognosi,
Farmakologi, dan Fisiologi. Karena keempat ilmu ini menjadi
dasar dalam mempelajari dan menguasai ilmu Farmasi Klinik &
Komunitas.
Saat ini disiplin bidang Ilmu Farmasi Klinik & Komunitas
semakin dibutuhkan dengan adanya paradigma baru tentang
layanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien. Dengan
mempelajari atau menguasai bidang ilmu ini, seorang lulusan
farmasi diharapkan dapat bekerja di rumah sakit dan komunitas
yang terdiri dari apotek, puskesmas, klinik, balai pengobatan
dan dimanapun terjadi peresepan atau penggunaan obat harus
memiliki kompetensi yang dapat mendukung pelayanan farmasi
klinik maupun komunitas yang berkualitas.

272
Aspek Kajian Bidang Ilmu Farmasi Klinik & Komunitas
1. Aspek Ontologi, yaitu eksistensi (keberadaan) dan
essensi (keberartian) dari bidang ilmu Farmasi Klinik &
Komunitas. Bidang Ilmu Farmasi Klinik & Komunitas
merupakan salah satu disiplin bidang ilmu yang berfokus
dengan penerapan keahlian farmasi untuk membantu
memaksimalkan khasiat obat dan meminimalkan
toksisitas obat pada pasien. Dalam Bidang Ilmu Farmasi
Klinik & Komunitas memerlukan pemahaman keilmuan
yang meliputi: (1) Konsep–konsep penyakit (anatomi
dan fisiologi manusia, patofisiologi penyakit,
patogenesis penyakit, dan Terminologi medis); (2)
Penatalaksanaan Penyakit (farmakologi, farmakoterapi,
dan product knowledge); (3) Teknik komunikasi dan
konseling pasien; (4) Pemahaman Evidence Based
Medicine dan kemampuan penelusuran; (5) Keilmuan
farmasi praktis lainnya (farmakokinetik klinik,
farmakologi, mekanisme kerja obat, farmasetika, dan
interaksi obat). Melalui penerapan pengetahuan dan
berbagai fungsi terspesialisasi dalam perawatan pasien
yang memerlukan pendidikan atau keahlian khusus dan
atau pelatihan terstruktur. Dapat dirumuskan eksistensi
dan essensi bidang ilmu Farmasi Klinik & Komunitas
yaitu memaksimalkan efek terapeutik obat,
meminimalkan resiko/toksisitas obat, dan
meminimalkan biaya obat.
2. Aspek Epistomologi, yaitu metode yang digunakan
untuk membuktikan kebenaran bidang ilmu Farmasi

273
Klinik & Komunitas menggunakan landasan
epistomologi.
Istilah farmasi klinik pertama kali muncul di
Amerika sekitar tahun 1960. Bidang Ilmu Farmasi Klinik
& Komunitas muncul berawal dari ketidakpuasan
masyarakat terhadap praktek pelayanan kesehatan.
Namun, jauh sebelumnya praktek Farmasi Klinik &
Farmasi Komunitas telah ada sejak Apotek pertama
didirikan (terutama praktek Farmasi Komunitas) di
Bagdad Irak pada tahun 754 M dan didirikannya Rumah
Sakit pertama di Dunia terutama dalam kejayaan Islam
di Damaskus. Pada Abad ke-14 didirikan Apotek pertama
Eropa, apoteker pertama di Eropa baru muncul pada
akhir abad ke-14, bernama Geoffrey Chaucer (1342-
1400). Ia dikenal sebagai apoteker asal Inggris. Apotek
mulai menyebar di Eropa setelah pada abad ke-15
hingga ke-19 M, praktisi apoteker mulai berkembang di
benua itu. Pada Tahun 1951 didirikan Rumah Sakit
pertama di Amerika tepatnya di Philadelphia. Adalah
Jonathan Roberts sebagai apoteker pertama yang
melakukan praktek sebagai farmasi klinik (Farmasi
Rumah sakit secara umum).
Seiring dengan semakin berkembang pesatnya
jumlah dan jenis obat, semakin meningkat pula
permasalahan yang timbul terkait penggunaan obat
yaitu munculnya masalah kesehatan akibat efek
samping obat, interaksi antar obat, interaksi obat dan
makanan, teratogenesis, dan lain-lain. Selain itu, biaya
kesehatan semakin meningkat akibat penggunaan

274
teknologi canggih di bidang kesehatan yang sangat
mahal, meningkatnya permintaan pelayanan kesehatan
secara kualitatif maupun kuantitatif, disertai dengan
semakin meningkatnya tuntutan masyarakat untuk
pelayanan medis dan farmasi yang bermutu tinggi.
Melihat perkembangan kondisi tersebut mengakibatkan
peningkatan kebutuhan terhadap tenaga profesional
yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai
pengobatan yang tidak lain adalah farmasis (Apoteker).
Hal inilah yang akhirnya memunculkan istilah pelayanan
farmasi klinik.
Sejak tahun 1970-an yang diiringi dengan
perkembangan teknologi dan revolusi industri maka
mulai terjadi pergeseran paradigma yang semula
pelayanan farmasi berorientasi pada produk beralih ke
pelayanan farmasi yang berorientasi pada pasien
terutama ditekankan pada kemampuan memberikan
pelayanan pengobatan rasional. Namun untuk
membuktikan kebenaran terutama dalam hal pemberian
pelayanan pengobatan secara rasional tidak sedikit
penelitian-penelitian yang telah dilakukan dan menjadi
sebuah keahlian bagi seorang farmasis dalam bidang ini,
terutama kajian Drug Related Problem (DRPs), kajian
tentang konseling & KIE (Komunikasi, Informasi, &
Edukasi), kajian monitoring efek samping obat, kajian
tentang outcome research dan Drug Use Evaluation
(DUE), kajian pencampuran obat suntik secara aseptis,
dan menganalisis efektivitas biaya.

275
Pengelompokan Bidang Ilmu Farmasi Klinik
didasarkan pada penemuan-penemuan yang dilakukan
untuk mengatasi masalah pelayanan kesehatan dalam
lingkup klinik & komunitas yang bertujuan untuk
memberikan pelayanan pengobatan yang rasional.
3. Aspek Aksiologi, yaitu kemanfaatan bidang Ilmu Farmasi
Klinik & Komunitas. Dalam sistem pelayanan kesehatan
pada konteks Farmasi Klinik & Komunitas, seorang
farmasis harus memiliki kemampuan dalam hal:
menjalin relasi yang baik antar tenaga kesehatan,
menjamin penerapan pengobatan berbasis bukti,
perbaikan perawatan pasien dengan pelayanan yang
standar dan konsisten, mempromosikan praktek dengan
biaya yang efektif, memperluas kualitas peresepan,
menjamin keamanan pemberian obat, memperbaiki
khasiat dan meminimalkan toksisitas terapi obat, dan
meningkatkan kepuasan kerja.
Dengan kemampuan diatas bidang ilmu Farmasi
Klinik sangat bermanfaat terutama menjamin dan
memberikan perlindungan kepada pasien. Dengan
mempelajari atau menguasai bidang ilmu ini, seorang
lulusan farmasi diharapkan dapat bekerja di rumah sakit
dan komunitas yang terdiri dari apotek, puskesmas,
klinik, balai pengobatan dan dimanapun terjadi
peresepan atau penggunaan obat harus memiliki
kompetensi yang dapat mendukung pelayanan farmasi
klinik maupun komunitas yang berkualitas

276
6.4.3 Farmasi Sosial
Konteks sosial dari pelayanan kesehatan kini diajarkan
lebih luas dalam berbagai bidang, seperti keperawatan,
kedokteran, kedokteran gigi, dan kebidanan. Sebagai apoteker
menjadi lebih terintegrasi ke dalam tim pelayanan kesehatan,
itu akan menjadi lebih penting bahwa mereka berbagi dengan
tenaga kesehatan lainnya terkait apresiasi aspek sosial dari
kesehatan dan penyakit. Hal ini telah menyebabkan evolusi
dalam bidang farmasi dengan subjek yang lebih luas dan dikenal
sebagai Farmasi Sosial.
Dalam dekade terkahir kita telah melihat peningkatan
perubahan Apoteker. Misalnya, dalam kegiatan pelayanan
primer, peracikan dan formulasi obat menjadi tidak penting lagi
karena ketersediaan produk obat yang diproduksi massal oleh
industri farmasi. Selanjutnya, penerapan peran farmasis dalam
hal patient-oriented seperti, konseling, informasi, dan edukasi
(KIE), pelayanan swamedikasi, dan lain-lain untuk menjamin
bahwa lebih banyak waktu harus didedikasikan untuk pasien
dan bukan lagi produk. Dalam konteks ini, pemahaman yang
baik tentang perilaku dan psikologi pasien menjadi sangat
penting.
Untuk mencapai tujuan palayanan kefarmasian. Seperti
yang ditunjukkan pda Gambar 5.3, pengetahuan yang diperoleh
dari farmasi sosial sangat penting untuk mengikat bersama dari
berbagai macam potongan pengetahuan yang diajarkan dalam
pendidikan Farmasi, yang meliputi (1) fundamental sciences
meliputi ilmu-ilmu dasar seperti kimia, farmakologi, fisiologi,
dan lain-lain, (2) Clinical Science seperti farmasi klinik dan
komunitas, dan (3) Social Sciences seperti Ilmu komunikasi, Ilmu

277
Sosial dan Politik, Ilmu Budaya, Ilmu Hukum, Ilmu Ekonomi, dan
lain-lain.

Gambar 5.3 Munculnya Ilmu Farmasi Sosial dalam lingkup


Fundamental sciences, Clinical Sciences, dan
Social Sciences.

Pelayanan farmasi dan farmasi sosial merupakan dua


wilayah kontemporer penting dalam bidang ilmu farmasi.
Seperti halnya dengan ilmu-ilmu farmasi lainnya, bidang ilmu
Farmasi Sosial telah semakin menjadi multidisiplin,
menggabungkan ilmu alam dengan ilmu sosial dan humaniora
untuk mempelajari peran obat-obatan, pasien, dan Apoteker
dalam sektor pelayanan kesehatan dan masyarakat pada
umumnya.
Farmasi Sosial secara umum merupakan suatu disiplin
ilmu kefarmasian yang berkembang dengan dukungan disiplin
ilmu lain yang terkait untuk menguji, meneliti, memahami, dan
mengatasi persoalan-persoalan yang senantiasa timbul dalam
pengabdian profesi farmasi. Tujuan ilmu tersebut adalah

278
pemahaman dan penjelasan menyeluruh tentang masalah-
masalah yang berkaitan dengan farmasi atau sedang dihadapi
oleh farmasi. Farmasi sosial juga merupakan cabang ilmu
kefarmasian yang bergerak/berkembang di atas landasan teori
serta metodologi ilmu sosial dan perilaku untuk mengungkap
masalah-masalah pelayanan farmasi (posisi farmasi sosial dalam
lingkup disiplin ilmu dapat dilihat pada Gambar 5.2). Dalam hal
ini, disiplin ilmu-ilmu yang terkait antara lain politik, komunikasi,
psikologi, sosiologi, pendidikan, pelayalanan farmasi, ekonomi,
manajeman, sejarah, dan antropologi. Berdasarkan pada
Gambar 5.2 menggambarkan bagaimana Farmasi Klinik dan
Komunitas berfungsi sebagai jembatan yang tumpang tindih
dengan menghubungkan ilmu fundamental sains (Farmasi Sains
& Teknologi) dan Farmasi Sosial. Farmasi Sosial memiliki
hubungan yang kuat denga Pharmacy practice.
Namun, sayangnya di Indonesia terutama dalam bidang
pendidikan belum terlalu tertarik untuk mengembangkan ilmu
ini, dan masih tetap berfokus dalam bidang ilmu farmasi sains
dan teknologi, sedangkan Farmasi Klinik dan Komunitas baru
mulai berkembang.
Aspek – aspek Kajian Bidang Ilmu Farmasi Sosial
1. Aspek Ontologi, yaitu eksistensi dan essensi Bidang Ilmu
Farmasi Sosial. Farmasi Sosial lahir karena adanya
perubahan konsep pola penyakit dan
penatalaksanaannya ke pola hidup sehat dan promosi
kesehatan. Dengan perubahan konsep tersebut, salah
satu bidang ilmu farmasi yaitu Farmasi Sosial mau tidak
mau harus bergeser terutama dari konsep bio-pathology
ke socio-psycology, dan konsep dispensing and

279
compounding menuju ke bentuk hubungan client-
counsellor yang berarti farmasis berfungsi sebagai
konsultan obat.
Dalam melakukan kajian-kajian dalam bidang Ilmu
Farmasi Sosial, selain melibatkan bidang ilmu farmasi
lainya, juga melibatkan berbagai disiplin ilmu seperti
politik, komunikasi, psikologi, sosiologi, pendidikan,
pelayalanan farmasi, ekonomi, manajeman, sejarah, dan
antropologi. Dengan mempelajari bidang Ilmu Farmasi
Sosial, dapat memberikan lebih banyak kesempatan
kepada apoteker untuk meningkatkan kompetensi
komunikasi, berfikir kritis, problem solving, dan
penalaran analitis dan etika dengan menguasai minimal
tentang obat, kemampuan komunikasi,
farmakoepidemiologi, farmako-budaya, farmako-politik,
farmako-perilaku, farmako-sosiologi, farmako-ekonomi,
dan farmako-informatik.
Topik yang relevan dengan Farmasi Sosial terdiri
dari semua faktor-faktor sosial yang mempengaruhi
penggunaan obat-obatan, seperti obat-obatan dan
kesehatan terkait keyakinan, sikap, aturan, hubungan,
dan proses. Salah satu bidang umum fokus penelitian
membahas aspek-aspek sosial dari obat itu sendiri
termasuk: penelitian dan pengembangan obat, produksi
obat, distribusi obat, obat resep, informasi obat dan
pengawasan obat.
2. Aspek Epistomologi, yaitu metode yang digunakan
untuk membuktikan kebenaran bidang ilmu Farmasi
Sosial menggunakan landasan epistomologi.

280
Dalam lintasan sejarah perkembangan ilmu dan
praktek farmasi dari zaman kuno hingga saat ini,
perkembangan Farmasi Sosial berbeda dengan bidang
Ilmu Farmasi terutama Ilmu Farmasi Sains dan
Teknologi. Namun, di Eropa dan Amerika kesadaran
untuk memperkaya asepek–aspek pengetahuan farmasi
sosial dalam pendidikan farmasi telah dimulai
dimasukkan dalam kurikulum pendidikan farmasi pada
tahun 1980-an. Pengayaan kurikulum pendidikan
farmasi tersebut didasarkan pada fakta bahwa
pengetahuan-pengetahuan dasar farmasi (Farmasi Sains
& Teknologi) dirasakan tidak lagi cukup mendukung
orientasi Apoteker yang telah mengarah pada pasien
(patient-oriented). Meskipun jauh sebelum revolusi
industri aplikasi farmasi sosial telah mulai dipraktekkan
sehubungan dengan pengakuan yang berkembang
terkait tanggung jawab pemerintah untuk kesehatan
masyarakat di dunia Arab sejak awal mula
perkembangan peradaban Islam, dan sejak itu, telah
dimulai dipupuk pembagian kerja antara farmasi dan
kedokteran dan akhirnya menciptakan kesehatan
masyarakat dimana profesi farmasi dan profesi dokter
diberi tempat tersendiri dalam melakukan pekerjaan
masing-masing terutama farmasi sosial. Sebelumnya,
pada awal abad keenam SM, manusia telah mulai
dengan proses yang panjang mempelajari kompilasi
farmakologi yang berkontribusi terhadap kesehatan
masyarakat dan sebelum abad ke-8 Masehi pelayanan
kesehatan telah sebagian besar mengacu dalam

281
pengobatan Nabi, aturan-aturan (pola hidup sehat)
terutama higienis dan pengobatan tradisional dari
masyarakat pra-Islam. Kemudian sekitar empat dekade
setelah ziarah dan ibadah haji Nabi Muhammad SAW ke
mekkah, penekanan perkembangan bidang kesehatan
dan profesi dokter dan farmasi telah mulai terlihat.
Pada masa kejayaan Islam di Timur Tengah,
terutama di Bagdad dan Damaskus. Perkembangan ilmu
pengetahuan berkembang sangat pesat. Penemuan
obat-obatan baik berasal dari alam (tumbuhan, hewan,
dan mineral) maupun sintesis juga terus mengalami
perkembangan yang pesat, dan beberapa abad
kemudian perkembangan pesat di Eropa, hingga Farmasi
dan Kedokteran secara resmi berdiri sendiri sebagai
sebuah ilmu. Farmasi Sosial tidak berkembang seperti
perkembangan ilmu Farmasi Sains & Teknologi. Bahkan
kajian-kajian tentang farmasi sosial tidak tercatat dan
terpublikasi dengan baik, dan profesi farmasi lebih
banyak berfokus pada penemuan-penemuan obat baru.
Namun, setelah revolusi industri, peran farmasi yang
berorientasi pada produk farmasi (drug-oriented)
semakin berkurang dan bergeser pada patient-oriented.
Peran baru ini menyebabkan apoteker akan berada pada
lingkungan praktek baru yang berfokus pada interaksi
dengan pasien dan tenaga kesehatan. Oleh karena itu,
apoteker harus dilengkapi dengan kompetensi yang
terkait yang dapat meningkatkan tugas dan fungsi
apoteker dalam lingkungan sosial. Dengan kondisi
seperti ini Farmasi Sosial dimunculkan, meskipun

282
sebenarnya Farmasi Sosial telah ada sebelum Farmasi
terpisah dengan Kedokteran.
Penelitian-penelitian Farmasi Sosial terkait dengan
bidang yang sangat luas terutama penelitian pelayanan
kesehatan. Keterkaitan ini menekankan bahwa Farmasi
Sosial merupakan bidang terapan penelitian yang
berkaitan dengan pemahaman dan meningkatkan
praktik farmasi dan penggunaan obat-obatan. Hal ini
menjadi lebih penting karena pelayanan farmasi harus
didasarkan bukti dan harus menggunakan pelayanan
terbaik. Farmasi Sosial, seperti dalam ilmu-ilmu sosial
dan humaniora, tidak ada satu metode tunggal dari
penelitian, akan tetapi beberapa. Untuk mencapai hasil
yang optimum dalam pelayanan farmasi terutama
penatalaksanaan asuhan kefarmasian, apoteker harus
memiliki pemahaman mengenai aspek psikologi dan
perilaku dari pasien dan tenaga profesional kesehatan
lainnya. Kedua aspek inilah yang menjadi konsep dasar
dari Ilmu Farmasi Sosial tanpa meninggalkan
pengetahuan Ilmu Farmasi Sains & Teknologi.
3. Aspek Aksiologi, yaitu kemanfaatan bidang ilmu Farmasi
Sosial. Farmasi Sosial merupakan cabang ilmu Farmasi
yang tentu bertujuan untuk peningkatan kualitas
kesehatan manusia yang tidak terbatas pada pelayanan
farmasi terkait dengan resep dan pelayanan farmasi
klinik melainkan aspek interaksi dan komunikasi yang
baik dengan pasien dan terutama tenaga kesehatan
lainnya. Ilmu Farmasi Sosial mempunyai tantangan
tersendiri, karena selain harus menguasai ilmu sains

283
farmasi (Farmasi Sains & Teknologi) juga harus mampu
menguasai ilmu-ilmu sosial terutama ilmu komunikasi
dan perilaku. Seorang farmasis harus mampu
menyampaikan dan menerjemahkan bahasa-bahasa
ilmiah dalam ilmu sains farmasi kedalam bahasa awam
agar mudah dimengerti oleh pasien/orang awam. Selain
itu, farmasis tidak hanya berkiprah pada bidang
pekerjaan farmasi seperti peneliti, klinik, komunitas,
distribusi, dan produksi. Akan tetapi farmasis
diharapkan dapat memberikan kontribusi seperti
pengambil kebijakan, pemerintahan, farmako-politik,
farmako-budaya, farmako-ekonomi, dan lain-lain
dengan tujuan untuk kesejahteraan kesehatan
masyarakat.

6.5 Sinergisme dalam pengembangan kelompok bidang


ilmu farmasi
Ketiga kelompok keilmuan yang ada dalam lingkup ilmu
Farmasi seperti yang telah dijelaskan diatas meliputi (1) Ilmu
Farmasi Sains & Teknologi yang telah berkembang menjadi
bebebrapa bidang ilmu antara lain: Biologi Farmasi, Kimia
Farmasi, Farmakologi, dan Farmasetika & Teknologi Farmasi; (2)
Farmasi Klinik & Komunitas; dan (3) Farmasi Sosial. Kesemuanya
terus mengalami perkembangan yang tidak terbatas sepanjang
masih tetap berfokus pada keempat fokus kajian ilmu farmasi.
Karena keempat fokus kajian tersebut merupakan inti dalam
bidang ilmu farmasi.
Ditinjau dari aspek kajian secara filosofis, Farmasi
merupakan ilmu terapan yang tersusun atas ilmu-ilmu

284
sains/pengetahuan alam (ilmu Farmasi Sains & Teknologi) yang
terangkai secara sistematis membentuk pondasi ilmu farmasi
atau basic pharmaceutical sciences dan tertancap secara kokoh
untuk menopang bangunan yang ada diatasnya, ilmu sains klinik
(farmasi klinik & komunitas) merupakan tiang-tiang yang
memperkokoh tembok-tembok yang menjadi karakter
kefarmasian, dan ilmu sosial dan humaiora (Farmasi Sosial)
merupakan ilmu-ilmu pendukung terkait yang berfungsi sebagai
atap untuk menyempurnakan dan melindungi karakter
kefarmasian sebagai sebuah ilmu dan profesi dengan misinya
adalah meningkatkan kesehatan global dengan menemukan,
mengembangkan, dan memproduksi obat-obatan berkualitas
yang aman, tepat, efektif, terjangkau, hemat biaya, dan
mendistribusikan secara luas sediaan farmasi ke seluruh dunia
untuk dapat digunakan dalam upaya mencegah, mengobati,
mendiagnosa, dan memulihkan kesehatan manusia..
Ditinjau dari aspek historis, Farmasi berada diantara
ilmu Kedokteran dan ilmu Kimia (ilmu sains), dan tidak condong
ke salah satu ilmu tersebut. Oleh karena itu, karakter ilmu
kefarmasian harus tetap kokoh dan diperjelas dengan cara
menjaga keseimbagan kerangka bangunan ilmu kefarmasian.
Sehingga pengembangan ketiga kelompok ilmu farmasi harus
senantiasa berkembang dalam keadaan yang sinergis. Karena
jika tidak, maka ilmu farmasi akan tergeser ke arah baik ke
kelompok ilmu kimia (ilmu sains) dan/atau bergeser ke arah
ilmu kedokteran maupun bergeser ke ilmu lainnya yang
menyebabkan karakter kefarmasian menjadi tidak sempurna
atau semakin pudar. Sebagai contoh, jika perkembangan ilmu
farmasi hanya berfokus pada pengembangan ilmu Farmasi sains

285
dan Teknologi maka ilmu farmasi seakan hanya menjadi ilmu
sains sehingga perannya dalam bidang kesehatan akan tergeser
oleh bidang lain, dan jika perkembangan ilmu farmasi hanya
berfokus pada ilmu klinik maka ilmu farmasi akan menjadi lebih
condong ke ilmu kedokteran. Dengan kondisi
ketidakseimbangan dalam pengembangan ilmu farmasi
tersebut, menyebabkan ilmu farmasi menjadi seksi terutama
oleh bidang lain, misalnya bidang riset beberapa individu dari
berbagai bidang ilmu melakukan riset tentang penemuan obat,
dalam hal pekerjaan juga demikian. Apalagi terkait dengan
regulasi, farmasis tidak mempunyai bargaining position yang
mumpuni jika dibandingkan dengan profesi lainnya (khusus di
Indonesia). Sehingga farmasi sebagai profesi yang ditopang oleh
keilmuan yang tidak seimbang akan berada diantara
persimpangan yang seakan-akan kehilangan jati diri dan jika hal
ini dibiarkan terus menerus maka lambat laun farmasi sebagai
ilmu dan profesi akan tenggelam ditengah-tengah pluralitas
keilmuan dan semakin kompleksnya perubahan-perubahan dan
perkembangan-perkembangan dalam bidang kesehatan.
Pendidikan Tinggi dalam hal ini lembaga/institusi
pendidikan Farmasi sebagai pusat pengembangan keilmuan dan
menghasilkan lulusan farmasi yang memiliki kompetensi yang
berbasis keempat fokus kajian ilmu farmasi. Riset-riset dan
pengembangan kurikulum harus menjaga keseimbangan ketiga
kelompok keilmuan tersebut diatas agar tetap terjaga dari
keseimbangan pengembangan kelompok keilmuan sehingga
farmasis dapat bangkit dan menemukan kembali jati diri farmasi
sebagai ilmu dan profesi. Pengembangan riset dan keilmuan
pada lembaga/institusi pendidikan farmasi, berdasarkan

286
keempat fokus kajian ilmu farmasi dan tidak berdasarkan
keegoisan individu didalamnya yang hanya menganggap bahwa
hanya bidang ilmu yang ditekuninya dianggap terbaik dan paling
penting untuk dikembangkan. Sehingga terjadi dikotomi antara
kelompok keilmuan yang menyebabkan riset-riset dan lulusan
farmasi yang dihasilkan terkotak-kotak dan tidak berfokus pada
keempat fokus kajian ilmu farmasi.

6.6 Referensi
1. Waller F. 1998. Phytotherapie der traditionellen
Chinesischen Medizin. Zeitschrift fur Phytotherapie. Vol
19. Hal 77-89
2. Khan IA, & Abourashed EA, 2010. Leung’s Encyclopedia
of Common Natural Ingredients; Used in Food, Drugs,
and Cosmetics. Third Edition. Penerbit: A John Wiley &
Sons. Hoboken, New Jersey, Canada.
3. Minter S. 2000. The Apothecaries Garden. Sutton
Publications. Stroud
4. Griggs B. 1981. Green Pharmacy. A History of Herbal
Medicine. Normann & Hobhouse. London
5. Griffenhagen GB. 2002. Great Moments in Pharmacy:
Development of the Robert Thom Series Depicting
Pharmacy’s History. Journal of the American
Pharmaceutical Association. Vol. 52 (2). 170-182
6. Williams DE, & Fraser SM. 1992. Henry Hurd Rusby: The
father of economic botany at the New York Botanical
Garden. Brittonia. Vol. 44 (3). hal. 273–279
7. Distelzweig P, Goldberg B, & Ragland ER. 2016. History,
Phylosophy, and Theory of Life Sciences: Early Modern

287
Medicine and Natural Philosophy. Springer. Dordrecht.
Heidelberg. New York. London.
8. Heinrich M, Barnes J, Gibbons S, & Williamson EM. 2010.
Farmakognosi dan Fitoterapi. (Terjemahan dengan Judul
Asli Fundamental of Pharmacognosy and Phytotherapy.
Alih Bahasa: Winny R. Syarief, Cucu Aisyah, Ella Elviana,
dan Euis Rachmiyani Fidiasari). Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
9. Block JH, & Beale JM. 2012. Wilson & Gisvold. Buku Ajar:
Kimia Medisinal Organik dan Kimia Farmasi. Edisi
Sebelas. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
10. Homan PG. Hudson B, & Rowe RC. 2007. Popular
Medicines: An Illustrated History. Pharmaceutical Press.
London
11. Flannery MA. 1984. Civil War Pharmacy: A History of
Drugs, Drug Supply and Provision, and Therapeutics for
the Union and Confederacy. Pharmaceutical Products
Press. New York. London. Oxford
12. Pane AH. 2000. Format Industri Farmasi Indonesia.
Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia. Jakarta
13. Hayun. 2015. Materi Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Program Doktor Ilmu Farmasi. Fakultas Farmasi
Universitas Indonesia.
14. Razak DA. 2010. Perkembangan Farmasi di Eropa dan
Barat. Pusat Racun Negara. USM. Malaysia.
15. Evans WC. 2009. Trease and Evans Pharmacognosy.
Sixteenth Edition. Penerbit: Saunders Elsevier.
Edinburgh, London, New York, Philadelphia, St Louis,
Sydney, Toronto.

288
16. Razak DA. 2009. Perkembangan Sejarah Awal Farmasi
Pengaruh Arab dan Islam. Pusat Racun Negara. USM.
Malaysia
17. As-Sirjani R. 2012. Sumbangan Peradaban Islam pada
Dunia. Penerbit Pustaka Al-Kautsar. Jakarta
18. Anonim. 2009. Farmakologi dan Terapi. Edisi Kelima.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI
19. Vallisuta O, & Omilat SM. 2012. Drug Discovery Research
in Pharmacognosy. Penerbit: InTec. Rijeka. Kroasia.
20. Suriasumantri JS. 2015. Ilmu dalam Perspektif; Sebuah
Kumpulan Karangan tentang Hakikat Ilmu. Penerbit:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta
21. Suriasumantri JS. 1993. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar
Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
22. Sudjawadi R. 2001. Farmasi, Farmasis, dan Farmasi
Sosial. Majalah Farmasi Indonesia. Volume 12. Hal. 128–
Nomor 3. 134.
23. Sorensen EW, Mount JK, & Christensen ST. 2003. The
Concept of Social Pharmacy. The chronic*ill. Issue 7. Hal.
8–11.
24. Hepler CD. 2004. Clinical Pharmacy, Pharmaceutical
Care, and the Quality of Drug Therapy.
Pharmacotherapy. Volume 24. Issue 11. Hal. 1491–1498.
25. Ibrahim MIM, Awang R, & Razak DA. 1998. Introduction
Social Pharmacy Course to Pharmacy Students in
Malaysia. Medical Teacher. Volume 20. Nomor 2. Hal.
122–126.

289
26. Hassali MA, Safie AA, Al-Haddad MS, Abdulkarem AR,
Ibrahim MI, Palaian S, & Abrika OSS. 2011. Social
pharmacy as a field of study: The needs and challenges
in global pharmacy education. Research in Social and
Administrative Pharmacy. Volume 7. Hal 415–420.
27. Harding G, & Taylor KMG. 2006. Teaching Social
Pharmacy: The UK Experience. Pharmacy Education.
Volume 6. Issue 2. Hal. 125–131.
28. Almarsdottir AB, Kaae S, & Taurlsen JM. 2014.
Opportunities and Challenge in Social Pharmacy and
Pharmacy Practice Research. Research in Social and
Administrative Pharmacy. Volume 10. Hal. 252–255.
29. Miller RR, 1981. History of Clinical Pharmacy and Clinical
Pharmacology. J Clin Pharmacol. Volume 21. Hal: 195 –
197.
30. Bush J, Langley CA, & Wilson KA. 2009. The
corporatization of community pharmacy: Implications
for service provision, the public health function, and
pharmacy’s claims to professional status in the United
Kingdom. Research in Social & Administrative Pharmacy.
Vol. 5. Hal. 305-318.

290

Anda mungkin juga menyukai