Anda di halaman 1dari 20

PERMASALAHAN LEGISLASI SEMU SEBAGAI BENTUK PERATURAN SELAIN

PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN

Edo Maulana Zarkasy


UNIVERSITAS MUHAMADIYAH Jl.Karimata No.49 jember 68121
Dosen Pengampu:
Dr.Fauziyah, S.H.,M.H.

ABSTRAK
Kebebasan membuat peraturan atau freies ermessen melalui Legislasi semu (aturan kebijakan
tersebut) merupakan doktrin dalam hukum tata pemerintahan yang dikeluarkan eksekutif baik
di pusat atau di daerah, Pada umumnya produk legislasi merupakan sebuah karya yang
bersifat normatif. Sehingga semua yang bersifat normatif ini terbuka sekali terjadinya
penyimpangan-penyimpangan hukum. Potensi penyimpangan dari hukum ini akan
mencipatakan apa yang disebut sebagai kekosongan hukum (legal gap). Oleh karena itu,
tulisan ini bertujuan merumuskan karakter produk hukum yang responsif dan partisipatif
(demokratis) dalam era reformasi. Tulisan ini merupakan penelitian kepustakaan (library
research) atau penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
yuridis normatif. Sumber data seperti bahan hukum primer yang terkait dengan isu
pembentukan hukum. Sedangkan bahan hukum sekunder seperti buku, jurnal, dan semua
bahan sekunder yang terkait dengan fokus kajian. Analisis menggunakan metode doktrinal.
Tulisan ini menyimpulkan bahwa karakter produk hukum yang responsif dan partisipatif
dalam era reformasi diperlukan ruang publik yang bebas dari kepentingan elit politik dan
dominasi kekuasaan. Perlu adanya keterlibatan masyarakat (civil society) dalam pembentukan
peraturan perundang-undangandari menyusun naskah akademik hingga mengadakan public
hearing sebelum undang-undang disahkan.
ABSTRACT
Freedom to make regulations or freies ermessen through pseudo-legislation (these
policy rules) is a doctrine in administrative law issued by the executive either at the center or
in the regions, In general, the product of legislation is a work that is normative. So that
everything that is normative is open to legal deviations. This potential deviation from the law
will create what is called a legal gap. Therefore, this paper aims to formulate the character
of responsive and participatory (democratic) legal products in the reform era. This paper is
library research or normative legal research. The approach used is a normative juridical
approach. Data sources such as primary legal materials related to legal formation issues.
While secondary legal materials such as books, journals, and all secondary materials related
to the focus of study. Analysis using doctrinal methods. This paper concludes that the
responsive and participatory character of legal products in the reform era requires a public
space free from the interests of political elites and domination of power. There needs to be
community involvement (civil society) in the formation of laws and regulations, from
compiling academic manuscripts to holding public hearings before laws are passed.
Pendahuluan
permasalahan legislasi semu (pseudowetgeing) atau disebut juga peraturan kebijakan
(beleidsregels), sebagai bentuk “peraturan” selain peraturan perundang-undangan yang
terdapat dalam praktik pemerintahan sehari-hari.

Terlebih dahulu diuraikan mengenai doktrin negara hukum yang menempatkan peraturan
perundang-undangan sebagai dasar pelaksanaan kewenangan pemerintahan.

Doktrin Negara Hukum dan Kewenangan Pemerintahan

Pernyataan konstitusional dalam UUD 1945, Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah
negara hukum mengandung makna luas tentang berlakunya prinsip negara berdasarkan
hokum (rechtsstaat) seperti di berbagai berbagai negara lain. Menurut Willem Koninjnenbelt,

a.pelaksanaan kekuasaan memerintah harus berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh


Undang-Undang Dasar atau undang-undang yang diakui (wetmatigheid van bestuur);

b.pemerintah harus menghormati hak-hak asasi manusia (grondrechten);

c.kewenangan pemerintahan tidak boleh terpusat melainkan diserahkan kepada


berbagai organ negara, yang berimbang dan saling mengawasi (machtsverdeling); dan

d.perbuatan/tindakan pemerintahan harus dapat dikontrol oleh badan peradilan yang menilai
secara bebas sahnya perbuatan tersebut (rechterlijke controle).

a.Secara umum dapat dijelaskan bahwa negara yang berdasarkan hukum (rechsstaat), seperti
teori yang diajarkan oleh John Locke dan Montesquieu, bertujuan agar orang yang berkuasa
tidak menggunakan kekuasaan dengan sewenang-wenang, karena itu perlu diberikan arahan
untuk membatasi kekuasaan tersebut.
Unsur pada huruf a diartikan pula bahwa semua kewenangan untuk menjalankan
pemerintahan atau perbuatan pemerintahan yang diberikan kepada pemerintah harus
berdasarkan Undang-Undang Dasar atau undang-undang. Jika tidak, maka perbuatan
pemerintahan tersebut dianggap tidak sah (ongeldig). Dengan demikian hanya terdapat tiga
kemungkinan.[2]

Pertama, kewenangan pemerintahan langsung diberikan oleh pembentuk undang-undang


kepada organ pemerintahan;

Kedua, kewenangan pemerintahan yang diberikan berdasarkan peraturan undang-


undangan (wettelijke regeling) dialihkan kepada suatu organ pemerintahan.

Ketiga, suatu kewenangan organ yang dalam pelaksanaannya diberikan kepada organ lain,
namun tetap dijalankan atas nama organ yang memberi perintah.

Kewenangan pertama disebut atribusi yang berarti pemberian kewenangan menjalankan


pemerintahan oleh pembentuk undang-undang kepada suatu organ pemerintahan.

Kewenangan kedua disebut delegasi, yaitu pelimpahan kewenangan (overdracht) oleh suatu
organ pemerintahan kepada organ pemerintah yang lain.

Kewenangan ketiga disebut mandat yaitu suatu organ pemerintahan membiarkan


kewenangannya dilaksanakan oleh organ lain atas namanya.

Pada dasarnya keempat unsur dimaksud diwujudkan di Indonesia yang disesuaikan dengan
sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945.

Mengenai unsur pertama, yaitu perbuatan/tindakan hukum pemerintahan harus berdasarkan


peraturan perundang-undangan. Dengan menelaah substansi Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang merupakan
pelaksanaan (undang-undang organik) dari Pasal 22A UUD 1945, peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia dibedakan atas:

 peraturan yang termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yang
terdiri atas: Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah (Pasal 7
ayat (1); dan
 jenis peraturan lainnya (yang tidak termasuk dalam jenis dan hierarki), yang diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 7 ayat (4) dan penjelasannya). Jenis peraturan
dimaksud antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh MPR, DPR, DPRD, MA, MK, BPK,
Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat, yang dibentuk
oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD Provinsi,
gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Kategori Norma Hukum

Apakah negara hukum mengenal hanya semata-mata seperti kedua jenis peraturan tersebut di
atas? Berdasarkan kajian dalam hukum administrasi dan ilmu perundang-undangan,
khususnya tentang norma, dapat diperoleh pengertian bahwa norma hukum (rechtsnorm) itu
ada dalam bentuk peraturan-peraturan (regels) dan ada pula dalam bentuk ketentuan lainnya
(andere bepalingen).

Menurut Waaldijk, peraturan-peraturan (regelingen) itu terdiri atas peraturan (regels) dan
peraturan lainnya (andere bepalingen). Yang dimaksud dengan peraturan adalah ketentuan
yang dengan sendirinya memiliki suatu makna normatif; ketentuan yang menyatakan bahwa
sesuatu harus (tidak harus) dilakukan, atau boleh (tidak boleh) dilakukan. (Regels zijn
bepalingen die op zichzelf al een normatieve betekenis hebben; bepalingen waarin staats dat
iets (niet) moet of (niet) mag). Sedangkan berbagai bentuk ketentuan lain adalah karena
berhubungan dengan peraturan, memiliki suatu makna normatif (andere soorten bepalingen,
die slechts in samenhang met regels een normatieve betekenis hebben).

Untuk membedakan kedua hal tersebut dapat dijelaskan berdasarkan kaidah logika (berpikir)
bahwa suatu peraturan dibentuk dengan tiga macam unsur yang terdiri atas:

(i) subyek, yaitu orang pribadi (personen) maupun instansi yang boleh (tidak boleh) atau
harus (tidak harus) melakukan sesuatu. Subyek dalam norma disebut alamat/sasaran norma
(normadreesaten);

(ii) karakter, yaitu unsur peraturan yang memperlihatkan adanya norma yang mengharuskan,
membolehkan, tidak mengharuskan, atau tidak membolehkan sesuatu. Unsur karakter
disebut nexus.

(iii) obyek, yaitu unsur tingkah laku (gedraging) yang boleh atau tidak boleh dilakukan.

(iv) berbagai persyaratan (voorwaarden) yang mungkin diperlukan bagi ketiga unsur di atas.
Dikotomi antara peraturan (regels) dengan ketentuan lain (andere bepalingen) membawa
paradigma yuridis bahwa di samping peraturan (hierarki dan non-hierarki berdasarkan UU
10/2004) terdapat berbagai bentuk ketentuan yang sebenarnya bukan merupakan peraturan,
namun dianggap sebagai peraturan sehingga disebut dengan istilah legislasi semu. Dalam
kenyataan sehari-hari masyarakat mengenal ketentuan lain itu secara langsung atau tidak
langsung, tertulis maupun tersirat, sehingga ketentuan lain itu dianggap juga sebagai
peraturan. Sebagai contoh, suatu pedoman yang dikeluarkan oleh seorang pimpinan, yang
secara langsung dan eksplisit diujukan kepada bawahannya, merupakan suatu ketentuan, yang
dianggap sebagai peraturan karena itu dinyatakan berlaku.

Peraturan lain itu bersifat semu dan sering disebut peraturan semu (pseudowetgeving), yang
dapat diartikan sebagai peraturan (regelingen) yang disusun tanpa dasar hukum dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi yang memerintahkan pembentukannya (regelingen die
niet op grond van een hoger wettelijke voorschrift worden vastgesteld).

Peraturan “Mengikat Umum”

Selanjutnya dalam aspek lain Van der Vlies[3] menerangkan bahwa pembentuk undang-
undang dan pemerintah dapat menyusun suatu peraturan tertulis yang mengikat umum
(algemeen verbindende voorschriften) sesuai dengan ketentuan dengan Undang-Undang
Dasar (Grondwet).[4] Mengenai menteri, masih diperdebatkan apakah dapat mengumumkan
peraturan yang mengikat orang banyak. Karena itu, peraturan yang dikeluarkan oleh menteri
tanpa kekuasaan yang diberikan undang-undang untuk membuat peraturan (tertentu) tidaklah
disebut sebagai peraturan tertulis yang mengikat umum, melainkan disebut “beleidsregels”
(peraturan kebijakan). Perbedaan terminologi harus memperlihatkan bahwa kekuatan
mengikat dari peraturan kebijakan itu berbeda dan tidak berlaku untuk semua peristiwa, tidak
seperti peraturan yang mengikat umum. Suatu peraturan dikatakan sebagai (peraturan) umum
jika peraturan itu berlaku ke luar bagi mereka yang tercakup oleh peraturan itu. Untuk itu
cukup memadai bahwa isi peraturan pelaksana itu mengatur peristiwa yang dapat diulang dan
tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu (geindividieliseerde personen), tanpa
memandang apakah orang-orang itu dikenal atau tidak dikenal oleh si pembuat peraturan.

Hakim dapat menyatakan suatu peraturan sebagai takmengikat karena peraturan itu
bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Peraturan tersebut pada dasarnya memang
suatu peraturan yang mengikat umum. Jadi tidak semua peraturan hukum dapat dianggap
sebagai peraturan mengikat umum. Peraturan yang hanya berlaku di dalam organisasi interen
pemerintah, misalnya, tidak dianggap sebagai peraturan yang mengikat umum.

Jika suatu peraturan hanya berlaku ke dalam, peraturan itu takmengikat dalam arti seperti
yang dimaksudkan dalam istilah “peraturan yang mengikat umum”. Peraturan itu khususnya
tidak mengikat organ lain di luar organ yang mengeluarkannya, dan peraturan itu pun tidak
memberikan hak orang atau badan hukum. Syarat bahwa suatu peraturan yang mengikat
harus ditujukan ke luar, dapat ditafsirkan bermacam-macam. Buijs menyebut peraturan yang
berlaku ke luar sebagai peraturan yang memuat ketentuan yang memiliki sifat keumuman,
langsung, serta segera melibatkan masyarakat (… regels extern werkend die een regeling
behelsden die het karakter van algemeenheid droegen en waarbij het publiek rechtsreek en
onmiddelijk was betrokken)

Dari uraian di atas secara teoritik dapat dipahami adanya “peraturan lain” di luar hierarki dan
non-hierarki (berdasarkan UU 10/2004, Pasal 7) yang sebenarnya juga muncul dalam
pelaksanaan tugas pemerintahan sehari-hari.

Tugas Pemerintahan

Dalam bahasan hukum administrasi negara[5] terdapat konsep cakupan tugas pemerintahan
yang berkembang menurut proses kausalitas dari bentuk-bentuk negara tertentu. Dengan
mengutip pendapat Sondang P. Siagian mengenai peranan dan fungsi yang berbeda bagi
pemerintahan, Marbun & Mahfud MD menguraikan tiga bentuk negara sebagai berikut:[6]

- bentuk political state, yang menegaskan kekuasaan berada ditangan raja (teori monarkhi
absolut)

- bentuk legal state, yang menentukan bahwa pemerintah hanya sebagai pelaksana peraturan).
Pemikiran ini berdasarkan teori pemisahan kekuasaan oleh John Locke (1632 – 1704)[7] dan
Montesquieu[8] (1689 – 1755). Negara hanya menjadi wasit dan melaksanakan berbagai
keinginan masyarakat yang telah disepakati bersama melalui pemilihan atas berbagai
alternatif yang diputuskan negara secara demokratis-liberal;

- bentuk welfare state, yang menentukan bahwa tugas pemerintah diperluas untuk menjamin
kesejahteraan umum dengan memberikan discretionary power dan freies Ermessen) kepada
pemerintah. Ini berarti bahwa pemerintah diserahi tugas bestuurzorg yaitu penyelenggaraan
kesejahteraan umum.
Dari tiga alternatif bentuk negara di atas, terlihat bahwa konsep “tria politika” berpengaruh
terhadap UUD 1945, namun bentuk negara yang dirancang oleh para founding
fathers tidaklah menganut sepenuhnya teori tersebut, dalam arti pemisahan kekuasaan,
sehingga memiliki kekhasan sistem ketatanegaraan Indonesia.[9] Dengan mencermati alinea
dalam pembukaan UUD1945, dapat dipahami tujuan pembentukan pemerintah Indonesia
antara lain adalah “memajukan kesejahteraan umum”, mirip sekali dengan bentuk ketiga
(walfare state), sebagai dasar pemberian kewenangan diskresi yang lebih luas kepada
Pemerintah.

Peraturan-peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregels, Policy Rules)

Salah satu topik bahasan di kalangan ahli hukum administrasi adalah tentang sarana tata
usaha negara yang digunakan oleh pemerintahan dalam menyelenggarakan urusan umum
pemerintahan. Selain dari dari sarana berupa keputusan tata usaha negara (beschikking),
sarana tata usaha negara lainnya adalah dalam bentuk:

1. Peraturan perundang-undangan dan keputusan tata usaha negara yang memuat pengaturan
yang bersifat umum;
2. Peraturan-peraturan kebijaksanaan (beleidsregels);
3. Rencana (het plan);
4. Penggunaan sarana hukum keperdataan; dan
5. Perbuatan materiil (feitelijke handelingan).

Peraturan kebijaksanaan terkait dengan pelaksanaan pemerintahan sehari-hari yang


menunjukkan betapa badan atau pejabat tata usaha negara acapkali menempuh pelbagai
langkah kebijaksanaan tertentu, antara lain menciptakan apa yang kini sering dinamakan
peraturan kebijaksanaan (beleidsregels, policy rule). Produk semacam peraturan
kebijaksanaan ini tidak terlepas dari kaitan penggunaan freies Ermessen, yaitu, badan atau
pejabat tata usaha negara yang bersangkutan merumuskan kebijaksanaannya itu dalam
pelbagai bentuk “juridische regels”, seperti halnya peraturan, pedoman, pengumuman, surat
edaran, dan mengumumkan kebijaksanaan itu.[10]

Suatu peraturan kebijaksanaan pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha
negara yang bersifat “naar buiten gebracht schriftelijk beleid” (menampakkan keluar suatu
kebijakan tertulis) namun tanpa disertai kewenangan pembuatan peraturan dari badan atau
pejabat tata usaha negara yang menciptakan peraturan kebijaksanaan tersebut. Peraturan-
peraturan kebijaksanaan tersebut dimaksud pada kenyataannya telah merupakan bagian dari
kegiatan pemerintahan (bestuuren) dewasa ini.

Pada tahun-tahun terakhir, peraturan-peraturan kebijaksanaan telah mengambil tempat yang


makin lama makin penting di dalam hukum administrasi Belanda. Peraturan-peraturan
kebijaksanaan juga ditandai dengan sebutan pseudo-wetgeving (perundang-undangan semu).

Kewenangan berdasarkan freies Ermessen

Untuk melaksanakan tugas menyelenggarakan kesejahteraan umum, pemerintah diberi


juga freies Ermessen yaitu kewenangan yang sah untuk turut campur dalam kegiatan
melaksanakan tugas-tugas menyelenggarakan kepentingan umum, seperti: memberi izin,
melakukan pencabutan hak (onteigening), mendirikan rumah sakit, sekolah, perusahaan, dan
sebagainya.

Tercakup pula dalam pengertian freies Ermessen membuat peraturan tentang hal-hal yang
belum ada pengaturannya, atau mengimplementasikan peraturan yang ada sesuai dengan
kenyataan. Pencakupan demikian disebut discretionary power.[11]

Freies berasal dari kata frei yang berarti bebas, lepas, tidak terikat dan
merdeka. Freies artinya orang yang bebas, tidak terikat, dan merdeka. Sementara
itu Ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan. Freies
Ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan menilai, menduga, dan mempertimbangkan
sesuatu.

Istilah ini kemudian secara khusus digunakan di bidang [emerointahan, sehingga freies
Ermessen (diskresioner) diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang gerak
bagoi pejabat atau badan-badan administrasi Negara untuk melakukan tindakan tanpa terikat
sepenuhnya pada undang-undang.[12]

Meskipun terdapat peluang melaksanakan tugas pemerintahan secara bebasss tanpa terikat
sepenuhnya pada undang-undang, namun dalam kerangka Negara hukum harus dipahami
bahwa unsure-unsur freies Ermessen dalam Negara adalah sebagai berikut:[13]

1. ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis public;


2. merupakan sikap tindak yang aktif dari administrrasi Negara;
3. sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum;
4. sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri;
5. sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang timbul
secara tiba-tiba.

Menurut E. Utrecht, seperti dikutip SF Marbun dan Mahfud MD, implikasi di bidang
perundang-undangan yang dapat dimiliki pemerintah berdasarkan freies Ermessen adalah:

- kewenangan atas inistiatif sendiri untuk membuat peraturan perundang-undangan yang


setingkat dengan undang-undang tanpa meminta persetujuan parlemen terlebih dahulu (Pasal
22 UUD 1945);

- kewenangan karena delegasi perundang-undangan dari UUD 1945, yaitu kewenangan


membuat peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih rendah dari undang-undang
dan yang berisi masalah-masalah untuk mengatur ketentuan-ketentuan yang ada di dalam
undang-undang (Pasal 5 ayat (2) UUD 1945);

- droit function yaitu kekuasaan untuk menafsirkan (baik memperluas maupun


mempersempit) sendiri mengenai ketentuan-ketentuan yang bersifat enunsiatif.

Untuk melaksanakan tiga bentuk kewenangan berdasarkan freies Ermessen pemerintah


dilarang berbuat sewenang-wenang. Pemerintah dilarang melakukan tindakan-tindakan yang
bersifat detournement de pouvoir (melakukan sesuatu di luar tujuan kewenangan yang
diberikan) atau disebut juga onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan melawan hukum oleh
pemerintah). Sebab setiap perbuatan pemerintah yang merugikan warganya
karena detournement de pouvoir atau onrechtmatige overheidsdaad dapat dituntut di muka
hakim baik melalui peradilan administrasi negara maupun melalui peradilan umum.[14]

Pengertian Legislasi Semu

Kamus Hukum Bahasa Belanda istilah Pseudowetgeving (legislasi semu) berarti regelstelling
door een betrokken bestuursorgaan zonder dat dit op grond van een uitdrukkelijke wettelijke
bepaling die bevoegdheid bezit.[15] (Perundang-undangan semu adalah tata aturan oleh
organ pemerintahan yang terkait tanpa memiliki dasar ketentuan undang-undang yang secara
tegas memberikan kewenangan kepada organ tersebut).

Definisi di atas memberikan pengertian bahwa legislasi semu mengandung beberapa unsur,
yaitu:
 legislasi merupakan tata aturan (regelstelleing), yang berarti tampak dari luar seolah-olah dia
adalah tata aturan biasa seperti halnya dengan peraturan perundang-undangan yang dikenal
jenis, bentuk dan tata urutannya. Disebut “legislasi semu” karena menyerupai peraturan
perundang-undangan, namun sebenarnya bukan perundang-undangan;
 Legislasi semu dibuat oleh organ pemerintahan yang bersangkutan (betrokken
bestuursorgaan), yang berarti legislasi semu dibentuk, diterbitkan atau dibuat oleh badan-
badan pemerintahan (badan tata usaha negara) baik di tingkat pusat maupun daerah, yang
menyelenggarakan tugas umum pemerintahan;
 Legislasi semu tidak berdasarkan kepada suatu ketentuan perundang-undangan yang secara
tegas (uitdrukkelijke bepalingen) memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk
membentuk atau menerbitkannya. Ini berarti legislasi semu tidak perlu menyebutkan dasar
pertimbangan yang secara tegas (eksplisit) memerintahkan pembentukan legislasi tersebut.
Pemberian kewenangan mengeluarkan legislasi semu (aturan kebijakan tersebut) merupakan
doktrin dalam hukum tata pemerintahan (bestuursrechtelijke doctrine) yang menegaskan
bahwa suatu organ pemerintahan dibolehkan memiliki kewenangan secara implicit (inplicite
bevoegdheid) untuk menyusun aturan kebijakan (beleidsregels) dalam rangka menjalankan
tugas umum pemerintahan.

Perbandingan dengan Peraturan Perundang-undangan

Selanjutnya untuk memahami masalah tersebut perlu dibandingkan dengan pengertian


peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam UU 10/2004 yang menyatakan
bahwa “peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.”[16]

Bagaimana sifat dari suatu aturan tertulis? Dalam membahas tentang pengertian undang-
undang (wet) sebagai salah satu bentuk peraturan tertulis, P.J. Boon menyebutkan bahwa di
Negeri Belanda, suatu undang-undang harus memenuhi 3 unsur, yaitu:[17]

 Undang-undang mengatur sesuatu hal yang bersifat umum (algemenheid), yaitu suatu
norma yang berlaku secara umum;
 Undang-undang mempunyai kekuatan mengikat keluar (externe werking), yaitu setelah
melalui proses pengumuman (bekendmaking);
 Suatu undang-undang dibentuk apabila pembentuk undang-undang memiliki kewenangan
berdasarkan undang-undang yang secara tegas memberikan kewenangan untuk
membentuknya (uitdrukkelijke wettelijke grondslag).

Dasar Kewenangan Legislasi Semu

Sebuah pemikiran baru yang terkait mengenai hal ini muncul pada bulan September 2005.
Jimly Asshiddiqie, Guru Besar UI dan Ketua Mahkamah Konstitusi, menerbitkan buku
mengenai format kelembagaan negara dan pergeseran kekuasaan dalam UUD 1945. Tulisan
tersebut juga menyinggung masalah pejabat eksekutif dan peraturan perundang-undangan.

Dalam tulisan tersebut Prof. Jimly berpendapat bahwa sebagai aparat pelaksana, pada
pokoknya, para pejabat Pemerintah hanya berfungsi sebagai pelaksana peraturan perundang-
undangan produk DPR. Memang benar bahwa setiap pemerintah perlu diberikan hak untuk
mengatur (pouvoir reglementair), yaitu melalui apa yang disebut dengan
“beleidsregels” atau “policy rules” di luar bentuk undang-undang yang dihasilkan oleh
parlemen. Namun, policy rules itu hendaknya tetap dibuat atas dasar perintah ataupun kuasa
UU. Karena itu, perlu dibedakan antara materi-materi policy rules” seperti ini dengan materi
dengan materi yang seharusnya dibentuk dalam undang-undang, tetapi karena keadaan tidak
memungkinkan terpaksa dibuat dalam bentuk peraturan di bawah tingkat undang-undang.
Bentuk peraturan ini selama ini disebut Peraturan Pemerintah yang berfungsi sebagai
pengganti undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.[18]

Menurut Jimly Asshiddiqie pula, ilmu hukum tata negara mengenal adanya prinsip freies
Ermessen atau kebebasan bagi pemerintah untuk memiliki ruang gerak yang leluasa dalam
usahanya mencapai tujuan pemerintahan. Prinsip inilah yang selama ini dipakai untuk
memberikan justifikasi kepada Presiden dalam membuat keputusan-keputusan yang bersifat
mandiri, terlepas dari perintah undang-undang. Atas jalan pikiran ini, wewenang Pemerintah
untuk menetapkan policy rules (beleidsregels) dibuat leluasa untuk mengatur segala sesuatu
yang belum ditentukan dalam undang-undang. Akibat samping dari adanya wewenang
demikian adalah bahwa proses pemerintahan secara mudah dapat dilakukan dengan
keputusan-keputusan Presiden saja. Makin otoriter karakter sistem kekuasaan yang
dikembangkan, makin banyak pula keputusan-keputusan tanpa didasarkan atas perintah
undang-undang yang cenderung ditetapkan.
Karena itu, Jimly mengusulkan kiranya prinsip freis Ermersen itu di masa depan hendaklah
dibatasi, baik dalam materinya maupun dalam prosedurnya. Pertama, materi yang dapat
diatur melalui policy rules yang didasarkan atas prinsip freies Ermessen itu hendaknya
dibedakan antara materi yang seharusnya dimuat dalam bentuk undang-undang, dan materi
yang seharusnya dimuat dalam bentuk peraturan di bawah undang-undang.

Kedua, nomenklatur yang dipakai untuk bentuk peraturan yang memuat materi yang
seharusnya dimuat dalam undang-undang itu adalah Peraturan Pemerintah atau yang dalam
ketentuan UUD 1945 yang lama disebut Peraturan Pemerintah Pengganti
UU. Ketiga, prosedur penetapannya dilakukan oleh Presiden dan segera setelah itu
dimintakan persetujuan DPR. Masa berlakunya Peraturan Pemerintah tersebut paling lama
adalah 1 tahun. Apabila dalam masa itu, tidak diperoleh persetujuan DPR, maka peraturan
tersebut tidak berlaku lagi karena hukum, meskipun tidak dicabut secara resmi oleh Presiden.

Keempat, selain bentuk peraturan pemerintah (sebagai pengganti undang-undang) tersebut


diatas, semua bentuk peraturan yang lain haruslah dibuat atas dasar perintah undang-undang
atau dalam rangka melaksanakan undang-undang. Para pejabat yang diberi hak untuk
mengeluarkan produk peraturan dimaksud harus dibatasi hanya pejabat yang menduduki
jabatan-jabatan yang bersifat politik, yaitu Presiden, Menteri atau Pejabat setingkat Menteri,
Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Desa. Agar konsisten, nomenklautr untuk semua
bentuk peraturan itu sebaiknya menggunakan sebutan “peraturan”, misalnya Peraturan
Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur Bank Indonesia dan sebagainya. Dengan
demikian pejabat administratif seperti Sekretaris Jenderal dan Direktur Jenderal tdak lagi
diperkenankan mengeluarkan peraturan untuk kepentingan publik atas nama jabatannya
sendiri. Semua bentuk dokumen pengaturan kepentingan publik harus dituangkan dalam
bentuk peraturan yang dikeluarkan oleh pejabat publik, dalam hal ini yaitu pejabat yang
menduduki jabatan yang bersifat politis (political appointment).

Dari uraian yang ditulis oleh guru besar tata negara tersebut terlihat bahwa wewenang
Pemerintah untuk menetapkan policy rules (beleidsregels) dibuat leluasa untuk mengatur
segala sesuatu yang belum ditentukan dalam undang-undang,. semua bentuk peraturan yang
lain haruslah dibuat atas dasar perintah undang-undang atau dalam rangka melaksanakan
undang-undang. Dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa legislasi semu juga harus dibuat
atas dasar perintah undang-undang atau dalam rangka melaksanakan undang-undang. Jika
pendapat ini diikuti maka legislasi semu kehilangan ciri pembedanya yang utama, yaitu
pembentukannya tidak mempunyai dasar hukum yang jelas.

Pandangan tersebut berbeda dengan pemikiran para ahli hukum administrasi pada umumnya
yang berpendapat bahwa legislasi semu tidak memerlukan dasar hukum yang secara tegas
memerintahkan pembentukannya.

Perbedaan Legislasi Semu dengan Peraturan Perundang-undangan

Aturan kebijakan (legislasi semu) bukan peraturan perundang-undangan. Badan yang


mengeluarkan peraturan kebijaksanaan adalah in casu tidak memiliki kewenangan pembuatan
peraturan (wetgevende bevoegdheid). Peraturan kebijaksanaan juga tidak mengikat hukum
secara langsung, namun mempunyai relevansi hukum. Peraturan kebijaksanaan memberi
peluang bagaimana suatu badan tata usaha negara menjalankan kewenangan pemerintahan
(beschikkingsbevoegdheid). Hal tersebut dengan sendirinya harus dikaitkan dengan
kewenangan pemerintahan atas dasar penggunaan discretionaire karena jika tidak demikian,
tidak ada tempat bagi peraturan kebijaksanaan.

Suatu terobosan di lapangan yang mempunyai relevansi hukum pada peraturan kebijaksanaan
terjadi pada tahun 1970 (HR, 07-01-1970). Arrest Resolusi Pajak, AB 1970, hal. 130). Hal ini
berkaitan dengan suatu pedoman di dalam surat edaran Menteri Keuangan yang tertuju pada
pemeriksaan-pemeriksaan pajak. Surat edaran ini, dengan sepengatahuan departemen,
diumumkan oleh penerbit swasta. HR menentukan warga yang bersangkutan sejak semula
berpendapat bahwa inspektur pajak akan menerapkan surat edaran tersebut. Tidak
diterapkannya surat edaran dimaksud akan bertentangan dengan asas pemerintahan yang
layak, yakni asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel). Karena itu, orang tidak memandang
perlunya suatu pengujian langsung terhadap surat edaran, sebagaimana jika hal dimaksud
terjadi bagi peraturan perundang-undangan, tetapi dengan pengujian yang tidak langsung
melalui asas kepercayaan.

Suatu aspek khusus dalam kasus ini adalah bahwa badan berwenang yang ditunjuk berbeda
dengan badan yang menetapkan surat edaran. Inspektur pajak sesungguhnya menurut hirarkis
pegawai adalah bawahan menteri. Menteri dapat setiap saat memberi petunjuk kepad
inspektur pajak. Hal ini dapat pula ditangani berdasar asas kepercayaan karena warga yang
bersangkutan boleh saja percaya bahwa inspektur pajak akan mematui surat edaran menteri
dan jika tidak dimungkinkan demikian, maka menteri akan memerintahaknnya pada inspektur
pajak.
Di Negeri Belanda – berdasarkan suatu putusan Mahkamah Agung tanggal 6 Juni 1980 -
suatu peraturan tertulis yang diterbitkan oleh menteri yang mengatur tentang tunjangan yang
diberikan kepada mahasiswa di perguruan tinggi negeri (rijksstudietoelagen) termasuk salah
satu dari bentuk aturan kebijakan/legislasi semu, karena peraturan seperti itu tidak memiliki
dasar hukum.[19]

Suatu perbedaan hukum lain yang penting antara peraturan perundang-undangan dengan
peraturan kebijaksanaan, adalah bahwa peraturan kebijaksanaan mengandung suatu syarat
pengetahuan yang tidak tertulis (aangeschreven harheidsclausule). Ini berarti bahwa
manakala terdapat keadaan khusus yang mendesak, maka badan tata usaha negara – di dalam
hal yang sifatnya individual – harus menyimpang dari peraturan kebijaksanaan guna
kemaslahatan warga. Hal ini disebabkan karena tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan, maka badan tata usaha negara berdasar ketentuan peraturan kebijaksanaan sendiri,
tidak dapt meniadakan kewenangan di dalam hal yang menyimpang dari garis kebijaksanaan.
Tata usaha negara pada setiap kasus harus menanyakan sendiri apakah tidak terdapat
keadaan-keadaan khusus.

Suatu perbedaan hukum lagi ialah bahwa peraturan perundang-undangan termasuk bidang
hukum dan karena itu dapat diuji dalam kasasi, sedangkan peraturan kebijaksanaan termasuk
dunia fakta dan karena itu tidak dapat berperan dalam kasasi.

Adanya peraturan kebijaksanaan di Indonesia dapat dilihat pada pelbagai keputusan, surat
edaran, surat edaran bersama, dan lain-lain, yang dibuat oleh badan atau pejabat tata usaha
negara. Hanya saja produk peraturan kebijaksanaan sedemikian masih belum secara sadar
diberlakukan sebagai “peraturan kebijaksanaan” mengingat ketiadaan wewenang pembuatan
dari badan atau pejabat tata usaha negara yang membuat peraturan kebijaksanaan itu
kadangkala masih dilihat dari sudut ukuran pendekatan hukum (rechtmatigheid). Hal
dimaksud mengakibatkan bahwa suatu peraturan kebijaksaan adakalanya dinilai sebagai
produk perbuatan penguasa yang melanggar hukum.

Sebagai contoh pengalihan status kayu-kayu hitam (ebony logs) eks tebangan lama di
kawasan hutan Sulawesi Tengah menjadi kayu milik negara sebagaimana ditetapkan pada
Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Penguasahaan Hutan, Nomor 114/Kpts/IV-Tlb/1988
tentang Batas Waktu Penurunan Kayu Ebony Eks Tebangan Lama di dalam Areal HPH,
tanggal 29 Februari 1988, adalah satu contoh aturan kebijaksanaan. Disyaratkan bahwa
semua kayu ebony hitam (ebony logs) itu dinyatakan menjadi milik negara. Surat Keputusan
Dirjen Penguasaan Hutan dimaksud menyatakan tidak berlakunya Surat Keputusan Dirjen
Pengusahaan Hutan sebelumnya, yaitu tanggal 8 Februari 1986, Nomor 038/Kpts/IV/1986
yang menetapkan bahwa semua kayu hitam (ebony logs) yang berada pada areal HPH (dan
setelah melalui batas tertentu belum diturunkan oleh pemiliknya) diberikan kepada pemegang
HPH yang bersangkutan guna dimanfaatkan. Tidak tepat jika SK Dirjen Pengusahaan Hutan
tanggal 29 Februari 1988 Nomor 144/Kpts/IV-Tlb/1088 itu dipandang telah memuat
kewenangan pencabutan hak atas benda-benda bergerak (yang harus diatur atas dasar
undang-undang) mengingat hal tersebut pada kenyataannya merupakan rangkaian dari
kebijaksanaan pengaturan kayu hitam (ebony logs) yang harus segera diturunkan guna diolah
(a.l. di “dolken) dan dipasarkan.

Peran Legislasi Semu dalam Penyelengaraan Pemerintahan

Legislasi semu memainkan peran penting dalam birokrasi pemerintahan dimanapun di dunia
ini, termasuk di Indonesia. Legislasi semu salah satu bentuk dari instrumen hukum publik
yang digunakan oleh pemerintah untuk menjalankan tugas-tugas umum pemerintahan.

Pertimbangan untuk membentuk legislasi semu haruslah benar-benar cermat karena keadaan
mendesak yang mengharuskan pemerintah segera mengeluarkan sebuah legislasi (aturan),
karena tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat dipakai oleh pemerintah sebagai
dasar perbuatan hukum pemerintah yang hendak dilakukan (ingat asas legalitas!).

Meskipun dasar penerbitan legislasi semu adalah kewenangan diskresioner (discretionary


power) atau freies Ermessen, namun tidaklah berarti kewenangan tersebut dapat digunakan
seenaknya. Dengan demikian :

 Substansi legislasi semu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;


 Legislasi semu dibentuk dalam keadaan mendesak, karena pemerintah memerlukan suatu
peraturan untuk menjalankan tugas umum pemerintahan;
 Legislasi semu dapat dipertanggungjawabkan secara etika dan moral

Sebagai contoh dari substansi legislasi semu dapat disebutkan hal-hal sebagai berikut:

1. Direktur Jenderal Imigrasi mengeluarkan pengumuman bagi calon mahasiswa Akademi


Keimigrasian tentang salah satu syarat bahwa calon mahasiswa tinggi badannya paling
kurang 165 cm.
2. Menteri Hukum dan HAM menetapkan bahwa seorang pegawai negeri berusia 55 tahun
tidak dapat dipromosikan lagi dari eselon III untuk menduduki jabatan eselon II B dan II
A.
3. Menteri Hukum dan HAM mengharuskan calon pejabat yang akan menduduki jabatan
eselon II A harus pernah bertugas di daerah;
4. Menteri Hukum dan HAM menetapkan klasifikasi lembaga pemasyarakatan
5. Menteri Pendidikan Nasional menetapkan berbagai persyaratan terhadap calon mahasiswa
yang akan memasuki perguruan tinggi (misalnya lulus Ujian Masuk Bersama).
6. Kapolri memerintahkan kepada segenap jajaran polisi untuk melakukan pemeriksaan
terhadap pawai peserta unjuk rasa dan menindak mereka yang membawa senjata tajam,
dan melarang pawai diadakan di lokasi yang berdekatan dengan kawasan vital (istana,
gedung DPR/DPRD, dan lain-lain).

Ciri-ciri Legislasi Semua (Peraturan Kebijaksanaan)

Menurut Bagir Manan, seperti dikutip oleh Ridwan HR, peraturan kebijaksanaan (legfislasi
semu) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:[20]

1. Peraturan kebijaksanaan bukan merupakan peraturan perundang-undangan;


2. Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tidak dapat
diberlakukan pada peraturan kebijaksanaan;
3. Peraturan kebijaksanaan tidak dapat diuji secara wetmatigheid, karena memang tiodak
ada dasar peraturan perundang-undangan untukmembuat keputusan peraturan
kebijaksanaan tersebut;
4. Peraturan kebijaksanaan dibuat berdasarkan freies Ermessen dan ketiadaan wewenang
administrasi bersangkutan membuat peraturan perundang-undangan;
5. Pengujian terhadap peratruran kebijaksanaan lebih diserahkan
kepada doelmatigheid sehingga batu ujinya adalah asas-asas umum pemerintahan yang
layak;
6. Dalam praktik diberi format dalam berbagai bentuk dan jenis aturan, yakni keputusan,
instruksi, surat edaran, pengumuman, dan lain-lain, bahkan dapat dijumpai dalam bentuk
peraturan.

Bentuk-bentuk Legislasi Semu


Dalam praktek pemerintahan sehari-hari legislasi semu dapat diterbitkan oleh semua badan
atau organ pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Umumnya format dan
nomenklatur yang dipakai untuk legislasi semu berbeda dengan peraturan perundang-
undangan, walaupun dapat pula dijumpai substansi legislasi semu dituangkan dalam format
perundang-undangan.

Tidak ada suatu format baku yang digunakan dalam pembentukan legislasi semu. Beberapa
contoh yang populer legislasi semu dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Surat Edaran (SE), biasanya digunakan oleh seorang pejabat (menteri atau direktur
jenderal) untuk memberitahukan kepada jajaran di bawahnya mengenai suatu kebijakan yang
harus dilaksanakan yang berkaitan dengan pelayanan publik. Di lingkungan perpajakan
(sebelum lahirnya UU Ketentuan Umum Perpajakan yang baru) banyak terdapat Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak, yang mengatur berbagai persoalan teknis perpajakan.
Demikian pula di lingkungan Departemen Hukum dan HAM, dapat dikemukakan adanya
Surat Edaran Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum yang mengatur tentang tata cara
pendaftaran fidusia sebagai pedoman bagi Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM
dalam memberikan pelayanan publik mengenai pendaftaran akta jaminan fidusia.

2. Petunjuk Pelaksana, yang dikeluarkan oleh pejabat sebagai pedoman bagi bawahan untuk
melaksanakan peraturan tertentu yang termasuk dalam tugas pokok dan fungsinya.

3. Petunjuk Operasional atau Petunjuuk Teknis yang memuat berbagai cara teknis
adminstratif dan operasional mengenai tugas tertentu.

4. Instruksi yang dikeluarkan oleh pimpinan yang bersifat perintah untuk menjalankan tugas
tertentu.

5. Pengumuman, yang antara lain berisi informasi yang diperlukan bagi masyarakat yang
berkepentingan mengenai suatu pelayanan publik yang disediakan oleh instansi pemerintah.

Legislasi Semu di Bidang Perpajakan

Pajak dan pungutan lain menurut Undang-Undang Dasr 19454 Pasal 23 harus diatur dengan
undang-undang. Ini berarti bahwa:

- ketentuan mengenai pajak dan pungutan lain (penerimaan negara bukan pajak, retribusi dan
pajak daerah) hanya dapat diatur dengan undang-undang;
- Undang-undang di bidang perpajakan dapat mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan menteri.

- Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2008 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, rincian pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan undang-undang tersebut diatur
dengan peraturan daerah.

Berdasrkan pendelegasian kewenangan (delegation of authority), Menteri Keuangan


mengatur hal-hal teknis operasional yang diperlukan dalam rangka menjalankan ketentuan
undang-undang di bidang perpajakan. Menteri tidak dapat mendelegasikan lagi kewenangan
mengatur tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak, karena “peraturan direktur jenderal”
bukan merupakan peraturan perundang-undangan berdasrkan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Di luar jenis peraturan perundang-undangan yang bersifat hierarkis (UU 10/2004 Pasal 7 ayat
(1) dan non-hierarkis (UU 10/2004 ayaqrt (4), berdasarkan uraian di atas Menteri Keuangan
dan Direktrur Jenderal dapat menerbitkan berbagai instrumen pemerintahan dalam bentuk
legislasi semu (peraturan kebijakan), yang diperlukan untuk menjalankan peraturan di bidang
perpajakan.

Penerbitan legislasi semu harus dengan pertimbangan cermat dan hati-hati, antara lain hanya
dapat diterbitkan jika tidak terdapat dasar hukum yang memberikan kewenangan kepada
Menteri atau Dirjen Pajak untuk melakukan perbuatan pemerintahan yang diperlukan untuk
menjalankan kewajibannya.

Freeies Ermessen tidak boleh disalahdigunakan dan harus yakin bahwa substansi legislasi
semua (misalnya surat edaran) tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Penutup

Demikian beberapa catatan mengenai legislasi semu sebagai bahan untuk didiskusikan lebih
lanjut.

Daftar Pustaka

[1] Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, (Lemma, 1988), hal. 36 –
37).

[2] Ibid, hal. 56 - 59


[3] Mr. I.C. van der Vlies, Handboek Wetgeving, Tjeenk Willink, Zwolle, 1987, hal. 126 -
153

[4] Bandingkan UUD 1945, Pasal 5 ayat (2): “ Presiden menetapkan peraturan pemerintah
untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.

[5] E. Utrecht memberikan definisi tentang administrasi negara sebagai “complex


ambten/apparaat” atau gabungan jabatan-jabatan administrasi yang berada di bawah
pimpinan Pemerintah melaksanakan tugas yang tidak ditugaskan kepada badan-badan
Pengadilan dan Legislatif. Maka hukum administrasi negara atau hukum tata usaha negara
mempunyai obyek mengenai: (i) sebagian hukum mengenai hubungan hukum antara alat
perlengkapan negara yang satu dengan alat perlengkapan negara yang lain; (ii) sebagian
aturan mengenai hubungan hukum antara perlengkapan negara dengan perseorangan/privaat,
dan juga perhubungan hukum istimewa yang diadakan sehingga memungkinkan para pejabat
negara melakukan tugasnya yang istimewa (tugas yang tidak dapat dilaksanakan oleh subyek
hukum lain yang dimaksudkan untuk menjamin kesejahteraan umum, yang dengan
memberikan kekuasaan istimewa itu agar semua penduduk dapat tunduk pada perintahnya,
sebab kalau menggunakan kekuasaan biasa (terutama dalam lapangan perdata) dimungkinkan
adanya penduduk yang tidak mau tunduk sehingga menghambat pelaksanaan tugas-tugas
administrasi negara. (lihat: SF. Marbun & Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum
Administrasi Negara, (Yogyakarta, Liberty: 2004), hal. 7 dan 9 – 10).

[6] SF Marbun & Mahfud MD, Ibid, hal. 41 – 45.

[7] Dalam bukunya Two Treaties on Civil Government, yang berpendapat bahwa kekuasaan
di dalam negara harus diserahkan kepada badan masing-masing yang berdiri sendiri, yaitu
kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-
undang atau pemerintahan) dan kekuasaan federatif (keamanan dan hubungan luar negeri).

[8] Dalam bukunya L’Espirit des Lois (Jiwa dari Undang-undang) yang membedakan
kekuasaan (fungsi) negara ke dalam kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif (mengadili
atas pelanggaran terhadap undang-undang). Teori tentang pemisahan kekuasaan itu kemudian
oleh Emmanuel Kant disebut “Trias Politika”.

[9] SF Marbun & Mahduf MD, Op cit, hal. 47 – 50. Sebelum perubahan UUD 1945,
Amirmachmud melihat bahwa poros-poros kekuasaan (dan fungsi)nya di Indonesia tidak
terbatas pada tiga poros melainkan lima poros yang kedudukannya sejajar, yaitu: legislatif,
eksekutif, yudikatif, konsultatif dan auditif. Fungsi konsultatif dipegang oleh Dewan
Pertimbangan Agung (yang sudah dihapus), sedangkan fungsi auditif dipegang oleh Badan
Pemeriksa Keuangan. Selain kelima poros itu masih ada satu lembaga yang mengatasinya
yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara.

[10] Philipus M. adjon et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta,


Gadjahmada University Press, 2002), hal. 153

[11] SF Marbun Mahfud MD, Op cit, hal. 45.

[12] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), hal. 177

[13] Ibid, hal 178

[14] Ibid, hal. 47

[15] Andreae’s Fockema, Juridisch Woordenboek, (Tjeenk Willink, 1985), 396

[16] Pasal 1angka 2 UU 10/2004

[17] P.J. Boon, Wetgeving in Nederland, hal. 95 - 96

[18] Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam
UUD 1945, (Yogyakarta, FH-UII Press, 2005), hal. 191.

[19] P.J. Boon, Op cit, hal. 95

[20] Ridwan HR, Op cit, hal. 186

Anda mungkin juga menyukai