Laporan Tutorial
Laporan Tutorial
MODUL 1 BLOK 21
“PENYAKIT INFEKSIUS DAN IMUNOLOGIK”
Kelompok 5
Skenario 1 :
Seorang pasien laki-laki usia 37 tahun dirujuk ke Poli Penyakit Mulut karena
adanya lesi di mulut yang tidak kunjung sembuh. Lesi muncul sejak 2 bulan yang lalu
dan tidak sembuh walaupun sudah diobati. Lesi awalnya terasa panas dan diawali
dengan trauma karena sikat gigi, tidak diawali demam. Saat ini pasien susah makan dan
menyikat gigi karena lesi yang bertambah sakit. PMH: riwayat demam berulang (-)
batuk(-) kehilangan berat badan (-), simptom penyakit sistemik lainnya (-), riwayat
alergi (-). FH: ayah menderita tuberkulosis paru dan sedang dalam pengobatan. SH:
pasien adalah seorang perokok berat dan sesekali minum alkohol.
Keadaan umum pasien baik, pemeriksaan vital signs dalam batas normal, kelenjar
limfe regional tak ada kelainan. Pemeriksaan IO menunjukkan adanya 2 buah ulser
berwarna putih pada mukosa bibir atas dan mukosa bukal dekat kiri komisura bentuk
ireguler, ukuran ± 12 x 9 mm, dan 20x15 mm batas tepi tidak jelas, disertai dengan
sedikit indurasi.
Dokter kemudian melakukan beberapa pemeriksaan penunjang, seperti
pemeriksaan smear lesi, dan menunjukkan hasil BTA positive dengan menggunakan
pewarnaan Ziehl- Neilson. Biopsi incisi juga dilakukan dan hasil pemeriksaan
histopatologi menunjukkan adanya inflamasi granulomatous yang mengandung
Langhan’s giant cells, sel epitheloid dengan area nekrosis kaseosa. Pemeriksaan darah
lengkap: normal kecuali ESR = 35mm
11. Apakah ada hubungan bad habit pasien dengan resiko penyakit TB?
Ada, karena bad habit dari si pasien, dapat mempengaruhi kemampuan
system imun untuk menyembuhkan diri. Berkurangnya kemampuan
system imun untuk menyembuhkan, akan menyebabkan tubuh tak bisa
mempertahankan diri dari infeksi bakteri TB, sehingga bisa menjadi
penyakit yang serius dan sistemik.
Langkah 4. Membuat skema atau diagram dari komponen-komponen
permasalahan dan mencari korelasi dan interaksi antar masing-masing komponen
untuk membuat solusi secara terintegrasi
Pasien Laki-laki
(37th)
DD : Traumatic
DK : Oral TB
Ulser, SAR, SCC
Penyakit Infeksius
Pertimbangan perawatan pasien
& Imunologik
dengan penyakit sistemik
Langkah 5. Memformulasikan tujuan pembelajaran
Penyakit Autoimun
Penyakit autoimun adalah penyakit yang dapat mengenai mukosa oral dan kulit
atau organ lain, akibat kesalahan tubuh dalam mengenali sel diri sendiri (self) menjadi
antigen. Sistem kekebalan yang seharusnya berfungsi sebagai pelindung tubuh
mengalami kelainan sehingga tidak dapat membedakan antara benda asing yang harus
dimusnahkan dengan jaringan tubuh sendiri yang bermanfaat untuk kelangsungan
hidup. Penyebab penyakit autoimun belum diketahui secara pasti, namun perjalanan
penyakit ini dapat akut atau kronis dan terdapat masa remisi atau eksaserbasi yang
disertai dengan perubahan level autoantibodi dalam tubuh. Kombinasi factor
predisposisi genetik dan faktor lingkungan diketahui melalui berbagai referensi
berkontribusi terhadap perkembangan penyakit autoimun. Lesi oral biasa ditemukan
pada penderita penyakit autoimun sebagai manifestasi penyakit atau efek samping
pengobatan. Penyakit autoimun yang dapat bermanifestasi pada rongga mulut di
antaranya adalah Sistemic Lupus Erythematous (SLE), Lichen Planus, Pemphigus dan
Pemphigoid. Lesi oral yang merupakan manifestasi penyakit autoimun dapat
menunjukkan tanda klinis berupa ulser, erosi, vesikobulosa, plak atau papula, dan lain-
lain. Lesi oral harus ditangani dengan baik untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder,
mengatasi rasa sakit dan meningkatkan kualitas hidup penderita.
Kecenderungan terjadinya penyakit autoimun menurut beberapa penelitian lebih
banyak ditemukan pada wanita dibandingkan dengan pria, dari seluruh penderita
penyakit autoimun yang ditangani sebanyak 75,8% wanita, sedangkan pria 24,2%.
Penderita Sistemik Lupus erythematosus (SLE) 92,3% wanita, Oral Lichen Planus
(OLP) 50% wanita dan Pemphigus Vulgaris (PV) 71,4% wanita. Sebagian besar
penderita termasuk dalam kelompok usia 18 hingga < 60 tahun yaitu sebanyak 56 orang
(84,8%), baik pada kasus SLE (80,8%), OLP (66,6%) maupun PV (96,4%). Wanita
dianggap lebih perhatian dan peduli terhadap kesehatan mulutnya sehingga mendorong
untuk datang berobat ke dokter, selain itu wanita dipengaruhi oleh siklus hormonal.
Pada saat kehamilan dan menstruasi kontribusi estrogen menyebabkan
ketidakseimbangan hormonal dan memicu munculnya penyakit autoimun.
Hubungan antara sekresi hormon dengan terjadinya penyakit autoimun sudah
banyak diketahui dan disebutkan dalam beberapa referensi. Hormon merupakan
komponen sistem neuroendokrin yang dapat mempengaruhi imunitas seseorang,
sehingga jika terjadi ketidak seimbangan sintesis dan pelepasan hormonal, maka
hormon akan beraksi sebagai stimulatorcatau supresor aktivitas imun dan neuroendokrin
itu sendiri, dengan cara berikatan pada reseptor. Hormon juga berperan dalam respon
imun innate dan adaptif. Hormon estrogen dan prolaktin merupakan sitokin pro
inflamasi yang fluktuasinya dapat mengganggu toleransi terhadap sel sendiri (self),
sehingga dapat menjadi factor pemicu penyakit autoimun. Penelitian oleh Arisawa et
al., menemukan bahwa kasus Oral Lichen Planus sebagian besar mengenai wanita
(87,8%) namun pada kasus Pemvigus tidak menunjukkan kecenderungan gender. Kasus
Oral lichen planus 50% terjadi pada dekade kehidupan ke - 4 hingga ke – 5 (termuda 16
tahun, tertua 65 tahun), sedangkan kasus Pemvigus jarang ditemukan pada usia anak –
anak namun banyak terjadi pada dekade kehidupan ke – 4 atau usia dewasa.
Pemvigus
Gambaran khas lesi pemvigus berupa bula tidak ditemukan pada penelitian ini,
pasien datang dengan lesi erosi dan ulser yang merupakan lesi sekunder akibat bula
yang pecah. Bula di dalam rongga mulut mudah pecah karena atap bula yang tipis (split
suprabasal) sehingga tidak mudah ditemukan, namun kadang masih ditemukan lesi plak
pseudomembran atau sloughing yang merupakan sisa atap bula yang pecah. Hasil
penelitian ini menemukan bahwa erosi terdapat pada 89,3% kasus Pemvigus sedangkan
ulser ditemukan pada 32,1% kasus. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan
oleh Arisawa et al., menemukan bahwa 100% kasus disertai dengan ulserasi, 75% bula
dan 50% menimbulkan rasa sakit. Perbedaan ini diduga berhubungan dengan perbedaan
faktor kedatangan penderita untuk mendapatkan terapi lesi oral. Pada fase akut segera
setelah bula pecah adalah menjadi ulser yang seiring berjalan waktu akan menjadi lesi
erosi.
Terapi yang diberikan juga berupa kortikosteroid topikal untuk lesi terlokalisir,
namun jika lesi ditemukan meluas maka dapat diberikan kostikosteroid sistemik di
bawah pengawasan ketat. Lesi oral Pemvigus kadang kurang berespon positif terhadap
pemberian imunosupresan sistemik, namun pemberian kortikosteroid topikal atau
intralesi dapat membantu. Pada kondisi deskuamatif gingivitis perlu dilakukan
peningkatan kebersihan mulut dan menghindari iritasi pada lesi. Sebagian besar subjek
pada penelitian ini menunjukkan hal yang serupa, kondisi lesi oral tidak berespon positif
terhadap pemberian imunosupresan sistemik, sehingga ketika kondisi lesi kulit membaik
dan pemberian kortikosteroid sistemik dihentikan maka terapi kortikosteroid topikal
dilanjutkan sampai lesi oral sembuh.
A. TUBERKULOSIS
ETIOLOGI
PATOGENESIS
Jika bakteri TB dapat masuk ke aliran darah dari suatu area dari jaringan
yang rusak, mereka dapat menyebar ke seluruh tubuh dan mengatur banyak
fokus infeksi, semua muncul sebagai kecil, tuberkel putih dalam jaringan.
Bentuk parah dari penyakit TB , yang paling umum pada anak-anak dan orang-
orang dengan HIV, disebut tuberkulosis milier. Orang dengan TB
disebarluaskan ini memiliki tingkat kematian yang tinggi bahkan dengan
pengobatan (sekitar 30%).
GAMBARAN KLINIS
Lesi tuberkulosis dari dorsum lidah pada pasien dengan kedua penyakit TB dan
infeksi HIV. Dapat muncul nodular, glanular atau bahkan leukoplakie
GAMBARAN KLINIS
Kira-kira 15% dari pasien dengan sifilis pertama akan terdapat infeksi
intraoral yang tinggi, berupa lesi multipel ataupun soliter. Lesi yang hadir
secara khas tidak sakit, terkadang nekrosis, ulser dengan batas yang tergulung
dan berhubungan dengan limfadenopati. Tempat yang umumnya terjadi adalah
bibir, lidah, palatum, dan nostril. Limfadenopati biasanya menemani lesi ini.
Sebagai peringatan awal, lesi ini sembuh secara spontan tanpa perawatan.
Pada tahap kedua, patch mukosa pada kavitas oral adalah lesi dari
sifilis yang paling menular. Lesi tersebut sangat sakit, menonjol, lesi keabuan
disekitarnya dengan dasar eritematous, dan pada kavitas oral terlihat pada
mukosa membran bibir, lidah, dagu, dan palatum. Hal ini menyebabkan trauma
saat mengunyah. Nekrosis dan pengelupasan dapat terjadi. Pada tahap ini, reaksi
pada pemeriksaan serologik sangat positif.
Dengan sifilis tahap ketiga, jenis lesinya adalah gumma. Itu pertama
kali terjadi pada palatum durum tetapi dapat juga terjadi pada palatum molle dan
alveolus. Gumma diawali sebagai penggembungan yang nantinya mejadi
borok/luka dan kemudian ke fase berulang dari penyembuhan dan kerusakan.
Destruksi tulang dari palatum durum dapat terjadi dengan perforasi palatal dan
dalam beberapa kasus, oral nasal fistula. Gumma dapat terkikis sampai
pembuluh darah.
Temuan oral pada kongenital sifilis dapat hanya berupa tanda klinis dari
penyakit. Terdapat bekas luka linier atau sikatrik menyebar dari ujung bibir ke
bibir bawah. Akibat dari destruksi tulang nasal, dapat menghasilkan hidung
saddle.
DIAGNOSIS
PENATALAKSANAAN
Tahap pertama, kedua dan awal tahap ketiga dari sifilis dirawat dengan dosis
tunggal dari 2,4 juta unit dari penisilin G.Doxysiklin atau tetrasiklin dapat digunakan
pada pasien yang alergi dengan penisilin. Akhir sifilis tahap tiga dan sifilis dengan
gejala neurologi memerlukan perawatan dengan dosis yang lebih tinggi dari penisilin
selama beberapa minggu.
C. GONORE (GO)
ETIOLOGI
PATOGENESIS
GAMBARAN KLINIS
Manifestasi oral penyakit gonorrhea; stomatitis (adanya ulcer pada faring atau
gingiva) yang dikarenakan daerah mulut tidak berkeratin jadi lebih mudah
terjadi luka (ulcer), atropi papila lidah bagian tengah, terdapat nanah yang
keluar dari gusi dan selain itu juga terjadi atritis pada sendi rahang.
DIAGNOSIS
Trichomonas vaginalis
Kandidosis vulvovaginitis
Gardnerella vaginalis
PENATALAKSANAAN
D. DIFFTERI
ETIOLOGI
GAMBARAN KLINIS
Tanda-tanda dan gejala lain tergantung pada sejauh mana lesi difteri
lokal.
- Anterior hidung Difteri. Pasien dengan hidung anterior Theria difteri ini
dapat minimal terganggu sambil menghasilkan debit hidung mukopurulen tebal,
yang dapat mengiritasi nares eksternal dan bibir atas. Sebuah membran
kekuningan krim, dengan atau tanpa pengerasan kulit, dapat dilihat di
hidung.Keracunan parah dari difteri hidung tidak umum.
1. Sputum positif TB
Konsultasi dengan Dokter ahli sebelum perawatan
Laksanakan perawatan yang urgent saja
Laksanakan perawatan urgent yang menggunakan handpiece hanya pada
ruangan(Rumah Sakit) yang memiliki isolasi, sterilisasi(sarung tangan, masker,
gaun) dan ventilasi khusus.
2. Riwayat TB
Tangani dengan hati-hati, tanyakan riwayat penyakit dan durasi perawatan yang
sudah dijalani, buat laporan.
Minta riwayat rontgent dadaa dan pemriksaan fisik berkala pasien, untuk
menghindari reaktivasi dan kekambuhan saat perawatan.
Konsultasi dengan tenaga ahli
Pertimbangan Perlindungan Diri Perawatan Dental Pada Pasien dengan Kondisi
Khusus
Cuci tangan dengan baik dan benar guna mencegah infeksi silang
Pemakaian alat pelindung (Sarung tangan, masker, gaun) guna mencegah kontak
dengan darah serta cairan infeksi lainnya
Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai
Menggunakan alat yang berbeda dengan alat yang digunakan pada pasien biasa
Pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan
L.O 3
JAMUR
A. Candida albicans
Candida albicans merupakan flora normal rongga mulut, saluran pencernaan
dan vagina, jamur ini dapat berubah menjadi patogen jika terjadi perubahaan
dalam diri pejamu. Perubahan yang terjadi pada pejamu tersebut dapat bersifat
lokal maupun sistemik.
Lesi kandidiasis ini dapat berkembang di setiap rongga mulut, tetapi lokasi
yang paling sering adalah mukosa bukal, lipatan mukosa bukal, orofaring dan
lidah. Kandidiasis kronis yang tidak segera dirawat dapat berkembang menjadi
kandidiasis leukoplakia yang bersifat pra ganas, dan kemudian mengakibatkan
karsinoma sel skuamosa. Selain itu, kandidiasis dapat berkembang menjadi
infeksi sistemik melalui aliran getah bening yang menyerang organ vital seperti
ginjal, paru-paru, otak dan dinding pembuluh darah yang bersifat fatal.
Penatalaksanaan kandidiasis yaitu berdasarkan penyebab yang mendasarinya
yaitu penatalaksanaan dalam bentuk lokal maupun sistemik.
Kandidiasis oral adalah salah satu infeksi fungal yang mengenai mukosa oral.
Lesi ini disebabkan oleh jamur Candida albicans. Candida albicans adalah salah
satu komponen dari mikroflora oral dan sekitar 30-50% orang sebagai karier
organisme ini. Tedapat lima tipe spesies kandida yang terdapat di kavitas oral,
diantaranya adalah :
1. Candida albicans
2. Candida tropicalis
3. Candida krusei
4. Candida parapsilosis
5. Candida guilliermondi
Dari kelima tipe tersebut, Candida albicans adalah yang paling sering terdapat
pada kavitas oral. Candida albicans merupakan fungi yang menyebabkan infeksi
opurtunistik pada manusia. Salah satu kemampuan yang dari Candida albicans
adalah kemampuan untuk tumbuh dalam dua cara, reproduksi dengan tunas,
membentuk tunas elipsoid, dan bentuk hifa, yang dapat meningkatkan misela
baru atau bentuk seperti jamur.
Adapun faktor resiko yang mempengaruhi dari infeksi dari kandidiasis oral
yaitu:
1. Faktor Patogen
Jamur kandida mampu melakukan metabolisme glukosa dalam kondisi aerobik
maupun anaerobik. Selain itu jamur kandida mempunyai faktor-faktor yang
mempengaruhi adhesi terhadap dinding sel epitel seperti mannose, reseptor C3d,
mannoprotein dan Saccharin. Sifat hidrofobik dari jamur dan juga kemampuan
adhesi dengan fibronektin host juga berperan penting terhadap inisial dari infeksi
ini.
2. Faktor Host
a. Faktor lokal
Fungsi kelenjar saliva yang terganggu dapat menjadi predisposisi dari
kandidiasis oral. Sekresi saliva menyebabkan lemahnya dan mengbersihkan
berbagai organisme dari mukosa. Pada saliva terdapat berbagai protein-protein
antimikrobial seperti laktoferin, sialoperoksidase, lisosim, dan antibodi
antikandida yang spesifik.
Penggunaan obat-obatan seperti obat inhalasi steroid menunjukan peningkatan
resiko dari infeksi kandidiasis oral. Hal ini disebabkan tersupresinya imunitas
selular dan fagositosis.Penggunaan gigi palsu merupakan faktor predisposisi
infeksi kandidiasis oral. Penggunaan ini menyebabkan terbentuknya lingkungan
mikro yang memudahkan berkembangnya jamur kandida dalam keadaan PH
rendah, oksigen rendah, dan lingkungan anaerobik. Penggunaan ini pula
meningkatkan kemampuan adhesi dari jamur ini.
b. Faktor sistemik
Penggunaan obat-obatan seperti antibiotik spektrum luas dapat mempengaruhi
flora lokal oral sehingga menciptakan lingkungan yang sesuai untuk jamur
kandida berproliferasi. Penghentian obat-obatan ini akan mengurangi dari infeksi
jamur kandida. Obat-obatan lain seperti agen antineoplastik yang bersifat
imunosupresi juga mempengaruhi dari perkembangan jamur kandida. Beberapa
faktor lain yang menjadi predisposisi dari infeki kandidiasis oral adalah merokok,
diabetes, sindrom Cushing’s serta infeksi HIV.
Secara umum presentasi klinis dari kandidiasis oral terbagi atas lima bentuk:
kandidiasis pseudomembranosa, kandidiasis atropik, kandidiasis hiperplastik,
kandidiasis eritematosa atau keilitis angular. Pasien dapat menunjukan satu atau
kombinasi dari beberapa presentasi ini.
1. Kandidiasis pseudomembranosa
Kandidiasis pseudomembranosa secara umum diketahui sebagai thrush, yang
merupakan bentuk yang sering terdapat pada neonatus. Ini juga dapat terlihat pada
pasien yang menggunakan terapi kortikosteroid atau pada pasien dengan
imunosupresi. Kandidiasis pseudomembran memiliki presentasi dengan plak putih
yang multipel yang dapat dibersihkan. Plak putih tersebut merupakan kumpulan
dari hifa. Mukosa dapat terlihat eritema. Ketika gejala-gejala ringan pada jenis
kandidiasis ini pasien akan mengeluhkan adanya sensasi seperti tersengat ringan
atau kegagalan dalam pengecapan.
2. Kandidiasis atropik
Kandidiasis atropik ditandai dengan adanya kemerahan difus, sering dengan
mukosa yang relatif kering. Area kemerahan biasanya terdapat pada mukosa
yang berada dibawah pemakaian seperti gigi palsu. Hampir 26% pasien dengan
gigi palsu terdapat kandidiasis atropik
3. Kandidiasis hiperplastik
Kandidiasis hiperplastik dikenal juga dengan leukoplakia kandida. Kandidiasis
hiperplastik ditandai dengan adanya plak putih yang tidak dapat deibersihkan. Lesi
harus disembuhkan dengan terapi antifungal secara rutin.
4. Kandidiasis eritematosa
Banyak penyebab yang mendasari kandidiasis eritematosa. Lesi secara klinis
lesi timbul eritema. Lesi sering timbul pada lidah dah palatum. Berlainan dengan
bentuk kandidiasis pseudomembran, penderita kandidiasis eritematosa tidak
ditemui adanya plak-plak putih. Tampilan klinis yang terlihat pada kandidiasis ini
yaitu daerah yang eritema atau kemerahan dengan adanya sedikit perdarahan di
daerah sekitar dasar lesi. Hal ini sering dikaitkan terjadinya keluhan mulut kering
pada pasien. Lesi ini dapat terjadi dimana saja dalam rongga mulut, tetapi daerah
yang paling sering terkena adalah lidah, mukosa bukal, dan palatum. Kandidiasis
eritematosa dapat diklasifikasikan dalam tiga tipe, yaitu :
- Tipe 1 : inflamasi sederhana terlokalisir atau pinpoint hiperemia.
- Tipe 2 : eritematosa atau tipe sederhana yang umum eritema lebih tersebar
meliputi sebagian atau seluruh mukosa yang tertutup gigi tiruan,
- Tipe 3 : tipe granular (inflamasi papila hiperplasia) umumnya meliputi
bagian tengah palatum durum dan alveolar ridge.
5. Keilitis angular
Keilitis angular ditandai dengan pecah-pecah, mengelupas maupun ulserasi
yang mengenai bagian sudut mulut. Gejala ini biasanya disertai dengan kombinasi
dari bentuk infeksi kandidiasis lainnya, seperti tipe erimatosa.
Kandidiasis oral didiagnosis berdasarkan tanda-tanda klinis dan gejalanya.
Adapun tes tambahan yaitu:
1. Sitologi eksfoliatif
2. Kultur
3. Biopsi jaringan
Pengobatan pada kandidiasis terdiri atas lini pertama dan pengobatan lini kedua.
Pengobatan kandidiasis oral lini pertama yaitu:
1. Nistatin
Nistatin merupakan obat lini pertama pada kandidiasis oral yang terdapat
dalam bentuk topikal. Obat nistatin tersedia dalam bentuk krim dan suspensi oral.
Tidak terdapat interaksi obat dan efek samping yang signifikan pada penggunaan obat
nistatis sebagai anti kandidiasis.
2. Ampoterisin B
Obat ini dikenal dengan Lozenge (fungilin 10 mg) dan suspensi oral 100
mg/ml dimana diberikan tiga sampai empat kali dalam sehari. Ampoterisin B
menginhibisi adhesi dari jamur kandida pada sel epitel. Efek samping pada obat
ini adalah efek toksisitas pada ginjal.
3. Klotrimazol
Obat ini mengurangi pertumbuhan jamur dengan menginhibisi ergosterol.
Klotrimazol dikontraindikasikan pada infeksi sistemik. Obat ini tersedia dalam
bentuk krim dan tablet 10 mg. Efek utama pada obat ini adalah rasa sensasi tidak
nyaman pada mulut, peningkatan level enzim hati, mual dan muntah.
Adapun pengobatan kandidiasis lini kedua yaitu:
1. Ketokonazol
Ketokonazol memblok sintesis ergosterol pada membran sel fungal dan diserap
dari gastrointestinal dan dimetabolisme di hepar. Dosis yang dianjurkan adalah
200-400 mg tablet yang diberikan sakali atau dua kali dalam sehari selama dua
minggu. Efek samping adalah mual, muntah, kerusakan hepar dan juga interaksinya
dengan antikoagulan.
2. Flukonazol
Obat ini menginhibisi sitokrom p450 fungal. Obat ini digunakan pada
kandidiasis orofaringeal dengan dosis 50-100mg kapsul sekali dalam sehari dalam
dua sampai tiga minggu. Efek samping utama pada pengobatan dengan
menggunakan flukonazol adalah mual, muntah dan nyeri kepala.
3. Itrakonazol
Itrakonazol merupakan salah satu antifungal spektrum luas dan
dikontraindikasikan pada kehamilan dan penyakit hati. Dosis obat adalah 100 mg
dalam bentuk kapsul sehari sekali selama dua minggu. Efek samping utama adalah
mual, neuropati dan alergi.
Kandidiasis oral merupakan infeksi oportunistik dari jamur Candida albicans
yang menyerang oral. Berbagai faktor yang mempengaruhi organisme ini untuk
berkembang yaitu dari pejamu dan juga dari lingkungan yang mendukung
terjadinya pertumbuhan dari jamur ini. Untuk memastikan penderita terinfeksi
kandidiasis maka dilakukan berbagai pemeriksaan terkait gejala-gejala yang timbul
pada pasien juga dilakukan pemeriksaan penunjang. Pengobatan pada kandidiasis
ini bergantung atas penyebab serta faktor-faktor yang mendukung terjadinya
infeksi opurtunistik ini.
Prognosis dari oral kandidiasis adalah baik ketika faktor-faktor predisposisi yang
berhubungan dengan infeksi ini tereliminasi. Ketika faktor-faktor predisposisi
meningkat pada pasien kandidiasis primer maka meningkatkan pula resiko yang
lebih buruk pada kandidiasis. Pada kebanyakan kasus kandidiasis oral adalah
penyebab dari infeksi superfisial sekunder yang dapat dengan mudah diobati
dengan terapi antifungal.
B. Blastomycosis
Merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur Blastomyces dermatitidis
yang merupakan organism dimorfik yang dapat tumbuh dalam bentuk yeast atau
mycelia. Penyakit ini sering mengenai pada petani terutama di daerah Atlantik
Tengah dan US Tenggara. Infeksi blastomyces ini dimulai melalui pernafasan,
dengan didahului infeksi paru-paru dan diikuti tanda-tanda seperti malaise, demam,
dan batuk. Apabila tidak diobati akan muncul gejala seperti pernafasan pendek,
penurunan berat badan, dan sputum berdarah. Infeksi di kulit, mukosa, dan tulang
juga dapat terjadi akibat penyebaran organism dari paru melalui sitem limfatik.
Pada kulit dimulai dalam bentuk nodula subkutan dan berkembang menjadi ulkus,
indurasi, dan berbatas tegas.
Manifestasi oral dari penyakit ini berupa non spesifik ulesr dengan tepi
indurasi, tidak nyeri. Banyak jenis ulser ini sering disalah artikan dengan
Squamous-cell carcinoma.
C. Histoplasmosis
Merupakan penyakit systemic fungal infection. Penyakit ini disebabkan oleh
histoplasma capsulatum, histoplasma duboisii. Penyakit histoplasmosis dimulai
dari pernafasan yang dihirup dari debu yang terkontaminasi dari pembuangan
burung atau kelelawar.
Manifestasi oral dari histoplasmosis ini merupakan kelanjutan dari terjadinya
di dalam paru. Bentuk histoplasmosis ini dapat berupa papula, nodula, ulser,
vegetation. Keadaan kelenjar limfe biasanya membesar dan cekat. Pada penderita
HIV, ulser ini biasanya dengan batas indurasi di gingival, palatum, dan lidah.
L.O 4
PENYAKIT VIRUS
Lesi Orofasial dan Tingkat Imunosupresi pada Pasien yang Terinfeksi HIV
A. Kelompok 1, lesi yang biasa terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV:
1. Kandidiasis (pseudomembranous, eritematosus, angular cheilitis).
2. Infeksi virus Herpes Simpleks.
3. Linear gingival erythema
4. Pembengkakan Kelenjar parotis
5. Stomatitis apthosus rekuren (minor, mayor, herpetiform)
Terdapat dua kriteria untuk mendiagnosa lesi orofasial penderita HIV yaitu :
a. kriteriapresumtif yaitu melihat gambaran klinis selama pemeriksaan, mencakup
karakteristik lesi (bentuk, warna, tekstur, likasi, ukuran), dan gejala klinis.
b. kriteria definitive yaitu aplikasi dari criteria presumtif, diagnosis banding, dan
test laboratorium untuk memastikan diagnosis.
Kandidiasis
Kandidiasis oral merupakan manifestasi oral yang paling sering terjadi pada pasien HIV
positif. Terdapat 3 tipe kandidiasis oral yang pada pasien yang terinfeksi HIV, yaitu :
a. Kandidiasis Pseudomembranous
• kriteria presumtif.multifokal, tidak melekat, plak atau papula putih yang dapat
diangkat/diseka dengan tekanan ringan, meninggalkan permukaan yang eritema.
• kriteria definitive. Kultur kandida atau kerokan sitologik.
b. Kandidiasis Eritematous
• kriteria presumtif. Multipel, bercak merah, biasanya pada palatum, dorsum lidah,
tidak melekat, mungkin bersamaan dengan plak putih krem, sakit terbakar.
• kriteria definitive. Kultur kandida atau kerokan sitologik.
c. Keilitis Angularis
• kriteria presumtif. Garis merah atau fisur ulserasi yang menyebar pada sudut
mulut, bilateral, papula merah multiple mungkin ditemukan pada kulit perioral
yang berdekatan, bersamaan dengan candida di dalam rongga mulut.
• kriteria definitive. Kultur kandida atau kerokan sitologik.
Herpes Zoster
• kriteria presumtif. Rasa sakit, rasa terbakar, parestesi atau gatal beberapa hari,
lesi berupa vesikel bergerombol, unilateral sepanjang saraf sensorik yang
terkena. Lesi di kulit berupa vesikel bergerombol dan dapat menyatu menjadi
krusta, lesi di mukosa akan mudah pecah membentuk ulserasi yang dangkal dan
luas dengan tepi tidak beraturan.
• kriteria definitive. Adanya respon terhadap pemberian acyclovir dan pemberian
streoid dengan mempertimbangkan kondisi sistemik pasien. Lesi dapat sembuh
lebih kurang satu bulan.
Xerostomia
• kriteria presumtif. Mulut kering dan menurunnya kecepatan aliran saliva.
• kriteria definitive. Kecepatan aliran saliva pada pasien yang terinfeksi HIV dan
pasien yang terinfeksi HIV sulit dilihat. Erostomia dapat disertai atau tanpa
pembengkakan parotis.
Hairy leukoplakia
Kejadian Hairy leukoplakia rendah pada anak-anak karena jarang terinfeksi oleh virus
Epstein Barr yang menyebabkan timbulnya lesi ini. kriteria presumtif . lesi putih, tidak
dapat diangkat, permukaan tidak rata, bilateral pada lateral lidah. Dapat timbul pada
permukaan ventral dan dorsal lidah, jarang terjadi pada mukosa bukal
• kriteria definitive. Adanya virus Epstein Barr pada lesi ini, ditentukan dengan
pemeriksaan histopatologik dan hibridisasi DNA ini. Jika pemeriksaan ini tidak
dapat dilakukan, maka kurangnya respon terhadap terapi anti jamur dapat
memperkuat dugaan diagnose lesi ini.
• Pseudomembranous Candidiasis
Tanda dan Gejala:
- Bercak atau plak putih kekuningan mukosa mulut.
- Jika plak diangkat meninggalkan permukaan yang kemerahan
atau berdarah.
Pemeriksaan:
Deteksi dengan tes pemeriksaan langsung hapusan (smear) dengan potasium
hidroksida dan kultur jamur atau biopsy.
Pengobatan:
- Dengan anti jamur Topikal (nystatin) 4 x 2 ml dikulum 3–5
menit lalu ditelan, selama 2 minggu .
- Obat kumur chlorhexidin gluconat 0,12%.
- Dirujuk ke SpPM atau jika tidak ada ke SpPD atau SpKK.
• Erythematous
Tanda dan Gejala:
- Warna lesi kemerahan sampai merah, datar dan halus,
terdapat di daerah palatum, mukosa pipi dan permukaan lidah.
- Keluhan rasa panas di mulut, terutama saat memakan
makanan yang asin, pedas atau minum asam.
- Sering muncul pada mulut ODHA, namun jarang
terdiagnosis.
Pemeriksaan:
Gejala klinis dan riwayat kesehatan ODHA serta status
virologisnya.
Pengobatan:
- Topikal (nystatin) 4 x 2 ml dikulum 3–5 menit lalu ditelan,
selama 2 minggu.
- Obat kumur chlorhexidin gluconat 0,12%.
- Dirujuk ke SpPM atau jika tidak ada ke SpPD atau SpKK.
• Angular Cheilitis
- Eritema atau luka berupa celah di sudut mulut.
- Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya kandidiasis eritema
atau kandidiasis pseudomembran. Angular cheilitis dapat
berlangsung lama jika dibiarkan tanpa perawatan.
Pengobatan:
Menggunakan mikonazol krim anti jamur secara topikal. 4 Kali
sehari selama 2 minggu.
2. Hairy Leukoplakia
Penyebab: virus Epstein-Barr (EBV).
Pengobatan:
- Umumnya tidak membutuhkan pengobatan (pada ODHA yang
mendapat terapi ARV), kecuali karena pertimbangan kosmetik.
- Acyclovir krim untuk herpes labialis 5 kali sehari selama 10 -
14 hari.
- Acyclovir tablet 200-400 mg, 5 kali sehari selama 10 - 14 hari.
Gambar 5. Hairy leukoplakia
3. Penyakit Periodontal
Pengobatan:
- Debridement, oleh Dokter Gigi.
- Kumur dua kali sehari dengan chlorhexidine gluconate
0,12% atau H2O2 3% 3 kali sehari selama kurang lebih 1
menit sampai lesi mengalami perbaikan.
- Peningkatan oral hygiene.
Gambar 6. Linear Gingival Erythema
Pengobatan:
- Surface protecting agents.
- Topical steroids.
- Thalidomide
Gambar 9. HIV-Necrotizing Oral Ulcerations
4. Sarkoma Kaposi
- Merupakan penyakit mulut yang paling sering dijumpai
berkaitan dengan infeksi HIV, meskipun prevalensi menurun
dalam masa HAART.
- Merupakan neoplasma ganas sel endotel.
- Intra oral dan ekstra oral.
- Diagnosis definitif: dengan biopsy.
Gambaran klinis:
- Berupa makula, papula, atau nodula.
- Warna ungu kemerahan atau ungu kebiruan (warna makin gelap
dengan bertambahnya waktu).
- Awal: datar, merah, dan tanpa gejala.
- Intra oral dapat terjadi di palatum dan gingiva.
Pengobatan:
Dirujuk ke Sp.PM atau Sp.BM untuk dilakukan.
- Pembedahan, kemoterapi.
- Radiasi.
- Sklerosing.
5. Limfoma Non-Hodgkin’s
Gambaran klinis:
- Neoplasma kelenjar limfe.
- Pembesaran masa nekrotik dengan cepat.
- Ulserasi atau nonulserasi.
- Pada palatum atau gingival.
- Prognosis buruk.
Pengobatan:
Dirujuk ke Sp.PM dan Sp.PD.
Pengobatan:
- Mengatasi rasa sakit: dengan anestesi topical (benzokain dalam
borax gliserin atau lidokain).
- Tetrasiklin kumur (250 mg dilarutkan dalam 2 sdm makan air
(30 ml) tiga kali sehari selama 4-5 hari).
- Pengobatan sesuai penyebab (misalnya menghilangkan stress,
menghilangkan iritasi dll).
3. Infeksi Virus
Infeksi karena virus golongan herpes paling sering dijumpai
pada penderita AIDS. Infeksi virus pada penderita dapat terlihat
berupa stomatis herpetiformis, herpes zoster, hairy leukoplakia,
cytomegalovirus dan papiloma (warts).
• Herpes Simplex
- Disebabkan virus HSV.
- Dapat merupakan infeksi kambuhan pada bibir (herpes
labialis) atau pada mukosa mulut.
Pengobatan:
- Acyclovir krim untuk herpes labialis 5 kali sehari selama 10
- 14 hari
- Acyclovir tablet 200-400 mg, 5 kali sehari selama 10 - 14
hari
Pengobatan:
Acyclovir dosis tinggi 800 mg, 5 kali sehari selama 10-14 hari.
a) Kebersihan Tangan
Kebersihan tangan merupakan hal yang paling penting dan
merupakan pilar untuk Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.
Tenaga pelayanan kesehatan gigi harus melakukan kebersihan
tangan dengan menggunakan sabun dan air mengalir jika tangan
terlihat kotor (termasuk keadaan terkena serbuk/powder dari
sarung tangan), terkontaminasi cairan tubuh, kontak langsung
dengan individu pasien, setelah kontak dengan permukaan
dalam ruang praktik termasuk peralatan, gigi palsu, cetakan
gips, lamanya 40-60 detik. Jika tangan tidak tampak kotor
lakukan
kebersihan tangan dengan cara gosok tangan dengan handrub/
cairan berbasis alkohol, lamanya 20-30 detik. Metoda dan tata
cara mencuci tangan dalam “hand hygiene” tergantung pada
beberapa tipe dan prosedur, tingkat keparahan dari kontaminasi
dan persistensi melekatnya antimikroba yang digunakan pada
kulit. Untuk pelaksanaan rutin dalam praktik dokter gigi dan
prosedur non bedah, mencuci tangan dan antiseptik dapat
dicapai dengan menggunakan sabun detergent antimikroba yang
standar. Untuk prosedur pembedahan, sabun antimikroba
(bedah) yang mengandung chlorhexidin gluconate 4% harus
digunakan. Sebagai alternatif pengganti bagi yang sensitif
terhadap chlorhexidin gluconate, dapat menggunakan iodophor
(Depkes, 2005).Tempatkan produk cairan kebersihan tangan
dalam tempat yang disposible atau yang diisi ulang, dicuci dan
dikeringkan terlebih dahulu sebelum diisi ulang.Jangan diisi
ulang cairan antiseptik sebelum dibersihkan dan dikeringkan
terlebih dahulu.
Hal – hal yang harus diperhatikan mengenai kebersihan tangan :
1) Sebelum kebersihan tangan : cincin, jam dan seluruh
perhiasan yang ada di pergelangan tangan harus dilepas.
2) Kuku harus tetap pendek dan bersih.
3) Jangan menggunakan pewarna kuku atau kuku palsu karena
dapat menjadi tempat bakteri terjebak dan menyulitkan
terlihatnya kotoran di dalam kuku.
4) Selalu gunakan air mengalir, apabila tidak tersedia, maka
harus menggunakan salah satu pilihan sebagai berikut:
• Ember berkeran yang tertutup.
• Ember dan gayung, dimana seseorang menuangkan air
sementara yang lainnya mencuci tangan.
5) Tangan harus dikeringkan dengan menggunakan paper
towel atau membiarkan tangan kering sendiri sebelum
menggunakan sarung tangan (Yee, 2006).
Ratakan pada kedua telapak Gosok punggung tangan dan sela-sela jari, Gosok telapak tangan dan sela-sela jari
lakukan pada tangan yang satunya
tangan
Gambar 16. Cara mencuci tangan yang tepat dengan air mengalir
Ratakan pada kedua telapak Gosok punggung tangan dan sela-sela jari, Gosok telapak tangan dan sela-sela jari
tangan lakukan pada tangan yang satunya
(2) Masker
Tenaga pelayanan kesehatan gigi dan mulut wajib
menggunakan masker pada saat melakukan tindakan untuk
mencegah potensi infeksi akibat kontaminasi aerosol serta
percikan saliva dan darah dari pasien dan sebaliknya.
Masker harus sesuai dan melekat dengan baik dengan
wajah sehingga menutup mulut dan hidung dengan baik.
Ganti masker diantara pasien atau jika masker lembab atau
basah dan ternoda selama tindakan ke pasien. Masker akan
kehilangan kualitas perlindungannya jika basah. Lepaskan
masker jika tindakan telah selesai.
(3) Kacamata Pelindung
Tenaga pelayanan kesehatan gigi wajib menggunakan
kacamata pelindung untuk menghindari kemungkinan
infeksi akibat kontaminasi aerosol dan percikan saliva dan
darah. Kacamata ini harus didekontaminasi dengan air dan
sabun kemudian didisinfeksi setiap kali berganti pasien.
1. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Celluler and Moleculer Immunology. 4th
Ed.
2. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 2000. 91, 110, 111, 150, 203, 236, 262-
263,
3. 276, 277, 303, 332.
4. Bellanti JA. Immunology III. Penerjemah: Samik Wahab A. Yogjakarta:
Gajahmada University Press. 1993. 12, 13, 14, 348.
5. Janeway CA, Travers P, Walport M, Capra JD. Immunobiology-The Immune
System in
6. Health and Disease. Fourth Edition. New York: Elsevier Science Ltd/Garland
Publishing, 1999. 298-303, 364-365, 395-396, 403.
7. Lehner T. Immunologi of Oral Desease. Ed.
8. Terjemahan: Ratna Farida dan NG Suryadhana. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 1995. 112-115.
9. Roitt J, Brostoff J, Male D. Immunology. 5 Ed. London: Mosby International
Ltd. 1998.
10. 13, 1.6, 8.4, 8.8-8.11, 9.8, 9.10, 16.11, 17.12.
11. Campbell & J.B. Reece. Biology. Sevent Ed. San Fransisco: Person Education,
Inc.
12. Greenberg MS, Glick M, Ship JA. Burket’s oral medicine diagnosis & treatment
11th edition. BC Decker Inc; 2008. 442 – 447.
13. Jara LJ, Navarro C, Medina G, Vera-Lastra O, Blanco F. Immune-
neuroendocrine
14. Interactions and Autoimmune Disease. Clinical and Development Immunology.
2006
15. June – December; 13(2-4): 109 – 123.
16. 9. Ray S, Sonthalia N, Kundu S, Ganguly S. Autoimmune Disorders: An
Overview of
17. Molecular and Cellular Basis in Today’s Perspective. J Clin Cell Immunol.
2012.
18. [Internet]. Available from: http://dx.doi.o r g / 1 0 . 4 1 7 2 / 2 1 5 5 - 9 8 9 9 . S1
0-003,
19. doi:10.4172/2155-9899.S10-003
20. 10. Fairweather D. Autoimmune Disease: Mechanisms [Internet]. Encyclopedia
of
21. Life Sciences. John Wiley & Sons: 2007. Available from: www.els.net Ltd.
22. Lewis MAO, Lamey P-J. Tinjauan Klinis Penyakit Mulut/Clinical Oral
Medicine. Alih bahasa. Wiriawan E. Widya Medica, Jakarta. 1994.
23. Gravina, HG, de Morán, EG, Zambrano, O, Chourio, ML, de Valero, SR,
Robertis, S, Mesa L. Oral Candidiasis in children and adolescents with cancer.
Identification of Candida.spp Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 2007; 12: E419-
23.
24. Cutler, JE. Putative virulence factors of Candida albicans. Annual Rev.
Microbiol. 1991; 45:187–218.
25. Lehmann PF. Fungal structure and morphology. Medical Mycology .
1998;4:57–8.
26. Peterson DE. Oral candidiasis. Clin Geriatr Med. 1992; 8:513–27.
27. Garber GE. Treatment of oral candida mucositis infections. Drugs.
1994;47:734–40.
28. Epstein JB. Antifungal therapy in oropharyngeal mycotic infections. Oral Surg
Oral Med Oral Pathol 1990;69:32–41.
29. Epstein JB, Truelove EL, Izutzu KL. Oral candidiasis: pathogenesis and host
defense. Rev Infect Dis 1984;6:96–106.
30. Skoglund A, Sunzel B, Lerner UH.Comparison of three test methods used for
the diagnosis of candidiasis. Scand J Dent Res 1994;102(5): 295‐298.
31. Fenlon MR, Sherriff M. Prevalence of denture related stomatitis in patients
attending a dental teaching hospital for provision of replacement complete
dentures. J Ir Dent ssoc 1998;44(1):9‐10.
32. Herawati E. Kandidiasis rongga mulut, gambaran klinis, dan terapinya.
Bandung. FKG Unpad; 2008.
33. Agha-Hosseini, F. Fluconazole and/or hexetidine for management of oral
candidiasis associated with denture-induced stomatitis. Oral Dis. 2006 ,12:434.
34. Pappas, PG, Rex, JH, Sobel, JD, Filler, SG, Dismukes, WE, Walsh, TJ,
Edwards, JE. Guidelines for Treatment of CandidiasisCID, 2004;38: 161-89
35. Rao PK. Candidiasis Oral: A Review. Scholarly Journal of Medicine. 2012;
2(2):26-30.