Anda di halaman 1dari 47

Case Report Session

PARAPLEGIA

Oleh :
M.Fadhil Yerilwan P 1810070100062

Preseptor :
dr. Yulson Rasyid, Sp.N

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
BAITURRAHMAH BAGIAN NEUROLOGI RSUD
MOHAMMAD NATSIR
PADANG 2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan anugerah dari-Nya sehingga penulis
dapat meyelesaikan case report session yang berjudul “Paraplegia” ini dengan baik.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita,
Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang
lurus berupa ajaran agama islam yang sempurna dan menjadi anugerah terbesar
bagi seluruh alam semesta.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Yulson Rasyid, Sp.N yang
telah memberikan bimbingan serta arahan, sehingga case ini dapat diselesaikan
dengan baik. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan tugas ilmiah ini karena keterbatasan pengetahuan, kemampuan serta
pengalaman yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak. Semoga tugas ilmiah
ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama
dibidang ilmu kedokteran dan kesehatan dan juga bagi penulis sendiri.

Solok, April 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1

1.3. Latar Belakang........................................................................................................1

1.2. Tujuan Penulisan....................................................................................................3

1.3. Manfaat Penelitian..................................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................4

2.1. Anatomi Vertebrae..................................................................................................4

2.2. Fisiologi Sistem Saraf.............................................................................................6

2.3. Paraplegia...............................................................................................................8

BAB III LAPORAN KASUS....................................................................................31

1. Pemeriksaan Fisik....................................................................................................33

2. Status Neurologikus.................................................................................................34

3. Fungsi Otonom........................................................................................................40

4. Fungsi Luhur............................................................................................................40

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................44

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.3. Latar Belakang

Susunan neuromuskular terdiri dari Upper motor neuron (UMN) dan lower motor

neuron (LMN). Upper motor neurons (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf motorik

yang menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik sampai inti-inti motorik di

saraf kranial di batang otak atau kornu anterior. Berdasarkan perbedaan anatomik dan

fisiologik kelompok UMN dibagi dalam susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal.

Susunan piramidal terdiri dari traktus kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Traktus

kortikobulbar fungsinya untuk geraakan-gerakan otot kepala dan leher, sedangkan traktus

kortikospinal fungsinya untuk gerakan-gerakan otot tubuh dan anggota gerak. Sedangkan

lower motor neuron (LMN), yang merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang berasal

dari batang otak, pesan tersebut dari otak dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh

seseorang.1

Dari otak medula spinalis turun ke bawah kira-kira ditengah punggung dan

dilindungi oleh cairan jernih yaitu cairan serebrospinal. Medula spinalis terdiri dari

berjuta-juta saraf yang mentransmisikan informasi elektrik dari dan ke ekstremitas,

badan, oragan-organ tubuh dan kembali ke otak. Otak dan medula spinalis merupakan

sistem saraf pusat dan yang mehubungkan saraf-saraf medula spinalis ke tubuh adalah

1
sistem saraf perifer. Medula spinalis terdiri atas traktus ascenden (yang membawa

informasi di tubuh menuju ke otak seperti rangsang raba, suhu, nyeri dan gerak posisi) dan

traktus descenden (yang membawa informasi dari otak ke anggota gerak dan mengontrol

fungsi tubuh).1

Motorneuron dengan aksonnya merupakan satu-satunya saluran bagi impuls motorik

yang dapat menggerakkan serabut otot. Bilamana terjadi kerusakan pada motorneuron,

maka serabut otot yang tergabung dalam unit motoriknya tidak dapat berkontraksi,

kendatipun impuls motorik masih dapat disampaikan oleh sistem pyramidal dan

ekstrapiramidal kepada tujuannya. Kelemahan/kelumpuhan parsial yang ringan/tidak

lengkap atau suatu kondisi yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan

terganggu disebut dengan parese. 2

Paraparese merupakan kelemahan pada kedua tungkai, sedangkan paralisis adalah

kehilangan atau gangguan fungsi motorik pada suatu bagian tubuh akibat lesi pada

mekanisme saraf atau otot. Paraplegia inferior adalah paralisis bagian bawah tubuh

termasuk tungkai,.3 Penyebab tersering paraplegia adalah spinal cord injury, spondylitis

tuberculosis, genetic disorder (hereditary spastic paraplegia), congenital (present at birth),

infection, autoimmune diseases, syrinx (a spinal chord disorder). 4

1.2. Tujuan Penulisan

1. Melengkapi syarat tugas stase Neurologi dan syarat Kepaniteraan Klinik

2
Senior (KKS) di RSUD Muhammad Natsir Solok.

2. Sebagai bahan bacaan anggota Kepanitraan Klinik Senior.

3. Untuk memahami dan mengetahui tentang paraplegia.


1.3.Manfaat Penelitian
1. Untuk menambah pengetahuan tentang paraplegia terutama mengenai
penegakan diagnosa dan penatalaksanaan penyakit tersebut.

2. Membantu memberikan informasi tambahan pada pembaca mengenai

paraplegia.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Vertebra

Tulang belakang manusia berfungsi sebagai pilar untuk menopang berat tubuh

dan tempat dimana terletaknya medulla spinalis. Tulang belakang juga berfungsi

untuk menyangga kepala dan sebagai titik sambungan terhadap tulang iga, pelvis

dan otot-otot punggung. Susunan tulang belakang manusia terdiri dari tulang

vertebra dan discus intervertebralis. Fungsi dari discus intervertebralis di antara

tulang vertebra adalah sebagai bantalan untuk memberikan sifat fleksibel terhadap

pergerakkan tubuh, baik ke arah anterior, posterior, lateral maupun rotasi dan juga

berfungsi agar tulang vertebra tidak bertabrakkan satu dengan yang

lainnya. Terdapat 33 tulang punggung pada manusia, 7 tulang cervical, 12

tulang thorax (thoraks atau dada), 5 tulang lumbal, 5 tulang sacral, dan 4 tulang

membentuk tulang ekor (coccyx). Tulang vertebra pada segmen cervikalis,

torakalis maupun lumbalis memiliki struktur dasar yang sama satu dengan yang

lainnya. Pada sisi anterior terdapat tubuh dari tulang vertebra (vertebrae

body) yang berfungsi untuk menahan berat yang paling banyak. Pada bagian

posterior terdapat 3 prosesus, antara lain 1 procesus spinosus pada bagian medial

dan 2 prosesus transversus pada bagian lateral. Bagian anterior dan posterior

dari tulang vertebra digabungkan kaki-kaki yang disebut dengan pedicle. Pada

vertebra torakalis, terdapat yang disebut dengan facet dimana titik pertemuan

vertebra torakalis dengan tulang iga.1,2

4
Gambar 1 Tulang Belakang

5
Medula spinalis mulai dari akhir medulla oblongata di foramen magnum

sampai konus medullaris di level Tulang Belakang L1-L2. Medulla Spinalis

berlanjut menjadi Kauda Equina (di Bokong) yang lebih tahan terhadap

cedera.Medula spinalis terdiri atas traktus ascenden (yang membawa informasi

di tubuh menuju ke otak seperti rangsang raba, suhu, nyeri dan gerak

posisi) dan traktus descenden (yang membawa informasi dari otak ke

anggota gerak dan mengontrol fungsi tubuh). Ketika tulang belakang disusun,

foramen ini akan membentuk saluran sebagai tempat sumsum tulang belakang

atau medulla spinalis. Dari otak medulas pinalis turun ke bawah kira- kira

ditengah punggung dan dilindungi oleh cairan jernih yaitu cairan serebrospinal.

Medula spinalis terdiri dari berjuta-juta saraf yang mentransmisikan informasi

elektrik dari dan ke ekstremitas, badan, organ tubuh dan kembali ke otak.

Otak dan medula spinalis merupakan sistem saraf pusat dan yang

mehubungkan saraf-saraf medula spinalis ke tubuh adalah sistem saraf perifer.


1,2

Medula spinalis diperdarahi oleh 2 susunan arteri yang mempunyai hubungan

istimewa, yaitu arteri spinalis dan arteri radikularis. Arteri spinalis dibagi menjadi arteri

spinalis anterior dan posterior yang berasal dari arteri vertebralis, sedangkan

arteri radikularis dibagi menjadi arteri radikularis posteriordan anterior yang dikenal

juga ramus vertebromedularis arteria interkostalis. Medula Spinalis disuplai oleh

arteri spinalis anterior dan arteri spinalis posterior. Nervus spinalis/akar nervus yang

berasal dari medula spinalis melewati suatu lubang di vertebra yang disebut foramen

dan membawa informasi dari medula spinalis sampai ke bagian tubuh dan dari tubuh ke

otak. Ada 31 pasang nervus spinalis dan dibagi dalam empat kelompok nervus
6
spinalis,yaitu :1

a. Nervus servikal : berperan dalam pergerakan dan perabaan pada lengan, leher,

dan anggota tubuh bagian atas

b. Nervus thorak : mempersarafi tubuh dan perut

c. Nervus lumbal dan nervus sakral :mempersarafi tungkai,kandung kencing,

usus dan genitalia.

Gambar 2. Peta Dermatomal sistem sensorik saraf

2.2 Fisiologi Sistem Saraf


7
Sistem motorik berhubungan dengan sistem neuromuskular terdiri atas

Upper motor neurons (UMN) dan lower motor neuron (LMN). Upper motor

neurons (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang menyalurkan

impuls dan area motorik di korteks motorik sampai inti-inti motorik di saraf kranial

di batang otak atau kornu anterior medula spinalis.2

Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok UMN dibagi dalam

susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri dari

traktus kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Melalui lower motor neuron

(LMN), yang merupakan kumpulan saraf motorik yang berasal dari batang otak,

pesan tersebut dari otak dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh seseorang.

Kedua saraf motorik tersebut mempunyai peranan penting di dalam sistem

neuromuscular tubuh. Sistem ini yang memungkinkan tubuh kita untuk bergerak

secara terencana dan terukur.2 Lintasan traktus medulla spinalis terdiri dari traktus

ascendens dan traktus descendens. Traktus ascendens membawa informasi

sensorik ke SSP dan dapat berjalan ke bagian-bagian medulla spinalis dan otak.

2.2.1 Upper Motor Neuron

Berkas UMN bagian medial, dibatang otak akan saling menyilang. Sedangkan UMN

bagian Internal tetap berjalan pada sisi yang sama sampai berkas lateral ini tiba di medulla

spinalis. Di segmen medulla spinalis tempat berkas bersinap dengan neuron LMN. Berkas

tersebut akan menyilang. Dengan demikian seluruh impuls motorik otot rangka akan

menyilang, sehingga kerusakan UMN diatas batang otak akan menimbulkan kelumpuhan

pada otot-otot sisi yang berlawanan.

Traktus kortikospinalis berfungsi menyalurkan impuls motorik pada sel-sel motorik


8
batang otak dan medula spinalis untuk gerakan-gerakan otot kepala dan leher. Traktus

kortikobulbar membentuk traktus piramidalis, mempersarafi sel-sel motorik batang otak

secara bilateral, kecuali nervus VII & XII, berfungsi untuk menyalurkan impuls motorik

untuk gerak otot tangkas. Dalam klinik gangguan traktus piramidalis memberikan

kelumpuhan tipe UMN berupa parese/paralisis spastis disertai dengan tonus meninggi,

hiperrefleksi, klonus, refleks patologis positif, tak ada atrofi. 2

Kelainan traktus piramidalis setinggi :

  Hemisfer : memberikan gejala-gejala hemiparesi tipika

  Setinggi batang otak : hemiparese alternans.

  Setinggi medulla spinalis : tetra/paraparese.

Rangkaian neuron di korteks selanjutnya membentuk jalan saraf sirkuit meliputi berbagai

inti di sub korteks.dan kemudian kembali ke tingkat kortikal. Terdiri dari :

 korteks serebri area 4s, 6, 8

 ganglia basalis antara lain nukleus kaudatus, putamen, globus pallidus, nukleus Ruber,

formasio retikularis, serebellum.

Susunan ekstrapiramidal dengan formasio retukularis :

 Pusat eksitasi / fasilitasi : mempermudah pengantar impuls ke korteks maupun ke motor

neuron.

 Pusat inhibisi : menghambat aliran impuls ke korteks/motor neuron.

 Pusat kesadaran

Susunan ekstrapiramidal berfungsi untuk gerak otot dasar / gerak otot tonik,
9
pembagian tonus secara harmonis, mengendalikan aktifitas piramidal. Gangguan pada

susunan ekstrapiramidal :Kekakuan / rigiditas, Pergerakan-pergerakan involunter: Tremor,

Atetose, Khorea, Balismus

2.2.2 Lower Motor Neuron

Merupakan neuron yang langsung berhubungan dgn otot, dapat dijumpai pada nbatang

otak dan kornu anterior medulla spinalis. Gangguan pada LMN memberikan kelumpuhan

tipe LMN yaitu parese yang sifatnya flaccid, arefleksi, tak ada refleks patologis, atrofi

cepat terjadi.3

2.2.3 Susunan Somestesia

Perasaan yang dirasa oleh bagian tubuh baik dari kulit, jaringan ikat, tulang maupun otot

dikenal sebagai somestesia.3 Terdiri :

  Perasaan eksteroseptif dalam bentuk rasa nyeri, rasa suhu dan rasa raba.

  Perasaan proprioseptif : disadari sebagai rasa nyeri dalam, rasa getar, rasa tekan, rasa

gerak dan rasa sikap.

Perasaan luhur : Diskriminatif & demensional Menentukan tinggi lesi medula spinalis

berdasarkan :

Gangguan Motorik biasanya timbul kelumpuhan yg sifatnya paraparese /

tetraparese

- Paraparese UMN : lesi terdapat supranuklear thd segmen medula spinalis lumbosakral
(L2-S2).
- Paraparese LMN : lesi setinggi segmen medula spinalis L2-S2 atau lesi infra nuklear.

10
- Tetraparese UMN : lesi terdapat supranuklear terhadap segmen medula spinalis servikal

IV.

- Tetraparese : ekstremitas superior LMN, ekstremitas Inferior UMN

 Gangguan Sensibilitas

- Gangguan rasa eksteroseptif

- Gangguan rasa proprioseptif

Gangguan sensibilitas segmental :

  Lipatan paha : lesi Medula spinalis L1

  Pusat : lesi med. spinalis thorakal 10

  Papila mammae : lesi medula spinalis thorakal 4

  Saddle Anestesia : lesi pada konus

 Gangguan sensibilitas radikuler :

Ggn sensibilitas sesuai dgn radiks posterior

 Gangguan sensibilitas perifer :

Glove/stocking anestesia

Gangguan Susunan Saraf Otonom

- Produksi keringat

11
- Bladder : berupa inkontinensia urine atau uninhibited bladder.

 Autonomic bladder/ spastic bladder → lesi medula spinalis supranuklear terhadap

segmen sakral.

 Flaccid bladder/ overflow incontinence → lesi pada sakral medula spinalis.

2.3 Paraplegia

2.3.1 Definisi dan Klasifikasi

Parese adalah kelemahan parsial yang ringan/tidak lengkapatau suatu kondisi yang ditandai oleh

hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu. Plegia adalah kelemahan berat/kelumpuhan

sebagai akibat kerusakan sistem saraf.4

Plegia pada anggota gerak dibagi mejadi 4 macam, yaitu :

 Monoplegia adalah paralisis/ kelemahan berat pada satu ekstremitas atas atau ekstremitas

bawah.

 Paraplegia adalah paralisis/ kelemahan berat pada kedua ekstremitas bawah.

 Hemiplegia adalah paralisis/ kelemahan berat pada satu sisi tubuh yaitu satu ekstremitas

atas dan satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama.

 Tetraplegia adalah paralisis/ kelemahan berat pada keempat ekstremitas. 4

Paraplegi terbagi menjadi tipe spastic (UMN) dan flaksid (LMN).Paraplegi spastik adalah

kekakuan otot dan kejang otot disebabkan oleh kondisi saraf tertentu. Paraplegi spastik

disebabkan oleh spondylitis TB , spinal cord injury, genetic disorder (hereditary spastic

paraplegia), autoimmune diseases, syrinx (a spinal chord disorder) 6,tumor medulla spinalis,

12
mutiple sclerosis,7

Paraplegi flaksid adalah kelemahan atau kurangnya otot yang tidak memiliki penyebab yang jelas.

Otot lemas sebagian karena kurangnya aktivitas dalam otot, gerakan sukarela yang sebagian atau

seluruhnya hilang. Paraplegi flaksid termasuk polio, lesi pada neuron motorik yang lebih rendah,

Guillain Barre syndrome.

2.3.2 Patofisiologi Paraplegi

Lesi yang mendesak medulla spinalis sehingga merusak daerah jaras kortikospinalis

lateral dapat menimbulkan kelumpuhan UMN pada otot-otot bagian tubuh yang terletak dibawah

tingkat lesi. Lesi yang memotong melintang (tranversal) medulla spinalis pada tingkat servikal,

misalnya C5 dapat mengakibatkan kelumpuhan UMN pada otot-otot tubuh yang berada dibawah

C5, yaitu sebagian dari otot-otot kedua lengan yang berasal dari miotoma C6 sampai miotoma C8,

lalu otot-otot toraks dan abdomen serta segenap muskulatur kedua tungkai. Kelumpuhan seperti

inilah yang disebut paraplegi.

Akibat terputusnya lintasan somatosensorik dan lintasan autonom neurovegetatif asendens dan

desendens, maka dari tingkat lesi kebawah, penderita tidak dapat merasakan apapun, tidak dapat

melakukan buang air besar dan kecil, serta tidak memperlihatkan reaksi neurovegetatif.

Lesi Tranversal yang memotong medulla spinalis pada tingkat torakal atau tingkat lumbal atas

mengakibatkan kelumpuhan yang pada dasarnya serupa dengan lesi yang terjadi pada daerah

servikal, yaitu pada tingkat lesi terjadi kelumpuhan LMN, dan dibawah tingkat lesi terdapat

kelumpuhan UMN. Kelumpuhan LMN pada tingkat lesi melibatkan kelompok otot yang

merupakan sebagian kecil dari muskulatur toraks dan abdomen, namun kelumpuhan yang terjadi

tidak begitu jelas terlihat dikarenakan peranan dari muskulus tersebut yang kurang begitu

13
menonjol.

Tingkat lesi transversal di medulla spinalis mudah terungkap oleh batas deficit sensorik. Dibawah

batas tersebut, tanda-tanda UMN dapat ditemukan pada kedua tungkai secara lengkap.

Paraplegi dapat disebabkan oleh suatu infeksi, satu hingga dua segmen dari medulla spinalis dapat

rusak secara sekaligus, infeksi langsung dapat terjadi melalui emboli septic, luka terbuka dari

tulang belakang, penjalaran osteomielitis atau perluasan dari proses meningitis piogenik. Istilah

mielitis tidak saja digunakan untuk proses peradangan pada medullah spinalis namun juga

digunakan apabila lesinya menyerupai proses peradangan dan disebabkan oleh proses patologi

yang mempunyai hubungan dengan infeksi, adanya tumor, baik tumor ekstramedular maupun

intramedular, maupun trauma yang menyebabkan cedera dari medulla spinalis.

2.3.3 MANIFESTASI KLINIS 3

Kelumpuhan UMN dicirikan oleh tanda-tanda khas disfungsi susunan UMN adalah sebagai

berikut :

a. Tonus otot meningkat atau hipertonus

Gejala ini terjadi karena hilangnya pengaruh inhibisi korteks motorik tambahan terhadap inti-inti

intrinsik medulla spinalis. Hipertonus adalah ciri khas bagi disfungsi komponen ekstrapiramidal

susunan UMN. Hipertonus tidak akan bangkit bahkan tonus otot menurun, jika lesi paralitik

merusak hanya korteks motorik primer saja. Lesi hipertonus menjadi jelas apabila korteks motorik

tambahan (area 4 dan area 6) ikut terlibat dalam lesi. Lesi paralitik yang mengganggu pyramidal

juga pasti akan mengganggu serabut-serabut kortikobulbar/spinal dan juga serabut frontopontin,

temporo parietopontin berikut serabut-serabut striatal utama. Hal itu menggambarkan bahwa

komponen pyramidal dan ekstrapiramidal akan mengalami gangguan bersama. Hal ini terjadi

14
karena lintasan pyramidal dan ekstrapiramidal berada dikawasan yang sama yaitu pedunkulus

serebri, pes pontis, piramis, dan funikulus posterolateralis/sulkomarginal.

Hipertonus yang diiringi kelumpuhan pada UMN tidak melibatkan semua otot skeletal, melainkan

otot fleksor seluruh lengan serta otot abductor bahu dan pada tungkai seluruh otot ekstensornya

serta otot-otot plantar fleksi kaki.

Tergantung dalam jumlah serabut penghantar impuls ektrapiramidal dan pyramidal yang terkena

gangguan, anggota gerak yang lumpuh dapat memperlihatkan hipertonia dalam posisi fleksi atau

ekstensi. Hal ini terjadi pada kelumpuhan UMN yang melanda bagian bawah tubuh (paraparese)

akibat oleh karena lesi transversal di medulla spinalis di atas intumesensia lubosakralis. Apabila

paraparese yang disebabkan oleh lesi yang terutama merusak serabut penghantar impuls

pyramidal saja,maka parapleginya menunjukan hipertonus dalam posisi ekstensi. Apabila jumlah

serabut penghantar impuls ekspiramidal terlibat dalam lesi, maka hipertonus dalam posisi fleksi.

b. Hiperrefleksia

Pada kerusakan UMN, refleks tendon lebih peka daripada keadaan biasa (normal).Dalam hal ini,

gerak otot bangkit secara berlebihan, walapun rangsangan pada tendon sangat lemah.

Hiperrefleksi merupakan keadaan setelah impuls inhibisi dari susunan pyramidal dan

ekstrapiramidal tidak dapat disampaikan pada motorneuron. Refleks tendon merupakan refleks

spinal yang bersifat segmental. Ini berarti bahwa lengkung refleks disusun oleh neuron-neuron

yang berada disatu segmen. Tetapi ada juga gerak otot reflektorik, yang lengkung refleks

segmentalnya berjalan dengan lintasan-lintasan UMN yang ikut mengatur efektornya. Hal ini

dijumpai pada refleks kulit dinding perut. Pada UMN, refleks tersebut menghilang atau menurun.

c. Klonus

15
Hiperrefleksia sering diiringi oleh klonus. Tanda ini adalah gerak otot reflektorik, yang bangkit

secara berulang-ulang selama perangsangan masih berlangsung. Pada lesi UMN kelumpuhannya

disertai oleh klonus kaki dan klonus lutut.

d. Refleks patologis

Pada kerusakan UMN dapat ditemukannya refleks patologis. Tetapi mekanisme timbulnya refleks

patologis ini masih belum jelas.

e. Tidak ada atrofi pada otot-otot yang lumpuh

Motorneuron dengan sejumlah serabut-serabut otot yang disarafinya menyususn satu kesatuan

motorik. Kesatuan fisiologi ini mencakup hubungan timbal-balik antara kehidupan motorneuron

dan serabut otot yang disarafinya. Runtuhnya motorneuron akan disusul dengan kerusakan-

kerusakan serabut-serabut saraf motoriknya. Oleh karena itu, otot yang terkena akan menjadi

atrofi. Dalam hal kerusakan pada UMN, motorneuron tidak dilibatkan. Oleh karena itu, otot-otot

yang lumpuh karena lesi UMN tidak akan memperlihatkan atrofi. Namun demikian, otot yang

lumpuh masih dapat mengecil, bukan karena serabut-serabut yang musnah akan tetapi

dikarenakan oleh karena otot tersebut tidak dipergunakan yang dikenal dengan istilah disuse

atrophy.

f. Refleks automatisme spinal

Jika motorneuron tidak mempunyai hubungan dengan korteks motorik primer dan korteks motorik

tambahan bukan berarti tidak berdaya menggerakkan otot. Otot masih dapat digerakkan oleh

rangsang yang datang dari bagian susunan saraf pusat dibawah tingkat lesi yang dinamakan

sebagai gerakan refleks automatisme spinal. Pada penderita paraparese akibat lesi transversal di

medulla spinalis bagian atas, dapat dijumpai kejang fleksi lutut sejenak padahal kedua tungkai
16
lumpuh, apabila penderita terkejut. Tanda- tanda kelumpuhan UMN tersebut diatas dapat

seluruhnya atau sebagian saja ditemukan pada tahap kedua masa setelah terjadinya lesi UMN.

Pada tahap pertamanya yaitu langsung setelah lesi UMN terjadi, tanda-tanda kelumpuhan UMN

tidak dapat disaksikan. Tahap pertama ini berlangsung 1 hingga 3 minggu. Jika lesinya terletak

dikorteks motorik, kurun waktu tahap pertama panjang sekali. Sebaliknya, lesi

dikapsula interna mempunyai tahap pertama yang singkat.

Setiap lesi yang secara mekanik menekan medulla spinalis akan menyebabkan gangguan fungsi

yang progresif dan suatu sindrom transeksi medulla spinalis yang relative lambat. Gejala-gejala

gangguan medulla spinalis yang disebabkan kompresi memiliki karakterisktik sebagai berikut :

1. Terganggunya fungsi motorik

2. Gangguan sensorik kadang-kadang menunjukkan level dari lesi

3. Gangguan sensorik distal. Lesi sensorik yang batasnya jelas tidak selalu ditemukan

pada awal lesi

4. Nyeri dapat ditemukan pada anggota badan

5. Hilangnya refleks abdominal superfisial

6. Gangguan urinasi

7. Saraf-saraf cranial tidak terkena pada lesi spinal murni

8. Kolumna vertebralis dapat memperlihatkan adanya deformitas, pembentukkan

gibbus atau nyeri pada perkusi prosesus spinosus tertentu

17
9. Foto rontgen kolumna vertebralis dapat memperlihatkan destuksi tulang, pelebaran

kanalis spinalis, destruksi pedikel atau prosesus spinosus atau adanya hemangioma

vertebra.

10. Fungsi lumbal dapat memperlihatkan kadar protein yang sangat tinggi dengan

adanya obstruksi total.

2.3.4 DIAGNOSIS

1.Ray-spine

Dilakukan X-Ray spine dengan permintaan lateral dan oblique. Tanda degenerasi dari spine

adalah :

a. Reduksi dari ruang intevertebralis

b. Penyempitan foramen intevertebralis

c. Formasi osteofit

d. Pelebaran jarak antar pedunkular ditemukan pada lesi intradural

2. Mielogram

3.CT Scan

4.Analisis CSF

Pemeriksaan penunjang lainnya :

a. X-Ray Toraks yang akan memperlihatkan suatu keganasan.

b. Tes serologi untuk mendeteksi adanya sifilis

c. IgA atau IgG albumin untuk mendiagnosa dari skeloris multipel


18
d. Tes darah rutin

e. Pemeriksaan urin6

2.3.5 KOMPLIKASI 3

a. Luka dekubitus

b. Kontraktur

c. Infeksi traktus urinarius

d. Emboli paru

e. Deep vein thrombosis

f. Paralisis otot-otot pernapasan

2.3.6 PENATALAKSANAAN3

a. Terapi utama didasarkan dan disesuaikan dengan penyakit penyebab paraparese

spastik.

b. Penanganan spastisitas Fisioterapi terdiri dari :

 Prolonged passive stretching

 Hydrotherapy

 Reflex inhibiting postures

 Standing and walking

19
 Ice therapy Farmakologi

 Antispasmodik

 Injeksi intratechal baclofen / morphine

 Blok saraf lokal sementara dengan toksin botulinum pada otot yang spesifik.

A. Definisi Tumor Mediastinum

Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam mediastinum yaitu rongga yang

berada di antara paru kanan dan kiri. Mediastinum berisi jantung, pembuluh darah arteri,

pembuluh darah vena, trakea, kelenjar timus, syaraf, jaringan ikat, kelenjar getah bening dan

salurannya.

B. Etiologi

Secara umum faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebab tumor adalah:

- Penyebab kimiawi

Di berbagai negara ditemukan banyak tumor kulit pada pekerja pembersih cerobong asap. Zat

yang mengandung karbon dianggap sebagai penyebabnya.

- Faktor genetik (biomolekuler)

Perubahan genetik termasuk perubahan atau mutasi dalam gen normal dan pengaruh protein

bisa menekan atau meningkatkan perkembangan tumor.

- Faktor fisik

Secara fisik, tumor berkaitan dengan trauma/pukulan berulang-ulang baik trauma fisik

maupun penyinaran. Penyinaran bisa berupa sinar ultraviolet yang berasal ari sinar matahari

maupun sinar lain seperti sinar X (rontgen) dan radiasi bom atom.

20
- Faktor nutrisi

Salah satu contoh utama adalah dianggapnya aflaktosin yang dihasilkan oleh jamur pada

kacang dan padi-padian sebagai pencetus timbulnya tumor.

- Faktor hormon

Pengaruh hormon dianggap cukup besar, namun mekanisme dan kepastian peranannya belum

jelas. Pengaruh hormon dalam pertumbuhan tumor bisa dilihat pada organ yang banyak

dipengaruhi oleh hormon tersebut.

C. Patofisiologi

Sebagaimana bentuk kanker/karsinoma lain, penyebab dari timbulnya karsinoma jaringan

mediastinum belum diketahui secara pasti; namun diduga berbagai faktor predisposisi yang

kompleks berperan dalam menimbulkan manifestasi tumbuhnya jaringan/sel-sel kanker pada

jaringan mediastinum.

Adanya pertumbuhan sel-sel karsinoma dapat terjadi dalam waktu yang relatif singkat

maupun timbul dalam suatu proses yang memakan waku bertahun-tahun untuk menimbulkan

manifestasi klinik.

Dengan semakin meningkatnya volume massa sel-sel yang berproliferasi maka secara

mekanik menimbulkan desakan pada jaringan sekitarnya; pelepasan berbagai substansia pada

jaringan normal seperti prostalandin, radikal bebas dan protein-protein reaktif secara berlebihan

sebagai ikatan dari timbulnya karsinoma meningkatkan daya rusak sel-sel kanker terhadap

jaringan sekitarnya; terutama jaringan yang memiliki ikatan yang relatif lemah.

Kanker sebagai bentuk jaringan progresif yang memiliki ikatan yang longgar

mengakibatkan sel-sel yang dihasilkan dari jaringan kanker lebih mudah untuk pecah dan

menyebar ke berbagai organ tubuh lainnya (metastase) melalui kelenjar, pembuluh darah maupun
21
melalui peristiwa mekanis dalam tubuh.

Adanya pertumbuhan sel-sel progresif pada mediastinum secara mekanik menyebabkan

penekanan (direct pressure/indirect pressure) serta dapat menimbulkan destruksi jaringan sekitar;

yang menimbulkan manifestasi seperti penyakit infeksi pernafasan lain seperti sesak nafas, nyeri

inspirasi, peningkatan produksi sputum, bahkan batuk darah atau lendir berwarna merah

(hemaptoe) manakala telah melibatkan banyak kerusakan pembuluh darah. Kondisi kanker juga

meningkatkan resiko timbulnya infeksi sekunder; sehingga kadangkala manifestasi klinik yang

lebih menonjol mengarah pada infeksi saluran nafas seperti pneumonia, tuberkulosis walaupun

mungkin secara klinik pada kanker ini kurang dijumpai gejala demam yang menonjol.

D. Klasifikasi

Klasifikasi tumor mediastinum didasarkan atas organ/jaringan asal tumor atau jenis

histologisnya, seperti dikemukakan oleh Rosenberg.

Jenis tumor mediastinum sulit ditentukan secara radiologic. Tumor-tumor yang sering

dijumpai pada:

22
- Mediastinum superior: struma, kista bronkogenik, adenoma paratiroid dan limfoma

- Mediastinum anterior: struma, timoma, teratoma, adenoma paratiroid, limfoma, lipoma,

fibroma, limfangioma, hemangioma dan hernia morgagni

- Mediastinum medius: kista bronkogenik, limfoma, kista perikardium, aneurisma, dan hernia

- Mediastinum posterior: tumor neurogenik, fibrosarkoma, limfoma, aneurisma, kondroma,

menigokel dan hernia Bochdalek

E. Gambaran Klinis

- Anamnesis

Tumor mediastinum sering tidak memberi gejala dan terdeteksi pada saat dilakukan foto toraks.

Untuk tumor jinak, keluhan biasanya mulai timbul bila terjadi peningkatan ukuran tumor yang

menyebabkan terjadinya penekanan struktur mediastinum, sedangkan tumor ganas dapat

menimbulkan gejala akibat penekanan atau invasi ke struktur mediastinum.

Gejala dan tanda yang timbul tergantung pada organ yang terlibat,

 batuk, sesak atau stridor muncul bila terjadi penekanan atau invasi pada trakea

dan/atau bronkus utama,

 disfagia muncul bila terjadi penekanan atau invasi ke esofagus

 sindrom vena kava superior (SVKS) lebih sering terjadi pada tumor mediastinum yang

ganas dibandingkan dengan tumor jinak,

 suara serak dan batuk kering muncul bila nervus laringel terlibat, paralisis diafragma

timbul apabila penekanan nervus frenikus

 nyeri dinding dada muncul pada tumor neurogenik atau pada penekanan sistem syaraf.

- Pemeriksaan Fisik
23
Pemeriksaan fisik akan memberikan informasi sesuai dengan lokasi, ukuran dan

keterbatasan organ lain, misalnya telah terjadi penekanan ke organ sekitarnya.

F. Diagnosis

Pertimbangan untuk diagnosis:

- Pada umumnya kelainan yang terjadi di mediastinum adalah jinak dan asimtomatik

- Pembagian mediastinum ke dalam rongga anterior, superior, medial dan posterior

bertujuan memudahkan dalam menegakkan diagnosis

- Lebih dari 60% lesi pada dewasa ditemukan pada rongga anterior-superior mediastinum,

sedangkan pada anak-anak 60% lesi ditemukan di posterior mediastinum

- Pada 75% dewasa dan 50% anak-anak massa yang terjadi adalah jinak

- Massa ganas yang paling umum terjadi di rongga anterior superior adalah timoma,

penyakit hodgkin, limfoma non hodgkin dan tumor germ cell.

- Neurinoma adalah tumor yang paling sering terjadi di rongga posterior dan mudah dikenal

dari bentuknya yang klasik seperti dumbbell-shaped contour.

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Foto toraks

Dari foto toraks PA/ lateral sudah dapat ditentukan lokasi tumor, anterior, medial atau

posterior, tetapi pada kasus dengan ukuran tumor yang besar sulit ditentukan lokasi

yang pasti. Adanya struktur berupa lesi kistik, kalsifikasi, lemak dan vaskuler dapat

dinilai dengan lebih akurat dibandingkan film polos.

a. Tumor mediastinum anterior (tiga T-tiroid, timus, teratodermoid)

24
Tiroid retrosternal: massa berbatas tegas dan mungkin berlobul. Perluasan ke

mediastinum terjadi dalam berbagai derajat hingga mencapai karina

Tumor timus: tumor ini dapat bersifat jinak atau ganas dan sering disebabkan oleh

miastenia gravis

Teratodermoid: tumor ini biasanya jinak namun berpotensi menjadi ganas. Biasanya dapat

terlihat lemak, kalsifikasi di bagian tepi, fragmen tulang dan gigi

Gambar 3. 1. Timoma (Tumor Mediastinum Anterior)

Gambar 3. 2. Teratoma (Tumor Mediastinum Anterior)

25
Gambar 3.3. Kista bronkogenik (Tumor Mediastinum Superior)

b. Tumor Mediastinum Medius

Limfadenopati: limfoma, metastasis, sarkoid atau tuberkulosis

Gambar 3.4. Kista perikardium (Tumor Mediastinum Medius)

c. Tumor Mediastinum Posterior

Tumor neurogenik yang berkembang dari saraf interkostal dan rantai simpatis.

Neurofibroma (tumor yang dibungkus saraf). Ganglioneuroma (tumor sel saraf

simpatis).

26
Gambar 3.5. Neurofibroma (Tumor Mediastinum Posterior)

2. Tomografi

Selain dapat menentukan lokasi tumor, juga dapat mendeteksi klasifikasi pada lesi,

yang sering ditemukan pada kista dermoid, tumor tiroid dan kadang-kadang timoma.

Tehnik ini semakin jarang digunakan.

3. CT-Scan toraks dengan kontras

Selain dapat mendeskripsi lokasi juga dapat mendeskripsi kelainan tumor secara

lebih baik dan dengan kemungkinan untuk menentukan perkiraan jenis tumor,

misalnya teratoma dan timoma. CT-Scan juga dapat menentukan stage pada kasus

timoma dengan cara mencari apakah telah terjadi invasi atau belum. Perkembangan

alat bantu ini mempermudah pelaksanaan pengambilan bahan untuk pemeriksaan

sitologi. Untuk menentukan luas radiasi beberapa jenis tumor mediastinum

sebaiknya dilakukan CT-Scan toraks dan CT-Scan abdomen.

4. Flouroskopi

Prosedur ini dilakukan untuk melihat kemungkinan aneurisma aorta.

5. Ekokardiografi

Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi pulsasi pada tumor yang diduga aneurisma.

27
6. Angiografi

Teknik ini lebih sensitif untuk mendeteksi aneurisma dibandingkan flouroskopi dan

ekokardiogram.

7. Esofagografi

Pemeriksaan ini dianjurkan bila ada dugaan invasi atau penekanan ke esofagus.

8. USG, MRI dan Kedokteran Nuklir

Meski jarang dilakukan, pemeriksaan-pemeriksaan terkadang harus dilakukan untuk

beberapa kasus tumor mediastinum.

I. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan untuk tumor mediastinum yang jinak adalah pembedahan sedangkan

untuk tumor ganas, tindakan berdasarkan jenis sel kanker. Tumor mediastinum jenis limfoma

Hodgkin's maupun non Hondgkin's diobati sesuai dengan protokol untuk limfoma dengan

memperhatikan masalah respirasi selama dan setelah pengobatan. Penatalaksanaan tumor

mediastinum nonlimfoma secara umum adalah multimodality meski sebagian besar membutuhkan

tindakan bedah saja, karena resisten terhadap radiasi dan kemoterapi tetapi banyak tumor jenis

lain membutuhkan tindakan bedah, radiasi dan kemoterapi, sebagai terapi adjuvant atau

neoadjuvant. Syarat untuk tindakan bedah elektif adalah syarat umum, yaitu pengukuran toleransi

berdasarkan fungsi paru, yang diukur dengan spirometri dan jika mungkin dengan body box. Bila

nilai spirometri tidak sesuai dengan klinis maka harus dikonfirmasi dengan analisis gas darah.

Tekanan O2 arteri dan Saturasi O2 darah arteri harus >90%.

Syarat untuk radioterapi dan kemoterapi adalah:

 Hb > 10 gr%

 leukosit > 4.000/dl


28
 trombosit > 100.000/dl

 tampilan (performance status) >70 Karnofsky

Jika digunakan obat antikanker yang bersifat radiosensitaizer maka radio kemoterapi dapat

diberikan secara berbarengan (konkuren). Jika keadaan tidak mengizinkan, maka kombinasi

radiasi dan kemoterapi diberikan secara bergantian (alternating: radiasi diberikan di antara siklus

kemoterapi) atau sekuensial (kemoterapi > 2 siklus, lalu dilanjutkan dengan radiasi, atau radiasi

lalu dilanjutkan dengan kemoterapi). Selama pemberian kemoterapi atau radiasi perlu diawasi

terjadinya melosupresi dan efek samping obat atau toksisiti akibat tindakan lainnya.

29
30
BAB III

LAPORAN KASUS

Identitas pasien

Nama penderita : Tn.B

Alamat : Bukik Sileh

Pekerjaan : Petani

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 43 tahun

Tanggal dirawat : 10 maret 2023

Anamnesa

Keluhan Utama : Seorang pasien laki-laki usia 43 tahun datang ke IGD RSUD

M. Natsir dengan keluhan lemah anggota gerak bawah sejak 10 jam

SMRS.

RPS : Anamnesa dengan pasien.

Tn.B, usia 43 tahun datang ke IGD RSUD M. Natsir dengan keluhan lemah

anggota garak bawah sejak 10 jam sebelum masuk rumah sakit. Keluhan seperti ini

baru dirasakan pertama kali. Keluhan disertai : batuk(+),dada sakit sampa i

ba hu,demam(-),dan mua l muntah disangkal

31
Riwayat Penyakit Dahulu :

 Riwayat hipertensi tidak ada .

 Riwayat diabetes mellitus tidak ada.

 Riwayat stroke tidak ada.

 Riwayat penyakit jantung tidak ada.

 Tumor mediastinum (pasien menolak untuk dioperasi).

Riwayat Penyakit Keluarga :

 Riwayat hipertensi tidaj ada.

 Riwayat diabetes mellitus tidak ada.

 Riwayat penyakit jantung tidak ada.

 Riwayat stroke tidak ada.

Riwayat Pribadi dan Sosial :

Pasien bekerja sebagai p e t a n i , sudah menikah dan memiliki 2 orang anak.

Pasien tinggal bersama istri dan adik kandung. Pasien tidak memiliki kebiasaan

merokok, minum kopi ataupun alkohol.

32
1. Pemeriksaan Fisik

Umum

 Keadaan umum : Sedang


 Kesadaran : Compos mentis
 Nadi : 100x/menit
 Irama : Reguler
 Pernafasan : 20x/menit
 Tekanan darah : 112/79
 Suhu : 36,1C
 Turgor kulit : Normal
 Kulit dan kuku : CRT < 2 detik

Kelenjar Getah Bening


 Leher : Tidak ada pembesaran KGB
 Aksila : Tidak ada pembesaran KGB
 Inguinal : Tidak ada pembesaran KGB

Paru
 Inspeksi : Bentuk dan pergerakan simetris kiri dan kanan
 Palpasi : Fremitus kiri dan kanan sama
 Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi : Vesikuler kiri dan kanan, wheezing (-), rhonki
(+)

Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
 Perkusi : Dalam batas normal
 Auskultasi : Irama regular, murmur (-), S3 gallop (-)

33
Abdomen
 Inspeksi : Perut tidak tampak pembesaran
 Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)
 Perkusi : Timpani
 Auskultasi : Bising usus (+)

2. Status Neurologikus
GCS : E4M6V5 = Compos mentis

A. Tanda Ransang Selaput Otak


 Kaku kuduk : Negatif
 Brudzinki I : Negatif
 Brudzinki II : Negatif
 Tanda Kernig : Negatif

B. Tanda Peningkatan Intrakranial


 Pupil : Isokor (3mm/3mm

C. Pemeriksaan Nervus Kranialis


N. I Olfaktorius
Penciuman Kanan Kiri
Subjektif Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Objektif Dengan Bahan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. II Optikus
Penglihatan Kanan Kiri
Tajam Penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Melihat Warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lapang Pandang Tidak dilakukan Tidak dilakukan

34
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. III Okulomotorius
Kanan Kiri
Bola Mata Simetris Simetris
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Gerakan Bulbus Normal Normal
Strabismus Tidak ada Tidak ada
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
Ekso/Endopthalamus Tidak ada Tidak ada
Pupil Isokor Isokor
 Bentuk Bulat, Isokor Bulat, Isokor
 Reflek Cahaya + +
 Reflek Akomodasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Reflek Konvergensi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. IV Troklearis
Kanan Kiri
Gerakan Mata Kebawah Normal Normal
Sikap Bulbus Normal Normal
Diplopia - -

N. V Trigeminus
Kanan Kiri
Motorik
 Membuka Mulut Normal Normal
 Menggerakan Normal Normal
Rahang
 Menggigit Normal Normal

35
 Mengunyah Normal Normal
Sensorik

N. VI Abdusen
Kanan Kiri
Gerakan Mata Kelateral Normal Normal
Sikap Bulbus Tidak dapat dilakukan Tidak dapat dilakukan
Diplopia - -

N. VII Fasialis
Kanan Kiri
Raut Wajah Normal
Menggerakan Dahi Normal
Menutup Mata Normal
Memperlihatkan Gigi Normal
Menggembungkan Pipi Normal
Sekresi Air Mata Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Fisura Palpebra Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sensasi Lidah 2/3 Depan Tidak dilakukan
Hiperakusis Tidak dilakukan

N. VIII Vestibulokoklearis
Kanan Kiri
Suara Berbisik Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Detik Arloji Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Rinne Test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Weber Test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Scwabach Test Tidak dilakukan Tidak dilakukan

36
N. IX Glosopharingeus
Sensasi Lidah 1/3 Belakang Tidak dilakukan
Reflek Muntah/Gag Reflek Tidak dilakukan

N. X Vagus
Arkus Faring Tidak dilakukan
Uvula Tidak dilakukan
Menelan Normal
Artikulasi Jelas
Suara Normal
Nadi Reguler

N. XI Accesorius
Kanan Kiri
Menoleh ke Kanan Normal Normal
Menoleh ke Kiri Normal Normal
Mengangkat Bahu Normal Normal

N. XII Hiplogosus
Kedudukan Lidah Dalam Normal
Kedudukan Lidah Dijulurkan Nomal
Tremor Tidak ada
Fasikulasi Tidak ada
Atrofi Tidak ada

37
D. Pemeriksaan Koordinasi
Cara Berjalan Tidak Dilakukan
Romberg Test Tidak Dilakukan
Ataksia Tidak Dilakukan
Rebound Phenomen Tidak Dilakukan
Tes Tumit Lutut Tidak Dilakukan
Disartria Tidak Dilakukan
Disgrafia Tidak Dilakukan
Tes Jari Hidung Tidak Dilakukan
Tes Hidung Jari Tidak Dilakukan
Supinasi-Pronasia Tidak Dilakukan

E. Pemeriksaan Fungsi Motorik


Badan Respirasi Normal : 20x/menit
Duduk Tidak dilakukan
Berdiri dan Berjalan Gerakan Spontan Tidak ada
Tremor Tidak ada
Atetosis Tidak ada
Mioklonik Tidak ada
Khorea Tidak ada
Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Aktif Aktif Pasif Pasif
Kekuatan 555 555 111 111
Atrofi - - - -

F. Pemeriksaan Sensibilitas
Sensibilitas Nyeri Tidak dilakukan
Sensibilitas Taktil Tidak dilakukan

38
Sensibilitas Termis Tidak dilakukan
Sensibilitas Kortikal Tidak dilakukan
Stereognosis Tidak dilakukan
Pengenalan 2 Titik Tidak dilakukan
Pengenalan Rabaan Tidak dilakukan

G. Sistem Refleks
1. Fisiologis Kanan Kiri Kanan Kiri
Kornea Tidak Tidak Biceps +++ +++
dilakukan dilakukan
Berbamgkis Tidak Tidak Triceps +++ +++
dilakukan dilakukan
Laring Tidak Tidak APR - -
dilakukan dilakukan
Maseter Tidak Tidak KPR - -
dilakukan dilakukan
Dinding Perut Tidak Tidak Bulbokavernosus Tidak Tidak
dilakukan dilakukan dilakukan dilakukan
 Atas Tidak Tidak Cremaster Tidak Tidak
dilakukan dilakukan dilakukan dilakukan
 Tengah Tidak Tidak Sfingter Tidak Tidak
dilakukan dilakukan dilakukan dilakukan
 Bawah Tidak Tidak
dilakukan dilakukan

2. Patologis Kanan Kiri


Hoffman- Negatif Negatif
Tromner
Babinsky Negatif Negatif

39
Chaddoks Negatif Negatif
Oppenheim Negatif Negatif
Gordon Negatif Negatif
Schaeffer Negatif Negatif

3. Fungsi Otonom
 Miksi : Normal
 Defekasi : Terganggu
 Sekresi Keringat : Normal

4. Fungsi Luhur
Kesadaran Tanda Dementia
 Reaksi Bicara Normal  Reflek Glabela Tidak dilakukan

 Fungsi Intelek Normal  Reflek Snout Tidak dilakukan


 Reaksi Emosi Normal  Reflek Menghisap Tidak dilakukan
 Reflek Memegang Tidak dilakukan

 Reflek Tidak dilakukan


Palmomental

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium tanggal 11/03/2023
 Darah Rutin
1. Hemoglobin : 9.2 g/dL(L)
2. Eritrosit : 3,77 106/mm3 (L)
3. Hematokrit : 29.6 %(L)
4. Leukosit : Normal
5. Trombosit : Normal

40
 Kimia Klinik
1. Glukosa Darah : 149 mg/dL
2. Ureum : 22 mg/dL
3. Kreatinin : 0.95 mg/dL
4. Kalsium : 8.88 mg/dL
 Kimia Klinik
1. Trigliserida : 145 mg/dL
2. Kolesterol Total : 157 mg/dL
3. Kolesterol HDL : 58 mg/dL
4. Kolesterol LDL : 91 mg/dL (L)
5. Asam Urat : 5.5 mg/dL

Rencana Pemeriksaan
1. Rontgen Toraks :
- ditemukan gambaran
pneumonia
- Suspect efusi pleura
bilateral

41
Diagnosis
Diagnosis Klinis : Paraplegia Inferior tipe Spastic (UMN)

Diagnosis Topik : Medulla Spinalis thoracal 10


Diagnosis Etiologi : Spinal Cord Injury Non Traumatic (Tumor
Mediastinum)
Diagnosis Sekunder : Tumor
Terapi
Umum/Suportif
 IVFD RL 12 Jam/Kolf
 Oksigen Terpasang
 Kateter Terpasang
Khusus
 Furosemid 1x1
 Doxametason 1x1
 MST 2x10 g
 Ranitidin 2x1
 B.Complex 1x1
 Asam Folat 1x1

Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : malam
Quo ad fungsionam : malam

42
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Parese adalah kelemahan parsial yang ringan/tidak lengkap atau suatu kondisi yang

ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu. Plegia adalah

kelemahan berat/kelumpuhan sebagai akibat kerusakan sistem saraf. Paraplegi terbagi

menjadi tipe spastic (UMN) dan flaksid (LMN).Paraplegi spastik adalah kekakuan otot

dan kejang otot disebabkan oleh kondisi saraf tertentu. Paraplegi spastik disebabkan oleh

spondylitis TB , spinal cord injury, genetic disorder (hereditary spastic paraplegia),

autoimmune diseases, syrinx (a spinal chord disorder) 6,tumor medulla spinalis, mutiple

sclerosis.

Paraplegi flaksid adalah kelemahan atau kurangnya otot yang tidak memiliki penyebab

yang jelas. Otot lemas sebagian karena kurangnya aktivitas dalam otot, gerakan sukarela

yang sebagian atau seluruhnya hilang. Paraplegi flaksid termasuk polio, lesi pada neuron

motorik yang lebih rendah, Guillain Barre syndrome.

4.2. Saran

Melalui Case report session ini diharapkan mahasiswa kedokteran dapat

menegakkan diagnosis dan menatalaksana dengan baik dan tepat karena telah

mengetahui penyebab serta pencegahan maupun pengobatah terhadap pasien dengan

paraplegia.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Adam, R.D., Victor, M. and Ropper, A.H. 2005. Principles of Neurology. Edisi 8. New
York : McGraw-Hill. p 50-52; 1049-1092
2. Japardi, Iskandar. 2002. Radikulopati Thorakalis. Diakses dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1994/1/bedah-iskandar%20japardi43.pdf.
Diakses 4 Desember 2012.
3. Mumenthaler, M. and Mattle, H. 2006 .Fundamental of Neurology. NewYork: Thieme.p146-
147.6.
4. Guirguis, A. R. (1967). Pott Paraplegia. Cairo : The Journal of Bone and Joint Surgery.
11. Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf. Edisi IV. Jakarta: PT. GramediaPustaka
5. Pratama S, Syahruddin E, Hudoyo A. Karakteristik Tumor Mediastinum Berdasarkan
Keadaan Klinis, Gambaran CT SCAN dan Petanda Tumor Di Rumah Sakit Persahabatan.
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia,2003.
6. Temes R, Chavez T, Mapel D, Ketai L, Crowell R, Key C, et al. Primary mediastinal
malignancies: finding in 219 patients. West J Med 1999; 170(3): 161-6.
7. Tim kelompok kerja PDPI. Tumor mediastinum. Pedoman diagnosis & penatalaksanaan di
Indonesia,2003.
8. Amin Z. Penyakit mediastinum. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor Sudoyo AW
dkk. Jilid II edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta.2006: 1011-
4.
9. Bennisler L. Respiratory system. In: Gray’s anatomy. Williams PL, Bennister L, Berry
LH,Collins P, Dyson M, Dussek JE, et al. Editors. 38 th ed, Churchill Livingstone,
Edinburgh,1999.p. 1627-76.
10. Diana Kohnle. 2011. Paraplegia. Keck Medical Center of University Of Sourthern California

44

Anda mungkin juga menyukai