Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN TUTORIAL

MODUL 3 BLOK 21
“PENYAKIT METABOLIK ENDOKRIN DAN GASTROINTESTINAL”

Kelompok 5
Aaron Michelle Duvali
Arfi Azkia Firdian
Dea Favella
Fachri Erizon
Fitria Andrina Vela
Kerin Irawan
Putri Permata Sari
Suci Ramadhani
Shavira Annisa Faran
Valdelrama Gatra Pratama Nugraha
Tutor : drg. Reni Novika, Sp.KG
Ketua : Arfi Azkia Firdian
Sekretaris Papan : Aaron Michelle Duvali
Sekretaris Meja : Dea Favella

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Andalas
2020
MODUL 3
PENYAKIT METABOLIK ENDOKRIN DAN GASTROINTESTINAL

Skenario 3

KOK GIGIKU PADA GOYAH DAN MULUT RASA TERBAKAR…?


Ibu Sumi, 44 tahun dikonsulkan dari poli penyakit dalam ke poli gigi dan
mulut dengan keluhan gigi geligi terasa goyah, dan mulut terasa panas seperti
terbakar. Dari data rekam medik, diketahui pasien didiagnosis menderita diabetes
mellitus type 2 sejak 5 tahun yang lalu dan tidak berobat secara teratur. Hasil
pemeriksaan lab. minggu yang lalu menunjukkan gula darah puasa 200 mg/dl dan 2
jam pp 310 mg/dl. Pemeriksaan IO: higiene oral buruk, gigi geligi banyak yang
goyah disertai gingivitis dan pocket periodontal dan mukosa mulut tampak kering.
Ibu Sumi datang ditemani oleh suami dan kakak perempuannya. Kakak Ibu
Sumi berusia 47 tahun bernama Ibu Sari, juga ingin memeriksakan kondisi kesehatan
mulutnya. Dari anamnesis diketahui Ibu Sari adalah seorang penderita hipertiroid
sejak 3 tahun yang lalu. Keluhan yang dirasakan Ibu Sari, seperti badan terasa lemah,
insomnia, emosi yang labil, berkeringat banyak, palpitasi, tremor, diare, peningkatan
nafsu makan dan penurunan berat badan. Dokter lalu melakukan pemeriksaan, dan
didapatkan hasil TD 160/90 mmHg, nadi 110/menit, ujung kuku rapuh. Pemeriksaan
intra oral: mukosa kering, higiene oral buruk, periodontitis, serta gigi geligi banyak
yang karies. Pemeriksaan radiologi menunjukkan resorbsi tulang alveolar hampir
disemua gigi.
Pak Dirman (49 tahun), suami Ibu Sumi, juga ingin mencabutkan giginya
yang berlubang besar. Dari anamnesis diketahui Pak Dirman dulunya adalah seorang
peminum alkohol sejak usia 18 tahun. Sepuluh tahun terakhir, Pak Dirman sudah
mulai menghentikan kebiasaan tersebut, namun sesekali masih dilakukan bila ada
pesta. Mengingat kebiasaan buruk Pak Dirman, Drg merencanakan pemeriksaan
darah untuk pemeriksaan fungsi faal hati dan bleeding time.
Bagaimana saudara menjelaskan kasus diatas?
Skenario oleh: drg. Surya Nelis, Sp.PM
Langkah 1. Mengklarifikasi terminologi yang tidak diketahui dan
mendefinisikan hal-hal yang dapat menimbulkan kesalahan interprestasi

1. Bleeding Time : uji laboratorium untuk menentukan lamanya tubuh


menghentikan perdarahan akibat trauma yang dibuat secara laboratoris.
Pemeriksaan ini mengukur hemostasis dan koagulasi
2. Hipertiroid : kondisi saat kelenjar tiroid memproduksi terlalu banyak hormon
tiroksin atau disebut tirotoksikosis
3. Palpitasi : suatu kondisi detak jantung yang tidak normal, jantung berdetak
lebih cepat atau lebih lambat daripada detak normalnya atau berdetak tidak
teratur
4. Diabetes Melitus Tipe 2 : jenis diabetes melitus yang menyebabkan kadar
gula darah tinggi akibat pola hidup yang tidak sehat
5. Gula darah puasa : Kadar gula dari pemeriksaan setelah puasa selama 8–12
jam

Langkah 2. Menentukan masalah

1. Apa penyebab mulut kering pada penderita DM dan mengapa mulut Ibu Sumi
terasa panas dan gigi goyah?
2. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan labor Ibu Sumi dan Berapa gula
darah normal seseorang?
3. Bagaimana manifestasi oral dari penyakit DM?
4. Apa tanda dan gejala DM?
5. Bagaimana pertimbangan dental Ibu Sumi?
6. Bagaimana manifestasi oral penyakit hipertiroid?
7. Apakah ada hubungan antara hipertiroid dengan kuku rapuh Ibu Sari?
8. Bagaimana penatalaksanaan pasien hipertiroid?
9. Mengapa penderita hipertiroid mengalami resoprsi pada tulang alveolar?
10. Apakah ada hubungan antara peminum alkohol dengan faal hati?
11. Apa saja gangguan hati pada orang peminum alkohol dan tidak peminum?
12. Apa hubungan pemeriksaan fungsi faal hati dengan pemeriksaan bleeding
time?
13. Bagaimana manifestasi oral penyakit hati?
Langkah 3. Menganalisa masalah melalui brain storming dengan menggunakan
prior knowledge

1. Apa penyebab mulut kering pada penderita DM dan mengapa mulut Ibu Sumi
terasa panas dan gigi goyah?
Xerostomia yang mana hal ini berkaitan dengan menurunnya aliran saliva dan
meningkatnya glukosa saliva. Hal ini dihubungkan dengan tingginya level
glukosa saliva dan cairan krevikuler. Penyembuhan luka yang tidak sempurna,
xerostomia yang diikuti dengan penimbunan plak dan sisa makanan,
kerentanan terhadap infeksi, dan hiperplasi attached gingiva, semua memberi
kontribusi meningkatnya insidensi penyakit periodontal pada pasien diabetes.

2. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan labor Ibu Sumi dan Berapa gula
darah normal seseorang?
Gula darah puasa GDP : Hasil pemeriksaan menunjukkan kurang dari 100
mg/dL, artinya gula darah normal. Jika hasil menunjukkan angka di atas 126
mg/dL maka masuk kategori diabetes. Hasil dengan angka 100 sampai 126
mg/dL, digolongkan dalam pradiabetes.Gula darah 2 Jam PP Disebut normal
jika kurang dari 140 mg/dL, pradiabetes jika 140-200 mg/dL, dan kategori
diabetes jika atas 200 mg/dL.

3. Bagaimana manifestasi oral dari penyakit DM?


a. Xerostomia
b. Periodontitis dan gingivitis
c. Oral Candidiasis, angular cheilitis
d. Nafas bau aseton
e. disfungsi pengecapan

4. Apa tanda dan gejala DM?


a. Polidipsi , poliuria, poliphagia
b. Infeksi oppurtunistik
c. Nafas bau aseton / diabetik
d. Penyembuhan luka lama
e. Lemah
f. Nervous
g. Tidak tenang / gelisah
h. Palpitasi
i. Keringat banyak
j. Koma

5. Bagaimana pertimbangan dental Ibu Sumi?


Manajemen stress, pola makan pasien, kontrol rutin, terapi insulin.
Ekstraksi maksimal 2x dengan penggunaan epinefrin seminimal mungkin,
serta olahraga yang cukup, waktu pelaksanaan perawatan pagi hari

6. Bagaimana manifestasi oral penyakit hipertiroid?


Xerostomia, pasien mudah terinfeksi bakteri virus dan jamur, penurunan
aliran saliva, oh buruk, periodontitis, makroglosia, oedema wajah dan RM
(Palatum dan faring) dan candidiasis. Erupsi dental cepat, pembesaran
jaringan tiroid, BMS, osteoporosis

7. Apakah ada hubungan antara hipertiroid dengan kuku rapuh Ibu Sari?
Kurang penyerapan mineral pada tubuh akibat ketidakseimbangan hormon
dan tergangunya hormone T4 dan T3. Selain itu terhambatnya asupan oksigen
ke dalam matriks kuku

8. Bagaimana penatalaksanaan pasien hipertiroid?


 Anamnesa, konsul dg dr pribadi, pembatasan efineprin
 Pemeriksaan penunjan radiografi :
a. Tergantung kepada keparahan penyakit
b. Langkah pertama : mengobati simptom yang ada
c. Penggunaan b-blocker pada pasien dengan takikardia dan obat
antitiroid diperlukan untuk blokir sintesis hormon tiroid

9. Mengapa penderita hipertiroid mengalami resoprsi pada tulang alveolar?


Karna berhubungan dengan osteoporosis pada maksila dan mandibular, serta
hormon T4 dan T3 tidak mampu diproduksi oleh kelenjar tiroid

10. Apakah ada hubungan antara peminum alkohol dengan faal hati?
Mengonsumsi alcohol secara rutin dan dengan jumlah yang banyak dapat
meningkatkan kadar lemak pada hati sehingga menyebabkan hati menjadi
radang serta regenerasi sel hati menjadi terhambat akibat itu terjadilah
gangguan hati yang menyaring zat racun yang dipengaruhi juga oleh bahan
yang terkandung di dalam alcohol
11. Apa saja gangguan hati pada orang peminum alkohol dan tidak peminum?
Faktor keturunan dan malnutrisi, infeksi virus hepatitis, zat hepatotoksik
(Obat), penyakit Wilson, hemokromatosis, sirosis hati, perubahan sirkulasi
darah pada hati, hepatitis hati, karena Virus, kanker Hati, lemak pada hati

12. Apa hubungan pemeriksaan fungsi faal hati dengan pemeriksaan bleeding
time?
Hati tempat metabolism protein, protrombin time tergangg maka homeostasis
juga terganggu

13. Bagaimana manifestasi oral penyakit hati?


a. Penyakit gangguan fungsi hati mengakibatkan bau badan dan mulut
yang tidak sedap.
b. Pembengkakan gingival akibat terapi obat
c. Xerostomia
d. Kesulitan berbicara
e. Hilang rasa
f. Infeksi candidiasis
g. Stomatitis
Langkah 4. Membuat skema atau diagram dari komponen-komponen
permasalahan dan mencari korelasi dan interaksi antar masing-masing
komponen untuk membuat solusi secara terintegrasi

Poli Penyakit Dalam

Poli Gigi dan Mulut

Perempuan (44th) Perempuan (47 th) Laki-laki (49 th)

Objektif: IO Subjektif: CC Penunjang:


Subjektif: Objektif: IO Umum : TD
mukosa cabut gigi, SH Tes fungsi
gigi goyah, OH buruk, 160/90
kering, OH peminum faal hati dan
dan mulut gigi geligi mmHg, nadi
buruk, alkohol sejak bleeding
terasa panas banyak 110/menit,
periodontitis 18 tahun time
seperti goyah, ujung kuku
terbakar gingivitis dan rapuh , gigi
pocket banyak yang
periodontal, karies
Subjektif : lemah,
mukosa insomnia, emosi
mulut kering labil, berkeringat Penunjang:
Penunjang: Data RM banyak, palpitasi, radiologi
DM type 2 sejak 5 tremor, diare, resorbsi
tahun yang lalu tak peningkatan nafsu tulang
terkontrol. Pem lab. makan dan alveolar
minggu yang lalu penurunan berat hampir
menunjukkan gula badan disemua gigi
darah puasa 200
mg/dl dan 2 jam pp
310 mg/dl.

DM tipe 2 Hipertiroid Liver

Penyakit metabolic endokrin


dan gastrointestinal (jenis
penyakit, manifestasi oral
dan pertimbangan dental
Langkah 5. Memformulasikan tujuan pembelajaran

1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang diabetes melitus, manifestasi oral dan


pertimbangan dental
2. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang kelenjar tiroid dan paratiroid, manifestasi
oral dan pertimbangan dental
3. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang penyakit liver, manifestasi oral dan
pertimbangan dental
4. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang penyakit gastrointestinal, manifestasi oral
dan pertimbangan dental
5. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang kelenjar adrenalin, manifestasi oral dan
pertimbangan dental

6. Mengumpulkan informasi di perpustakaan, internet, dan lain-lain

Langkah 7. Sintesa dan uji informasi yang telah diperoleh

1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang diabetes melitus, manifestasi oral


dan pertimbangan dental

Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit metabolik heterogen secara klinis dan
genetik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tidak normal
(hiperglikemia) dan disregulasi metabolisme karbohidrat, protein, dan lipid. Ciri
utama kelainan ini adalah hiperglikemia kronis, yang diakibatkan oleh cacat sekresi
insulin dari pankreas atau resistensi sel tubuh terhadap kerja insulin, atau keduanya.
Hiperglikemia berkelanjutan telah terbukti memengaruhi hampir semua jaringan di
tubuh dan dikaitkan dengan komplikasi signifikan dari berbagai sistem organ,
termasuk mata, saraf, ginjal, dan pembuluh darah. Komplikasi ini bertanggung jawab
atas tingginya morbiditas dan mortalitas yang terlihat pada populasi diabetes.
Presentasi klinis DM mencakup spektrum yang luas dari onset akut hingga kasus
asimtomatik yang ditemukan hanya selama skrining rutin. Profesional perawatan
kesehatan mulut adalah bagian penting dari tim perawatan kesehatan dalam skrining
dan pemantauan pasien diabetes mellitus.

Patofisiologi

Patofisiologi DM dimediasi oleh perubahan metabolisme karbohidrat dan


kerja insulin. Setelah makan, pemecahan karbohidrat menyebabkan peningkatan
kadar glukosa darah. Hiperglikemia merangsang sekresi insulin dari sel beta pankreas
karena insulin dibutuhkan oleh sebagian besar sel untuk memungkinkan masuknya
glukosa. Insulin mengikat reseptor seluler spesifik dan memfasilitasi masuknya
glukosa ke dalam sel, yang menggunakan glukosa untuk energi. Hasil akhirnya
adalah penurunan kadar glukosa darah dan penurunan sekresi insulin. Jika produksi
dan sekresi insulin diubah oleh penyakit, dinamika glukosa darah juga akan berubah.
Jika produksi insulin menurun, masuknya glukosa ke dalam sel akan terhambat,
sehingga terjadi hiperglikemia. Efek yang sama terjadi jika insulin disekresikan dari
pankreas tetapi tidak digunakan dengan benar oleh sel target. Peningkatan sekresi
insulin dapat menyebabkan kadar glukosa darah menjadi sangat rendah
(hipoglikemia) karena glukosa dalam jumlah besar memasuki sel jaringan dan sedikit
yang tertinggal di aliran darah. Setelah makan, jumlah glukosa yang tersedia dari
pemecahan karbohidrat seringkali melebihi kebutuhan glukosa sel. Glukosa yang
berlebih disimpan di hati dalam bentuk glikogen, yang berfungsi sebagai reservoir
yang siap digunakan di masa mendatang. Ketika energi dibutuhkan, simpanan
glikogen di hati diubah menjadi glukosa melalui glikogenolisis, meningkatkan kadar
glukosa darah dan menyediakan sumber energi sel yang dibutuhkan. Hati juga
menghasilkan glukosa dari lemak (asam lemak) dan protein (asam amino) melalui
proses glukoneogenesis. Glikogenolisis dan glukoneogenesis berfungsi untuk
meningkatkan kadar glukosa darah. Jadi, glikemia dikendalikan oleh interaksi
kompleks antara saluran pencernaan, pankreas, dan hati. Berbagai hormon juga
mempengaruhi glikemia. Insulin adalah satu-satunya hormon yang menurunkan kadar
glukosa darah. Hormon counterregulatory seperti glukagon, katekolamin, hormon
pertumbuhan (GH), hormon tiroid, dan glukokortikoid semuanya bertindak untuk
meningkatkan kadar glukosa darah, selain efek lainnya.

Klasifikasi

Klasifikasi DM sebelumnya berdasarkan usia saat onset dan jenis terapi. Ini
telah direvisi oleh American Diabetes Association karena setiap jenis DM meluas ke
seluruh kontinum klinis hiperglikemia dan kebutuhan insulin. Klasifikasi baru
menggunakan empat kategori: (1) tipe 1 (sebelumnya diabetes remaja, tergantung
insulin diabetes, atau tipe I), (2) tipe 2 (sebelumnya diabetes onset dewasa, diabetes
non-insulin-dependent, atau tipe II), (3) “tipe spesifik lainnya,” dan (4) diabetes
gestasional. Hal ini juga didasarkan pada patofisiologi DM dan bukan rejimen
manajemen karena individu diabetes yang bergantung insulin dan non-insulin-
dependent dapat menggunakan insulin. sebagai bagian dari rejimen manajemen
mereka. Pasien tipe 1 benar-benar bergantung pada terapi insulin, sedangkan pasien
tipe 2 dapat memperoleh manfaat dari terapi insulin tetapi tidak bergantung padanya
untuk bertahan hidup. Jenis DM lainnya dapat terjadi pada individu dengan kelainan
genetik tertentu, penyakit pankreas, infeksi, luka pada pankreas, dan penyakit
endokrin. Terapi obat dengan agen tertentu juga dapat menyebabkan keadaan
diabetes. Namun, DM gestasional terjadi selama kehamilan dan biasanya hilang
setelah melahirkan.

TIPE 1 DM

DM tipe 1 ditandai dengan destruksi autoimun idiopatik dari sel beta


pankreas, biasanya menyebabkan defisiensi insulin absolut. Penyakit ini terdiri dari 5
sampai 10% dari semua kasus DM, memiliki onset mendadak, dan berkembang
selama beberapa hari sampai beberapa minggu. DM tipe 1 terjadi sebelum usia 25
tahun pada 95% orang yang terkena, tetapi dapat terjadi pada semua usia. Meskipun
itu mempengaruhi kedua jenis kelamin secara sama, itu lebih umum pada orang
Kaukasia. Risiko mengembangkan DM tipe 1 meningkat karena riwayat keluarga DM
tipe 1, enteropati gluten (penyakit celiac), atau penyakit endokrin. Ada dua subclass
berbeda dari DM tipe 1. Bentuk DM tipe 1 yang dimediasi imun adalah penyakit
kronis dengan periode prodromal subklinis yang ditandai dengan kerusakan autoimun
seluler yang dimediasi oleh sel beta penghasil insulin di pulau pankreas. Hal ini dapat
dipicu oleh peristiwa lingkungan seperti infeksi virus tetapi dapat dikaitkan dengan
gangguan autoimun, seperti tiroiditis Hashimoto, penyakit Addison, vitiligo, atau
anemia pernisiosa. Bentuk idiopatik tidak terkait dengan autoantibodi, dan penyebab
kerusakan sel beta tidak dipahami. Ini lazim di antara orang-orang asal Afrika atau
Asia dan diturunkan dengan kuat tetapi tidak terkait dengan gen histokompatibilitas.

Risiko DM tipe 1 berubah dalam frekuensi alel human leukocyte antigen


(HLA) risiko tinggi di antara kelompok etnis di lokasi geografis yang berbeda.
Kebanyakan individu DM tipe 1 memiliki berat badan normal atau bertubuh kurus.
Karena pankreas tidak lagi memproduksi insulin, pasien DM tipe 1 sangat bergantung
pada insulin yang diberikan secara eksogen untuk bertahan hidup. Orang dengan DM
tipe 1 sangat rentan terhadap ketoasidosis diabetikum. Karena pankreas tidak
menghasilkan insulin, glukosa tidak dapat masuk ke sel dan tetap berada di aliran
darah. Untuk memenuhi kebutuhan energi sel, lemak dipecah melalui lipolisis,
melepaskan gliserol dan asam lemak bebas. Gliserol diubah menjadi glukosa untuk
penggunaan seluler. Asam lemak diubah menjadi keton, mengakibatkan peningkatan
kadar keton dalam cairan tubuh dan penurunan konsentrasi ion hidrogen (pH). Keton
diekskresikan dalam urin, disertai dengan air dalam jumlah besar. Akumulasi keton
dalam cairan tubuh, penurunan pH, kehilangan elektrolit dan dehidrasi akibat buang
air kecil berlebihan, dan perubahan dalam sistem penyangga bikarbonat
menyebabkan ketoasidosis diabetikum. Ketoasidosis diabetikum yang tidak diobati
dapat menyebabkan koma atau kematian. Banyak pasien dengan DM tipe 1 awalnya
didiagnosis dengan penyakit ini setelah masuk rumah sakit karena ketoasidosis
diabetikum. Pada pasien diabetes yang diketahui, periode stres atau infeksi dapat
memicu ketoasidosis diabetik. Lebih sering, bagaimanapun, ketoasidosis diabetik
terjadi akibat kontrol glikemik harian yang buruk. Pasien yang tetap mengalami
hiperglikemik parah selama beberapa hari atau lebih karena pemberian insulin yang
tidak adekuat atau asupan glukosa yang berlebihan cenderung mengalami
ketoasidosis diabetikum. disertai dengan air dalam jumlah besar. Akumulasi keton
dalam cairan tubuh, penurunan pH, kehilangan elektrolit dan dehidrasi akibat buang
air kecil berlebihan, dan perubahan dalam sistem penyangga bikarbonat
menyebabkan ketoasidosis diabetikum. Ketoasidosis diabetikum yang tidak diobati
dapat menyebabkan koma atau kematian. Banyak pasien dengan DM tipe 1 awalnya
didiagnosis dengan penyakit ini setelah masuk rumah sakit karena ketoasidosis
diabetikum. Pada pasien diabetes yang diketahui, periode stres atau infeksi dapat
memicu ketoasidosis diabetik. Lebih sering, bagaimanapun, ketoasidosis diabetik
terjadi akibat kontrol glikemik harian yang buruk. Pasien yang tetap mengalami
hiperglikemik parah selama beberapa hari atau lebih karena pemberian insulin yang
tidak adekuat atau asupan glukosa yang berlebihan cenderung mengalami
ketoasidosis diabetikum. disertai dengan air dalam jumlah besar. Akumulasi keton
dalam cairan tubuh, penurunan pH, kehilangan elektrolit dan dehidrasi akibat buang
air kecil berlebihan, dan perubahan dalam sistem penyangga bikarbonat
menyebabkan ketoasidosis diabetikum. Ketoasidosis diabetikum yang tidak diobati
dapat menyebabkan koma atau kematian. Banyak pasien dengan DM tipe 1 awalnya
didiagnosis dengan penyakit ini setelah masuk rumah sakit karena ketoasidosis
diabetikum. Pada pasien diabetes yang diketahui, periode stres atau infeksi dapat
memicu ketoasidosis diabetik. Lebih sering, bagaimanapun, ketoasidosis diabetik
terjadi akibat kontrol glikemik harian yang buruk. Pasien yang mengalami
hiperglikemik parah selama beberapa hari atau lebih karena pemberian insulin yang
tidak adekuat atau asupan glukosa yang berlebihan cenderung mengalami
ketoasidosis diabetikum. Akumulasi keton dalam cairan tubuh, penurunan pH,
kehilangan elektrolit dan dehidrasi akibat buang air kecil berlebihan, dan perubahan
dalam sistem penyangga bikarbonat menyebabkan ketoasidosis diabetikum.
Ketoasidosis diabetikum yang tidak diobati dapat menyebabkan koma atau kematian.
Banyak pasien dengan DM tipe 1 awalnya didiagnosis dengan penyakit ini setelah
masuk rumah sakit karena ketoasidosis diabetikum. Pada pasien diabetes yang
diketahui, periode stres atau infeksi dapat memicu ketoasidosis diabetik. Lebih sering,
bagaimanapun, ketoasidosis diabetik terjadi akibat kontrol glikemik harian yang
buruk. Pasien yang mengalami hiperglikemik parah selama beberapa hari atau lebih
karena pemberian insulin yang tidak adekuat atau asupan glukosa yang berlebihan
cenderung mengalami ketoasidosis diabetikum. Akumulasi keton dalam cairan tubuh,
penurunan pH, kehilangan elektrolit dan dehidrasi akibat buang air kecil berlebihan,
dan perubahan dalam sistem penyangga bikarbonat menyebabkan ketoasidosis
diabetikum. Ketoasidosis diabetikum yang tidak diobati dapat menyebabkan koma
atau kematian. Banyak pasien dengan DM tipe 1 awalnya didiagnosis dengan
penyakit ini setelah masuk rumah sakit karena ketoasidosis diabetikum. Pada pasien
diabetes yang diketahui, periode stres atau infeksi dapat memicu ketoasidosis
diabetik. Lebih sering, bagaimanapun, ketoasidosis diabetik terjadi akibat kontrol
glikemik harian yang buruk. Pasien yang tetap mengalami hiperglikemik parah
selama beberapa hari atau lebih karena pemberian insulin yang tidak adekuat atau
asupan glukosa yang berlebihan cenderung mengalami ketoasidosis diabetikum. dan
perubahan dalam sistem buffer bikarbonat menyebabkan ketoasidosis diabetikum.
Ketoasidosis diabetikum yang tidak diobati dapat menyebabkan koma atau kematian.
Banyak pasien dengan DM tipe 1 awalnya didiagnosis dengan penyakit ini setelah
masuk rumah sakit karena ketoasidosis diabetikum. Pada pasien diabetes yang
diketahui, periode stres atau infeksi dapat memicu ketoasidosis diabetik. Lebih sering,
bagaimanapun, ketoasidosis diabetik terjadi akibat kontrol glikemik harian yang
buruk. Pasien yang mengalami hiperglikemik parah selama beberapa hari atau lebih
karena pemberian insulin yang tidak adekuat atau asupan glukosa yang berlebihan
cenderung mengalami ketoasidosis diabetikum. dan perubahan dalam sistem buffer
bikarbonat menyebabkan ketoasidosis diabetikum. Ketoasidosis diabetikum yang
tidak diobati dapat menyebabkan koma atau kematian. Banyak pasien dengan DM
tipe 1 awalnya didiagnosis dengan penyakit ini setelah masuk rumah sakit karena
ketoasidosis diabetikum. Pada pasien diabetes yang diketahui, periode stres atau
infeksi dapat memicu ketoasidosis diabetik. Lebih sering, bagaimanapun, ketoasidosis
diabetik terjadi akibat kontrol glikemik harian yang buruk. Pasien yang mengalami
hiperglikemik parah selama beberapa hari atau lebih karena pemberian insulin yang
tidak adekuat atau asupan glukosa yang berlebihan cenderung mengalami
ketoasidosis diabetikum. Banyak pasien dengan DM tipe 1 awalnya didiagnosis
dengan penyakit ini setelah masuk rumah sakit karena ketoasidosis diabetikum. Pada
pasien diabetes yang diketahui, periode stres atau infeksi dapat memicu ketoasidosis
diabetik. Lebih sering, bagaimanapun, ketoasidosis diabetik terjadi akibat kontrol
glikemik harian yang buruk. Pasien yang mengalami hiperglikemik parah selama
beberapa hari atau lebih karena pemberian insulin yang tidak adekuat atau asupan
glukosa yang berlebihan cenderung mengalami ketoasidosis diabetikum. Banyak
pasien dengan DM tipe 1 awalnya didiagnosis dengan penyakit ini setelah masuk
rumah sakit karena ketoasidosis diabetikum. Pada pasien diabetes yang diketahui,
periode stres atau infeksi dapat memicu ketoasidosis diabetik. Lebih sering,
bagaimanapun, ketoasidosis diabetik terjadi akibat kontrol glikemik harian yang
buruk. Pasien yang mengalami hiperglikemik parah selama beberapa hari atau lebih
karena pemberian insulin yang tidak adekuat atau asupan glukosa yang berlebihan
cenderung mengalami ketoasidosis diabetikum.
TIPE 2 DM

DM tipe 2 merupakan tipe yang paling banyak dijumpai, meliputi 90 sampai 95%
kasus DM. Ini ditandai dengan resistensi insulin di jaringan perifer dan sekresi insulin
yang rusak oleh sel beta pankreas. Etiologi DM tipe 2 multifaktorial, antara lain
predileksi genetik, usia lanjut, obesitas, dan kurang olah raga. Sekitar 90% penderita
diabetes Amerika menderita DM tipe 2.2 Penyakit ini lebih umum terjadi pada orang
Amerika Afrika, Pribumi Amerika, Hispanik, dan Kepulauan Pasifik daripada orang
Kaukasia. Sebagian besar pasien DM tipe 2 mengalami kelebihan berat badan, dan
sebagian besar didiagnosis sebagai orang dewasa. Pengaruh genetik pada DM tipe 2
lebih besar daripada yang terlihat pada DM tipe 1. Sedangkan tingkat kesesuaian
antara kembar monozigot untuk DM tipe 1 adalah sekitar 30 sampai 50%, angka
tersebut sekitar 90% untuk DM tipe 2; Namun, tidak ada cacat genetik tunggal yang
telah dikaitkan dengan DM tipe 2.

Cacat patofisiologis yang mendasari pada DM tipe 2 tidak melibatkan


kerusakan sel beta autoimun tetapi lebih ditandai oleh tiga gangguan berikut: (1)
resistensi perifer terhadap insulin, terutama pada sel otot; (2) peningkatan produksi
glukosa oleh hati; dan (3) defek insulin secretory dari sel beta.5 Peningkatan
resistensi jaringan terhadap insulin umumnya terjadi pertama kali, diikuti oleh
gangguan sekresi insulin. Pankreas memproduksi insulin, namun resistensi insulin
mencegah penggunaannya yang tepat pada tingkat sel. Glukosa tidak dapat masuk ke
sel target dan terakumulasi dalam aliran darah, mengakibatkan hiperglikemia. Kadar
glukosa darah yang tinggi sering kali merangsang peningkatan produksi insulin oleh
pankreas; dengan demikian, penderita DM tipe 2 seringkali mengalami produksi
insulin yang berlebihan (hiperinsulinemia). Namun, selama beberapa tahun,

Selain hiperglikemia, penderita DM tipe 2 seringkali memiliki kelompok


gangguan yang disebut “sindrom resistensi insulin” atau sindrom X yang terdiri dari
hiperglikemia, hipertensi, dislipidemia, obesitas sentral atau abdominal, dan
aterosklerosis. Meskipun ada hubungan yang kuat antara DM tipe 2 dengan faktor
genetik, etiologi DM tipe 2 dianggap heterogen dengan faktor lingkungan dan gaya
hidup yang ditumpangkan pada predileksi genetik. Obesitas berkontribusi besar
terhadap resistensi insulin, bahkan tanpa adanya DM, dan dapat menjelaskan
peningkatan dramatis dalam kejadian DM tipe 2 di antara individu muda di Amerika
Serikat dalam 10 sampai 20 tahun terakhir dan di seluruh dunia pada umumnya.
Lemak intra-abdominal adalah tempat yang membawa risiko tertinggi DM tipe 2.
Faktor risiko lain termasuk usia lanjut, asupan kalori tinggi, gaya hidup yang tidak
banyak bergerak, dan berat badan lahir rendah. Orang dengan gangguan toleransi
glukosa, gangguan glukosa puasa, dan DM gestasional memiliki risiko tinggi terkena
DM tipe 2 di masa mendatang; kondisi ini dianggap tahap praklinis DM tipe 2.

Awitan DM tipe 2 biasanya lambat; mungkin tetap tidak terdiagnosis selama


bertahun-tahun karena sekitar 50% orang yang terkena tidak menyadari penyakit
mereka. Sayangnya, sifat berbahaya dari penyakit ini memungkinkan periode
hiperglikemia yang berkepanjangan mulai menimbulkan efek negatif pada sistem
organ utama. Pada saat banyak pasien DM tipe 2 didiagnosis, komplikasi diabetes
sudah dimulai. Pasien DM tipe 2 tidak memerlukan insulin eksogen untuk bertahan
hidup karena mereka masih memproduksi insulin. Namun, injeksi insulin sering
menjadi bagian integral dari manajemen medis untuk DM tipe 2. Tidak seperti
penderita DM tipe 1, penderita DM tipe 2 umumnya resisten terhadap ketoasidosis
diabetikum karena produksi insulin pankreas mereka seringkali cukup untuk
mencegah pembentukan keton. Stres fisiologis yang parah dapat menyebabkan
ketoasidosis diabetik pada mereka yang menderita DM tipe 2. Hiperglikemia parah
dalam waktu lama dapat menyebabkan asidosis nonketotik hiperosmolar.
Hiperglikemia menyebabkan ekskresi glukosa dalam jumlah besar melalui urin,
disertai dengan kehilangan air. Jika flfluid tidak diganti, dehidrasi dapat
menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit dan asidosis.

Presentasi klinis

DM tipe 1 terjadi secara tiba-tiba, sedangkan DM tipe 2 sering muncul selama


bertahun-tahun tanpa tanda atau gejala yang jelas. Pasien dengan DM yang tidak
terdiagnosis mungkin datang dengan satu atau lebih tanda dan gejala hiperglikemia
yang meliputi polidipsi, polifagia, poliuria, dan manifestasi akut hiperglikemia.
Pasien mungkin mengeluhkan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan,
penyembuhan luka yang buruk, penglihatan kabur, perdarahan gingiva, dan
kerentanan tinggi terhadap infeksi dan mungkin mudah lelah. Ketika komplikasi dari
kontrol glukosa yang buruk berkembang, pasien mengeluhkan gangguan penglihatan;
gejala neurologis seperti mati rasa, pusing, dan kelemahan; nyeri dada; gejala
gastrointestinal; gejala genitourinari, terutama inkontinensia urin; dan disfungsi
seksual.

Manifestasi Oral DM

Ada banyak manifestasi oral pada pasien DM, banyak yang berhubungan
dengan derajat kendali glikemik. Kondisi mukosa termasuk disestesi oral, termasuk
mulut yang terbakar, penyembuhan luka yang berubah, peningkatan insiden infeksi
dan infeksi kandida (kandidiasis pseudomembran terutama akut pada lidah, mukosa
bukal, dan gingiva). Xerostomia dan saliva umum bilateral dapat terjadi pembesaran
kelenjar atau sialadenitis (terutama pada kelenjar parotis) dan keduanya sering
berhubungan dengan kontrol glikemik yang buruk. Pengobatan yang diminum oleh
pasien DM untuk kondisi sistemik terkait atau tidak terkait dapat menyebabkan
hipofungsi saliva. Jadi, xerostomia yang terlihat pada pasien ini mungkin lebih
disebabkan oleh pengobatan daripada dari kondisi diabetes itu sendiri. Permukaan
mukosa kering yang disebabkan oleh pengeluaran saliva yang tidak mencukupi
mudah teriritasi, menyebabkan ulserasi mukosa ringan, sensasi terbakar rongga
mulut, dan peningkatan kemungkinan pertumbuhan berlebih organisme jamur.
Neuropati sistem otonom juga dapat menyebabkan perubahan sekresi saliva karena
aliran saliva dikendalikan oleh jalur simpatis dan parasimpatis. Tingginya insiden dan
keparahan karies gigi pada pasien diabetes mellitus telah dikaitkan dengan
xerostomia,

DM juga merupakan faktor risiko untuk prevalensi dan keparahan gingivitis


dan periodontitis. Bergantung pada tingkat pengendalian glikemik, DM
meningkatkan inflamasi gingiva sebagai respons terhadap plak bakteri lebih besar
daripada yang terlihat pada DM yang terkontrol dengan baik atau individu non
diabetes. Hiperglikemia meningkatkan kadar glukosa dalam cairan sulkus gingiva.
Hal ini dapat mengubah penyembuhan luka periodontal secara signifikan dengan
mengubah interaksi antara sel dan matriks ekstraselulernya di dalam periodonsium.
Perubahan vaskular yang terlihat di retina, glomerulus, dan area perineural dari pasien
DM yang tidak terkontrol juga terjadi di periodonsium; oleh karena itu, periodontitis
destruktif progresif lebih sering terjadi pada pasien dengan kontrol glikemik yang
buruk. Selain hiperglikemia, kebersihan mulut yang buruk dan merokok berkontribusi
pada peningkatan insiden dan keparahan periodontitis pada DM. Semua faktor
tersebut harus diperhatikan dalam tatalaksana gigi pasien DM.

Penatalaksanaan Gigi Penatalaksanaan Gigi Secara Keseluruhan pada Pasien


DM

Secara umum, orang dewasa dengan DM yang terkontrol dengan baik


memiliki risiko yang sama untuk perkembangan penyakit mulut dan memiliki respons
yang sama terhadap sebagian besar prosedur perawatan gigi sebagai individu non-
diabetes. Akan tetapi, respon pasien DM terhadap perawatan gigi bergantung pada
faktor-faktor yang spesifik pada setiap individu. Ini termasuk kontrol glikemik,
masalah medis yang menyertai, diet, kebersihan mulut, dan kebiasaan seperti
penggunaan alkohol dan tembakau yang berlebihan. Misalnya, pasien DM,
kebersihan mulut yang buruk, riwayat merokok, pemeriksaan gigi sporadis, dan
asupan karbohidrat tinggi yang dapat difermentasi lebih cenderung mengalami
penyakit mulut seperti karies dan periodontitis. Pasien ini kemungkinan akan
menghadapi tanggapan pengobatan yang tertunda dibandingkan dengan pasien DM
tanpa faktor-faktor ini.

Kontrol glikemik berperan dalam respon pasien DM terhadap operasi


periodontal. Penderita diabetes yang tidak terkontrol sangat rentan terhadap infeksi
dentoalveolar; mereka merespon kurang baik baik untuk terapi periodontal bedah dan
non-bedah, dan perbaikan jangka pendek dalam kesehatan periodontal sering diikuti
oleh regresi dan kekambuhan penyakit. Oleh karena itu, sangat penting bahwa dokter
gigi memiliki penilaian yang diperbarui untuk setiap tingkat kontrol glikemik pasien
sebelum memulai perawatan dan menjaga hubungan kerja yang erat dengan dokter
pasien. Seorang pasien yang datang dengan tanda dan gejala DM yang tidak
terdiagnosis atau tidak terkontrol dengan baik (lihat di atas) harus dirujuk ke dokter
untuk diagnosis dan pengobatan. Profilaksis antibiotik dapat diindikasikan jika kadar
HbA1c pasien sangat tinggi (> 11-12%) dan ada tanda-tanda infeksi bakteri intraoral
berulang. Praktisi kesehatan mulut juga harus terbiasa dengan tes umum (lihat di atas)
yang digunakan untuk mendiagnosis dan memantau DM. Mereka harus memiliki
perangkat pemantauan glukosa atau glukometer di kantor untuk segera mendapatkan
informasi tentang status glikemik jika diperlukan. Alat-alat ini dapat memberikan
hasil yang cepat dalam beberapa detik.38 Hal ini terutama penting ketika prosedur
perawatan gigi yang penuh tekanan, pembedahan, atau panjang dijadwalkan sehingga
dokter gigi dapat membantu menghindari kejadian hipoglikemik (lihat di bawah
untuk rekomendasi manajemen). Hal ini juga berguna untuk menentukan apakah
kadar glukosa berada pada kisaran rendah dari normal selama prosedur sehingga
karbohidrat oral dapat diberikan untuk membantu mencegah kejadian hipoglikemik.
Praktisi kesehatan mulut juga harus terbiasa dengan tes umum (lihat di atas) yang
digunakan untuk mendiagnosis dan memantau DM. Mereka harus memiliki perangkat
pemantauan glukosa atau glukometer di kantor untuk segera mendapatkan informasi
tentang status glikemik jika diperlukan. Alat-alat ini dapat memberikan hasil yang
cepat dalam beberapa detik. Hal ini sangat penting ketika prosedur gigi yang penuh
tekanan, pembedahan, atau panjang dijadwalkan sehingga dokter gigi dapat
membantu menghindari kejadian hipoglikemik (lihat di bawah untuk rekomendasi
penatalaksanaan). Hal ini juga berguna untuk menentukan apakah kadar glukosa
berada pada kisaran rendah dari normal selama prosedur sehingga karbohidrat oral
dapat diberikan untuk membantu mencegah kejadian hipoglikemik. Praktisi kesehatan
mulut juga harus terbiasa dengan tes umum (lihat di atas) yang digunakan untuk
mendiagnosis dan memantau DM. Mereka harus memiliki perangkat pemantauan
glukosa atau glukometer di kantor untuk segera mendapatkan informasi tentang status
glikemik jika diperlukan. Alat-alat ini dapat memberikan hasil yang cepat dalam
beberapa detik.38 Hal ini terutama penting ketika prosedur perawatan gigi yang
penuh tekanan, pembedahan, atau panjang dijadwalkan sehingga dokter gigi dapat
membantu menghindari kejadian hipoglikemik (lihat di bawah untuk rekomendasi
manajemen). Hal ini juga berguna untuk menentukan apakah kadar glukosa berada
pada kisaran normal yang rendah selama prosedur sehingga karbohidrat oral dapat
diberikan untuk membantu mencegah kejadian hipoglikemik. Mereka harus memiliki
perangkat pemantauan glukosa atau glukometer di kantor untuk segera mendapatkan
informasi tentang status glikemik jika diperlukan. Alat-alat ini dapat memberikan
hasil yang cepat dalam beberapa detik.38 Hal ini terutama penting ketika prosedur
perawatan gigi yang penuh tekanan, pembedahan, atau panjang dijadwalkan sehingga
dokter gigi dapat membantu menghindari kejadian hipoglikemik (lihat di bawah
untuk rekomendasi manajemen). Hal ini juga berguna untuk menentukan apakah
kadar glukosa berada pada kisaran rendah dari normal selama prosedur sehingga
karbohidrat oral dapat diberikan untuk membantu mencegah kejadian hipoglikemik.
Mereka harus memiliki perangkat pemantauan glukosa atau glukometer di kantor
untuk segera mendapatkan informasi tentang status glikemik jika diperlukan. Alat-
alat ini dapat memberikan hasil yang cepat dalam beberapa detik. Hal ini terutama
penting ketika prosedur perawatan gigi yang penuh tekanan, pembedahan, atau
panjang dijadwalkan sehingga dokter gigi dapat membantu menghindari kejadian
hipoglikemik (lihat di bawah untuk rekomendasi manajemen). Hal ini juga berguna
untuk menentukan apakah kadar glukosa berada pada kisaran rendah dari normal
selama prosedur sehingga karbohidrat oral dapat diberikan untuk membantu
mencegah kejadian hipoglikemik. atau prosedur perawatan gigi yang panjang
dijadwalkan sehingga dokter gigi dapat membantu menghindari kejadian
hipoglikemik (lihat di bawah untuk rekomendasi penatalaksanaan). Hal ini juga
berguna untuk menentukan apakah kadar glukosa berada pada kisaran rendah dari
normal selama prosedur sehingga karbohidrat oral dapat diberikan untuk membantu
mencegah kejadian hipoglikemik. atau prosedur perawatan gigi yang panjang
dijadwalkan sehingga dokter gigi dapat membantu menghindari kejadian
hipoglikemik (lihat di bawah untuk rekomendasi penatalaksanaan). Hal ini juga
berguna untuk menentukan apakah kadar glukosa berada pada kisaran rendah dari
normal selama prosedur sehingga karbohidrat oral dapat diberikan untuk membantu
mencegah kejadian hipoglikemik.

Langkah pertama dalam merawat pasien gigi dengan DM adalah menentukan


tipe DM, metode pengobatan (diet, hipoglikemik oral, insulin, kombinasi keduanya),
tingkat kontrol, dan adanya komplikasi DM. Ini mungkin memerlukan konsultasi
dengan dokter pasien. Komplikasi medis terkait diabetes memerlukan penilaian
karena dapat berdampak pada penyediaan perawatan gigi. Misalnya, hipertensi,
penyakit kardiovaskular, dan insufisiensi ginjal memerlukan pemantauan tekanan
darah dan modifikasi obat antikoagulan (misalnya aspirin) sebelum dan sesudah
operasi mulut. Jika pasien mengalami insufisiensi ginjal, obat yang berpotensi
nefrotoksik (misalnya, asetaminofen, asiklovir, aspirin, obat antiinflamasi nonsteroid
[NSAID]) harus dihindari atau dosisnya direvisi.

Dentoalveolar dan prosedur bedah mulut harus direncanakan dengan hati-hati


untuk mengurangi risiko hipoglikemia dan defisiensi nutrisi. Glukometer sangat
berguna untuk memeriksa kadar glukosa darah sebelum prosedur ini. Jika kadar
glukosa secara umum di bawah 60 mg / dL, diperlukan modifikasi khusus pada
pengobatan (lihat di bawah), prosedur gigi mungkin harus dijadwalkan ulang, dan
konsultasi medis harus diminta. Pasien yang menjalani prosedur bedah periodontal
atau mulut selain tunggal, pencabutan sederhana harus diberikan instruksi diet setelah
pembedahan; instruksi ini harus dibuat dengan masukan dari dokter dan ahli gizi
pasien. Kandungan kalori total dan rasio protein / karbohidrat / lemak dari makanan
harus tetap sama sehingga kontrol glikemik yang tepat dapat dipertahankan. Jika
terdapat infeksi mulut akut, terutama pada DM yang tidak terkontrol dengan baik,
antibiotik harus diresepkan dan modifikasi yang sesuai mungkin diperlukan dalam
pengobatan pasien. Misalnya, mungkin perlu untuk meningkatkan dosis insulin untuk
mencegah hiperglikemia yang berhubungan dengan nyeri dan stres akibat infeksi;
Namun, setiap perubahan dalam pengobatan harus dilakukan oleh dokter yang
menangani pasien.

Penjadwalan janji temu sering ditentukan oleh rejimen pengobatan individu.


Secara tradisional, direkomendasikan bahwa pasien yang secara medis kompleks,
termasuk mereka yang menderita DM, menerima perawatan gigi di pagi hari untuk
mengurangi stres, tetapi hal ini mungkin tidak berlaku untuk beberapa pasien dengan
DM. Pelepasan epinefrin endogen dari stres dapat memiliki efek counterregulatory
pada kerja insulin, yang menyebabkan hiperglikemia. Oleh karena itu, dokter gigi
harus meninjau bersama pasien obat diabetes, makanan, dan cairan yang diambil
sebelum prosedur gigi.

Umumnya, waktu terbaik untuk perawatan gigi adalah sebelum atau sesudah
periode aktivitas insulin puncak. Ini mengurangi risiko reaksi hipoglikemik
perioperatif, yang paling sering terjadi selama aktivitas insulin puncak. Bagi mereka
yang menggunakan insulin, risiko hipoglikemia terbesar akan terjadi sekitar 30
hingga 90 menit setelah injeksi insulin lispro, 2 hingga 3 jam setelah insulin reguler,
dan 4 hingga 10 jam setelah insulin NPH atau Lente. Bagi mereka yang
menggunakan sulfonilurea oral, aktivitas insulin puncak tergantung pada obat
individu yang diminum. Metformin dan thiazolidinediones jarang menyebabkan
hipoglikemia. Faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan waktu
janji temu adalah aksi puncak insulin dan jumlah glukosa yang diserap dari usus
setelah asupan makanan terakhir. Risiko terbesar akan terjadi pada pasien yang telah
mengonsumsi insulin atau agen hipoglikemik oral dalam jumlah yang biasa tetapi
telah mengurangi atau menghilangkan makanan sebelum perawatan gigi. Misalnya,
jika pasien mengambil dosis insulin biasa sebelum sarapan tetapi kemudian gagal
makan atau makan kurang dari jumlah biasanya, pasien akan meningkatkan risiko
hipoglikemia selama kunjungan gigi pagi hari. Pasien dengan kontrol glikemik jangka
panjang yang buruk dan pasien dengan riwayat episode hipoglikemik berat berisiko
lebih besar mengalami hipoglikemia di masa mendatang. Seringkali tidak mungkin
untuk merencanakan perawatan gigi dengan cara yang akan menghindari aktivitas
insulin puncak. Hal ini terutama berlaku untuk pasien yang sering disuntik insulin;
pasien ini memiliki risiko lebih besar untuk mengembangkan hipoglikemia
perioperatif. Kadar glukosa darah pretreatment dapat diukur dengan glukometer, dan
harus ada sumber karbohidrat yang tersedia di kantor gigi. Rekomendasi umum
kelima untuk pasien dengan DM adalah bahwa dokter gigi harus membantu dalam
mengubah kebiasaan merusak kesehatan pasien. Ini termasuk merokok, kebiasaan
makan yang buruk, penggunaan obat diabetes yang tidak tepat, pemantauan glukosa
yang jarang, kunjungan ke dokter yang tidak memadai, dan kebersihan mulut serta
olahraga yang tidak memadai.

Pedoman Penatalaksanaan Khusus untuk Penderita DM

1. Penggunaan Epinefrin.
Dalam situasi stres, produksi epinefrin dan kortisol endogen meningkat.
Hormon-hormon ini dapat meningkatkan kadar glukosa darah dan mengganggu
kontrol glikemik. Oleh karena itu, selama perawatan gigi, pengendalian nyeri yang
memadai dan pengurangan stres sangat penting. Epinefrin tidak dikontraindikasikan
pada pasien ini karena membantu meningkatkan anestesi gigi yang lebih baik dan
secara signifikan menurunkan jumlah epinefrin endogen yang dilepaskan sebagai
respons terhadap nyeri dan stres. Namun, pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular atau ginjal yang terjadi bersamaan, kadar epinefrin mungkin perlu
dikurangi. dikurangi menjadi dua atau kurang karpula anestesi lokal yang
mengandung 1: 100.000 epinefrin.

2. Kandidiasis Mulut.
Infeksi jamur rongga mulut dapat menandakan DM yang tidak terkontrol dan
dapat bermanifestasi dengan adanya hipofungsi saliva. Pengobatan infeksi jamur
rongga mulut pada pasien DM serupa dengan regimen standar kecuali obat antijamur
topikal harus bebas gula. Jika terapi antijamur topikal tidak berhasil setelah 7 sampai
10 hari, agen antijamur sistemik mungkin diperlukan.

3. Penatalaksanaan Infeksi Virus Herpes Simplex Berulang.


Pengobatan infeksi virus herpes simpleks orofasial rekuren harus dimulai
sejak dini, jika mungkin pada tahap prodromal, untuk mengurangi durasi dan gejala
lesi. Asiklovir oral, famciclovir, atau valacyclovir dapat digunakan sebagai terapi atau
profilaksis, tergantung pada durasi dan intensitas episode herpes berulang. Jika pasien
DM juga mengalami insufisiensi ginjal atau gagal ginjal, obat antiviral nefrotoksik
(asiklovir, famsiklovir, valasiklovir) akan memerlukan modifikasi dosis.

4. Penatalaksanaan Sindrom Mulut Terbakar.


Pada DM yang tidak terkontrol, xerostomia dan kandidiasis dapat
berkontribusi pada gejala yang berhubungan dengan mulut terbakar. Selain
mengobati kedua kondisi tersebut, peningkatan kontrol glikemik sangat penting untuk
mengurangi sensasi terbakar. Pedoman pengobatan untuk sindrom mulut terbakar
dijelaskan dengan baik. Menariknya, amitriptyline, obat yang digunakan untuk gejala
mulut terbakar, juga telah digunakan untuk mengobati neuropati otonom pada DM.44

5. Pertimbangan Bedah dan Manajemen Periodontal.


Sebelum prosedur bedah mulut, penyedia perawatan kesehatan mulut harus
meninjau riwayat komplikasi bedah sebelumnya, menilai kontrol glikemik, dan
memperbarui manajemen DM secara bersamaan. Setelah prosedur bedah mulut,
pasien harus menjaga pola makan normal untuk menghindari hipoglikemia. Secara
umum, pasien DM dewasa yang terkontrol dengan baik mungkin tidak memerlukan
antibiotik selama dan setelah prosedur pembedahan, sedangkan antibiotik harus
dipertimbangkan untuk infeksi orofasial dan prosedur bedah mulut pada penderita
DM yang tidak terkontrol dengan baik. Keputusan untuk mengelolaAntibiotik harus
didasarkan pada beberapa faktor yang mencakup tingkat dan durasi kontrol glikemik
saat ini, tingkat prosedur pembedahan yang direncanakan, adanya infeksi yang
mendasari, masalah medis yang terjadi bersamaan, tingkat antisipasi nyeri dan stres
pasca operasi, dan perkiraan periode penyembuhan. Cakupan antibiotik yang dipilih
harus berdasarkan jenis dan ruang lingkup infeksi, sensitivitas mikroba, dan hasil
spesifisitas dan diresepkan setelah berkonsultasi dengan dokter pasien.

Penyakit periodontal telah disebut sebagai komplikasi keenam dari DM, dan
semakin lama durasi DM, semakin besar kemungkinan berkembangnya penyakit
periodontal yang parah. Periodontitis yang parah juga dianggap sebagai faktor risiko
kontrol glikemik yang buruk. Karena kontrol glikemik berhubungan dengan penyakit
periodontal dan progresi kehilangan tulang alveolar, perawatan periodontal harus
dilakukan bersamaan dengan perawatan DM. Pengobatan primer penyakit periodontal
pada pasien DM biasanya non-bedah karena prosedur pembedahan mungkin
memerlukan modifikasi obat pasien sebelum dan sesudah pengobatan dan dapat
mengakibatkan penyembuhan yang berkepanjangan. Infeksi periodontal juga dapat
berkembang tergantung pada derajat kendali glikemik: oleh karena itu, antibiotik
harus dipertimbangkan.

Kombinasi debridement nonsurgical dan antibiotik sistemik pada pasien DM


dengan periodontitis lanjut telah terbukti meningkatkan pengobatan periodontitis dan
menghasilkan pengaruh positif potensial pada kontrol glikemik. Dalam uji klinis
terkontrol, kombinasi tetrasiklin atau doksisiklin dengan scaling dan root planing
menghasilkan kontrol periodontal yang lebih baik dibandingkan dengan scaling dan
root planing saja. Hasil serupa juga telah dibuktikan pada pasien yang menerima
doksisiklin intrasulcular topik. Mekanisme yang diusulkan untuk manfaat terapeutik
tambahan dari tetrasiklin dan doksisiklin adalah bahwa antibiotik ini menghambat
metaloproteinase matriks manusia (misalnya, kolagenase, gelatinase), yang
merupakan enzim pengurai jaringan ikat, Misalnya, dosis subterapeutik yang rendah
dari doksisiklin telah terbukti menghambat kolagenase flfluid crevicular gingiva
manusia, yang secara signifikan menghilangkan risiko resistensi bakteri. Oleh karena
itu, obat-obat berbasis tetrasiklin ini dapat berfungsi sebagai penghambat resorpsi
tulang atau pengeroposan tulang, suatu properti yang tidak bergantung pada aktivitas
antimikroba mereka.

Jika pembedahan periodontal diperlukan, beberapa faktor harus


dipertimbangkan tergantung pada luasnya pembedahan, tingkat nyeri dan stres
pascaoperasi yang diantisipasi, dan tingkat pengendalian glikemik. Ini termasuk
penggunaan antibiotik, konseling nutrisi, dan perubahan obat DM. Terapi periodontal
suportif juga harus diberikan pada interval 2 sampai 3 bulan yang relatif dekat.

6. Manajemen Penyakit Mulut dengan Kortikosteroid.


Terapi kortikosteroid untuk kondisi vesikulobulosa oral dapat meningkatkan
kadar glukosa. Kortikosteroid harus digunakan dengan hati-hati bekerja sama dengan
dokter pasien. Jika kortikosteroid sistemik diperlukan, penyesuaian obat DM
mungkin diperlukan. Pemantauan rutin kadar glukosa akan sangat penting untuk
memastikan kontrol glikemik yang baik.

Mengelola Darurat Diabetes di The Dental Office


Keadaan darurat yang paling umum terkait dengan DM di kantor gigi adalah
hipoglikemia, situasi yang berpotensi mengancam nyawa yang harus dikenali dan
ditangani secepatnya. Tanda dan gejala termasuk kebingungan, berkeringat, tremor,
agitasi, kecemasan, pusing, kesemutan atau mati rasa, dan takardia. Hipoglikemia
berat dapat menyebabkan kejang atau kehilangan kesadaran. Pencegahan dimulai
dengan praktisi menjadi terbiasa dengan risiko medis umum untuk kejadian
hipoglikemik dan menilai risiko pasien untuk mengembangkan hipoglikemia. Setiap
kantor gigi yang merawat pasien DM harus memiliki sumber karbohidrat oral yang
tersedia (misalnya jus buah, soda nondiet, permen keras). Segera setelah pasien
mengalami tanda atau gejala kemungkinan hipoglikemia, pasien atau dokter gigi
harus memeriksa glukosa darah dengan glukometer, yang biasanya memiliki waktu
respons kurang dari 15 detik. Jika glukometer tidak tersedia, kondisi tersebut harus
diperlakukan sebagai episode hipoglikemik. Karbohidrat oral yang cepat diserap lebih
disukai, terutama jika dokter gigi tidak terlatih atau tidak memiliki perlengkapan yang
memadai untuk memberikan glukagon atau dekstrosa intravena, intramuskular, atau
subkutan. Setelah pengobatan, tanda dan gejala hipoglikemia akan hilang dalam 10
hingga 15 menit, dan pasien harus diobservasi dengan cermat selama 30 hingga 60
menit setelah pemulihan. Evaluasi kedua dengan glukometer harus dilakukan untuk
memastikan bahwa kadar glukosa darah normal telah tercapai sebelum pasien
dilepaskan. Karbohidrat oral yang diserap dengan cepat lebih disukai, terutama jika
dokter gigi tidak terlatih atau dilengkapi peralatan yang memadai untuk memberikan
glukagon atau dekstrosa intravena, intramuskular, atau subkutan. Setelah pengobatan,
tanda dan gejala hipoglikemia akan hilang dalam 10 hingga 15 menit, dan pasien
harus diobservasi dengan cermat selama 30 hingga 60 menit setelah pemulihan.
Evaluasi kedua dengan glukometer harus dilakukan untuk memastikan bahwa kadar
glukosa darah normal telah tercapai sebelum pasien dilepaskan. Karbohidrat oral
yang diserap dengan cepat lebih disukai, terutama jika dokter gigi tidak terlatih atau
dilengkapi peralatan yang memadai untuk memberikan glukagon atau dekstrosa
intravena, intramuskular, atau subkutan. Setelah pengobatan, tanda dan gejala
hipoglikemia akan hilang dalam 10 hingga 15 menit, dan pasien harus diobservasi
dengan cermat selama 30 hingga 60 menit setelah pemulihan. Evaluasi kedua dengan
glukometer harus dilakukan untuk memastikan bahwa kadar glukosa darah normal
telah tercapai sebelum pasien dilepaskan. dan pasien harus diobservasi dengan cermat
selama 30 hingga 60 menit setelah pemulihan. Evaluasi kedua dengan glukometer
harus dilakukan untuk memastikan bahwa kadar glukosa darah normal telah tercapai
sebelum pasien dilepaskan. dan pasien harus diobservasi dengan cermat selama 30
hingga 60 menit setelah pemulihan. Evaluasi kedua dengan glukometer harus
dilakukan untuk memastikan bahwa kadar glukosa darah normal telah tercapai
sebelum pasien dilepaskan.
Keadaan darurat medis dari hiperglikemia cenderung tidak terjadi di kantor
gigi karena berkembang lebih lambat daripada hipoglikemia. Perawatan dimulai
dengan mengaktifkan sistem medis darurat, membuka jalan napas, dan memberikan
oksigen. Sirkulasi dan tanda-tanda vital harus dijaga dan dipantau, dan pasien harus
segera dibawa ke rumah sakit. Namun, dalam beberapa kasus, hiperglikemia berat
dapat muncul dengan gejala yang menyerupai hipoglikemia. Jika glukometer tidak
tersedia, inigejala harus diperlakukan sebagai hipoglikemia, seperti yang dijelaskan.

2. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang kelenjar tiroid dan paratiroid,


manifestasi oral dan pertimbangan dental

Kelenjar Tiroid dan Gangguannya

Hormon relevan yang dibuat oleh kelenjar tiroid adalah tiroksin (T4) dan
triiodothyronine (T3). Sembilan puluh persen dari hormon yang dibuat oleh kelenjar
adalah T4, dan sekitar 10% adalah T3. Karena T3 adalah hormon aktif yang mengikat
reseptor hormon tiroid dan menghasilkan banyak tindakan fisiologis hormon tiroid,
T4 harus diubah menjadi T3. Mayoritas hormon tiroid yang bersirkulasi terikat pada
protein (globulin pengikat tiroid), sehingga konsentrasi hormon "bebas" atau tidak
terikat secara klinis relevan. Sekresi hormon tiroid berada di bawah regulasi hormon
hipofisis TSH, yang selanjutnya berada di bawah regulasi hormon hipotalamus TRH.
Dengan sedikit pengecualian, setiap jaringan di tubuh memiliki reseptor hormon
tiroid dan merespons aksi hormon tiroid, terutama dengan peningkatan konsumsi
oksigen dan produksi panas. Efek dari fenomena ini bergantung pada fungsi fisiologis
normal dan peran organ akhir.

Kelebihan Hormon Tiroid

Manifestasi hipertiroidisme bersifat beragam. Pasien hipertiroid panas ketika orang


lain merasa dingin, lapar dan makan sepanjang waktu tetapi berat badannya turun,
memiliki rambut yang menipis, gelisah dan gelisah, serta mengalami tremor dan
takikardia ringan. Penyebab paling umum dari produksi hormon tiroid yang
berlebihan adalah autoantibodi yang merangsang TSH (penyakit Graves) dan nodul
yang mensekresi hormon tiroid (nodul toksik). Ciri klasik penyakit Graves atau
hipertiroidisme adalah "tatapan" dengan proptosis yang disebabkan oleh pengendapan
glikosaminoglikan di otot orbital. Pada pasien ini, sering terjadi edema periorbital,
dan kelenjar tiroid membesar secara difus dan halus. Komplikasi langka penyakit
Graves adalah dermopati Graves atau miksedema pretibial, ditandai dengan edema
nonpitting asimetris atau simetris pada aspek anterior dan lateral tungkai bawah.
Peningkatan ukuran piramidal garis tengahlobus kelenjar merupakan diagnosis
penyakit Graves. Nodul tiroid asimetris yang membesar juga berhubungan dengan
sindrom MEN2B.

Manifestasi Mulut dari Gangguan Kelenjar Tiroid

Sebagai bagian dari pemeriksaan kepala dan leher rutin, praktisi kesehatan mulut
harus melakukan palpasi pada kelenjar tiroid. Selama pemeriksaan, kelenjar tiroid
diperiksa dengan kepala pasien diperpanjang ke satu sisi. Pemeriksa menggunakan
pelipis kedua tangan untuk meraba kelenjar tiroid. Selanjutnya, pasien diinstruksikan
untuk menelan sementara pemeriksa mengevaluasi luasnya anatomi lobulus
menggunakan tiga fifingers terakhir dari satu tangan. Pada pasien sehat, lobulus
kanan biasanya lebih besar dari kiri, dan garis besar kelenjar yang rileks tidak dapat
dengan mudah diamati. Adanya pembesaran kelenjar tiroid asimetris pada
pemeriksaan rutin harus dirujuk untuk tindak lanjut oleh ahli penyakit dalam atau ahli
endokrin. Hal ini terutama berlaku untuk pasien dengan riwayat hipertiroidisme atau
hipotiroidisme.

a. Hipertiroidisme

Hipertiroidisme dapat memperburuk respons pasien terhadap sakit gigi dan


kecemasan. Pemeriksaan rutin pada kepala dan leher dapat mengungkap tanda-tanda
penyakit tiroid, termasuk perubahan fungsi okulomotor, tonjolan mata, keringat
berlebih, pembesaran tiroid atau lidah, jaringan tiroid lingual, dan kesulitan menelan.
Pasien mungkin mengalami peningkatan kerentanan terhadap karies gigi dan penyakit
periodontal.

b. Hypothyroidsm

Pada hipotiroidisme, gejala orofasial termasuk miksedema wajah, lidah membesar


(makroglossia), kesehatan periodontal yang terganggu, erupsi gigi yang tertunda,
penyembuhan luka yang tertunda, dan suara serak. Pembesaran kelenjar ludah,
perubahan rasa, dan gejala mulut terbakar juga telah dilaporkan. Tiroiditis Hashimoto
telah dikaitkan dengan xerostomia dan gangguan keluaran saliva.

Manajemen Gigi Gangguan Kelenjar Tiroid

a. Hipertiroidisme
Perhatian terpenting dalam merawat pasien dengan hipertiroidisme adalah risiko
berkembangnya tirotoksikosis atau "badai tiroid", yang mencakup gejala iritabilitas
dan delirium yang ekstrem, hipotensi, muntah, dan diare. Bisa dipicu oleh
pembedahan, sepsis, dan trauma. Perawatan medis darurat diperlukan untuk kondisi
ini. Epinefrin merupakan kontraindikasi, dan perawatan gigi elektif harus ditunda
untuk pasien yang mengalami hipertiroidisme dan menunjukkan tanda atau gejala
tirotoksikosis. Secara umum, manajemen stres dan janji singkat direkomendasikan
pada pasien ini, dan pengobatan harus dihentikan jika tanda atau gejala krisis
tirotoksik berkembang.

Penderita hipertiroidisme mudah terserang penyakit kardiovaskuler, antara lain


disritmia atrium, takikardia, dan hipertensi. Pasien dengan tekanan arteriol tinggi
mungkin memerlukan perhatian yang lebih besar dan durasi tekanan lokal yang lebih
lama untuk menghentikan perdarahan. Konsultasi dengan dokter pasien diperlukan
untuk mendokumentasikan masalah ini dan masalah sistem organ lainnya dan untuk
memastikan tingkat pengendalian hipertiroidisme.

Karena penggunaan obat kronis untuk hipertiroidisme dan risiko berkembangnya


masalah polifarmasi, praktisi kesehatan mulut harus terbiasa dengan pengobatan
pasien saat ini. Peningkatan kerentanan terhadap infeksi dapat berkembang sebagai
efek samping obat karena salah satu obat yang umum digunakan (propylthiouracil)
dapat menyebabkan agranulositosis atau leukopenia. Propylthiouracil juga dapat
menyebabkan pembentukan sialolith dan dapat meningkatkan efek antikoagulan
warfarin. Analgesik tertentu harus digunakan dengan hati-hati pada pasien ini.
Aspirin dan NSAID dapat menyebabkan peningkatan kadar T4 yang bersirkulasi,
yang menyebabkan tirotoksikosis. NSAID juga dapat mengurangi efek b-blocker.
Namun,

Penggunaan epinefrin dan simpatomimetik lain memerlukan pertimbangan khusus


saat merawat pasien hipertiroid dan mereka yang menggunakan penyekat-b
nonselektif. Epinefrin bekerja pada reseptor a-adrenergik, menyebabkan
vasokonstriksi, dan pada reseptor b2, menyebabkan vasodilatasi. B-blocker
nonselektif menghilangkan efek vasodilatasi, mempotensiasi peningkatan tekanan
darah a-adrenergik. Patofisiologi ini berlaku untuk setiap pasien yang memakai
bloker-b nonselektif dan mereka yang mengalami hipertiroidisme karena komplikasi
kardiovaskular yang terjadi bersamaan.

b. Hypothyroidsm
Kelesuan adalah temuan umum pada pasien dengan hipotiroidisme yang tidak
terkontrol, dan praktisi kesehatan mulut harus waspada terhadap kelesuan, yang dapat
mengindikasikan kondisi yang tidak terkontrol dengan baik. Kelesuan bisa menjadi
perhatian karena penurunan frekuensi pernapasan dan peningkatan risiko aspirasi
bahan gigi.

Pasien-pasien ini rentan terhadap penyakit kardiovaskular; oleh karena itu, konsultasi
dengan penyedia medis diperlukan untuk memastikan status kardiovaskular pasien.
Pasien yang mengalami fibrilasi atrium mungkin menggunakan antikoagulan dan
mungkin juga memerlukan profilaksis antibiotik sebelum prosedur invasif, tergantung
pada tingkat keparahan aritmia. Tes koagulasi (waktu protrombin, waktu
tromboplastin parsial, rasio normalisasi internasional) diperlukan saat pasien
menggunakan antikoagulan oral dan terapi penggantian hormon tiroid. Adanya
patologi katup jantung mungkin juga memerlukan profilaksis antibiotik. Penggunaan
epinefrin intraoral tidak dikontraindikasikan jika hipotiroidisme terkontrol dengan
baik, tetapi pada pasien yang memiliki penyakit kardiovaskular (gagal jantung
kongestif,

Pasien hipotiroidisme sensitif terhadap depresan sistem saraf pusat dan barbiturat,
jadi obat ini harus digunakan dengan hati-hati, dengan masukan dari dokter pasien.
Untuk pengendalian nyeri pasca operasi, penggunaan narkotika harus dibatasi karena
ada kerentanan yang lebih besar terhadap agen ini pada pasien dengan hipotiroidisme.

Pasien dengan hipotiroidisme jangka panjang mungkin mengalami peningkatan


perdarahan setelah trauma atau pembedahan. Deposisi mukopolisakarida subkutan
meningkat pada pasien ini karena degradasi yang menurun. Kehadiran
mukopolisakarida subkutan berlebih dapat menurunkan kemampuan pembuluh kecil
untuk mengerut saat dipotong dan dapat menyebabkan peningkatan perdarahan dari
jaringan yang diinfiltrasi, termasuk mukosa dan kulit. Penerapan tekanan lokal yang
diperpanjang harus mengontrol perdarahan pembuluh kecil dalam banyak kasus.

Pasien dengan hipotiroidisme mungkin mengalami penundaan penyembuhan luka


karena aktivitas metabolik yang menurun pada fibroblas. Penyembuhan luka yang
tertunda dapat meningkatkan risiko infeksi karena jaringan yang tidak disembuhkan
lebih lama terpapar organisme patogen. Namun, hal ini mungkin juga berhubungan
dengan tingkat pengendalian penyakit karena studi pasien hipotiroid primer yang
terkontrol dengan baik yang dirawat dengan implan gigi menunjukkan tidak ada
perbedaan dalam risiko kegagalan implan bila dibandingkan dengan kontrol yang
cocok.89 Oleh karena itu, pasien hipotiroid tidak dipertimbangkan untuk menjadi
immunocompromised, tetapi praktisi perawatan kesehatan harus menilai tingkat
pengendalian penyakit saat merencanakan prosedur bedah mulut.

Kelenjar Paratiroid dan Gangguan Metabolik

PTH disekresi oleh empat kelenjar paratiroid yang berhubungan erat dengan kelenjar
tiroid di daerah leher. Sekresi PTH adalah sebagai respons terhadap tingkat kalsium
terionisasi serum. Kalsium terionisasi serum yang rendah merangsang sekresi PTH,
sedangkan kalsium terionisasi serum yang tinggi menekan sekresi PTH. Regulator
utama PTH lainnya adalah bentuk aktif vitamin D3 (1, 25-dihydroxyvitamin D3 atau
kalsitriol). Ini menekan sintesis PTH dengan kemampuannya untuk meningkatkan
penyerapan kalsium usus. PTH melindungi tubuh dari kalsium serum rendah kronis
(hipokalsemia); oleh karena itu, seseorang dengan hipokalsemia dan defisiensi
vitamin D dapat mengembangkan hiperplasia kelenjar paratiroid.

a. Hiperparatiroidsm

Hiperparatiroidisme adalah sekresi PTH kronis yang berlebihan oleh kelenjar


paratiroid. Ini menghasilkan kalsium serum tinggi kronis yang tidak terkontrol
(hiperkalsemia). Kondisi ini terjadi pada 0,1% pasien dewasa, lebih sering terjadi
pada dekade ketiga hingga kelima puluh kehidupan, dan tiga kali lebih umum pada
wanita dibandingkan pria. Sebagian besar (90%) pasien dengan hiperkalsemia
mengalami hiperparatiroidisme primer atau hiperkalsemia akibat keganasan.
Pemeriksaan imunoradiometrik dan kemiluminometri modern dapat membedakan
keduanya karena PTH biasanya meningkat atau normal pada hiperparatiroidisme
primer, tetapi ditekan jika hiperkalsemia disebabkan oleh keganasan yang tidak
berhubungan dengan kelenjar paratiroid.

Ketika sekresi PTH yang berlebihan muncul dari satu atau lebih kelenjar paratiroid,
ini disebut sebagai hiperparatiroidisme primer. Biasanya disebabkan oleh adenoma
soliter (80% kasus), sedangkan 15% disebabkan oleh hiperplasia dan 1% karena
karsinoma kelenjar paratiroid. Wanita pascamenopause lebih sering terkena
hiperparatiroidisme primer. Jumlah PTH yang disekresi biasanya berkorelasi dengan
ukuran pembesaran kelenjar. Namun, pembesaran kelenjar paratiroid patologis dapat
mempengaruhi lebih banyak anggota keluarga yang sama, menyebabkan
hiperparatiroidisme familial. Jenis ini juga dapat dikaitkan dengan sindrom MEN tipe
1, 2A, dan 2B atau sindrom tumor rahang hiperparatiroid (HPT-JT). HPT-JT adalah
kelainan dominan autosomal langka yang terdiri dari adenoma kistik paratiroid atau
karsinoma, beberapa fifibroma pengerasan pada mandibula dan rahang atas, dan
gangguan ginjal yang mungkin termasuk kista, hamartoma, dan tumor Wilms. Risiko
mengembangkan karsinoma paratiroid jauh lebih tinggi pada sindrom HPT-JT.
Kondisi lain, hiperparatiroidisme sekunder, juga dapat terjadi karena pembesaran
kelenjar kompensasi sebagai respons terhadap hipokalsemia yang tidak biasa yang
disebabkan oleh gangguan metabolisme seperti gagal ginjal, defisiensi 1,25-
dihidroksivitamin D atau malabsorpsi kalsium yang ditemukan dalam rakhitis, dan
beberapa bentuk osteomalasia. Sekresi PTH dari kelenjar paratiroid yang membesar
dapat menjadi otonom (disekresi tanpa kontrol atau respons terhadap penghambatan
umpan balik), yang menyebabkan hiperparatiroidisme tersier.

b. Hipoparatiroidisme dan Hipokalsemia


Hipoparatiroidisme adalah defisiensi produksi, sekresi, atau kerja PTH dan penyebab
tersering hipokalsemia. Biasanya terjadi ketika kelenjar paratiroid diangkat melalui
pembedahan untuk memperbaiki hiperparatiroidisme primer atau selama
tiroidektomi. Hipoparatiroidisme juga dapat terjadi akibat kerusakan kelenjar
autoimun yang dimediasi sel yang terkait dengan mutasi gen regulator autoimun
(AIRE). Hal ini juga dapat terjadi bila ada aktivasi mutasi reseptor penginderaan
kalsium (hipokalsemia dominan autosom). Radiasi ke leher, kanker metastatik,
infeksi, dan defisiensi magnesium adalah penyebab lain dari hipoparatiroidisme.
Kerusakan kelenjar paratiroid oleh logam berat (misalnya tembaga pada penyakit
Wilson, besi pada hemochromatosis) dan hemosiderosis transfusi adalah penyebab
hipoparatiroidisme lain yang tidak biasa. Kelenjar paratiroid mungkin tidak
berkembang atau sama sekali tidak ada pada sindrom DiGeorge, kelainan
perkembangan pada kantong faring ketiga dan keempat. Pseudohipoparatiroidisme
adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sekelompok gangguan yang
menyebabkan hipokalsemia sebagai akibat resistensi ginjal terhadap PTH meskipun
kadar PTH tinggi. Penyebab lain hipokalsemia selain hipoparatiroidisme adalah
defisiensi vitamin D, hiperfosfatemia, malabsorpsi kalsium, dan gagal ginjal kronis.

Hipokalsemia seringkali asimtomatik; Namun, hipokalsemia akut menghasilkan


gejala yang diakibatkan oleh iritabilitas atau rangsangan otot saraf. Hal ini
menyebabkan manifestasi otot dan mental yang mencakup paresthesia tangan, kaki,
dan otot sirkumoral; kelainan elektroensefalografi; kegelisahan; kebingungan; dan
depresi. Tanda Chvostek yang positif dapat diperoleh jika mengetuk saraf wajah di
daerah preaurikular menyebabkan otot wajah berkedut. Pasien dapat mengalami
tetani yang ditandai dengan kejang tonikclonik, spasme karpopedal, dan spasme
laring yang parah. Pada sindrom DiGeorge, tetani biasanya terlihat pada masa bayi
tetapi mungkin tetap tidak terdeteksi hingga dewasa.
Temuan laboratorium adalah PTH rendah dan kadar kalsium serum rendah, tetapi
fosfat serum meningkat dan fosfatase alkali normal. Kebanyakan pasien dengan
hipokalsemia dapat diobati dengan kalsium oral dan suplemen vitamin D, meskipun
kasus akut mungkin memerlukan infus kalsium intravena.

Manifestasi Mulut Gangguan Kelenjar Paratiroid

a. Hiperparatiroidsm
Tanda dan gejala orofasial klinis primer dari hiperparatiroidisme adalah refleksi dari
efek sistemik hiperkalsemia. Hiperkalsemia yang berlangsung lama menyebabkan
osteoporosis umum, yang terlihat pada radiografi gigi. Pasien mengalami resorpsi
kortikal, kehilangan trabekulasi muncul sebagai tampilan "ground-glass", hilangnya
sebagian atau total lamina dura, lesi litik, dan kalsifikasi metastasis. Respon sekunder
selama proses penyakit akibat osteoporosis umum ketika trabekula limfa menghilang,
meninggalkan pola kasar. Tulang alveolar adalah sangat sensitif terhadap peningkatan
kadar PTH baik dari hiperparatiroidisme primer atau sekunder. Penipisan dan
akhirnya kehilangan tulang kortikal rahang atas dan rahang bawah dapat terjadi,
terutama di batas bawah mandibula. Kasus yang parah menyebabkan fraktur
mandibula spontan. Lesi rahang litik atau tumor coklat dapat membesar,
menyebabkan korteks tulang membesar, akhirnya menjadi hancur. Tumor ini jarang
berkembang ke periosteum tetapi bisa menyebabkan pembengkakan gingiva. Biopsi
lesi litik diperlukan untuk diagnosis pasti; namun secara histologis mirip dengan
tumor sel raksasa sentral dan granuloma reparatif sel raksasa. Gigi yang erupsi
sempurna tidak terpengaruh kecuali tampak lebih radiopak, gigi menjadi reposisi, dan
menyebabkan maloklusi. Dengan melonggarnya gigi secara bertahap, radiolusen
periradikuler berkembang, dengan peningkatan poket periodontal, resorpsi akar, dan
nyeri gigi.

b. Hipoparatiroidisme
Pada hipoparatiroidisme, hipokalsemia menghasilkan peningkatan iritabilitas otot dan
saraf perifer yang mungkin disalahartikan sebagai gangguan kejang. Kejang otot yang
menyakitkan memengaruhi otot mulut dan laring. Meskipun kadar kalsium serum
rendah, maksila dan mandibula padat secara abnormal, dengan trabekula yang
terkalsifikasi dengan baik. Jika hipoparatiroidisme adalah bagian dari sindrom
polendokrinopati autoimun, kandidiasis mukokutan oral dapat muncul dalam bentuk
akut atau kronis.

Jika hipoparatiroidisme terjadi saat gigi masih erupsi maka akan ada kelainan pada
penampilan dan pola erupsi. Mungkin terdapat hipoplasia email, pita horizontal
tunggal atau paralel pada email, dan dentin yang tidak termineralisasi dengan baik.
Temuan gigi lainnya termasuk gigi yang anomali, anodontia, apeks akar tumpul
pendek, ruang pulpa memanjang (bahkan pada gigi sulung), gigi impaksi, dan
eksostosis mandibula. Jika hipoparatiroidisme terjadi setelah erupsi gigi, tidak ada
kelainan yang terlihat pada gigi yang erupsi.

Penatalaksanaan Gigi Penderita Gangguan Kelenjar Paratiroid

a. Hiperparatiroidsm
Dokter harus berhati-hati untuk menghindari patah tulang rahang iatrogenik selama
prosedur bedah mulut karena adanya lesi tulang litik dan kehilangan tulang kortikal.
Setelah pengobatan hiperparatiroidisme yang berhasil, rekalsifikasi tulang terjadi dan
kadar kalsium serum kembali normal. Intervensi bedah tumor sel raksasa tidak
diperlukan kecuali untuk memperbaiki deformitas besar atau menghilangkan gigi
yang terlantar atau terserap.

b. Hipoparatiroidisme
Kadar kalsium serum yang rendah dapat memicu aritmia jantung, kejang, spasme
laring, atau spasme bronkus. Oleh karena itu, konsultasi dengan dokter pasien
diperlukan untuk memastikan tingkat kontrol metabolik dan memperbarui kadar
kalsium dan fosfat serum serta tingkat PTH. Pasien dengan kelainan gigi memerlukan
pemeriksaan mulut yang sering karena peningkatan risiko karies yang berhubungan
dengan gigi hipoplastik. Radiografi gigi berkala diperlukan untuk menyaring kista
dentigerous yang mungkin berkembang di lokasigigi yang terkena benturan.

3. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang penyakit liver, manifestasi oral dan


pertimbangan dental

Penyakit Sistem Hepatobilier

Pada bagian ini, hati, saluran empedu, dan pankreas dianggap bersama karena
fungsinya yang saling terkait berkaitan dengan sistem pencernaan. Hati mendominasi
kelompok struktur ini dalam ukuran dan keragaman peran. Akibatnya, sebagian besar
bagian ini berfokus pada penyakit hati dan manajemen gigi pada pasien dengan
penyakit atau disfungsi. Penyakit hati biasanya memanifestasikan dirinya melalui
penyakit kuning, dan proses penyakit dapat menyebabkan gagal hati dan sirosis.
a. Penyakit kuning
Penyakit kuning (atau ikterus), yang merupakan tanda daripada penyakit, hasil dari
kelebihan bilirubin dalam sirkulasi dan akumulasi bilirubin di jaringan. Penyakit
kuning adalah perubahan warna kuning yang paling sering terlihat pada kulit, selaput
lendir, dan sklera mata. Pigmen empedu berlebih ini mungkin disebabkan oleh (1)
produksi bilirubin berlebih melalui hemolisis sel darah merah (ikterus hemolitik); (2)
obstruksi pada pohon bilier, mencegah ekskresi bilirubin (ikterus obstruktif); atau (3)
penyakit parenkim hati (ikterus hepatoseluler). Masing-masing dari ketiga proses ini
akan dibahas secara singkat di bagian ini, dan peran dokter gigi dibahas terkait
dengan manajemen gigi.
b. Hepatitis Alkoholik
Aspek Medis
Hepatitis alkoholik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan gambaran
klinis pasien alkoholik dengan ikterus. Hepatitis alkoholik adalah bentuk penyakit
hati akibat toksin yang memiliki spektrum klinis yang luas dari penyakit subklinis
hingga sirosis dan gagal hati fulminan. Penggunaan alkohol yang berlebihan tetap
menjadi penyebab paling penting dari sirosis di dunia Barat dan penyebab utama
kematian dan kematian selama usia paruh baya. Meskipun hepatitis alkoholik agak
terkait dengan dosis, variabilitas dan tingkat cedera yang luar biasa. Jelas, ini bukan
hanya soal seberapa banyak alkohol yang dicerna tapi oleh siapa. Konsumsi
setidaknya 40 hingga 60 g etanol per hari selama lebih dari 15 tahun diperlukan untuk
perkembangan sirosis alkoholik; ini sama dengan sekitar enam bir 12 ons per hari,
empat gelas anggur, atau tiga gelas wiski 2 ons. Cedera hepatosit akibat alkohol
berkembang terutama sebagai konsekuensi dari toksisitas seluler langsung dari
asetaldehida, metabolit utama alkohol. Namun, ada kontribusi penting dari
kekurangan nutrisi terkait yang sering menyertai alkoholisme. Ada bukti kuat bahwa
kecenderungan alkoholisme diturunkan. Hanya 1 dari 12 pecandu alkohol yang
menunjukkan bukti cedera hati yang parah. Variasi genetik dalam metabolisme etanol
dapat menjelaskan prevalensi cedera hati alkoholik yang lebih tinggi pada beberapa
populasi. Dokter dari seluruh dunia umumnya yakin bahwa wanita berisiko lebih
besar terkena penyakit hati akibat alkohol daripada pria. Alasan pengamatan ini tetap
tidak jelas. Namun, wanita memiliki tingkat alkohol dehidrogenase yang lebih rendah
(penting untuk memetabolisme alkohol menjadi asetaldehida) di usus; akibatnya,
lebih banyak alkohol mencapai hati.

Pertimbangan Kesehatan Mulut Hepatitis Alkoholik

Lesi rongga mulut yang mungkin terlihat pada pasien dengan hepatitis alkoholik
terutama terkait dengan disfungsi hepatosit. Penyakit kuning (pigmentasi kuning)
dapat diamati pada mukosa dan dapat disertai dengan ikterus kulit dan skleral.
Penyakit kuning biasanya terjadi ketika bilirubin serum total mencapai kadar ≥3 mg /
dL. Mungkin ada petechiae dan eccyhmos ekstraoral dan / atau intraoral, perdarahan
sulkus gingiva karena defisiensi faktor pembekuan yang berhubungan dengan
disfungsi hepatosit, dan trombositopenia yang berhubungan dengan alkohol. Temuan
oral tambahan dapat mencakup manifestasi malnutrisi, seperti defisiensi vitamin dan
anemia. Akibatnya, pucat, angular cheilitis, dan glositis dapat ditunjukkan sebagai
ekspresi masalah terkait. Selain itu, nafas keton yang manis, menunjukkan
glukoneogenesis hati, harus meningkatkan kecurigaan hepatotoksisitas. Presentasi
dari tanda-tanda klinis di atas, serta riwayat atau gejala yang menunjukkan
penyalahgunaan alkohol, harus memerlukan rujukan ke dokter perawatan primer
pasien untuk evaluasi. Kerusakan hati memerlukan prosedur manajemen gigi khusus
sebelum melanjutkan perawatan gigi. Interaksi yang merugikan antara alkohol atau
akibat penyakit hati alkoholik dan obat-obatan yang digunakan dalam kedokteran gigi
termasuk namun tidak terbatas pada asetaminofen, aspirin, ibuprofen, beberapa
sefalosporin, eritromisin, metronidazol, tetrasiklin, ketokonazol, pentobarbital,
sekobarbital, diazepam.

Prevalensi penyakit gigi biasanya luas karena ketidaktertarikan dalam melakukan


teknik kebersihan mulut yang tepat dan penurunan aliran saliva. Jelas, perawatan gigi
elektif tidak boleh dilakukan pada pasien yang telah menelan alkohol dalam jumlah
besar. Sebaliknya, perawatan gigi rutin pada pasien dengan riwayat penyakit hati
alkoholik tidak dikontraindikasikan kecuali terdapat sirosis yang signifikan.
Perubahan sirosis akibat alkoholisme tidak dapat dipulihkan, sedangkan perubahan
non sirosis umumnya dapat terjadi. Oleh karena itu, dokter gigi harus menentukan
tingkat fungsi hati melalui konsultasi dengan dokter pasien dan melalui tes fungsi hati
yang sesuai. Untuk mendapatkan informasi yang sesuai dari dokter, dokter gigi harus
memahami tes laboratorium yang digunakan dalam mengevaluasi status pasien.

c. Hepatotoksisitas yang Diinduksi Obat

Pertimbangan Kesehatan Mulut Hepatotoksisitas yang Diinduksi Obat

Seperti yang dinyatakan sebelumnya, penyakit hati akibat obat dapat muncul sebagai
gangguan akut atau kronis. Selain itu, karena reaksi idiosinkratik sering kali memiliki
dasar imunoalergi, pasien dapat datang tidak hanya dengan ikterus dan gambaran lain
dari penyakit hati kronis tetapi juga dengan demam, dermatitis, artralgia, dan
eosinofilia. Terlepas dari presentasi klinis, rujukan ke dokter perawatan primer pasien
diperlukan jika dokter gigi mencurigai adanya hepatotoksisitas yang diinduksi obat.
Sangat sederhana untuk merekomendasikan bahwa, karena obat apapun dapat
menyebabkan hepatotoksisitas, obat yang dimaksud harus dihentikan. Sebaliknya,
konsultasi dengan dokter diperlukan untuk mempertimbangkan risiko relatif dari
penghentian atau penggantian terapi. Untungnya, sebagian besar obat yang mungkin
digunakan atau diresepkan oleh dokter gigi yang dikenal sebagai hepatotoksik
memiliki alternatif yang aman dan efektif, dan menghentikan obat yang paling
mungkin mengganggu adalah tindakan yang bijaksana. Meskipun demikian,
koordinasi terapi gigi dan terapi medis sangat penting. Misalnya, agen alternatif
dalam kasus toksisitas NSAID adalah obat dari subkelas yang berbeda. Namun,
setelah memulai agen alternatif, pasien harus diikuti setidaknya selama 4 hingga 8
minggu dengan tes biokimia untuk memastikan bahwa reaksi obat asli telah teratasi.

Karena banyak obat menghasilkan toksisitas obat khusus, tidak ada cara untuk
memprediksi atau mencegah reaksi tersebut. Seorang pasien yang mengalami episode
mendadak dari cedera hepatoseluler harus dianggap memiliki reaksi obat idiosinkratik
dan tidak boleh ditantang lagi. Untuk pasien yang memakai obat yang terkait dengan
reaksi obat yang bergantung pada dosis, tindakan pencegahan yang jelas adalah
meminimalkan dosis. Karena dimungkinkan untuk mengambil dosis toksik dari
acetaminophen tanpa melebihi dosis yang dianjurkan, pasien dengan nyeri kronis
harus diperingatkan tentang potensi toksisitas asetaminofen. Selain itu, pasien yang
mengonsumsi asetaminofen dosis besar harus disarankan untuk menghindari alkohol
dan memastikan nutrisi yang memadai.

Karena sebagian besar reaksi obat bersifat hepatoseluler dan dapat menyebabkan
kegagalan hepatosit dan kematian, pasien dengan riwayat hepatotoksisitas akibat obat
harus dievaluasi dengan tes fungsi hati serial. Kematian sel dapat terjadi sejauh
metabolisme obat dan homeostasis terpengaruh dan kemampuan pasien untuk
menjalani perawatan gigi sangat terpengaruh.
d. Sirosis Hati

Sirosis bukanlah proses tunggal atau penyakit tunggal; sebaliknya, ini adalah hasil
akhir dari berbagai kondisi, terutama alkoholisme, yang menyebabkan perubahan
inflamasi kronis dan kerusakan sel hati. Jaringan parut progresif menyebabkan
fibrosis abnormal dan regenerasi nodular. Penyakit hati akibat alkohol adalah indikasi
spesifik pertama atau kedua tersering untuk transplantasi hati di seluruh Eropa dan
Amerika Serikat. Gejala merupakan akibat dari disfungsi hepatoseluler, hipertensi
portal, atau kombinasi dari kedua kondisi tersebut. Gejala yang paling umum
termasuk malaise, kelemahan, dispepsia, anoreksia, dan mual. Sepertiga dari pasien
mengeluh sakit perut, dan 30 sampai 78% pasien datang dengan asites. Kira-kira 65%
penderita sirosis mengalami ikterus saat muncul. Peningkatan pigmentasi, terutama
pada permukaan yang terlalu terang, terlihat pada hemochromatosis, sedangkan
xanthoma menunjukkan sirosis bilier. Yang lebih jarang terlihat adalah temuan jari
tabuh, sianosis, dan spider angioma yang tidak spesifik.

Pertimbangan Kesehatan Mulut Sirosis Hati

Temuan oral mungkin terkait dengan defisiensi vitamin dan anemia; temuan ini
termasuk angular cheilitis, glositis, dan pucat mukosa. Pigmentasi kuning dapat
diamati pada mukosa mulut dan dapat disertai dengan ikterus skleral dan kulit.
Disfungsi kelenjar ludah akibat sindrom Sjögren mungkin berhubungan dengan
sirosis bilier primer. Pigmentasi mukosa mulut jarang diamati pada kasus
hemochromatosis.

Pasien gigi dengan riwayat sirosis hati perlu mendapat perhatian khusus. Pertama,
pasien dengan sirosis mungkin memiliki defek hemostatik yang signifikan, baik
karena ketidakmampuan untuk mensintesis faktor pembekuan dan karena
trombositopenia sekunder. Defisit ini dapat diatasi dengan penggantian dengan
plasma beku segar dan trombosit. Oleh karena itu, evaluasi laboratorium sebelum
prosedur bedah atau periodontal harus diarahkan pada parameter perdarahan;
khususnya, hitung darah lengkap, waktu protrombin atau INR, waktu tromboplastin
parsial, dan jumlah trombosit harus diperoleh.

Kedua, kemampuan untuk mendetoksifikasi zat juga terganggu pada pasien dengan
insufisiensi hati, dan obat serta racun dapat menumpuk. Pasien dapat menjadi
ensefalopati karena penumpukan amonia dari detoksifikasi limbah nitrogen yang
tidak lengkap. Pasien dengan ensefalopati cenderung menggunakan neomisin atau
laktulosa. Penggunaan obat penenang dan obat penenang harus dihindari pada pasien
dengan riwayat penggunaan narkotika ensefalopati. Selain itu, mungkin ada induksi
enzim hati, yang menyebabkan kebutuhan untuk meningkatkan atau menurunkan
dosis obat tertentu. Konsekuensinya, konsultasi dengan dokter pasien sangat penting
untuk penanganan yang tepat bagi pasien gigi dengan sirosis hati. Pasien dengan
asites mungkin tidak dapat berbaring sepenuhnya di kursi gigi karena tekanan yang
meningkat pada pembuluh perut. Terakhir, pasien transplantasi hati yang menjalani
terapi imunosupresif harus dipantau untuk infeksi sistemik yang berasal dari
orofaring, infeksi virus oral (virus herpes simpleks, cytomegalovirus), dan ulkus
mulut yang tidak diketahui asalnya. Manifestasi oral dari penyakit graft-versus-host
akut pada pasien pasca transplantasi dapat muncul sebagai mucositis, sedangkan
penyakit graft-versus-host kronis dapat menyerupai lichen planus oral.
4. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang penyakit gastrointestinal,
manifestasi oral dan pertimbangan dental

a. Penyakit refluks gastroesofagus (GERD)

Aspek Medis

Penyakit gastroesophageal reflux (GERD) adalah salah satu penyakit yang paling
sering terjadi yang mempengaruhi saluran pencernaan bagian atas. Insiden GERD
meningkat di negara maju; lebih dari 10% populasi mengalami mulas setiap hari.
Gejalanya bisa berkisar dari ringan hingga parah. Tidak ada perbedaan antara
persentase pria dan wanita yang terkena GERD. GERD merupakan penyakit yang
berpengaruh signifikan terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari serta berpengaruh
secara ekonomi terhadap individu dan masyarakat.

Selama gastroesophageal reflux, isi lambung (chyme) secara pasif bergerak naik dari
lambung menuju kerongkongan. Meskipun hal ini dapat terjadi secara normal, hal ini
dapat dikaitkan dengan GERD jika dikaitkan dengan gejala. GERD sering dianggap
sebagai sindrom karena dapat muncul dengan berbagai gejala. Pasien mungkin
mengalami gejala ringan dengan esofagus yang secara klinis tampak normal, atau
mereka mungkin mengalami gejala parah dengan kelainan permukaan yang dapat
dideteksi dengan endoskopi. Diagnosis praduga GERD dapat dibuat untuk kondisi
gejala apa pun yang disebabkan oleh isi lambung yang bergerak ke kerongkongan.
Penyakit usus fungsional adalah sindrom dengan gejala yang mirip dan mungkin
mirip dengan GERD; sering salah didiagnosis sebagai GERD.

Heartburn adalah gejala utama GERD dan didefinisikan sebagai sensasi terbakar atau
panas yang menyebar ke atas dari epigastrium ke leher. Meskipun gejala
GERD bisa sangat bervariasi, terutama gejala yang berhubungan dengan gejala sisa
dari cedera mukosa. Cedera yang diakibatkan ini termasuk esofagitis, ulserasi
esofagus, striktur, dan displasia. Nyeri dada adalah gejala penting lainnya yang
berhubungan dengan gangguan pada esofagus. Nyeri dada dapat menyerupai gejala
gangguan kardiovaskular akut dan sering kali menjadi pendorong bagi pasien yang
mencari perawatan medis. Disfagia juga merupakan keluhan umum yang mungkin
mendorong dokter gigi untuk merujuk pasien ke dokter pasien. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa sejumlah masalah saluran napas yang sebelumnya dianggap
idiopatik, seperti radang tenggorokan, batuk kronis, suara serak, dan asma ternyata
merupakan akibat mikroaspirasi dari refluks ke dalam saluran napas. Atau, gejala-
gejala ini mungkin juga
timbul dari gangguan pada saluran pernapasan bagian atas atau bawah. Komplikasi
GERD termasuk kondisi kerongkongan premaligna dan ganas.

Esofagus Barrett adalah varian dari GERD di mana epitel skuamosa normal
digantikan oleh epitel kolumnar. Pasien dengan fenomena ini menunjukkan
peningkatan kejadian adenokarsinoma. Kondisi ini dapat meningkatkan kejadian
karsinoma sebanyak 10%. Namun, telah menjadi jelas bahwa mayoritas pasien
dengan esofagus Barrett meninggal karena penyebab yang tidak berhubungan dengan
adenokarsinoma.
kerongkongan. Alasan utama untuk mengevaluasi pasien dengan gejala kronis GERD
adalah untuk mengenali esofagus Barrett. Faktor jenis kelamin, ras, dan usia dapat
digunakan untuk menentukan ambang batas endoskopi pada pasien dengan GERD
untuk menyaring keberadaan esofagus Barrett. Hasil tertinggi esofagus Barrett
diharapkan terjadi pada pria kulit putih dengan gejala kronis GERD. Namun, kriteria
khusus untuk memilih pasien untuk skrining esofagus Barrett adalah
belum ditentukan.

Relaksasi sfingter esofagus bagian bawah untuk tujuan mengurangi tekanan dalam
perut (dari gas dan menelan makanan) disebut mekanisme "sendawa".
Fenomena ini adalah proses normal dan hanya terjadi ketika seseorang berada dalam
posisi tegak; isi lambung dengan demikian dicegah mengalir ke kerongkongan dan
mungkin disedot. Sambungan gastroesofagus, yang mencegah regurgitasi (aliran
balik atau aliran ke atas) isi lambung, terdiri dari sfingter esofagus bagian bawah
internal.

Pertimbangan Kesehatan Mulut

Pasien yang mengalami GERD mengeluhkan dysgeusia (rasa tidak enak), gigi sensitif
terkait rangsangan panas atau dingin, erosi gigi, dan / atau pulpitis. Sensitivitas termal
gigi umumnya disebabkan oleh erosi email oleh asam lambung. Studi tekanan
sfingter esofagus, panjang sfingter, dan motilitas esofagus pada pasien dengan erosi
gigi menunjukkan bahwa motilitas esofagus yang buruk dapat menjadi faktor risiko
dalam regurgitasi.
erosi. Erosi enamel menyebabkan dentin terbuka dan sensitivitas termal. Kadang-
kadang, jika erosi parah, kerusakan pulpa (saraf) ireversibel dapat terjadi yang
memerlukan terapi saluran akar. Tidak ada hubungan antara GERD dan perubahan
dalam rongga mulut yang dapat ditentukan melalui penggunaan tes saliva. Namun,
analisis morfometri histopatologi mukosa palatal pada pasien dengan GERD dapat
mengungkapkan hubungan dengan perubahan mikroskopis yang bermanifestasi
sebagai atrofi epitel dan peningkatan jumlah fibroblas. Obat kumur soda kue yang
ringan dapat dikumur dan dikeluarkan untuk meminimalkan disgeusia akibat refluks
asam. Manajemen gigi harus menyediakan aplikasi fluorida topikal menggunakan
pengiriman baki oklusif yang dibuat khusus untuk memastikan mineralisasi gigi yang
optimal dan pengurangan sensitivitas termal. Dokter gigi dapat memperbaiki struktur
gigi yang rusak akibat erosi asam lambung untuk memberikan kenyamanan dan
estetika serta meminimalkan kerusakan jaringan keras lebih lanjut. Lebih disukai
untuk melakukan tindakan pencegahan oral sedini mungkin untuk meminimalkan
kebutuhan restorasi gigi yang ekstensif.

Terapi medis dapat memengaruhi manajemen gigi pasien GERD dalam beberapa
cara. Pasien yang memakai simetidin (Tagament) atau antagonis reseptor H2 lainnya
mungkin mengalami reaksi toksik terhadap lidokain (atau simetidin lokal amida
lainnya juga telah terbukti menghambat penyerapan dan, oleh karena itu, konsentrasi
darah dari obat antijamur azol seperti ketaconazole melalui penghambatan yang kuat.
sistem enzim sitokrom P-450 3A4. Perubahan jaringan lunak seperti striktur esofagus
dan fibrosis dapat mempersulit intubasi jika pasien memerlukan anestesi umum untuk
prosedur maksilofasial oral. Perubahan mukosa mulut minimal; namun, eritema dan
atrofi mukosa dapat akibat jaringan yang terpapar asam secara kronis. Pembilasan
natrium bikarbonat ringan mungkin berguna lagi jika tanda stomatitis ringan muncul.
Antagonis reseptor H2 juga dapat menyebabkan efek sistem saraf pusat dalam satu
rangkaian mulai dari kelelahan dan kelesuan hingga kebingungan, delirium, dan
kejang. Efek ini bergantung pada dosis; dengan demikian, mereka mungkin terlihat
lebih sering pada orang tua atau pada mereka yang memiliki gangguan fungsi ginjal
atau hati.

b. Hiatal Hernia
Esofagus melewati hiatus diafragma dan masuk ke lambung hanya di bagian inferior
diafragma. Jeda menyebabkan penyempitan anatomis dari bukaan ke perut dan
dengan demikian membantu mencegah refluks isi lambung ke kerongkongan.
Beberapa pasien mengalami hiatus yang melemah atau membesar, mungkin karena
faktor keturunan. Ini juga dapat disebabkan oleh obesitas, olahraga (misalnya angkat
beban), atau mengejan kronis saat buang air besar. Ketika terjadi hiatus yang
melemah atau membesar, sebagian dari perut mengalami herniasi ke dalam rongga
dada melalui lubang yang membesar ini, mengakibatkan hernia hiatus. Hernia hiatal
cukup umum; tingkat kejadian antara 20 dan 60% telah dilaporkan dalam literatur
medis. Insiden hernia hiatus meningkat seiring bertambahnya usia, meskipun kondisi
ini juga terlihat pada bayi dan anak-anak. Karena diafragma memisahkan dada dari
perut, gejala hernia hiatus sering kali meliputi nyeri dada, yang dapat menyebar
dengan pola yang mirip dengan nyeri infark miokard. Jika hernia hiatus kecil,
mungkin tidak ada gejala. Di sisi lain, jika area hiatus sangat lemah, fungsi
pencegahan refluks dapat terganggu, yang mengakibatkan masuknya cairan
pencernaan yang bersifat asam ke dalam esofagus.

Hernia hiatal diklasifikasikan menjadi tiga tipe utama. Jenis geser adalah yang paling
umum. Pada tipe ini, bagian perut yang hernia meluncur maju mundur melalui
diafragma ke dada. Hernia ini biasanya kecil dan sering muncul dengan gejala
minimal (jika ada). Pada tipe hernia hiatus tetap, bagian atas perut dipasang melalui
diafragma ke dada. Mungkin ada sedikit
gejala dengan tipe ini juga. Namun, potensi masalah pada esofagus meningkat. Jenis
yang rumit adalah bentuk hernia hiatus yang paling serius dan paling tidak umum.
Bentuk ini mencakup berbagai pola herniasi perut, termasuk di mana seluruh perut
bergerak ke dada. Kemungkinan timbulnya masalah medis yang signifikan dengan
jenis ini tinggi; perawatannya membutuhkan pembedahan.

Bayi dengan hernia hiatus biasanya memuntahkan makanan bernoda darah dan
mungkin juga mengalami kesulitan bernapas dan menelan. Pasien dewasa dengan
hernia hiatus mungkin mengalami refluks asam kronis ke esofagus. Refluks
gastrointestinal kronis dapat mengikis lapisan esofagus, menyebabkan perdarahan,
yang dapat menyebabkan anemia. Selain itu, peradangan esofagus kronis dapat
menyebabkan jaringan parut, yang menyebabkan penyempitan esofagus.
Penyempitan ini menyebabkan disfagia, dan karena makanan tidak mudah masuk ke
perut, pasien mengalami perasaan kenyang yang tidak nyaman atau "kembung".
Orang dewasa biasanya mengalami mulas yang diperparah saat membungkuk ke
depan atau berbaring. Nyeri bisa menyebar ke rahang dan ke bawah lengan, mirip
dengan serangan angina pektoris. Gejala lain termasuk cegukan, batuk kering, dan
peningkatan kekuatan kontraktil jantung. Berbeda dengan hernia abdominalis, hernia
hiatus tidak memiliki tanda fisik luar. Diagnosis dibuat melalui kombinasi endoskopi
dan radiografi kontras.

Pertimbangan Kesehatan Mulut

Jika hernia hiatus diobati dengan obat yang menyebabkan xerostomia (mulut kering),
dosis atau jenis obat mungkin perlu diubah oleh dokter pasien. Berbagai modalitas
pengobatan untuk mulut kering, seperti air liur buatan, obat kumur bebas alkohol,
atau peningkatan asupan cairan, mungkin perlu diresepkan. Karies kelas V, atau
karies akar, merupakan gejala sisa dari mulut kering, bahkan pada pasien yang relatif
bebas dari karies sebelum berkembangnya penyakit. Jika terjadi refluks ke dalam
rongga mulut, manifestasi mulut yang sama dengan GERD mungkin ada.

c. Kolitis ulseratif

Aspek Medis

Peradangan pada kolitis ulserativa dapat mempengaruhi seluruh atau sebagian usus
besar. Secara makroskopik, mukosa mungkin memiliki tampilan granular jika
penyakitnya ringan. Saat fulminan, penyakit ini mungkin termasuk pengupasan
mukosa, dengan area pengelupasan, ulserasi, dan perdarahan. Kolitis ulserativa tetap
merupakan penyakit dengan etiologi yang tidak diketahui. Meskipun minat yang kuat
pada kemungkinan faktor bakteri, virus, imunologi, dan psikologis, belum ada
etiologi yang tegas. Meskipun banyak yang telah ditulis tentang faktor psikologis
yang terkait dengan IBD, kebanyakan ahli gastroenterologi tidak lagi menerima
gagasan bahwa penyakit ini pada dasarnya adalah gangguan kejiwaan. Sebaliknya,
masalah kejiwaan yang sering dialami pasien adalah akibat penyakit, bukan
penyebabnya. Penjelasan yang paling mungkin dari bukti melibatkan reaksi
autoimun, dengan sensitisasi dan destruksi mukosa kolon dalam pengaturan regulasi
imunologi yang abnormal. Saat lesi mukosa superfisial membesar, mereka dapat
diabadikan oleh invasi bakteri sekunder.

Ciri dari kolitis ulserativa adalah perdarahan rektal dan diare. Frekuensi buang air
besar dan jumlah darah yang ada mencerminkan aktivitas penyakit. Biasanya, diare
parah, mungkin lima hingga delapan buang air besar dalam 24 jam. Pasien biasanya
mengeluhkan nyeri di kedua kuadran abdomen dan bersifat kram serta memburuk
sebelum buang air besar. Seiring dengan perubahan pola buang air besar, pasien
mungkin mengalami diare nokturnal. Manifestasi ekstraintestinal mungkin menonjol.
Eritema nodosum, ditandai dengan nodul bengkak merah yang biasanya ada di paha
dan tungkai, mungkin ada. Perubahan mata seperti episkleritis, uveitis, tukak kornea,
dan retinitis dapat menyebabkan nyeri dan fotofobia. Gejala sendi terjadi pada hingga
20% pasien dengan penyakit ini, biasanya mengenai pergelangan kaki, lutut, dan
pergelangan tangan. Mungkin komplikasi kolitis ulserativa yang paling merusak
adalah penyakit hati. Meskipun manifestasi ekstraintestinal lainnya biasanya
mengalami remisi dengan mengendalikan peradangan usus besar, penyakit hati dapat
berlanjut, dan dokter gigi harus mengenali risiko ini. Anemia umumnya dikaitkan
dengan kolitis ulserativa. Kemungkinan besar disebabkan oleh kehilangan darah dan
biasanya merupakan anemia mikrositik hipokromik akibat kekurangan zat besi.
Leukositosis terjadi pada penyakit aktif dan biasanya berhubungan dengan abses
intraabdomen. Ketidakseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia, dan kadar
magnesium dan kalium serum yang rendah dapat terjadi karena diare yang parah.
Meskipun manifestasi ekstraintestinal lainnya biasanya mengalami remisi dengan
mengendalikan peradangan usus besar, penyakit hati dapat berlanjut, dan dokter gigi
harus mengenali risiko ini. Anemia umumnya dikaitkan dengan kolitis ulserativa.
Kemungkinan besar disebabkan oleh kehilangan darah dan biasanya merupakan
anemia mikrositik hipokromik akibat kekurangan zat besi. Leukositosis terjadi pada
penyakit aktif dan biasanya berhubungan dengan abses intraabdomen.
Ketidakseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia, dan kadar magnesium dan kalium
serum yang rendah dapat terjadi karena diare yang parah. Meskipun manifestasi
ekstraintestinal lainnya biasanya mengalami remisi dengan mengendalikan
peradangan usus besar, penyakit hati dapat berlanjut, dan dokter gigi harus mengenali
risiko ini. Anemia umumnya dikaitkan dengan kolitis ulserativa. Kemungkinan besar
disebabkan oleh kehilangan darah dan biasanya merupakan anemia mikrositik
hipokromik akibat kekurangan zat besi. Leukositosis terjadi pada penyakit aktif dan
biasanya berhubungan dengan abses intraabdomen. Ketidakseimbangan elektrolit,
hipoalbuminemia, dan kadar magnesium dan kalium serum yang rendah dapat terjadi
karena diare yang parah. Leukositosis terjadi pada penyakit aktif dan biasanya
berhubungan dengan abses intraabdomen. Ketidakseimbangan elektrolit,
hipoalbuminemia, dan kadar magnesium dan kalium serum yang rendah dapat terjadi
karena diare yang parah. Leukositosis terjadi pada penyakit aktif dan biasanya
berhubungan dengan abses intraabdomen. Ketidakseimbangan elektrolit,
hipoalbuminemia, dan kadar magnesium dan kalium serum yang rendah dapat terjadi
karena diare yang parah.

Pertimbangan Kesehatan Mulut

Karena gejala diare yang sering parah dan nyeri atau kram perut, kecil kemungkinan
pasien akan mencari perawatan gigi rutin dengan kolitis ulserativa yang tidak
terdiagnosis. Meskipun demikian, jika pasien yang tidak terdiagnosis datang ke klinik
gigi untuk perawatan, maka risiko yang terkait dengan anemia, seperti penyembuhan
yang tertunda, peningkatan risiko infeksi, efek samping analgesik narkotika, dan
depresi pernapasan,
mungkin secara kolektif mengkontraindikasikan perawatan bedah sampai penyakit
terkendali. Jelas, mengikuti riwayat dan pemeriksaan menyeluruh, tanda dan gejala
kolitis ulserativa dan / atau anemia akan memerlukan rujukan ke dokter perawatan
primer pasien. Yang lebih mungkin adalah situasi pasien yang didiagnosis dan
dirawat secara medis yang mengunjungi klinik gigi untuk perawatan kesehatan mulut
rutin atau episodik. Bagian berikut membahas masalah-masalah yang harus diketahui
oleh OHCP ketika merawat pasien dengan kolitis ulserativa.

Perubahan oral yang terjadi pada kasus kolitis ulserativa tidak spesifik dan jarang
terjadi, dengan kejadian kurang dari 8%. Stomatitis aphthous dari jenis mayor dan
minor telah dilaporkan pada pasien dengan kolitis ulserativa aktif. Tidak ada yang
unik tentang lesi ini, dan diduga bahwa kemunculannya kebetulan. Namun, mereka
mungkin disebabkan oleh kekurangan nutrisi zat besi, asam folat, dan vitamin B12
karena penyerapan yang buruk di usus dan / atau kehilangan darah yang berhubungan
langsung dengan kolitis ulserativa. Selain itu, obat anti-inflamasi seperti
5-aminosalisilat, yang sering menjadi andalan terapi untuk pasien IBD dan
diekskresikan dalam air liur, diketahui menyebabkan ulkus aphthous berulang pada
beberapa pasien. Pada pasien yang rentan terkena ulkus aphthous, munculnya ulkus
mulut yang baru sering kali menandakan maraknya penyakit usus. Bentuk ulserasi
nonspesifik lain yang terkait dengan lesi kulit telah dilaporkan. Pyoderma
gangrenosum dapat terjadi dalam bentuk ulkus dalam yang terkadang memborok
melalui pilar tonsil.

Pyostomatitis vegetans, peradangan purulen pada mulut, juga dapat terjadi. Lesi oral
ini ditandai dengan jaringan dalam yang tumbuh subur atau lesi proliferatif yang
mengalami ulserasi dan kemudian nanah. Ketika lesi menghilang dengan kolektomi
total, diperkirakan bahwa manifestasi ini disebabkan oleh efek imunokompleks yang
bersirkulasi yang diinduksi oleh antigen yang berasal dari lumen usus atau mukosa
kolon yang rusak. Terakhir, pasien kolitis ulserativa juga dapat mengembangkan
hairy leukoplakia, lesi yang lebih sering dikaitkan dengan penyakit human
immunodeficiency virus (HIV). Lesi ini mungkin berfungsi sebagai penanda
imunosupresi yang parah dan mungkin akibat penggunaan kortikosteroid atau agen
imunosupresif lainnya. Manajemen medis untuk kolitis ulserativa mungkin
memerlukan perubahan terapi gigi atau tindakan pencegahan khusus. Sulfasalazine
mengganggu metabolisme folat, dan asam folat tambahan mungkin diperlukan,
terutama jika anemia makrositik terungkap dalam hitung darah lengkap.

Manajemen mediskolitis ulserativa mungkin memerlukan perubahan terapi gigi.


Sejumlah pertimbangan perawatan kesehatan mulut terkait dengan penggunaan
terapeutik glukokortikosteroid. Ini adalah banyak efek samping yang terkait dengan
penggunaan kortikosteroid dan ACTH, termasuk hipertensi dan hiperglikemia.
Mendapatkan pembacaan tekanan darah dan pengukuran glukosa darah dengan tusuk
jari di kantor
dan / atau konsultasi dengan dokter yang merawat untuk memahami status medis
pasien saat ini sangat dianjurkan. Terapi glukokortikosteroid jangka panjang juga
dapat menyebabkan osteoporosis dan fraktur kompresi vertebra; dengan demikian,
dengan hati-hati memposisikan pasien di kursi gigi dan mendorong pasien untuk
mengonsumsi suplemen kalsium makanan dapat membantu mencegah patah tulang.

Penggunaan glukokortikosteroid kronis juga dapat menyebabkan supresi adrenal.


Prosedur operasi atau pembedahan mayor dapat memicu insufisiensi adrenal jika
dosis glukokortikosteroid tidak disesuaikan dengan benar. Pasien yang menjalani
operasi mungkin memerlukan glukokortikosteroid tambahan sebelum dan sesudah
prosedur karena respons adrenal mereka sendiri terhadap stres berkurang. Pasien yang
pernah menjalani terapi glukokortikosteroid juga dapat mengalami penekanan
adrenal. Perawatan rutin perawatan gigi seperti pembersihan atau restorasi sederhana
tidak boleh terpengaruh oleh terapi steroid atau imunosupresif. Konsultasi dengan
dokter pasien diperlukan sebelum prosedur pembedahan. Rincian penyesuaian dosis
steroid untuk berbagai prosedur gigi dijelaskan pada halaman XX hingga XX.

Kolitis ulserativa dapat dikaitkan dengan perdarahan kronis. Sebelum prosedur gigi,
pemeriksaan darah yang mencakup hemoglobin, hematokrit, dan jumlah sel darah
merah harus dilakukan untuk menyingkirkan adanya anemia. Pasien yang memakai
agen imunosupresif azathioprine mungkin menderita efek samping tambahan yang
mempengaruhi manajemen gigi.

Pasien yang menggunakan azathioprine mungkin diharapkan mengalami perubahan


jumlah sel darah putih dan merah, dan jumlah sel darah putih total dan diferensial
harus dipastikan sebelum memulai prosedur pembedahan. Hati dapat tertekan, dan tes
fungsi hati harus diselesaikan pada pasien yang akan menerima obat resep dokter gigi
yang dimetabolisme di hati. Tes fungsi hati yang abnormal harus didiskusikan dengan
dokter gigi yang merawat yang mungkin perlu meresepkan obat analgesik atau
antibiotik yang dimetabolisme di hati. Biasanya, pasien yang menggunakan agen
imunosupresif seperti azathioprine dipantau oleh dokter perawatan primer mereka
dengan tes fungsi hati. Konsekuensinya, konsultasi dengan dokter pasien akan
membantu dokter gigi menentukan fungsi hati pasien. Jelas, dosis toksik dari obat
yang sama dapat dicapai jika penurunan metabolisme obat tidak dipertimbangkan.
Pasien yang menjalani operasi usus besar mungkin menderita malabsorpsi vitamin K,
vitamin B12, dan asam folat. Sebelum prosedur pembedahan diselesaikan, pasien ini
harus dievaluasi untuk anemia makrositik dan mikrositik dan gangguan perdarahan
dari tingkat vitamin K yang tidak mencukupi (pembentukan bekuan fibrin). Faktor
pembekuan II, VII, IX, dan X semuanya bergantung pada vitamin K. Waktu
protrombin / rasio normalisasi internasional (INR) dan waktu tromboplastin parsial
akan memberikan informasi tentang kemampuan pasien untuk membentuk bekuan
darah. dan asam folat. Sebelum prosedur pembedahan diselesaikan, pasien ini harus
dievaluasi untuk anemia makrositik dan mikrositik dan gangguan perdarahan dari
tingkat vitamin K yang tidak mencukupi (pembentukan bekuan fibrin). Faktor
pembekuan II, VII, IX, dan X semuanya bergantung pada vitamin K. Waktu
protrombin / rasio normalisasi internasional (INR) dan waktu tromboplastin parsial
akan memberikan informasi tentang kemampuan pasien untuk membentuk bekuan
darah. dan asam folat. Sebelum prosedur pembedahan diselesaikan, pasien ini harus
dievaluasi untuk anemia makrositik dan mikrositik dan gangguan perdarahan dari
tingkat vitamin K yang tidak mencukupi (pembentukan bekuan fibrin). Faktor
pembekuan II, VII, IX, dan X semuanya bergantung pada vitamin K. Waktu
protrombin / rasio normalisasi internasional (INR) dan waktu tromboplastin parsial
akan memberikan informasi tentang kemampuan pasien untuk membentuk bekuan
darah.

5. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang kelenjar adrenalin, manifestasi oral


dan pertimbangan dental

Kelenjar Adrenal dan Gangguannya

Kelenjar adrenal dan hormonnya secara luas dibagi menjadi korteks, mengeluarkan
kortisol dan aldosteron, dan medula, mengeluarkan epinefrin dan norepinefrin.
Kortisol adalah hormon aktif dan end di sumbu hipotalamus-hipofisis adrenal (HPA).
Ini diproduksi sebagai respons terhadap hormon hipofisis ACTH, yang dihasilkan
oleh respons terhadap hormon pelepas hormon kortikotropin hipotalamus. Kortisol
adalah hormon steroid yang penting, terutama pada keadaan stres, untuk
pemeliharaan tekanan darah dan glukoneogenesis (dengan demikian julukannya
sebagai glukokortikoid). Ia memiliki pola sekresi diurnal: kadar yang sangat rendah
disekresikan dalam semalam, dan mereka mulai naik di pagi hari, dengan puncak
sekitar jam 8 pagi.

Aldosteron adalah hormon lain yang diproduksi oleh korteks adrenal. Ini juga
merupakan hormon steroid, dan peran fisiologisnya terbatas pada pemeliharaan
tekanan darah dengan ekspansi volume intravaskular melalui retensi natrium mineral
(sehingga
monikernya sebagai mineralokortikoid). Ekspansi volume dilakukan dengan produksi
enzim renin oleh ginjal sebagai respons terhadap aliran darah arteri ginjal yang
rendah. Renin mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang kemudian
diubah menjadi angiotensin II, stimulator vasoaktif dan kuat untuk produksi
aldosteron.

Hormon utama yang diproduksi oleh medula adalah epinefrin (adrenalin). Medula
adrenal biasanya bekerja sebagai respons terhadap, dan dalam hubungannya dengan,
aktivasi
sistem saraf simpatik. Ini adalah pusat dalam respons "lawan-atau-lari", dan produk
utamanya, epinefrin katekolamin, bekerja melalui rangkaian reseptor adrenergik (α1,
α2, β1, dan β2) yang secara khusus diekspresikan pada jaringan tertentu. Anehnya,
medula adrenal tidak penting untuk kehidupan, dan ketidakhadirannya tidak terkait
dengan keadaan penyakit tertentu.

Kelebihan Kortisol

Salah satu gangguan yang paling relevan secara klinis dari kelenjar adrenal adalah
kelebihan sekresi kortisol oleh kelenjar adrenal. atau sindrom Cushing.66 Pasien
memiliki wajah bulat (bulan) karena pipi penuh dan bantalan lemak temporal, dengan
penampilan plethoric yang sering dikaitkan dengan jerawat dan / atau hirsutisme.
Karena kortisol bekerja pada hampir setiap jaringan di tubuh, efek kelebihan kortisol
bersifat protean dan termasuk penumpukan lemak di area temporal-supraklavikular
dan dorsoserviks ("punuk kerbau"), peningkatan lemak perut dengan pengecilan otot
proksimal di lengan dan kaki ( “Lemon on sticks”), kehilangan integritas kulit dengan
mudah memar dan striae ungu, osteoporosis, ketidakteraturan menstruasi, dan
gangguan mood (depresi atau mania). Jika tidak diobati, sindrom Cushing berakibat
fatal. Ketika penyebab kelebihan kortisol secara spesifik disebabkan oleh adenoma
hipofisis yang memproduksi ACTH secara berlebihan (dan dengan demikian
kortisol), ini dikenal sebagai penyakit Cushing,penulis Harvey Cushing. Banyak dari
ciri-ciri lain, termasuk obesitas, hipertensi, dan intoleransi glukosa, umum terjadi
pada pasien yang tidak mengalami hiperfungsi adrenal, tetapi kelebihan
glukokortikoid harus dicurigai bila beberapa gejala ini berkembang secara bersamaan
dan terus meningkat keparahannya.

Tes tunggal terbaik untuk diagnosis sindrom Cushing adalah pengukuran kortisol
bebas urin, yang tidak terikat pada globulin pengikat kortisol (Tabel 12). Namun,
pengumpulan urin 24 jam tidak praktis dan seringkali tidak akurat. Oleh karena itu,
tes yang relatif sederhana dan akurat adalah tes deksametason semalam 1 mg. Satu
miligram deksametason diberikan di malam hari dan kortisol serum diukur di pagi
hari. Pada pasien dengan sekresi kortisol yang berlebihan, kortisol tidak akan
tertekan, karena seharusnya dalam keadaan fisiologis normal, dan kortisol pagi hari
akan> 50 nmol / L. Ekskresi kortisol urin 24 jam yang meningkat terkait dengan
konsentrasi ACTH yang normal atau tinggi biasanya mengindikasikan adenoma
kortikotrof, yang mengakibatkan penyakit Cushing. Kadang-kadang, produksi ACTH
adalah "ektopik", yaitu, dari tumor selain adenoma hipofisis, seringkali tumor
karsinoid bronkial. Jika ACTH tertekan atau tidak terdeteksi, hiperplasia kelenjar
adrenal atau tumor kelenjar adrenal adalah penyebabnya.

Perawatan utama untuk sindrom Cushing adalah operasi. Operasi transsphenoidal


dilakukan untuk penyakit Cushing, dan adrenalektomi diindikasikan jika kelebihan
kortisol berasal dari adrenal. Jika pembedahan tidak memungkinkan, sejumlah obat
dapat memblokir steroidogenesis adrenal, termasuk ketoconazole dan mitotane.

Adrenal Tidak Cukup

Insufisiensi adrenal dikenal sebagai penyakit Addison. Kekurangan kortisol


menyebabkan hilangnya nafsu makan, penurunan berat badan, energi rendah, dan
hipotensi dan dalam situasi stres dapat menyebabkan kolaps kardiovaskular dan
kematian. Insufisiensi adrenal dapat disebabkan oleh hilangnya fungsi hipofisis
(ACTH). Hal ini juga sering disebabkan oleh hilangnya jaringan adrenal karena
kerusakan autoimun (juga terkait dengan kandidiasis oral, terutama pada anak-anak
sebagai bagian dari kegagalan autoimun poliglandular) atau penggantian kelenjar
adrenal oleh sejumlah proses infiltratif (tumor, tuberkulosis, sarkoidosis). ,
hemochromatosis). Hiperpigmentasi, termasuk mukosa mulut, terjadi karena
hipersekresi kompensasi ACTH oleh kelenjar pituitari menyebabkan peningkatan
yang sama dalam sekresi hipofisis dari hormon perangsang melanosit.

Manifestasi Oral dari Gangguan Kelenjar Adrenal

a. Hyperadrenocorticism (Glucocorticoid Excess atau Cushing's Syndrome)

Ciri orofasial utama dari sindrom Cushing adalah wajah bulan bulat karena
pengecilan otot dan penumpukan lemak. Kapiler permukaan di wajah dan daerah
kulit lainnya menjadi rapuh, membuatnya mudah terserang hematomas setelah trauma
ringan. Kulit wajah memiliki warna kemerahan yang menstimulasi kesehatan
bercahaya; jerawat dan rambut wajah yang berlebihan (hirsutisme) sering terjadi.
Sindrom Cushing yang sudah berlangsung lama menghasilkan pertumbuhan dan
perkembangan yang tertunda, termasuk struktur rangka dan gigi. Banyak dari temuan
sistemik sindrom Cushing serupa dengan yang terlihat pada pasien yang
menggunakan terapi glukokortikoid dosis sedang hingga tinggi, dan pasien ini
dianggap mengalami penekanan kekebalan. Oleh karena itu, tanda dan gejala
imunosupresi oral dapat dilihat, termasuk kandidiasis oral, infeksi herpes labialis dan
herpes zoster berulang, penyakit gingiva dan periodontal, serta gangguan
penyembuhan luka.

b. Hypoadrenocorticism (Glukokortikoid Defisiensi atau Penyakit Addison)

Ciri orofasial utama dari penyakit Addison adalah pigmentasi kulit yang tidak biasa,
paling intens pada area yang terpapar sinar matahari. Di wajah, bintik-bintik dan tahi
lalat menjadi lebih intens, serta munculnya kulit seperti cokelat, kecuali bahwa
pigmentasi yang meningkat tidak akan hilang. Persimpangan mukokutan mengalami
peningkatan pigmentasi, termasuk bibir, tetapi dapat juga terjadi pada permukaan
mukosa intraoral seperti tepi gingiva, mukosa bukal, langit-langit, dan permukaan
lingual lidah. Pigmentasi mulut muncul sebagai bintik-bintik tidak beraturan yang
berkisar dari coklat pucat hingga abu-abu atau hitam. Pengobatan penyakit Addison
termasuk pemberian kortikosteroid. Hal ini meningkatkan risiko imunosupresi
dengan kerentanan bersamaan terhadap kandidiasis oral, infeksi herpes labialis dan
herpes zoster berulang,

Manajemen Gigi pasien dengan Gangguan Kelenjar Adrenal

a. Hyperadrenocorticism (Glucocorticoid Excess atau Cushing's Syndrome)

Penatalaksanaan gigi pada pasien dengan sindrom Cushing harus mempertimbangkan


kondisi medis yang menyertai yang meliputi mudah memar, gangguan penyembuhan
luka, osteoporosis, hipertensi, gagal jantung, DM, imunosupresi, dan depresi atau
psikosis. Pasien dengan sindrom Cushing dan mereka yang menjalani terapi
glukokortikoid dosis sedang hingga tinggi jangka panjang dianggap mengalami
gangguan sistem kekebalan dan lebih rentan terhadap infeksi. Cakupan antibiotik
harus dipertimbangkan untuk infeksi dentoalveolar atau operasi mulut terjadwal,
tetapi keputusan ini harus didasarkan pada kondisi mulut yang mendasari dan tidak
hanya pada terapi glukokortikoid.

Penilaian kemampuan untuk menahan stres merupakan komponen penting dari


manajemen gigi pasien dengan sindrom Cushing dan pasien lain yang telah menjalani
terapi glukokortikoid dosis sedang hingga dosis tinggi dalam jangka panjang. Stres
dapat disebabkan oleh prosedur bedah invasif, timbulnya infeksi, eksaserbasi
penyakit yang mendasari, atau peristiwa kehidupan yang serius, seperti kematian
anggota keluarga. Ketika individu normal mengalami stres, kadar kortisol plasma
dapat berlipat ganda, menunjukkan kemampuan yang melekat pada kelenjar adrenal
untuk meningkatkan produksi kortisol hingga 100%. Pada pasiendengan kekurangan
adrenal, fungsi adrenal tidak memadai untuk menghasilkan kortisol yang memadai
sebagai respons terhadap stres, dan pasien mungkin mengalami hipotensi berat, mual,
kejadian kardiovaskular, stroke, koma, dan kematian. Pasien dengan kekurangan
adrenal berat biasanya memerlukan remedikasi dengan glukokortikoid oral atau
intramuskular sebelum prosedur invasif. Dosis harus disetujui oleh dokter pasien;
rejimen yang sering dilakukan adalah menggandakan dosis harian glukokortikoid oral
sehari sebelum operasi dan pada hari operasi.

b. Hypoadrenocorticism (Glukokortikoid Defisiensi atau Penyakit Addison)

Penatalaksanaan gigi serupa dengan pasien yang telah mengonsumsi glukokortikoid


dosis sedang hingga tinggi dalam jangka panjang (lihat di atas) karena penyakit
Addison sering diobati dengan glukokortikoid eksogen. Praktisi kesehatan mulut
harus mampu mengenali dan memberikan manajemen awal dari krisis adrenal akut
(hidrokortison intramuskular atau intravena) saat merawat pasien ini.
DAFTAR PUSTAKA

Burket LW, Greenberg MS, Glick M, Ship JA, 2008, Burket’s Oral Medicine and
Treatment Planning 2nd edition, Ontario, BC Deckter Inc.

Anda mungkin juga menyukai