Anda di halaman 1dari 26

Buku Sejarah Sastra Indonesia

Pujangga Baru dan Sastra Masa Reformasi

Oleh :

Nama : Fiter Yopi Valendra

NIM : 210402080014

Angkatan Pujangga Baru


Angkatan Pujangga Baru merupakan salah satu bagian dari periodisasi sejarah sastra Indonesia.Angkatan
Pujangga Baru muncul pada 1930-an, tepatnya setelah periode Balai Pustaka.Sebutan Pujangga Baru
berawal dari majalah sastra dan budaya "Poedjangga Baroe", yang terbit 29 Juli 1933.Angkatan Pujangga
Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya
sastrawan pada masa itu, terutama karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran
kebangsaan.Banyak sastrawan Angkatan Pujangga Baru yang piawai dan membuat berbagai gebrakan
terhadap sastra Nama dan karya para sastrawan Angkatan Pujangga Baru pun terus dikenang hingga
sekarang.Berkat ikrar Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, lahir berbagai semangat baru yang
dikobarkan oleh kaum muda.Salah satunya adalah semangat dalam menggerakkan bidang budaya,
termasuk sastra.Angkatan Pujangga Baru merupakan salah satu bentuk perwujudan dari semangat
dalam menggerakkan bidang budaya.Pemberian nama Pujangga Baru berdasarkan penerbitan majalah
Poedjangga Baroe pada 1933.

Pelopor penerbitan majalah Poedjangga Baroe untuk pertama kalinya adalah Sutan Takdir Alisjahbana,
Amir Hamzah, dan Armijn Pane. Majalah Poedjangga Baroe juga diterbitkan karena banyak karya
sastrawan yang disensor oleh Balai Pustaka.Sebagian besar yang disensor adalah karya tulis yang
memiliki tema nasionalisme dan kesadaran bangsa. Oleh karena itu, majalah Poedjangga Baroe hadir
untuk dijadikan wadah para penulis untuk menyumbangkan karya sastra dan kebudayaan. lsi majalah
tersebut di antaranya adalah puisi, cerita pendek, roman, drama, esai, kritik sastra, dan telaah
kebudayaan. Adapun beberapa sastrawan yang termasuk dalam Angkatan Pujangga Baru di antaranya:

 Ali Hasymi
 J.E Tatengkeng
 H. B Jassin
 Sutan Takdir Alisyahbana
 Sanusi Pane
 Armijn Pane

Ali Hasymi

Ali Hasjmy adalah penyair yang lahir di Lampaseh, Aceh Besar dengan nama lengkap Moehammad Ali
Hasjim pada 28 Maret 1914. Dia dikenal dalam dunia sastra pertama kali sebagai penyair Pujangga Baru
dengan sajaknya berjudul "Menyesal" yang banyak dikenang. Dia dikenal juga sebagai pujangga yang
bergelar profesor, ahli agama, tokoh politik, pejuang kemerdekaan, sampai menjadi Gubernur Provinsi
Aceh (1957—1964), provinsi paling barat di Indonesia untuk dua kali masa jabatan. Ali Hasjmy
merupakan anak kedua dari delapan bersaudara. Ayahnya, Tengku Hasjim, adalah anak panglima
perang, Pang Abas, yang turut berperang melawan tentara kolonial Belanda dalam perang Aceh. Ali
Hasjmy meninggal di Banda Aceh, 18 Januari 1998 . Ali Hasjmy menikah dengan Zuriah Aziz tanggal 14
Agustus 1941. Saat itu ia berusia 27 tahun, sedangkan istrinya berusia 15 tahun. Mereka dikaruniai tujuh
orang anak.
Pada masa mudanya, Ali Hasjmy dikenal sangat aktif di organisasi kepemudaan. Tahun 1932—1935, ia
aktif di Himpunan Pemuda Islam Indonesia (HPII). Tahun 1935 ia mendirikan Sepia (Serikat Pemuda
Islam) yang kemudian berubah menjadi Pemuda Islam Indonesia. Pada awal tahun 1945 bersama
sejumlah pemuda, ia mendirikan Ikatan Pemuda Indonesia (IPI), suatu organisasi yang tujuan utamanya
untuk melawan kekuasaan penjajah. Selain aktif di berbagai organisasi kepemudaan, A. Hasjmy juga
aktif sebagai pegawai negeri. Dia pernah menjadi Kepala Jawatan Sosial Daerah Aceh, Kutaraja (1946—
1947) dan Inspektur Kepala Jawatan Sosial Sumatra Utara (1949). Tahun 1966, ia pensiun dini dari
pegawai negeri.

Setelah tidak lagi memegang jabatan di pemerintahan, A. Hasjmy diangkat sebagai Dekan Fakultas
Dakwah (Publistik), IAIN tahun 1968 dan tahun 1976 ia menjadi guru besar ilmu dakwah di IAIN Jami'ah
Ar-Raniry Darussalam. Tahun 1982, tepatnya bulan November, ia menjabat Rektor IAIN Jami'ah Ar-
Raniry Darussalam, Banda Aceh. Selain itu, ia juga pernah menjadi Ketua Lembaga Adat dan Kebudayaan
Aceh (LAKA), Ketua Majelis Ulama di Aceh, guru Perguruan Islam di Seulimeum, pemimpin umum Aceh
Shimbun, dan pemimpin umum Semangat Merdeka. Tahun 1969 menjadi Ketua Lembaga Sejarah Aceh.

Di bawah asuhan neneknya ia bersekolah di Montasik pada sekolah Belanda Government Inlandsche
School, sekolah dasar lima tahun. Sore hari ia belajar di sekolah agama semacam pesantren yang disebut
dayah, dan malam hari meneruskan belajar agama di meunasah. Pada tahun 1930 mengikuti ayahnya di
Seulimeun yang sepeninggal ibunya menikah lagi. Di sana ia melanjutkan sekolah di Tsanawiyah yang
ditamatkannya dalam tiga tahun. Kemudian, ia berangkat ke Padangpanjang untuk melanjutkan
sekolahnya di Tawalib School tingkat menengah selama tiga tahun. Di sekolah ini ia mulai berkenalan
dengan dunia jurnalistik dengan menjadi sekretaris redaksi majalah pelajar Kewajiban. Setamat sekolah
itu, ia kembali ke Seulimeun untuk mengajar selama tiga tahun di Tsanawiyah. Semangatnya untuk
belajar membawa ia ke Padang untuk meneruskan pendidikan di perguruan tinggi, yakni Al-Jamiah al-
Islamiyah Quism Adabul Lughah wa Tarikh al-Islamiyah (Perguruan Kebudayaan Islam). Ketika umurnya
menginjak usia 50 tahun, Ali Hasjmy kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Islam Sumatra Utara, Medan
tahun 1952—1953. Kebangkrutan usaha ayahnya menghentikan belajar di perguruan tinggi itu. Namun,
sejak itu kariernya sebagai pengarang dimulai dengan menulis untuk beberapa majalah di Jakarta dan
Medan seangkatan dengan Hamka, OR Mandank, dan A. Damhuri. Namanya semakin dikenal sebagai
penyair dan penulis cerpen melalui majalah Panji Islam, Pedoman Masyarakat dan Angkatan Baru.

Beberapa nama pena dipilihnya, seperti Al Hariri, Asmara Hakiki, dan Aria Hadiningsun. Pemakaian nama
pena pada saat itu amat biasa dan merupakan kelaziman. Sebagaimana berlaku pula untuk Amir
Hamzah, Armijn Pane, dan Hamka. Tahun 1936 terbitlah kumpulan sajaknya Kisah Seorang Pengembara
dan pada tahun 1938 kumpulan sajak Dewan Sajak. Kedua kumpulan sajak itu terbit di Medan tanpa
menghasilkan imbalan yang berarti. Baru pada tahun 1939 ia memperoleh imbalan yang layak dari dua
novelnya, yakni Bermandi Cahaya Bulan (1938) dan Melalui Jalan Raya Dunia (1939) yang juga
diupayakan oleh penerbit Medan. Karya-karya Ali Hasjmy antara lain, (1) Sayap Terkulai (novel, 1936),
(2) Suara Azan dan Lonceng Gereja (novel, 1948). H.B. Jassin menyebut Ali Hasjmy sebagai penyair Islam
dan penyair kebangsaan. Semangat kebangsaannya itu, antara lain terungkap dalam sajak yang berjudul
"Sawah" yang dengan halus menyindir nasib Indonesia di bawah penjajahan orang Belanda yang
mengangkut kekayaan Indonesia ke negerinya.

J. E Tatengkeng

J.E. Tatengkeng adalah salah seorang penyair angkatan Pujangga Baru bersama-sama dengan Sutan
Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Armijn Pane, dan beberapa penyair lain. Dibandingkan
dengan kawan-kawan penyair seangkatannya, J.E. Tatengkeng atau yang sering disapa dengan nama
Oom Jan ini memiliki keunikan tersendiri, karena ia merupakan satu-satunya penyair Kristen yang
menampilkan sisi religi dalam karya-karyanya. Salah satu karyanya yang sangat terkenal adalah buku
kumpulan puisi berjudul "Rindu Dendam" yang memuat 32 sajak hasil karyanya. Penyair bernama
lengkap Jan Engelbert Tatengkeng ini lahir di Kolongan, Sangihe, Sulawesi Utara pada tanggal 19 Oktober
1907. Latar belakang Kristiani-nya yang kental sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempatnya dilahirkan
dan dibesarkan. Masyarakat di sana adalah penganut Kristen yang taat. Terlebih lagi, ayahnya seorang
guru Injil sekaligus seorang kepala sekolah zending.

J.E. Tatengkeng termasuk orang yang beruntung karena mampu mengenyam pendidikan di zaman itu.
Ia memulai pendidikannya di sebuah sekolah Belanda, HIS, di Manganitu. Ia kemudian meneruskannya
ke Christelijk Middagkweekscool atau Sekolah Pendidikan Guru Kristen di Bandung, Jawa Barat. Setelah
itu ia bersekolah di Christelijk Hogere Kweekschool atau Sekolah Menengah Tinggi Pendidikan Guru
Kristen di Solo, Jawa Tengah. Pada masa bersekolah ini, J.E. Tatengkeng mulai berkenalan dengan
"Tachtigers", sebuah aliran kesusastraan Belanda yang disebut juga sebagai Angkatan 80-an. Aliran
kesusastraan inilah yang kemudian banyak mempengaruhinya. Namun Tatengkeng tidak serta merta
menelan mentah-mentah faham dari aliran tersebut. J.E. Tatengkeng tidak sependapat dengan Jacques
Perk yang menyatakan seni adalah segala-galanya. Dalam sebuah tulisannya, "Penyelidikan dan
Pengakuan" (1935), Tatengkeng menulis, "Kita tidak boleh menjadikan seni itu Allah. Akan tetapi,
sebaliknya, janganlah kita menjadikan seni itu alat semata-mata. Seni harus tinggal seni." Bagi
Tatengkeng, seni adalah gerakan sukma, "Gerakan sukma yang menjelma ke indah kata! Itulah seni
bahasa!," katanya.

Dari sajak-sajak karyanya, kita bisa sedikit mengetahui jalan hidup yang ditempuh Tatengkeng dalam
mencari kebenaran hakiki. Kedekatannya dengan aliran kesusastraan Tachtigers dari Belanda membawa
pengaruh pemikiran budaya barat dalam hidupnya. Namun Tatengkeng tidak bisa menemukan
kebenaran yang ia cari di sana. Akhirnya, alam menjadi pelarian Tatengkeng. Pada beberapa karyanya, ia
menggambarkan alam dengan begitu indahnya, yang mengungkapkan kedekatan dan kekagumannya
pada alam. Meskipun alam telah menjadi tempat pelariannya dalam usaha menemukan kebenaran,
namun kebenaran masih menjadi misteri. Di kawanan awan, di warna bunga yang kembang, pada
gunung, dan pada bintang, tetap saja Tatengkeng belum merasa berhasil menemukan kebenaran hakiki.
Dalam perjalanan hidupnya, ia menyadari dan meyakini bahwa kebenaran itu hanya ada pada Allah
semata. Ia mencari jawaban akan kebenaran yang dicarinya di berbagai tempat: di mata air, di dasar
kolam, di kawanan awan, di indahnya bunga, gunung, dan bintang. Sampai ia berseru kepada Allah yang
Mahatinggi. Gambaran itu dapat kita temui dalam sajaknya: "Kucari Jawab".
Selain sebagai seorang penyair, J.E. Tatengkeng juga seorang negarawan. Ia pernah menjabat sebagai
Perdana Menteri Nusa Tenggara Timur ke empat pada rentang tahun 1949-1950. Jabatan ini
menunjukkan bahwa Tatengkeng juga sangat aktif di dunia politik. Sayangnya tidak banyak catatan-
catatan yang merekam aktivitas-aktivitasnya yang lain di bidang politik-kenegaraan.Kegiatan lain yang
sering digeluti J.E. Tatengkeng adalah aktivitas di dunia pendidikan. Ia adalah seorang guru yang pernah
menjadi kepala sekolah di daerah Papua, dan juga tercatat sebagai salah seorang pendiri Fakultas Sastra
Universitas Hassanuddin Ujung Pandang atau Makassar. Sampai saat ini, di Makassar ada diskusi ilmiah
dan baca puisi yang cukup rutin digelar untuk peringatan akan jasa-jasa Jan Engelbert Tatengkeng di
dunia sastra, pendidikan, dan kenegaraan yang dulu digelutinya.

Karir

Sastrawan (angkatan Pujangga Baru)

Perdana Menteri NTT (27 Desember 1949 - 14 Maret 1950)

Penghargaan

Buku kumpulan puisi:

"Rindu Dendam". 1934. Solo: Chr. Derkkerij "Jawi" (Memuat 32 buah sajak)

Puisi yang termuat di majalah Pujanga Baru:

"Hasrat Hati", "Anak Kecil", "Laut", "Beethoven", "Petang", "Alice Nahon", "O, Bintang", "Gambaran",
"Sinar dan Bayang", "Katamu Tuhan", "Sinar di Balik", "Willem Kloos", "Tangis".

Puisi yang termuat di majalah lain:

"Anak Kecil", "Penumpang kelas 1", "Gadis Bali", "Aku Berjasa", "Gua Gaja", "Cintaku", "Ke Balai",
"Mengheningkan Cipta", "Sekarang Ini", "Aku dan Temanku", "Sinar dan Bayang", "Kepada Dewan
Pertimbangan Kebudayaan", "Aku Dilukis", "Sang Pemimpin (Waktu) Kecil", "Bertemu Setan".

Prosa:

"Datuk yang Ketularan", "Kemeja Pancawarna", "Prawira Pers Tukang Nyanyi", "Saya Masuk Sekolah
Belanda", "Sepuluh Hari Aku Tak Mandi".

H. B Jassin

pada masa 80-an, ada sebuah penerbit bernama CV Haji Masagung. Penerbit itu telah mencetak,
menerbitkan, dan mengedarkan buku-buku.Salah satunya Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (cetakan
kedua, 1987) garapan H.B. Jassin. Buku hadir menyapa pembaca, tanpa diam dan bisu. Buku setebal 358
halamanberisi pelbagai prosa dan puisi, bahkan esai. Karya-karyaitu ‘bersuara’ ketika pembaca
membuka, menapaki halaman-halamanbuku, baik sekilas atau lama.Kesusasteraan (dan) Indonesia di
periode Pujangga Baru pun mulai terasa dan mengental.Pembaca bisa mengetahuipenyair, prosais,
esais, telah ada di ‘Pujangga Baru’ itu,sepertiN. Adil, M. Taslim Ali,Rustam Effendi, Asmara Hadi,
Hamidah, G.S. Lalanang, A. Hasjmy, Mozasa, Armijn Pane, Selasih, Muhammad Yamin, Abdul Rivai, dan
beberapasastrawan belum bisa tersebutkan di sini.Sebagian besar merupakan sastrawan dengan
tulisannya pernah dimuat di majalah Pujangga Baru, terbit mulai Juli 1933.

Oleh HB. Jassin, majalah itu, di tahun-tahun kemudian menyebarkan dan memperjuangkan cita-cita
Pujangga Baru mengenai kesusastraan dan kebudayaan. Dan, penerbitan Pujangga Baru adalah realisasi
dari hasrat untuk menyatukan tenaga cerai berai pengarang-pengarang Indonesia yang sebelumnya
telah kelihatan hasil-hasilnya dalam berbagai majalah. Pujangga Baru pun bermaksud akan semata-mata
mementingkan kesusastraan dan bahasa dan “mengikat serta memberi pimpinan pada pujangga yang
cerai berai” (hal. 3-4).

Paparan Jassin mengenai majalah (dan) Pujangga Baru bernafas panjang. Nafas menyimak pembaca
akan penjelasanJassinkemudian teralihkan ke halaman-halaman prosa, puisi, dan esai dalam buku.
Halaman-halaman tersebut melukiskan semangat romantik. Kerinduan, kesunyian, pengembaraan—
termasuk pengembaraan bahasa dalam Pujangga Baru dapat disimak pembaca, seperti nukilan puisinya
Rifai Ali berjudul Menjelang Pagi sebagai berikut:

Sunyi sepi seram dan kelam,

Dalam suhur di ujung malam,

Nyenyak terhenyak insan bertilam.

Tiada berbalas desiram alam

Silu nesan dipuput bayu,

Tersenak keluh angin mendayu.

Tiada seorang mendengar rayu,

Hanyalah daun berdesih sayu

Dan mengenai bahasa-bahasa parasastrawan—tak hanya Rifai Ali—di Pujangga Baru, ternyata mendapat
reaksi hebat dari pihak guru-guru bahasa Melayu. Menurut pemaparan Jassin lagi, Pujangga Baru
dituduh merusak bahasa Melayu karena memasukkan kata-kata yang tidak lazim dalam bahasa Melayu
(sekolah). Misalnya mereka keberatan terhadap pengambilan kata-kata daerah dan kata-kata asing yang
tambah banyak dipergunakan dengan sadar oleh pembaru bahasa golongan Pujangga Baru (hal. 8).
Di sisi lain, ketika berada di halaman-halaman buku ini, baik sekilas atau cukup lama, pembaca akan
mengetahui dan memperhatikan, bahwa karya-karya mereka tersajikan, ditujukan pada pembaca,
teman, alam, atau Sang Pencipta. Hal ini seperti nukilan puisi Teratai garapan Sanusi Pane, ditujukan
kepada Ki Adjar Dewantara—tokoh nasional di ranah pendidikan.

Dalam kebun di tanah airku

Tumbuh sekuntum bunga teratai;

Tersembunyi kembang indah permai.

Tidak terlihat orang yang lalu.

Akarnya tumbuh di hati dunia,

Daun berseri Laksmi mengarang.

Biarpun ia diabaikan orang,

Seroja kembang gemilang mulia.

Sutan Takdir Alisjahbana

pengarang Indonesia yang banyak berorientasi ke dunia Barat. Dia mengatakan bahwa otak Indonesia
harus diasah menyamai otak Barat. Walaupun banyak ditentang orang, Sutan Takdir Alisjahbana tetap
dengan pendiriannya itu. Sutan Takdir Alisjahbana lahir di Natal, Tapanuli, Sumatra Utara, tanggal 11
Februari 1908, dan meninggal tanggal 31 Juli 1993. Jenazahnya dimakamkan di sebuah bukit di sekitar
Bogor.Sutan Takdir Alisjahbana menempuh pendidikan dasar di HIS Bengkulu. Setelah tamat dari HIS, ia
melanjutkan pendidikan ke Kweekschool di Bukittinggi kemudian ia pindah ke Lahat, lalu ke Muara Enim.
Setelah menamatkan pendidikan di Kweekschool, ia melanjutkan sekolahnya ke Hogere Kweekschool
(HKS) Bandung tahun 1925--1928. Pendidikan yang dijalaninya di Bandung itu adalah pendidikan guru.
Tahun 1931 ia mengikuti pendidikan di Hoofdacte Cursus Jakarta, sejenis pendidikan guru, dan tamat
tahun 1933. Tahun 1937 ia mengikuti kuliah di Rechtshcogeschool (Sekolah Hakim Tinggi) Jakarta dan
tamat tahun 1942. Di samping itu, tahun 1940 ia mengikuti kuliah di Fakultas Sastra, Universiteit van
Indonesie, program studi Ilmu Bahasa Umum, Filsafat Asia Timur dan tamat tahun 1942. Tahun 1979
Sutan Takdir Alisjahbana mendapat gelar Doctor Honoris Causa untuk Ilmu Bahasa dari Universitas
Indonesia dan tahun 1987 mendapat gelar Doctor Honoris Causa untuk Ilmu Sastra dari Universiti Sains
Malaysia.

Sutan Takdir Alisjahbana mulai bekerja sebagai guru sekolah dasar (Hollandsch Inlandsche School) di
Palembang, Sumatra Selatan, tahun 1928—1929. Setelah dua tahun mengajar, tahun 1930 ia pindah ke
Jakarta. Dia menjabat redaktur kepala pada Penerbit Balai Pustaka dan pimpinan majalah Pandji
Poestaka tahun 1930—1942. Tahun 1942—1945 ia bertugas sebagai penulis ahli dan anggota Komisi
Bahasa Indonesia, Jakarta. Tahun 1945—1950 menjabat Ketua Komisi Bahasa Indonesia. Dalam tahun-
tahun itu, ia juga menjabat Ketua Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan kemudian ia ddiangkat
sebagai guru dan Direktur SMA Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan. Tahun 1946—1948 ia
bertugas sebagai dosen di Universitas Indonesia untuk mata kuliah Bahasa Indonesia, Sastra , dan
Sejarah Kebudayaan. Setelah mendirikan Universitas Nasional, ia menjabat rektor universitas itu. Di
samping itu, ia menjabat guru besar luar biasa di Akademi Luar Negeri, Jakarta, guru besar di Universitas
Andalas, guru besar di Akademi Jurnalistik, guru besar di University of Malaya, Kuala Lumpur, dosen di
Fakultas Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dan dosen di Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah, Ciputat, Jakarta.

Tahun 1933 Sutan Takdir Alisjahbana mendirikan dan menerbitkan majalah Poedjangga Baroe bersama-
sama dengan Amir Hamzah dan Armijn Pane. Majalah ini menyuarakan pembaharuan sastra. Sutan
Takdir Alisjahbana menampilkan beberapa tulisan yang berorientasi pada pendiriannya itu, yaitu
pembaruan ala Barat. Sutan Takdir Alisjahbana beragama Islam. Sampai akhir hayatnya ia telah beristri
tiga kali. Tahun 1929 ia menikah dengan Raden Ajeng Rohani Daha. Dari pernikahannya itu, mereka
memperoleh tiga orang anak, yaitu Samiati, Iskandar, dan Sofyan. Raden Ajeng Rohani Daha meninggal
dunia tahun 1935. Tahun 1941 Sutan Takdir Alisjahbana menikah dengan Raden Roro Sugiarti. Dari
pernikahan itu, mereka memperoleh dua orang anak, yaitu Mirta dan Sri Artaria. Raden Roro Sugiarti
meninggal dunia tahun 1952 di Los Angeles. Tahun 1993 Sutan Takdir Alisjahbana menikah lagi dengan
Dr. Margaret Axer di Bonn, Jerman Barat. Dari pernikahannya itu, mereka memperoleh anak empat
orang, yaitu Tamalia, Marita, Marga, dan Mario.

Karya Sutan Takdir Alisjahbana yang berupa novel, antara lain Tak Putus Dirundung Malang (Balai
Pustaka, 1929) dan Layar Terkembang. Dia juga menulis puisi, antara lain Tebaran Mega(kumpulan puisi)
dan esai sastra, antara lain Kebangkitan Puisi Baru Indonesia. Tulisannya yang berhubungan dengan
masalah bahasa, misalnya Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia dan Dari Perjuangan dan Pertumbuhan
Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Modern (kumpulan karangan tentang bahasa Indonesia). Dia juga
menulis masalah kebudayaan, yakni Polemik Kebudayaan (Balai Pustaka, Edisi III, 1977) dan
Perkembangan Sejarah Kebudayaan Dilihat dari Jurusan Nilai-Nilai (Idayu, edisi II, 1977).

Salah satu karangannya yang menjadi pemicu terjadinya polemik pada tahun 1936 dan dimuat dalam
buku kumpulan karangan yang disunting oleh Achdiat K. Mihardja berjudul Polemik Kebudayaan. Selain
itu, ia juga menulis masalah filsafat, seperti Pembimbing ke Filsafat (Dian Rakyat, 1945) dan Kelakuan
Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (Dian Rakyat, 1983). Sutan Takdir juga menulis masalah
pendidikan, antara lain Museum Sebagai Alat Pendidikan (Dian Rakyat, 1954). Artikelnya dalam bidang
seni, antara lain "Perkembangan Seni Indonesia dan Kebudayaan yang sedang Tumbuh". Artikelnya
dalam masalah sosial, antara lain "Pemandangan dalam Dunia Surat Kabar" (Pandji Poestaka, Tahun. VII,
1930). Artikelnya dalam masalah agama, antara lain "Pembangunan Ekonomi dan Etik Ekonomi Islam"
(Ilmu dan Budaya, Thn IV, No. 3, April 1982). Sutan Takdir juga menulis artikel tentang sejarah, seperti
"Gandhi, Perlawanan Mengalah di Inia" (Pandji Poestaka", Tahun. VIII, No. 41, 1930).

Berbagai tanggapan terhadap peran Sutan Takdir Alisjahbana dalam memajukan dan mengembangkan
kesusastraan di Indonesia, antara lain dikemukakan oleh H.B. Jassin dalam Kesusastraan Indonesia
Modern dalam Kritik dan Esai I (1985). H.B Jassin secara tidak langsung mengakui kedudukan Sutan
Takdir Alisjahbana sebagai pemberi arah perkembangan kesusastraan Indonesia. Sementara itu,
Pamusuk mengatakan bahwa di samping sebagai sastrawan, Sutan Takdir Alisjahbana juga dikenal
sebagai pemikir, dalam hal ini pemikir kebudayaan yang kontroversial karena pemikirannya sering tidak
diterima umum atau bertentangan dengan pendapat umum yang berlaku.

Berikut sejumlah karya Sutan Takdir Alisjahbana (1) Tak Putus Dirundung Malang (novel), diterbitkan di
Jakarta oleh Balai Pustaka tahun 1929 dan edisi ke-10 dicetak oleh Dian Rakyat tahun 1989, (2) Dian
yang Tak Kunjung Padam (novel) diterbitkan oleh Balai Pustaka, 1932, dan edisi ke-10 dicetak oleh Dian
Rakyat tahun 1989, (3) Layar Terkembang (novel) diterbitkan oleh Balai Pustaka, tahun 1937, dan edisi
ke-20 dicetak oleh Balai Pustaka tahun 1990, (4) Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel) diterbitkan
oleh Balai Pustaka tahun 1940, dan edisi ke-10 dicetak oleh Dian Rakyat tahun 1989, (5) Tebaran Mega
(kumpulan puisi) diterbitkan oleh Pustaka Rakyat tahun 1935 dan dicetak ulang tahun 1963, (6) Puisi
Lama (kumpulan dan komentar tentang puisi Indonesia Klasik) diterbitkan Dian Rakyat tahun 1946, dan
edisi ke-6 oleh Dian Rakyat tahun 1975, (7) Puisi Baru (kumpulan dan komentar tentang puisi Indonesia
modern) diterbitkan oleh Dian Rakyat, Jakarta, tahun 1946, dan edisi ke-7 oleh Dian Rakyat tahun 1975,
(8) Grotta Azzura, Kisah Cinta dan Cita (novel) diterbitkan oleh Dian Rakyat tahun 1970 dan edisi ke-3
oleh Dian Rakyat tahun 1990, (9) Kalah dan Menang (novel) tahun 1978, (10) Lagu Pemacu Ombak
(kumpulan puisi) tahun 1978. Organisasi profesi internasional yang diikuti oleh Sutan Takdir Alisjahbana,
antara lain (1) Committee of Directors of the International Federation of Philosophical Societies di
Brussel (1954—1959), (2) Societe de Linguistique du Paris (1951—1994), dan (3) World Futures Studies
Federation, Roma (1974—1994), dan (4) Koninklijk Institute voor Taal-Land-en Volkenkunde (KITLV)
Belanda (1976—1994). Sutan Takdir Alisjahbana juga tercatat sebagai ketua Akademi Jakarta yang
pertama. Sutan Takdir Alisjahbana mendapat anugerah dari Kaisar Jepang The Order of Sacred Treasure,
Gold and Scheer untuk karyanya Kalah dan Menang.

Sanusi Pane

Sanusi Pane adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru yang karya-karyanya banyak
diterbitkan antara tahun 1920-an sampai dengan 1940-an.Sanusi Pane lahir di Muara Sipongi, Sumatera
Utara, pada 14 November 1905. Ia adalah anak dari Sutan Pengurabaan Pane, seorang guru dan seniman
Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Di antara delapan bersaudara, selain dirinya ada
juga yang menjadi tokoh nasional, yaitu Armijn Pane yang juga menjadi sastrawan, dan Lafran Pane yang
merupakan pendiri organisasi pemuda Himpunan Mahasiswa Islam.

Semasa mudanya, Sanusi Pane menempuh pendidikan formal di HIS dan ELS di Padang Sidempuan,
Sumatera Utara. Pendidikannya selanjutnya adalah di MULO di Padang dan Jakarta, yang
diselesaikannya tahun 1922. Ia lalu melanjutkan di Kweekschool (sekolah guru) di Gunung Sahari, yang
selesai pada tahun 1925. Ia lalu mengajar di sekolah tersebut, sebelum dipindahkan ke Lembang dan
menjadi HIK. Ia juga sempat kuliah di Rechtshogeschool dan mempelajari Ontologi. Pada antara tahun
1929-1930, ia berkesempatan mengunjungi India, yang selanjutnya akan berpengaruh besar terhadap
pandangan kesusastraannya.
Sekembalinya dari India, Sanusi Pane menjadi redaksi majalah "Timbul" yang berbahasa Belanda. Ia
mulai menulis berbagai karangan kesusastraan, filsafat dan politik, sementara tetap mengajar sebagai
guru. Karena keanggotaannya dalam PNI, tahun 1934 ia dipecat. Ia kemudian pemimpin sekolah dan
guru di sekolah-sekolah milik Perguruan Rakyat di Bandung dan Jakarta. Tahun 1936 Sanusi Pane
menjadi pemimpin suratkabar Tionghoa-Melayu "Kebangunan" di Jakarta; dan tahun 1941 ia menjadi
redaktur Balai Pustaka.

Dalam bidang kesusastraan, Sanusi Pane seringkali dianggap sebagai kebalikan dari Sutan Takdir
Alisjahbana. Sanusi Pane mencari inspirasinya pada kejayaan budaya Hindu-Budha di Indonesia pada
masa lampau. Perkembangan filsafat hidupnya itu, sampailah kepada sintesis Timur dan Barat,
persatuan jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, serta idealisme dan materialisme; yang tercermin
dalam karyanya "Manusia Baru", yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1940.

Sanusi Pane cukup produktif dalam menghasilkan karya kesusastraan, diantaranya sebagai berikut:

 Pancaran Cinta (1926)


 Prosa Berirama (1926)
 Puspa Mega (1927)
 Kumpulan Sajak (1927)
 Airlangga (drama berbahasa Belanda, 1928)
 Eenzame Garoedavlucht (drama berbahasa Belanda, 1929)
 Madah Kelana (1931)
 Kertajaya (drama, 1932)
 Sandhyakala Ning Majapahit (drama, 1933)
 Manusia Baru (drama, 1940)
 Kakawin Arjuna Wiwaha (karya Mpu Kanwa, terjemahan bahasa Jawa Kuno, 1940)

Armijn Pane

Armijn Pane adalah seorang sastrawan angkatan Pujangga Baru. Ia juga merupakan salah satu tokoh
pendiri majalah Pujangga Baru (1933). Armijn dilahirkan di Muara Sipongi (Sumatera Utara), 18 Agustus
1908 dan meninggal di Jakarta, 16 Februari 1970. Ia adalah adik sastrawan Sanusi Pane. Armijn
mengenyam pendidikan di HIS dan ELS (Tanjung Balai, Sibolga dan Bukit Tinggi), STOVIA Jakarta (1923),
NIAS Surabaya (1927), dan AMS-A Solo (tamat 1931).

Ia pernah menggeluti berbagai profesi, antara lain sebagai wartawan di Surabaya, guru taman siswa di
Kediri, Malang dan Jakarta; Sekretaris dan redaktur Pujangga Baru (1933-1998); redaktur Balai Pustaka
(1936); Ketua Bagian Kesusasteraan Pusat Kebudayaan (1942-1945); Sekretaris BMKN (1950-1955), dan
redaktur majalah Indonesia (1948-1955).

Selain menulis puisi dan novel, Armijn Pane juga menulis kritik sastra. Berbagai tulisannya yang terbit
pada Pujangga Baru, terutama di edisi-edisi awal menunjukkan wawasannya yang sangat luas. Apabila
dibandingkan dengan beberapa kontributor lainnya seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan saudara laki-
lakinya Sanusi Pane, kemampuan menilai dan menimbang yang adil dan tidak terlalu terpengaruhi
suasana pergerakan nasionalisme yang terutama di periode akhir Pujangga Baru menjadi sangat politis
dan dikotomis.

Novelnya, Belenggu (1940), banyak mengundang perdebatan di kalangan pengamat dan penelaah sastra
Indonesia. Karyanya yang lain: Jiwa Berjiwa (ks, 1939), Kort overzicht van de Moderne Indonesische
literatuur (1949), Mencari Sendi Baru Tata Bahasa Indonesia (1950), Jalan Sejarah Dunia (1952), Kisah
Antara Manusia (kc, 1953), Jinak-Jinak Merpati (kd, 1953), Sanjak-Sanjak Muda Mr. Muhammad Yamin
Ca, 1954), dan Gamelan Jiwa (kc, 1960). Terjemahannya: Tiongkok Zaman Baru, Sejarahnya: Abad ke-19
sampai Sekarang (1953), Membangun Hari Kedua (n Ilya Ehrenburg, 1956), dan Habis Gelap Terbitlah
Terang (karya R.A. Kartini, 1968). Sadurannya: Ratna (d Hendrick Ibsen, Nora; 1943). Ia termasuk salah
satu pendiri majalah Pujangga baru.

Prof. Dr. Teeuw menyatakan bahwa Armin Pane adalah pelopor angkatan '45. Dr. H.B. Jassin menilai
bahwa bentuk prosa dan puisi Armijn Pane memperlihatkan gaya Impresionist. Sedangkan sastra
angkatan '45 banyak menunjukkan gaya Ekspresionist. Gaya Impresionist banyak ditemukan terutama
dalam sajak-sajaknya seperti novel Belenggu yang menurut H. B. Yassin merupakan karya sastra modern
Indonesia yang pertama menggambarkan kehidupan kaum intelektual sebelum zaman perang
kemerdekaan.

Pada novelnya yang bertajuk Belenggu memperlihatkan gaya romantisme, membangkitkan suasana dan
perasaan yang mengalun dan bergantian dalam ritme yang terpola dengan suasana lain yang sendu
bahkan cenderung sedih. Karya-karya Armin Pane memperlihatkan banyak pengaruh Noto Soeroto,
Rabindranath Tagore, Dan Krisnamurti. Warna dan ritme kesusastraan Belanda pada abad ke-19 juga
banyak mempengaruhi karya-karyanya.Tahun 1969 Armijn Pane menerima Anugerah Seni dari
pemerintah RI karena karya dan jasanya dalam bidang sastra. Pada bulan Februari 1970, beberapa bulan
setelah menerima penghargaan tersebut, ia meninggal.

Ada empat hal yang menjadi ciri dari angkatan ini:

1. berbahasa Indonesia

Salah satu ciri yang dimunculkan dalam Angkatan Pujangga Baru ini menggunakan bahasa
Indonesia.Pengunaan bahasa Indonesia sebagai komunikasi yang digunakan oleh pengarang sebagai
bentuk penyampaian yang memberikan pemahaman terhadap pembaca agar dapat paham dan
mengerti dari cerita yang diangkat.Isi cerita dalam bahasa Indonesia sebagai perkembangan dari
angkatan Balai Pustaka. Jika karya sastra yang dihasilkan pada angkatan Balai Pustaka masih ada
pengaruh dari bahasa daerah (melayu) sangat berbeda dengan angkatan Pujangga Baru ini yang
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu untuk rakyat.

2. kehidupan yang diceritakan seputar masyarakat kota


Kehidupan masyarakat kota dikembangkan dalam cerita dengan cara yang rinci, lengkap,
detail.Menceritakan masyarakat kota dalam Angkatan Pujangga Baru ini memiliki ketertarikan tersendiri.
Hal itu karena ada banyak karakter tokoh yang dapat dimunculkan dalam hal ini.Cerita yang
dimunculkan oleh tokoh sastrawan, Sultan Takdir Alisyahbana sangat kuat dengan penceritaan
masyarakat kota yang penuh dengan intrik dan masalah.Masyarakat kota menceritakan sekelumit hidup
yang lebih kompleks dibandingkan dengan masyarakat desa.Banyak persaingan yang kuat di kota
menjadikan masyarakat harus lebih tangguh dari masyarakat desa.Banyak cerita yang dapat digali dalam
penceritaan masyarakat kota ini. Dan tentunya tema yang diangkat akan lebih berkembang dengan
permasalahan yang dialami oleh masyarakat kota.

3. dipengaruhi budaya barat

Angkatan Pujangga Baru kuat akan pengaruh dari budaya barat. Banyaknya sastrawan yang belajar ke
luar negeri dan juga bacaan dari kesusastraan barat memengaruhi penulisan dalam karya sastra yang
ditulisnya.Proses kreatif yang dilakukan oleh para sastrawan memberikan gambaran bahwa sastrawan
banyak dipengaruhi oleh budaya barat.Isi dari karya sastra yang dituliskan oleh sastrawan menjadi
kekuatan bercerita dengan pengaruh barat yang dapat dikembangkan dengan lebih dinamis.Para
sastrawan memiliki kekuatan dengan pengalamannya dari isi cerita dengan sangat lihai dan tidak
tersekat-sekat oleh kekakuan pengisahan cerita.Cerita yang diangkat tentunya cerita keseharian yang
sangat kuat dengan masalah yang terjadi pada masyarakat kota pada umumnya.Termasuk tema-tema
yang sudah pasti berkaitan dengan masalah kota yang dapat didasarkan oleh latar perkantoran, sekolah,
tempat tinggal dll.

logo

nasional

Home Nasional

Angkatan Pujangga Baru: Ciri dan Karakteristik yang Harus Dipahami Oleh Siswa di Sekolah

Muhammad Kamal

Selasa, 18 Januari 2022 | 20:30 WIB

Ciri dan karakteristik angkatan punjaga baru Indonesia (Pikiran Rakyat)

Ciri dan karakteristik angkatan punjaga baru Indonesia (Pikiran Rakyat)


URBANBOGOR.COM-Angkatan pujangga baru menjadi angkatan yang mengandalkan keahlian bagi para
sastrawan dengan memiliki tema-tema yang dipengaruhi oleh budaya barat. Dilansir oleh
urbanbogor.com dari scribd.com dan berbagai sumber.

Angkatan pujangga baru sebagai angkatan sastra intelektual karena pengaruh budaya barat serta
berkaitan dengan masyarakat kota. Pujangga baru menjadi angkatan setelah angkatan Balai Pustaka
yang kuat akan tradisi.

Angkatan pujangga baru menjadi tonggak sebagai "Bapak" sastra modern memiliki kelebihan sebagai
sastra yang berintelektual, nasiona listis, dan elitis yang dipelopori oleh Sultan Takdir Alisyahbana,
Armijn Pane, dan Amir Hamzah.

Baca Juga: Unsur Pembangun Puisi atau Unsur Batin: Materi Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas X
Semester Genap

Para tokoh sastrawan Pujangga Baru merupakan tokoh yang tangguh dalam berkarya. Karya-karya yang
dibuatnya begitu mewarnai khazanah kesusastraan Indonesia yang terus berkembang dari zaman ke
zaman.

Siswa harus paham dan mengerti pembeda angkatan Pujangga Baru dengan angkatan Balai Pustaka
yang sebelumnya telah dibahas.

Seperti ciri yang dimunculkan dalam Angkatan Pujangga Baru karena dipengaruhi oleh adanya majalah
yang dinamai Pujangga Baru.

Ada empat hal yang menjadi ciri dari angkatan ini:

1. berbahasa Indonesia

Salah satu ciri yang dimunculkan dalam Angkatan Pujangga Baru ini menggunakan bahasa Indonesia.
Pengunaan bahasa Indonesia sebagai komunikasi yang digunakan oleh pengarang sebagai bentuk
penyampaian yang memberikan pemahaman terhadap pembaca agar dapat paham dan mengerti dari
cerita yang diangkat.

Isi cerita dalam bahasa Indonesia sebagai perkembangan dari angkatan Balai Pustaka. Jika karya sastra
yang dihasilkan pada angkatan Balai Pustaka masih ada pengaruh dari bahasa daerah (melayu) sangat
berbeda dengan angkatan Pujangga Baru ini yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pemersatu untuk rakyat.

Baca Juga: Catat! Ini Manfaat Menulis Buku Harian, Salah Satunya Dapat Mengurangi Stres

2. kehidupan yang diceritakan seputar masyarakat kota

Kehidupan masyarakat kota dikembangkan dalam cerita dengan cara yang rinci, lengkap, detail.

Menceritakan masyarakat kota dalam Angkatan Pujangga Baru ini memiliki ketertarikan tersendiri. Hal
itu karena ada banyak karakter tokoh yang dapat dimunculkan dalam hal ini.

Cerita yang dimunculkan oleh tokoh sastrawan, Sultan Takdir Alisyahbana sangat kuat dengan
penceritaan masyarakat kota yang penuh dengan intrik dan masalah.

Masyarakat kota menceritakan sekelumit hidup yang lebih kompleks dibandingkan dengan masyarakat
desa.

Banyak persaingan yang kuat di kota menjadikan masyarakat harus lebih tangguh dari masyarakat desa.

Banyak cerita yang dapat digali dalam penceritaan masyarakat kota ini. Dan tentunya tema yang
diangkat akan lebih berkembang dengan permasalahan yang dialami oleh masyarakat kota.
3. dipengaruhi budaya barat

Angkatan Pujangga Baru kuat akan pengaruh dari budaya barat. Banyaknya sastrawan yang belajar ke
luar negeri dan juga bacaan dari kesusastraan barat memengaruhi penulisan dalam karya sastra yang
ditulisnya.Proses kreatif yang dilakukan oleh para sastrawan memberikan gambaran bahwa sastrawan
banyak dipengaruhi oleh budaya barat.Isi dari karya sastra yang dituliskan oleh sastrawan menjadi
kekuatan bercerita dengan pengaruh barat yang dapat dikembangkan dengan lebih dinamis.Para
sastrawan memiliki kekuatan dengan pengalamannya dari isi cerita dengan sangat lihai dan tidak
tersekat-sekat oleh kekakuan pengisahan cerita.Cerita yang diangkat tentunya cerita keseharian yang
sangat kuat dengan masalah yang terjadi pada masyarakat kota pada umumnya.Termasuk tema-tema
yang sudah pasti berkaitan dengan masalah kota yang dapat didasarkan oleh latar perkantoran, sekolah,
tempat tinggal dll.

4. kuat dalam penceritaan yang dimu nculkan, seperti nasionalisme, romantisme, materialisme, dan
individualisme

Cerita banyak menonjolkan nasionalisme, romantisme, materialisme, dan individualisme.Nasionalisme


yang dimunculkan memberikan kisah terhadap cinta terhadap tanah airnya. Rasa memiliki negaranya
dan juga kebanggaan menjadi warga negaranya.Kisah yang menonjolkan nasionalisme berkaitan dengan
tokoh yang begitu memiliki negaranya dan membahas kesehariannya di negara yang dicintainya itu.

Romantisme memberikan nuansa yang saling mengisi antar tokoh. Tentunya, tokoh laki-laki dan
perempuan.Dalam romantisme ini dikuatkan bahwa tokoh memiliki rasa yang sama-sama suka dengan
tokoh lainnya. Nuansa romantis dihadirkan sebagai kekuatan dalam tokoh yang saling
menyukai.Mengangkat sikap romantis ini menjadi begitu kuat bagi tokoh dalam cerita. Pengalaman-
pengalaman yang dialami mendorong kisah lebih hidup.

Materialisme dimunculkan sebagai konflik yang dikenal seru sebagai bumbu dalam reaksi cerita yang
dimunculkan oleh pengarang.Jika sebuah cerita tidak memiliki konflik maka penceritaan terkesan datar.
Walaupun konflik tidak harus muncul, justru terbalik bagi pengarang yang kaya akan imajinatif sastra
akan menghadirkan unsur ini sebagai pelengkap utuh.

Individualisme melengkapi bahwa penceritaan sebagai kepanjangan benak penulis akan terasa lebih
mudah karena individualisme dikaitkan dengan penonjolan masyarakat kota yang digambarkan secara
jelas sekali.Pembaca jelas tidak merasa kesulitan dalam memahami tokoh yang karakter dan muatan
tabiatnya cenderung masyarakat kota yang individualisme terhadap permasalahan yang ada di depan
mata.

Gaya dalam penonjolan penceritaan individualisme ini adalah gaya akuan yang melibatkan pengarang
sebagai tokoh yang ada dalam cerita.
Lahirnya Angkatan Pasca-Reformasi

Hal ikhwal kebebasan selalu menarik perhatian siapapun dan tidak akan pernah selesai
diperbincangkan. Negeri terjajah berjuang untuk terbebas dari penjajah, golongan minoritas
berjuang untuk terbebas dari dominasi golongan mayoritas, pelaku kriminal mengharap
kebebasan dari penjara dan hukuman, orang miskin berusaha untuk terbebas dari keserba-
kekurangan, orang bodoh berusaha untuk terbebas dari keserba-tidak-tahuan. Kaum intelektual
bersikeras memperjuangkan kebebasan berpikir dan berbicara.

Sastra, sebagai produk peradaban dan daya pikir manusia, tak bisa lepas dari perihal
kebebasan. Bahkan konon, sastra adalah kebebasan itu sendiri. Sastra adalah kebebasan dan
pembebasan. Sastra adalah pencerahan. Kebebasan dalam sastra adalah kemerdekaan untuk
berkreasi dan berimaginasi. Kebebasan kreatif, itulah yang dibela oleh para pelaku sastra dalam
menjalani laku sastranya.

Angkatan Pasca-Reformasi muncul setelah reformasi yang dilakukan pada tahun 1998 yang
beawal di Jakarta. Sejak reformasi 1998 bergulir, gelombang kebebasan memang berjalan bak air
bah yang menerjang apa saja. Tidak berbeda halnya dalam ranah sastra. Atas nama kebebasan
berkreasi, hal-hal yang dahulu dianggap tabu untuk dipertontonkan justru

menjadi tontonan yang sangat laku dan dipuji banyak orang. Seks dan pornografi menjadi
menjadi wilayah yang tidak tabu lagi untuk dieksplorasi dalam karya-karya sastra pasca
reformasi, baik oleh pengarang lelaki maupun perempuan.

Peristiwa Besar yang Terjadi pada Masa Reformasi

Reformasi di Indonesia ditandai dengan jaruhnya rezim Soeharto. Secara tidak langsung
dengan lengsernya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden maka berakhir pula sebuah tirani,
yang selama ini menjadi belenggu yang terikat lekat di kaki setiap rakyat Indonesia. Reformasi
diharapkan dapat memfalitasi rakyat Indonesia dalam memperoleh kebebasan yang selama ini
mereka harapkan.

Lahirnya reformasi ini menandakan kebebasan bagi para sastrawan yang selama ini selalu
terkungkung dalam lembah kelam. Bagi mereka yang memiliki sifat revolusioner, kehadiran
reformasi ini merupakan momok yang selalu diidam-idamkan. Akan tetapi, kenyataaannya malah
membuat mereka semakin radikal.

Berikut adalah momen penting yang terjadi sepanjang periode ini :

1998: Pada 21 Mei 1998, Soeharto lengser dari jabatannya. B.J. Habibie
menggantikannya. Terjadi kerusuhan 13-14 Mei 1998, yang mengakibatkan banyak mal
yang terbakar, yang menelan banyak korban jiwa. Perempuan keturunan Tionghoa juga
banyak yang menjadi korban perkosaan. Buku-buku karya sastrawan Lekra bisa muncul
ke permukaan. Ayu Utami mengibarkan sastra yang beraroma seks melalui Saman.
Harian Kompas menyambutnya dengan istilah sastra wangi . Majalah Tempo terbit
kembali.

1999: Pemilu demokratis kedua yang diselenggarakan di Indonesia setelah Pemilu 1955.
PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri memperoleh suara terbesar.
Namun, yang terpilih menjadi presiden adalah K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

2000: Korrie Layun Rampan mengumumkan adanya Angkatan 2000. H.B. Jassin
meninggal di Jakarta. Buku Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul terbit.

2001: Mulai 2001, penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) diberikan kepada
sastrawan yang menghasilkan karya sastra terbaik. Mereka yang pernah mendapatkan
penghargaan ini antara lain Goenawan Mohamad, Remy Sylado, Hamsad Rangkuti, Seno
Gumira Ajidarma, Linda Christanty, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Gus tf., Acep
Zamzam Noor.

2002: Majalah Horison menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia yang terdiri dari
empat kitab, yakni kitab puisi, cerpen, novel, dan drama. Dalam buku ini, Hamzah
Fansuri yang hidup di abad ke-17 dimasukkan sebagai sastrawan Indonesia yang pertama.

2003: Sapardi Djoko Damono dan Ignas Kleden mendapat penghargaan Ahmad Bakrie
Award karena jasanya di bidang kesusastraan dan pemikiran. Sastrawan dan intelektual
yang menerima penghargaan yang sama pada tahun-tahun berikutnya adalah Goenawan
Mohamad, Nurcholish Madjid, Budi Darma, Sartono Kartodirdjo. Frans Magnis Soeseno
yang seharusnya mendapatkan penghargaan tersebut menolak karena keterkaitan
perusahaan Bakrie dengan bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.

2004: Pemilihan presiden secara langsung yang dilakukan pertama kali di Indonesia.
Soesilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden, mengalahkan Megawati. Di
dunia sastra, para sastrawan muda mendeklarasikan lahirnya generasi sastrawan cyber.
Sastra di internet merupakan terobosan baru bagi para sastrawan untuk berekspresi dan
mempublikasikan karyanya secara bebas. Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El
Shirazy terbit. Yayasan Lontar mendokumentasikan biografi sastrawan Indonesia, di
antaranya Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Sapardi
Djoko Damono, Sutan Takdir Alisjahbana, Putu Oka Sukanta, dan lain-lain. Aktivis Hak
Asasi Manusia (HAM) Munir dibunuh. Buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan
karya Ignas Kleden terbit.

2005: Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata terbit. Novel ini dan novel Ayat-ayat
Cinta menjadi novel paling laris (best seller) dalam sejarah penerbitan novel di Indonesia.
Kedua novel ini juga ditransformasi ke film.

2006: Yayasan Lontar menerbitkan Antologi Drama Indonesia: 1895-2000. Penerbitan


buku ini menunjukkan bahwa sejarah sastra Indonesia bukan dimulai pada 1920,
melainkan pada 1895. Anton Kurnia menerbitkan Ensiklopedi Sastra Dunia.

2007: Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma terbit. Buku kumpulan puisi
Otobiografi karya Saut Situmorang terbit. Saut adalah salah satu sastrawan yang
menggerakkan sastra cyber, sastrawan Ode Kampung, dan majalah Boemipoetra.

2008: Buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang dicetak ulang dan buku-buku korban
tragedi 1965 yang ingin meluruskan sejarah marak di toko-toko buku, dan menjadi buku
laris. Misalnya, Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia.

Sastrawan yang Terlibat Dengan Sastra Indonesia Pasca-Reformasi


Setiap angkatan pasti mempunyai cara dan gaya yang khas dalam mengungkapkan hasrat dan
imajinasinya. Hal ini tidak dapat dihindarkan dari sastrawan yang adalah penggerak dan
penghadir karya sastra itu sendiri.

Sastra pasca-reformasi diramaikan oleh wajah-wajah baru, namun masih ada juga wajah lama
yang masih menghiasi wajah kesusasteraan Indonesia. Berikut ini ada beberapa nama sastrawan
yang secara langsung terlibat dalam perkembangsn sastra pasca-reformasi.

Keith Foulcher dengan empat bukunya, yakni Sumpah Pemuda: Makna dan Proses
Penciptaan atas Sebuah Simbol Kebangsaan Indonesia (2000), Pujangga Baru:
Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942 (1991), Angkatan 45: Sastra,
Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia (1994), dan Social Commitment in Literature

and The Arts: The Indonesian Institute People s Culture 1950-1965 (1986)

Ayu Utami mengibarkan sastra yang beraroma seks melalui Saman.

Buku Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul terbit.

Goenawan Mohamad, Remy Sylado, Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, Linda
Christanty, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Gus tf., Acep Zamzam Noor, Ignas
Kleden,

Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy.

Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.

Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma

Buku kumpulan puisi Otobiografi karya Saut Situmorang

Ayu Utami (pengarang novel Saman, Larung) Djenar Maesa Ayu (pengarang Mereka
Bilang Saya Monyet, Jangan Main-Main dengan Kelaminmu dan Nayla), Hudan Hidayat
(pengarang Tuan & Nyonya Kosong, bersama Mariana Aminudin), Muhidin M Dahlan
(pengarang Tuhan Ijinkan Aku Menjadi Pelacur, Adam & Hawa)
Masih banyak sastrawan yang bermunculan dalam periode ini khususnya para cerpenis yang
nama-namanya sudah tidak asing lagi seperti :

Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Kuntowijoyo, Danarto.

Martin Aleida misalnya, mengangkat tema korban politik bagi mereka yang terlibat PKI.

Linda Christanty dengan antologinya, Kuda Terbang Maria Pinto (2004)

Begitu juga dengan cerpenis baru yang diprediksikan akan menjadi sastrawan Indonesia
selanjutnya, seperti nama-nama berikut :

Eka Kurniawan dalam karya pertamanya, antologi cerpen Corat-Coret di Toilet (2000),
Cantik itu Luka (2002), Harimau (2004), antologi cerpen Cinta tak Ada Mati (2005)

Teguh Winarsho (Bidadari BersayapBelati, 2002), Hudan Hidayat (Orang Sakit, 2001;
Keluarga Gila, 2003) Maroeli Simbolon (Bara Negeri Dongeng, 2002; Cinta Tai Kucing,
2003), Satmoko Budi Santoso (Jangan Membunuh di Hari Sabtu, 2003), Mustofa W
Hasyim (Api Meliuk di Atas Batu Apung, 2004), Kurnia Effendi (Senapan Cinta, 2004;
Bercinta di Bawah Bulan, 2004), Moh. Wan Anwar (Sepasang Maut, 2004), Yusrizal
KW (Kembali ke Pangkal Jalan, 2004), Isbedy Stiawan (Perempuan Sunyi, 2004; Dawai
Kembali Berdenting, 2004), Triyanto Triwikromo (Anak-Anak Mengasah Pisau, 2003),
Damhuri Muhammad (Laras, Tubuhku bukan Milikku, 2005).

Cerpenis wanita yang muncul dalam lima tahun terakhir ini, juga tidak dapat diabaikan
kontribusinya. Selain Linda Christanty, masih ada deretan cerpenis wanita yang
sebenarnya lebih kuat dan matang. Oka Rusmini (Sagra, 2002), Djenar Maesa Ayu
(Mereka Bilang Saya Monyet, 2002; Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu, 2004),
Maya Wulan (Membaca Perempuanku, 2002), Intan Paramadhita (Sihir Perempuan,
2005), Nukila Amal (Laluba, 2005), Weka Gunawan (Merpati di Trafalgar Square, 2004),
Labibah Zain (Addicted to Weblog: Kisah Perempuan Maya, 2005), Ucu Agustin
(Kanakar, 2005), Evi Idawati (Malam Perkawinan, 2005). Mereka berpeluang mengikuti
jejak seniornya, Nh Dini, Titis Basino, Leila S. Chudori, Ratna Indrswari Ibrahim atau
Abidah el-Khalieqy.
Beberapa nama di atas menandakan bahwa perkembangan sastra Indonesia pasca-reformasi
telah mengalami peningkatan yang signifikan. Hal inilah yang sesungguhnya diharapkan oleh
kita, sehingga dapat menghindari kecendrungan stagnasi dalam kesusasteraan Indonesia.

Sastra pasca-reformasi merupakan gerbang yang menghantarkan sastra Indonesia kealam


kebebasan yang selama ini selalu diimpikan oleh setiap sastrawan, khususnya sastrawan
Indonesia yang selama ini berada dalam kebuah kurungan yang secara tidak langsung
menghambat kreatifitas mereka. Dalam perkembangannya sastra pasca-reformasi lebih
diramaikan oleh cerpen-cerpen. Perkembangan cerpen dirasakan sangat cepat karena ruang dan
kesempatan untuk berkarya lebih terbuka. Satu hal yang memungkinkan cepatnya perkembangan
cerpen karena dipengaruhi oleh sikap revolusionis, kepekaan masyarakat Indonesia untuk sebuah
perubahan yang cepat dan signifikan, sehingga menuntut kehadiran sebuah bentuk karya sastra
yang bersifat santai, cepat saji, dan mudah dipahami oleh seluruh pembaca dan kecendrungan itu
mengarah pada cerpen.

Kehadiran karya sastra lain tidak dapat kita pungkiri dalam perkembangan sastra Indonesia
pasca-reformasi ini. Contoh konkret adalah novel. Beberapa novel malah menjadi Best seller di
Indonesia, seperti Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dan Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata dan keduanya sudah difilmkan. Selain cerpen dan novel, muncul juga beberapa
antologi cerpen dan puisi.

Jenis Karya Sastra yang Dihasilkan

Sastra pasca-reformasi merupakan gerbang yang menghantarkan sastra Indonesia kealam


kebebasan yang selama ini selalu diimpikan oleh setiap sastrawan, khususnya sastrawan
Indonesia yang selama ini berada dalam kebuah kurungan yang secara tidak langsung
menghambat kreatifitas mereka. Dalam perkembangannya sastra pasca-reformasi lebih
diramaikan oleh cerpen-cerpen. Perkembangan cerpen dirasakan sangat cepat karena ruang dan
kesempatan untuk berkarya lebih terbuka. Satu hal yang memungkinkan cepatnya perkembangan
cerpen karena dipengaruhi oleh sikap revolusionis, kepekaan masyarakat Indonesia untuk sebuah
perubahan yang cepat dan signifikan, sehingga menuntut kehadiran sebuah bentuk karya sastra
yang bersifat santai, cepat saji, dan mudah dipahami oleh seluruh pembaca dan kecendrungan itu
mengarah pada cerpen.
Kehadiran karya sastra lain tidak dapat kita pungkiri dalam perkembangan sastra Indonesia
pasca-reformasi ini. Contoh konkret adalah novel. Beberapa novel malah menjadi Best seller di
Indonesia, seperti Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dan Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata dan keduanya sudah difilmkan. Selain cerpen dan novel, muncul juga beberapa
antologi cerpen dan puisi.

Karya yang Populer

Dalam perjalanan sastra Indonesia, periode pasca-reformasi merupakan masa paling semarak
dan luar biasa. Kini, karya-karya sastra terbit seperti berdesakan dengan tema dan pengucapan
yang beraneka ragam. Faktor utama yang memungkinkan sastra Indonesia berkembang seperti
itu, tentu saja disebabkan oleh perubahan yang sangat mendasar dalam sistem pemerintahan.
Kehidupan pers yang terkesan serbabebas serbaboleh ikut mendorong terjadinya perkembangan
itu. Maka, kehidupan sastra Indonesia seperti berada dalam pentas terbuka. Di sana, para
pemainnya seolah-olah boleh berbuat dan melakukan apa saja.

Dibandingkan puisi, novel, dan drama, cerpen Indonesia pada paroh pertama pasca reformasi
mengalami booming. Cerpen telah sampai pada jatidirinya. Ia tak lagi sebagai selingan di hari
Minggu. Kini, cerpenis dipandang sebagai profesi yang tak lebih rendah dari novelis atau
penyair. Cerpenis tak diperlakukan sebagai orang yang sedang belajar menulis novel. Kondisi ini
dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut:

kesemarakan media massa –suratkabar dan majalah—telah membuka ruang yang makin
luas bagi para cerpenis untuk mengirimkan karyanya. Di sana, rubrik cerpen mendapat
tempat yang khas. Cerpen ditempatkan sama pentingnya dengan rubrik lain. Bahkan, di
surat-surat kabar minggu, ia seperti sebuah keharusan. Di situlah tempat cerpen
bertengger dan menyapa para pembacanya. Maka, hari Minggu adalah hari cerpen.

adanya kegiatan lomba menulis cerpen, memungkinkan cerpen tak hanya berada di hari
Minggu, tetapi juga pada event atau peristiwa tertentu. Majalah Horison setiap tahun
menyelenggarakan lomba penulisan cerpen. Begitupun Diknas, Pusat Bahasa atau
lembaga lain yang juga melakukan kegiatan serupa. Sejak 1992, harian Kompas memulai
tradisi baru dengan memilih cerpen terbaik dan memberi penghargaan khusus untuk
penulisnya. Kegiatan ini mengangkat kedudukan cerpen dalam posisi yang istimewa.

terbitnya Jurnal Cerpen yang diasuh Joni Ariadinata, dkk. serta adanya Kongres Cerpen
yang diselenggarakan berkala dalam dua tahun sekali –di Yogyakarta (1999), Bali
(2001), Lampung (2003), dan kongres mendatang di Pekanbaru (November 2005),
berhasil mengangkat citra cerpen secara lebih terhormat. Kegiatan itu sekaligus untuk
menyosialisasikan keberadaan cerpen sebagai bagian dari kegiatan sastra. Bersamaan
dengan itu, usaha sejumlah penerbit melakukan semacam perburuan naskah cerpen untuk
diterbitkan, memberi harga dan martabat cerpen tampak lebih baik dibandingkan keadaan
sebelumnya.

Meskipun posisi cerpen berada dalam keadaan yang begitu semarak dan memperoleh tempat
istimewa, dalam hal regenerasi boleh dikatakan belum cukup signifikan. Masalahnya, secara
substansial sejumlah cerpenis muda yang muncul belakangan, harus diakui, belum menunjukkan
usahanya mengusung sebuah gerakan estetik yang kemudian menjadi sebuah mainstream. Arus
besar cerpen Indonesia pascareformasi masih tetap didominasi nama-nama lama yang memang
telah menjadi ikon cerpen Indonesia kontemporer. Cerpen Indonesia mutakhir masih tetap tak
dapat menenggelamkan sejumlah nama yang muncul justru sebelum terjadi reformasi, seperti
Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Kuntowijoyo, Danarto, dan sederet panjang nama lain yang
tergolong pemain lama. Mereka masih tetap menjadi bagian penting dalam peta cerpen Indonesia
pascareformasi. Jadi, cerpenis lama dan baru, kini bertumpukan, semua ikut menyemarakkan
peta cerpen Indonesia.

Martin Aleida misalnya, mengangkat tema korban politik bagi mereka yang terlibat PKI.
Tetapi Martin termasuk pemain lama. Setidaknya ia sudah matang sebelum terjadi reformasi.
Maka, ketika terbit Leontin Dewangga (2003), kita terkejut bukan karena ia sebagai pendatang
baru, melainkan pada hasratnya mengangkat tema yang tak mungkin muncul pada zaman Orde
Baru. Dari sudut itu, ia telah memperkaya tema cerpen Indonesia. Kasus Martin Aleida tentu
berbeda dengan Linda Christanty yang juga sebenarnya termasuk pemain lama. Antologinya,
Kuda Terbang Maria Pinto (2004) seolah-olah memperlihatkan ketergodaannya pada model dan
style yang sedang semarak pada saat itu. Pengabaian latar tempat dengan permainan pikiran
malah seperti sengaja membuyarkan unsur lain –yang dalam kerangka strukturalisme justru
menempati posisi yang sama penting. Style itu memang pilihannya, dan Linda telah memilih
cara itu.

Pendatang baru yang cukup menjanjikan muncul atas nama Eka Kurniawan. Karya
pertamanya, antologi cerpen Corat-Coret di Toilet (2000) mula hadir kurang meyakinkan. Tetapi
ketika novelnya Cantik itu Luka (2002) terbit yang ternyata mengundang kontroversi, namanya
mulai diperhitungkan. Setelah itu terbit pula novel kedua, Lelaki Harimau (2004) yang
memamerkan kepiawaian melakukan eksperimen. Dalam antologi cerpen yang terbit belakangan,
Cinta tak Ada Mati (2005), Eka belum kehilangan semangat eksperimentasinya. Cerpen yang
berjudul “Bau Busuk” menunjukkan kesungguhan Eka melakukan eksperimen.

Azhari, cerpenis kelahiran Aceh adalah pendatang baru yang lain lagi. Cerpennya, “Yang
Dibalut Lumut” yang menjadi Juara Pertama Lomba Penulisan Cerpen Festival Kreativitas
Pemuda, Depdiknas—Creative Writing Institute memperlihatkan kekuatannya dalam
mengungkap kepedihan rakyat Aceh yang terjepit dalam konflik bersenjata antara aparat
keamanan (: TNI) dan Gerakan Aceh Merdeka. Ia juga berhasil menyajikan sebuah potret
kultural dan tradisi rakyat Aceh yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keseharian
masyarakat di sana. Antologi cerpen pertamanya, Perempuan Pala (2004) memperlihatkan sosok
Azhari yang matang dalam memandang persoalan Aceh dalam tarik-menarik sejarah dan
kebudayaannya yang agung dengan kondisi sosial dan politik yang menimpa rakyat Aceh yang
justru menebarkan luka dan kepedihan. Boleh jadi antologi ini merupakan potret yang
merepresentasikan kegelisahan masyarakat Aceh dalam tarik-menarik itu.

Dengan kekuatan narasi yang hampir sama, Raudal Tanjung Banua hadir meyakinkan.
Antologi cerpennya, Pulau Cinta di Peta Buta (2003), Ziarah bagi yang Hidup (2004), dan
Parang tak Berulu (2005) menunjukkan perkembangan kepengarangannya yang makin kuat.
Lihat saja, cerpennya “Cerobong Tua Terus Mendera” terpilih sebagai penerima Anugerah Sastra
Horison 2004. Cerpen yang lain, “Tali Rabab” termasuk 15 cerpen terbaik dalam sayembara itu.
Salah satu kekuatan Raudal adalah narasinya yang sanggup menciptakan suasana peristiwa
begitu intens, metaforis, dan asosiatif. Pembaca dibawa masuk ke dunia entah-berantah. Lalu,
tiba-tiba merasa ikut menjadi saksi peristiwa yang diangkat cerpen itu.
Sejumlah nama cerpenis lain yang kelak menjadi sastrawan penting Indonesia, dapat
disebutkan beberapa di antaranya: Teguh Winarsho (Bidadari BersayapBelati, 2002), Hudan
Hidayat (Orang Sakit, 2001; Keluarga Gila, 2003) Maroeli Simbolon (Bara Negeri Dongeng,
2002; Cinta Tai Kucing, 2003), Satmoko Budi Santoso (Jangan Membunuh di Hari Sabtu, 2003),
Mustofa W Hasyim (Api Meliuk di Atas Batu Apung, 2004), Kurnia Effendi (Senapan Cinta,
2004; Bercinta di Bawah Bulan, 2004), Moh. Wan Anwar (Sepasang Maut, 2004), Yusrizal KW
(Kembali ke Pangkal Jalan, 2004), Isbedy Stiawan (Perempuan Sunyi, 2004; Dawai Kembali
Berdenting, 2004), Triyanto Triwikromo (Anak-Anak Mengasah Pisau, 2003), Damhuri
Muhammad (Laras, Tubuhku bukan Milikku, 2005). Keseluruhan antologi itu menunujukkan
kekuatan narasi yang lancar mengalir dan kedalaman tema yang diangkatnya. Dalam lima tahun
ke depan, mereka akan ikut menentukan perkembangan sastra Indonesia.

Selain nama-nama itu, cerpenis wanita yang muncul dalam lima tahun terakhir ini, juga tidak
dapat diabaikan kontribusinya. Selain Linda Christanty, masih ada deretan cerpenis wanita yang
sebenarnya lebih kuat dan matang. Oka Rusmini (Sagra, 2002), Djenar Maesa Ayu (Mereka
Bilang Saya Monyet, 2002; Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu, 2004), Maya Wulan
(Membaca Perempuanku, 2002), Intan Paramadhita (Sihir Perempuan, 2005), Nukila Amal
(Laluba, 2005), Weka Gunawan (Merpati di Trafalgar Square, 2004), Labibah Zain (Addicted to
Weblog: Kisah Perempuan Maya, 2005), Ucu Agustin (Kanakar, 2005), Evi Idawati (Malam
Perkawinan, 2005). Mereka berpeluang mengikuti jejak seniornya, Nh Dini, Titis Basino, Leila
S. Chudori, Ratna Indrswari Ibrahim atau Abidah el-Khalieqy.

Yang menarik dari karya cerpenis perempuan ini adalah semangatnya melakukan gugatan.
Tokoh-tokoh perempuan yang dalam banyak karya para penulis laki-laki kerap menjadi korban
dan tersisih, dalam karya para penulis perempuan itu, justru cenderung berada dalam posisi yang
sebaliknya. Tokoh laki-laki kerap digambarkan tersisih dan kalah sebagai pecundang di bawah
kekuasaan perempuan. Selain itu, mereka juga begitu berani mengangkat perkara seks untuk
membungkus pesan ideologi jendernya.

Deretan panjang nama-nama lain yang kerap muncul di hari Minggu, patut pula mendapat
perhatian. Tentu dengan melihat daya tahan dan konsistensinya mempertahankan kualitas dan
kontribusi mereka bagi pemerkayaan khazanah cerpen Indonesia mutakhir. Akhirnya, seperti
sinyalemen Budi Darma, dalam keadaan overproduksi, pengamatan cerpen Indonesia mutakhir
dengan analisis yang mendalam, tak mungkin dapat dilakukan dalam rentang waktu yang
pendek. Kita sekarang ini seperti sedang berhadapan dengan air bah yang bernama cerpen
Indonesia kontemporer dan kita hanyut terseret dalam gelombang besar deras arusnya.

Anda mungkin juga menyukai