Patofisiologi Dan Penatalaksanaan Pankreatitis Akut
Patofisiologi Dan Penatalaksanaan Pankreatitis Akut
Patofisiologi
Patofisiologi pankreatitis akut masih belum jelas; dapat terjadi apabila
faktor pemeliharaan hemostasis seluler tidak seimbang. Faktor ekstraseluler
(misalnya: respons saraf dan vaskuler) dan intraseluler (misalnya: aktivasi enzim
pencernaan intrasel, peningkatan sinyal kalsium, dll) dapat berpengaruh. Diduga,
kejadian yang dapat memicu pankreatitis akut adalah kejadian yang mengganggu
sel acinar dan mengganggu sekresi granul zymogen, contohnya pada penggunaan
alkohol berlebih, batu empedu, dan beberapa jenis obat. Gangguan
sel acinar dimulai dari kekacauan di membran sel, dapat mengakibatkan:
a) Bagian granul lisosom dan zymogen bergabung, dan dapat
mengaktivasi tripsinogen menjadi tripsin.
b) Tripsin intraseluler dapat memicu aktivasi seluruh jalur zymoge.
c) Vesikel sekretorik dikeluarkan dari membran basolateral ke
interstitial, fragmen molekulnya bekerja sebagai chemoattractants untuk
sel inflamasi.
Penatalaksanaan
1) Manajemen Awal
a) Hidrasi agresif, yang didefinisikan sebagai 250-500 mL larutan
kristaloid per jam sebaiknya diberikan untuk semua pasien, kecuali
apabila terdapat komorbiditas kardiovaskuler atau ginjal. Hidrasi
agresif intravena awal, paling bermanfaat pada 12-24 jam pertama,
setelah itu mungkin hanya mempunyai sedikit manfaat (rekomendasi
kuat, moderate quality of evidence).
b) Pada pasien dengan kekurangan cairan berat dan bermanifestasi
hipotensi dan takikardia, penggantian cairan yang lebih cepat (bolus)
lebih dipilih (rekomendasi kondisional, moderate quality of evidence).
c) Larutan ringer laktat lebih dipilihdibandingkan kristaloid isotonik
untuk penggantian cairan (rekomendasi kondisional, moderate quality
of evidence).
d) Kebutuhan cairan sebaiknya dinilai ulang dalam 6 jam pertama dan
untuk 24-48 jam berikutnya. Tujuan hidrasi agresif adalah untuk
menurunkan blood urea nitrogen (rekomendasi kuat, moderate quality
of evidence). (Pratama,2016)
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
2. Malabsorbsi Riwayat reseksi usus, Bila berat: Tinja: warna muda, bau
lemak diare membaik setelah malnutrisi. busuk, pH > 6,8, tes
puasa, tinja mengambang sudan (+), jumlah
pada air toilet lemak > 14 gram/24
jam
Mukosa lambung terlindungi sangat baik dari infeksi bakteri, namun H. pylori
memiliki kemampuan adaptasi yang sangat baik terhadap lingkungan ekologi lambung
dengan serangkaian langkah unik masuk ke dalam mukus, berenang dan orientasi spasial
di dalam mukus, melekat pada sel epitel lambung, menghindar dari respon imun, dan
sebagai akibatnya terjadi kolonisasi dan transmisi persisten (Rani dan Fauzi, 2009).
Setelah masuk ke dalam lambung, H. pylori menghindari pertahanan penjamu, sistem
imunitas dan mukosa gaster dengan berbagai faktor virulensi yang dimilikinya, meliputi
aktivitas urease, motilitas dengan menggunakan flagela, adesin, dan sebagainya (Tabel
2.1). Setelah merusak tautan sel epitel, H. pylori dapat melewati dinding lambung dengan
menghadapi respon imun secara langsung yaitu neutrofil, limfosit, sel mast dan sel
dendritik. Respon imun innate terutama diperantarai Tolllike receptors (TLR) dan
nucleotide-binding oligomerization domain (Nod)-like receptors yang mengaktivasi
faktor transkripsi seperti nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of activated B cells
(NF-κB), activator protein 1 (AP-1), cyclic adenosine monophosphate (cAMP) response
element-binding protein 1 (CREB-1), dan memicu produksi sitokin inflamasi seperti IL -
8, IL-12, IL-6, IL-1β, IL-18, tumor-necrosis factor-α (TNF-α), dan IL10. Interleukin-1β
danTNF-α, yang dihasilkan di mukosa lambung merupakan penghambat sekresi asam
lambung yang poten
Faktor lingkungan seperti merokok, malnutrisi, asupan garam yang tinggi, defisiensi
vitamin dan faktor penjamu menyebabkan peradangan dan penurunan sekresi asam
lambung dan menjadi faktor risiko kolonisasi H. pylori di korpus. Hal ni menyebabkan
terjadinya atrofi gaster, ulkus gaster dan kanker (Chan dan Leung, 2002). Pada pasien
dengan sekresi asam lambung yang tinggi, yang dipengaruhi oleh faktor genetik, nutrisi
dan faktor lain, gastritis umumnya predominan di antrum. Tingginya asam lambung di
duodenum menyebabkan metaplasia bulbus duodenum dan H. pylori yang berkolonisasi
di daerah ini akan menyebabkan duodenitis dan ulkus duodenum (Das dan Paul, 2007).
Perubahan pertumbuhan sel epitel dan peningkatan apoptosis memainkan peranan
penting dalam manifestasi penyakit, dan kegagalan proses adaptasi mukosa, ulserasi dan
proses perbaikan sel yang abnormal akan menjadi dasar penyebab kanker akibat infeksi
H. pylori.
Tanpa komplikasi
a. Suportif: nutrisi
b. Memperbaiki atau menghindari faktor risiko
c. Pemberian obat-obatan:
i. Antasida
ii. Antisekresi asam lambung (PPI) misal omeprazol, rabeprazol dan
lansoprazol dan/atau H2-Receptor Antagonis (H2RA)
iii. Prokinetik dan sitoprotektor (rebepamid, teprenon, sukralfat)
Dengan komplikasi
Pada kasus dengan perdarahan dilakukan penatalaksanaan umum atau
suportif dengan penatalaksanaan hematemesis melena secara umum.
Tindakan khusus
d. Terapi hemostatik per endoskopik dengan adrenalin dan etoksisklerol atau obat
fibrinogen trombin atau tindakan hemostatik dengan klipping, heat probe atau
terapi laser atau terapi koagulasi listrik.
e. Pemberian obat somatostatin jangka pendek.
f. Terapi embolisasi arteri melalui arteriografi.
g. Terapi bedah atau operasi.
Prognosis
Tukak gaster yang terinfeksi H.pylori mempunyai angka
kekambuhan 60% jika tidak dieradikasi. Pada tukak duodenum yang
terinfeksi H.pylori mempunyai angka kekambuhan 80% jika kuman tetap
ada dan 5% jika sudah dilakukan eradikasi. Tukak yang disebabkan karena
pemakaian OAINS menunjukkan penurunan keluhan dispepsia jika
dikombinasi dengan pemberian PPI pada 66% kasus.
Risiko perdarahan merupakan komplikasi tukak tersering pada 15-
25% kasus dan sering terjadi pada usia lanjut, di mana 5% kasus
membutuhkan transfusi. Perforasi terjadi 2-3% kasus. Kasus perdarahan
dapat terjadi bersamaan dengan kasus perforasi pada 10% kasus.
Anafilaksis diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan IgE pada sel mast,
yang menyebabkan terjadinya pelepasan mediator inflamasi. Reaksi ini terjadi
melalui 3 fase mekanisme:
1) Fase Sensitisasi
Adalah waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya
oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang
masuk lewat kulit, mukosa saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh
makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada
Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-3) yang
menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit).
2) Fase Aktivasi
Adalah waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang
sama. Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh.
3) Fase Efektor
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)
yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel plasma (Plasmosit). Sel
plasma memproduksi IgE spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada
reseptor pemukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. (Jessenggar,2016)
Sebagian besar obat merupakan senyawa kimia dengan berat molekul yang
rendah. Oleh karena itu, obat harus terlebih dahulu berikatan secara kovalen
dengan makromolekul seperti protein, membentuk konjugat multivalen yang akan
diproses dan dipresentasikan terhadap sel limfosit T oleh sistem imun. Namun,
sebagian kecil obat dengan berat molekul yang besar seperti antibodi monoklonal
memiliki banyak epitop sehingga dapat bersifat multivalen.
Konsep mekanisme alergi obat yang umum diterima saat ini adalah konsep
hapten, konsep pro-hapten dan konsep p-i. Obat dengan molekul yang tidak cukup
besar seperti penisilin, sulfonamide, sefalosporin pelemas otot, tiopental,
antituberkolosis, sisplatin dan kuinidin perlu terlebih dahulu berikatan dengan
protein pembawa agar dapat menginduksi respon imun spesifik yang disebut
konsep hapten.
Sementara konsep pro hapten sendiri menggambarkan bahwa ada sebagian
obat yang bersifat tidak reaktif dan perlu mengalami konversi dahulu melalui
proses metabolik, baik dengan enzim ataupun nonenzim untuk menjadi bentuk
yang reaktif. Contoh konsep pro hapten yaitu pada alergi obat sulfametoksazole.
Berdasarkan konsep p-i sendiri, ditemukan bahwa sebagian obat dapat
memiliki interaksi direksi farmakologik dengan reseptor sel T atau molekul Major
Histocompatibility Complex (MHC) dalam bentuk ikatan reversibel selain ikatan
kovalen, yang dapat mengaktifkan sel T.
Reaksi obat sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko. Faktor risiko
terebut antara lain jenis obat, berat molekul obat, kimiawi obat, regimen
pengobatan, faktor pejamu, atopi, penyakit tertentu, gangguan metabolisme dan
lingkungan. Obat seperti β-laktam, sulfonamid, obat anti-inflamasi non-steroid,
trimetoprim dan sulfametoksazol sering menimbulkan reaksi berat.
Obat dengan berat molekul tinggi lebih sering menimbulkan reaksi imun,
Regimen pemberian oral, intravena, intramuskular, subkutan dan topikal secara
berurutan menyebabkan induksi alergi meningkat. Usia muda dan jenis kelamin
wanita meningkatkan kecenderungan terjadinya alergi obat.
Pilihan terapi pada keadaan anafilaksis adalah epinefrin yang diinjeksi secara
intramuskular atau intravena. Pemberian epinefrin pertama diberikan 0,01 ml/kg/BB
sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan dan diberikan setiap 15-20 menit sampai
3-4 kali. Pada urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin saja biasanya sudah
memadai, tetapi untuk kelainan yang lebih berat seperti vaskulitis, penyakit serum,
kelainan darah, hati, nefritis interstisial, dan lain-lain diperlukan kortikosteroid dosis
tinggi (60-100 mg prednison atau ekuivalennya) sampai gejala terkendali dan
selanjutnya pemberian prednison tersebut diturunkan dosisnya secara bertahap selama
satu sampai dua minggu.
Pasien harus mengetahui obat-obat yang menyebabkan alergi padanya, termasuk
obat yang diberikan dalam bentuk campuran dengan obat yang lain. Apabila pasien
berobat ke dokter, hendaknya memberitahukan kepada dokter yang dikunjunginya
perihal obat yang pemah menyebabkan reaksi alergi, sehingga dokter dapat membuat
catalan khusus di kartu berobat pasien.
b) Riwayat medikasi:
e) Riwayat alergi
k) Olahraga
2) Pemeriksaan Fisik
c) Tanda penyakit hati: ikterik sklera, pembesaran hati, nyeri tekan perut kanan
atas
1) Pemeriksaan Penunjang
a) Tes Laboratorium, Pemeriksaan darah lengkap, yang disertai dengan hitung jenis
leukosit dapat dilakukan pada beberapa pasien urtikaria, terutama untuk
mendeteksi penyebab urtikaria berupa leukemia atau limfoma
b) Biopsi Kulit, Biopsi kulit umumnya tidak disarankan dilakukan pada pasien
urtikaria. Pada pasien yang dicurigai vaskulitis urtikaria, biopsi punch dapat
dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya infiltrasi neutrofilik konsisten dengan
vaskulitis leukositoklastik.
1) Pityriasis Rosea
Gambaran lesi dan gejala dari dermatitis kontak alergi dapat menyerupai urtikaria.
Lesi dermatitis kontak alergi dapat muncul dengan adanya eritematosa,
pembengkakan, dan gatal pada kulit. Hal yang membedakan dengan urtikaria
adalah adanya pajanan pasien terhadap alergen, seperti lateks dan nikel yang
mencetuskan lesi kulit.