Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Teknologi farmasi saat ini sudah mulai berkembang pesat sehingga dengan
adanya perkembangan tersebut industri farmasi akan lebih mudah dalam
memproduksi obat-obat dengan kualitas yang baik, khususnya dalam hal
kestabilan obat. Menurut Deviarny (2012) stabilitas obat penting untuk
diperhatikan karena akan berdampak pada efektifitas, keamanan dan mutu obat
(Zaini & Dolih, 2015).

Stabilitas sediaan farmasi merupakan salah satu kriteria yang amat penting
untuk suatu hasil produksi yang baik. Ketidakstabilan produk obat dapat
mengakibatkan terjadinya penurunan sampai dengan hilangnya khasiat obat, obat
dapat berubah menjadi toksik atau terjadinya perubahan penampilan sediaan
(warna, bau, rasa, konsistensi). Ketidakstabilan suatu sediaan farmasi dapat di
deteksi melalui perubahan sifat fisika dan kimia (Pratiwi, Fudholi, Martien, &
Pramono, 2018). Menurut (Patrick, 2003) kestabilan fisik pada emulsi farmasi
memiliki karakteristik yaitu tidak adanya penggabungan fase dalam, tidak adanya
creaming, dan memberikan penampilan yang menarik (Pratiwi et al., 2018).

Menurut Fitriani (2015) suatu obat dapat dikatakan stabil jika kadarnya
tidak berkurang dalam penyimpanan. Faktor utama yang menjadi pertimbangan
saat melakukan formulasi sediaan adalah kelarutan bahan aktif dalam sediaan,
apakah bahan tersebut larut air atau minyak, serta untuk tujuan apa bahan tersebut
diformulasi (Ghayah, Erawati, & Hendradi, 2014). Menurut USP (2006) faktor
lainnya yang mempengaruhi yaitu faktor lingkungan seperti temperatur juga
mempengaruhi stabilitas obat, faktor formulasi seperti pH, sifat dalam air dan sifat
pelarutnya juga dapat mempengaruhi stabilitas obat (Sabdowati, 2015).

Banyak sekali sediaan obat yang beredar di pasaran, seperti kapsul, tablet,
emulsi, suspensi dan lain-lain (Zaini & Dolih, 2015). Salah satu bentuk sediaan

1
topikal yang sering digunakan baik dalam industri farmasi maupun kosmetik
adalah emulsi, yang diharapkan dapat mendispersikan bahan obat dalam fase
minyak maupun fase air (Ghayah et al., 2014). Menurut Farmakope Indonesia III
emulsi adalah sediaan berupa campuran terdiri dari dua fase cairan dalam sistem
dispersi, fase cairan yang satu terdispersi sangat halus dalam fase cairan lainnya,
umumnya dapat stabil bila ada penambahan zat pengemulsi atau emulgator
(Sabdowati, 2015).

Pada sediaan emulsi perlu diuji pelepasan, karena pelepasan merupakan suatu
proses penting yang mempengaruhi penetrasi. Jika pelepasan bahan obat dari
basis buruk, maka kemungkinan besar penetrasinya akan memberikan hasil yang
buruk pula. Pelepasan dipengaruhi oleh kelarutan obat dalam basis, afinitas obat
dengan basis dan viskositas basis (Ghayah et al., 2014).

B. Rumusan Masalah
1. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas sediaan emulsi?
2. Apa bentuk ketidakstabilan dari sediaan emulsi?
3. Bagaimana uji stabilitas dari sediaan emulsi dan upaya untuk
meningkatkan stabilitas dari sediaan emulsi?

C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas sediaan
emulsi
2. Untuk mengetahui bentuk ketidakstabilan dari sediaan emulsi
3. Untuk mengetahui uji stabilitas dari sediaan emulsi dan upaya untuk
meningkatkan stabilitas dari sediaan emulsi

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Emulsi
Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau larutan
obat, terdispersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan zat pengemulsi
atau surfaktan yang cocok (Depkes, 1979). Emulsi adalah suatu sediaan yang
mengandung dua zat cair yang tidak mau bercampur, biasanya air dan minyak
dimana cairan satu terdispersi menjadi butir-butir kecil dalam cairan yang lain.
Dispersi ini tidak stabil, butir-butir ini akan bergabung (koalesen) dan
membentuk dua lapisan air dan minyak yang terpisah. Perasa dan pengawet
yang berada dalam fase air yang mungkin larut dalam minyak harus dalam
kadar yang cukup untuk memenuhi yang diinginkan (Anief, 2003).
Emulsi atau emulsions merupakan suatu sistem dispersi kasar yang terdiri
dari minimal dua atau lebih cairan tidak bercampur satu sama lain. Dimana
cairan yang satu terdispersi didalam cairan yang lain dan untuk
memantapkannya diperlukan penambahan emulgtaor. (Voight, 1994).
Emulgator merupakan komponen yang penting untuk memperoleh emulsi yang
stabil. Semua emulgator bekerja dengan membentuk film (lapisan) di sekeliling
butir-butir tetesan yang terdispersi dan film ini berfungsi mencegah terjadinya
koalesen dan terpisahnya cairan dispersi sebagai fase terpisah (Anief, 1997).
Emulsi yang digunakan dalam farmasi adalah sediaan yang mengandung 2
cairan yang tidak bercampur, satu diantaranya tidak terdispersi secara seragam
sebagai globul (Jenkins, 1957).

B. Tipe Emulsi
Ada 2 macam tipe emulsi yang terbentuk yaitu tipe M/A dimana tetes
minyak terdispersi ke dalam fase air dan tipe A/M dimana fase intern adalah air
dan fase ektern adalah minyak. Fase intern disebut pula fase dispersi atau fase
kontinyu (Anief, 1993).

3
Emulsi yang memiliki fase dalam minyak dan fase luar air disebut emulsi
minyak dalam air dan biasanya diberi tanda sebagai emulsi “M/A”. Sebaliknya
emulsi yang mempunyai fase dalam air dan fase luar minyak disebut emulsi air
dalam minyak dan dikenal sebagai emlusi “A/M” karena fase luar dari suatu
emulsi bersifat kontinyu, suatu emulsi minyak dalam air bisa diencerkan atau
ditambah dengan air atau suatu preparat dalam air (Ansel, 1985).
Emulsi terdiri dari dua fase yang tidak dapat bercampur satu sama lainnya,
dimana yang satu menunjukkan karakter hidrofil, yang lain lipofil. Hidrofil
(lipofob) umumnya adalah air atau suatu cairan yang dapat bercampur dengan
air. Sedangkan sebagai fase lipofil (hidrofob) umumnya adalah lemak mineral
atau minyak tumbuhan atau lemak (minyak lemak, paraffin, lilin, lemak coklat,
malam bulu domba) atau juga bahan pelarut kloroform, benzene dan
sebagainya (Voight, 1994).
Jenis emulsi M/A dan A/M adalah sistem emulsi sederhana. Sistem emulsi
ganda akan diperoleh apabila di dalam bola-bola emulsi yang terbentuk
terdapat lagi-bola-bola dari fase lainnnya. Sistem semacam ini dikatakan
sebagai emulsi A/M/A atau emulsi, dikatakan sebagai fase terdispersi atau fase
dalam atau fase terbuka. Komponen-komponen yang mengandung cairan
terdispersi, dinyatakan sebagai bahan pendispersi atau fase luar atau fase
tertutup. (Voight, 1994).

C. Stabilitas Emulsi
Emulsi merupakan suatu sistem yang tidak stabil, sehingga dibutuhkan zat
pengemulsi atau emulgator untuk menstabilkan. Tujuan dari penstabilan adalah
untuk mencegah pecahnya atau terpisahnya antara fase terdispersi dengan
pendispersinnya. Dengan penambahan emulgator berarti telah menurunkan
tegangan permukaan secara bertahap sehingga akan menurunkan energi bebas
pembentukan emulsi, artinya dengan semakin rendah energi bebas
pembentukan emulsi akan semakin mudah.

Bila dua larutan murni yang tidak saling campur/ larut seperti minyak dan
air, dicampurkan, lalu dikocok kuat-kuat, maka keduanya akan membentuk
sistem dispersi yang disebut emulsi. Secara fisik terlihat seolah-olah salah satu

4
fasa berada di sebelah dalam fasa yang lainnya. Bila proses pengocokkan
dihentikan, maka dengan sangat cepat akan terjadi pemisahan kembali,
sehingga kondisi emulsi yang sesungguhnya muncul dan teramati pada sistem
dispersi terjadi dalam waktu yang sangat singkat .
Kestabilan emulsi ditentukan oleh dua gaya, yaitu:

1. Gaya tarik-menarik yang dikenal dengan gaya London-Van Der


Waals. Gaya ini menyebabkan partikel-partikel koloid berkumpul
membentuk agregat dan mengendap.
2. Gaya tolak-menolak yang disebabkan oleh pertumpang-tindihan
lapisan ganda elektrik yang bermuatan sama. Gaya ini akan
menstabilkan dispersi koloid.

D. Faktor yang Mempengaruhi Stabilitas Emulsi


Ketidakstabilan suatu sediaan farmasi dapat dideteksi melalui perubahan
sifat fisika dan kimia. Stabilitas obat dapat diketahui dari ada atau tidaknya
penurunan kadar selama penyimpanan (Ansel, 1989; Lachman dkk,1986).
Faktor lingkungan seperti temperatur, radiasi cahaya dan udara (khususnya
oksigen, karbon dioksida dan uap air) juga mempengaruhi stabilitas.
Demikian pula faktor formulasi seperti ukuran droplet, pH, dan viskositas
dapat mempengaruhi stabilitas (Osol dkk., 1980).
1. Temperatur/Radiasi cahaya/Udara
Faktor lingkungan seperti suhu, radiasi cahaya dan udara akan suasana internal
emulsi karena Pemanasan dapat menyebabkan kerusakan emulsi berupa
cracking yakni pecahnya emulsi, karena film yang melapisi partikel rusak
dan butir minyak menjadi menyatu.

2. Ukuran Droplet
Ukuran droplet pada fase pendispersi merupakan salah satu factor yang
mempengaruhi stabilitas fisik emulsi. Secaraumum, ukuran droplet yang
semakin kecil menandakan produk emulsi yang semakin stabil (Biradar et al.,
2009). Rita (2001) menyatakan bahwa konfigurasi droplet fase terdispersi
dalam medium pendispersi mempengaruhi pembentukan emulsi yang stabil.

5
Semakin kecil ukuran droplet fase terdispersi maka konfigurasi droplet fase
terdispersi dalam medium pendispersi akan semakin teratur. Sesuai hukum
Stokes, droplet dengan diameter yang kecil mempunyai kecenderungan untuk
memisah lebih lambat dibandingkan dengan droplet yang berdiameter besar
(Boylan & Swarbrick, 2002). Pada umumnya ukuran droplet pada system
disperse suatu sediaan emulsi adalah kisaran 0,5-10 𝜇m (Sinko, 2011).
Ukuran droplet juga dapat dipengaruhi dengan gerak brown. Semakin
kecil ukuran droplet, semakin cepat gerak Brown yang terjadi. Demikian
pula, semakin besar ukuran partikel droplet, semakin lambat gerak Brown
yang terjadi. Hal ini menjelaskan mengapa gerak Brown sulit diamati dalam
larutan dan tidak ditemukan dalam campuran heterogen zat cair dengan
suspensi zat padat (Wanibesak, 2011).
3. pH
Semakin banyak jumlah asam lemak pada sistem emulsi maka jumlah H+
yang terdisosiasi menjadi semakin besar.
4. Viskositas
Faktor – faktor yang mempengaruhi viskositas suatu emulsi adalah
viskositas medium dispersi, persentase volume medium dispersi, ukuran
partikel fase terdispersi dan jenis serta konsentrasi emulsifier/stabilizer yang
digunakan. Semakin tinggi viskositas dan persentase medium disperse, maka
makin tinggi viskositas emulsi. Demikian juga semakin kecil ukuran partiker
suatu emulsi, maka semakin tinggi viskositasnya dan makian tinggi
konsentrasi emulsifier/stabilizer yang digunakan.

E. Ketidakstabilan Emulsi
Stabilitas emulsi merupakan suatu hal yang penting untuk
diperhatikan. Ketidakstabilan yang dapat terjadi terhadap emulsi di antaranya
adalah flokulasi dan creaming, koalesens dan breaking, perubahan fisika
kimia, dan inversi fase (Sinko, 2011).
1. Flokulasi
Flokulasi menggambarkan penggabungan reversible yang lemah
antara droplet-droplet emulsi yang dipisahkan oleh lapisan tipis dari

6
fase kontinyu. Penggabungan tersebut terjadi karena adanya interaksi
gaya tarik-menarik antar droplet dan umumnya bersifat reversible
dengan pengocokkan ringan. Flokulasi umumnya dianggap sebagai
prekursor terjadinya coalescence.(Eccleston,2007).
2. Inversi
Ialah peristiwa perubahan tipe emulsi dengan tiba-tiba, dari suatu tipe
ketipe yang lain dan sifatnya irreversible (Anief, 1989). Inversi dapat
terjadi karena adanya penambahan elektrolit, perubahan rasio volume
fase, ataupun karena perubahan temperature. Inversi fase dapat
diminimalisir dengan menggunakan emulgator yang tepat dalam
konsentrasi optimum, mempertahankan konsentrasi fase disperse
antara 30-60%, dan dengan menyimpan emulsi di tempat yang dingin
(Ali, et al, 2008). Volume fase dalam yang semakin besarakan
menyebabkan terjadi perluasan lapisan antarmuka sehingga dapat
mempengaruhi stabilitas emulsi. Jika volume fase dalam melebihi fase
kontinyu, emulsi menjadi tidak stabil yang pada akhirnya terjadi
inversi fase (Mollet dan Grubenmann, 2001).
3. Coalescence
Adalah peristiwa pecahnya emulsi karena adanya penggabungan
droplet-droplet kecil fase terdispersi membentuk lapisan atau endapan
yang bersifat irreversible di mana emulsi tidak dapat terbentuk
kembali seperti semula melalui pengocokkan (Anief, 1989).
Coalescence adalah peristiwa di mana droplet fase terdispersi
bergabung dan membentuk droplet yang lebih besar, yang diawali
dengan drainase dari lapisan cairan fase kontinyu (Eccleston, 2007).
Coalescence dari droplet minyak pada emulsi M/A tertahan dengan
adanya lapisan emulgator yang teradsorbsi kuat secara mekanis di
sekitar setiap droplet. Dua droplet yang saling berdekatan satu sama
lain akan menyebabkan permukaan yang berdekatan tersebut menjadi
rata. Perubahan bentuk dari bulat menjadi bentuk lain menghasilkan
peningkatan luas permukaan dan karenanya meningkatkan energi
bebas permukaan total, penyimpangan bentuk droplet ini akan

7
tertahan dan pengeringan film fase kontinyu dari antara dua droplet
akan tertunda (Aulton, 2002).
4. Creaming
Creaming adalah pemisahan emulsi menjadi 2 bagian, di mana bagian
yang satu memiliki fase-fase disperse lebih banyak dari bagian yang
lain. Peningkatan creaming sangat memungkinkan terjadinya
coalescence dari droplet, karena kedua hal tersebut erat hubungannya.
Emulsi yang mengalami creaming terlihat tidak elegan dan jika emulsi
tidak digojog secara cukup, ada kemungkinan pasien tidak mendapat
dosis yang benar.
Menurut hukum stokes kecepatan terbentuknya creaming dapat
dikurangi dengan metode-metode berikut :
1) Produksiemulsidengan droplet kecil
2) Meningkatkan viskositas dari fase kontinyu
3) Mengurangi perbedaan densitas antara kedua fase
4) Mengontrol konsentrasi fase disperse
Persamaan hokum stokes di bawah ini :

d2 (ρ1 − ρ2)g
V=
18𝜂

Keterangan : V = Kecepatan jatuhnya suatu partikel bulat

g = Percepatangravitasi

d = Diameter tetesan

ρ1 = Kerapatanfase internal

ρ2 = Kerapatan fase eksternal

𝜂₌Viskositas cairan

Dari hukum stokes dapatdiketahuibahwa :

a. Kecepatan pembentukan creaming berbanding lurus dengan selisih


kerapatan antara fase minyak dan fase air. Peristiwa pembentukan

8
creaming dapat diminimalkan dengan memilih kerapatan dari kedua
fase yang hampir sama. Kebanyakan minyak mempunyai kerapatan di
bawah 1,00.
b. Kecepatan pembentukan creaming berbanding lurus dengan jari-jari
butiran. Butir-butir tetesan kecil lebih lambat naik jika dibandingkan
dengan butir-butir tetesan besar, sehingga pembentukan creaming
dapat diminimalkan dengan memperkecil butiran-butiran fase dispersi.
c. Kecepatan pembentukan creaming berbanding terbalik dengan
viskositas medium. Kenaikan temperature akan mengurangi viskositas
sehingga dapat menyebabkan creaming. Untuk menanggulangi hal ini,
emulsi harus disimpan di tempat sejuk. Creaming dapat diminimalkan
dengan menaikkan viskositas medium (Gunn,1975).
d. Ostwald Ripening
Pada peristiwa Ostwald ripening terjadi peristiwa di mana droplet
besar menjadi semakin besar. Ostwald ripening terjadi ketika droplet
kecil (kurang dari 1𝜇m) memiliki kelarutan yang lebih tinggi (dan
tekanan uap) lebih besar daripada droplet besar dan sebagai akibatnya
adalah secara termodinamik tidak stabil. Untuk mencapai kondisi
kesetimbangan, molekul dari droplet larut dan berdifusi melalui fase
kontinyu untuk memperbesar droplet besar (Eccleston, 2007).

F. Upaya Meningkatkan Kestabilan Emulsi


Stabilitas emulsi farmasetik ditandai dengan tidak adanya
penggabungan pada fase internal, pengkriman, dan tidak berubahnya
keelokkan tampilan, bau, warna dan sifat fisik lainnya. Beberapa peneliti
mendefinisikan instabilitas emulsi hanya jika terjadi aglomerasi fase internal
dan pemisahannya dari produk. Pengkriman yang terjadi karena flokulasi dan
berkumpulnya globul fase internal, terkadang tidak dianggap sebagai tanda
terjadinya instabilitas. Pengkriman menyebabkan tidak meratanya emulsi obat
dan, kecuali sediaan tersebut dikocok sedemikian rupa sebelum diberikan,
memberikan dosis yang tidak tepat. Tampilan visual emulsi dipengaruhi oleh

9
pengkriman dan untuk peracik obat ini merupakan permasalahan besar seperti
halnya pemisahan fase internal (Sinko, 2011).
Fenomena lainnya yang penting dalam pembuatan dan penstabilan
emulsi adalah inverse fase, yang dapat menjadi suatu keuntungan atau
kerugian dalam teknologi emulsi. Pada inverse fase terjadi perubahan tipe
emulsi dari m/a menjadi a/m atau sebaliknya. Bila inverse fase terjadi setelah
pembuatan, secara logis hal ini dapat dianggap sebagai tanda instabilitas
(Sinko, 2011). Oleh karena itu untuk mengoptimalkan stabilitas obat pada
sediaan emulsi dapat dilakukan upaya sebagai berikut:
1. Pengkriman (Creaming)
Pengkriman terjadi jika densitas fase terdispersi lebih kecil daripada
fase kontinu, yang umumnya terjadi pada emulsi m/a, kecepatan sedimentasi
menjadi negatif, yaitu terjadi pengkriman keatas. Jika fase internal lebih berat
daripada fase eksternal, globul akan mengendap. Ini merupakan fenomena
yang bisa terjadi pada emulsi a/m yaitu fase internal cair, memiliki densitas
lebih besar daripada fase kontinu (minyak). Efek ini disebut sebagai
pengkriman arah bawah(Sinko, 2011).
Semakin besar perbedaan densitas kedua fase, semakin besar globul
minyak dan semakin berkurang kekentalan fase eksternal, semakin tinggi
kecepatan pengkriman. Hal tersebut dapat ditingkatkan dengan meingkatkan
gaya gravitasi melalui sentrifugasi, kecepatan pengkriman juga dapat
ditingkatkan. Kecepatan pengkriman juga dapat dilakukan dengan
menigkatkan diameter globul air menjadi dua kalinya, sehingga kecepatan
pengkriman meningkat. Selain itu dapat juga dilakukan pengurangan
kecepatan pengkriman jika diperlukan dalam suatu emulsi dengan cara
meningkatkan viskositas fase eksternal dengan menambahkan bahan
penambah viskositas atau bahan pengental seperti metilselulosa, tragakan atau
natrium aglinat(Sinko, 2011).
Ukuran partikel globul dapat dikurangi dengan homogenisasi, hal ini
untuk mencegah pengkriman susus terhomogenisasi. Jika ukuran partikel
dikurangi hingga diameter dibawah 2 hingga 5𝜇m. Gerak brown pada suhu
kamar cukup berpengaruh sehingga partikel-partikel mengendap atau

10
mengkrim lebih lambat dari yang diperkirkan dengan hokum Stokes (Sinko,
2011).
2. Penggabungan dan Pemecahan
Penggabungan dan pemecahan yang terjadi pada emulsi berbeda
dengan pengkriman yang bersifat reversible, karena fenomena tersebut bersifat
irreversible. Hal ini dikarenakan jika emulsi pecah, pencampuran sederhana
tidak dapat mendispersikan globul kembali dalam bentuk emulsi yang stabil
karena selaput yang melapisi partikel telah rusak dan minyak cenderung
menyatu(Sinko, 2011).
3. Bahan Pengemulsi
Penggunaan bahan pengemulsi juga dapat mempengaruhi stabilitas
obat pada sediaan emulsi dengan cara mencegah terjadinya penggabungan.
Pemilihan bahan pengemulsi yang tepat merupakan upaya yang dapat
dilakukan untuk menjaga kestabilan suatu emulsi. Seperti penambahan
surfaktan atau amfifil dapat mengurangi tegangan antarmuka karena
adsorpsinya pada antarmuka minyak-air membentuk selaput monomolekuler.
Pengurangan tegangan antarmuka tersebut akan mengurangi energy bebas
permukaan sehingga dapat mengurangi kecenderungan terjadinya
penggabungan. Contoh bahan pengemulsi lainnya yaitu koloid hidrofilik yang
membentuk selaput multi molekul di sekeliling tetsan-tetesan minyak yang
terdispersi dalam emulsi. dan partikel padat yang terbagi dengan halus, yang
diadsorpsi pada antarmuka antara dua fase cair tak tercampurkan dan
membentuk suatu selaput partikel di sekitar globu lterdispersi(Sinko, 2011).

11
BAB III
PEMBAHASAN

Nanoemulsi merupakan emulsi berukuran submikron, sistem isotropik stabil


dimana dua cairan yang secara alami tidak saling campur dapat menjadi satu fase
homogen melalui penambahan surfaktan sehingga memiliki ukuran tetesan kurang
dari 100 nm. Nanoemulsi memiliki kapasitas solubilisasi yang cukup besar dan
mampu membentuk sistem yang stabil secara termodinamika dibandingkan emulsi
konvensional. Nanoemulsi minyak dalam air menjadi menarik karena kemampuan
membawa obat yang hidrofobik di dalam minyak sehingga dapat teremulsi di
dalam air sehingga akan mening-katkan kelarutan obat (Shafiq-un-Nabi dkk.,
2007). SNEDDS merupakan campuran isotropis yang terdiri dari minyak,
surfaktan, ko-surfaktan yang secara cepat membentuk emulsi ketika bertemu air
(Nazzal dan Khan, 2002). Proses nanoemulsi terjadi secara spontan tanpa bantuan
energi, sediaan memenuhi kriteria SNEDDS apabila suatu sediaan mampu
teremulsi dengan agitasi yang lembut (Pouton, 2000).

a) Stabilitas Fisik

Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas emulsi antara lain seperti


temperatur, radiasi cahaya dan udara (khususnya oksigen, karbon dioksida dan
uap air) juga mempengaruhi stabilitas. Demikian pula faktor formulasi seperti
ukuran partikel, pH, sifat dari air dan sifat pelarutnya dapat mempengaruhi
stabilitas. Pada pengujian ini dilakukan 6 siklus dengan menggunakan suhu 4°C
dan 40°C dengan lama penyimpanan selama 48 jam. Formulasi yang tidak
mengalami parameter ketidakstabilan seperti terjadinya pemisahan, pengendapan,
creaming atau cracking, dilakukan pengujian selanjutnya yaitu uji freeze thaw.
Freeze thaw adalah pengujian yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran
mengenai kestabilan sediaan. Uji in dilakukan dengan kondisis suhu penyimpanan
yang ekstrim, karena kondisis yang ektrim mampu menginduksi terjadinya
ketidakstabilan lebih cepat daripada saat dilakukan penyimpanan pada suhu
ruangan. Setelah dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 5
menit, dilakukan pengamatan parameter ketidakstabilan seperti terjadinya
pemisahan, pengendapan, creaming, dan cracking.

12
Stabilitas produk menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan untuk sediaan
emulsi pada bidang farmasi dan kosmetika. Kestabilan fisik pada emulsi farmasi
memiliki karakteristik yaitu tidak adanya penggabungan fase dalam, tidak adanya
creaming, dan memberikan penampilan yang menarik (Martin dkk, 1993).
Berdasarkan hasil uji stabilitas fisik, diketahui bahwa semua sampel uji pada
penelitian, yaitu nanoemulsi, SNEDDS fraksi, SNEDDS basis, SNEDDS vitamin
E tidak mengalami pemisahan, pengendapan, cracking, maupun creaming.
Surfaktan sangat mempengaruhi permukaan droplet emulsi dengan mengurangi
energi bebas antarmuka dan memberikan penghalang mekanik untuk terjadinya
koalesensi dan menghasilkan dispersi spontan secara termodinamik (Pouton dan
Porter, 2008). Ko-surfaktan meningkatkan antarmuka fluiditas dengan menembus
ke dalam film surfaktan menciptakan ruang kosong di antara molekul surfaktan.
Setelah penambahan air, nanoemulsi yang terbentuk bening, tidak keruh dan
berwarnakuning yang menunjukkan pembentukan spontan nanoemulsi (Gupta
dkk., 2011).
Terjadinya gumpalan atau endapan menandai pecahnya nanoemulsi
sehingga minyak tidak lagi terbungkus surfaktan dan ko-surfaktan. Tween 80

13
sebagai surfaktan non ionik tidak mudah dipengaruhi oleh kondisi asam dan
elektrolit sehingga tetap aktif sebagai lapisan permukaan antara minyak dan air.
Suatu sistem nanoemulsi yang distabilkan oleh surfaktan ionik, muatan
permukaannya berasal dari ion yang terdapat pada gugus hidrofilik surfaktan
penyusunnya. Sistem nanoemulsi yang terstabilkan oleh surfaktan non ionik,
muatan permukaannya berasal dari adsorpsi ion-ion yang terdapat pada fase air
ataupun akibat gesekan antara droplet dengan medium pendispersinya. Ion yang
teradsorpsi pada permukaan droplet membentuk electric double layer sehingga
menghasilkan gaya tolak antar partikel yang menghalangi agregasi. Pada sistem
nanoemulsi o/w yang mengandung surfaktan non ionik, sufaktan akan membentuk
suatu lapisan film pada permukaan droplet. Lapisan film tersebut akan mencegah
terjadinya penggabungan droplet dalam medium pendispersi. Fenomena
pencegahan agregasi akibat lapisan film ini dikenal dengan halangan sterik.Tween
80 yang digunakan dalam formulasi SNEDDS ini merupakan surfaktan non ionik
yang tidak memiliki muatan pada gugus hidrofobiknya, sehingga permukaan
droplet minyak yang diselimuti oleh surfaktan ini cenderung tidak bermuatan.
Stabilitas nanoemulsi dapat ditingkatkan dengan cara mengecilkan ukuran,
mengontrol distribusi ukuran droplet fase dispersi, meningkatkan viskositas
nanoemulsi, dan menggunakan bahan tambahan yang berfungsi sebagai stabilizer.
Selanjutnya, ko-surfaktan meningkatkan fluiditas antar muka dengan menembus
ke dalam film surfaktan yang menciptakan ruang hampa di antara molekul
surfaktan (Contantinides dan Scarlat, 1997). Surfaktan merupakan
molekulampiphil yang mengandung gugus hidrofilik dan lipofilik. Perbedaan
utama antara emulsi dan nanoemulsi adalah stabilitas kinetik, yang mencerminkan
stabilitas termodinamika kedua sistem. SNEDDS mengalami solubilisasi dalam
membentuk sistem nanoemulsi, dan seharusnya memiliki stabilitas yang baik.
(Parmar dkk., 2011).
b) Stabilitas Kimia
Uji stabilitas kimia dilakukan dengan melakukan uji aktivitas sampel
terhadap aktivitas penangkap radikal bebas DPPH yaitu sebelum dan setelah
penyimpanan selama 3 bulan. Prinsip metode pengukuran aktivitas penangkapan
radikal bebas secara kuantitatif ini adalah pengukuran penangkapan radikal DPPH

14
oleh suatu senyawa yang mempunyai aktivitas penangkapan radikal bebas dengan
menggunakan spektrofotometri UV-Vis.

Parameter yang dipakai untuk menunjukan aktivitas antioksidan adalah harga


Inhibitory Concentration (IC50) yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang
dapat menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal atau konsentrasi
suatu zat antioksidan yang memberikan persen peredaman sebesar 50%.
Berdasarkan analisis statistik, pada uji normalitas menggunakan Shapiro wilk,
pada semua sampel diperoleh nilai signifikansi > 0,05 sehingga data terdistribusi
normal. Pada uji homogenitas nilai signifikansi > 0,05 sehingga diketahui bahwa
data homogen. Selanjutnya dilakukan uji independent sample T-Test, pada
nanoemulsi dan SNEDDS Fraksi diperoleh nilai signifikansi > 0,05 sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara nilai IC50
sebelum dan setelah penyimpanan. Sedangkan pada SNEDDS basis dan
nanoemulsi vitamin E diperoleh nilai < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan bermakna antara nilai IC50 sebelum dan setelah penyimpanan.

15
BAB IV
KESIMPULAN

Pada uji stabilitas fisik, diketahui bahwa semua sampel uji pada penelitian,
yaitu nanoemulsi, SNEDDS fraksi, SNEDDS basis, SNEDDS vitamin E tidak
mengalami pemisahan, pengendapan, cracking, maupun creaming. Sehingga
pembuatan sediaan emulsi pada sampel penelitian efektif tak terjadi
ketidakstabilan emulsi.

Tetapi pada uji stabilitas kimia, nanoemulsi dan SNEDDS Fraksi tidak
terdapat perbedaan bermakna antara nilai IC50 sebelum dan setelah penyimpanan.
Sedangkan pada SNEDDS basis dan nanoemulsi vitamin E terdapat perbedaan
bermakna antara nilai IC50 sebelum dan setelah penyimpanan. Sehingga dapat
dikatakan bahwa pembuatan nanoemulsi dan SNEDDS tidak stabil melindungi
aktivitas sampel uji.

16
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. 1993. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi ketiga. Jakarta: Departemen


Kesehatan. Republik Indonesia.

Ansel, H. 1985. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: Universitas


Indonesia.

Aulton, M.E., and Diana, M. C., 1991, Pharmaceutical Practice ,109 -123,
Longman Singapore Publishers Ptc Ltd, Singapore.

Eccleston, G. M., 2007, Emulsions and Microemulsions, In: James, S.,


Encyclopedia of Pharmaceutical Technology , Third edition volume 3,
1555, 1560-1561, Informa Healthcare USA, Inc., USA.

Gunn C. dan Carter S.J., 1975, Dispensing for Pharmaceutical Student, revised
by Gunn and Carter, 11thedistion, 71-72, Pitman Medical and
ScientificPublishing Co, Ltd, London.

Jenskins, G. 1957. Scoville’s the Art of Compounding Ninth Edition. USA: The
McGraw-Hill Book Company.

Lahman, L. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri Edisi III. Jakarta:
Universitas Indonesia.

Lieberman, H.A., Pharmaceutical Dosage Forms :Dysperse System Vol. 1,


1996, 55, Marcel Dekker Inc, New York.

Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi V. Yogyakarta:


Universitas Gajah Mada.

17

Anda mungkin juga menyukai