Anda di halaman 1dari 20

111

Prosiding Simposium Nasional Hukum Tata Negara


Tema:
"Quo Vadis Lembaga Negara independen"

Yogyakarta, April 2022

Penerbit:
IiLAnt
%
a
0
2
t
1/1
I
8E± N&5
FH UII Press


1
Prosiding Simposium Nasional Hukum Tata Negara
Tema:
"Quo Vadis Lembaga Negara
independen"

Steering Committee
Dekan : Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H.
Ketua Jurusan : Dr. Muhammad Arif Setiawan, S.H., M.Hum.

Organizing Committee
Ketua : Dr. Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H.
Sekretaris : M. Syafi'ie, S.H., M.H.
Bendahara : Selly Rosalia Pertiwi, S.Pd
Anggota : Allan Fatchan Gani Wardhana, S.H., M.H.
Mirani Desi Ekawati, S.E.
M. Hasbi Ash Shidiki, S.Pd.I

Editor : Yustika Ardhany, S.H., M.H.


Mazdan Maftukha
Eka Detik

Reviewer : Allan Fatchan Gani Wardhana, S.H., M.H,


M. Syafi'ie, S.H., M.H.
Dr. Jamaludin Ghafur, SH., M.H.
Dr. Idul Rishan, S.H., L.LM.

Layout dan Cover Design : M Arief Satedjo Kinady, A.Md.


Heru Sudjanto, S.E.

Diterbitkan : April 2022


.. III
::- 4
Halaman V D/I

No. ISBN : 978-623-6407-14-1


No. E-ISBN : 978-623-6407-15-8 (PDF)

Penerbit: FH
UII Press
JIn. Kaliurang Km 14,5 Yogyakarta Indonesia
Phone: 0274-7070222
e-mail: penerbitan.fh@uii.ac.id

1
Proeiding 8imposlum Nasional Hukum Tata Negara
Quo Vadis L.embaga Negara Independen

KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum, Wr.Wb.
Segala puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmatNya
prosiding "Quo Vadis Lembaga Negara Independen' dapat diterbitkan.
Prosiding ini menghimpun karya ilmiah yang dipresentasikan dalam
Simposium Nasional Hukum Tata Negara, bertajuk "Quo Vadis Lembaga Negara
Independen' , yang diadakan oleh Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, pada bulan November 2021.
Dipilihnya topik "Quo Vadis Lembaga Negara Independen', bukan tanpa alasan.
Sebagaimana diketahui bahwa lembaga independen kini mewarnai
perkembangan struktur kelembagaan negara Republik Indonesia, terlebih sejak
Indonesia memasuki era reformasi. Lembaga yang juga dikenal sebagai state auxiliarty
organs atau lembaga negara penunjang, keberadaannya tidak berada di bawah kekuasaan
legislatif, ekekutif dan yudikatif, juga bukan lembaga swasta seperti NGO (non
government organization), namun keberadaannya telah diatur dalam perundang-
undangan, termasuk dalam UUD Negara RI Tahun 1945. Keunikan lembaga ini antara
lain: anggotanya ada yang berasal dari unsur masyarakat, diberi kekuasaan oleh negara
untuk melaksanakan tugas tertentu dan mengawasi tanggungjawab negara pada
bidang tertentu pula, kelembagaannya dibiayai oleh negara, serta status anggotanya
tidak harus menjadi pegawai negara.
Di Indonesia, lembaga negara independen cukup banyak, antara lain : Komisi
Yudisial (KY), Komnas HAM, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Ombdusman,
Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI),
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Polisi Nasional, Komisi Kejaksaan, dan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Lembaga-lembaga negara independen tersebut
kerap mendapatkan resistensi dari institusi pemerintahan sendiri, baik itu hakim yang
khawatir
akan keberadaan Komisi Yudisial (KY), TNI, Polisi dan pemerintah yang
takut
pengawasan dari Komnas HAM, lembaga legislatif dan eksektuf yang takut akan
keberadaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan pelaku usaha yang takut akan
pengawasan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU).
Keberadaan lembaga independen dalam perjalanannya kerap terancam
kewenangannya melalui pelemahan yang dilakukan institusi lain, seperti institusi
legislatif dan eksekutif sendiri. Salah satu contoh mutakhir ialah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Institusi KPK awalnya terkatagori sebagai lembaga
negara independen. Resistensi terhadap KPK sangat kuat dari institusi legislatif,
eksekutif dan bahkan dari lembaga penegak hukum sendiri seperti kepolisian dan
kejaksaan. Institusi KPK kemudian dihabisi lewat UU No. 19 Tahun 2019 Tentang
Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada pasal 1 ayat (3)
dikatakan bahwa KPK ialah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif
yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Keberadaan beberapa lembaga independen seperti KY, Komnas HAM, BPK dan
dulu KPK seperti menjawab kegelisahan publik atas matinya pengawasan
tanggungjawab negara. Seiring perjalanan negara Indonesia, kini mucul begitu
banyak lembaga

■I■■
11I
Kata Pengantar

Independen, Di satu sisi negara terbantu dengan keberadaan lembaga independen, tetapi
pada sisi yang lain, beberapa lembaga negara independen seperti Komisi Kejaksaan,
Komisi Kepolisian Negara, dan Komisi Penyiaran tidak dirasakan keberadaannya
oleh publik. Lang negara seperti hanya dihambur-hamburkan untuk menopang
lembaga negara independen yang tidak jelas tugas dan kewenangannya.
Terbitnya prosiding ini tentu telah dinanti banyak pihak, termasuk peserta call
for paper, yang papernya lolos dan telah dipresentasikan. Panitia penyelenggara mohon
maaf yang sebesar-besarnya karena jarak antara pelaksanaan Simposium dengan
terbitnya prosiding ini memerlukan waktu beberapa bulan dikarenakan panitia harus
menyeleksi kembali paper yang telah masuk, menyerahkan kepada para reviewer
dan memberi kesempatan kepada penulis untuk memperbaiki papaernya, kemudian
dilakukan proses editing, lay out, desain dan pengurusan ISBN.
Akhir kata, terimakasih kepada Prof . Dr. Mohammad Mahfud MD .,
S.H.S.U.,
M,LP, yang telah memberikan keynote speech, kepada para pembicara dalam Simposium
: Prof. Ni'matul Huda, S.H M.Hum, Dr. Zainal Arifin Muchtar, S.H.,LL.M, Dr. Suparman
Marzuki S.H.M.SI, Ibu Sandryati Moniaga, Anang Zubaidy S.H.,M.H, Dr.
Jamaluddin Ghafur, S.H.,M.H., kepada para kontributor paper, dan segenap panitia
yang telah turut membantu terselenggaranya Simposium dan terbitnya prosiding ini.
Semoga prosiding ini dapat memperkaya pengetahuan di bidang Hukum Tata
Negara, dan Allah SWT merahmati kita semua. Aamin.
Wassalamu'alaikum, Wr.Wb
Yogyakarta, April 2022

Dekan Fakultas Hukum


Universitas Islam Indonesia

Dr. H. Abdul Jamil SH.,M.H.


1v
Proeiding 8imposlum Nasional Hukum Tata Negara
Quo Vadis L.embaga Negara Independen

DAFTAR ISi
Kata i>e:tl.,ga11.ta,1r ~..•...~..•..~•.~..•...~..•...~..•..~..~~..~..~..•...•..•..~..~..•...•..•...•..~..~..~~..~..•..~...•..~.•..~•..
V
Daftar lsi *~--~--~---~--~--~---~--~--~--~--~---~--~---~-~--~~--~--~--~---~--~--~--~--~~--~--~---~--~--~---~--~--~--~---~--~--~--~---
1. Quo Vadis Lembaga Negara Independen di Indonesia

2. Catatan Desain Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Implikasinya


terhadap Aceh dan Papua
N I H .A
•:I" 313
1 matu UL@ -~---~--~--~--~--~---~--~--~~--~--~--~---~--~--~---~-----~--~--~---~------~-----~--~~--~--~------~--~--~- .J

3. Latar Belakang Munculnya Lembaga Negara Independen dan Studi


Perbandingan Lembaga Negara Independen di Beberapa Negara
14-15
4. Idealita dan Realita Peran KY RI dalam Mewujudkan
Kekuasaan
Kehakiman yang Independen

5. Independensi Komnas HAM: Antara Realita dan Idealita

6. Eksistensi KPK di Indonesia

7. Memikirkan Kembali Keberadaan Lembaga KPU dan KPUD di Indonesia

8. Politik Hukum Pembentukan Lembaga Pemberantasan Korupsi yang


Independen dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Ahmad Gelora Mahardika, Addriana Della Nasution ...........•.........•..•....•.... 41-
52
9. Politik Hukum Penataan Lembaga Negara Independen dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia
Lidya Christina Wardhani dan Faizal Adi Surya............................................... 53-62
10. Urgensi dan Efektifitas Pembentukan Peradilan Khusus Pertanahan dalam
Upaya Penyelesaian Sengketa dan Konflik Pertanahan di Indonesia

11. Rethinking Komisi Nasional Disabilitas (KND): Kritik dan Idealita Lembaga
Negara Independen
..,..
M 1 1e •.a.- •ca. .a.. •.a.- .cl, •• .a:. ... •ca.• •.a.- •.a.- •.a..a.. •ca.- .cl, .. _ •.a.• •.a.• •.a.- •.a.- •*.a.- •.a.• •.a.• •.a.- .. •.a:.- •.a.• •ca.• .cl,. •.a..a.• ·"'- •.a.- •ca.-_ •.a.- •.a.•. iii,d:,iii,ti.<i-i,ii •.a.- •.a.- •••• ci,. 73-
84
, =io

Sya,f 1

12. Anomali Penguatan Kekuasaan Kehakiman dan Judicial Review UU Komisi


Yudisial

13. Peran Lembaga Negara Independen Pengawas ASN dalam Manajemen


ASN di Indonesia

14. Perkembangan dan Model Lembaga Pemerintah Berkarakter Quasi


Independent di Indonesia

15. Habitat Lembaga Negara Independen Pada Pemerintahan Demokratis


La Ode Muhaimin, La Ode Abdul Hamid, La Ode Bunga Ali ....................... 120-
130
v
16. Menimbang Ulang Urgensi Komisi Informasi dalam Perspektif Demokrasi
dan Islam

17. Politik Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara


Independen Dalam Bingkai Negara Hukum
Moza Dela Fudika, Ellydar Chaidir ....................................................................... 143-151
18. Pola Relasi Lembaga Negara Independen di Bidang Penegakan Hukum,
Penyelenggara Pemilu, dan Moneter/Keuangan
Yuniar Riza Hakiki, Muhammad Addi Fauzani ................................................. 152-164
19. Reformulasi Institusi Nasional Hak Asasi Manusia di Indonesia

20. Keberadaan Lembaga Negara Independen Dalam Sistem Ketatanegaraan di


Indonesia

21. Sunlight is the Best Disinfectant: Sepuluh Tahun Komisi Informasi di


Indonesia

198-206
23. Pola Hubungan Kelembagaan dan Urgensi Check & Balances
Komisi
Pemberantasan Korupsi dan Ombudsman Republik Indonesia 207-217
Allan Fatchan Gani Wardhana, Aprillia Wahyuningsih
....................................
24. Menggagas Pembentukan Komisi Perlindungan Data Pribadi (Studi
Komisi Perlindungan Informasi Pribadi di Korea Selatan dan Peluang
Formulasinya di Indonesia)
Anang Zubaidy, Yustika Ardhany, Yuwan Zaghlul Ismail
.............................
25. Dinamika Kedudukan Lembaga Negara Independen dalam Pengujian
Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi (Studi terhadap kedudukan
Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi)
Retno Widiastuti, Ahmad Ilham
Wibow0............................................................
26. Urgensi Uniformitas Seleksi Pemilihan Komisioner Lembaga
Negara
Independen

27. Kedudukan dan Realita Ombudsman RI Sebagai Lembaga Independen di


Indonesia

28. Kekuasaan Presiden dalam Memberhentikan Pejabat Negara (Menguji teori


Unitary Executive)

29. Quo Vadis Lembaga Wali Nanggroe sebagai Lembaga Negara Independen
Muhammad Ridwansyah ....,_ -~- _ -~- _ _..,_ -~- _ -~- _..,_ .u u. -~- _ -~- 280-291
30. Potensi Maladministrasi dalam Penerimaan dan Penanganan Laporan
Masyarakat oleh Komisi Yudisial RI

VI
Proeiding 8imposlum Nasional Hukum Tata Negara
Quo Vadis L.embaga Negara Independen

31. Badan Riset dan Inovasi Nasional Antara Resep Mujarab Atau Pemenuhan
Hajat
Ricca Anggraeni, Indah Mutiara Sari ..................................................................... 304-311
32. Restrukturisasi Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai Lembaga
Independen dalam UUD 1945 sebagai Organ Konstitusi

33. The Legality of the Pre-Emptive SelfDefense on the Assassination Case of


Qassem
Soleimani 326-
3·'11'1iLi"l
34. Prospek Korporasi Sebagai Subjek Delik Dalam Undang-
Undang
Perbankan
Nur Muhammad Ichsan, Ari Wibowo.....-............................................................. 341-353
35. Pemenuhan Hak Bagi Penyandang Disabilitas Rungu Terhadap
Ketersediaan Penerjemah Bahasa Isyarat Dalam Kegiatan Peribadatan di
Kota Bandung (Studi Pada Rumah Ibadah di Kota Bandung)

36. Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana KDRT Selama


Masa Pandemi COVID-19 Di Wilayah Kabupaten Tangerang (Studi
Kasus Di Polresta Tangerang Polda Banten)

37. Praktik Perlindungan Anak Korban Kekerasan Seksual Oleh Pemerintah


Daerah (Studi Peran Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Anak &
Perempuan Kabupaten Sleman)
Ayu Apriliyanti Cahyaningrum, Eko Riyadi ........................................................ 386--404
38. Tanggung Jawab Pengurus Koperasi Berdasarkan Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Studi Kasus Pemberian Pinjaman
Kepada Bukan Anggota di Koperasi Simpan Pinjam Abadi Karya)
Bayhaqi Fajrus Salam, Siti Hapsah Isfardiyana .................................................... 405-
39. Tinjauan Hukum Pidana dan Kriminologi terhadap Tindak Pidana 421
Pembunuhan yang Dilakukan oleh Anak di Kota Semarang
Dhimi Setyo Arrivanissa, Aroma Elmina Martha ................................................ 422-437
40. Analisis Pertanggung Jawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana
Korupsi yang Dilakukan Secara Bersama-Sama (Studi Putusan Nomor
01/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Pgp)
Dwiky Aulia Rachmat, Fuadi lsnawan ................. _ _..,_ _ _ _ 438=447
41. Aksesibilitas Rekrutmen Pekerja Penyandang Disabilitas di Kecamatan
Campaka Kabupaten Purwakarta
Fajar Apriyantoro, Ayunita Nur Rohanawati ...................................................... 448-463
42. Tinjauan Yuridis Kebijakan Restrukrisasi Kredit Di Masa Pandemi Covid-19
(Studi Pada PT. BankNegara Indonesia (Persero) Tbk KCP. Bulaksumur)
Giffani Rahma Pinastika, Siti Anisah.................................................................... 464-477
43. Urgensi Kriminalisasi Pelaku Pelecehan Seksual Pada Aplikasi Kencan
Jihan Nurul Jamiila, Aroma Elmina Martha ......................................................... 478-496
44. Perlindungan Konsumen Muslim Terhadap Pemenuhan Hak Atas
Informasi Labelisasi Halal Pada Produk Makanan Ringan Kemasan
Muhammad Raisal Humam, Bagya Agung Prab0wo......................................... 497-511

.. ■

v
45. Penerapan Aturan Waktu Kerja Di Usaha Peternakan Ayam Di Kecamatan
Wonoboyo
Munhamma Faiz Tau iiqi, Ayunita NNur Rohanawati 5 12-

d ......................................... 529
46. Analisa Perjanjian Terhadap Kedudukan Anak Yang Dilahikran Oleh
Seorang "Surrogate Mother" Menurut Hukum Positif Di Indonesia
Sajida Mustofafi M, Karimatul Ummah ................................................................ 530-
538
47. Perlindungan Hukum Bagi Peminjam Atas Pengenaan Bunga Pinjaman
Yang Melebihi Ketentuan (Studi Terhadap Penyelenggaraan Fintech Peer to
Peer Lending di Indonesia)
Sheika Zulda Prajnadayinta, Inda Rahadiyan ...................................................... 539-554
48. Implementasi dan Konstruksi Ideal Pengaturan atas Limitasi Waktu dalam
Gugatan Sederhana
Zakaria Falyafil, Rizky Ramadhan Baried .......................................................... 555-571

■ ■l ■
vII
Anang Zubaidy
Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi di
Indonesia

Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi di


Indonesia
Anang Zubaidy'

Pengantar

Salah satu agenda penting dari reformasi tahun 1998 adalah pemberantasan
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pada saat gerakan reformasi digelorakan, agenda
penting tersebut dikenal dengan sebutan pemberantasan KKN. Dapat dikatakan bahwa
seluruh komponen bangsa Indonesia saat itu bersatu padu dalam gagasan yang sama
yakni Indonesia yang bersih dari KKN.
Untuk mendukung agenda pemberantasan korupsi, berbagai bagian penting
dalam rangka penegakan hukum direvisi dan disempurnakan. Tahun 1999, Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
diundangkan. Tak lama setelah itu, lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk dalam rangka
"menutup kekurangan" lembaga yang ada (kepolisian dan kejaksaan) dalam rangka
pemberantasan tindak pidana korupsi.
KPK diposisikan sebagai lembaga negara independen yang bebas dari
campur
tangan kekuasaan manapun. Independensi KPK diwujudkan dalam bentuk
kedudukannya yang bukan bagian dari lembaga eksekutif (layaknya kepolisian dan
kejaksaan) juga dalam tugas dan fungsinya.
Dalam perjalanannya, kehadiran KPK telah membuat tidak nyaman banyak
pihak.
Berbagai upaya dilakukan untuk mengusik dan mengganggu pelaksanaan tugas KPK
dalam pemberantasan korupsi. Peristiwa yang dulu dikenal dengan Cicak vs Buaya
hingga upaya untuk merevisi UU KPK terus dilakukan. Masyarakat senantiasa hadir
menjadi bagian dari KPK untuk melawan beragam upaya pelemahan terhadap KPK.
Belakangan, upaya itu berhasil dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor
19
Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Berbagai materi di dalam undang-undang yang dibahas dalam waktu kilat ini dinilai
melemahkan KPK atau setidaknya mengganggu independensi KPK. Salah satunya
adalah dengan menempatkan KPK sebagai bagian dari kelembagaan dalam rumpun
eksekutif.
Pembentukan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 ini memunculkan
pesimisme
publik akan independensi KPK. Lebih jauh dari itu, publik khawatir akan eksistensi
KPK
pasca revisi UU KPK.

Pembahasan

Sejarah Pengaturan Pemberantasan


Korupsi
Pemberantasan korupsi bukan berlangsung dari hari ini atau dari era reformasi,
melainkan sudah berlangsung sejak jauh sebelum reformasi bahkan sudah berjalan
saat orde lama. KPK hadir untuk pertama kali pada era orde lama yaitu tahun 1957
melalui

'Anang Zubaidy, S.H.,M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Email:
094100101@uii.ac.id

26
Prosiding Simposlum Nasional Hukum Tata Negara
Quo Vadis Lembaga Negara Independen

Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi.


Kemudian dilanjutkan dengan adanya UU No. 24/prp/1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, dan pada akhirnya diakhiri
dengan adanya UU No. 03 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
namun hal tersebut dirasa belum maksimal.
Dua dari beberapa tuntutan reformasi diantaranya adalah pemberantasan KKN
dan menciptakan tegaknya supremasi hukum. Dengan demikian, pada tahun 1999
dibentuk UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
kemudian diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31
Tahun 1999. Kemudian dilanjutkan dengan pembentukan KPK melalui UU No. 30
Tahun 2002 dan pembentukan pengadilan tentang tindak pidana korupsi pada tahun
2009.

Mengapa Harus
KPK?
Jawaban yang tepat untuk pertanyaan mengapa harus KPK yaitu karena salahsatu
diantara tuntutan reformasi ada dua tuntutan yang harus dijawab oleh sebuah lembaga
di luar lembaga yang mapan saat itu. Bangsa Indonesia menyepakati memberikan
nama lembaga dimaksud dengan nama KPK. Tuntutan reformasi yang dimaksud
adalah tegaknya supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih dari KKN.
Terdapat 3 (tiga) hal yang menjadi ratio legis pembentukan UU KPK No. 30 Tahun
2002, yakni: Pertama, pemberantasan tindak pidana korupsi belum optimal. Apa yang
sudah digaungkan seolah tidak ada gunanya karena memang penegak hukum adalah
bagian dari masalah pemberantasan korupsi. Kedua, lembaga pemerintah yang
menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien.
Ketiga, adanya amanat Pasal 43 UU No. 31 Tahun 1999 j0 UU No. 30 Tahun 2002 yaitu
untuk membentuk KPK yang bersifat independen.

KPK sebagai Lembaga Negara


Independen
Beberapa ciri agar suatu lembaga negara dapat dikategorikan sebagai
Lembaga Negara Independen (LNI) diantaranya: Pertama, kepemimpinan LNI
bersifat kolektif kolegial dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan apapun. Kedua,
pembentukan anggotanya hanya dapat dilakukan berdasarkan UU pembentukannya.
Ketiga, kepemimpinannya nonpartisan. Keempat, bebas dari campur tangan Presiden.
Prof. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa yang dimaksud dengan independensi
berkaitan dengan tiga hal, pertama yaitu independensi institusional atau struktural bahwa
kelembagaan independen harus keluar dari cabang-cabang kekuasaan apapun.
Kedua yaitu independensi fungsional yang berarti bebas menetapkan tujuan atau
kebijakan pokok dan bebas menetapkan instrumen kebijakan. Artinya tidak boleh
ada campur tangan kekuasaan manapun untuk mempengaruhi kebijakan LNL.
Ketiga yaitu independensi administrative yang dimaknai dengan independensi yang
berkaitan dengan keuangan dan personalia.
Jika menelaah UU No. 30 Tahun 2002 dalam kaitannya dengan
independensi institusional atau structural, ditemukan bahwa KPK merupakan lembaga
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (vide Pasal 3, Pasal 20, Pasal
29, Pasal 36, Pasal
37 UU 30/2002). Kemudian berkaitan dengan independensi fungsional maka
terdapat

27
Anang Zubaidy
Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi di
Indonesia

ketentuan mengenai koordinasi, supervisi, dan monitoring yang tercantum pada Pasal
3, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 UU No. 30 Tahun 2002. Terakhir,
berkaitan dengan independensi administratif yaitu perumusan kebijakan organisasi
dan pengangkatan pegawai, penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang tercantum
pada Pasal 25, Pasal 43, Pasal 45, Pasal 51 UU No. 30 Tahun 2002, sedangkan berkaitan
dengan kendali administrasi dijelaskan pada Pasal 27 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2002.
Dengan demikian, UU No. 30/2002 telah menyatakan secara jelas bahwa KPK
memenuhi unsur independen secara institusional atau struktural, fungsional, dan juga
administratif.
Beberapa tahun setelah diterbitkannya UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK
kemudian UU tersebut diujikan pada Mahkamah Konstitusi terutama kaitannya
dengan independensi. Pada Putusan MK No. 5/PUU-IX/2011 yang dikeluarkan pada
tanggal 20
Juni 2011 disampaikan bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewenangan secara
efektif,
KPK dituntut untuk bekerja secara profesional, independen, dan berkesinambungan.
Dalam hal ini putusan tersebut memiliki makna bahwa independensi dikaitkan dengan
fungsi. Kemudian menurut Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017 menyatakan bahwa KPK
adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang bersifat
independen dan bebas dari pengaruh, kekuasaan manapun. Berkaitan dengan
pengaruh kekuasaan manapun dipertegas dalam Putusan MK No. 012-016-019/PU U-
IV/2006 yang menyatakan bahwa penegasan tentang independensi dan bebasnya KPK
dari pengaruh kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
justru menjadi penting agar tidak terdapat keragu-raguan dalam diri pejabat KPK.
Sebab sesuai dengan ketentuan Pasal 11 UU KPK, pihak-pihak yang paling potensial
untuk diselidiki, disidik, atau dituntut oleh KPK karena tindak pidana korupsi
terutama adalah aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. dalam hal ini
makannya adalah independensi struktural.

KPK Era UU No. 19 Tahun 2019


KPK era UU No. 19 Tahun 2019 tidak lagi independen yang dapat dilihat pada
adanya ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 yaitu KPK sebagai
lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas
pencegahan dan pemberantasan korupsi. Kemudian, dalam Pasal 3 juga dijelaskan bahwa
KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun. Selanjutnya berkaitan dengan kepegawaian di KPK, dalam UU
tersebut juga dijelaskan bahwa pegawai KPK merupakan ASN (Pasal 24). Kemudian
terdapat Pasal 37E yang menyatakan bahwa ketua dan anggota dewan pengawas KPK
diangkat dan ditetapkan oleh Presiden.

Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pengujian UU


KPK
Pembentukan UU No. 19 Tahun 2019 mengalami polemik pada proses
pembentukannya. Kemudian hal ini menyebabkan adanya berbagai permohonan
judicial review di Mahkamah Konstitusi baik mengenai uji formil maupun uji materiil
UU KPK. Salah satu putusan MK yang berkaitan dengan UU KPK adalah
Putusan MK No.
70/PUU/XVII/2019 yang menyatakan sebagai
berikut:

28
Prosiding Simposlum Nasional Hukum Tata Negara
Quo Vadis Lembaga Negara Independen

1. MK menolak permohonan pengujian formil UU No. 19 Tahun 2019


2. Menyatakan Pasal 1 angka 3 UU KPK inkonstitusional bersyarat, sepanjang tidak
dimaknai "KPK sebagai lembaga negara dalam rumpun eksekutif yang dalam
melaksanakan tugas pemberantasan Tipikor bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun"
3. Menyatakan Pasal 12B, Pasal 37B ayat (1) huruf b, dan Pasal 47 ayat (2) UU KPK
bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat
4. Menyatakan frasa "dipertanggungjawabkan kepada Dewan Pengawas" dalam Pasal
12C ayat (2) UU KPK inkonstitusional bersyarat, sepanjang tidak dimaknai
" diberitahukan kepada Dewan Pengawas"
5. Menyatakan frasa"tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun"
dalam Pasal 40 ayat (1) UU KPK inkonstitusional bersyarat, sepanjang tidak dimaknai
" tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)"
6. Menyatakan frasa "harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu)
minggu" dalam Pasal 40 ayat (2) UU KPK inkonstitusional bersyarat, sepanjang tidak
dimaknai "diberitahukan kepada Dewan Pengaw as paling lambat 14 (empat belas)
hari kerja"
7. Menyatakan frasa"atas izin tertulis dari Dewan Pengawas" dalam Pasal 47 ayat (1) UU
KPK inkonstitusional bersyarat, sepanjang tidak dimaknai "dengan
memberitahukan kepada Dewan Pengawas"

Ratio Decidendi Putusan MK No. 70/PUU-XVII/2019 sebagai berikut:


1. MK menggunakan pertimbangan dalam Putusan No. 012- 016-019/PUU-IV/ 2006
dan Putusan No. 36/PUU-XV/2017 yang intinya menyatakan independensi dan
bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan manapun adalah dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya yang tidak boleh didasarkan atas pengaruh, arahan
ataupun tekanan
dari pihak manapun.
2. Frasa "dalam rumpun kekuasaan eksekutif" dalam Pasal 3 UU 19/2019, tidak
menyebabkan pelaksanaan tugas dan wewenang KPK menjadi terganggu
independensinya karena KPK tidak bertanggung jawab kepada pemegang
kekuasaan eksekutif, in casu Presiden.

Tawaran Ke Depan
Kelembagaan KPK sebagai lembaga negara independen dalam rangka melakukan
pemberantasan korupsi kerap mendapatkan ujian dan gangguan dari beberapa pihak
tertentu. Untuk menghindari hal demikian kembali terjadi di masa yang akan
datang, Penulis tawarkan beberapa saran sebagai berikut:
1. Perlunya memasukkan KPK sebagai constitutional organ, bukan sekedar constitutional
importance.

29
Anang Zubaidy
Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia

2. Pengaturan kembali kelembagaan Dewan Pengawas KPK agar tidakmenjadi


organ yang justru mengganggu KPK dalam upaya membongkar kasus tindak
pidana korupsi.
3. Penguatan masyarakat sipil dalam penyelenggaraan negara dan setiap proses
pengambilan kebijakan strategis.

Berbagai tawaran di atas tentu tidak mudah dilakukan mengingat banyaknya pihak
yang tidak setuju KPK menjadi lembaga yang kuat. Namun demikian, segala ikhtiar
harus senantiasa dilakukan dalam rangka mewujudkan Indonesia yang bersih dari
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Wallahua'lam bisshowab.

30

Anda mungkin juga menyukai