Anda di halaman 1dari 7

Nama : Saidah Lubis

Nim : 21070008

Matkul : metopel

Terkikisnya Prosesi Perkawinan Dalam Hukum Adat Mandailing Di Desa Huta Pungkut Julu Kecamatan
Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Mandailing adalah suatu wilayah yang terletak diKabupaten Mandailing Natal. Pada masa ini
Mandailing merupakan bagian dari Kabupaten Mandailing Natal, sebagai Kabupaten pemekaran dari
Kabupaten Tapanuli Selatan di Propinsi Sumatera Utara. Wilayah yang bernama Mandailing ialah
kawasan yang di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Batang Angkola dan Kecamatan Sosopan,
di sebelah selatan dengan Kabupaten Pasaman di Propinsi Sumatera Barat, di sebelah barat dengan
Kecamatan Natal dan disebelah timur.1

Secara tradisisonal, wilayah Mandailing terbagi ke dalam dua daerah, masing-masing yang
disebut Mandailing Godang dan Mandailing Julu. Adapun rumah adat Huta Godang terletak didaerah
Mandailing Julu yaitu di kecamatan Ulu Pungkut kabupaten Mandailing Natal.Rumah adat Huta Godang
didirikan oleh raja Junjungan Lubis sebagai kepala pemerintahan beserta masyarakat pada awal abad ke-
19. Namun, sebelum kerajaan ini didirikanraja berkedudukan di satu tempat yang bernama Huta Dolok,
yang terletak di atas sebuah bukit tidak begitu jauh dari Huta Godang yang sekarang. Kemudian setelah
Islam masuk dibawa orang-orang Minang Kabau ke Mandailing, Huta Dolok dipindahkan ke satu tempat
yang baru dan kemudian dinamakan Huta Godang.

Raja Junjungan Lubis beserta masyarakat Huta Godang kemudian mendirikan sebuah bangunan
rumah adat. Pembangunan rumah adat ini disesuaikan dengan letak geografis dan kebudayaan
masyarakat Mandailing karena rumah adat berfungsi sebagai tempat tinggal raja untuk mengatur huta,
menegakkan keadilan atau hukum dan menjaga adat. Juga sebagai tempat berkumpul dalam kerja adat,
tempat perlindungan bagi setiap anggota masyarakat yang mendapat gangguan bahaya dari luar juga
sebagai bangunan yang di adatkan oleh masyarakat yang mendiami satu desa, yang melambangkan
bona bulu. Artinya bahwa kampung tersebut telah memiliki satu kesatuan adat istiadat yang dilengkapi

1
http://digilib.unimed.ac.id/17742/6/308121003%20Bab%20I.pdf
dengan namora natoras (orang yang dituakan dalam satu marga), kahanggi (keluarga semarga), anak
boru (keluarga pihak menantu), datu, sibaso, ahli seni, serta raja sebagai raja adat.

Konstruksi bangunan rumah adat memiliki bentuk atap empat arah tutup aridengan hiasan-
hiasan bentuk ornamen. Demikian pula pada bagian badan bangunan, sering terdapat ukiran atau
pahatan yang mengandung makna tertentu yang dikaitkan dengan lambang adat.

Perancangan bangunan rumah adat memang benar-benar disesuaikan dengan lambang adat,
sehingga bangunan ini disebut sebagai bangunan rumah adat. Penempatan dan perancangan tangga
masuk, bentuk dan jumlah tiang sebagai penopang bangunan benar-benar diperhatikan, sehingga
memiliki keserasian yang harmonis serta disesuaikan dengan kandungan simbol adat.2

Rumah adat bukan hanya penting bagi masyarakat Huta Godang dari segi penggunaanpraktisnya
saja. Tetapi juga dari keberadaannya sebagai lambang status untuk menunjukkan kehormatan,
kemuliaan dan kebesaran kelompok masyarakat atau komunitas di tempat bangunan itu berada.

Artinya, jika di satu tempat terdapat bangunan rumah adat, itu menandakan bahwa tempat
tersebut merupakan pusat pemerintahan huta atau banua, yang sekaligus berarti bahwa di tempat
tersebut telah diakui berdirinya satu kerajaan dengan pemerintahan yang otonom. Karena pentingnya
rumah adat Huta Godang bagi masyarakat dan hanya rumah adat Huta Godang yang tetap ada sampai
sekarang, serta sumber-sumbernya masih lengkap sampai sekarang.

Kebudayaan dan Masyarakat merupakan suatu hal yang tidak dapat terpisahkan satu sama lain.
Keduanya saling berkaitan erat. Masyarakat menjadi bagian dari kebudayaan,sedangkan kebudayaan itu
sendiri merupakan hasil dari adanya masyarakat. Seperti halnya kebudayaandan suku batak, suku batak
sudah tidak asing lagi kita dengar dalam pembelajaran kita maupun dalam kehidupan sehari-hari. Suku
batak sendiri memiliki beraneka ragam suku yang memang berbeda-beda dan unik. Bahkan diluar sana
menurut pengamatan masih banyak orang yang belum mengetahui mengenai suku batak.

Masih banyak orang-orang yang beranggapan suku batak identik dengan logat yang kasar,
berteriak saat berbicara, keras dsb. Padahal tidak semua suku batak seperti itu. Masing-masing dari suku
batak, memiliki ciri-ciri adat istiadat tersendiri, system kekerabatan yang berbeda pula, berbeda logat,
dll. Semua itu tergantung padakebudayaan yang mereka anut sejak dulu. Terutama suku batak
mandailing natal, yang berbeda dengan suku batak lainnya.

kira-kira dalam jangka 1 jam perjalanan dari desa Huta Godang terdapat pula desa yang bernama
Huta Pungkut Julu atau bisa dibilang tetangga dari tempat lahir jendral besar Abdul Haris Nasution yaitu
Huta Pungkut Jae. Desa Huta Pungkut Julu adalah desa yang termasuk sudah jauh dari adat, sudah
hampir 20 tahun terakhir ini sudah tidak pernah ada lagi orang yang mempermasalahkan hukum adat
saat ini seperti yang penulis lihat sekarang, pertama, mengenai perkawinan satu marga, sebelumnya
orang adat dahulu tidak memperbolehkan perkawinan satu marga dikarenakan orang yang menikah satu
marga dalam adat mandailing adalah saudara dan mereka mengatakan jika orang yang menikah satu
marga itu memiliki keturunan maka anak tersebut bisa mengalami kecacatan seperti yang dikatakan
2
https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/novum/article/view/18439
orang adat dahulu, bukan hanya perkawinan satu marga saja yang terjadi di desa tersebut akan tetapi
masih ada lagi seperti, kedua, hilangnya adat mangambat boru, mangambat boru adalah salah satu
tradisi yang sampai saat ini masih dilaksanakan di berbagai desa akan tetapi lain dengan desa Huta
Pungkut Julu, adat itu sudah lama tidak di pakai oleh desa tersebut.

Efek yang dapat diambil dari Mangambat Boru itu adalah, jika adat itu dilaksanakan dengan baik
oleh kedua mempelai atau keluarga kedua belah pihak, maka semua tokoh adat akan membantu segala
hal yang berkaitan dengan adat, terutama didalam pelaksanaan walimatul „urs baik dikalangan keluarga
suami atau istri, dan jika dilanggar oleh kedua mempelai atau keluarga kedua mempelai maka
sebaliknya. Ketiga, Patuaekkon, patuaekkon adalah yang mana kedua mempelai berjalan keliling
kampung atau desa sekitar agar dilihat orang banyak menuju sebuah mata air atau sungai kecil di daerah
itu sendiri. Patuaekkon artinya mengiring kedua mempelai ke sumber mata air untuk dilakukan acara
seperti saweran seperti tradisi pernikahan Sunda.3

Dalam perjalanan mengililingi perkampungan atau pedesaan, kedua mempelai akan di cegah atau
diberhentikan oleh sekelompok pemuda yang menghambat jalan kedua mempelai. Para pemuda
memberhentikan mempelai dengan cara yang sangat unik, contohnya dengan menaruh kursi yang
lumayan panjang ditengah jalan. Siapakah para pemuda ini? Pemuda ini bukan sembarangan pemuda,
tapi sepupu dari mempelai wanita itu sendiri. Yang mana antara orangtua dari para pemuda dan
mempelai wanita adalah kakak adik (saudara).

Apa tujuan dari para pemuda ini? Tujuan dari para pemuda ini yaitu untuk mengintrogasi
mempelai pria atau dengan kata lain meminta mempelai pria untuk meminta izin kepada mereka
sebelum membawa sepupu mereka pergi. Kadang, berbalas pantun pun tidak terelakkan dari kejadian
ini. Dimana para pemuda menantang mempelai pria berbalas pantun. Sebelum mempelai pria bisa
mengalahkan para pemuda, maka para pemuda tidak akan membolehkan lewat begitu saja. Memang
butuh kesabaran. Selain balas pantun, kadang para pemuda meminta sejumlah uang kepada mempelai
pria untuk diperbolehkan lewat jalan tersebut. Tentunya selama uangnya masih dibatas kewajaran.
Inilah uniknya tradisi mangambat boru tulang.

Setelah mempelai pria berhasil melewati para pemuda ini, baru kedua mempelai bisa
melanjutkan mengelilingi perlampungan atau pedesaan. Tradisi ini memang unik, tapi seiring
perkembangan jaman. Tradisi ini mulai hilang begitu saja. Sudah jarang orang yang menikah
menggunakan tradisi ini. Dengan berbagai alasan, seperti menghemat waktu, mempelai pria menolak,
dan terpengaruh sama tradisi-tradisi luar daerah Mandailing itu sendiri.

Perkawinan pada masyarakat Batak Toba merupakan perkawinan antar Marga. Proses
perkawinan Eksogami (perkawinan di luar kelompok Marga) menjadi ciri khas proses perkawinan
masyarakat Batak Toba sehingga masyarakat Batak Toba sangat melarang keras adanya pernikahan
semarga sebab pernikahan semarga (Namariboto) dianggap sebagai pernikahan sedarah (Incest). Tujuan
penelitian adalah untuk mengetahui konsep pertalian darah dalam masyarakat adat Batak Toba dengan

3
Asmaniar Asmaniar, “Perkawinan Adat Minangkabau,” Binamulia Hukum 7, no. 2 (2018): 131–40,
https://doi.org/10.37893/jbh.v7i2.23.
konsep pertalian darah secara umum, serta akibat hukum dari terjadinya perkawinan semarga dalam
masyarakat Adat Batak Toba. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum empiris yang mencakup
penelitian terhadap identifikasi hukum dan penelitian terhadap efektifitas hukum. 4

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini melalui wawancara kepada tokoh
Adat Batak Toba yang ada di Surabaya, yaitu sekretaris Adat Marga Siahaan dan salah satu pengurus
Marga Lumban Tobing, dan menggunakan dokumentasi data yang berupa tarombo (silsilah Marga)
dalam Adat Batak Toba. Peneliti menggunakan penelitian hukum empiris untuk melihat kondisi
masyarakat Adat Batak Toba secara langsung dalam hal perkawinan. Hasil penelitian menunjukkan di
dalam tradisi masyarakat Adat Batak Toba, yang menjadi kesatuan adat adalah ikatan sedarah yang
disebut dengan Marga.

Marga tersebut berfungsi sebagai tanda adanya persaudaraan yang ada di antara mereka.
Hubungan kerabat itu di dalam masyarakat Adat Batak Toba secara umum disebut dengan sistem
Dalihan Na Tolu yang secara jelas harus tetap dijunjung dengan membuka hubungan kekerabatan
dengan keluarga lain di luar ikatan darah yang disebabkan oleh perkawinan. Perkawinan semarga dalam
Adat Batak Toba merupakan perkawinan yang tabu dalam kategori perkawinan yang dilarang.
Perkawinan semarga ini jika dilakukan oleh masyarakat Adat Batak Toba, maka ia melanggar aturan adat
sehingga mereka disebut Na So Maradat (orang yang tidak tahu dengan adat istiadat).

Orang yang melakukan perkawinan semarga akan dihukum dengan aturan Adat Batak Toba yang
berlaku sampai sekarang. Saat ini hukuman atau sanksi adat yang masih berlaku di masyarakat Batak
Toba yang ada di kota Surabaya adalah tidak bolehnya mereka yang terkena hukuman adat duduk dalam
acara adat, tidak boleh memberi solusi atau berbicara dalam forum adat, dan juga dalam sidang adat
tidak ada lagi kedudukan bagi mereka yang menikah semarga.

Larangan perkawinan semarga sudah turun-temurun sebelum agama Islam datang ke tanah
Batak. Oleh karena itu, hukum adat selalu ditaati masyarakat Batak setempat dan masih
mempertahankannya. Pada zaman dahulu, pasangan yang melakukan perkawinan semarga akan
dihukum berat seperti dikucilkan dari pergaulan masyarakat, dan biasanya masyarakat tidak mau
menerima mereka, tidak diakui dan dilarang mengikuti acara adat, bahkan kedua belah pihak akan
dikenai sanksi dengan direndahkan oleh komunitasnya dan atau diusir dari masyarakat tersebut.
Masyarakat Batak Mandailing telah terjadi pelanggaran terhadap peraturan-peraturan budaya
Mandailing. Perkawinan semarga Batak Mandailing misalnya, bahwasanya adat larangan perkawinan
semarga dalam adat Batak justru dilaksanakan dan dilanggar oleh masyarakat. Sistem perkawinan ke
luar marga sudah luntur dalam masyarakat Batak.

Perkawinan ini disebut dengan perkawinan semarga (sumbang). Penelitian ini relevan untuk
diteliti mengingat perkawinan semarga dalam masyarakat adat Batak Mandailing adalah suatu hal yang
sangat dilarang dan ditabukan oleh para ketua adat dan masyarakat Batak. Sementara di lain pihak adat
istiadat tersebut semakin menipis, sehingga perlu dikaji sebab berubahnya adat larangan perkawinan

4
A. Millati Azka. A. M, “Tradisi Rebu Ngerana Pasca Perkawinan Pada Masyarakat Karo Sumatera Utara Perspektif ‘Urf,” Al-
Qadha : Jurnal Hukum Islam Dan Perundang-Undangan 7, no. 2 (2020): 88–98, https://doi.org/10.32505/qadha.v7i2.1962.
semarga. Adat istiadat kebudayaan Mandailing yang asli diduga telah mengalami pergeseran nilai
budaya masyarakat Batak Mandailing.

Dalam hukum islam pernikahan juga merupakan suatu ibadah yang sangat dianjurkan oleh Allah
Swt kepada hambanya yang sudah memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Pernikahan tidak hanya
dilakukan oleh manusia tetapi juga dilakukan oleh setiap makhluk hidup, baik hewan maupun tumbuhan
agar tetap memiliki keturunan dan dapat melestarikan hidupnya.

Lantas mengapa pada tradisi adat suku batak pernikahan semarga pada umumnya dilarang?
Sebenarnya tujuan dari larangan pernikahan semarga sudah jelas, yaitu, agar ruang lingkup kasih sayang
manusia semangkin bertambah luas. Akan tetapi, hal tersebut bertentangan dengan syariat islam karena
yang tidak boleh dinikahi dalam ajaran agama islam ialah yang sedarah yang biasa disebut dengan
mahram (orang yang tidak boleh dinikahi).

Jika dilihat dari segi larangan pernikahan kitab suci agama islam sudah menjelaskan dengan
terperinci dalam Al-Qur'an surah An-nisa ayat 22-24 dengan tegas menjelaskan wanita-wanita yang tidak
boleh untuk dinikahi mereka. Selain dari yang dijelaskan dalam Al-Qur'an surah An-nisa ayat 22-24
tersebut maka boleh untuk dinikahi.

Dalam ajaran agama islam tidak ada kitab ulama, undang-undang pernikahan, bahkan firman Allah
Swt yang melarang pernikahan semarga. Undang-undang yang mengatur kebebasan pernikahan hanya
berlandaskan dengan ajaran agama dan pencatatan sipil (syarat dan rukun) pernikahan. Hal ini juga
diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan dan Garis Besar Hukum Islam, yang menyatakan
bahwa “ Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang maha esa”.

Pernikahan semarga yang dilarang pada masyarakat muslim suku batak sudah jelas tidak ada hubungan
sedarah sebagaimana yang sudah dijelaskan karena semarga itu bukan saudara sekandung, saudara
sesusuan, atau ada kekerabatan lain, hanya kekerabatan berdasarkan nenek moyang yang telah
terputus nasab syarat pernikahannya dalam ajaran Islam. Jadi pernikahan semarga yang dilarang pada
masyarakat adat batak termasuk kategori (kebiasaan yang sejak lama diterapkan) karena tidak berlaku
universal. Oleh karena itu, perkawinan semarga dalam islam pada masyarakat batak itu hukumnya
mubah (boleh). Tidak lepas dari tujuan syariat, yaitu kemaslahatan atau kesejahteraan umat manusia,
baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Jadi, menurut pandangan islam pernikahan semarga
boleh dilangsungkan apabila perempuan yang ingin dinikahi tidak termasuk ke dalam kategori mahram
(orang yang tidak boleh dinikahi).

Adapun Alasan kenapa ingin meneliti penelitian ini dikarenakan banyaknya nilai-nilai adat yang
sudah tidak diakui atau sudah tidak dipakai lagi di zaman yang semakin modren ini, contohnya zaman
sekarang mengenai adat-adat pernikahan yang sebagaimana mestinya dalam adat sudah tidak dipakai
lagi bahkan kebanyakan orang lebih mengikuti pernikahan ala-ala bar at, oleh karena itu peneliti ingin
meneliti tentang "Terkikisnya Prosesi Perkawinan Dalam Hukum Adat Mandailing Di Desa Hutapungkut
Julu Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal", Agar ketika ada yang membaca penelitian ini
orang-orang sadar betapa penting dan berharganya nilai-nilai adat yang dibawa atau dilaksanakan pala
orang-orang dahulu dengan harapan suatu saat nilai-nilai adat yang hilang di Desa tersebut dapat
dihidupkan kembali sebagaimana mestinya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pelaksanaan perkawinan dalam hukum adat mandailing?

2. Bagaimana pelaksanaan perkawinan dalam hukum adat di desa Huta Pungkut Julu Kecamatan
Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal

DAFTAR PUSTAKA

Asmaniar Asmaniar. “Perkawinan Adat Minangkabau.” Binamulia Hukum 7, no. 2 (2018): 131–
40,.
“Http://Digilib.Unimed.Ac.Id/17742/6/308121003%20Bab%20I.Pdf.”
“Https://Ejournal.Unesa.Ac.Id/Index.Php/Novum/Article/View/18439.”
M, A. Millati Azka. A. 2020. “‘Tradisi Rebu Ngerana Pasca Perkawinan Pada Masyarakat Karo
Sumatera Utara Perspektif ‘Urf,’ Al-Qadha.” : Jurnal Hukum Islam Dan Perundang-
Undangan 7 no. 2 (202. https://doi.org/10.32505/qadha.v7i2.1962.

Anda mungkin juga menyukai