Amelia Putri Adinda Filsafat
Amelia Putri Adinda Filsafat
ABSTRAK
Pandangan dunia Islam tentang ekonomi didasarkan pada suatu paradigma yang
membenarkan ekonomi sosial sebagai dasar obyektifitasnya, dengan memposisikan
umat dalam posisi terdepan dibanding kepentingan individu (self interest). Menurut
pandangan ekonomi konvensional hal ini sangat tidak rasional dan tidak memenuhi
persyaratan transitifitas, sedangkan rasionalitas ekonomi syariah dapat dilihat pada asas-
asas ekonomi Syariah dan prinsip dasar sistem yang dipakai dimilikinya. Konsep
rasionalitas memiliki konsekuensi terhadap perilaku manusia dalam melakukan
tindakan ekonomi dan tujuan-tujuan hidupnya. Rasionalitas ekonomi yang dibangun
oleh konsepsi homo economicus sebagaimana dikembangkan dalam ekonomi kapitalis
dan sosialis berbeda dengan rasionalitas ekonomi yang dibangun oleh konsepsi homo
islamicus sebagaimana dikembangkan dalam ekonomi islam.
1. PENDAHULUAN
Islam merupakan ajaran yang mengatur kehidupan dalam semua dimensi baik
akidah, ibadah, dan semua aspek kehidupan manusia termasuk semua bentuk
muamalah, khususnya pada hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi. Tidak ada
sesuatupun yang tersembunyi dari jangkauan Allah SWT dan tidak sesuatupun yang
luput dari pengawasan-Nya. Pemahaman tentang rasionalitas ekonomi
sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari sistem ekonomi yang mendasarinya.
Sistem dapat didefinisikan sebagai suatu organisasi yang terdiri dari berbagai unsur
yang saling berhubungan satu sama lain, saling mempengaruhi dan bekerja sama
untuk mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa sistem ekonomi
adalah organisasi yang terdiri dari bagian-bagian yang saling terkait dan bekerja
sama untuk mencapai tujuan ekonomi. 1
Ilmu ekonomi merupakan suatu studi yang mempelajari tentang perilaku
manusia. Dalam kapitalisme, studi yang dimaksud disini bukanlah manusia secara
umum. Tetapi tentang manusia ekonomi yang memiliki perilaku untuk memenuhi
segala kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka manusia harus melakukan pilihan. Cara
melakukan pilihan tersebut hanya dapat dilakukan oleh manusia ekonomi secara
rasionalitas ekonomi.
Pelaku ekonomi yang memiliki rasionalisasi Islam menghadapi jangkauan
waktu (time horizon) yang tak terbatas. Dalam pandangan Islam, kehidupan manusia
terdiri dari kehidupan dunia, kehidupan kubur (kehidupan manusia setelah mati
sehingga menunggu hari pembalasan) dan kehidupan abadi akibat (kehidupan kekal
setelah proses pembalasan). Oleh karena itu, mashlahah yang akan diterima di hari
akhir merupakan fungsi dari kehidupan di dunia atau mashlahah di dunia terkait
dengan mashlahah yang diterima di akhirat. 2
Pelaku ekonomi yang memiliki perilaku rasional islami akan memaknai
mashlahah dan mengupayakannya dengan petunjuk yang diberikan oleh Alquran
dan Sunnah. Dalam hal ini Islam menjelaskan bahwa mashlahah adalah segala
bentuk keadaan ataupun perilaku yang mampu meningkatkan kedudukan manusia
sebagai makhluk yang paling mulia. Terdapat lima mashlahah mendasar yang
diperlukan oleh manusia, yaitu mashlahah fisik, mashlahah agama, mashlahah
intelektual, mashlahah antargenerasi dan waktu, dan mashlahah materi/kekayaan.
Setiap pelaku ekonomi Islam yang rasional akan berusaha meningkatkan kelima
mashlahah tersebut agar tujuan jangka panjangnya yakni falah dapat terwujud. 3
4
Muhammad Arif dkk, Filsafat Ekonomi Islam, (Medan: FEBI PRESS, 2023), hal. 24
respons terhadap sosial dalam tataran empiris, perilaku ekonomi islam secara
parsial dapat dijumpai pada sekelompok masyarakat muslim maupun non
muslim.5
5 P3EI, P.P. Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011). hal 37-42
6
Hendra Safri, Pengantar Ilmu Ekonomi (Palopo: Lembaga Penerbit Kampus IAIN Palopo, 2018), hal. 3.
Hanya dalam sistem ekonomi ini, nilai-nilai Islam menjadi landasan dan dasar
dalam setiap aktifitasnya.
Beberapa ahli mendefinisikan ekonomi islam sebagai suatu ilmu yang
mempelajari perilaku manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan dengan
alat pemenuhan kebutuhan yang terbatas dalam kerangka syariah. Namun,
definisi tersebut mengandung kelemahan karena menghasilkan konsep yang
tidak kompatibel dan tidak universal. Karena dari definisi tersebut mendorong
seseorang terperangkap dalam keputusan yang apriori (apriory judgement) benar
atau salah tetap harus diterima. 7
Menurut Abdul Manan, ekonomi islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang
mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang dipahami oleh nilai-
nilai Islam.8
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ekonomi Islam adalah
suatu cabang ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, menganalisis,
dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-
cara yang Islami.9
Menurut Abdul Mannan, ilmu ekonomi Islam tidak hanya mempelajari
individu sosial melainkan juga manusia dengan bakat religius manusia itu
sendiri.
Ilmu Ekonomi Syari’ah adalah ilmu yang mempelajari aktivitas atau
perilaku manusia secara aktual dan empirikal, baik dalam produksi, distribusi,
maupun konsumsi berdasarkan Syari’at Islam yang bersumber Al-Qur’an dan
As-Sunnah serta Ijma’ para ulama dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat.10
3. Ruang Lingkup Ekonomi Islam
Ekonomi Islam dibangun atas dasar agama Islam, karena itu ia merupakan
bagian tak terpisahkan (integral) dari agama Islam. Sebagai derivasi dari agama
Islam, ekonomi Islam mengikuti agama Islam dalam berbagai aspeknya. Islam
7
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2011), h. 14.
8
Muhammad Abdul Manan, Islamic Economic, Theory and Practice, (India: Idarah Adabiyah, 1980), h.3
9
Syed Nawab Haider Naqi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, ter. M. Saiful Anam dan Muhammad
Ufiuqul Mubin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 28.
10
Abdul Mannan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group), h.29.
adalah sistem kehidupan (way of life), di mana Islam telah menyiapkan berbagai
perangkat aturan yang lengkap bagi kehidupan manusia, termasuk dalam bidang
ekonomi. Beberapa aturan bersifat pasti dan berlaku permanen, sebagian yang
lain bersifat kontekstual sesuai dengan situasi dan kondisi. 11 Senada dengan
uraian ini, M. Syafi’i Antonio menjelaskan bahwa syariah Islam adalah syariah
yang mempunyai keunikan tersendiri, yaitu bukan saja menyeluruh atau
komprehensif, melainkan juga universal. Karakter istimewa ini diperlukan sebab
tidak akan ada syariah lain yang datang untuk menyempurnakannya.
Komprehensif berarti syariah Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik
ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah). Universal bermakna syariah Islam
dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai Hari Akhir nanti.
Universalitas ini tampak jelas terutama dalam bidang muamalah. Selain
mempunyai cakupan luas dan fleksibel, muamalah tidak membeda-bedakan
antara muslim dan nonmuslim. 12
Beberapa ahli telah mendefinisikan tentang apa yang dimaksud dengan
ekonomi Islam. Di antaranya adalah Umer Chapra yang mendefinisikan
Ekonomi Islam sebagai cabang ilmu yang membantu merealisasikan
kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang langka,
yang sejalan dengan ajaran Islam, tanpa membatasi kebebasan individu atau pun
menciptakan ketidakseimbangan makro dan ekonologis. 13
Hasanuzzaman
mendefinisikan Ekonomi Islam sebagai suatu ilmu aplikasi petunjuk dan aturan
syari’ah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh dan menggunakan
sumber daya material agar memenuhi kebutuhan manusia dan agar dapat
menjalankan kewajibannya kepada Allah dan masyarakat.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ekonomi Islam
bukan hanya merupakan praktik kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh individu
dan komunitas Muslim yang ada, namun juga merupakan perwujudan perilaku
ekonomi yang didasarkan pada ajaran Islam. Ia mencakup cara memandang
11
M. Nadratuzzaman Hosen, A.M. Hasan Ali, dan Bahrul Muhtasib, Materi Dakwah Ekonomi Syariah,
(Jakarta: PKES, 2008), hal. 21-22.
12
M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Cet, Ke-13 (Jakarta: Gema Insani bekerja
sama dengan Tazkia Cendekia, 2009), hal. 3-4.
13
M. Umer Chapra, Islam an The Economic Challenge, (USA: The Islamic Foundation and The
International Institute of Islamic Thought, 1996), hal. 33.
permasalahan ekonomi, menganalisis, dan mengajukan alternatif solusi atas
berbagai permasalahan ekonomi. Sifat integral dalam ajaran Islam menjadikan
ekonomi Islam tidak bisa dilepaskan dari aspek keyakinan (aqidah) dan ibadah.
Hal ini telah jelas sebagaimana pembahasan beberapa ayat Makiyyah di atas.
Maka, ruang lingkup ekonomi Islam juga tidak terlepas dari dimensi ini.
Ekonomi Islam merupakan konsekuensi logis dari implementasi ajaran Islam
secara kaaffah (menyeluruh) dalam aspek ekonomi. Beberapa ekonom bahkan
memberikan penegasan bahwa ruang lingkup dari ekonomi Islam adalah
masyarakat muslim atau negara muslim sendiri. Namun, pendapat lain tidak
sejalan dengan pandangan ini dan lebih menekankan kepada perspektif Islam
tentang masalah ekonomi pada umumnya.
Dengan kata lain, titik tekan ilmu ekonomi Islam adalah pada bagaimana
Islam memberikan pandangan dan solusi atas berbagai persoalan ekonomi yang
dihadapi umat manusia secara umum. 14
Adapun masalah-masalah pokok (yang menjadi ruang lingkup) ekonomi
menurut para pakar mencakup antara lain:15
a. Jenis barang dan jasa yang diproduksi serta sistemnya
b. Sistem distribusi (untuk siapa barang/jasa itu)
c. Efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi.
d. Inflasi, resesi, dan depresi, dll.
14
M. Nadratuzzaman Hosen, A.M. Hasan Ali, dan Bahrul Muhtasib, Materi Dakwah Ekonomi
Syariah, hal. 26.
15
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, hal. 402.
Dengan demikian, ekonomi Islam tidak dibatasi kepada kajian fiqih
muamalah semata, meskipun ia tidak mungkin terlepas dari kajian tersebut.
Kajian fiqih muamalah yang meliputi pembahasan akad, bai’, salam, istishna’,
sharf, murabahah, wadi’ah, qardh, ijarah, syirkah, mudharabah, hibah, riba,
gharar, dan lain-lain tetap merupakan hal yang perlu dikaji dan tak terpisahkan
dari kajian maupun aplikasi ekonomi syariah, namun harus disadari pula bahwa
ekonomi syariah tidak terbatas pada akad dan kenis-jenisnya tersebut, maupun
larangan atas jenis akad tertentu.
16Muhammad Ngasifudin, Ekonomi Syariah Indonesia, Syariah Indonesia, Vol. 7, No.2, Desember 2017,
hal. 112
syarat-syarat hubungan konsisten pilihan yang lebih disukai dengan definisi
penampakan pilihan yang lebih disukai.
Dari penjelasan diatas dapat digambarkan bahwa rasionalitas dalam banyak
ekonomi literatur berarti kepentingan sendiri dan pada saat bersamaan konsisten
pada pilihan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, dimana bisa
dikuantifikasikan menuju maksimalisasi beberapa ide kesejahteraan umum.17
Rasional (rational) adalah lawan dari irrational, secara bahasa diartikan
seperti ungkapan rational human beings (manusia yang dapat berpikir), rational
behaviour (perilaku yang masuk akal). Ia juga yang mengandung makna
measureble in matrical units (dapat diukur dengan satuan angka), agreeable to
reason (dapat disetujui dengan pertimbangan akal budi / alasan), pertaining to or
acting in conformity to reason (bersinggungan atau bertindak sesuai dengan akal
budi). Makna tersebut dapat diambil intinya bahwa rasional mengandung
pengertian tentang keputusan dan tindakan yang didasari atas pertimbangan akal
budi.18
2. Konsep Rasionalitas Ekonomi
Rasionalitas ekonomi syariah dapat dilihat pada asas-asas Ekonomi Syariah
dan prinsip dasar sistem yang dipakai. Pengaruh kepentingan pribadi dan
dukungan kaum agamawan menjadi justifikasi untuk memperkaya diri sendiri
dan mengabaikan kepentingan sosial, kenyataan yang kaya terus memperkaya
diri dan yang miskin semakin dieksploitasi dan dibui mimpi terus merambah
semua lini perekonomian alih-alih berbicara kesejahteraan masyarakat, yang
menjadi target ekonominya adalah monopoli gaya baru. Jika dalam ekonomi
konvensional manusia disebut rasional secara ekonomi jika mereka selalu
memaksimumkan utility untuk konsumen dengan keuntungan untuk produsen,
maka dalam ekonomi islam seorang pelaku ekonomi, produsen, konsumen fakan
berusaha untuk memaksimalkan maslahah.
Sesungguhnya konsep rasionalitas ini menjadi fondasi penting bagi suatu
standar prilaku ekonomi konsep ini menjadi prinsip pembangun suatu ilmu
ekonomi. Prinsip ini dijadikan parameter suatu tindakan tepat atau tidak tepat
17M. Ngasifudin, Rasionalitas Ekonomi Islam, AL-INTAJ, Vol.4, No.2, September 2018, hal. 329
18Ali Amin Isfandiar, Melacak Teori Rasionalitas Ekonomi berbasis Islamic Ethic, Muqtasid, Vol.6 No. 2,
Desember 2015, hal. 26
dalam kacamata ekonomi. Jika suatu tindakan ekonomi sesuai dengan parameter
tersebut berarti tindakan itu benar, demikian juga sebaliknya. Sebagai misal, jika
seseorang lebih memilih membeli mobil Mercy daripada Honda Jazz, maka
perilaku orang itu dianggap rasional. Dianggap rasional karena mobil yang
pertama lebih mahal dari kedua. Sesuatu yang lebih mahal pasti lebih enak.
Dengan itu, maka kepuasaan yang paling tinggi terkandung dalam barang yang
pertama daripada yang kedua. Apabila ia memilih barang yang kedua, maka ia
berarti telah melakukan tindakan tidak rasional. Perilaku seorang untuk
mengoptimumkan kepuasaan tersebut merupakan perilaku yang rasional. Contoh
lain, seorang penjual dianggap rasional jika ia dapat memaksimumkan
keuntungan dari usahanya. Penetapan harga yang tinggi untuk memperoleh
keuntungan yang besar, oleh karenanya, dianggap wajar. Sementara jika
pedagang tersebut menetapkan harga yang tidak menghasilkan keuntungan
tinggi dianggap kurang wajar. Dalam hal ini rasionalitas ditentukan oleh tinggi
dan rendahnya keuntungan. Jika usaha tersebut dapat menghasilkan keuntungan
maksimum, maka tindakan tersebut rasional, sementara jika sebaliknya, maka
tidak rasional. Dari situ, maka prilaku agen ekonomi dianggap rasional, jika ia
memperoleh kepuasan atau keuntungan material yang tinggi dalam kegiatan
ekonominya. Dengan kata lain, parameter rasionalitas prilaku ekonomi
didasarkan pada tingginya kepuasan yang diterima untuk diri pelakunya sendiri
dalam kegiatan ekonomi tersebut. 19
Dalam ekonomi Islam, rasionalitas mempunyai batasan-batasan tertentu,
karena rasionalitas yang berbasis akal harus dikendalikan oleh etika dan norma
yang digali dari ajaran Islam yang berasal dari sumber otoritatif yaitu Qur’an
dan Hadis. Etika bukan hanya berlaku sebagai border (pembatas), tetapi ia
secara internal dan inheren berlaku pada setiap muslim dalam berperilaku
ekonomi. Oleh karena itu, rasionalitas dalam ekonomi Islam berorientasi pada
subyek yakni perilaku muslim dalam ekonomi. Sehingga pandangan rasionalitas
dalam ekonomi Islam berimplikasi pada dihadapkannya rasionalitas yang
19Dede Nurohman, Konsep Self-Interest Dan Maslahah Dalam Rasionalitas Ekonomi Islam, ISLAMICA,
Vol. 5, No. 1, September 2010, hal.102
berbasis ajaran Islam dengan pemahaman rasionalitas yang selama ini
berkembang pada perekonomian modern (konvensional).
20 HendriHermawan Adinugraha, Norma dan Nilai dalam Ilmu Ekonomi Islam, Media Ekonomi &
Teknologi Informasi, Vol.21 No. 1 Maret 2013: 49 -59
di negara-negara ini memang semakin memburuk. Contoh lain, misalmya tentang
fakta bahwa kebanyakan orang akan mengonsumsi barang dan jasa apa saja
sepanjang memberikan kepuasan maksimal merupakan ekonomi positif, sementara
anjuran agar tidak semestinya segala nafsu mencari kepuasan dipenuhi merupakan
pernyataan normatif.21
Ilmu ekonomi konvensional melakukan pemisahan secara tegas antara aspek
positif dan aspek normatif. Pemisahan aspek normatif dan positif mengandung
implikasi bahwa fakta ekonomi merupakan suatu yang independen terhadap norma;
tidak ada kausalitas antara norma dengan fakta. Dengan kata lain, realitas ekonomi
merupakan suatu yang bersifat independen, dan karenanya bersifat objekif dan
akhirnya berlaku universal. Hukum penawaran misalnya yang menyatakan bahwa
jika harga suatu barang meningkat, cateris paribus adalah pernyataan positif. Hukum
tersebut berlaku karena para produsen memandang bahwa kenaikan harga barang
adalah untuk mencetak keuntungan (pendapatan) setinggi-tingginya.
Teori ini tidak menjelaskan faktor apakah yang mendorong dan mengharuskan
produsen untuk mencari keuntungan maksimum, yang sebenarnya hal ini
merupakan pernyataan normatif. Hal-hal yang bersifat normatif dianggap sebagai
sesuatu yang telah ada sebelumnya (given) dan berada diluar batas analisis ekonomi.
Salah satu kritik utama para pemikir islam terhadap ilmu ekonomi
konvensional, terutama kapitalisme adalah adanya kecenderungannya untuk
mengklaim bebas nilai (value free), serta mengabaikan pertimbangan moral. Kritik
ini muncul dari pengamatam berikut ini:
a. Ilmu ekonomi konvensional cenderung berbicara pada dataran positif (positive
economics) dengan alasan menjaga objektivitas ilmu pengetahuan. Dalam
konteks ini, ilmu ekonomi dianggap benar-benar independen terhadap norma
atau nilai. Norma yang digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan
ekonomi dipandang sebagai sesuatu yang sudah ada sebelumnya sehingga tidak
membuka peluang untuk dilakukannya perubahan norma sebagai perubahan
ilmu ekonomi.
b. Teori model kebijakan dan masyarakat ekonomi yang dikembangkan selama 2
abad terakhir berada dalam lingkup tradisi materialisme.
21 Muhammad Arif dkk, Filsafat Ekonomi Islam, (Medan: FEBI PRESS, 2023), h.28-29
c. Tradisi pemikiran neo klasik, yang merupakan mazhab pemikiran ekonomi
mainstream saat ini, cenderung menempatkan filsafat individualisme,
merkantilisme, dan utilitarisme sebagai dasar dalam penyusunan teori dan
model ekonominya.22
22Muhammad Arif dkk, Filsafat Ekonomi Islam, (Medan: FEBI PRESS, 2023), h. 29-30
dipengatuhi oleh nilai (value) atau etika yang diyakininya, serta pandangannya
terhadap kehidupan ini. Selain itu, kejadian ekonomi dipengaruhi oleh interaksi
berbagai variabel dan kejadian lain yang tidak dapat dipisahkan secara mekanis satu
dengan lainnya. Dengan kata lain, terdapat suatu multi kausalitas dan multi relasi
yang kompleks antar berbagai variabel dalam kejadian sosial, sedangkan kejadian
ekonomi hanya merupakan salah satunya. 23
Sesungguhnya pendikotomian normatif dengan positif dalam ilmu ekonomi
konvensional saat ini masih mengandung banyak kerancuan. Ilmu ekonomi
konvensional telah dibangun diatas dua himpunan tujuan yang berbeda. Salah
satunya disebut tujuan 'positif', yang berhubungan erat dengan usaha realisasi
secara efisien dan adil dalam proses alokasi dan distribusi sumber daya ekonomi.
Tujuan lainnya yaitu tujuan normatif, yang diekspresikan dengan usaha
penggapaian secara universal tujuan sosial ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan
hidup, full employment, tingkat pertumbuhan ekonomi yang optimal, distribusi
pendapatan, kekayaan yang merata, dan lain-lain. Adanya tujuan yang berbeda ini
telah menyebabkan ketidakefektifan ilmu ekonomi konvensional dalam menggapai
tujuannya, sebab keduanya berhubungan erat. Dapat atau tidaknya tujuan normatif
dan positif tersebut bersifat konsisten akan sangat tergantung bagaimana tujuan-
tujuan tersebut didefinisikan. Jadi, sebenarnya selalu ada kaitan antara positif dan
normatif, ia tidak dapat didikotomisasikan.
Oleh karena itu, ekonomi islam pada dasarnya mengedepankan pendekatan
integratif antara normatif dan positif. Islam menempatkan nilai yang tercermin
dalam etika pada posisi yang tinggi. Jadi, etika harus menjadi kerangka awal dalam
ilmu ekonomi. Penjelasan, pemahaman dan penilaian tujuan ekonomi haris
dilakukan dengan kerangka ilmu sosial yang integral, tanpa mendikotomikan etika
dan realita secara absolut. Integrasi etika dan realita dalam pandangan islam tentu
saja bukan seperti pemahaman Max Weber tentang wertfei, sebab dalam pandangan
islam etikalah yang harus menguasai ilmu ekonomi bukan sebaliknya. Dalam
pandangan islam hidup seorang manusia harus dituntun oleh syariat islam secara
keseluruhan, dan inilah misi utama eksistensi manusia di muka bumi. Syariah islam
23Muhammad Arif dkk, Filsafat Ekonomi Islam, (Medan: FEBI PRESS, 2023), h. 30-31
telah menyediakan perangkat lengkap sebagai sistem kehidupan (manhaj al-hayah)
dan sarana kehidupan (wasilah al-hayyah).
Sebagai konsekuensi bahwa ekonomi islam hanya ditujukan untuk
mendapatkan falah, maka ekonomi islam tidak hanya dapat dipandang sebagai
deskripsi empiris atas perilaku umat islam, namun juga membentuk suatu
perekonomian yang mampu membawa manusia untuk mencapai falah tersebut.24
KESIMPULAN
Rasionalitas dalam ekonomi bahwa manusia berperilaku secara rasional (masuk
akal), dan tidak akan secara sengaja membuat keputusan yang menjadikan mereka
menjadi lebih buruk. Perbedaan mendasar antara rasionalitas ekonomi konvensional
dengan ekonomi islam adalah sumber pengembalian dasar sebagai filosofinya dan
rentang waktu yang melingkupinya. Islam lebih menekankan pada konsep need
daripada want dalam menuju maslahah, need lebih bisa diukur daripada want. Menurut
Islam, manusia mesti mengendalikan dan mengarahkan want dan need sehingga dapat
membawa maslahah dan bukan mudharat untuk kehidupan dunia dan akhirat. Konsep
rasionalitas memiliki konsekuensi terhadap perilaku manusia dalam melakukan
tindakan ekonomi dan tujuan-tujuan hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Muhammad. Islamic Economics, Theory and Practice. India: Idarah
Adabiyah, 1980.
Adinugraha, Hendri Hermawan. Norma dan Nilai dalam Ilmu Ekonomi Islam. Media
Ekonomi &Teknologi Informasi Vol.21 No. 1 Maret 2013
24Muhammad Arif dkk, Filsafat Ekonomi Islam, (Medan: FEBI PRESS, 2023), h. 31-32
Alim. Muhammad, (2006), Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan Pemikiran
dan Kepribadian Muslim, Bandung: Remaja Rosdakarya
Antonio, Muhammad Syafi'i. (2001), Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Jakarta :
Gema Insani.
Arif, Muhammad, et al. 2023. Filsafat Ekonomi Islam. Medan: FEBI PRESS
Chapra, M. Umer. 2000a. Islam dan Tantangan Ekonomi. cet 1. ed. Sholihat. Jakarta:
Gema Insani Pers.
Isfandiar, Ali Amin. (2015). Melacak Teori Rasionalitas Ekonomi berbasis Islamic
Ethic. Muqtasid, Vol.6 No. 2.
Naqvi, Syed Nawad Haider. 2003. Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, ter. M Saiful Anam
dan Muhammad Ufuqul Mubin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasution dkk, (2007) Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Kencana Prenada Group,
Jakarta.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII dan BI. Ekonomi Islam
(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012) hal. 31
Safri, Hendra. Pengantar Ilmu Ekonomi. Palopo: Lembaga Penerbit Kampus IAIN
Palopo, 2018.