Anda di halaman 1dari 3

Pada dasarnya, riba terbagi menjadi dua macam: riba karena penundaan dan riba karena

selisih/kelebihan.
Riba karena penundaan=nasi’ah (‫ )الّنسيئه‬dapat diartikan dengan tambahan yang disyaratkan
yang diambil/diterima dari orang yang diutangi sebagai kompensasi dari penundaan pelunasan
(termasuk di dalamnya riba jahiliyah). Riba ini bisa terjadi karena penundaan saja atau
penundaan sekaligus dengan tambahan.
Riba jahiliyah adalah salah satu model riba, yaitu ketika jatuh tempo, tidak bisa melunasi, lalu
jatuh tempo ini diundur, dengan syarat ada penambahan pembayaran. Namun, jika dapat dilunasi
pada saat jatuh tempo yang pertama, maka tidak ada penambahan. Ini model rentenir jahiliyah.
Riba modern lebih kejam daripada riba jahiliyahnya orang jahiliyah. Riba modern, dari jatuh
tempo pertama sudah diwajibkan membayar tambahan. Kalau riba jahiliyah, jatuh tempo
pertama gratis dari uang administrasi dan semacamnya. Riba modern, belum terima uang sudah
harus bayar. Misal, pinjam lima juta rupiah, dapatnya empat juta lima ratus ribu. Baru menerima,
sudah langsung terkena ribanya, dianggapnya utang lima juta rupiah.
Riba jenis ini haram berdasarkan Quran, Sunnah, dan ijma’ umat Islam.
Riba karena selisih=riba fadhl ((‫)الفضل‬, ini terdapat dalam dunia perdagangan, tepatnya pada
barter, akan tetapi tidak semua barter, hanya barter pada barang-barang tertentu saja (komoditas
ribawi). Yakni barter uang dengan uang atau bahan makanan dengan bahan makanan, dengan
ada penambahan.
Riba ini haram berdasarkan hadits dan ijma’. Pada awalnya ada ikhtilaf, yakni Ibnu Abbas
membolehkannya, tetapi akhirnya beliau rujuk dan meralat pendapatnya, dan hasilnya ulama
sepakat bahwa ini tidak boleh, riba ini dinilai menjadi sarana menuju riba nasi’ah.
Tidak terjadi riba dalam dunia barter kecuali dengan enam benda ribawi. Dalam hadits hanya ada
enam benda ribawi. Ada perselisihan apakah riba hanya pada enam benda tersebut atau bisa
dilebarkan ke benda yang lainnya. Pendapat yang lebih kuat adalah enam benda tersebut bisa
dilebarkan kepada benda yang sejenis dan semisal.
Enam jenis benda ribawi tersebut adalah emas, perak, gandum bur, gandum sa’ir, kurma, dan
garam. Hal ini sebagaimana hadits:
‫ « الَّذ َهُب ِبالَّذ َهِب َو اْلِفَّض ُة ِباْلِفَّض ِة َو اْلُبُّر ِباْلُبِّر َو الَّشِع يُر ِبالَّش ِع يِر‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َع ْن ُع َباَد َة ْبِن الَّصاِمِت َقاَل َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا‬
‫َو الَّتْم ُر ِبالَّتْم ِر َو اْلِم ْلُح ِباْلِم ْلِح ِم ْثًال ِبِم ْثٍل َس َو اًء ِبَس َو اٍء َيًدا ِبَيٍد َفِإَذ ا اْخ َتَلَفْت َهِذِه اَألْص َناُف َفِبيُعوا َكْيَف ِش ْئُتْم ِإَذ ا َك اَن َيًدا ِبَيٍد‬
Dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah bersabda, “Jika emas dibarter dengan emas, perak
dibarter dengan perak, gandum burr dibarter dengan gandum burr, gandum sya’ir dibarter
dengan gandum sya’ir, kurma dibarter dengan kurma, garam dibarter dengan garam maka
takarannya harus sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya
sesuka hati kalian asalkan tunai.” [H.R. Muslim].
Maka emas jika dibarter dengan emas, tidak boleh melihat karat, tidak boleh melihat kualitas,
yang dilihat hanya takaran/timbangan, dan menurut pendapat yang paling kuat, tidak juga
melihat bentuk, entah berbentuk batangan ataupun perhiasan. Kalau ingin dibarter, menurut
aturan syariat, harus rela seperti itu. Lima gram emas dibarter dengan lima gram emas, meskipun
kualitas berbeda. Jika tidak rela, mungkin karena harganya berbeda, maka jangan dibarter.
Silakan jual emas tersebut, lalu uang yang didapat gunakan untuk membeli seperti apa yang
diinginkan.
Demikian juga perak dengan perak. Namun jika emas dengan perak, maka boleh berbeda
takaran/timbangannya, tetapi keduanya tetap harus diserahkan pada saat itu juga. Maka jika
terdapat barter, bendanya sejenis, maka ada dua yang dilarang, yaitu haram adanya selisih dan
haram adanya penundaan. Maka tidak boleh tidak, harus ada kesamaan dalam timbangan dan
waktu penyerahan dengan menutup mata terhadap kualitas. Meskipun beda karat itu dianggap
beda dalam pandangan manusia, akan tetapi hal itu tidak dianggap dalam pandangan syariat.

، ‫َع ْن َأِبى َسِع يد الُخ دري – رضى هللا عنه – أَّن َر ُسوُل ِهَّللا – صلى هللا عليه وسلم – َقاَل َال َتِبيُع وا ال >َّذ َهَب ِبال >َّذ َهِب ِإاَّل ِم ْثاًل ِبِم ْث ٍل‬
‫ َو َال َتِبيُع وا ِم ْنَه ا َغاِئًب ا‬،‫ َو َال ُتِش ُّفوا َبْع َض َها َع َلى َبْع ٍض‬، ‫ َو َال َتِبيُعوا ال>َو ِر َق ِب الَو ِرِق ِإاَّل ِم ْثاًل ِبِم ْث ٍل‬،‫َو َال ُتِش ُّفوا َبْع َضَها َع َلى َبْع ٍض‬
‫ِبَناِج ٍز‬
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah kalian menjual emas dengan emas, kecuali beratnya sama (semisal dengan semisal).
Jangan melebihkan berat yang satu melebihi berat lainnya. Janganlah kalian menjual perak
dengan perak, kecuali beratnya sama. Jangan melebihkan berat yang satu melebihi berat
lainnya. Dan janganlah menukar emas-perak yang satu tunai sementara yang satu
terutang/tertunda.” [HR. Bukhari].

‫ الَّذ َهُب ِبالَّذ َهِب ِرًب ا ِإاَّل َه اَء َو َه اَء اْلُب ُّر ِب اْلُبِّر ِرًب ا ِإاَّل َه اَء َو َه اَء‬: ‫َع ْن ُع َم َر َرِض َي ُهَّللا َع ْنُهَم ا َع ْن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل‬
‫َو الَّشِع يُر ِبالَّش ِع يِر ِرًبا ِإاَّل َهاَء َو َهاَء َو الَّتْم ُر ِبالَّتْم ِر ِر ًبا ِإاَّل َهاَء َو َهاَء‬
Dari ‘Umar radhiyallaahu ‘anhumaa, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Emas ditukar dengan emas adalah riba kecuali dengan kontan, gandum bur ditukar
dengan gandum bur adalah riba kecuali secara kontan, gandum sya’iir/jewawut ditukar dengan
gandum sya’iir adalah riba kecuali secara kontan, dan kurma ditukar dengan krma adalah riba
kecuali secara kontan” [Muttafaq ‘alaih].

Dari Abu Sa’id, ia berkata, “Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kami pernah
diberi kurma jama’ (yaitu) kurma campuran (antara yang bagus dengan yang jelek), maka kami
menjualnya dua sha’ dengan satu sha’. Berita tersebut sampai kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda:
‫َال َص اَع ْي َتْم ٍر ِبَص اٍع َو َال َص اَع ْي ِح ْنَطٍة ِبَص اٍع َو َال ِد ْر َهَم ِبِد ْر َهَم ْيِن‬.
“Janganlah menjual dua sha’ kurma dengan satu sha’ dan jangan pula menjual dua sha’
gandum dengan satu sha’ dan jangan pula satu dirham dengan dua dirham.” [Muttafaq ‘alaih]

Namun jika jenis dari enam benda ribawi ini dibarter dengan yang tidak sejenis, misalnya emas
dengan perak, gandum bur dengan gandum sya’iir, maka boleh ada selisih takaran/timbangan
dengan syarat semuanya harus diserahkan dalam majelis/kontan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam pada hadits ‘Ubadah yang telah lewat: “Jika benda yang dibarterkan
berbeda maka takarannya sesuka hati kalian asalkan tunai.”
Hal ini juga karena sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Ubadah yang
terdapat dalam riwayat Abu Dawud dan yang lainnya:
‫ َو َأَّم ا‬، ‫ َو الَّش ِع ْيُر َأْكَثُر ُهَم ا َيًدا ِبَيٍد‬،‫ َو َال َبْأَس ِبَبْيِع اْلُبِّر ِبالَّش ِع ْيِر‬,‫ َأَّم ا َنِس ْيَئُة َفَال‬, ‫ َيًدا ِبَيٍد‬,‫ َو اْلِفَّض ُة َأْكَثُر ُهَم ا‬،‫َو َال َبْأَس ِبَبْيِع الَّذ َهِب ِباْلِفَّض ِة‬
‫َنِس ْيَئُة َفَال‬.
“Tidak mengapa menjual emas dengan perak dengan jumlah perak lebih banyak (apabila)
langsung serah terima/kontan, adapun dengan cara nasi’ah (ditangguhkan serah terimanya),
maka tidak boleh. Dan tidak mengapa menjual gandum bur dengan sya’ir dengan jumlah sya’ir
lebih banyak (apabila) langsung serah terima, adapun dengan cara nasi’ah maka tidak
boleh.” [H.R. Abu Dawud]

Anda mungkin juga menyukai