Anda di halaman 1dari 17

1.

Patofisiologi dan Penatalaksanaan Pankreatitis Akut

Patofisiologi
Patofisiologi pankreatitis akut masih belum jelas; dapat terjadi apabila
faktor pemeliharaan hemostasis seluler tidak seimbang. Faktor ekstraseluler
(misalnya: respons saraf dan vaskuler) dan intraseluler (misalnya: aktivasi enzim
pencernaan intrasel, peningkatan sinyal kalsium, dll) dapat berpengaruh. Diduga,
kejadian yang dapat memicu pankreatitis akut adalah kejadian yang mengganggu
sel acinar dan mengganggu sekresi granul zymogen, contohnya pada penggunaan
alkohol berlebih, batu empedu, dan beberapa jenis obat. Gangguan
sel acinar dimulai dari kekacauan di membran sel, dapat mengakibatkan:
a) Bagian granul lisosom dan zymogen bergabung, dan dapat
mengaktivasi tripsinogen menjadi tripsin.
b) Tripsin intraseluler dapat memicu aktivasi seluruh jalur zymoge.
c) Vesikel sekretorik dikeluarkan dari membran basolateral ke
interstitial, fragmen molekulnya bekerja sebagai chemoattractants untuk
sel inflamasi.

Aktivasi neutrofil dapat mengeksaserbasi masalah dengan


dilepaskannya superoxide atau enzim proteolitik (misalnya: cathepsins B, D, dan
G; kolagenase, dan elastase). Akhirnya makrofag melepaskan sitokin yang
memediasi respons inflamasi lokal (pada kasus berat dapat sistemik).
Mediator awal yang diketahui adalah TNF-α, interleukin (IL)-6, dan IL-
8.2 Mediator inflamasi tersebut meningkatkan permeabilitas vaskuler pankreas,
dapat berlanjut menjadi perdarahan, edema, dan terkadang nekrosis pankreas.
Karena disekresi ke sistem sirkulasi, dapat muncul komplikasi sistemik seperti
bakteremia, acute respiratory distress syndrome (ARDS), efusi pleura,
perdarahan saluran cerna, dan gagal ginjal. Systemic inflammatory response
syndrome (SIRS) juga dapat terjadi, dapat berlanjut menjadi syok sistemik.Pada
beberapa kasus pankreatitis akut, awalnya terjadi edema parenkim dan nekrosis
lemak peripankreas, dikenal sebagai pankreatitis edema akut. Saat nekrosis
parenkim terjadi disertai perdarahan dan disfungsi kelenjar, inflamasi berkembang
menjadi pankreatitis hemoragik atau necrotizing pancreatitis.

Penatalaksanaan

1) Manajemen Awal
a) Hidrasi agresif, yang didefinisikan sebagai 250-500 mL larutan
kristaloid per jam sebaiknya diberikan untuk semua pasien, kecuali
apabila terdapat komorbiditas kardiovaskuler atau ginjal. Hidrasi
agresif intravena awal, paling bermanfaat pada 12-24 jam pertama,
setelah itu mungkin hanya mempunyai sedikit manfaat (rekomendasi
kuat, moderate quality of evidence).
b) Pada pasien dengan kekurangan cairan berat dan bermanifestasi
hipotensi dan takikardia, penggantian cairan yang lebih cepat (bolus)
lebih dipilih (rekomendasi kondisional, moderate quality of evidence).
c) Larutan ringer laktat lebih dipilihdibandingkan kristaloid isotonik
untuk penggantian cairan (rekomendasi kondisional, moderate quality
of evidence).
d) Kebutuhan cairan sebaiknya dinilai ulang dalam 6 jam pertama dan
untuk 24-48 jam berikutnya. Tujuan hidrasi agresif adalah untuk
menurunkan blood urea nitrogen (rekomendasi kuat, moderate quality
of evidence). (Pratama,2016)

2) ERCP pada Pankreatitis Akut


a) Pada pankreatitis akut bersamaan dengan kolangitis akut sebaiknya
menjalani ERCP dalam 24 jam pertama (rekomendasi kuat, moderate
quality of evidence).
b) ERCP tidak dibutuhkan sebagian besar pasien pankreatitis batu
empedu yang tidak terbukti obstruksi bilier secara klinik ataupun
laboratorium (rekomendasi kuat, low quality of evidence).
c) Pada kasus tanpa kolangitis dan/ atau jaundice, MRCP atau endoscopic
ultrasound (EUS) lebih baik dibandingkan ERCP diagnostik untuk
screening choledocholithiasis pada pasien sangat diduga
choledocholithiasis (rekomendasi kondisional, low quality of
evidence).
d) Pancreatic duct stents dan/ atau NSAID supositoria per rektal pasca-
prosedur digunakan untuk mencegah pankreatitis berat post-ERCP
pada pasien risiko tinggi (rekomendasi kondisional, moderate quality
of evidence). (Pratama,2016)

3) Penggunaan Antibiotik pada Pankreatitis Akut


a) Antibiotik sebaiknya diberikan hanya untuk infeksi di luar pankreas,
seperti kolangitis, infeksi karena penggunaan kateter, bakteremia,
infeksi saluran kemih, pneumonia (rekomendasi kuat, high quality of
evidence).
b) Penggunaan antibiotik profilaksis secara rutin pada pankreatitis akut
berat tidak direkomendasikan (rekomendasi kuat, moderate quality of
evidence).
c) Penggunaan antibiotik pada nekrosis steril untuk mencegah timbulnya
nekrosis terinfeksi tidak direkomendasikan (rekomendasi kuat,
moderate quality of evidence).
d) Nekrosis terinfeksi harus dipertimbangkan terjadi pada pasien dengan
nekrosis pankreas atau ekstra pankreas yang memburuk atau gagal
membaik setelah 7-10 hari perawatan di RS. Pada pasien ini sebaiknya
dilakukan: (i) CT-guided fine needle aspiration (FNA) awal untuk
pewarnaan Gram dan kultur untuk panduan penggunaan antibiotik,
atau (ii) Penggunaan empirik antibiotik tanpa CT FNA (rekomendasi
kuat, low quality of evidence).
e) Pada pasien dengan nekrosis terinfeksi, antibiotik yang diketahui dapat
melewati nekrosis pankreas, misalnya carbapenems, quinolones, dan
metronidazole, dapat bermanfaat menunda atau kadang menghindari
secara total tindakan intervensi, yang berhubungan dengan
menurunnya morbiditas dan mortalitas (rekomendasi kondisional, low
quality of evidence).
f) Pemberian rutin agen anti-fungal bersama dengan antibiotik profilaksis
atau terapi antibiotik tidak direkomendasikan (rekomendasi
kondisional, low quality of evidence). (Pratama,2016)

2. Pendekatan Diagnosis Diare Kronis dan Diagnosis Banding

A.Pendekatan Diagnosis Diare Kronis

Anamnesis

a. Waktu dan frekuensi diare


b. Bentuk tinja
c. Keluhan lain yang menyertai: nyeri abdomen, demam, mual muntah,
penurunan berat badan
d. Obat-obatan: laksan, antibiotik, imunosupresan, dll
e. Makanan/minuman

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum, status dehidrasi

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan darah, urin


b. Pemeriksaan anatomi usus sesuai indikasi: barium enema/colon in loop
(didahului BNO), kolonoskopi, ileoskopi dan biopsi, barium follow through
atau enteroclysis, USG abdomen, CT Scan abdomen
c. Fungsi usus dan pankreas: tes fungsi pankreas, CEA dan CA 19-9
d. Pemeriksaan tinja ,Sulit untuk menilai diare hanya berdasarkan anamnesis
saja. Inspeksi feses merupakan pemeriksaan yang sangat membantu.
Pemeriksaan feses dibedakan menjadi tes spesifik dan tes non spesifik.
Pemeriksaan spesifik diantaranya tes untuk enzim pankreas seperti elastase
feses. Pemeriksaan non spesifik diantaranya osmolalitas tinja dan perhitungan
osmotik gap mempunyai nilai dalam membedakan diare osmotik, sekretorik
dan diare factitious. Osmolalitas feses yang rendah < 290 mosmol/kg
menandakan kontaminasi urine, air atau intake cairan hipotonik berlebihan.
Osmolalitas cairan feses sama dengan serum jika pasien menggunakan
laksansia, daire osmotik atau diare sekretorik. Fekal osmotik gap dapat
dihitung berdasarkan rumus 290 – 2x (konsentrasi natrium + kalium).
Konsentrasi natrium dan kalium feses diukur pada cairan feses setelah
homogenisasi dan sentrifugasi. Osmotik gap dapaat dipergunakan untuk
memperkirakan peranan elektrolit dan non elektrolit dalam terjadinya retensi
air didalam lumen intestinal. Pada diare sekretorik elektrolit yang tidak
diabsorpsi mempertahankan air dalam lumen, sedangkan pada diare osmotik
komponen non elektrolit yang menyebabkan retensi air. Osmotik gap pada
diare osmotik >125 mosmol/kg, sedangkan pada diare sekretorik dan giardia
lamblia dapat menimbulkan diare yang kronis. Pemeriksaan tinja segar dalam
3 kali ulangan untuk menemukan telur, kista, parasit masih merupakan alat
diagnostik utama dengan sensitifitas 60 – 90%. 6,11 Pemeriksaan darah
samar digunakan secara luas untuk skreening keganasan. Petanda inflamasi
gastrointestinal pada feses seperti laktoferin, calpotrectin sedang dalam
penelitian, belum diperkenalkan dalam klinis praktis.
B. Diagnosis Banding Diare Kronis
No Etiologi Anamnesis Pemeriksaan Pemeriksaan
Tersering Fisik Penunjang

1. Infeksi Disertai gejala demam Sesuai dengan Tinja: leukosit (+)


dan mual muntah etiologi infeksi Darah: leukositosis

2. Malabsorbsi Riwayat reseksi usus, Bila berat: Tinja: warna muda, bau
lemak diare membaik setelah malnutrisi. busuk, pH > 6,8, tes
puasa, tinja mengambang sudan (+), jumlah
pada air toilet lemak > 14 gram/24
jam

3. Malabsorbsi Riwayat makan makanan Bila berat: Tinja: amilum (+), pH


karbohidrat yang mengandung malnutrisi < 5,5, tes reduksi (+)
laktosa (susu), sorbitol
(pemanis buatan),
disertai gejala kembung,
kram abdomen dan flatus
fruktosa (sirup jagung).
Tinja mengambang pada
air toilet dan berbau
asam
4. Sindroma Diare pagi hari Keadaan umum Tinja: darah samar (+),
usus iritabel berhubungan dnegan baik, dehidrasi tes phenolpthalein (+)
stress, berselang antara (-)
konstipasi dan diare.
Keluhan penyerta: perut
begah, mual, nyeri
daerah anus setelah
defekasi, sendawa
5. Karena Diare berhenti dengan Bisacodyl,
obat-obatan dihentikannya obat anthraquinon,
phenolpthalein:
pemeriksaan
kromatografi lapis tipis.

6. Keganasan Disertai gejala demam, Tinja: eritrosit (+)


darah menyertai tinja Darah: eusinofilia
normal, disertai nyeri Penanda tumor
abdomen terus menerus
3. Patofisiologi dan Manajemen Infeksi Helicobacter Pylori
A. Patofisiologi Helicobacter Pylori

Mukosa lambung terlindungi sangat baik dari infeksi bakteri, namun H. pylori
memiliki kemampuan adaptasi yang sangat baik terhadap lingkungan ekologi lambung
dengan serangkaian langkah unik masuk ke dalam mukus, berenang dan orientasi spasial
di dalam mukus, melekat pada sel epitel lambung, menghindar dari respon imun, dan
sebagai akibatnya terjadi kolonisasi dan transmisi persisten (Rani dan Fauzi, 2009).
Setelah masuk ke dalam lambung, H. pylori menghindari pertahanan penjamu, sistem
imunitas dan mukosa gaster dengan berbagai faktor virulensi yang dimilikinya, meliputi
aktivitas urease, motilitas dengan menggunakan flagela, adesin, dan sebagainya (Tabel
2.1). Setelah merusak tautan sel epitel, H. pylori dapat melewati dinding lambung dengan
menghadapi respon imun secara langsung yaitu neutrofil, limfosit, sel mast dan sel
dendritik. Respon imun innate terutama diperantarai Tolllike receptors (TLR) dan
nucleotide-binding oligomerization domain (Nod)-like receptors yang mengaktivasi
faktor transkripsi seperti nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of activated B cells
(NF-κB), activator protein 1 (AP-1), cyclic adenosine monophosphate (cAMP) response
element-binding protein 1 (CREB-1), dan memicu produksi sitokin inflamasi seperti IL -
8, IL-12, IL-6, IL-1β, IL-18, tumor-necrosis factor-α (TNF-α), dan IL10. Interleukin-1β
danTNF-α, yang dihasilkan di mukosa lambung merupakan penghambat sekresi asam
lambung yang poten

Kolonisasi H. pylori bukanlah penyakit, namun merupakan suatu kondisi yang


meningkatkan kejadian penyakit pada saluran cerna atas. Interaksi faktor penjamu,
lingkungan dan H. pylori akan menyebabkan munculnya manifestasi klinis. H. pylori dan
asam lambung merupakan dua hal yang menjadi dasar manifestasi klinis infeksi H.
pylori. Variasi antara respon imun penjamu dan adanya infeksi kronik H. pylori secara
langsung berpengaruh terhadap munculnya penyakit lambung yang terkait H. pylori dan
produksi asam lambung serta menentukan kepadatan dan lokasi koloni H. pylori (Kusters
et al., 2006).

Faktor lingkungan seperti merokok, malnutrisi, asupan garam yang tinggi, defisiensi
vitamin dan faktor penjamu menyebabkan peradangan dan penurunan sekresi asam
lambung dan menjadi faktor risiko kolonisasi H. pylori di korpus. Hal ni menyebabkan
terjadinya atrofi gaster, ulkus gaster dan kanker (Chan dan Leung, 2002). Pada pasien
dengan sekresi asam lambung yang tinggi, yang dipengaruhi oleh faktor genetik, nutrisi
dan faktor lain, gastritis umumnya predominan di antrum. Tingginya asam lambung di
duodenum menyebabkan metaplasia bulbus duodenum dan H. pylori yang berkolonisasi
di daerah ini akan menyebabkan duodenitis dan ulkus duodenum (Das dan Paul, 2007).
Perubahan pertumbuhan sel epitel dan peningkatan apoptosis memainkan peranan
penting dalam manifestasi penyakit, dan kegagalan proses adaptasi mukosa, ulserasi dan
proses perbaikan sel yang abnormal akan menjadi dasar penyebab kanker akibat infeksi
H. pylori.

B. Manajemen Infeksi Helicobacter Pylori

Tanpa komplikasi

a. Suportif: nutrisi
b. Memperbaiki atau menghindari faktor risiko
c. Pemberian obat-obatan:
i. Antasida
ii. Antisekresi asam lambung (PPI) misal omeprazol, rabeprazol dan
lansoprazol dan/atau H2-Receptor Antagonis (H2RA)
iii. Prokinetik dan sitoprotektor (rebepamid, teprenon, sukralfat)
Dengan komplikasi
Pada kasus dengan perdarahan dilakukan penatalaksanaan umum atau
suportif dengan penatalaksanaan hematemesis melena secara umum.
Tindakan khusus
d. Terapi hemostatik per endoskopik dengan adrenalin dan etoksisklerol atau obat
fibrinogen trombin atau tindakan hemostatik dengan klipping, heat probe atau
terapi laser atau terapi koagulasi listrik.
e. Pemberian obat somatostatin jangka pendek.
f. Terapi embolisasi arteri melalui arteriografi.
g. Terapi bedah atau operasi.

Prognosis
Tukak gaster yang terinfeksi H.pylori mempunyai angka
kekambuhan 60% jika tidak dieradikasi. Pada tukak duodenum yang
terinfeksi H.pylori mempunyai angka kekambuhan 80% jika kuman tetap
ada dan 5% jika sudah dilakukan eradikasi. Tukak yang disebabkan karena
pemakaian OAINS menunjukkan penurunan keluhan dispepsia jika
dikombinasi dengan pemberian PPI pada 66% kasus.
Risiko perdarahan merupakan komplikasi tukak tersering pada 15-
25% kasus dan sering terjadi pada usia lanjut, di mana 5% kasus
membutuhkan transfusi. Perforasi terjadi 2-3% kasus. Kasus perdarahan
dapat terjadi bersamaan dengan kasus perforasi pada 10% kasus.

4. Manajemen terbaru Syok Anafilaktik dan Patofisiologi.


A. Manajemen Syok Anafilaktik

a. Posisi Trendelenburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal


dengan kursi) akan membantu menaikkan venous return sehingga tekanan darah
ikut meningkat.
b) Pemberian oksigen 3-5 liter/menit harus dilakukan, pada keadaan yang amat
ekstrim tindakan t29.
c) Trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.
d) Pemasangan infus, cairan plasma Expander (Dextran) merupakan pilihan utama
guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak
tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan
pengganti. Pemberian cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah
kembali optimal dan stabil.
e) Adrenalin 0,3-0,5 ml dari larutan 1:1000 diberikan secara intramuskuler yang
dapat diulangi 5-10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama
kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang
efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1-0,2 ml adrenalin dilarutkan
dalam spuit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian
subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya lambat
bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi
obat tidak terjadi.
f) Aminofilin, dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum
hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg Aminofilin diberikan perlahan-lahan
selam 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan dengan 250 mg lagi melalui drips
infus bila dianggap perlu.
g) Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua setelah adrenalin.
Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, dapat
diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna mencegah komplikasi
selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang biasa
digunakan adalah difenhidramin HCl 5-20 mg IV dan untuk golongan
kortikosteroid dapat digunakan deksametason 5-10 mg IV atau hidrokortison 100-
250 mg IV.
h) Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP), seandainya terjadi henti jantung (cardiac
arrest) makan prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai
dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti
jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya di tiap ruang
praktik seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan
cairannya juga perangkat resusitasi (Resuscitation kit) untuk memudahkan
tindakan secepatnya.

B. Patofisiologi Syok Anafilaktik

Anafilaksis diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan IgE pada sel mast,
yang menyebabkan terjadinya pelepasan mediator inflamasi. Reaksi ini terjadi
melalui 3 fase mekanisme:
1) Fase Sensitisasi
Adalah waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya
oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang
masuk lewat kulit, mukosa saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh
makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada
Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-3) yang
menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit).
2) Fase Aktivasi
Adalah waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang
sama. Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh.

3) Fase Efektor

Adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek


mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmokologik
pada organorgan tertentu.

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)
yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel plasma (Plasmosit). Sel
plasma memproduksi IgE spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada
reseptor pemukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. (Jessenggar,2016)

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang


menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik
dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara
lain histamine, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari
granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators. (Jessenggar,2016).
5. Patofisiologi Alergi Obat dan Penatalaksanaannya.

Patofisiologi Alergi Obat

Sebagian besar obat merupakan senyawa kimia dengan berat molekul yang
rendah. Oleh karena itu, obat harus terlebih dahulu berikatan secara kovalen
dengan makromolekul seperti protein, membentuk konjugat multivalen yang akan
diproses dan dipresentasikan terhadap sel limfosit T oleh sistem imun. Namun,
sebagian kecil obat dengan berat molekul yang besar seperti antibodi monoklonal
memiliki banyak epitop sehingga dapat bersifat multivalen.
Konsep mekanisme alergi obat yang umum diterima saat ini adalah konsep
hapten, konsep pro-hapten dan konsep p-i. Obat dengan molekul yang tidak cukup
besar seperti penisilin, sulfonamide, sefalosporin pelemas otot, tiopental,
antituberkolosis, sisplatin dan kuinidin perlu terlebih dahulu berikatan dengan
protein pembawa agar dapat menginduksi respon imun spesifik yang disebut
konsep hapten.
Sementara konsep pro hapten sendiri menggambarkan bahwa ada sebagian
obat yang bersifat tidak reaktif dan perlu mengalami konversi dahulu melalui
proses metabolik, baik dengan enzim ataupun nonenzim untuk menjadi bentuk
yang reaktif. Contoh konsep pro hapten yaitu pada alergi obat sulfametoksazole.
Berdasarkan konsep p-i sendiri, ditemukan bahwa sebagian obat dapat
memiliki interaksi direksi farmakologik dengan reseptor sel T atau molekul Major
Histocompatibility Complex (MHC) dalam bentuk ikatan reversibel selain ikatan
kovalen, yang dapat mengaktifkan sel T.
Reaksi obat sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko. Faktor risiko
terebut antara lain jenis obat, berat molekul obat, kimiawi obat, regimen
pengobatan, faktor pejamu, atopi, penyakit tertentu, gangguan metabolisme dan
lingkungan. Obat seperti β-laktam, sulfonamid, obat anti-inflamasi non-steroid,
trimetoprim dan sulfametoksazol sering menimbulkan reaksi berat.
Obat dengan berat molekul tinggi lebih sering menimbulkan reaksi imun,
Regimen pemberian oral, intravena, intramuskular, subkutan dan topikal secara
berurutan menyebabkan induksi alergi meningkat. Usia muda dan jenis kelamin
wanita meningkatkan kecenderungan terjadinya alergi obat.

B. Penalataksanaan Alergi Obat

Terapi tambahan untuk reaksi hipersensitivitas terhadap obat sebagian besar


bersifat suportif dan simptomatik. Pengobatan simtomatik tergantung atas berat
ringannya reaksi alergi obat. Gejala yang ringan biasanya hilang sendiri setelah obat
dihentikan. Pengobatan kasus yang lebih berat tergantung pada erupsi kulit yang
tejadi dan derajat berat reaksi pada organ-organ lain.

Pilihan terapi pada keadaan anafilaksis adalah epinefrin yang diinjeksi secara
intramuskular atau intravena. Pemberian epinefrin pertama diberikan 0,01 ml/kg/BB
sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan dan diberikan setiap 15-20 menit sampai
3-4 kali. Pada urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin saja biasanya sudah
memadai, tetapi untuk kelainan yang lebih berat seperti vaskulitis, penyakit serum,
kelainan darah, hati, nefritis interstisial, dan lain-lain diperlukan kortikosteroid dosis
tinggi (60-100 mg prednison atau ekuivalennya) sampai gejala terkendali dan
selanjutnya pemberian prednison tersebut diturunkan dosisnya secara bertahap selama
satu sampai dua minggu.
Pasien harus mengetahui obat-obat yang menyebabkan alergi padanya, termasuk
obat yang diberikan dalam bentuk campuran dengan obat yang lain. Apabila pasien
berobat ke dokter, hendaknya memberitahukan kepada dokter yang dikunjunginya
perihal obat yang pemah menyebabkan reaksi alergi, sehingga dokter dapat membuat
catalan khusus di kartu berobat pasien.

6. Pendekatan Diagnosis Urticaria Akut Dengan Diagnosis Banding


A. Pendekatan Diagnosis Urticaria Akut
1) Anamnesis
Pasien urtikaria dapat datang dengan atau tanpa lesi urtikaria pada kulit.
 Anamnesis Kemungkinan Penyebab Urtikaria

Selain menentukan lesi urtikaria, klinisi juga harus dapat mencari


penyebab urtikaria pada pasien. Berikut ini beberapa anamnesis yang
dapat dilakukan untuk mengarahkan etiologi urtikaria:

a) Tanda dan sumber infeksi: demam, nyeri tenggorokan,


rhinorrhea, muntah, nyeri kepala, diare, batuk

b) Riwayat medikasi:

a. Obat golongan penisilin seperti amoxicillin dan


amoxiclav
b. Sefalosporin seperti cefixime dan cefotaxime
c. Diuretik seperti furosemide
d. obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) termasuk
ibuprofen dan aspirin
e. Penghambat angiotensin-converting-enzyme (ACE)
seperti captopril dan lisinopril
f. Antihistamin seperti cetirizine dan loratadine
c) Riwayat bepergian

d) Riwayat medis keluarga: penyakit tiroid dan limfoma

e) Riwayat alergi

f) Penggunaan media radiokontras intravena

g) Makanan: makanan laut, keju, telur, coklat, kacang

h) Penggunaan detergen, krim, parfum baru, pewarna rambut

i) Status dan usia kehamilan

j) Paparan panas atau dingin, air, tekanan, vibrasi

k) Olahraga

2) Pemeriksaan Fisik

Lesi kulit urtikaria memiliki karakterisasi lesi pembengkakan eritematosa


yang dapat memiliki bentuk linear, sirkular, atau serpiginosa (bentuk lesi seperti
ular).
Selain itu, pemeriksaan fisik yang lengkap dapat membantu klinisi
menentukan etiologi maupun tanda bahaya pada urtikaria. Berikut ini
pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan pada pasien urtikaria:

a) Angioedema pada lidah, laring, bibir

b) Tanda infeksi: demam, artritis, artralgia, penurunan berat badan, dan


limfadenopati

c) Tanda penyakit hati: ikterik sklera, pembesaran hati, nyeri tekan perut kanan
atas

1) Pemeriksaan Penunjang

a) Tes Laboratorium, Pemeriksaan darah lengkap, yang disertai dengan hitung jenis
leukosit dapat dilakukan pada beberapa pasien urtikaria, terutama untuk
mendeteksi penyebab urtikaria berupa leukemia atau limfoma
b) Biopsi Kulit, Biopsi kulit umumnya tidak disarankan dilakukan pada pasien
urtikaria. Pada pasien yang dicurigai vaskulitis urtikaria, biopsi punch dapat
dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya infiltrasi neutrofilik konsisten dengan
vaskulitis leukositoklastik.

B. Diagnosis Banding Urticaria Akut

1) Pityriasis Rosea

Pityriasis rosea memiliki gambaran yang menyerupai urtikaria, berupa lesi


eritematosa berbatas tegas yang disertai dengan peninggian dan memiliki gejala
gatal. Akan tetapi, berbeda dengan urtikaria, lesi pada pityriasis rosea umumnya
memiliki sisik.

2) Dermatitis Kontak Alergi

Gambaran lesi dan gejala dari dermatitis kontak alergi dapat menyerupai urtikaria.
Lesi dermatitis kontak alergi dapat muncul dengan adanya eritematosa,
pembengkakan, dan gatal pada kulit. Hal yang membedakan dengan urtikaria
adalah adanya pajanan pasien terhadap alergen, seperti lateks dan nikel yang
mencetuskan lesi kulit.

Anda mungkin juga menyukai