Anda di halaman 1dari 29

Makalah

AIRWAY MANAGEMENT TANPA ALAT DAN DENGAN ALAT

Disusun Oleh:

M.Fadhil Yerilwan Putra 2210070200125

Preseptor:

dr.Ade Ariadi, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH M. NATSIR SOLOK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas rahmat Tuhan yang Maha Esa karena kehendak-Nya penulis

dapat menyelesaikan makalah dengan judul AIRWAY MANAGEMENT TANPA

ALAT DAN DENGAN ALAT. Makalah ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam

Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi. Mengingat pengetahuan dan pengalaman

penulis serta waktu yang tersedia untuk menyusun makalah ini sangat terbatas,

penulis sadar masih banyak kekurangan baik dari segi isi, susunan bahasa, maupun

sistematika penulisannya. Untuk itu kritik dan saran pembaca yang membangun

sangat penulis harapkan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada

dr.Ade Ariadi, Sp.An Preseptor Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi di Rumah

Sakit Umum Daerah M. Natsir Solok, yang telah memberikan masukan yang

berguna dalam penyusunan makalah ini.

Akhir kata penulis berharap kiranya makalah ini dapat menjadi masukan yang

berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi lain terkait

dengan masalah kesehatan pada umumnya, khususnya mengenai AIRWAY

MANAGEMENT TANPA ALAT DAN DENGAN ALAT.

Solok, 12 November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan………………………………………………………….......2
1.3 Manfaat Penulisan ............................................................................................3
1.4 Metode Penulisan .............................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................3


2.1 Definisi Nyeri Kronis........................................................................................3
2.2 Klasifikasi Nyeri Kronis .................................................................................. 6

BAB III PENUTUP .............................................................................................23


3.1 Kesimpulan ......................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................24

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penguasaan manajemen jalan nafas merupakan hal mendasar pada setiap bidang

medis. Mempertahankan jalan nafas tetap paten sangat penting untuk mendapatkan

oksigenasi dan ventilasi yang adekuat. Kegagalan dalam mengenali gagal nafas

memiliki periode waktu untuk melakukannya, sehingga jika terlamabat dapat

mengancam nyawa pasien.1 Karena bila terjadi henti napas primer, jantung dapat terus

memompa darah selama beberapa menit dan sisa O2 yang ada dalam paru dan darah

akan terus beredar ke otak dan organ vital lain. Namun bila sampai terjadi henti jantung

primer, O2 tidak beredar dan O2 yang tersisa dalam organ vital akan habis dalam

beberapa detik. Hipoksia yang disebabkan oleh sumbatan jalan napas terjadi paling

cepat dibandingkan dengan hipoksia akibat gangguan fungsi organ lain. Sehingga

manajemen jalan napas merupakan salah satu keterampilan yang paling penting

dimiliki.2

1
1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik senior

dibagian ilmu Anestesi RSUD M. Natsir dan diharapkan agar dapat menambah

pengetahuan penulis serta bisa menjadi bahan referensi bagi para pembaca mengenai

Airway Management tanpa alat dan dengan alat.

1.2.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui mengenai

jenis-jenis dari Airway Management tanpa alat dan dengan alat.

1.3 Manfaat Penulisan

1. Sebagai sumber media informasi mengenai Airway Management tanpa alat

dan dengan alat

2. Untuk memenuhi tugas makalah kepanitraan klinik senior dibagian ilmu

anestesi RSUD M. Natsir.

1.4 Metode Penulisan

Makalah ini dibuat dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk pada

berbagai literatur.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Airway Management tanpa alat

A. Triple Manuver

a. Head tilt

Tindakan menekan dahi dengan cara meletakkan satu telapak tangan di dahi pasien dan

tekan ke bawah sehingga kepala menjadi mengadah, penyangga leher tegang, dan lidah

terangkat ke depan.3,4

b. Chin lift

Dilakukan dengan cara jari jemari salah satu tangan diletakkan dibawah rahang yang

kemudian secara hati-hati diangkat keatas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari

tangan yang sama dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari

juga dapat diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan secara bersamaan dagu

dengan hati-hati diangkat. Manuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi

leher. Manuver ini berguna pada pasien trauma karena tidak membahayakan pasien

dengan kemungkinan patah ruas tulang leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera

spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal.3,4

3
c. Jaw thrust

Tindakan mendorong angulus mandibula kanan dan kiri ke depan dengan jari-jari

kedua tangan, kedua ibu jari membuka mulut, dan kedua telapak tangan menempel

pada kedua pipi pasien untuk melakukan imobilisasi kepala.3,4

B. Manuver Heimlich

Manuver Heimlich (The Committee on Trauma: American College of Surgeon:

Yayasan Essentia Medica, 1983: 22) ini merupakan metode yang paling efektif untuk

mengatasi obstruksi saluran pernapasan atas akibat makanan atau benda asing yang

terperangkap dalam faring posterior atau glottis.5,6,7

Berikut adalah cara melakukan heimlich manuver :

a. Penolong berdiri di belakang korban

b. Lingkari pinggang korban dengan kedua lengan penolong

4
c. Kepalkan satu tangan dan letakkan sisi jempol tangan kepalan pada perut korban (di

bawah ujung sternum)

d. Pegang erat kepalan tangan ke perut dengan hentakan yang cepat ke atas. Setiap

hentakan harus terpisah dan gerakan yang jelas.

e. Lakukan sampai sumbatan keluar dari mulut korban

C. Back blow (untuk bayi)

Bila penderita sadar dapat batuk keras, observasi ketat. Bila napas tidak efektif atau

berhenti, lakukan back blow 5 kali (hentakan keras pada punggung korban di titik

silang garis antara belikat dengan tulang punggung/vertebrae).7

D. Chest thrust (untuk bayi, anak gemuk, dan wanita hamil)

5
Bila penderita sadar lakukan chest thrust 5 kali (tekan tulang dada dengan jari(bayi)

atau kepalan tangan (ibu hamil) dibawah garis imajinasi antara kedua putting susu

pasien). Bila sadar, tidurkan terlentang dan lakukan chest thrust tarik lidah apakah ada

benda asing, beri napas buatan.7

2.2 Airway Management dengan alat

Hilangnya tonus otot jalan napas bagian atas pada pasien yang dianestesi menyebabkan

lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding posterior faring. Mengubah posisi

kepala atau jaw thrust merupakan teknik yang disukai untuk membebaskan jalan napas.

Untuk mempertahankan jalan napas bebas, jalan napas buatan (artificial airway) dapat

dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk menimbulkan adanya aliran udara antara

lidah dengan dinding faring bagian posterior.

A. Oropharyngeal tube

6
Alat ini dipasang lewat mulut sampai ke faring sehingga menahan lidah tidak jatuh

menutup hipofaring. Ukuran harus tepat yaitu dari Tengah mulut sampai ke angulus

mandibula atau dari tepi mulut sampai ke tragus. Cara memasang alat ini dengan cara

terbalik yaitu menyusuri palatum durum sampai palatum molle kemudian diputar 180

derajat sehingga bagian yang cekung mengarah ke caudal. Alat ini merangsang muntah

dan tidak disukai bila kesadaran pasien membaik. Pasien yang sadar atau

dalam anestesi ringan dapat terjadi batuk atau spasme laring pada saat memasang jalan

napas artifisial bila refleks laring masih intak.

Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan penekanan refleks jalan

napas dan kadang-kadang dengan menekan lidah dengan spatel lidah. Oral airway

dewasa umumnya berukuran kecil (80 mm/Guedel No 3), medium (90 mm/Guedel no

4), dan besar (100 mm/Guedel no 5).8

B. Nasopharyngeal tube

Alat ini dipasang lewat salah satu lubang hidung sampai ke faring yang akan menahan

jatuhnya pangkal lidah agar tidak menutup hipofaring. Diameter disesuaikan dengan

7
besarnya lubang hidung pasien, secara mudah kira-kira sebesar diameter jari kelingking

pasien. Pada waktu memasang pelumasan harus baik agar tidak melukai pembuluh

darah yang ada di rongga hidung. Disebabkan adanya resiko epistaksis, nasal airway

tidak boleh digunakan pada pasien yang diberi antikoagulan atau anak dengan adenoid.

Juga, nasal airway jangan

digunakan pada pasien dengan

fraktur basis cranii. Setiap pipa

yang dimasukkan

melalui hidung (nasal airway, pipa

nasogastrik, pipa nasotrakheal) harus

dilubrikasi. Nasal airway lebih

ditoleransi daripada oral

airway pada pasien dengan

anestesi ringan karena alat ini lebih

dapat diterima karena kemungkinan merangsang muntah lebih kecil.8

8
C. Sungkup muka ( face mask)

Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas anestesi dari

sistem breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan rapat. Lingkaran dari

face mask disesuaikan dengan bentuk muka pasien. Orificium face mask dapat

disambungkan ke sirkuit mesin anestesi melalui konektor. Face mask yang transparan

dapat mengobservasi uap gas ekspirasi dan muntahan. Ventilasi yang efektif

memerlukan jalan napas yang bebas dan face mask yang rapat atau tidak bocor. Teknik

pemasangan face mask yang tidak tepat dapat menyebabkan reservoir bag kempis

walaupun klepnya ditutup, hal ini menunjukkan adanya kebocoran sekeliling face

mask. Sebaliknya, tekanan sirkuit breathing yang tinggi dengan pergerakan dada dan

suara pernapasan yang minimal menunjukkan adanya obstruksi jalan napas. Bila face

mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan untuk melakukan

ventilasi dengan tekanan positif dengan memeras breathing bag. Face mask dipasang

dimuka pasien dan sedikit ditekan pada badan face mask dengan ibu jari dan telunjuk.

Jari tengah dan jari manis menarik mandibula untuk ekstensi joint atlantooccipital.

Tekanan jari-jari harus pada mandibula, jangan pada jaringan lunak yang menopang

dasar lidah karena dapat terjadi obstruksi jalan napas. Jari kelingking ditempatkan

dibawah sudut jaw dan digunakan untuk jaw thrust manuver yang paling penting

9
untuk dapat melakukan ventilasi pasien.5,6,9

D. Intubasi Endotracheal Tube (ETT)

Intubasi trakea adalah tindakan memasukan pipa khusus ke dalam trakea sehingga jalan

napas dapat bebas hambatan dan napas mudah dibantu atau dikendalikan. Pipa trakea

mengantarkan gas anestetik langsung kedalam trakea. Ukuran diameter pipa trakea

dalam millimeter, karena penampang melintang trakea bayi, anak dan dewasa

berbeda,penampang melintang bayi dan anak kecil dibawah usia lima tahun hampir

bulat, sedangkan dewasa seperti huruf D, maka pada bayi dan anak digunakan pipa

trakea yang tidak ada cuff dan pada dewasa menggunakan cuff agar tidak terjadi

kebocoran. Pipa trakea dapat dimasukkan melalui hidup atau mulut.6,9

Pada anestesi umum tindakan ini bertujuan untuk :9

a. Mempermudah pemberian anestesi.

b. Mempertahankan agar jalan napas tetap bebas, mempertahankan kelancaran

pernapasan.

c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.

10
d. Memudahkan penghisapan sekret trako bronchial

e. Pemakaian ventalasi mekanis yang lama

Anestesi umum dengan teknik endotrakea dilakukan pada operasi yang lama yang

memerlukan napas kendali.

1. Teknik intubasi 6,9

Alat yang digunakan :

a. Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas intubasi

trakea. Terdiri dari bagian pegangan atau batang (handle) dan bilah (blade). Ada 3-4

ukuran bilah. Handle biasanya berisi batre untuk cahaya bola lampu pada ujung blade,

atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung blade. Cahaya dari bundle

fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar. Ada beberapa jenis laringoskop yaitu

tipe magill yaitu bilah lurus dan tipe macintosh dengan bentuk bilah bengkok. Bilah

macintosh ini paling sering dipakai untuk tindakan intubasi karena kurang traumatis

dan lapangan pandang luas serta kemungkinan timbul reflek vagal

berkurang.

11
b. Endotracheal tube (ETT) digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung ke

dalam trakea dan berfungsi untuk mengontrol ventilasi dan oksigenasi.

2. Cara intubasi 6,9

 Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput

diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang

cukup keras atau botol infus 1 gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi

serta trachea dan laringoskop berada dalam satu garis lurus.

 Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan

oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2

12
menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan

kanan.

 Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang

laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari

sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke

dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat

uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan

kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang

tampak keputihan berbentuk huruf V.

 Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui

sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu,

sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior

sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet

dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan

memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan

daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.

 Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi.

Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan

suara napas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di

pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda

berupa suara napas kanan berbeda dengan suara napas kiri, kadang-kadang

timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan napas terasa lebih

13
berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai

ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus

maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat

ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin

lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut

dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.

 Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien

bersangkutan.

3. Indikasi Intubasi Trakea

14
Indikasi intubasi endotrakeal yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan saluran udara

yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang, meminimalkan risiko

aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan gawat atau

pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi yang tidak adekuat,

ventilasi dengan thoracoabdominal pada saat pembedahan, menjamin fleksibilitas

posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala, memungkinkan berbagai posisi

(misalnya,tengkurap, duduk, lateral, kepala ke bawah), menjaga darah dan sekresi

keluar dari trakea selama operasi saluran napas.3

Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah trauma servikal yang memerlukan keadaan

imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.3

E. Laryngeal Mask Airway (LMA)

LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian proksimal

dihubungkan dengan sirkuit napas dengan konektor berukuran 15 mm, dan dibagian

distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat pipa. Balon

dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara membuta ke

hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon dengan tekanan rendah ada di muara

laring. Pemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk

memasukan oral airway. Posisi ideal dari balon adalah dasar lidah di bagian superior,

sinus pyriforme dilateral, dan spincter oesopagus bagian atas di inferior. Jika esophagus

terletak di rim balon, distensi lambung atau regurgitasi masih mungkin terjadi. Variasi

anatomi mencegah fungsi LMA yang adekuat pada beberapa pasien. Akan tetapi, jika

LMA tidak berfungsi semestinya dan setelah mencoba memperbaiki masih tidak baik,

kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA lain yang ukurannya lebih besar atau lebih

15
kecil. Karena penutupan oleh epiglotis atau ujung balon merupakan penyebab

kegagalan terbanyak, maka memasukkan LMA dengan penglihatan secara langsung

dengan laringoskop menguntungkan pada kasus yang sulit. Demikian juga, sebagian

balon digembungkan sebelum insersi dapat sangat membantu. Pipa di plester seperti

halnya ETT. LMA melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak terhadap regurgitasi

lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada tempatnya sampai reflek jalan

napas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai

dengan batuk atau membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang dapat dipakai

lagi, dapat di autoklaf, dibuat dari karet silikon (bebas latek) dan tersedia dalam

berbagai ukuran.6,10,11

16
LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau ETT. Kontraindikasi

untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya abses), sumbatan faring,

lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal), atau komplians paru rendah

(misalnya penyakit restriksi jalan napas) yang memerlukan tekanan inspirasi puncak

lebih besar dari 30 cm H2O. Secara tradisional, LMA dihindari pada pasien dengan

bronkhospasme atau resistensi jalan napas tinggi, akan tetapi, bukti-bukti baru

menunjukkan bahwa karena tidak ditempatkan dalam trakhea, penggunaan LMA

dihubungkan dengan kejadian bronchospasm kurang dari pada dengan ETT. Walaupun

hal ini nyata tidak sebagaipenganti untuk trakheal intubasi, LMA membuktikan sangat

membantu terutama pada pasien dengan jalan napas yang sulit (yang tidak dapat

diventilasi atau diintubasi) disebabkan mudah untuk memasangnya dan angka

keberhasilannya relatif besar (95-99%). 8,12

Adapun langkah-langkah pemasangan LMA adalah sebagai berikut : 8,11

- Cuff harus dikempeskan maksimal sebelum dipasang. Pengempisan harus bebas dari

lipatan dan sisi cuff sejajar dengan sisi lingkar cuff.

- Oleskan jeli pada sisi belakang LMA sebelum dipasang. Hal ini untuk menjaga agar

ujung cuff tidak menekuk pada saat kontak dengan palatum. Pemberian jeli pada sisi

depan akan dapat mengakibatkan sumbatan atau aspirasi, karena itu tidak dianjurkan.

- Sebelum pemasangan, posisi pasien dalam keadaan “air sniffing” dengan cara

menekan kepala dari belakang dengan menggunakan tangan yang tidak dominan. Buka

mulut dengan cara menekan mandibula kebawah atau dengan jari ketiga tangan yang

dominan.

- LMA dipegang dengan ibu jari dan jari telunjuk pada perbatasan antara pipa dan cuff.

17
- Ujung LMA dimasukkan pada sisi dalam gigi atas, menyusur palatum dan dengan

bantuan jari telunjuk LMA dimasukkan lebih dalam dengan menyusuri palatum.

- LMA dimasukkan sedalam-dalamnya sampai rongga hipofaring. Tahanan akan terasa

bila sudah sampai hipofaring.

- Pipa LMA dipegang dengan tangan yang tidak dominan untuk mempertahankan

posisi, dan jari telunjuk dikeluarkan dari mulut pasien.

- Cuff dikembangkan sesuai posisinya.

- LMA dihubungkan dengan alat pernapasan dan dilakukan pernapasan bantu. Bila

ventilasi tidak adekuat, LMA dilepas dan dilakukan pemasangan kembali.

- Pasang bite – block untuk melindungi pipa LMA dari gigitan, setelah itu lakukan

fiksasi.

F. Trakeostomi

Trakeostomi adalah tindakan operasi membuat jalan udara melalui leher dengan

membuat stoma atau lubang di dinding depan/ anterior trakea cincin kartilago trakea

ketiga dan keempat, dilanjutkan dengan membuat stoma, diikuti pemasangan kanul.

Trakeostomi dapat menyelamatkan jiwa penderita yang mengalami obstruksi jalan

napas di atas trakea dan tidak dapat diatasi dengan cara lain, misalnya intubasi. 3,7,13

Trakeostomi juga dilakukan pada penderita yang memerlukan bantuan pernapasan

18
buatan untuk waktu lama dan yang memerlukan bantuan pernapasan buatan untuk

waktu lama dan yang memerlukan pertolongan pembersihan jalan napas secara

memadai. Terdapat beberapa hal yang menjadi indikasi dan kontraindikasi tindakan

trakeostomi. Indikasi trakeostomi antara lain adanya obstruksi mekanis saluran napas

atas, perlindungan cabang trakeobronkial pada pasien yang beresiko aspirasi, gagal

napas, retensi sekresi bronkial, dan trakeostomi elektif seperti pada kasus bedah leher

dan kepala mayor.

Kontraindikasi trakeostomi antara lain koagulopati tak terkoreksi, infeksi pada bagian

insisi, rasio tinggi pada tekanan positif akhir ekspirasi terhadap fraksi oksigen yang

dihirup, peningkatan tekanan intrakranial, obstruksi trakea, dan adanya kelainan

anatomi trakea.

a. Alat Trakeostomi

Alat-alat dan bahan yang digunakan untuk melakukan trakeostomi cukup beragam.

Alat bahan tersebut meliputi tracheostomy tube, obturator, kateter pengisap, kantung

resusitasi, pipa endotrakeal, spuit 10 ml, pemegang trakeostomi, spons penguras,

hidrogen peroksida, larutan fisiologis, peralatan intubasi, dan oksigen.14

Ukuran dari tracheostomy tube yang dipakai bergantung dari kelompok usia dan berat

badan pasien.

19
b. Prosedur Trakeostomi

Prosedur pembedahan trakeostomi dimulai dengan mengekstensikan kepala pasien lalu

mengelevasikan laring serta bagian atas trakea. Berikan antibiotik profilaksis 30-60

menit sebelum mulai insisi. Lakukan sterilisasi pada bagian yang akan diinsisi, lalu

masukan anestesi lokal untuk mengurangi perdarahan. Lakukan insisi sepanjang

2-3 cm pada cincin trakeal kedua. Hindari insisi hingga sedalam jaringan subkutan agar

tidak melukai isthmus tiroid atau vena leher yang besar. Diseksi pada otot platisma dan

kontrol perdarahan dengan hemostatis atau elektrokauter. Jika ditemukan kelenjar

tiroid di superior cincin trakeal ketiga, maka retraksikan kelenjar ke atas untuk

mendapat akses ke trakea. Jika kelenjar terletak antara cincin kedua dan ketiga, maka

dapat dilakukan insisi kecil pada kelenjar atau transeksi kelenjar

komplit. Terdapat 2 macam entri trakea, yaitu dengan membuang bagian anterior dari

cincin trakea secara komplit untuk membuat stoma atau pembentukan flap pada bagian

terparah cincin trakea. Pada pembuangan cincin, cincin diangkat dengan kait trakea

dan dua jahitan sirkumferensial di sekitar cincin. Setelah itu bagian tengah cincin yang

telah dijahit dapat dibuang sehingga terbentuk lubang pada dinding

20
anterior untuk jalan masuk pipa trakeostomi. Pada cara yang kedua, yaitu dengan

membuat flap atau penutup pada dinding trakea di kulit.

Hal ini dilakukan dengan cara menginsisi fasia pada bagian cincin superior untuk

membentuk fistula dan memasukan pipa trakeostomi pada margin inferior. Penutup

yang sudah terbuat dapat ditempelkan ke kulit dengan beberapa jahitan. Fistula ini yang

akan menjadi stoma dengan mukosa trakea yang menempel di kulit.7

G. Krikotirotomi

Krikotirotomi adalah suatu prosedur bedah dalam manajemen saluran napas (airway

management ) untuk membuka membran krikotiroid pada saat pasien emergensi tidak

dapat diventilasi dan tidak dapat diintubasi. Krikotirotomi disebut juga laringostomi,

laringotomi, krikotirostomi, atau koniotomi. Setelah membran krikotiroid terbuka,

oksigen dapat masuk ke saluran napas secara langsung atau melalui jarum

krikotirotomi untuk membuat ventilasi jet translarigeal.13

Krikotirotomi dilakukan dengan beberapa indikasi. Indikasi yang dimaksud antara lain

21
adanya kegagalan intubasi, obstruksi saluran napas atas, retensi sekresi, gagal napas

setelah sternotomi, fraktur servikal, dan trauma fasial. Kegagalan intubasi dapat

ditemui pada kasus spasme maseter, perdarahan masif oral, nasal, atau faringeal, dan

spasme larigeal.

Obstruksi saluran napas dapat ditemui pada kasus traumatik yang menyebabkan edema

laringeal atau nontraumatik seperti adanya tumor atau massa.

Kontraindikasi krikotirotomi yaitu intubasi endotrakeal dapat dilakukan dengan cepat

dan mudah, adanya transeksi trakea dengan retraksi bagian distal mediastinum, fraktur

laring, anak di bawah 12 tahun, diatesis berdarah, dan pasien dengan edema masif pada

leher. Pasien henti jantung juga tidak boleh dilakukan krikotirotomi.3,13,16

Peralatan bedah yang dibutuhkan untuk krikotirotomi yaitu kateter intubasi, pipa

endotrakeal, dan skapel. Skapel yang digunakan berupa skapel dengan pisau no. 15 dan

no. 11. Selain itu yang perlu dipersiapkan adalah dilator trakeal, hemostats, gunting,

kait trakeal, pemegang jarum, pipa trakeostomi, suntikan berisi lidokain dan epinefrin

untuk anestesi lokal, larutan preparasi, dan sarung tangan steril.3

Prosedur krikotirotomi secara runtut dibagi menjadi tahap persiapan posisi, stabilisasi,

insisi kutaneus, insisi krikotiroid, stabilisasi, dilatasi, insersi, konfirmasi, dan fiksasi.

Pada tahap persiapan posisi, leher dihiperekstensikan menggunakan penyangga di atas

bahu. Setelah itu pada tahap stabilisasi, tangan yang nondominan menstabilkan

kartilago laringeal dengan cara kelingking di jakun serta ibu jari dan jari tengah di

sebelah lateralnya. Lalu lakukan insisi kutaneus secara vertikal hingga terlihat

membran krikotiroid. Buat insisi horizontal pada membrane krikotiroid tanpa

menggores dinding trakea posterior. Stabilisasikan hasil insisi dengan kait pada

22
superior dan inferior kulit agar tetap insisi tetap terbuka. Pada tahap dilatasi, gantikan

pisau skalpel dengan dilator Trousseaux atau hemostats yang melengkung. Setelah

terdilatasi, masukan pipa trakeostomi ukuran 6 mm atau pipa khusus krikotirotomi.

Nilai jalur masuk udara yang masuk melalui pipa dan cek posisi pipa apakah sudah

tepat atau belum. Jika mungkin, lakukan auskultasi dada atau pemotretan radiologi

untuk memastikan tidak ada pneumothoraks. Setelah pipa terpasang, fiksasi pipa

dengan kain, ikatan trakeal, dan jahitan atau pita perekat di sekitar pipa.16

23
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pembebasan jalan nafas merupakan hal utama yang harus dikuasai karena terkait

dengan kebutuhan oksigen tubuh yang apabila terjadi kegagalan akan berdampak pada

kematian.

Menjaga jalan napas dapat dilakukan dengan maupun tanpa alat, seperti triple airway

manuver. Sedangkan yang menggunakan alat dapat menggunakan alat seperti

nasopharyngeal airway, oropharyngeal airway, face mask dan intubasi trakea.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Gupta, S, Sharma, R, Jain, D. 2005. Airway Assessment : Predictors of Difficult


Airway. Indian J Anaesth : 4. pp. 257-262.
2. American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care: Section 1. Executive summary. Circulation 2010;
122: S640-S656
3. Clinical Practice Procedure. 2015. Airway Management/Surgical Cricothyrotomy.
Queensland Ambulance Service. Pp: 380-385.
4. Galvin I, Drummond GB, Nirmalan M. Distribution of blood flow and ventilation
in the lung: gravity is not the only factor. British Journal of Anaesthesia; 2007, 98:
420-8.
5. European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2010: Section 1.
Executive summary. Resuscitation 2010; 81:1219-1276
6. Stock MC. Respiratory Function in Anesthesia in Barash PG, Cullen BF, Stelting
RK, editors. Clinical Anesthesia 5th ed. Philadelphia: Lippincott William &
Wilkins; 2006, p. 791-811.
7. Durbin, C.G. 2005. Techniques for Performing Tracheostomy. Respiratory Care 4
(50): 488-496
8. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in Clinical Anesthesilogy
4th ed. McGraw-Hill; 2007.
9. Boulton et al, 2013. Utamakan Keselamatan Jiwa. Anatesiologi Ed. 10. Jakarta,
EGC pp 43-49
10. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu dasar Anestesi in Petunjuk Praktis
Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8
11. Schwartz SI, ed. Principles of surgery companion handbook. 7th ed. New
york:McGraw-Hill; 2009:53-70.
12. Prasenohadi. Manajemen Jalan Napas; Pulmonologi Intervensi dan Gawat Darurat
Napas. FK UI, Jakarta, 2010.
13. Mace, S.E., J.R. Hedges. 2012. Chricotyrotomi and Translaryngeal Jet Ventilation.

25
Dalam The ABCs of Emergency Medicine. Edisi 12. Pp:115-125. Toronto:
University of Toronto
14. Guyton AC, Hall JE.Textbook of medical physiology. 9th ed. Pennsylvania:
W.B.saunders company; 2007: 375-393
15. American Society of Anesthesiologists. 2013. Practice Guidelines for
Management of the Difficult Airway : An Updated Report by the American
Society of Anesthesiologists Task Force on Management of the Difficult Airway.
Anesthesiology
16. Izakson, et al. “Complete airway obstruction by foreign body: another anesthetic
challenge. A brief review” Jurnalul Român de Anestezie Terapie Intensivă 2013
Vol.20 Nr.2, 125-129

26

Anda mungkin juga menyukai