Anda di halaman 1dari 67

LAPORAN TUTORIAL

MODUL 1 BLOK 21
“PENYAKIT INFEKSIUS DAN IMUNOLOGIK”

Kelompok 5

Aaron Michelle Duvali


Arfi Azkia Firdian
Dea Favella
Fachri Erizon
Fitria Andrina Vela
Kerin Irawan
Putri Permata Sari
Suci Ramadhani
Shavira Annisa Faran
Valdelrama Gatra Pratama Nugraha

Tutor : drg. Reni Nofika, Sp.KG

Ketua : Fitria Andrina Vela

Sekretaris Papan : Fachri Erizon

Sekretaris Meja : Aaron Michelle Duvali

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Andalas
2019
MODUL 1

PENYAKIT INFEKSIUS DAN IMUNOLOGIK

Skenario 1 :

Seorang pasien laki-laki usia 37 tahun dirujuk ke Poli Penyakit Mulut karena
adanya lesi di mulut yang tidak kunjung sembuh. Lesi muncul sejak 2 bulan yang lalu
dan tidak sembuh walaupun sudah diobati. Lesi awalnya terasa panas dan diawali
dengan trauma karena sikat gigi, tidak diawali demam. Saat ini pasien susah makan dan
menyikat gigi karena lesi yang bertambah sakit. PMH: riwayat demam berulang (-)
batuk(-) kehilangan berat badan (-), simptom penyakit sistemik lainnya (-), riwayat
alergi (-). FH: ayah menderita tuberkulosis paru dan sedang dalam pengobatan. SH:
pasien adalah seorang perokok berat dan sesekali minum alkohol.
Keadaan umum pasien baik, pemeriksaan vital signs dalam batas normal, kelenjar
limfe regional tak ada kelainan. Pemeriksaan IO menunjukkan adanya 2 buah ulser
berwarna putih pada mukosa bibir atas dan mukosa bukal dekat kiri komisura bentuk
ireguler, ukuran ± 12 x 9 mm, dan 20x15 mm batas tepi tidak jelas, disertai dengan
sedikit indurasi.
Dokter kemudian melakukan beberapa pemeriksaan penunjang, seperti
pemeriksaan smear lesi, dan menunjukkan hasil BTA positive dengan menggunakan
pewarnaan Ziehl- Neilson. Biopsi incisi juga dilakukan dan hasil pemeriksaan
histopatologi menunjukkan adanya inflamasi granulomatous yang mengandung
Langhan’s giant cells, sel epitheloid dengan area nekrosis kaseosa. Pemeriksaan darah
lengkap: normal kecuali ESR = 35mm

Bagaimana saudara menjelaskan kedua kasus diatas?

Langkah 1. Mengklarifikasi terminologi yang tidak diketahui dan mendefinisikan


hal-hal yang dapat menimbulkan kesalahan interprestasi

1. Smear Lesi : Merupakan pemeriksaan penunjang berupa screening lesi pre-


kanker.
2. BTA : (Bakteri Tahan Asam) Merupakan prosedur untuk mendeteksi
penyebab penyakit tuberculosis. Dapat diperiksa melalui; sampel dahak,
darah, tinja, urine, dan sum-sum tulang.
3. Pewarna Ziehl Nelson : Bahan yang digunakan untuk identifikasi kuman
BTA.
4. Nekrosis Kaseosa : (Kaseosa : Gambaran mikroskopik putih seperti keju di
daerah nekrotik sentral) Merupakan bentuk tersendiri nekrosis yang paling
sering ditemukan pada focus infeksi TB.

Langkah 2. Menentukan masalah

1. Kenapa lesi pasien pada scenario tidak kunjung sembuh?


2. Apa Diagnosis dari IO EO lesi pasien ? dan Alasan Diagnosa tersebut ?
3. Tujuan dan pertimbangan pemeriksaan penunjang ?
4. Apa arti dari pemeriksaan ESR 35 mm ? dan berapa nilai ESR normal ?
5. Penyebab nilai ESR tinggi ?
6. Terapi awal terhadap pasien di skenario ?
7. Apa DD scenario ?
8. Penyakit yang berhubungan dengan bakteri yang bermanifestasi di RM ?
9. Kategori penyakit infeksius ?
10. Penyakit imunologi yang bermanifestasi di RM ?
11. Tanda Gejala pasien TB ?

Langkah 3. Menganalisa masalah melalui brain storming dengan menggunakan


prior knowledge

1. Kenapa lesi pasien pada scenario tidak kunjung sembuh?


 Faktor Internal : Keadaan system imun pasien yang lemah
 Faktor Eksternal :
- Batuk dan bersin dari ayah pasien yang kemungkinan menularkan
droplet yang terinfeksi bakteri TB
- Kebiasaan buruk pasien berupa merokok dan mengonsumsi
alcohol
- Kandungan pada rokok yang menghambat system imun untuk
menyembuhkan
- Keadaan Oral Hygiene asien yang buruk
- Pengobatan yang tidak sesuai dengan kebutuhan

2. Apa Diagnosis dari IO EO lesi pasien ? dan Alasan Diagnosa


tersebut ?
Diagnosis : Lesi TB bermanifestasi pada oral, karena riwayat keluarga
pasien adanya TB dalam pengobatan, lesinya mirip dengan primary
sipilis, unutk Diagnosis definitis dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan,
dengan faktor predisposisi pasien merokok dan sesekali minum alcohol,
adanya nekrosis kaseosa dan penurunan sistem imun, tapi kondisi IO
agak berbeda dengan pasien TB
3. Tujuan dan pertimbangan pemeriksaan penunjang ?
Tujuan : menguatkan Diagnosa dan mengeliminasi DD lesi, unk
menentukan pemeriksaan penunjang berdasarkan pada hasil pemeriksaan
pada pasien, menentukan lesi yang mengarah pada keganasan, ditakutkan
adanya infeksi Virus HIV sehingga dilakukan pemeriksaan darah
lengkap, menentukan treatment yang tepat terhadap pasien
4. Apa arti dari pemeriksaan ESR 35 mm ? dan berapa nilai ESR
normal ?
ESR tinggi menandakan adanya infeksi dengan tujuan mendiagnosa
adanya peradanagn atau enakit autoimun pada pasien, dengan Lk2 0-50
thn normalnya 0-15 mm/jam ,50 thn ke atas 0-20 mm/jam, wanita 50 thn
ke atas 0-30 mm/jam, wanita kurng dari 50 thn 0-20mm/jam , anak anak
0-10 mm/jam , neonates 0-2 mm/jam
5. Penyebab nilai ESR tinggi ?
Abses, usia lanjut, ketidak normalan sel darah, diabetes militus, anemia,
penyakit ginjal, gangguan auto imun seperti lupus, TBc, eritrosit kurang
dari normal, peningatan fibrinogen dalam darah, suhu saat pemeriksaan,
jika besar dari 100mm/jam nenandakan ada nya keganasan ?

6. Terapi awal terhadap pasien pada skenario ?


 Menghilangkan faktor penyebab(TB),
 pemberian obat penghilang rasa sakit,
 pemberian 2-3 antibiotik selama 2 bulan pertama, untuk 4 bulan
selnajutnya hanya 2 antibiotik saja,
 meningkatkan sistem imun pasien
 menghilangkan kebiasaan pasien dengan KIE,
TB local : pemeliharaan OH
 Menghilangkan rasa sakit dengan memberi obat analgetic
 Memberikan KIE untuk menghilangkan Bad Habit
 Terapi sistemik dengan OAT
 Merujuk pasien ke spesialis SPJP

7. Apa Differensial Diagnosa pada scenario ?


Primary Sifilis, SCC, Ulkus traumatic kronis

8. Penyakit yang berhubungan dengan bakteri yang bermanifestasi di


RM ?
TB, gonore, Sifilis, dikteri, NUG, NUS, Lepra, actinomycosis

9. Apa saja kategori penyakit infeksius ?


Infeksi Bakteri, virus , jamur

10. Penyakit imunologi yang bermanifestasi di RM ?


Karena manifestasi penyakit atau pengobatan, seperti Lupus erytomatus
sistemik(pada mukosalabial, bukal dorsum lidah dan paltum durum),
Soriasis
(pada bibir palatum ginggal berbatas jelas abu2) , SAR, Oral Licen
planus dll
Autoimun, tubuh salah respon terhadap sel tubuh, sehinga menyerang sel
normal karena genetic, induksi lingkungan, obat obatan tertentu

11. Apakah ada hubungan bad habit pasien dengan resiko penyakit TB?
Ada, karena bad habit dari si pasien, dapat mempengaruhi kemampuan
system imun untuk menyembuhkan diri. Berkurangnya kemampuan
system imun untuk menyembuhkan, akan menyebabkan tubuh tak bisa
mempertahankan diri dari infeksi bakteri TB, sehingga bisa menjadi
penyakit yang serius dan sistemik.
Langkah 4. Membuat skema atau diagram dari komponen-komponen
permasalahan dan mencari korelasi dan interaksi antar masing-masing komponen
untuk membuat solusi secara terintegrasi

Pasien Laki-laki
(37th)

CC: Lesi 2 bulan tidak sembuh

Subjektif : Objektif : Penunjang :


-Vital sign normal
- Lesi (+) - Smear lesi
-Kel. Limfe(-)
- Demam(-) - BTA(+)
-Ulser : MBA
- Batuk(-) - Biopsi insisi
irregular,
- BB turuk(-) - ESR 35mm/hr
12x9, 20x15,
- Trauma(+)
indurasi(+),
- Symptom(-)
batas tepi tidak
- Alergi(-)
jelas
FH - Ayah Tb(+)
- Merokok(+)
SH - Alkohol(+)

DD : Traumatic
DK : Oral TB
Ulser, SAR, SCC

Manifestasi Oral TB Paru Rencana Perawatan : Menghilangkan rasa


sakit, KIE, Rujuk ked dr. Sp. JP

Penyakit Infeksius
Pertimbangan perawatan pasien
& Imunologik
dengan penyakit sistemik
Langkah 5. Memformulasikan tujuan pembelajaran

1. Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Mengenai Penyakit Autoimun


yang bermanifestasi di Rongga Mulut (Etiologi, Patofisiologi, Tanda&Gejala, ,
Pemeriksaan Penunjang)
2. Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Mengenai Infeksi Bakteri yang
bermanifestasi di Rongga Mulut (Etiologi, Patofisiologi, Tanda&Gejala, ,
Pemeriksaan Penunjang)
3. Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Mengenai Infeksi Fungal yang
bermanifestasi di Rongga Mulut (Etiologi, Patofisiologi, Tanda&Gejala, ,
Pemeriksaan Penunjang)
4. Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Mengenai Infeksi Virus yang
bermanifestasi di Rongga Mulut (Etiologi, Patofisiologi, Tanda&Gejala, ,
Pemeriksaan Penunjang)
Langkah 6. Mengumpulkan informasi di perpustakaan, internet, dan lain-lain

Langkah 7. Sintesa dan uji informasi yang telah diperoleh


L.O 1

Penyakit Autoimun

Penyakit autoimun adalah penyakit yang dapat mengenai mukosa oral dan kulit
atau organ lain, akibat kesalahan tubuh dalam mengenali sel diri sendiri (self) menjadi
antigen. Sistem kekebalan yang seharusnya berfungsi sebagai pelindung tubuh
mengalami kelainan sehingga tidak dapat membedakan antara benda asing yang harus
dimusnahkan dengan jaringan tubuh sendiri yang bermanfaat untuk kelangsungan
hidup. Penyebab penyakit autoimun belum diketahui secara pasti, namun perjalanan
penyakit ini dapat akut atau kronis dan terdapat masa remisi atau eksaserbasi yang
disertai dengan perubahan level autoantibodi dalam tubuh. Kombinasi factor
predisposisi genetik dan faktor lingkungan diketahui melalui berbagai referensi
berkontribusi terhadap perkembangan penyakit autoimun. Lesi oral biasa ditemukan
pada penderita penyakit autoimun sebagai manifestasi penyakit atau efek samping
pengobatan. Penyakit autoimun yang dapat bermanifestasi pada rongga mulut di
antaranya adalah Sistemic Lupus Erythematous (SLE), Lichen Planus, Pemphigus dan
Pemphigoid. Lesi oral yang merupakan manifestasi penyakit autoimun dapat
menunjukkan tanda klinis berupa ulser, erosi, vesikobulosa, plak atau papula, dan lain-
lain. Lesi oral harus ditangani dengan baik untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder,
mengatasi rasa sakit dan meningkatkan kualitas hidup penderita.
Kecenderungan terjadinya penyakit autoimun menurut beberapa penelitian lebih
banyak ditemukan pada wanita dibandingkan dengan pria, dari seluruh penderita
penyakit autoimun yang ditangani sebanyak 75,8% wanita, sedangkan pria 24,2%.
Penderita Sistemik Lupus erythematosus (SLE) 92,3% wanita, Oral Lichen Planus
(OLP) 50% wanita dan Pemphigus Vulgaris (PV) 71,4% wanita. Sebagian besar
penderita termasuk dalam kelompok usia 18 hingga < 60 tahun yaitu sebanyak 56 orang
(84,8%), baik pada kasus SLE (80,8%), OLP (66,6%) maupun PV (96,4%). Wanita
dianggap lebih perhatian dan peduli terhadap kesehatan mulutnya sehingga mendorong
untuk datang berobat ke dokter, selain itu wanita dipengaruhi oleh siklus hormonal.
Pada saat kehamilan dan menstruasi kontribusi estrogen menyebabkan
ketidakseimbangan hormonal dan memicu munculnya penyakit autoimun.
Hubungan antara sekresi hormon dengan terjadinya penyakit autoimun sudah
banyak diketahui dan disebutkan dalam beberapa referensi. Hormon merupakan
komponen sistem neuroendokrin yang dapat mempengaruhi imunitas seseorang,
sehingga jika terjadi ketidak seimbangan sintesis dan pelepasan hormonal, maka
hormon akan beraksi sebagai stimulatorcatau supresor aktivitas imun dan neuroendokrin
itu sendiri, dengan cara berikatan pada reseptor. Hormon juga berperan dalam respon
imun innate dan adaptif. Hormon estrogen dan prolaktin merupakan sitokin pro
inflamasi yang fluktuasinya dapat mengganggu toleransi terhadap sel sendiri (self),
sehingga dapat menjadi factor pemicu penyakit autoimun. Penelitian oleh Arisawa et
al., menemukan bahwa kasus Oral Lichen Planus sebagian besar mengenai wanita
(87,8%) namun pada kasus Pemvigus tidak menunjukkan kecenderungan gender. Kasus
Oral lichen planus 50% terjadi pada dekade kehidupan ke - 4 hingga ke – 5 (termuda 16
tahun, tertua 65 tahun), sedangkan kasus Pemvigus jarang ditemukan pada usia anak –
anak namun banyak terjadi pada dekade kehidupan ke – 4 atau usia dewasa.

Sistemik Lupus erythematosus (SLE)


Gambaran klinis lesi oral pada penderita lupus erythematosus yang ditemukan
pada penelitian ini adalah sebagian besar berlokasi pada mukosa labial (50%) dan
mukosa bukal (50%), diikuti oleh dorsum lidah (46,2%) dan palatum durum (42,3%).
Hal ini diduga karena bagian – bagian mukosa tersebut adalah bagian yang berkontak
langsung atau bersentuhan dengan makanan dan gigi selama proses mengunyah dan
berbicara, sehingga bagian tersebut paling sering terkena gesekan atau tekanan. Gesekan
atau tekanan saat fungsi mengunyah atau berbicara pada lesi oral akibat penyakit
autoimun akan membuat mukosa lebih rentan, memperparah kondisi lesi dan
menyulitkan penyembuhan.
Lesi oral yang merupakan manifestasi SLE di antaranya adalah lesi oral discoid
dan ulserasi yang sangat sakit. Lesi oral discoid mirip dengan lesi discoid pada kulit
yaitu terdapat gambaran striae berwarna putih yang memancar dari pusat lesi berwarna
kemerahan (brush border). Predileksi lesi intra oral SLE ditemukan pada mukosa bukal,
gusi dan mukosa labial serta daerah kemerahan yang terlokalisir terutama di daerah
palatum.
Oral Lichen Planus
Gambaran khas lesi OLP berupa striae atau gambaran renda berupa plak yang
menempel pada mukosa oral, tidak bisa diangkat dengan kasa dan berwarna putih. Pada
penelitian ini banyak ditemukan lesi erosi (83,3%) yang berkombinasi dengan lesi striae
(33,3%) atau plak (41,6%), lesi erosi ini menimbulkan rasa sakit, sehingga membawa
pasien berkunjung ke dokter gigi, sedangkan jika tidak terdapat erosi maka biasanya
bersifat asimptomatik. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan
oleh Arisawa, et.al., menemukan bahwa lesi yang banyak ditemukan adalah papul atau
plak (83%), disertai dengan gambaran retikuler/striae (57%) dan 41% penderita
mengeluhkan sakit. Faktor pencetus lesi OLP diduga adalah tambalan amalgam, jika
tambalan tersebut diganti dengan tambalan non logam maka pada beberapa kasus akan
berangsur - angsur sembuh.
Diagnosis banding OLP adalah Oral lichenoid reaction (OLR), OLP biasa
terjadi bilateral dan OLR sering terjadi unilateral atau berhadapan dengan faktor
pencetus yaitu tambalan amalgam, jika tambalan amalgam tersebut dihilangkan dan
diberikan terapi topikal gel antiinflamasi maka lesi OLR akan segera menghilang
Topikal steroid diberikan pada seluruh subyek dalam penelitian ini, baik untuk kasus
lesi oral SLE, OLP dan PV, namun data mengenai dosis dan jenis kortikosteroid tidak
semuanya terdokumentasi dengan lengkap. Topikal steroid yang paling sering diberikan
adalah dexamethasone tablet yang dihaluskan dan dilarutkan dalam air, digunakan
untuk berkumur sehari tiga kali. Perlu dilakukan kontrol pasien secara berkala, untuk
mengatasi efek samping dengan pemberian obat anti jamur topikal seperti Nystatin in
oral suspension. Predileksi lesi OLP adalah pada mukosa bukal dan lidah serta memiliki
kecenderungan bilateral, sejalan dengan hasil penelitian ini yaitu pada mukosa bukal
(66,6%) dan dorsum lidah (66,6%), diikuti oleh mukosa labial (58,3%) dan gusi
(41,6%). Hasil penelitian ini hamper sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Arisawa, et.al.,yaitu predileksi OLP pada mukosa bukal (61,2%),mukosa alveolar atau
gusi (18,4%), lidah (14,3%) dan bibir (2%).

Pemvigus
Gambaran khas lesi pemvigus berupa bula tidak ditemukan pada penelitian ini,
pasien datang dengan lesi erosi dan ulser yang merupakan lesi sekunder akibat bula
yang pecah. Bula di dalam rongga mulut mudah pecah karena atap bula yang tipis (split
suprabasal) sehingga tidak mudah ditemukan, namun kadang masih ditemukan lesi plak
pseudomembran atau sloughing yang merupakan sisa atap bula yang pecah. Hasil
penelitian ini menemukan bahwa erosi terdapat pada 89,3% kasus Pemvigus sedangkan
ulser ditemukan pada 32,1% kasus. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan
oleh Arisawa et al., menemukan bahwa 100% kasus disertai dengan ulserasi, 75% bula
dan 50% menimbulkan rasa sakit. Perbedaan ini diduga berhubungan dengan perbedaan
faktor kedatangan penderita untuk mendapatkan terapi lesi oral. Pada fase akut segera
setelah bula pecah adalah menjadi ulser yang seiring berjalan waktu akan menjadi lesi
erosi.
Terapi yang diberikan juga berupa kortikosteroid topikal untuk lesi terlokalisir,
namun jika lesi ditemukan meluas maka dapat diberikan kostikosteroid sistemik di
bawah pengawasan ketat. Lesi oral Pemvigus kadang kurang berespon positif terhadap
pemberian imunosupresan sistemik, namun pemberian kortikosteroid topikal atau
intralesi dapat membantu. Pada kondisi deskuamatif gingivitis perlu dilakukan
peningkatan kebersihan mulut dan menghindari iritasi pada lesi. Sebagian besar subjek
pada penelitian ini menunjukkan hal yang serupa, kondisi lesi oral tidak berespon positif
terhadap pemberian imunosupresan sistemik, sehingga ketika kondisi lesi kulit membaik
dan pemberian kortikosteroid sistemik dihentikan maka terapi kortikosteroid topikal
dilanjutkan sampai lesi oral sembuh.

Terkait Pertimbangan Pengobatan Pasien dengan Penyakit Autoimun


Obat obatan yang biasa diberikan untuk mengatasi penyakit autoimun seperti
kortikosteroid dosis tinggi dan digunakan dalam jangka waktu yang lama dapat
mengakibatkan penurunan imunitas sistemik dan akan mempengaruhi imunitas seluler
termasuk sel rongga mulut, sehingga muncul penyakit infeksi oportunistik di rongga
mulut. Lesi oral yang muncul akibat efek samping pengobatan penyakit autoimun
misalnya adalah infeksi jamur dan infeksi virus. Infeksi jamur rongga mulut sebagian
besar disebabkan oleh Candida spp. (sebagian besar oleh C.albicans), sehingga disebut
Candidiasis oral. Lesi Candidiasis oral dapat berupa plak pseudomembran atau erosi
eritema.
Infeksi virus yang mengenai rongga mulut di antaranya adalah herpes labialis
dan stomatitisherpetika. Lesi oral infeksi virus dapat berupa vesikel dan krusta pada
sirkum oral dan sekitar wajah serta dapat juga berupa lesi erosi ulserasi pada daerah
intra oral. Terapi yang dapat diberikan untuk mengatasi infeksi rongga mulut dapat
berupa obat anti jamur (nystatin in oral suspension, dll), antivirus (hydrocortisone salp),
maupun antiseptic (chlorhexidine gluconate, povidone iodine, dll). Obat– obatan
tersebut diharapkan dapat mempercepat penyembuhan atau mencegah infeksi menjadi
lebih parah, meningkatkan kebersihan mulut pasien dan menurunkan kolonisasi mikroba
rongga mulut. Hasil penelitian ini menemukan lesi plak pseudomembran terdapat pada 6
penderita SLE, 7 penderita OLP dan 8 penderita PV. Diagnosis yang ditegakkan adalah
Oral Candidiasis yang dipicu oleh penggunaan steroid sistemik dosis tinggi atau jangka
panjang.
Terapi yang dapat diberikan untuk mengatasi rasa sakit di rongga mulut dapat
berupa obat kumur yang mengandung anti inflamasi (diphenhydramine hydrochloride
atau steroid yang dilarutkan dalam air), anestetikum lokal (benzydamin hydrochloride)
atau magic mouthwash (diphenhydramine hydrochloride atau steroid dalam larutan
aluminium magnesium hidroksida). Penggunaan obat – obatan topikal yang
mengandung steroid harus di bawah pengawasan dan kontrol karena potensi
menimbulkan infeksi oportunistik rongga mulut jika digunakan dalam jangka waktu
panjang. Jika infeksi dan rasa sakit rongga mulut dapat diatasi, maka intake nutrisi dan
hidrasi dapat terjaga, sehingga mempercepat proses penyembuhan baik penyakit
autoimun maupun lesi oral serta dapat meningkatkan kualitas hidup penderita.
L.O 2

Penyakit Infeksi akibat Bakteri

A. TUBERKULOSIS

Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh bakteri yang disebut Mycobacterium


tuberculosis. Bakteri biasanya menyerang paru-paru, tetapi bakteri TB dapat
menyerang setiap bagian dari tubuh seperti ginjal, tulang belakang, dan otak.
Jika tidak ditangani dengan baik, penyakit TBC bisa berakibat fatal.

 ETIOLOGI

Penyebab utama TB adalah Mycobacterium tuberculosis, kecil,


aerobik, basil nonmotile. konten lipid yang tinggi patogen ini menyumbang
banyak karakteristik klinis yang unik. Ini membagi setiap 16 sampai 20 jam,
yang merupakan Tingkat lambat sangat dibandingkan dengan bakteri lainnya,
yang biasanya membagi dalam waktu kurang dari satu jam. Mycobacteria
memiliki bilayer membran lipid luar Jika noda Gram dilakukan, MTB baik noda
sangat lemah "Gram-positif" atau tidak tidak mempertahankan zat warna sebagai
akibat dari lipid yang tinggi dan kandungan asam mycolic dinding selnya. MTB
dapat menahan desinfektan lemah dan bertahan dalam keadaan kering untuk
minggu. Di alam, bakteri dapat tumbuh hanya dalam sel-sel dari organisme
inang, tetapi M. tuberculosis bisa dibudidayakan di laboratorium.

 PATOGENESIS

Infeksi TB dimulai ketika mycobacteria yang mencapai alveoli paru,


di mana mereka menyerang dan mereplikasi dalam endosomes dari makrofag
alveolar. Makrofag mengidentifikasi bakteri sebagai benda asing dan berusaha
untuk menghilangkannya oleh fagositosis. Selama proses ini, bakteri ini
diselimuti oleh makrofag dan disimpan sementara dalam vesikel membran-
terikat disebut fagosom a. Phagosome kemudian menggabungkan dengan
lisosom untuk membuat fagolisosom a. Dalam fagolisosom, sel mencoba untuk
menggunakan spesies oksigen reaktif dan asam untuk membunuh bakteri.
Namun, M. tuberculosis memiliki tebal, lilin kapsul asam mycolic yang
melindungi dari zat-zat beracun. M. tuberculosis mampu mereproduksi dalam
makrofag dan akhirnya akan membunuh sel kekebalan tubuh.

Jika bakteri TB dapat masuk ke aliran darah dari suatu area dari jaringan
yang rusak, mereka dapat menyebar ke seluruh tubuh dan mengatur banyak
fokus infeksi, semua muncul sebagai kecil, tuberkel putih dalam jaringan.
Bentuk parah dari penyakit TB , yang paling umum pada anak-anak dan orang-
orang dengan HIV, disebut tuberkulosis milier. Orang dengan TB
disebarluaskan ini memiliki tingkat kematian yang tinggi bahkan dengan
pengobatan (sekitar 30%).

 GAMBARAN KLINIS

Meskipun, manifestasi oral tuberkulosis memiliki kejadian langka, tetapi telah


dianggap untuk memperhitungkan 0,1-5% dari semua infeksi TB. Lesi ini
biasanya sekunder diinokulasi dengan dahak yang terinfeksi atau karena
penyebaran hematogen

Lesi tuberkulosis dari dorsum lidah pada pasien dengan kedua penyakit TB dan
infeksi HIV. Dapat muncul nodular, glanular atau bahkan leukoplakie

Ulcer pada infeksi tuberkolosis tengahnya mengalami nekrosis dengan tepi


meningi dan menggulung, lama penyembuhannya dan tidak mengalami
rasa sakit.
 PENATALAKSANAAN

Obat yang paling umum digunakan untuk mengobati tuberkulosis


meliputi:
 Isoniazid
 Rifampisin (Rifadin, Rimactane)
 Etambutol (Myambutol)
 Pirazinamid
B. SIFILIS

Sifilis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi dalam bermacam-macam


bentuk. Sifilis merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri jenis
spirocaeta,Treponema pallidum, sebuah organisme kecil dengan panjang 5-15µ,
terlihat dengan baik pada pemeriksaan dark-field dari lesi sifilis. Dapat
ditularkan melalui hubungan seksual pertama dan kavitas oral(orogenital).

 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Terdapat tiga tahap dari infeksi sifilis. Pada tahap pertama,


karakteristik lesi berkembang pada titik dari suntikan. Lesi ini, yang secara khas
tidak sakit, berlangsung selama tiga atau enam minggu dan sembuh walau tidak
dirawat. Tanpa perawatan yang tepat, infeksinya akan memasuki tahap kedua
yang bermanifestasi sebagai ruam kulit dan lesi makular yang mempengaruhi
tidak hanya pada daerah suntikan tetapi juga bagian lain dari tubuh seperti
telapak tangan dan telapak kaki. Lesi putih atau abu-abu juga dapat terjadi pada
daerah yang lembab dari tubuh termasuk mulut, ketiak dan selangkangan.
Gejala dari sifilis tahap dua ini dapat termasuk demam,
limfadenopati,kehilangan berat badan, rambut rontok, sakit kepala, sakit
tenggorokan, sakit otot, dan kelelahan. Sama dengan sifilis tahap pertama, lesi
dari sifilis tahap kedua sembuh tanpa perawatan, tetapi penyakitnya akan
berlanjut ke sifilis tahap ketiga atau tahap laten yang dapat berlangsung selama
beberapa tahun. Kira-kira 15% dari pasien sifilis yang tidak dirawat pada tahap
kedua berkembang menjadi sifilis tahap ketiga yang dapat terjadi sampai
tigapuluh tahun setelah infeksi awal. Ini adalah bentuk paling mematikan dari
sifilis dan dapat menyebabkan komplikasi multipel sistem syaraf termasuk
paralisis dan dementia. Sistem multipel organ juga dapat membawa kepada
kematian.

 GAMBARAN KLINIS

Kira-kira 15% dari pasien dengan sifilis pertama akan terdapat infeksi
intraoral yang tinggi, berupa lesi multipel ataupun soliter. Lesi yang hadir
secara khas tidak sakit, terkadang nekrosis, ulser dengan batas yang tergulung
dan berhubungan dengan limfadenopati. Tempat yang umumnya terjadi adalah
bibir, lidah, palatum, dan nostril. Limfadenopati biasanya menemani lesi ini.
Sebagai peringatan awal, lesi ini sembuh secara spontan tanpa perawatan.

Pada tahap kedua, patch mukosa pada kavitas oral adalah lesi dari
sifilis yang paling menular. Lesi tersebut sangat sakit, menonjol, lesi keabuan
disekitarnya dengan dasar eritematous, dan pada kavitas oral terlihat pada
mukosa membran bibir, lidah, dagu, dan palatum. Hal ini menyebabkan trauma
saat mengunyah. Nekrosis dan pengelupasan dapat terjadi. Pada tahap ini, reaksi
pada pemeriksaan serologik sangat positif.

Dengan sifilis tahap ketiga, jenis lesinya adalah gumma. Itu pertama
kali terjadi pada palatum durum tetapi dapat juga terjadi pada palatum molle dan
alveolus. Gumma diawali sebagai penggembungan yang nantinya mejadi
borok/luka dan kemudian ke fase berulang dari penyembuhan dan kerusakan.
Destruksi tulang dari palatum durum dapat terjadi dengan perforasi palatal dan
dalam beberapa kasus, oral nasal fistula. Gumma dapat terkikis sampai
pembuluh darah.

Temuan oral pada kongenital sifilis dapat hanya berupa tanda klinis dari
penyakit. Terdapat bekas luka linier atau sikatrik menyebar dari ujung bibir ke
bibir bawah. Akibat dari destruksi tulang nasal, dapat menghasilkan hidung
saddle.

Gejala dari sifilis kongenital ini digambarkan sebagai Hutchinson triad:


• Hipoplasia gigi insisif dan molar
• Ketulian
• Korneal keratitis

 DIAGNOSIS

Diagnosis yang terbaik untuk sifilis adalah dengan menggunakan mikroskopis


dark field untuk mengidentifikasi organnisme dari eksudat atau jaringan lesi. Terdapat
beberapa tes screening darah yang positif ke fomasi antibodi terhadap Treponema
pallidum. Ini termasuk ke tes VDRL(Veneral Disease Research Laboratory) nonspesifik
dan tes fluorescent absopsi antibodi treponemal yang lebih spesifik

 PENATALAKSANAAN

Tahap pertama, kedua dan awal tahap ketiga dari sifilis dirawat dengan dosis
tunggal dari 2,4 juta unit dari penisilin G.Doxysiklin atau tetrasiklin dapat digunakan
pada pasien yang alergi dengan penisilin. Akhir sifilis tahap tiga dan sifilis dengan
gejala neurologi memerlukan perawatan dengan dosis yang lebih tinggi dari penisilin
selama beberapa minggu.

C. GONORE (GO)

Gonore adalah penyakit menular seks yang disebabkan oleh Neisseria


gonorrhoeae yang menyebabkan uretritis pada laki-laki danradang selaput
lendir serviks uterus dan uretritis pada wanita. Jenis lain dari infeksi porimer
yaitu faringitis, proctitis, konjungtivitis, dan vulvovaginitis.

 ETIOLOGI

Komplikasi dapat terjadi melalui ekstensi langsung infeksi, termasuk


epididimitis, prostatitis, kelenjar absen Bratholin,salpingitis, dan perihepatitis.
Bakteremia dapat terjadi karena adanya lesi kulit, arthritis, dan
tenosinovitis.Komplikasinya termasuk endokarditis dan meningitis.Awal
terjadinya infeksi konjungtiva adalah penyebab umum kebutaan pada neonatus.

 PATOGENESIS

Infeksi gonore umumnya terbatas pada permukaan mukosa superfisialis


yang berlapis epitel silindris dan kubis.Epitel skuamosa terdapat pada vagina
dewasa.Bakteri melekat pada sel epitel kolumnar, melakukan penetrasi dan
bermultiplikasi di membran bawah (basement membrane). Setelah itu bakteri
dikelilingi oleh mikrovili yang akan menariknya ke permukaan sel mukosa.
Bakteri masuk ke sel epitel melalui proses parasite-directed endocytosis. Selama
endositosis, membran sel mukosa menarik dan mengambil sebuah vakuola yang
berisi bakteri. Vakuola ini ditraportasikan ke dasar sel dimana bakteri akan
dilepaskan melalui eksositosis ke dalam jaringan subepitelial.

Selama infeksi, gonokokus akan menghasilkan berbagai produk


ekstraseluler seperti fosfolipase, peptidase yang dapat menyebabkan kerusakan
sel. Beberapa bakteri Neisseria gonorrhoeae mampu bertahan hidup dalam
fagositosis, sampai neutrofil mati dan melepaskan bakteri yang dicerna. Setelah
itu infiltrasi sejumlah leukosit dan respon neutrofil menyebabkan terbentuknya
pus dan munculnya gejala subjektif.

 GAMBARAN KLINIS

Manifestasi oral penyakit gonorrhea; stomatitis (adanya ulcer pada faring atau
gingiva) yang dikarenakan daerah mulut tidak berkeratin jadi lebih mudah
terjadi luka (ulcer), atropi papila lidah bagian tengah, terdapat nanah yang
keluar dari gusi dan selain itu juga terjadi atritis pada sendi rahang.
 DIAGNOSIS
 Trichomonas vaginalis

Pada wanita akan terlihat sekret vagina seropulen kekuning-kuningan, kuning-


hijau, malodorus, dan berbusa, dapat disertai urertis. Untuk mendiagnosa
trikomiasis dapat dipakai sediaan basah dicampur dengan gram faal dan dapat di
lihat pergerakan aktif.

 Kandidosis vulvovaginitis

Sering menimbulkan gejala klinis gaal dengan eksudat berupa gumpalan-


gumpalan berwarna putih kekuningan. Diagnosis tegantung dari identifikasi
organism dengan smear dan kultur.

 Gardnerella vaginalis

Vagina berwarna abu-abu, homogen berbau, dan pada pemeriksaan ditemukan


clue cells yaitu sel epitel vagina yang granular diliputi oleh kokobasil sehingga
batas sel tidak jelas. Uretritis non spesifik pada pria menimbulkan gejala berupa
disuria ringan, Perasaan tidak enak di uretra dan sering kencing. Uretritis non
spesofik pada wanita seperti gonore umumnya tidak menunjukan gejala.

 PENATALAKSANAAN

Pada umumnya terapi dengan preparatsingle dose lebih dipilih dalam


penatalaksanaan kasus Gonore dengan tujuan mengatasi masalah kepatuhan
penderita dalam menjalani pengobatan. Selama satu dekade, ceftriaxone yang
merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga menjadi pilihan terapi Gonore
tanpa komplikasi, diberikan secara intramuskular dengan dosis 125 mg.
sebelumnya, antibiotik golongan quinolone seperti ciprofloxacin, ofloxacin,
enoxacin, dan lain-lain yang diberikan sebagai regimen single dose memberi
hasil terapi yang memuaskan.

Memberikan obat analgesic dan dianjurkan melakukan diet lunak.

D. DIFFTERI

Diphtheriae adalah pleomorfik, unencapsulated nonmotile gram positif basil.


Campuran yang di campur dengan zat diferensial (Albert’s stain) dapat
mengungkapkan butiran metachromatic. Organisme dapat diatur dalam susunan,
bentuk L atau V, atau dalam kelompok yang menyerupai "karakter Cina" ketika
diperiksa dalam persiapan zat.

 ETIOLOGI

Pertumbuhan adalah aerobik, dan kalium tellurite atau serum yang


digumpalkan (Medium Loeffler) merangsang pertumbuhan.Kelompok
Corynebacterium (serta streptococci dan staphylococci) tumbuh pada media
tellurite mengandung warna hitam keabu-abuan. C. Difteri khas menghasilkan
baik bau ketika tumbuh pada agar Tinsdale ini. diphtheriae cohabitates selaput
lendir manusia bersama-sama dengan diphtheroid saprophytic morfologis serupa
lainnya yang harus dibedakan, biasanya dengan fermentasi diferensial glikogen,
pati, glukosa, maltosa, dan sukrosa. Karakteristik dari tiga jenis stabil difteri
bacillus adalah sebagai berikut: gravis, batang seragam pewarnaan singkat
membentuk koloni yang koheren melingkar rendah pada tellurite agar, yang
menjadi "daisyhead" ketika berkembang dengan baik; jenis ini dapat
menyebabkan sedikit hemolisis; intermedius, pleomorfik panjang dipukuli
batang membentuk koloni kecil halus diskrit pada tellurite agar; mitis, batang
pleomorfik panjang dengan butiran metachromatic menonjol membentuk "telur
rebus" koloni pada tellurite agar.
 PATOGENESIS

Diphtheriae terinfeksi oleh bakteriofag lisogenik menghasilkan toksin


ketika besi hadir dalam berbagai konsentrasi kritis dalam medium.Sebuah
fragmen toksin bypass mekanisme pencernaan sel normal dan memasuki
sitoplasma.Setelah melintasi membran sel, yang tidak aktif toksin faktor
(elongasi faktor) yang merupakan salah satu dari beberapa protein larut
dibutuhkan untuk langkah translokasi sintesis protein. Toksin mengkatalisis
reaksi nikotin adeninedinucleotide + faktor elongasi = adenosin diphosphoribose
elongasi fac tor kompleks + nicotinamide + hidrogen. Ketika faktor elongasi
terkait dengan diphosporibose adenosin, tidak aktif.Translication dari peptidil
asam ribonukleat Transfer (tRNA) dari akseptor ke situs donor pada ribosom
terganggu, dan sintesis protein berhenti.Seluruh toksin sebenarnya proenzim a.
Reaksi dengan diphosphoribose adenosine (reaksi ribosylation) disebabkan oleh
sebuah fragmen proteolitik dari seluruh toksin (fragmen A).Nontoxinogen C.
diphtheriae menguraikan protein physicochemically serupa tapi
immunochemically berbeda dan biologis berbahaya.Oleh karena itu, identifikasi
produksi toksin in vitro oleh C. diphtheriae (toxinogenicity) sangat penting.Hal
ini biasanya dicapai dengan menunjukkan garis immunoprecipitation dihasilkan
oleh strain C. difteri tumbuh pada agar yang ditempatkan strip penyaring papet
mengandung diencerkan, sangat murni antitoksin difteri (tes Elek ini). Produk
ekstraseluler biologis aktif lainnya dari C. diphtheriae memainkan beberapa
peran dalam produksi difteri, karena nontoxinogenic C. diphtheriae dapat
menyebabkan difteri klinis meskipun dari berbagai ringan daripada yang
dihasilkan oleh organisme toxinogenic.

 GAMBARAN KLINIS

Tanda-tanda dan gejala lain tergantung pada sejauh mana lesi difteri
lokal.

- Anterior hidung Difteri. Pasien dengan hidung anterior Theria difteri ini
dapat minimal terganggu sambil menghasilkan debit hidung mukopurulen tebal,
yang dapat mengiritasi nares eksternal dan bibir atas. Sebuah membran
kekuningan krim, dengan atau tanpa pengerasan kulit, dapat dilihat di
hidung.Keracunan parah dari difteri hidung tidak umum.

- Tonsil (Faucial) Difteri. Dalam difteri tonsil membran dimulai sebagai


struktur mucilaginous tipis yang melibatkan salah satu atau kedua amandel.Hal
ini tidak terbatas pada kriptus tonsil.pada saat nasihat medis yang dicari,
biasanya ada warna keabu-abuan-hijau karakteristik beberapa daerah
membran. Membran yang beberapa milimeter tebal, mungkin sulit untuk
mengusir dengan swab dan ketika robek sering meninggalkan permukaan
pendarahan pada tonsil. Kadang-kadang membran melintasi perbatasan ana-
tomic dan mungkin melampaui pilar anterior tonsil, yang sering
membesar.Empat keluhan yang paling umum selama wabah di Texas yang sakit
tenggorokan (85 persen), nyeri saat menelan (23 persen), mual dan sakit kepala
dan (18 persen).Yang paling muntah (25 persen) tanda umum adalah demam (85
persen).Cukup lembut getah bening untuk 2 cm, biasanya dapat teraba di
segitiga node anterior leher.

- Faring Difteri. Luar tonsil palatine membran menyebar uvula, langit-


langit lunak, dan dinding faring.Pembengkakan ditandai amandel pada titik ini
sering mengaburkan area besar membran pada aspek posterior dari
tonsil.Mukosa hidung mungkin terlibat dan mungkin berdarah deras.Karakter
kehijauan dari membran lebih menonjol.Mungkin ada patch hitam nekrotik di
daerah-daerah di mana membran pertama kali muncul. Yang disebut fetor difteri
adalah nilai diagnostik kecil, terjadi juga selama ourse dari mononukleosis
menular dan edema infeksi lembut panas Vincent (bull neck) yang melibatkan
bagian anterior leher dapat mengaburkan sudut rahang, perbatasan
sternokleidomastoid yang otot, klavikula, dan kelenjar getah bening yang
membesar, yang menjadi lebih menonjol sebagai edema mereda. Anak dengan
faring difteri adalah menyedihkan lemah, lemas, tidak melawan, pucat, dan
kelelahan. Perdarahan dari saluran napas bagian atas adalah prognostiknya
menandakan kematian.
 PENATALAKSANAAN

Dosis yang diperlukan DAT dapat disederhanakan sebagai berikut: jika


membran tidak melampaui tonsil dan tidak ada trombositopenia, pasien dapat
diobati dengan pemberian intramuskular 20.000 unit. Pasien dengan membran
lebih luas membutuhkan 80.000 sampai 100.000 unit, sebaiknya melalui rute
intravena.Jumlah minimum DAT diperlukan untuk mencegah komplikasi tidak
diketahui.Antibiotik digunakan untuk menghilangkan organisme dari saluran
pernapasan bagian atas dan untuk mengakhiri carrier.Penisilin dan eritromisin
keduanya efektif.

Tetrasiklin, rifampisin, klindamisin, dan ampisilin efektif in vitro


terhadap diphtheria.

Pertimbangan Perawatan Dental Pasien TBC

1. Sputum positif TB
 Konsultasi dengan Dokter ahli sebelum perawatan
 Laksanakan perawatan yang urgent saja
 Laksanakan perawatan urgent yang menggunakan handpiece hanya pada
ruangan(Rumah Sakit) yang memiliki isolasi, sterilisasi(sarung tangan, masker,
gaun) dan ventilasi khusus.

2. Riwayat TB
 Tangani dengan hati-hati, tanyakan riwayat penyakit dan durasi perawatan yang
sudah dijalani, buat laporan.
 Minta riwayat rontgent dadaa dan pemriksaan fisik berkala pasien, untuk
menghindari reaktivasi dan kekambuhan saat perawatan.
 Konsultasi dengan tenaga ahli
Pertimbangan Perlindungan Diri Perawatan Dental Pada Pasien dengan Kondisi
Khusus

 Cuci tangan dengan baik dan benar guna mencegah infeksi silang
 Pemakaian alat pelindung (Sarung tangan, masker, gaun) guna mencegah kontak
dengan darah serta cairan infeksi lainnya
 Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai
 Menggunakan alat yang berbeda dengan alat yang digunakan pada pasien biasa
 Pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan
L.O 3
JAMUR

A. Candida albicans
Candida albicans merupakan flora normal rongga mulut, saluran pencernaan
dan vagina, jamur ini dapat berubah menjadi patogen jika terjadi perubahaan
dalam diri pejamu. Perubahan yang terjadi pada pejamu tersebut dapat bersifat
lokal maupun sistemik.
Lesi kandidiasis ini dapat berkembang di setiap rongga mulut, tetapi lokasi
yang paling sering adalah mukosa bukal, lipatan mukosa bukal, orofaring dan
lidah. Kandidiasis kronis yang tidak segera dirawat dapat berkembang menjadi
kandidiasis leukoplakia yang bersifat pra ganas, dan kemudian mengakibatkan
karsinoma sel skuamosa. Selain itu, kandidiasis dapat berkembang menjadi
infeksi sistemik melalui aliran getah bening yang menyerang organ vital seperti
ginjal, paru-paru, otak dan dinding pembuluh darah yang bersifat fatal.
Penatalaksanaan kandidiasis yaitu berdasarkan penyebab yang mendasarinya
yaitu penatalaksanaan dalam bentuk lokal maupun sistemik.
Kandidiasis oral adalah salah satu infeksi fungal yang mengenai mukosa oral.
Lesi ini disebabkan oleh jamur Candida albicans. Candida albicans adalah salah
satu komponen dari mikroflora oral dan sekitar 30-50% orang sebagai karier
organisme ini. Tedapat lima tipe spesies kandida yang terdapat di kavitas oral,
diantaranya adalah :

1. Candida albicans
2. Candida tropicalis
3. Candida krusei
4. Candida parapsilosis
5. Candida guilliermondi
Dari kelima tipe tersebut, Candida albicans adalah yang paling sering terdapat
pada kavitas oral. Candida albicans merupakan fungi yang menyebabkan infeksi
opurtunistik pada manusia. Salah satu kemampuan yang dari Candida albicans
adalah kemampuan untuk tumbuh dalam dua cara, reproduksi dengan tunas,
membentuk tunas elipsoid, dan bentuk hifa, yang dapat meningkatkan misela
baru atau bentuk seperti jamur.
Adapun faktor resiko yang mempengaruhi dari infeksi dari kandidiasis oral
yaitu:
1. Faktor Patogen
Jamur kandida mampu melakukan metabolisme glukosa dalam kondisi aerobik
maupun anaerobik. Selain itu jamur kandida mempunyai faktor-faktor yang
mempengaruhi adhesi terhadap dinding sel epitel seperti mannose, reseptor C3d,
mannoprotein dan Saccharin. Sifat hidrofobik dari jamur dan juga kemampuan
adhesi dengan fibronektin host juga berperan penting terhadap inisial dari infeksi
ini.
2. Faktor Host
a. Faktor lokal
Fungsi kelenjar saliva yang terganggu dapat menjadi predisposisi dari
kandidiasis oral. Sekresi saliva menyebabkan lemahnya dan mengbersihkan
berbagai organisme dari mukosa. Pada saliva terdapat berbagai protein-protein
antimikrobial seperti laktoferin, sialoperoksidase, lisosim, dan antibodi
antikandida yang spesifik.
Penggunaan obat-obatan seperti obat inhalasi steroid menunjukan peningkatan
resiko dari infeksi kandidiasis oral. Hal ini disebabkan tersupresinya imunitas
selular dan fagositosis.Penggunaan gigi palsu merupakan faktor predisposisi
infeksi kandidiasis oral. Penggunaan ini menyebabkan terbentuknya lingkungan
mikro yang memudahkan berkembangnya jamur kandida dalam keadaan PH
rendah, oksigen rendah, dan lingkungan anaerobik. Penggunaan ini pula
meningkatkan kemampuan adhesi dari jamur ini.
b. Faktor sistemik
Penggunaan obat-obatan seperti antibiotik spektrum luas dapat mempengaruhi
flora lokal oral sehingga menciptakan lingkungan yang sesuai untuk jamur
kandida berproliferasi. Penghentian obat-obatan ini akan mengurangi dari infeksi
jamur kandida. Obat-obatan lain seperti agen antineoplastik yang bersifat
imunosupresi juga mempengaruhi dari perkembangan jamur kandida. Beberapa
faktor lain yang menjadi predisposisi dari infeki kandidiasis oral adalah merokok,
diabetes, sindrom Cushing’s serta infeksi HIV.
Secara umum presentasi klinis dari kandidiasis oral terbagi atas lima bentuk:
kandidiasis pseudomembranosa, kandidiasis atropik, kandidiasis hiperplastik,
kandidiasis eritematosa atau keilitis angular. Pasien dapat menunjukan satu atau
kombinasi dari beberapa presentasi ini.

1. Kandidiasis pseudomembranosa
Kandidiasis pseudomembranosa secara umum diketahui sebagai thrush, yang
merupakan bentuk yang sering terdapat pada neonatus. Ini juga dapat terlihat pada
pasien yang menggunakan terapi kortikosteroid atau pada pasien dengan
imunosupresi. Kandidiasis pseudomembran memiliki presentasi dengan plak putih
yang multipel yang dapat dibersihkan. Plak putih tersebut merupakan kumpulan
dari hifa. Mukosa dapat terlihat eritema. Ketika gejala-gejala ringan pada jenis
kandidiasis ini pasien akan mengeluhkan adanya sensasi seperti tersengat ringan
atau kegagalan dalam pengecapan.

2. Kandidiasis atropik
Kandidiasis atropik ditandai dengan adanya kemerahan difus, sering dengan
mukosa yang relatif kering. Area kemerahan biasanya terdapat pada mukosa
yang berada dibawah pemakaian seperti gigi palsu. Hampir 26% pasien dengan
gigi palsu terdapat kandidiasis atropik

3. Kandidiasis hiperplastik
Kandidiasis hiperplastik dikenal juga dengan leukoplakia kandida. Kandidiasis
hiperplastik ditandai dengan adanya plak putih yang tidak dapat deibersihkan. Lesi
harus disembuhkan dengan terapi antifungal secara rutin.

4. Kandidiasis eritematosa
Banyak penyebab yang mendasari kandidiasis eritematosa. Lesi secara klinis
lesi timbul eritema. Lesi sering timbul pada lidah dah palatum. Berlainan dengan
bentuk kandidiasis pseudomembran, penderita kandidiasis eritematosa tidak
ditemui adanya plak-plak putih. Tampilan klinis yang terlihat pada kandidiasis ini
yaitu daerah yang eritema atau kemerahan dengan adanya sedikit perdarahan di
daerah sekitar dasar lesi. Hal ini sering dikaitkan terjadinya keluhan mulut kering
pada pasien. Lesi ini dapat terjadi dimana saja dalam rongga mulut, tetapi daerah
yang paling sering terkena adalah lidah, mukosa bukal, dan palatum. Kandidiasis
eritematosa dapat diklasifikasikan dalam tiga tipe, yaitu :
- Tipe 1 : inflamasi sederhana terlokalisir atau pinpoint hiperemia.
- Tipe 2 : eritematosa atau tipe sederhana yang umum eritema lebih tersebar
meliputi sebagian atau seluruh mukosa yang tertutup gigi tiruan,
- Tipe 3 : tipe granular (inflamasi papila hiperplasia) umumnya meliputi
bagian tengah palatum durum dan alveolar ridge.

5. Keilitis angular
Keilitis angular ditandai dengan pecah-pecah, mengelupas maupun ulserasi
yang mengenai bagian sudut mulut. Gejala ini biasanya disertai dengan kombinasi
dari bentuk infeksi kandidiasis lainnya, seperti tipe erimatosa.
Kandidiasis oral didiagnosis berdasarkan tanda-tanda klinis dan gejalanya.
Adapun tes tambahan yaitu:
1. Sitologi eksfoliatif
2. Kultur
3. Biopsi jaringan

Gambar 1. Kultur fungal candida


Adapun manajemen terapi yang dilakukan pada kandidiasis oral adalah dengan
pengobatan secara topikal. Setelah dilakukan pengobatan topikal maka dilanjutkan
pengobatan selama dua minggu setelah terjadinya resolusi pada lesi. Ketika terapi
topikal mengalami kegagalan maka dilanjutkannya terapi sistemik karena gagalnya
respon obat adalah merupakan pertanda adanya penyakit sistemik yang mendasari.
Follow up setelah 3 sampai 7 hari pengobatan untuk mengecek efek dari obat-obatan.
Adapun tujuan utama dari pengobatan adalah :
1. Untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi faktor-faktor yang berkontribusi.
2. Untuk mencegah penyebaran sistemik.
3. Untuk mengurangi kekurangnyamanan yang terjadi.
4. Untuk mengurangi perkembangbiakan kandida.

Pengobatan pada kandidiasis terdiri atas lini pertama dan pengobatan lini kedua.
Pengobatan kandidiasis oral lini pertama yaitu:
1. Nistatin
Nistatin merupakan obat lini pertama pada kandidiasis oral yang terdapat
dalam bentuk topikal. Obat nistatin tersedia dalam bentuk krim dan suspensi oral.
Tidak terdapat interaksi obat dan efek samping yang signifikan pada penggunaan obat
nistatis sebagai anti kandidiasis.

2. Ampoterisin B
Obat ini dikenal dengan Lozenge (fungilin 10 mg) dan suspensi oral 100
mg/ml dimana diberikan tiga sampai empat kali dalam sehari. Ampoterisin B
menginhibisi adhesi dari jamur kandida pada sel epitel. Efek samping pada obat
ini adalah efek toksisitas pada ginjal.
3. Klotrimazol
Obat ini mengurangi pertumbuhan jamur dengan menginhibisi ergosterol.
Klotrimazol dikontraindikasikan pada infeksi sistemik. Obat ini tersedia dalam
bentuk krim dan tablet 10 mg. Efek utama pada obat ini adalah rasa sensasi tidak
nyaman pada mulut, peningkatan level enzim hati, mual dan muntah.
Adapun pengobatan kandidiasis lini kedua yaitu:
1. Ketokonazol
Ketokonazol memblok sintesis ergosterol pada membran sel fungal dan diserap
dari gastrointestinal dan dimetabolisme di hepar. Dosis yang dianjurkan adalah
200-400 mg tablet yang diberikan sakali atau dua kali dalam sehari selama dua
minggu. Efek samping adalah mual, muntah, kerusakan hepar dan juga interaksinya
dengan antikoagulan.
2. Flukonazol
Obat ini menginhibisi sitokrom p450 fungal. Obat ini digunakan pada
kandidiasis orofaringeal dengan dosis 50-100mg kapsul sekali dalam sehari dalam
dua sampai tiga minggu. Efek samping utama pada pengobatan dengan
menggunakan flukonazol adalah mual, muntah dan nyeri kepala.
3. Itrakonazol
Itrakonazol merupakan salah satu antifungal spektrum luas dan
dikontraindikasikan pada kehamilan dan penyakit hati. Dosis obat adalah 100 mg
dalam bentuk kapsul sehari sekali selama dua minggu. Efek samping utama adalah
mual, neuropati dan alergi.
Kandidiasis oral merupakan infeksi oportunistik dari jamur Candida albicans
yang menyerang oral. Berbagai faktor yang mempengaruhi organisme ini untuk
berkembang yaitu dari pejamu dan juga dari lingkungan yang mendukung
terjadinya pertumbuhan dari jamur ini. Untuk memastikan penderita terinfeksi
kandidiasis maka dilakukan berbagai pemeriksaan terkait gejala-gejala yang timbul
pada pasien juga dilakukan pemeriksaan penunjang. Pengobatan pada kandidiasis
ini bergantung atas penyebab serta faktor-faktor yang mendukung terjadinya
infeksi opurtunistik ini.
Prognosis dari oral kandidiasis adalah baik ketika faktor-faktor predisposisi yang
berhubungan dengan infeksi ini tereliminasi. Ketika faktor-faktor predisposisi
meningkat pada pasien kandidiasis primer maka meningkatkan pula resiko yang
lebih buruk pada kandidiasis. Pada kebanyakan kasus kandidiasis oral adalah
penyebab dari infeksi superfisial sekunder yang dapat dengan mudah diobati
dengan terapi antifungal.
B. Blastomycosis
Merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur Blastomyces dermatitidis
yang merupakan organism dimorfik yang dapat tumbuh dalam bentuk yeast atau
mycelia. Penyakit ini sering mengenai pada petani terutama di daerah Atlantik
Tengah dan US Tenggara. Infeksi blastomyces ini dimulai melalui pernafasan,
dengan didahului infeksi paru-paru dan diikuti tanda-tanda seperti malaise, demam,
dan batuk. Apabila tidak diobati akan muncul gejala seperti pernafasan pendek,
penurunan berat badan, dan sputum berdarah. Infeksi di kulit, mukosa, dan tulang
juga dapat terjadi akibat penyebaran organism dari paru melalui sitem limfatik.
Pada kulit dimulai dalam bentuk nodula subkutan dan berkembang menjadi ulkus,
indurasi, dan berbatas tegas.
Manifestasi oral dari penyakit ini berupa non spesifik ulesr dengan tepi
indurasi, tidak nyeri. Banyak jenis ulser ini sering disalah artikan dengan
Squamous-cell carcinoma.
C. Histoplasmosis
Merupakan penyakit systemic fungal infection. Penyakit ini disebabkan oleh
histoplasma capsulatum, histoplasma duboisii. Penyakit histoplasmosis dimulai
dari pernafasan yang dihirup dari debu yang terkontaminasi dari pembuangan
burung atau kelelawar.
Manifestasi oral dari histoplasmosis ini merupakan kelanjutan dari terjadinya
di dalam paru. Bentuk histoplasmosis ini dapat berupa papula, nodula, ulser,
vegetation. Keadaan kelenjar limfe biasanya membesar dan cekat. Pada penderita
HIV, ulser ini biasanya dengan batas indurasi di gingival, palatum, dan lidah.
L.O 4
PENYAKIT VIRUS

Imunopatogenesis Infeksi HIV


HIV merupakan virus diploid berserat tunggal (single stranded) berdiameter
100–120 nm, memiliki enzim reverse transcriptase, yang mampu mengubah RNA
menjadi DNA pada sel yang terinfeksi, kemudian berintregarsi dengan DNA sel
penjamu dan selanjutnya dapat berproses untuk replikasi. HIV menginfeksi sel T helper
yang memiliki reseptor CD4 di permukaannya makrofag, sel dendritik, organ limfoid.
Fungsi penting sel T helper antara lain menghasilkan mediator kimia yang berperan
sebagai stimulasi pertumbuhan dan pembentukan sel lain dalam sistem imun dan
pembentukan antibodi, sehingga penurunan sel CD4 menurunkan imunitas dan
menyebabkan penderita mudah terinfeksi patogen. Periode sindrom HIV akut
berkembang sekitar 3 – 6 minggu setelah terinfeksi, dihubungkan dengan muatan virus
yang tinggi di ikuti berkembangnya respons selular dan hormonal terhadap virus,
setelah itu penderita HIV mengalami periode klinis laten (asimtomatis) yang bertahan
selama bertahun-tahun, dimana terjadi penurunan sel T CD4 yang progresif dalam
jaringan limfoid. Kemudian diikuti gejala konstitusional serta tanda infeksi oportunistik
atau neoplasma yang memasuki periode AIDS.

Lesi Orofasial dan Tingkat Imunosupresi pada Pasien yang Terinfeksi HIV
A. Kelompok 1, lesi yang biasa terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV:
1. Kandidiasis (pseudomembranous, eritematosus, angular cheilitis).
2. Infeksi virus Herpes Simpleks.
3. Linear gingival erythema
4. Pembengkakan Kelenjar parotis
5. Stomatitis apthosus rekuren (minor, mayor, herpetiform)

B. Kelompok 2, Lesi yang kadang-kadang dijumpai pada pasien yang terinfeksi


HIV:
1. Infeksi bakteri pada mukosa mulut
2. Penyakit periodontal (Necrotizing Ulcerative gingivitis, Necrotizing
Ulcerative periodontitis, Necrotizing stomatitis)
3. Dermatitis seborhoic
4. Infeksi virus (cytomegalovirus, Human papilomavirus, Molluscum)
5. Contagiosum, varicella zoster.
6. Xerostomia
C. Kelompok 3, lesi yang sangat berhubungan dengan infeksi HIV tetapi jarang
terjadi
1. Neoplasma (sarcoma Kaposi dan limfoma non-hodkin's)
2. Oral leukoplasia
3. Ulser yang berhubungan dengan tuberkolosis.

Terdapat dua kriteria untuk mendiagnosa lesi orofasial penderita HIV yaitu :
a. kriteriapresumtif yaitu melihat gambaran klinis selama pemeriksaan, mencakup
karakteristik lesi (bentuk, warna, tekstur, likasi, ukuran), dan gejala klinis.
b. kriteria definitive yaitu aplikasi dari criteria presumtif, diagnosis banding, dan
test laboratorium untuk memastikan diagnosis.

Kandidiasis
Kandidiasis oral merupakan manifestasi oral yang paling sering terjadi pada pasien HIV
positif. Terdapat 3 tipe kandidiasis oral yang pada pasien yang terinfeksi HIV, yaitu :
a. Kandidiasis Pseudomembranous
• kriteria presumtif.multifokal, tidak melekat, plak atau papula putih yang dapat
diangkat/diseka dengan tekanan ringan, meninggalkan permukaan yang eritema.
• kriteria definitive. Kultur kandida atau kerokan sitologik.

b. Kandidiasis Eritematous
• kriteria presumtif. Multipel, bercak merah, biasanya pada palatum, dorsum lidah,
tidak melekat, mungkin bersamaan dengan plak putih krem, sakit terbakar.
• kriteria definitive. Kultur kandida atau kerokan sitologik.
c. Keilitis Angularis
• kriteria presumtif. Garis merah atau fisur ulserasi yang menyebar pada sudut
mulut, bilateral, papula merah multiple mungkin ditemukan pada kulit perioral
yang berdekatan, bersamaan dengan candida di dalam rongga mulut.
• kriteria definitive. Kultur kandida atau kerokan sitologik.

Infeksi Virus Herpes Simpleks.


• kriteria presumtif. Pasien mengalami demam dan malaise, nodus limfatikus
bengkak dan lunak, lesi perioral pada gingival, palatum keras, vermilion border
bibir, mukosa mulut lain dapat terlibat. Didahului oleh vesikel, lalu lesi ini
menjadi ulser yang irregular dan sakit.
• kriteria definitive. Virus dapat diisolasi pada kultur jaringan, pemeriksaan lain
yang menguatkan diagnosis yaitu pemeriksaan sitologi, teknik
imunofluoresensi, teknik PCR (polymerase chain reaction) dan titer antibody.

Linear gingival erythema.


• kriteria presumtif. Merah menyala, berbentuk pita dengan lebar 2-3mm pada
margin gingival disertai petechia atau lesi merah difus pada attached gingival
dan mukosa mulut perdarahan selama menyikat gigi. Perdarahan spontan pada
kasus berat. Rasa sakit jarang dikeluhkan.
• kriteria definitive. Tidak diketahui kriteria untuk memastikan diagnostik dari
linear gingivitis erythema. Lesi ini sama seperti gambaran klinis yang terjadi
pada neutropenia. Karena itu, pada klinis harus melakukan pemeriksaan darah
lengkap dan analisis pada sel darah putih.

Pembesaran Kelenjar Parotis


• kriteria presumtif. Pembengkakan jaringan lunak difus bilateral atau unilateral,
wajah tampak tidak normal, dapat dsertai rasa sakit.
• kriteria definitive. Tidak ada kriteria definitive untuk memastikan diagnosis.

Stomatitis Aftosa Rekuren


Stomatitis aftosa rekuren terjadi hampir pada 2%_6% pada populasi orang dewasa yang
terinfeksi HIV dan lebih sering terjadi pada anak-anak yang teinfeksi HIV, khususnya
disebabkan obat-obatan seperti didaosine (ddl) yang dapat menginduksi terjadinya lesi.
Beberapa bentuk stomatitis aftosa rekuren berdasarkan ukuran, jumlah, dan durasi lesi,
yaitu:
1. Stomatitis Aftosa minor rekuren
• kriteria presumtif. Ulser kecil dengan diameter kurang dari 5mm, ditutupi
lapisan pseudomembran dan dikelilingi oleh halo eritematous.
• kriteria definitive. Respon yang cepat terhadap terapi steroid menegaskan
diagnosis.
2. Stomatitis Aftosa mayor rekuren
• kriteria presumtif. Gambaran klinis sama dengan stomatitis aftosa minor rekuren
tetapi lebih besar, diameter antara 1-2 cm, dan timbul selama beberapa minggu,
terasa sakit dan mengganggu pengunyahan dan penelanan.
• kriteria definitive. Adanya respon terhadap obat steroid.
3. Stomatitis Aftosa herpetiform rekuren
• kriteria presumtif. Berupa stomatitis aftosa yang kecil-kecil berkelompok,
diameter 1- 2mm, cendrung terjadi pada lokasi yang kriteria definitive. Adanya
respon terhadap obat steroid.

Necrotizing ulcerative gingivitis (NUG)


• kriteria presumtif. Destruksi pada satu atau lebih dari papilla interdental disertai
dengan nekrosis, ulserasi. Destruksi ini terbatas pada margin gingival. Pada
tahap akut (Acut Necrotizing ulcerative gingivitis), jaringan gingival tampak
merah menyala dan bengkak, dsertai oleh jaringan nekrotik abu-abu kekuningan
yang mudah berdarah. Gejala yang dirasakan pasien yaitu mudah berdarah saat
menyikat gigi, sakit, dan adanya halitosis.
• kriteria definitive. Diagnosis ditentukan secara klinis. Terdapat respon terhadap
pemberian antibiotik sistemik dan local debridement. Gejala menghilang
bertahap diatas 3-4 minggu, tetapi sering rekuren. NUG dapat muncul pada
tahap awal dari necrotizing ulcerative gingivitis.

Necrotizing ulcerative periodontitis (NUP)


• kriteria presumtif. Nekrosis jaringan lunak yang parah, dekstruksi perlekatan
periodontal dan tulanh pada waktu singkat. Perdarahan gingival spontan atau
berdarah saat menyikat gigi, sakit pada tulang rahang. Pada kasus berat, tulang
rahang dapat terbuka. Tahap akhir NUP ditandai resesi gingival yang parah
karena destruksi tulang yang cepat dan nekrosis jaringan lunak.
• kriteria definitive. Terdapat pembentukan poket karena hilangnya jaringan lunak
ataupun jaringan keras. Dekstruksi jaringan dapat meluas sampai ke
mucogingival junction. NUP bersifat kronis, ulserasi akan terlihat selama
periode aktif tetapi tidak ada pada periode tidak aktif.

Necrotizing stomatitis (NS)


• kriteria presumtif. Bersifat akut dan lesi ulseronekrotik yang sangat sakit pada
mukosa mulut. Tulang dibawahnya dapat terbuka, lesi dapat berpenetrasi meluas
ke jaringan disekitarnya.
• kriteria definitive. Pemeriksaan histologic memperlihatkan gambaran ulserasi
yang tidak spesifik. Mikroorganisme yang tidak spesifik telah diidentifikasi
sebagai penyebab NS.

Herpes Zoster
• kriteria presumtif. Rasa sakit, rasa terbakar, parestesi atau gatal beberapa hari,
lesi berupa vesikel bergerombol, unilateral sepanjang saraf sensorik yang
terkena. Lesi di kulit berupa vesikel bergerombol dan dapat menyatu menjadi
krusta, lesi di mukosa akan mudah pecah membentuk ulserasi yang dangkal dan
luas dengan tepi tidak beraturan.
• kriteria definitive. Adanya respon terhadap pemberian acyclovir dan pemberian
streoid dengan mempertimbangkan kondisi sistemik pasien. Lesi dapat sembuh
lebih kurang satu bulan.

Xerostomia
• kriteria presumtif. Mulut kering dan menurunnya kecepatan aliran saliva.
• kriteria definitive. Kecepatan aliran saliva pada pasien yang terinfeksi HIV dan
pasien yang terinfeksi HIV sulit dilihat. Erostomia dapat disertai atau tanpa
pembengkakan parotis.

Hairy leukoplakia
Kejadian Hairy leukoplakia rendah pada anak-anak karena jarang terinfeksi oleh virus
Epstein Barr yang menyebabkan timbulnya lesi ini. kriteria presumtif . lesi putih, tidak
dapat diangkat, permukaan tidak rata, bilateral pada lateral lidah. Dapat timbul pada
permukaan ventral dan dorsal lidah, jarang terjadi pada mukosa bukal
• kriteria definitive. Adanya virus Epstein Barr pada lesi ini, ditentukan dengan
pemeriksaan histopatologik dan hibridisasi DNA ini. Jika pemeriksaan ini tidak
dapat dilakukan, maka kurangnya respon terhadap terapi anti jamur dapat
memperkuat dugaan diagnose lesi ini.

Pertimbangan Perawatan Dental


 Pertimbangan perawatan dental pada pasien pengidap HIV/AIDS, termasuk
didalamnya; mengetahui jumlah Limfosit dan level immunosupressan terbaru
dari pasien.
 Selain itu, mengetahui level viral load pasien juga perlu, karena bisa jadi pasien
terkena infeksi oportunistik, dan untuk melihat tingkat keparahan AIDS.
 Dokter gigi juga perlu mengetahui status infksi oportunistik, pengobatan yang
dijalani pasien, dan profilaksis untuk infeksi tersebut.
 Untuk treatment yang kompleks, dokter gigi harus melakukan diskusi terbuka
dan jujur dengan si pasien agar dapat memperkirakan prognosis jangka panjang
dan kondisi medical pasien.
 Untuk perawatan dentalnya sendiri, selain perlindungan diri, perawatan untuk
pasien ODHA sama dengan pasien normal. Semua lesi oral yang ditemukan
harus didiagnosa dan diberi perawatan.
 Konsultasi medis dengan dokter spesialis terkait juga sangat dibutuhkan sebelum
menangani pasien ODHA.
 Perawatan utama yang harus dilakukan dokter gigi adalah menghilangkan sakit
pada gigi dan mulut pasien.
 Jika dibutuhkan tindakan invasive, harus lebih diperhatikan untuk menghindari
infeksi dan perdarahan berlebih, pada pasien dengan immunosupressan,
neutropenia, dan trombositopenia.
 Untuk pasien dengan neutrophil dibawah 500 cell/mm 3 , mungkin diperlukan
penggunaan antibiotic profilaksis.
 Sebelum memulai perawatan, perlu dilakukannya tes darah untuk mengetahui
jumlah limfosit dan platelet. Jika ada kemungkinan trombositopenia, mungkin
akan diperlukan platelet replacement.
 Setiap tindakan dental harus dilakukan setelah konsultasi dengan dokter spesialis
terkait.

Pertimbangan Perlindungan Diri Perawatan Dental Pada Pasien


dengan Kondisi Khusus
 Cuci tangan dengan baik dan benar guna mencegah infeksi silang
 Pemakaian alat pelindung (Sarung tangan, masker, gaun) guna mencegah kontak
dengan darah serta cairan infeksi lainnya
 Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai
 Menggunakan alat yang berbeda dengan alat yang digunakan pada pasien biasa
 Pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan

Manifestasi HIV dan AIDS dalam Rongga Mulut


Sekitar 95% penderita AIDS mengalami manifestasi pada daerah kepala dan leher
sebagaimana juga menurut Shiod dan Pinborg 1987. Manifestasi di mulut seringkali
merupakan tanda awal infeksi HIV.

Terkait Erat dengan Infeksi HIV dan AIDS

1. Infeksi karena jamur (Oral Candidiasis)


Kandidiasis mulut sejauh ini merupakan tanda di dalam mulut yang paling sering
dijumpai baik pada penderita AIDS dan merupakan tanda dari manifestasi klinis
pada penderita kelompok resiko tinggi pada lebih 59% kasus.
Kandidiasis mulut pada penderita AIDS dapat terlihat berupa oral thrush, acute
atrophic candidiasis, chronic hyperplastic candidiasis, stomatis angularis (Perleche)
serta deep fungal mycosis (seperti mucormycosis).

• Pseudomembranous Candidiasis
Tanda dan Gejala:
- Bercak atau plak putih kekuningan mukosa mulut.
- Jika plak diangkat meninggalkan permukaan yang kemerahan
atau berdarah.
Pemeriksaan:
Deteksi dengan tes pemeriksaan langsung hapusan (smear) dengan potasium
hidroksida dan kultur jamur atau biopsy.
Pengobatan:
- Dengan anti jamur Topikal (nystatin) 4 x 2 ml dikulum 3–5
menit lalu ditelan, selama 2 minggu .
- Obat kumur chlorhexidin gluconat 0,12%.
- Dirujuk ke SpPM atau jika tidak ada ke SpPD atau SpKK.

Gambar 1. Kandidiasis Pseudomembran

• Erythematous
Tanda dan Gejala:
- Warna lesi kemerahan sampai merah, datar dan halus,
terdapat di daerah palatum, mukosa pipi dan permukaan lidah.
- Keluhan rasa panas di mulut, terutama saat memakan
makanan yang asin, pedas atau minum asam.
- Sering muncul pada mulut ODHA, namun jarang
terdiagnosis.
Pemeriksaan:
Gejala klinis dan riwayat kesehatan ODHA serta status
virologisnya.
Pengobatan:
- Topikal (nystatin) 4 x 2 ml dikulum 3–5 menit lalu ditelan,
selama 2 minggu.
- Obat kumur chlorhexidin gluconat 0,12%.
- Dirujuk ke SpPM atau jika tidak ada ke SpPD atau SpKK.

Gambar 2. Erythematous Candidiasis (Kandidiasis Eritema)

Gambar 3. Hiperplastik Kandidiasis

• Angular Cheilitis
- Eritema atau luka berupa celah di sudut mulut.
- Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya kandidiasis eritema
atau kandidiasis pseudomembran. Angular cheilitis dapat
berlangsung lama jika dibiarkan tanpa perawatan.
Pengobatan:
Menggunakan mikonazol krim anti jamur secara topikal. 4 Kali
sehari selama 2 minggu.

Gambar 4. Angular Cheilitis


• Oral Candidiasis
Pengobatan:
Pengobatan berdasarkan keparahan infeksi. Untuk ringan
hingga sedang menggunakan nystatin. Kasus berat yang
membutuhkan pengobatan dengan anti jamur sistemik dirujuk
ke SpPM atau jika tidak ada SpKK atau SpPD.
Terapi anti jamur selama dua minggu berfungsi untuk :
- Mengurangi pembentukan koloni.
- Mengurangi risiko kekambuhan.
Topikal dengan menggunakan:
- Nystatin oral suspension 100,000 units/ml.

2. Hairy Leukoplakia
Penyebab: virus Epstein-Barr (EBV).

Tanda dan gejala:


- Plak keputihan dengan permukaan kasar seperti rambut.
Biasanya pada lateral lidah.
- Sulit untuk diangkat.
- Lesi dapat meluas ke permukaan lidah.
- Tidak menujukkan gejala spesifik.
- CD4 kurang dari 350 sel/mm3.

Pengobatan:
- Umumnya tidak membutuhkan pengobatan (pada ODHA yang
mendapat terapi ARV), kecuali karena pertimbangan kosmetik.
- Acyclovir krim untuk herpes labialis 5 kali sehari selama 10 -
14 hari.
- Acyclovir tablet 200-400 mg, 5 kali sehari selama 10 - 14 hari.
Gambar 5. Hairy leukoplakia

3. Penyakit Periodontal

• Infeksi Bakteri Linear Gingival Erythema


Penyakit periodontal, yang disebabkan oleh bakteri.

Tanda dan gejala:


- Garis sepert pita merah dengan lebar 2-3 mm sepanjang
tepi gusi.
- Dapat timbul pada ODHA dengan oral hygiene yang baik.
- Rasa tidak nyaman dan disertai perdarahan gusi.
- Biasanya pada gigi anterior, tetapi dapat meluas ke gigi
posterior.

Pengobatan:
- Debridement, oleh Dokter Gigi.
- Kumur dua kali sehari dengan chlorhexidine gluconate
0,12% atau H2O2 3% 3 kali sehari selama kurang lebih 1
menit sampai lesi mengalami perbaikan.
- Peningkatan oral hygiene.
Gambar 6. Linear Gingival Erythema

• Necrotizing Ulcerative Periodontitis

(NUP) Tanda dan gejala:


- Merupakan tanda dari penurunan kekebalan yang serius.
- Ulserasi dan nekrosis pada jaringan gusi dan periodontal
yang progresif.
- Hilangnya perlekatan jaringan penyangga gigi dan tulang
alveolar dengan cepat.
- Tidak dapat sembuh sendiri.
- Sangat sakit, perdarahan, bau busuk.
- Sakit rahang hebat.
- Dapat disertai lepasnya gigi.

Gambar 7. Necrotizing Ulcerative Periodontitis


• Necrotizing Ulcerative Gingivitis (NUG)
- Kemerahan sepanjang tepi gingiva yang meluas ke gingiva
cekat dan mukosa alveolar
- Terjadi ulserasi pada papila interdental sampai marginal
gingiva
- Tertutup jaringan nekrotik, mudah berdarah dan sakit
- Bau mulut busuk sangat jelas karena nekrotik

Gambar 8. Necrotizing Ulcerative Gingivitis (NUG)

• HIV-Necrotizing Oral Ulceration


- Necrotizing stomatitis.
- Ukuran: 2-5 mm to 2 -3 cm.
- Frekuenci meningkat pada ODHA.
- Ulserasi dan nekrosis dapat meluas hampir pada seluruh
jaringan mulut.
- Sangat sakit dan dapat persistent.

Pengobatan:
- Surface protecting agents.
- Topical steroids.
- Thalidomide
Gambar 9. HIV-Necrotizing Oral Ulcerations

Pengobatan NUP, NUG dan HIV-Necrotizing Oral Ulcerations


- Konsultasi Dokter Gigi untuk pembersihan karang gigi, dan
jaringan nekrotik/kuretase radikal.
- Irigasi dan kompres larutan H202 1.5 - 3% pada lesi 3 kali
sehari sampai lesi mengalami perbaikan.
- Pemberian antibiotik yang efektif untuk gram negatif
seperti metronidasol 500 mg tiga kali sehari, klindamisin
300 mg dua kali sehari, amoksisilin/asam klavulamat 500
mg tiga kali sehari selama 5 hari.
- Perhatikan pengelolaan rasa sakit, dan nutrisi.
- Untuk kasus NUG dan NUP yang luas dan progresif
dirujuk ke spesialis perio untuk dilakukan Sequestrektomi.

4. Sarkoma Kaposi
- Merupakan penyakit mulut yang paling sering dijumpai
berkaitan dengan infeksi HIV, meskipun prevalensi menurun
dalam masa HAART.
- Merupakan neoplasma ganas sel endotel.
- Intra oral dan ekstra oral.
- Diagnosis definitif: dengan biopsy.

Gambaran klinis:
- Berupa makula, papula, atau nodula.
- Warna ungu kemerahan atau ungu kebiruan (warna makin gelap
dengan bertambahnya waktu).
- Awal: datar, merah, dan tanpa gejala.
- Intra oral dapat terjadi di palatum dan gingiva.

Pengobatan:
Dirujuk ke Sp.PM atau Sp.BM untuk dilakukan.
- Pembedahan, kemoterapi.
- Radiasi.
- Sklerosing.

Gambar 10. Sarkoma Kaposi

5. Limfoma Non-Hodgkin’s
Gambaran klinis:
- Neoplasma kelenjar limfe.
- Pembesaran masa nekrotik dengan cepat.
- Ulserasi atau nonulserasi.
- Pada palatum atau gingival.
- Prognosis buruk.
Pengobatan:
Dirujuk ke Sp.PM dan Sp.PD.

Gambar 11. Non-Hodgkin’s Lymphoma

Tidak Terkait Erat dengan Infeksi HIV dan AIDS

1. Necrotizing (Ulcerative) Stomatitis


Terjadi kurang lebih 17 % populasi.

Tanda dan gejala:


- Ulser tunggal atau multiple.
- Ukuran kecil atau besar pada mukosa mulut(dasar mulut,
labial/buccal, ventral lidah, posterior oropharynx, vestibulum
mandibula dan maxilla.
- Nyeri.
- Frekuensi kekambuhan lebih sering dan tingkat keparahannya
lebih berat.

Pengobatan:
- Mengatasi rasa sakit: dengan anestesi topical (benzokain dalam
borax gliserin atau lidokain).
- Tetrasiklin kumur (250 mg dilarutkan dalam 2 sdm makan air
(30 ml) tiga kali sehari selama 4-5 hari).
- Pengobatan sesuai penyebab (misalnya menghilangkan stress,
menghilangkan iritasi dll).

Gambar 12. Recurrent Aphthous Ulcerations

2. Cystic Salivary Gland Disease


- Pembengkakan kelenjar saliva mayor, terutama kelenjar parotis.
- Biopsi kelenjar liur parotis yang membesar menunjukkan
adanya peningkatan infiltrasi limfosit terutama sel CD8.
- Kondisi ini terjadi sebagai pembesaran bilateral dari kelenjar
liur parotis.
- Disertai gejala mulut kering.

3. Infeksi Virus
Infeksi karena virus golongan herpes paling sering dijumpai
pada penderita AIDS. Infeksi virus pada penderita dapat terlihat
berupa stomatis herpetiformis, herpes zoster, hairy leukoplakia,
cytomegalovirus dan papiloma (warts).
• Herpes Simplex
- Disebabkan virus HSV.
- Dapat merupakan infeksi kambuhan pada bibir (herpes
labialis) atau pada mukosa mulut.

Tanda dan gejala:


- Rasa gatal/terbakar pada daerah yang terkena.
- Diikuti lepuh kecil-kecil bergerombol dengan tepi
kemerahan.
- Setelah pecah menjadi luka (ulcer) yang dapat mengering
dalam 7-10 hari.
- Didahului gejala seperti flu ringan, atau tidak enak badan.
- Dapat menular melalui luka/lecet di tangan/jari orang yang
merawat.

Pengobatan:
- Acyclovir krim untuk herpes labialis 5 kali sehari selama 10
- 14 hari
- Acyclovir tablet 200-400 mg, 5 kali sehari selama 10 - 14
hari

Gambar 13. Infeksi Herpes Simplex


• Herpes Zoster
- Suatu reaktivasi virus varicella zoster (VZV).
- Dapat terjadi sepanjang syaraf trigeminal.
- Dapat terjadi intra oral atau ekstra oral.

Tanda dan gejala:


- Lepuhan kecil-kecil bergerombol pada satu sisi kulit wajah
atau mukosa mulut (unilateral).
- Karena syaraf trigeminal, keluhan sangat sakit pada daerah
wajah yang dipersyarafi.
- Lepuhan mudah pecah dan menjadi ulcer, di kulit
menimbulkan krusta.

Pengobatan:
Acyclovir dosis tinggi 800 mg, 5 kali sehari selama 10-14 hari.

Gambar 14. Infeksi Herpes Zoster

• Human Papilloma Virus


- Oral warts disebabkan oleh human papilloma virus (HPV),
prevalensi meningkat selama masa HAART.
- Tampak klinis adanya benjolan kecil (tunggal atau banyak)
dengan permukaan kasar seperti bunga kol, kaku, dan
meninggi dari permukaan sekitarnya.
- Dirujuk ke Sp.PM untuk dilakukan cryoterapi, eksisi, atau
laser CO2.
- Merupakan upaya problematis karena lesi cenderung
kambuh lagi.

Gambar 15. Human Papiloma

Manajemen Pasien Diduga HIV (+):


- Dicurigai HIV dan AIDS, maka dapat dirujuk ke layanan
VCT (Voluntary Counseling and Testing) Konseling dan
Testing Sukarela.
- Klinik VCT memberikan layanan konseling dan test untuk
HIV dan AIDS.
- Bila hasil HIV positif rujuk ke tim khusus untuk
memperoleh Anti Retroviral Therapy (ART) dan klinik
spesialis untuk mendapatkan terapi infeksi oportunistik
yang diperlukan pasien.

Efek Terapi ARV:


- Menurunkan prevalensi penyakit mulut karena HIV seperti:
Oral Hairy Leukoplakia, dan Necrotizing Ulcerative
Periodontitis, dari 47,6% menjadi 37,5% selama terapi
ARV.
- Tidak ada perubahan signifikan pada Kandidiasis mulut,
Oral Ulcers, dan sarkoma Kaposi.
- Peningkatan prevalensi kelainan kelenjar liur, dan Oral
Warts/Human papiloma.
- Signifikan menurunkan kekambuhan dan keparahan
kelainan-kelainan mulut.
Penatalaksanaan Kasus Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut
pada ODHA
a. Prosedur Penatalaksanaan Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi
Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas
pelayanan kesehatan gigi dan mulut tidak hanya akan
melindungi pasien yang mempunyai kecenderungan rentan
terhadap segala macam infeksi silang yang mungkin terjadi,
namun juga petugas pelayanan kesehatan dari risiko terpajan
infeksi. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi merupakan
seperangkat prosedur dan pedoman yang dirancang untuk
mencegah terjadinya penularan infeksi. Prosedur tersebut
merupakan upaya yang harus diterapkan secara standar.
Meningkatnya kesadaran tentang pentingnya kewaspadaan
standar tidak dapat dipisahkan dengan merebaknya epidemi
AIDS di dunia sejak awal tahun delapan puluhan yang juga
telah menyerang Indonesia.
Prinsip pencegahan dan pengendalian infeksi mencakup enam
hal, yaitu:
1. Cuci tangan dengan baik dan benar guna mencegah infeksi
silang.
2. Pemakaian alat pelindung diantaranya pemakaian sarung
tangan guna mencegah kontak dengan darah serta cairan
infeksius yang lain.
3. Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai.
4. Pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah
perlukaan.
5. Pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan.
6. Penyuntikan yang aman.

Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan


langkah pencegahan penyebaran berbagai infeksi yang dapat
ditularkan melalui darah dan cairan tubuh yang dapat terjadi :
- dari pasien ke petugas dan/atau pengunjung sarana.
- dari petugas ke pasien dan/atau pengunjung sarana.
- dari satu pasien ke pasien lainnya.
- dari satu petugas ke petugas lainnya.
- dari pasien dan/atau petugas ke lingkungan sarana kesehatan.
- dari lingkungan sarana kesehatan ke pasien, petugas dan/atau ke
pengunjung saran kesehatan.
Dalam menjalankan profesinya dokter gigi tidak lepas dari
kemungkinan untuk berkontak secara langsung atau tidak langsung
dengan mikroorganisme dalam rongga mulut (termasuk saliva dan
darah) pasien. Sebagai hasil pemajanan yang berulangkali terhadap
mikroorganisme yang ada dalam rongga mulut, insidensi terjangkit
penyakit infeksi lebih tinggi pada praktek kedokteran gigi.
Mengabaikan prosedur pencegahan dan pengendalian infeksi yang
efektif dapat mengakibatkan orang lain, termasuk keluarga tenaga
pelayanan kedokteran gigi dan pasien lain, menghadapi resiko
terkena penyakit infeksi. Pelaksanaan pencegahan dan pengendalian
infeksi yang wajib dilaksanakan oleh dokter gigi di Indonesia
meliputi:

i. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Terhadap Pasien


Tata Laksana Penanganan Pasien :
a) Lakukan kebersihan tangan.
b) Pakai Alat Pelindung Diri (sarung tangan, masker).
c) Berkumur antiseptik sebelum diperiksa.
d) Pemberian antiseptik pada daerah operasi untuk tindakan
invasif.
e) Penggunaan suction sekali pakai yang berdaya hisap tinggi.
f) Penggunaan gelas kumur disposable (sekali pakai).
g) Jumlah alat diagnosa set yang tersedia minimal ½ jumlah rata-
rata jumlah kunjungan pasien per hari.
h) Perjelas area yang dikhususkan bagi bahan dan alat yang telah
disterilkan dari bahan dan alat yang belum dibersihkan.
i) Buat SOP untuk pemrosesan instrumen: mulai dari penerimaan
instrumen terkontaminasi, pembersihan, sterilisasi/disinfeksi
tingkat tinggi dan penyimpanan.
j) Siapkan alat dan bahan yang diperlukan untuk perawatan
sebelum memulai suatu perawatan.
k) Penempatan posisi pasien dengan benar sehingga memudahkan
kerja operator dan mencegah timbulnya kecelakaan kerja.
l) Dianjurkan pemakaian isolator karet (rubberdam) untuk
mencegah terjadinya percikan dari mulut pasien dan mereduksi
kontak yang tidak perlu antara tangan dan mukosa pasien.

ii. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Terhadap Tenaga


Pelayanan Kesehatan Gigi.
Karena status infeksi pasien terkadang tidak diketahui, untuk
mencegah infeksi silang baik pada pasien atau tenaga pelayanan
kesehatan gigi, penting untuk beranggapan bahwa setiap darah dan
cairan tubuh pasien berpotensi penyakit infeksi dan dapat menular,
maka penting untuk dilakukan Kewaspadaan Standar. Meliputi
upaya- upaya berikut :

a) Kebersihan Tangan
Kebersihan tangan merupakan hal yang paling penting dan
merupakan pilar untuk Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.
Tenaga pelayanan kesehatan gigi harus melakukan kebersihan
tangan dengan menggunakan sabun dan air mengalir jika tangan
terlihat kotor (termasuk keadaan terkena serbuk/powder dari
sarung tangan), terkontaminasi cairan tubuh, kontak langsung
dengan individu pasien, setelah kontak dengan permukaan
dalam ruang praktik termasuk peralatan, gigi palsu, cetakan
gips, lamanya 40-60 detik. Jika tangan tidak tampak kotor
lakukan
kebersihan tangan dengan cara gosok tangan dengan handrub/
cairan berbasis alkohol, lamanya 20-30 detik. Metoda dan tata
cara mencuci tangan dalam “hand hygiene” tergantung pada
beberapa tipe dan prosedur, tingkat keparahan dari kontaminasi
dan persistensi melekatnya antimikroba yang digunakan pada
kulit. Untuk pelaksanaan rutin dalam praktik dokter gigi dan
prosedur non bedah, mencuci tangan dan antiseptik dapat
dicapai dengan menggunakan sabun detergent antimikroba yang
standar. Untuk prosedur pembedahan, sabun antimikroba
(bedah) yang mengandung chlorhexidin gluconate 4% harus
digunakan. Sebagai alternatif pengganti bagi yang sensitif
terhadap chlorhexidin gluconate, dapat menggunakan iodophor
(Depkes, 2005).Tempatkan produk cairan kebersihan tangan
dalam tempat yang disposible atau yang diisi ulang, dicuci dan
dikeringkan terlebih dahulu sebelum diisi ulang.Jangan diisi
ulang cairan antiseptik sebelum dibersihkan dan dikeringkan
terlebih dahulu.
Hal – hal yang harus diperhatikan mengenai kebersihan tangan :
1) Sebelum kebersihan tangan : cincin, jam dan seluruh
perhiasan yang ada di pergelangan tangan harus dilepas.
2) Kuku harus tetap pendek dan bersih.
3) Jangan menggunakan pewarna kuku atau kuku palsu karena
dapat menjadi tempat bakteri terjebak dan menyulitkan
terlihatnya kotoran di dalam kuku.
4) Selalu gunakan air mengalir, apabila tidak tersedia, maka
harus menggunakan salah satu pilihan sebagai berikut:
• Ember berkeran yang tertutup.
• Ember dan gayung, dimana seseorang menuangkan air
sementara yang lainnya mencuci tangan.
5) Tangan harus dikeringkan dengan menggunakan paper
towel atau membiarkan tangan kering sendiri sebelum
menggunakan sarung tangan (Yee, 2006).
Ratakan pada kedua telapak Gosok punggung tangan dan sela-sela jari, Gosok telapak tangan dan sela-sela jari
lakukan pada tangan yang satunya
tangan

Tangan bisa digunakan

Gambar 16. Cara mencuci tangan yang tepat dengan air mengalir

Ratakan pada kedua telapak Gosok punggung tangan dan sela-sela jari, Gosok telapak tangan dan sela-sela jari
tangan lakukan pada tangan yang satunya

Gosok ibu jari-jari dengan cara


Gosok punggung jari-jari (punggung jari- memutar dengan tangan satunya Gosok ujung jari-jari pada telapak tangan
jari pada telapak tangan dan jari-jari saling sebelahnya dan sebaliknya

Tangan bisa digunakan

Gambar 17. Cara mencuci tangan dengan menggunakan handrub/cairan


berbasis alkohol
Indikasi kebersihan tangan termasuk :
1) Bila tangan terlihat kotor.
2) Setelah menyentuh bahan/objek yang terkontaminasi darah,
cairan tubuh, ekskresi dan sekresi.
3) Sebelum memakai sarung tangan.
4) Segera setelah melepas sarung tangan.
5) Sebelum menyentuh pasien.
6) Sebelum melakukan prosedur aseptik.
7) setelah kontak dengan permukaan dalam ruang praktik
termasuk peralatan, gigi palsu, cetakan gips.

b) Penggunaan Alat Pelindung Diri


Tenaga pelayanan kesehatan gigi wajib menggunakan Alat
Pelindung Diri (APD) dibawah ini. Penyediaan peralatan dan
bahan perlindungan diri bagi tenaga di puskesmas wajib
dipenuhi dan untuk pengadaan dikoordinasikan dengan dinas
kesehatan kota/kabupaten.

(1) Sarung tangan


Tenaga pelayanan kesehatan gigi wajib menggunakan
sarung tangan ketika melakukan perawatan yang
memungkinkan berkontak dengan darah atau cairan tubuh
lainnya. Sarung tangan harus diganti tiap pasien, lepaskan
sarung tangan dengan benar setelah digunakan dan segera
lakukan kebersihan tangan untuk menghindari transfer
mikroorganisme ke pasien lain atau permukaan lingkungan.
Lepaskan sarung tangan jika sobek, atau bocor dan lakukan
kebersihan tangan sebelum memakai kembali sarung
tangan. Disarankan untuk tidak mencuci, mendisinfeksi
atau mensterilkan ulang sarung tangan yang telah
digunakan.
Prosedur pemakaian sarung tangan :
(a) Ambil salah satu sarung tangan dengan memegang sisi
sebelah dalam lipatannya.
(b) Posisikan sarung tangan setinggi pinggang dan
menggantung ke lantai, sehingga bagian lubang jari-
jari tangannya terbuka, lalu masukkan tangan.
(c) Ambil sarung tangan kedua dengan cara menyelipkan
jari-jari tangan yang sudah memakai sarung tangan ke
bagian lipatan (bagian yang tidak bersentuhan dengan
kulit tangan).
(d) Pasang sarung tangan kedua dengan cara memasukkan
jari-jari tangan yang belum memakai sarung tangan,
kemudian luruskan lipatan dan atur posisi sarung
tangan sehingga terasa pas di tangan.

Selain sarung tangan yang digunakan untuk pemeriksaan,


ada jenis sarung tangan yang digunakan untuk mencuci alat
serta membersihkan permukaan meja kerja, yaitu sarung
tangan rumah tangga (utility gloves) yang terbuat dari
lateks atau vinil yang tebal.

(2) Masker
Tenaga pelayanan kesehatan gigi dan mulut wajib
menggunakan masker pada saat melakukan tindakan untuk
mencegah potensi infeksi akibat kontaminasi aerosol serta
percikan saliva dan darah dari pasien dan sebaliknya.
Masker harus sesuai dan melekat dengan baik dengan
wajah sehingga menutup mulut dan hidung dengan baik.
Ganti masker diantara pasien atau jika masker lembab atau
basah dan ternoda selama tindakan ke pasien. Masker akan
kehilangan kualitas perlindungannya jika basah. Lepaskan
masker jika tindakan telah selesai.
(3) Kacamata Pelindung
Tenaga pelayanan kesehatan gigi wajib menggunakan
kacamata pelindung untuk menghindari kemungkinan
infeksi akibat kontaminasi aerosol dan percikan saliva dan
darah. Kacamata ini harus didekontaminasi dengan air dan
sabun kemudian didisinfeksi setiap kali berganti pasien.

(4) Gaun/baju Pelindung


Tenaga pelayanan kesehatan gigi wajib menggunakan
gaun/baju pelindung yang digunakan untuk mencegah
kontaminasi pada pakaian dan melindungi kulit dari
kontaminasi darah dan cairan tubuh. Gaun pelindung ini
harus dicuci setiap hari. Gaun pelindung terbuat dari bahan
yang dapat dicuci dan dapat dipakai ulang (kain), tetapi
dapat juga terbuat dari bahan kertas kedap air yang hanya
dapat sekali pakai (disposable). Lepaskan gaun/baju
pelindung jika tindakan telah selesai.
Sebelum melakukan perawatan bagi pasien, gunakan baju
pelindung, lalu masker bedah dan selanjutnya kacamata
pelindung sebelum mencuci tangan. Setelah tangan
dikeringkan, ambil sarung tangan, kenakan dengan cara
seperti tertera di atas.
Setelah selesai perawatan dan seluruh instrumen kotor telah
disingkirkan, lepaskan sarung tangan yang telah
terkontaminasi dengan memegang sisi bagian luar dan
menariknya hingga terlepas dari dalam ke luar. Setelah
salah satu sarung tangan terlepas, lepaskan sarung tangan
lainnya dengan memegang sisi bagian dalam sarung tangan
dan menariknya hingga terlepas. Apabila seluruh alat
pelindungdiri telah dilepaskan, hindari menyentuh area
terkontaminasi.
Selalu lakukan kebersihan tangan dan keringkan tangan
sebelum memasang kembali sarung tangan.
Gambar 18. Alat Pelindung Diri (APD)

c) Manajemen Limbah dan Benda Tajam


a. Peraturan pembuangan limbah sesuai peraturan lokal yang
berlaku.
b. Pastikan bahwa tenaga pelayan kesehatan gigi yang
menangani limbah medis di training tentang penanganan
limbah yang tepat, metode pembuangan dan bahaya
kesehatan.
c. Gunakan kode warna dan label kontainer, warna kuning
untuk limbah infeksius dan warna hitam untuk limbah non
infeksius.
d. Tempatkan limbah tajam seperti jarum, blade scapel,
orthodontic bands, pecahan instrumen metal dan bur pada
kontainer yang tepat yaitu tahan tusuk dan tahan bocor,
kode warna kuning.
e. Darah, cairan suction atau limbah cair lain dibuang ke
dalam drain yang terhubung dengan sistem sanitary.
f. Buang gigi yang dicabut ke limbah infeksius, kecuali
diberikan kepada keluarga.
d) Manajemen Lingkungan
a. Ikuti instruksi pabrik untuk pemakaian yang tepat bahan
disinfektan untuk pembersihan permukaan lingkungan.
b. Jangan menggunakan disinfektan tingkat tinggi untuk
disinfeksi permukaan lingkungan.
c. Pakai Alat Pelindung Diri saat melakukan pembersihan dan
disinfeksi pemukaan lingkungan.
d. Pasang pelindung permukaan untuk mencegah permukaan
kontak klinik terkontaminasi, khususnya yang sulit
dibersihkan seperti switches on dental chair dan ganti
pelindung permukaan setiap pasien.
e. Bersihkan dan disinfeksi permukaan kontak klinik yang
tidak di lindungi dengan pelindung setelah kegiatan satu
pasien, gunakan disinfeksi tingkat sedang jika kontaminasi
dengan darah.
f. Bersihkan seluruh permukaan lingkungan (lantai, dinding,
meja, troley) dengan detergen dan air atau disinfektan,
tergantung dari permukaan, tipe dan tingkat kontaminasi.
g. Bersihkan kain pembersih setelah digunakan dan keringkan
sebelum dipakai ulang, atau gunakan yang sekali pakai,
disposible kain.
h. Sediakan cairan pembersih atau cairan disinfektan setiap
hari.
i. Bersihkan dinding, pembatas ruangan, gordyn jendela
diarea perawatan pasien jika terlihat kotor, berdebu dan
ternoda.
j. Segera bersihkan tumpahan darah atau bahan infeksius
lainnya menggunakan cairan disinfektan.
k. Hindari penggunaan karpet dan furniture dari bahan kain
yang menyerap di daerah kerja, laboratorium dan daerah
pemerosesan instrumen.
e) Penanganan Linen (Kain Alas Instrumen, Kain Sarung Dental Unit)
a. Segera ganti linen yang terkontaminasi dengan darah, cairan tubuh atau
bahan infeksius lainnya.
b. Ganti linen diantara pasien.

f) Peralatan Perawatan Pasien


a. Bersihkan dan sterilkan peralatan kritis sebelum digunakan.
b. Bersihkan dan sterilkan peralatan semi kritis sebelum digunakan.
c. Biarkan pembungkus alat mengering di sterilisator sebelum ditangani
untuk menghindari kontaminasi.
d. Area pemrosesan instrumen meliputi area penerimaan, pembersihan
dan disinfeksi, persiapan dan pembungkusan, sterilisasi dan
penyimpanan.
e. Gunakan alat pembersih otomatis (Ultrasonic cleaner atau
washer –disinfector).

f. Pakai sarung tangan rumah tangga untuk membersihkan instrumen dan


prosedur disinfeksi.
g. Pakai Alat Pelindung Diri (APD) selama melakukan pembersihan
peralatan.
h. Gunakan sistem kontainer atau pembungkus yang cocok dengan tipe
proses sterilisasi yang digunakan.
i. Sebelum instrumen kritis dan semi kritis di sterilisasi, periksa
kebersihan instrumen, kemudian bungkus atau tempatkan instrumen
dalam kontainer yang tepat untuk mempertahankan kesterilan selama
penyimpanan.
j. Jangan sterilisasi alat implan tanpa dibungkus.
k. Jangan simpan instrumen kritis tanpa dibungkus.
DAFTAR PUSTAKA

1. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Celluler and Moleculer Immunology. 4th
Ed.
2. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 2000. 91, 110, 111, 150, 203, 236, 262-
263,
3. 276, 277, 303, 332.
4. Bellanti JA. Immunology III. Penerjemah: Samik Wahab A. Yogjakarta:
Gajahmada University Press. 1993. 12, 13, 14, 348.
5. Janeway CA, Travers P, Walport M, Capra JD. Immunobiology-The Immune
System in
6. Health and Disease. Fourth Edition. New York: Elsevier Science Ltd/Garland
Publishing, 1999. 298-303, 364-365, 395-396, 403.
7. Lehner T. Immunologi of Oral Desease. Ed.
8. Terjemahan: Ratna Farida dan NG Suryadhana. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 1995. 112-115.
9. Roitt J, Brostoff J, Male D. Immunology. 5 Ed. London: Mosby International
Ltd. 1998.
10. 13, 1.6, 8.4, 8.8-8.11, 9.8, 9.10, 16.11, 17.12.
11. Campbell & J.B. Reece. Biology. Sevent Ed. San Fransisco: Person Education,
Inc.
12. Greenberg MS, Glick M, Ship JA. Burket’s oral medicine diagnosis & treatment
11th edition. BC Decker Inc; 2008. 442 – 447.
13. Jara LJ, Navarro C, Medina G, Vera-Lastra O, Blanco F. Immune-
neuroendocrine
14. Interactions and Autoimmune Disease. Clinical and Development Immunology.
2006
15. June – December; 13(2-4): 109 – 123.
16. 9. Ray S, Sonthalia N, Kundu S, Ganguly S. Autoimmune Disorders: An
Overview of
17. Molecular and Cellular Basis in Today’s Perspective. J Clin Cell Immunol.
2012.
18. [Internet]. Available from: http://dx.doi.o r g / 1 0 . 4 1 7 2 / 2 1 5 5 - 9 8 9 9 . S1
0-003,
19. doi:10.4172/2155-9899.S10-003
20. 10. Fairweather D. Autoimmune Disease: Mechanisms [Internet]. Encyclopedia
of
21. Life Sciences. John Wiley & Sons: 2007. Available from: www.els.net Ltd.
22. Lewis MAO, Lamey P-J. Tinjauan Klinis Penyakit Mulut/Clinical Oral
Medicine. Alih bahasa. Wiriawan E. Widya Medica, Jakarta. 1994.
23. Gravina, HG, de Morán, EG, Zambrano, O, Chourio, ML, de Valero, SR,
Robertis, S, Mesa L. Oral Candidiasis in children and adolescents with cancer.
Identification of Candida.spp Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 2007; 12: E419-
23.
24. Cutler, JE. Putative virulence factors of Candida albicans. Annual Rev.
Microbiol. 1991; 45:187–218.
25. Lehmann PF. Fungal structure and morphology. Medical Mycology .
1998;4:57–8.
26. Peterson DE. Oral candidiasis. Clin Geriatr Med. 1992; 8:513–27.
27. Garber GE. Treatment of oral candida mucositis infections. Drugs.
1994;47:734–40.
28. Epstein JB. Antifungal therapy in oropharyngeal mycotic infections. Oral Surg
Oral Med Oral Pathol 1990;69:32–41.
29. Epstein JB, Truelove EL, Izutzu KL. Oral candidiasis: pathogenesis and host
defense. Rev Infect Dis 1984;6:96–106.
30. Skoglund A, Sunzel B, Lerner UH.Comparison of three test methods used for
the diagnosis of candidiasis. Scand J Dent Res 1994;102(5): 295‐298.
31. Fenlon MR, Sherriff M. Prevalence of denture related stomatitis in patients
attending a dental teaching hospital for provision of replacement complete
dentures. J Ir Dent ssoc 1998;44(1):9‐10.
32. Herawati E. Kandidiasis rongga mulut, gambaran klinis, dan terapinya.
Bandung. FKG Unpad; 2008.
33. Agha-Hosseini, F. Fluconazole and/or hexetidine for management of oral
candidiasis associated with denture-induced stomatitis. Oral Dis. 2006 ,12:434.
34. Pappas, PG, Rex, JH, Sobel, JD, Filler, SG, Dismukes, WE, Walsh, TJ,
Edwards, JE. Guidelines for Treatment of CandidiasisCID, 2004;38: 161-89
35. Rao PK. Candidiasis Oral: A Review. Scholarly Journal of Medicine. 2012;
2(2):26-30.

Anda mungkin juga menyukai