BAB IV Hasil Dan Pembahasan
BAB IV Hasil Dan Pembahasan
A. Deskripsi Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah novel-novel karya Tere Liye yaitu
novel Tentang Kamu, novel Rindu, dan novel Rembulan Tenggelam Di Wajahmu.
Tere Liye telah menciptakan banyak novel-novel yang inspiratif. Beberapa
karyanya yang pernah diangkat ke layar lebar yaitu Hafalan Sholat Delisa, Moga
Bunda Disayang Allah, dan Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Beberapa novel
lainnya bahkan dicetak ulang karena tingginya peminat pembaca novel Tere Liye.
Novel Tentang Kamu memiliki jumlah halaman 524 + vi, ketebelan 13,5 cm
x 20,5 cm dan diterbitkan oleh Republika Penerbit yang diterbitkan pada Oktober
2016 pada cetakan pertama.
Novel Rindu memiliki jumlah halaman 544 + ii, ketebalan 13,5 cm x 20,5
cm dan diterbitkan oleh Republika Penerbit yang diterbitkan pada Oktober 2014
pada cetakan pertama.
Novel Rembulan Tenggelam Di Wajahmu memiliki jumlah halaman 426 +
iv, ketebalan 20,5 cm x 13,5 cm dan diterbitkan oleh Republika Penerbit yang
diterbitkan pada Februari 2009 pada cetakan pertama.
Pada penelitian ini penulis menganalisis struktur novel berupa unsur
instrinsik dan nilai moral yang terdapat pada novel-novel karya Tere Liye yaitu
novel Tentang Kamu, novel Rindu, dan novel Rembulan Tenggelam Di Wajahmu
dan sebagai hasilnya dapat dijadikan pedoman dalam berperilaku dalam
kehidupan sehari-hari dan sebagai motivasi untuk perkembangan dalam
membentuk karakter peserta didik. Selain itu, hasil penelitian akan dimanfaatkan
sebagai bahan ajar modul pada pembelajaran novel di SMA kelas XI.
Dalam setiap analisis, peneliti memaparkan kutipan-kutipan yang
berkenaan dengan permasalahan yang menjadi fokus kajian, yaitu unsur intrinsik
diantaranya (1) tema, (2) latar, (3) alur, (4) tokoh dan penokohan, dan (5) sudut
pandang dan nilai moral yang mengandung jangkauan sikap yang terdiri dari (1)
sikap dan perilaku dan hubungannya dengan Tuhan, (2) sikap dan perilaku dengan
diri sendiri, (3) sikap dan perilaku dan hubungannya dengan keluarga, (4) sikap
dan perilaku dan hubungannya masyarakat dan bangsa, (5) sikap dan perilaku dan
hubungannya dengan alam sekitar.
B. Analisis Data
1. Novel Tentang Kamu
a. Sinopsis Novel Tentang Kamu
Novel ini menceritakan tentang perjalanan hidup Sri Ningsih, seorang
wanita sederhana, tangguh, dan baik hati yang berasal dari Pulau Bungin,
Sumbawa, Provinsi NTB. Sebelum menutup usia, Sri menulis surat wasiat untuk
ahli waris hartanya sebesar 19 triliun rupiah.
Pada mulanya, seorang pengacara muda, Zaman Zulkarnaen yang bekerja di
firma hukum London Thompson & Co. ditugaskan oleh Sir Thompson yang
merupakan senior di firma hukum Thompson & Co. untuk menyelesaikan
pembagian warisan dari surat wasiat milik Sri Ningsih sebesar 19 triliun. Untuk
menyelesaikan tugas tersebut, Zaman Zulkarnaen harus menelusuri setiap jengkal
perjalanan hidup Sri Ningsih, mengunjungi tempat-tempat dia dibesarkan untuk
mencari ahli waris dari harta yang ditinggalkannya..
b. Struktur Novel Tentang Kamu
Waktu
- Pagi
Pagi itu, Sri mengubah rencana perjalanan.
menyisihkan lima lokasi lain, dia menuju pool
bus tempat lowongan pekerjaan sopir
ditawarkan. setelah berpindah bus dua kali,
Sri tiba di sana. Criclewood Bus Garage.
hujan semakin deras, dia berlari kecil menuju
bangunan kantor pool. (hal.315)
- Sore
Matahari sudah tumbang di kaki barat,
jalanan telah padat oleh penduduk kota yang
pulang dari kantor. (Hal. 253)
Pukul enam sore, matahari hampir tenggelam,
kaki langit jingga, dan burung-burung camar
yang terbang rendah, terlihat begitu menawan.
Sudah belasan lagi rumah yang dikunjungi
Zaman, tetap belum ada kemajuan berarti.
(Hal. 57-58)
- Malam
Pukul tujuh malam, saat matahari telah lama
tenggelam di kaki barat, setelah melintasi
sawah-sawah luas, puluhan pedesaan, serta
kota-kota berikutnya mobil itu akhirnya
berbelok memasuki kompleks luas madrasah
yang dituju. (Hal. 144)
Pukul sebelas malam, Zaman berpamitan. Dia
telah mendengar seluruh kisah. (Hal. 205)
Suasana:
- Menyedihkan
“Kisah ini sangat menyedihkan, Pak Tua.
Siapa pula yang tidak terharu
mendengarnya?” Terdesak, La Golo mencoba
berkelit, “Aku pikir, bagian yang paling
menyedihkan adalah saat kapal bapaknya
tenggelam, ternyata tidak. Nusi Maratta
sungguh kejam pada anak tirinya.
Membayangkan Sri tidur dengan tubuh basah
di teras rumah, aku akui itu membuat mataku
kelilipan.” (Hal. 110)
- Menegangkan
Lastri telah turun dari mobilnya, dia
mengacungkan pistol, membabi buta
menembak. Zaman segera melompat,
berlindung di balik meja-mejaterdekat
merunduk.
“Dor!”
Partisi kaca dekat meja hancur berguguran.
“Keluar, bajingan!” Lastri berteriak, “Hadapi
aku!”
Napas Zaman menderu, dia sedang berhitung
meraih kaleng oli yang terbuka.(508)
4. Alur Alur yang digunakan pada novel Tentang
Kamu adalah alur campuran (alur maju-
mundur) yang artinya dalam cerita ini terjadi
flashback ke masa lalu Sri Ningsih dan alur
maju ketika Zaman Zulkarnaen mencari surat
wasiat milik Sri Ningsih.
5. Sudut Pandang Sudut pandang novel Tentang Kamu adalah
orang ketiga serba tahu, karena pengarang
seolah-olah serba tahu sehingga dapat
mengetahui segala tingkah laku, peristiwa, dan
pikiran semua tokoh dan ditandai dengan kata
ganti “dia” atau para tokoh dengan menyebut
namanya. Seperti pada kutipan berikut
Zaman menyerahkan selembar 10
poundsterling, “Sekaligus untuk membayar roti
daging dua hari lalu, Tuan Khan, aku lupa
membayarnya.” Kemudian melambaikan
tangan, dia harus kembali bergegas. (Hal.3)
79. "Oo, itu Jo yang tahu persis. Pelajaran untuk Vin Peduli terhadap
yang ke-berapa? Delapan belas? Ya, delapan sesama
belas. Detail seperti itu penting. Vin bisa membuat (Sikap dan
orang lain bekerja tanpa henti hanya dengan hal- hubungannya
hal sepele seperti itu. Catat itu." Ray tertawa. dengan masyarakat
(Hal. 366) dan bangsa)
80. Ia tidak akan pernah bisa mengatakannya. Buat Tidak memaksakan
apa? Hanya akan menyakiti perasaan. K-a-k-a-k. kehendak
Itu ide yang baik. Semoga waktu berbaik hati (Sikap dan
padanya. Bukankah waktu bisa merubah hubungannya
perasaan? Ray mengangguk, mendekap lembut dengan diri sendiri)
bahu gadis itu.
(Hal. 368)
81. "Apakah tidak ada cara lain? Apa saja?" Terlalu percaya
"Semuanya sudah terlanjur. Transaksi dengan naluri
pengambilalihan ladang minyak itu sudah (Sikap dan
diselesaikan. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan. hubungannya
Aku terlalu percaya dengan naluriku." Ray dengan diri sendiri)
mengusap dahinya. (Hal. 370)
82. Ray mengusap wajahnya, menurunkan intonasi Tidak berhutang budi
suara. Masalahnya bukan itu. Sungguh bukan itu. kepada orang lain
Ray benar-benar tidak ingin berhutang-budi (Sikap dan
kepada Koh Cheu. Dari dulu dia selalu hubungannya
menghindari melibatkan Koh Cheu dalam dengan masyarakat
bisnisnya. Apalagi sekarang dengan Vin di antara dan bangsa)
mereka berdua. Dia tidak akan pernah bisa
meminta bantuan Koh Cheu tanpa melibatkan
perasaan. (Hal. 370)
83. Menjelang tengah-malam, setelah memikirkan Rela berkorban
banyak hal, ia memutuskan menelepon Kakek (Sikap dan
Cheu. Mengatakan apa yang terjadi. Meminta hubungannya
sungguh-sungguh agar Kakek Cheu dengan masyarakat
menyelamatkan bisnis Ray. Telepon itu efektif dan bangsa)
sekali. Esok paginya, taipan itu segera berangkat
ke Ibukota dengan pesawat pertama dari kota
timur. Hal. 372
84. "Aku mengerti kalau kau tidak mau melibatkanku Tolong menolong
dalam bisnis hebatmu, Ray. Karena kau berbaik (Sikap dan
hati dengan taipan-tua ini. Tetapi aku sungguh hubungannya
tidak mengerti kalau kau sampai tidak dengan masyarakat
meneleponku, aku mungkin bisa memberikan dan bangsa)
sedikit bantuan padamu-" Hal. 372
85. "Itu masalah, Ray Kau mungkin bisa memulainya- Tolong menolong
lagi, tapi kau sudah kehilangan waktumu. Bisnis (Sikap dan
barumu tidak akan lebih seperti kontraktor rumah. hubungannya
Kecuali kau mengizinkan aku membantumu.” dengan masyarakat
Hal. 373 dan bangsa)
86. "Itulah kenyataannya, Ray. Suka atau tidak. Tapi Menilai dengan fakta
fakta ini belum utuh, belum lengkap. Kau harus yang utuh
tahu bagian lainnya agar bisa menilai dengan lebih (Sikap dan
baik, karena Koh Cheu bertongkat yang kau kenal hubungannya
memang amat berbeda dengan Koh Cheu saat dengan masyarakat
seusia kau.” Hal. 376 dan bangsa)
87. "Koh Cheu terpaksa berjanji di depan istrinya. Jahat kepada orang
Tetapi Koh Cheu tetaplah Koh Cheu. Dia lain
mengumbar janji palsu, dia tetap sama jahatnya. (Sikap dan
Menyuap pejabat, menyelundupkan barang-barang hubungannya
ilegal, merusak harga di pasar dengan monopoli dengan masyarakat
dan praktek bisnis licik lainnya. Tidak peduli pun dan bangsa)
dengan orang lain. Istrinya lelah mengancam.
Sedikit. Lelah menasihati.” Hal. 377
89. "Hingga kecelakaan pesawat terbang itu terjadi. Rasa penyesalan
Kau tentu tahu kecelakaan pesawat terbang yang (Sikap dan
menewaskan anak satu-satunya dan menantu hubungannya
mereka. Menyisakan Vin sendirian. Saat itulah dengan diri sendiri)
Koh Cheu menyadari balasan penguasa bumi. Saat
itulah dia menyadari kalau hidup ini adil. Ah,
sayang, penyesalan tidak pernah bisa
mengembalikan anaknya. Maka setiap kali melihat
Vin, rasa sesal itu menghujam kuat-kuat.”
(Hal.377)
90. "Kenapa? Karena kau sudah terjebak dalam siklus Tidak mensyukuri
mengerikan itu, Kay. Kau terjebak keinginan- nikmat / terlalu
keinginan dunia. Kau mencintai dunia persis mencintai dunia
seperti sekerumunan orang-orang lainnya yang (Sikap dan
amat keterlaluan mencintainya. Dan lazimnya para hubungannya
pencinta dunia itu, maka sungguh dia tidak akan dengan diri sendiri)
pernah terpuaskan oleh yang bisa disediakan
dunia. Kau pikir setelah mendirikan gedung
tertinggi maka kau akan merasa lelah, merasa
cukup, merasa puas. Kau tidak akan pernah
menemukan apa yang kau cari setelah gedung Itu
berdiri, juga gedung berikutnya, gedung
berikutnya.” (Hal. 379)
91. Kau mirip sekali dengan kelakuan hampir seluruh Tidak bersyukur
orang yang pernah terlahir di muka bumi ini, Ray. (Sikap dan
Tidak pernah merasa cukup atas apa yang hubungannya
dimilikinya. Rakus atas harta-benda. Bangga atas dengan diri sendiri)
Materi. Keinginan dunia.
"Ray, kau mungkin mendebat karena kau
melakukan itu semua untuk menjawab semua
perasaan kosong setelah istrimu pergi. Tapi apa
pun latar-belakangnya, orang-orang yang
keterlaluan mencintai dunia tetap tidak akan
pernah menemukan jawaban dari dunia. Dari
harta-benda dunia.” (Hal. 379)
92. "Ray, itulah beda antara orang-orang yang Bijak menyikapi
keterlaluan mencintai dunia dengan orang-orang hidup
yang bijak menyikapi hidupnya. Orang-orang (Sikap dan
yang terus merasa hidupnya kurang maka dia tidak hubungannya
berbeda dengan pemahat pertama, tidak akan dengan diri sendiri)
pernah merasa puas. Tapi orang-orang bijak,
orang-orang berhasil menghaluskan hatinya
secemerlang mungkin, membuat hatinya bagai
cermin, maka dia bisa merasakan kebahagian
melebihi orang terkaya sekali pun. (Hal. 381)
93. "Orang itu adalah istrimu, Ray. Istrimu. Gigi Rasa cukup
kelinci-mu. Ah, kenyataan ini amat menyakitkan (Sikap dan
memang. Kau bukannya belajar kepada istrimu hubungannya
tentang merasa cukup itu, kau malah menjadikan dengan diri sendiri)
istrimu sebagai alasan mengejar jawaban-jawaban
semu itu. Jawaban atas pertanyaan ke-empatmu.
Ray menggigit bibir, tertunduk kembali. Astaga?
Itu benar sekali. Bukankah istrinya pernah
berkata: "Aku baik-baik saja, ceroboh. Aku
senang mendengarnya. Amat senang. Tapi aku
tidak membutuhkan itu semua. Rumah besar,
mobil, berlian. Bagiku kau ikhlas dengan semua
yang kulakukan untukmu. Ridha atas perlakuanku
padamu. Itu sudah cukup." Bagaimana mungkin
dia tidak pernah menyadarinya. Awan kelabu yang
tadi menutupi rembulan di bingkai jendela kaca
perlahan pergi. Menyisakan siluet malam.
(Hal. 382)
94. Vin mengangguk. Ada banyak yang tidak baik- Berbakti kepada orang
baik saja di hatinya sekarang. Tetapi mengangguk tua
sudah menjadi kebiasaan baru baginya bertahun- (Sikap dan
tahun terakhir. Merawat Kakek Cheu yang renta. hubungannya
Menuruti apa mau Kakek Cheu. Tidak dengan keluarga)
membantah. Kakek Cheu yang hanya bisa duduk
di rumah besar mereka. Bersandarkan kursi rotan,
memegang tongkat. Kehilangan seluruh kendali
bisnis. "Maafkan aku." Ray mendesah pelan, suara
itu hampir tidak terdengar di tengah debur ombak
dan lenguhan.
(Hal. 390)
95. Ray tidak bercakap-cakap. Dia hanya rindu. Rindu Kerinduan
semuanya. Rindu wajah tersenyum istrinya. Wajah (Sikap dan
cemberut istrinya. Wajah ngantuk. Wajah lelah. hubungannya
Wajah pucat. Ray menghela napas. Hampir dua dengan keluarga)
puluh tahun seluruh kenangan bersama istrinya
terkubur di sini. Dua puluh tahun yang hampa.
Kosong. Dua puluh tahun yang melelahkan. Naik
turun nasibnya. Naik turun imperium bisnisnya.
Kesedihan. Kemalangan. Kebangkitan. Sendiri.
(Hal. 396)
96. Melesat jutaan byte sepersekian detik. Itulah bisnis Berpikir jauh ke depan
terbaru Ray. Telekomunikasi. Naluri bisnisnya (Sikap dan
terasah tajam. sebelum yang lain memasang aba- hubungannya
aba, Ray sudah melesat ratusan meter di depan dengan diri sendiri)
mereka. Berlari sambil merobohkan palang-palang
yang bisa mengganggu, merintangi pesaingnya.
Membuat laju mereka yang menyusul terhambat.
(Hal. 397)
97. Kali ini dokter bersikeras Ray tidak ke mana- Berkerja keras
mana, tetap di tempat tidurnya hingga masa (Sikap dan
istirahat usai. Maka selama dua minggu itu Ray hubungannya
mengendalikan bisnisnya dari ruang rawat inap dengan diri sendiri)
Rumah Sakit. Jo menemaninya. Tidak kenal lelah
dan bosan meski hanya menghabiskan waktu
duduk diam di sebelah ranjang Ray. (Hal. 404)
98. Sebulan kemudian, dia sudah kembali ke Berkerja keras
ruangannya. Tenggelam dalam rutinitas yang (Sikap dan
sama. Memimpin rapat tahunan seluruh unit bisnis hubungannya
di ruang kerjanya. Menandatangani banyak kertas. dengan diri sendiri)
Melakukan lebih banyak kesepakatan. Ray tidak
terlalu memikirkan kalu dia baru saja dua kali
masuk rumah sakit enam bulan terakhir. Dia
merasa sehat. Fisiknya kuat. Tubuhnya gagah dan
ekar. Dan yang lebih penting, otaknya masih
secerdas dulu. Naluri bisnisnya masih terlatih
tidak kurang satu apa pun. (Hal. 404)
99. Jo berkali-kali mendesah ke langit-langit ruangan. Setia
Menangis tersedu meminta agar Tuhan berbaik (Sikap dan
hati kepada Mas Rae-nya. Mendesis pelan tentang hubungannya
jangan biarkan orang sebaik Ray harus pergi dengan masyarakat
bagitu cepat. Masih banyak pekerjaan yang belum dan bangsa)
diselesaikan. Masih banyak mimpi-mimpi yang
belum terwujud. (Hal. 408)
100. Biarkanlah malam ini dia memandang rembulan Bersyukur
dengan perasaaan lama itu, perasaan damai, (Sikap dan
tentram… merasa berterima kasih telah diberikan hubungannya
sepotong kesenangan hidup, yang meskipun dengan Tuhan)
sebenci apa pun dia, semarah apa pun dia atas
keputusan Tuhan, dia tetap menyadari masih ada
sepotong kehidupan yang indah, yaitu kerika
menatap rembulan di atas sana. Biarlah semuanya
berakhir. Dia ikhlas sudah. (Hal. 413)
101. “Ketahuilah, Ray,” orang dengan wajah Optimis
menyenangkan itu menyentuh lembut bahu pasien (Sikap dan
di sebelahnya, “Ketika merasa hidupmu hubungannya
menyakitkan dan merasa muak dengan semua dengan diri sendiri)
penderitaan maka itu saatnya kau harus melihat ke
atas, pasti ada kabar baik untukmu, janji-janji,
masa depan. (Hal. 416)
102. Dan sebaliknya , ketika kau merasa hidupmu Bersyukur
menyenangkan dan selalu merasa kurang dengan (Sikap dan
semua kesenangan maka itulah saatnya kau harus hubungannya
melihatnya ke bawah, pasti ada yang lebih tidak dengan diri sendiri)
beruntung darimu. Hanya sesederhana itu. Dengan
begitu, kau akan selalu pandai bersyukur. (Hal.
417)
103. Tentang nama anak perempuanmu, dan berbagai Berperasangka baik
bagian yang tidak terjelaskan, semoga langit (Sikap dan
berbaik hati memberitahu. Kalau pun tidak, hubungannya
begitulah kehidupan. Ada yang kita tahu. Ada pula dengan Tuhan)
yang kita tidak tahu. Yakinlah, dengan ketidak-
tahuan itu bukan berarti Tuhan berbuat jahat
kepada kita. Mungkin saja Tuhan sengaja
melindungi kita dari tahu itu sendiri.” (Hal. 423)
104. Setiap kali kau memandangnya, kau selalu Jujur
berterima-kasih kepada Tuhan. Setiap kau (Sikap dan
menyimaknya, kau selalu merasa kuasa Tuhan hubungannya
menjejak setiap sudut bumi di mana acahaya dengan Tuhan)
rembulan menyentuhnya. Kau memilii cara
berinteraksi yang luar biasa dengan kuasa langit,
Ray.. Kau memang mengutuk, membantah,
berperasangka buruk kepada Tuhan, tapi kau jujur.
Kau tidak pernah berdusta saat menatap rembulan.
Tidak pernah munafik. Apa adanya. (Hal. 424)
105. Kau selalu merasa andaikata semua kehidupan ini Berperasangka baik
menyakitkan, maka di luar sana pasti masih ada (Sikap dan
sepotong bagian yang menyenangkan. Kemudian hubungannya
kau akan membenak, pasti ada sesuatu yang jauh dengan Tuhan)
lebih indah dari menatap rembulan di langit…Kau
tidak tahu apa itu, karena ilmumu terbatas,
penegtahuanmu terbatas. Kau hanya yakin, bila
tidak di kehidupan ini, suatu saat nanti pasti akan
ada yang lebih mempesona dibandingkan menatap
sepotong rembulan yang sedang bersinar indah.
(Hal. 424)
3. Novel Rindu
a. Sinopsis Novel Rindu
Novel Rindu menceritakan tentang perjalanan haji pada masa pemerintahan
Hindia Belanda pada tahun 1938 yang membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk
sampai ke pelabuhan Jeddah, Saudi Arabia. Novel ini menceritakan masa lalu dan
kisah hidup dari lima tokoh yang mempengaruhi kehidupan. Tokoh yang memiliki
konflik batin dan permasalahan yang berbeda-beda membutuhkan jawaban atas
masalah yang mereka miliki. Dalam perjalanan haji inilah mereka semua
menemukan jawaban atas permasalahan mereka. Di atas kapal Blitar Holland,
semua masalah yang mereka miliki satu persatu menemukan jawabannya.
b. Struktur Novel Rindu
No. Unsur Pembangun Data
1. Tema Novel Rindu memiliki tema tentang perjalanan. Dan
sebagaimana lazimnya sebuah perjalanan, selalu
disertai dengan pertanyaan-pertanyaan. (Tere Liye,
hlm 2)
2. Penokohan 1. Daeng Andipati
Seorang saudagar kaya yang baik hati dan
dermawan.
Ini Daeng Andipati, pedagang di Kota Makasar.
Masih muda, kaya raya, pintar dan baik hati. Aku
kenal dengannya saat dia dikirim orangtuanya
sekolah di Rotterdam School of Commerce lima
belas tahun lalu. (hal.11)
2. Anna dan Elsa
Kakak dan adik yang cantik dan pintar dan penuh
sopan santun serta ceria.
Anna dan Elsa berlarian menuju kantin. peluat
tanda makan pagi telah terdengar. berlari di sela-
sela penumpang lain yang memenuhi lorong kapal.
Sesekali ada yang menyapa mereka. Anna dan Elsa
balas menyapa. Terkadang sejenak bersalaman
sopan untuk kemudian berlarian lagi. (hal. 421)
3. Gurutta
- Bijaksana
“Kang Mas, Allah memberikan apa yang kita
butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Segala
sesuatu yang kita anggap buruk, boleh jadi baik
untuk kita. Sebaiknya, segala sesuatu yang kita
anggap baik, boleh jadi amat buruk bagi kita.”
Sejak tadi Gurutta berhati-hati sekali memilih
kalimatnya. (Hal. 470)
4. Ambo Uleng
- Peduli terhadap sesama
“Apakah Gurutta butuh sesuatu? Seperti selimut,
atau pakaian ganti, akan aku ambilkan?” Ambo
Uleng akhirnya bicara. (Hal. 510)
5. Kapten Phillips
- Pelaut yang baik
“Tapi Phillips adalah pelaut yang baik. Dia pekerja
keras, tekun, cerdas, dan jangan lupakan bagian
terpentingnya, attitude, sikap yang sangat pantas.
Pangkatnya naik dengan cepat. Pejabat perusahaan
mempromosikannya menjadi nakhoda empat tahun
lalu. Aku bangga sekali melihat anak muda seperti
Phillips menjadi kapten kapal.” (Hal.237)
6. Mbah Kakung Slamet
- Setia
“Tidak juga, Nak. Aku tidak sehebat yang kau
bayangkan. Aku bisa melakukannya karena Mbah
Kakung menemaniku. Dia selalu ada di setiap masa-
masa sulit kami. Juga ada di setiap saat-saat
bahagia kami. Dua belas proses kelahiran. Semua
lancar. Anak anakku sekarang sudah besar semua.
Itu karena Mbah Kakung…” (Hal. 295)
- Penyayang
“Ya, Mbah Kakung. Bersedia melakukan apa pun
demi Mbah Putri tercinta. Jangankan membeli
keripik balado, disuruh melewati duri dan onak pun
dilakukan jika itu permintaan sang istri tercinta.”
Gurutta bergurau, tertawa kecil.” (Hal. 329)
7. Ruben
- Baik dan ramah
Entahlah, kenapa Tuhan menakdirkan ia harus satu
kabin dengan Ruben yang baik hati dan ramah. (Hal.
90)
- Dapat diandalkan
“..Tadi dokter Bram menjelaskan beberapa hal
kepadaku, agar aku bisa membantunya selama masa
pemulihan di kabin.” Ruben menjelaskan.
“Itu bagus sekali, Ruben. Kau adalah teman sekabin
yang bisa diandalkan.” Gurutta tersenyum
kepadanya. (Hal. 330)
8. Bonda Upe
- Mempunyai ketakutan masa lalu
“Aku seorang cabo, Gurutta. Apakah Allah.. Apakah
Allah akan menerimaku di tanah suci? apakah
perempuan hina sepertiku berhak menginjak Tanah
Suci? Atau, cambuk menghantam tubuhku, lututku
terhujam ke bumi… Apakah Allah akan
menerimaku? atau, mengabaikan pendosa
sepertiku… membiarkan semua kenangan itu terus
menghujam kepalaku. Membuatku bermimpi buruk
setiap malam. membuatku malu bertemu dengan
siapa pun.” (hal.310)
9. Chef Lars
- Berkepribadian ketus tetapi memiliki hati yang baik
Chef Lars terkekeh, badan besarnya bergoyang,
“Aku tidak pernah meniatkannya sungguh-sungguh,
Tuan Karaeng. Astaga! Mulutku mungkin tajam, tapi
hatiku tidak sejahat itu.” (Hal. 340)
3. Latar Tempat
1. Pelabuhan Makasar
Demi melihat anak tangga sudah terjulur, dermaga
Pelabuhan Makasar semakin dipenuhi oleh
antusiasme calon penumpang dan para penonton.
Mereka merengsek di dekat setiap anak tangga,
mulai menyeret barang bawaan masing-masing—
sebagian lagi menggunakan jasa kuli angkut
pelabuhan untuk membawa tas-tas besar mereka.
Berkerumun. (Hal. 4)
2. Pelabuhan Surabaya
Ruben si Boatswain bersiul santai. Ia melangkah
masuk ke dalam kabin. Ruben menyelesaikan jadwal
piket, saatnya beristirahat. kapal telah merapat di
Surabaya. (Hal. 117)
3. Pelabuhan Semarang
Kapal masih tertambat di Pelabuhan Semarang
bebrapa jam ke depan. (Hal. 175)
4. Pelabuhan Batavia
Sore tanggal 8 Desember 1938, hari ketujuh
perjalanan, Kapal Blitar Holland tiba di Pelabuhan
Batavia. (Hal. 201)
5. Pelabuhan Lampung
a. “Hore Kapal berlabuhh!”
Mereka sudah tau saat sholat shubuh di masjid
menguping percakapan penumpang lain, alu
sebentar lagi kapal merapat di Pelabuhan Lampung.
(Hal. 241) b. Hari kesembilan perjalanan, tanggal
10 Desember 1938, pukul dua belas siang Kapal
Blitar Holland meninggalkan Pelabuhan Lampung. (
Hal. 255-256)
6. Pelabuhan Bengkulu
Pukul setengah enam, setelah sepanjang hari
melawan cuaca buruk, Kapal Blitar Holland
akhirnya tiba di Pelabuhan Bengkulu. (Hal. 291)
7. Pelabuhan Padang
Anna dan Elsa sekali lagi menatap dermaga
Pelabuahn Padang, untuk kemudian segera
mempercepat langkahnya menuju masjid. (Hal. 327)
8. Pelabuhan Aceh
Kapal berlabuh lama di Banda Aceh, baru berangkat
esok siang. (Hal. 388)
9. Pelabuhan Kolombo
Mereka tiba di Kolombo sesuai jadwal tanpa perlu
bantuan kapal mana pun. (Hal. 449)
10.Pelabuhan Jeddah
Lima hari kemudian, Kapal Blitar Holland merapat
di pelabuhan Jeddah (transit di Aden). (Hal. 541)
Waktu
1. Pagi hari
a. Pagi itu, baru lepas satu minggu hari raya Idul
Fitri. (Hal. 2)
b. Sepagi itu, tanpa mereka sadari, dua pertanyaan
besar sedang bertemu di atas Kapal Blitar
Holand. (Hal. 86)
c. Pukul sembilan pagi, Daeng Andipati, bersama
Anna dan Elsa, sudah berdiri di dek kaal tempat
anak tangga turun. (Hal. 121)
2. Siang hari
Tepat pukul satu siang, kapal penumpang Blitar
Holland memulai perjalanan. (Hal. 43)
3. Sore hari
a. Senja pertama di atas kapal. (Hal. 47)
b. Sore itu, kabin rombongan Daeng Andipati
diliputi kebahagiaan. (Hal. 94)
4. Malam hari
a. Sudah hampir pukul dua malam, Ambo melirik
jam di atas meja. (Hal. 68)
b. Ruben langsung berdiri demi melihat orang yang
masuk, mengangguk sopan, “Selamat malam,
Tuan Gurutta.”
4. Alur Alur yang digunakan pada novel Rindu adalah alur
maju. Rangkaian cerita yang dijelaskan secara runtut
dimulai dari tahap pengenalan, tahap pemunculan
konflik, tahap konflik memuncak, dan tahap
penyelesaian.
5. Sudut Pandang Novel Rindu menggunakan sudut pandang orang
ketiga serba tahu karena menggambarkan tokoh,
peristiwa, pikiran, perasaan, dan emosi secara jelas,
hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
Dua gadis kecil itu tersenyum simpul, menjulurkan
tangan, bersalaman. Mereka sudah saling mengenal,
pernah bertemu dalam acara-acara jejamuan makan
malam. (Hal. 11)
Anna suka dengan guru mereka. Menurut Anna,
mereka pandai sekali mengajar. (Hal. 150)
8. Dari pertemuan sore itu, nampak Gurutta bukan hanya Pemimpin yang baik
seorang ulama besar, melainkan juga pemimpin yang baik (Sikap dan
di masa-masa itu. Ia cepat dan taktis menyusun jadwal hubungannya dengan
selam perjalanan. Tanpa paksaan, tanpa perintah, orang lain/ masyarakat)
penumpang sukarela menawarkan diri membantu. (Hal.
57)
9. Tentu saja penumpang bersedia. Satu-dua refleks Memanfaatkan
mengangguk kencang. Bayangkan, mereka biasanya kesempatan
harus menghabiskan waktu satu jam naik kereta kuda Sikap dan
untuk tiba di Masjid Katangka, mendengarkan pengajian hubungannya dengan
itu dibatalkan mendadak oleh kompeni. Sekarang mereka masyarakat/ bangsa)
berkesempatan menghadirinya setiap pagi, sepelemparan
batu dari kabin masing-masing. Itu tidak bisa dilewatkan.
(Hal.59)
10. Gurutta yang baru saja selesai mengaji, meletakan kitab Produktif
suci di lemari. Melepas serban, lantas duduk di atas kursi, Sikap dan
mengambil pena dan kertas. Ia sudah bertekad hubungannya dengan
menyelesaikan tulisannya selama perjalanan. Itu berarti diri sendiri)
waktu tidurnya akan berkurang banyak. (Hal. 66)
11. “Jangan cemas soal kenapa aku diam saja sepanjang Diam membawa
pertemuan, Nak. Sergeant Belanda itu akan semakin kebaikan
keras kepala jika aku angkat bicara. Dalam banyak hal, Sikap dan
diam justru membawa kebaikan. (Hal. 83) hubungannya dengan
masyarakat/ bangsa)
12. “Anna masih suka tidak sopan memerhatikan orang lain, Sopan santun
Ma. Dia melotot melihat Bonda Upe dari kepala sampai (Sikap dan
ujung kaki.” Elsa yang menggambar di sebelah adiknya hubungannya dengan
melapor. (Hal. 107-108) masyarakat/ bangsa)
13. “Itu Gajimu, Ambo, sesuai dengan posisimu sebagai Adil
kelasi. Kapiten Philips menggunakan standar yang sama, (Sikap dan
tidak peduli apakah kau pelaut Eropa, Asia, atau Afrika, hubungannya dengan
sekalipun, tanpa diskriminasi. Jika besok kau naik masyarakat/ bangsa)
pangkat, gajimu disesuaikan Bagus sekali bukan? Ah,
andai saja kita bisa memilih, akan kupilih Kapiten
Phillips menggantikan Ratu Belanda dengan pemahaman
sebaik itu.” (Hal.118)
14. “Iya. Jawa bagian timur memiliki banyak pemeluk agama Religius
Islam yang taat. Mereka berlomba-lomba menunaikan Sikap dan
ibadah haji. Tidak heran penumpang dari sini banyak hubungannya dengan
sekali. Di sekitar sini ada ribuan pesantren, sekolah Tuhan)
agama, mereka juga aktif membentuk syarikat, organisasi
keagamaan. (Hal. 122)
15. Tanpa berpikir dua kali, ketika Anna terguling jatuh di Tolong menolong
jalan, Ambo bagai seekor induk singa, langsung lompat, (Sikap dan
memeluknya erat-erat. Membiarkan tubuhnya menjadi hubungannya dengan
tameng. Kaki-kaki orang ramai menghantam tubuhnya. masyarakat/ bangsa)
(Hal.134)
16. “Kau memang seorang pemuda yang bercahaya bagi Tolong menolong
rembulan, Ambo.” Gurutta menepuk lembut bahu kelasi (Sikap dan
itu sebelum beranjak pergi, “Kabar baik bagi kau, karena hubungannya dengan
ketahuilah, barang siapa yang tulus menolong masyarakat dan
saudaranya, maka Allah akan menolong dirinya. Itu janji bangsa)
Tuhan yang pasti. Semoga kau termasuk di dalam
golongan itu.”
(Hal. 139)
17. “Kesempatan untuk merdeka, Daeng.” Bapak Memanfaatkan
Soerjaningrat yang menjawab, “Perubahan kekuasaan di kesempatan
para penjajah sibuk berperang satu sama lain, membagi (Sikap dan
sumber daya militer ke banyak tempat, bangsa kita punya hubungannya dengan
kesempatan entah dengan perlawanan fisik atau diplomasi masyarakat/ bangsa)
dunia. Kita bisa merdeka.” (Hal. 158)
18. “Itu sebuah keniscayaan, Tuan Gurruta. Perang tidak Menjunjung kemerdekan
pernah baik dari sisi mana pun melihatnya. Tapi (Sikap dan
kemerdekaan, layak dibayar dengan harga berapa pun.” hubungannya dengan
Kapten Phillipps tersenyum, lantas dengan anggun masyarakat dan
membelokan percakapan , “Ah, kita memilih topik yang bangsa)
sangat berat dibicarakan malam ini. (Hal.158)
19. Gurutta menggeleng, “Tidak ada kata terlambat dalam Optimis
belajar, Nak.” (Hal. 177) Sikap dan
hubungannya dengan
diri sendiri)
20. “Menurut hemat orang tua ini, sesekali kau perlu bergaul Terbuka
dengan jamaah lain, Nak. Mereka bisa jadi teman (Sikap dan
perjalanan yang menyenangkan. Kau bisa belajar dari hubungannya dengan
mereka, dan sebaliknya, mereka bisa belajar dari kau, masyarakat/ bangsa)
Upe.” (Hal.177)
21. Anna bersorak, insya Allah. Daeng Andipati dan ibu Sopan santun
mereka saling tatap. Bungsu mereka ini kadang (Sikap dan
mengganggap semua orang adalah teman dekatnya, jadi hubungannya dengan
bisa dipotong sesuka hatinya. Ia lupa, Gurrutta Ahmad masyarakat/ bangsa)
Karaeng adalah ulama besar. (Hal.186)
22. Setidaknya, Anna tidak keberatan berjalan lebih lambat. Rasa kasih sayang
Ia malah asyik memerhatikan. Lihatlah, betapa mesra (Sikap dan
pasangan tua ini. Saat naik tangga, Mbah Kakung hubungannya dengan
membantu istrinya dengan lembut. Saat berjalan di keluerga)
lorong, mereka berdua berpegangan tangan. Sesekali
berhenti. Mbah Kakung dengan sabar mnunggu Aduh,
mesra sekali, seolah ini perjalanan bulan madu. (Hal.189)
23. Daeng Andipati bersepakat, “Hanya saja, menyelidiki Bersikap bijak
dengan baik, mengonfirmasi dengan tepat, lebih (Sikap dan
bermanfaat dari pada marah-marah seperti yang hubungannya dengan
dilakukan Sergant Lucas. Opsir Belanda itu menyebalkan masyarakat/ bangsa)
sekali. Beruntung dia belum menemukan alasan untuk
membuat masalah di kapal ini. (Hal. 230)
24. Lantas pertanyaan-pertanyaan itu mengukung kepalanya. Mawas diri
Apakah mungkin karena ia sendiri memang tidak pernah (Sikap dan
seyakin itu atas pengetahuan yang ia miliki ? apakah hubungannya dengan
mungkin karena ia sendiri memang tidak sebijak, Tuhan)
setangguh, bahkan sebaik itu? Mungkin ialah bagian
paling munafik dalam seluruh cerita. Bagaimana ia
menulis sebuah buku yang membuat jutaan pembaca
tergerak hatinya, jika ia sendiri tidak tergerak?
Bagaimana ia bicara tentang perlawanan, tapi ia sendiri
adalah pelaku pling pengecut? Saat pikiran-pikiran itu
melintas, Gurrutta gemetar meletakkan pena. Tidak, ia
tidak bisa membiarkan kepalanya berpikir di luar kendali.
Gurutta bergegas mengambil air wudhu, shalat sunnah
dua rakaat. Bersimpuh di atas sajadahnya di kabin dengan
jendela-jendela besar itu. (Hal. 232)
25. Hatinya kembali tentram setelah shalat sunnah. (Hal.232) Menunaikan sholat
(Sikap dan
hubungannya dengan
diri sendiri)
26. Bukan main, sepertinya pujian Gurrutta barusan dengan Memuji orang lain
telak menyentuh hati kepala koki galak itu. Ia balik kanan (Sikap dan
dengan semangat. Ruben si boatswain bahkan hubungannya dengan
menatapnya terpesona, berbisik kepada Gurutta , “Entah masyarakat/ bangsa)
apa yang Gurutta telah lakukan. Tapi, baru kali ini aku
melihatnya begitu riang memasak. Hampir pukul sepuluh
malam, demi seorang penumpang. Ini benar-benar tidak
dipercaya.” (Hal.234)
27. Itulah kenapa koki kepala itu meski mulutnya tajam, tetap Bertegang rasa /
memiliki pemahaman baik. Malam ini, karena hanya ia Toleransi
yang kosong, ia sendiri yang menggantikan posisi Ambo (Sikap dan
Uleng membersihkan kantin. Hal.235 hubungannya
masyarakat/bangsa)
28. “Tapi Phillips adalah pelaut yang baik. Dia pekerja keras, Pelaut yang baik
tekun, cerdas, dan jangan lupakan bagian terpentingnya, (Sikap dan
attitude, sikap yang sangat pantas. Pangkatnya naik hubungannya dengan
dengan cepat. Pejabat perusahaan mempromosikannya diri sendiri)
menjadi nakhoda empat tahun lalu. Aku bangga sekali
melihat anak muda seperti Phillips menjadi kapten
kapal.” (Hal.237)
29. Jadwal makan siang adalah waktu terbaik untuk saling Beramah-tamah kepada
sapa menyapa, berkenalan dan bertanya latar belakang. orang
Selalu menyenangkan saat menemukan kecocokan satu (Sikap dan
sama lain, untuk saling menghargai jika terdapat hubungannya dengan
perbedaan. (Hal. 256) masyarakat/ bangsa)
30. “Kita menjenguk Bonda Upe. Kau juga bisa ikut, Elsa, Berempati
kalau mau.” (Sikap dan
(Hal.258) hubungannya dengan
masyarakat /bangsa)
31. Daeng Andipati tersenyum, kehadiran Mbah Kakung dan Rasa kasih sayang
Mbah Putri di kapal ini sepertinya memberikan inspirasi (Sikap dan
cinta yang besar sekali bagi semua penumpang. Biasanya hubungannya dengan
ia hanya bersikap biasa saja mengahadapi masa-masa keluarga)
sensitif usia trimester pertama kehamilan istrinya. Tapi
kali ini, bersikap romantis. Meneladani pasangan sepuh
itu, mungkin bermanfaat mengatasi penyakit “cepat
marah, mudah cemas, gampang salah-paham” istrinya.
(Hal.266)
32. “Kalau kau hanya takut pada Allah, maka tidak ada yang Beriman
membuat kau gentar, Andi. Tapi kalau kau takut dengan (Sikap dan
urusan dunia, takut dengan manusia misalnya, maka kau hubungannya dengan
benar, lorong-lorong ini memang menakutkan.” (Hal. Tuhan)
269)
33. “Silahkan duduk, Tuan Karaeng. Aku sudah menyiapkan Bersikap Sopan santun
menu istimewa. Kau juga mau satu mangkuk,Andi?” (Sikap dan
Daeng Andipati mengangguk demi sopan santun ia hubungannya dengan
sebenarnya kenyang. (Hal. 271-272) masyarakat/bangsa)
34. Pemuda itu, meski terlihat kusut, suram, pendiam, tapi dia Berpegang pada prinsip
memiliki prinsip hidup yang baik. Dia tidak akan mau (Sikap dan
mengambil kesempatan hanya karena ada orang hubungannya dengan
berhutang budi padanya. (Hal. 274) orang lain/ masyarakat)
35. “Silahkan.” Gurutta menyodorkan kantong bungkusan Berbagi kepada orang
berisi semangkuk sop iga. lain
Tentara Belanda itu patah-patah menerimanya. (Sikap dan
“Kau tidak perlu malu. Aku sudah tahu sejak malam hubungannya dengan
pertama. Aku tahu Sergeant Lucas menyuruh anak orang lain/ masyarakat)
buahnya mengintaiku ke mana pergi setiap malam. Nah,
malam ini, tugasmu sudah berakhir. Aku akan kembali ke
kabin, tidur. Tidak perlu dicemaskan. Aku tidak akan
mengahasut penumpang untuk mengambil alih kapal
seperti kecemasan Lucas. Silahkan dinikmati sup iganya.
Lezat sekali.” (Hal.276-277)
36. Rombongan Daeng Andi Pati makan siang di kabin. Ijah Berbagi kepada orang
yang memasak. Anna dan Elsa disuruh mengirimkan lain
sebagian makanan ke kabin sebelah, ke Mbah Kakung (Sikap dan
dan Mbah Putri. hubungannya dengan
(Hal. 281) orang lain/ masyarakat)
37. “Maka jangan merusak diri sendiri. Kita boleh jadi benci Tidak merusak diri
atas kehidupan ini. Boleh kecewa. Boleh marah. Tapi sendiri
ingatlah nasihat lama, tidak pernah ada pelaut yang (Sikap dan
merusak kapalnya sendiri. Akan dia rawat kapalnya, hubungannya dengan
hingga dia bisa tiba di pelabuhan terakhir. Maka, jangan diri sendiri)
rusak kapal kehidupan milik kau, Ambo, hingga dia tiba
di dermaga terakhirnya.” (Hal. 284)
38. “Tidak juga, Nak. Aku tidak sehebat yang kau Setia
bayangkan. Aku bisa melakukannya karena Mbah (Sikap dan
Kakung menemaniku. Dia selalu ada di setiap masa-masa hubungannya dengan
sulit kami. Juga ada di setiap saat-saat bahagia kami…” keluarga)
(Hal. 295)
39. “…Awalnya hanya coba-coba, penghiburan, memasang Perbuatan buruk,
taruhan sekadarnya. Tapi lama-lama, saat rasa tegang, mempertaruhkan
penasaran, kesenangan itu kembali, ayah Ling Ling gelap keluarga
mata. Dia bukan hanya menghabiskan seluruh uang dari (Sikap dan
menjual toko. Dia juga bertaruh atas sesuatu yang sangat hubungannya dengan
jahat.” keluarga)
“Dia mempertaruhkan Ling Ling.” (Hal. 301)
40. “..Pintu palka hanya dibuka saat mereka memberikan Memperlakukan orang
makanan, dilempar seperti memberi hewan. Kami berebut lain dengan kasar
karena jatah makanan sedikit sedangkan isi palka penuh. (Sikap dan
Kami persis seperti binatang yang kelaparan. Aku pikir hubungannya dengan
itu sudah bagian terburuk dalam hidupku.” (Hal. 303) orang lain/ masyarakat)
42. “..Mereka menendang, menjambak. Apa pun yang Memperlakukan orang
mereka mau lakukan, tidak ada yang bisa mencegah. lain dengan kasar
Kami dibawa ke sebuah bangunan,disuruh masuk ke (Sikap dan
kamar pengap. Dibiarkan di sana berhari-hari. Lagi-lagi hubungannya dengan
pintu kamar dibuka jika sudah jadwalnya makan.” (Hal. orang lain/ masyarakat)
304)
41. “Aku memang terus memikirkanmu, Bou,” Suami Bonda Peduli
Upe berkata pelan, “Sejak kecil aku menyukaimu. Kau (Sikap dan
mungkin tidak pernah tahu itu. Sejak kau dibawa pergi hubungannya dengan
tukang pukul itu, aku bersumpah suatu saat aku akan keluarga)
menemukanmu, membawamu pulang ke kota kita.” (Hal.
307)
42. Suami Bonda Upe memeluk istrinya, berbisik semua Rasa kasih sayang
akan baik-baik saja. Membujuknya tenang. (Hal. 309) (Sikap dan
hubungannya dengan
keluarga)
43. Bonda Upe menyeka ujung mata, “Ibuku Islam, kami Belajar agama
China Islam. Meski jarang shalat, tidak puasa. Juga (Sikap dan
keluarga Enlai. Saat kami pindah ke Palu, aku hubungannya dengan
memberanikan diri belajar agama di pesantren. Di sana Tuhan)
aku belajar mengaji lima tahun terakhir.” (Hal. 309)
44. “Bagian yang pertama, kita keliru sekali jika lari dari Jangan lari dari
kenyataan hidup, Nak. Aku tahu, lima belas tahun kenyataan
menjadi pelacur adalah nista yang tak terbayangkan. Tapi (Sikap dan
sungguh, kalau kau berusaha lari dari kenyataan itu, kau hubungannya dengan
hanya menyulitkan diri sendiri. Ketahuilah, semakin diri sendiri)
keras kau berusaha lari, maka semakin kuat
cengkramannya. Semakin kecang kau berteriak melawan,
maka semakin kencang gemanya memantul, memantul,
dan memantul lagi memenuhi kepala.” (Hal. 312)
45. “Kita tidak bisa melakukan itu, Upe. Tidak bisa. Cara Menerima masa lalu
terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi. (Sikap dan
Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa hubungannya dengan
lalumu. Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi diri sendiri)
bagian hidup kita. Peluk semua kisah itu. Berikan dia
tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik
mengatasinya. Dengan kau menerimanya, perlahan-
lahan,dia akan memudar sendiri. Disiram oleh waktu,
dipoles oleh kenangan baru yang lebih bahagia.”
(Hal. 312)
46. “Kita tidak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun Percaya diri
bahwa kita itu baik. Buat apa? Sama sekali tidak perlu. (Sikap dan
Jangan merepotkan diri sendiri dengan penilaian orang hubungannya dengan
lain. Karena toh, kalaupun orang lain menganggap kita diri sendiri)
demikian, pada akhirnya tetap kita sendiri yang tahu
persis apakah kita memang sebaik itu.” (Hal. 313-314)
47. “Apakah Allah akan menerima haji seorang pelacur? Berbuat kebaikan
Hanya Allah yang tahu. Kita hanya bisa berharap dan (Sikap dan
takut. Senantiasa berharap atas ampunannya. Selalu takut hubungannya dengan
atas azabnya. Belajarlah dari riwayat itu. Selalulah diri sendiri)
berbuat baik, Upe. Selalu. Maka semoga besok lusa, ada
satu perbuatan baikmu yang menjadi sebab kau diampuni.
Mengajar anak-anak mengaji misalnya, boleh jadi itu
adalah sebabnya.” (Hal. 315)
48. “Pahami juga hal itu, Nak, semoga hati kau menjadi lebih Percaya diri dan berbuat
tenang. Berhenti lari dari kenyataan hidupmu. Berhenti kebaikan
cemas atas penilaian orang lain, dan mulailah berbuat (Sikap dan
baik sebanyak mungkin.” (Hal. 315) hubungannya dengan
diri sendiri)
49 “Ya, Mbah Kakung. Bersedia melakukan apa pun demi Rasa kasih sayang
Mbah Putri tercinta. Jangankan membeli keripik balado, (Sikap dan
disuruh melewati duri dan onak pun dilakukan jika itu hubungannya dengan
permintaan sang istri tercinta.” Gurutta bergurau, tertawa keluarga)
kecil.” (Hal. 329)
50. “..Tadi dokter Bram menjelaskan beberapa hal kepadaku, Dapat diandalkan
agar aku bisa membantunya selama masa pemulihan di (Sikap dan
kabin.” Ruben menjelaskan. hubungannya dengan
“Itu bagus sekali, Ruben. Kau adalah teman sekabin yang orang lain/ mayarakat)
bisa diandalkan.” Gurutta tersenyum kepadanya.
(Hal. 330)
51. Gurutta menatap kelasi di hadapannya, “Kau tidak perlu Berpikir positif
membayangkan sesuatu yang tidak terjadi, Ruben. Buat (Sikap dan
apa? Bahkan Ambo Uleng baik-baik saja sekarang. Hidup hubungannya dengan
ini akan rumit sekali jika kita sibuk membahas hal yang orang lain/ mayarakat)
seandainya begini, seandainya begitu.” (Hal. 331)
52. “Bukankah beberapa hari lalu kau mengancam akan Baik hati
menyuruhnya dia menggosok seluruh pantat kuali di Sikap dan
dapur Lars?” Gurutta menoleh, bergurau. hubungannya dengan
Chef Lars terkekeh, badan besarnya bergoyang, “Aku masyarakat/ bangsa)
tidak pernah meniatkannya sungguh-sungguh, Tuan
Karaeng. Astaga! Mulutku mungkin tajam, tapi hatiku
tidak sejahat itu.” (Hal. 340)
53. “Aku menghargai petani yang menjual hasil buminya Menghargai orang lain
kepadaku. Aku menghormati para kuli. Aku meninggikan (Sikap dan
posisi pegawaiku. Usaha daganganku berjalan dengan hubungannya dengan
baik dan besar, lebih besar dari miliknya dulu. Tanpa orang lain/ mayarakat)
sekalipun harus menyingkirkan orang lain. Tanpa
sekalipun harus mengorbankan orang lain, termasuk
mengorbankan keluarga sendiri.” (Hal. 343)
54. “Gurutta benar sekali.” Daeng Andipati mengusap Mawas diri,
keringan di lehernya, setelah terdiam sebentar. Pengendalian diri
“Seharusnya aku bisa belajar banyak dari Gurutta. (Sikap dan
Mendengarkan nasihat Gurutta soal Ambo Uleng hubungannya dengan
misalnya. Kadang aku sendiri menyadari betapa buruknya diri sendiri)
tabiat keras kepala, emosional, dan sejenisnya itu. Aku
minta maaf telah marah-marah membahas tentang
keluargaku, padahal Gurutta sama sekali tidak
berkepentingan dengan cerita itu.” (Hal. 344)
55. “Setiap hari, dapur menyiapkan makanan bagi ribuan Empati dan kepedulian
penumpang dan kelasi. Tiga kali dalam sehari. Kita hanya (Sikap dan
tinggal menikmati makanan hidangan lezat di meja-meja. hubungannya dengan
Hari ini kalian belajar ternyata prosesnya panjang. Tidak orang lain/ masyarakat)
sesederhana menyendok makanan. Semoga dengan
pengalaman ini, kalian bisa tumbuh menjadi anak-anak
yang memiliki empati dan kepedulian.” (Hal. 347)
56. Setelah sholat Ashar, Anna dan teman-temannya belajar Belajar mengaji
mengaji dengan Bonda Upe. (Hal. 349) (Sikap dan
hubungannya dengan
orang lain/ masyarakat)
57. “..Ayahku suka memukul. Jika marah, dia akan memukul Perbuatan buruk, kasar
kami. Dia juga suka memukul ibu. (Hal. 367) terhadap orang lain
(Sikap dan
hubungannya dengan
keluarga)
58. “…Tidak terbilang berapa banyak pukulan yang diterima Sabar dan tetap
oleh ibu. Aku kadang menangis melihatnya. Tidak habis mencintai
pikir kenapa ibu tetap bertahan, mencintai Ayah begitu (Sikap dan
besar setelah perlakuan kasar yang diterimanya.” (Hal. hubungannya dengan
367) keluarga)
59. Ayahku culas dalam berdagang. Dia tidak segan-segan Kejujuran
berbuat licik untuk mendapatkan sesuatu. Dia sengaja Sikap dan
menjerat orang-orang dengan utang, untuk kemudian hubungannya dengan
mengambil paksa harta-benda. (Hal. 367) masyarakat/ bangsa)
60. “Aku bersyukur memiliki keluarga yang lebih baik Bersyukur
sekarang. Aku bersumpah tidak akan pernah memukul (Sikap dan
Anna, Elsa, dan istriku. Aku akan membesaran mereka hubungannya dengan
dengan kasih sayang. Aku juga bersyukur memiliki harta Tuhan)
benda yang cukup…”(Hal. 370)
61. “..Aku bersumpah tidak akan pernah menyakiti atau Menghormati
mengorbankan orang-orang di sekitarku. Aku (Sikap dan
menghormati pegawaiku, kuli angkut, rekan dagang, hubungannya dengan
semuanya. Aku seolah memiliki semua sumber orang lain/ masyarakat)
kebahagiaan hari ini. Tapi, kebencian ini semakin pekat
setiap harinya, Gurutta.” (Hal. 371)
62. “Ketahuilah, Nak, saat kita memutuskan memaafkan Kerendahan hati/
seseorang, itu bukan persoalan apakah orang itu salah, memaafkan orang lain
dan kita benar. Apakah orang itu memang jahat atau (Sikap dan
aniaya. Bukan! Kita memutuskan memaafkan seseorang hubungannya dengan
karena kita berhak atas kedamaian di dalam hati.” (Hal. orang lain/ masyarakat)
374)
63. “Kesalahan itu ibarat halaman kosong. Tiba-tiba ada yang Memaafkan orang lain/
mencoretnya dengan keliru. Kita bisa memaafkannya Pemaaf
dengan menghapus tulisan tersebut, baik dengan (Sikap dan
penghapus biasa, dengan penghapus canggih, dengan hubungannya dengan
apapun. Tapi tetap tersisa bekasnya. Tidak akan hilang. diri sendiri)
Agar semuanya benar-benar bersih, hanya satu jalan
keluarnya, bukalah lembaran baru yang benar-benar
baru.” (Hal. 376)
64. Sorenya, anak-anak belajar mengaji pada Bonda Upe. Dermawan
Petang ini mereka mendengarkan cerita Nabi, Ustman (Sikap dan
Bin Affan. Anak-anak serius mendengarkan betapa hubungannya dengan
dermawannya sahabat Nabi yang satu ini. Tidak segan- orang lain/ masyarakat)
segan mengeluarkan harta benda demi kepentingan orang
banyak. Bahkan bersedia membeli sebuah sumur. (Hal.
382)
65. “Itu amal yang baik sekali, anak-anak. Selama sumur itu Beramal saleh
mengeluarkan air, maka selama itulah pahala yang (Sikap dan
diperoleh Utsman Bin Affan. Bahkan walaupun dia telah hubungannya dengan
meninggal, kebaikan baginya terus mengalir tak terkira Tuhan)
lamanya.” Bonda Upe menutup cerita. (Hal. 383)
66. “Benar, Anna. Aku sepakat dengan ayahmu. Agama kita, Sikap dalam beragama
sebaiknya, diajarkan lewat penjelasan dan akal sehat. (Sikap dan
Bukan berarti tidak ada mukjizat atau keajaiban. Nabi pun hubungannya dengan
memiliki banyak mukjizat, tapi bagian terbesar dalam Tuhan)
agama ini adalah memahami dengan akal pikiran. Tidak
ada agama bagi orang yang tidak berakal.” (Hal. 394)
67. “Agama kita tidak menilai apakah seseorang memiliki Bertenggang rasa/toleran
kasta tinggi atau rendah. Tidak ada itu semua, anak-anak. (Sikap dan
Belajarlah dari teladan Bilal. Dia memang berkulit hitam, hubungannya dengan
tapi suaranya merdu sekali saat mengumandangkan orang lain/ msayarakat)
adzan. Dia memang bekas budak, hamba sahaya, tapi
Nabi sendiri yang bilang, beliau mendengar suara
terompah Bilal di surga. Itu sungguh kemuliaan tiada
tara.” (Hal. 397)
68. Gurutta tersenyum mendengar pertanyaan itu, “Tentu Bersyukur
saja, Ambo. Setiap hari aku jatuh cinta. Setidaknya setiap (Sikap dan
melihat matahari terbit, aku jatuh cinta, mensyukuri hubungannya dengan
hidupku. Setiap menatap matahari tenggelam, aku jatuh Tuhan)
cinta, berterima kasih atas sepanjang hari, baik itu
menyebalkan ataupun menyenangkan. Bahkan melihat
makanan dingin ini pun aku jatuh cinta.” (Hal. 401)
69. “..Dalam satu kesempatan, Syekh Raniri menjelaskan Bertanggung jawab
sendiri padaku. ‘Kau memang membaca surah Al Fatihah (Sikap dan
dengan lancar. Tapi tidak muncul di mata kau, tidak hubungannya dengan
nampak di wajah kau bacaan tersebut. Hanya di bibir orang lain/ masyarakat)
saja.’ Juga dalam kesempatan lain, ‘Karaeng, kau anak
sahabat baikku. Aku bertanggung jawab penuh
mendidikmu, maka jangan harap aku memanjakan,
membuat mudah semua urusan.’ Sejak saat itu, aku kian
giat belajar.” (Hal. 404)
70. “Aku tahu kau tidak bermaksud jelek, tapi itu bukan Menghargai orang lain
respon yang baik, Nak. Anak muda ini minta diajarkan (Sikap dan
shalat, dan kamu justru menatapnya seolah hendak bilang hubungannya dengan
‘Hei, bagaimana mungkin seusiamu tidak bisa shalat.” orang lain/ masyarakat)
Itu tidak baik dilakukan sesama saudara muslim.”
Gurutta berkata datar ke arah Daeng Andipati. (Hal. 419)
71. “Tidak ada kata terlambat untuk belajar Ambo.” Gurutta Optimis
mengangguk takzim. (Hal. 419) (Sikap dan
hubungannya dengan
diri sendiri)
72. “Sepertinya itu ide bagus, Gurutta.” Bapak Soerjaningrat Saling menjaga
turut berkomentar, “Akan jauh lebih aman jika kita harus (Sikap dan
turun bersama-sama. Setidaknya bisa saling memastikan hubungannya dengan
agar tidak tersesat.” (Hal. 452) orang lain/ masyarakat)
73. “Yang pertama, lahir dan mati adalah takdir Allah. Kita Menerima takdir
tidak mampu mengetahuinya. Pun tiada kekuatan bisa (Sikap dan
menebaknya. Kita tidak bisa memilih orang tua, tanggal, hubungannya dengan
tempat… tidak bisa. Itu hak mutlak Allah. Kita tidak bisa Tuhan)
menunda, maupun memajukannya walau sedetik. Kenapa
Mbah Putri harus meninggal di atas kapal ini? Allah yang
tahu alasannya, bukan berarti kita tidak tahu, tidak
mengerti alasannya, bukan berarti kita jadi membenci,
tidak menyukai takdir tersebut. Amat terlarang bagi
seseorang muslim mendustakan takdir Allah.” (Hal. 470)
74. “Kang Mas, Allah memberikan apa yang kita butuhkan, Berperasangka baik
bukan apa yang kita inginkan. Segala sesuatu yang kita (Sikap dan
anggap buruk, boleh jadi baik untuk kita. Sebaiknya, hubungannya dengan
segala sesuatu yang kita anggap baik, boleh jadi amat Tuhan)
buruk bagi kita.” Sejak tadi Gurutta berhati-hati sekali
memilih kalimatnya. (Hal. 470)
75. “Tapi kembali lagi soal takdir tadi, mulailah Menerima takdir
menerimanya dengan lapang hati, Kang Mas. Karena kita (Sikap dan
mau menerima atau menolaknya, dia tetap terjadi. Takdir hubungannya dengan
tidak pernah bertanya apa perasaan kita, apakah kita Tuhan)
bahagia, apakah kita tidak suka. Takdir bahkan basa-basi
menyapa pun tidak. Tidak peduli. Nah, kabar baiknya,
karena kita tidak bisa mengendalikannya, bukan berarti
kita jadi makhluk tidak berdaya. Kita tetap bisa
mengendalikan diri sendiri bagaimana menyikapinya.
Apakah bersedia menerimanya, atau mendustakannya.”
(Hal. 471)
76. “Yang kedua, biarkan waktu mengobati seluruh Berserah diri
kesedihan, Kang Mas. Ketika kita tidak tahu mau (Sikap dan
melakukan apalagi, ketika kita merasa semua sudah hubungannya dengan
hilang, musnah, habis sudah, maka itulah saatnya untuk diri sendiri)
membiarkan waktu menjadi obat terbaik.” (Hal. 472)
77. “Dalam Alquran, ditulis dengan sangat indah, minta Sabar dan shalat
tolonglah kepada sabar dan shalat. Kita disuruh (Sikap dan
melakukan itu, Kang Mas. Bagaimana mungkin sabar hubungannya dengan
bisa menolong kita? Tentu saja bisa. Dalam situasi Tuhan)
tertentu, sabar bahkan adalah penolong paling dahsyat.
Tiada terkira. Dan shalat, itu juga penolong terbaik tiada
tara.” (Hal. 472)
78. “Maka, akan kusimpulkan kembali, Kang Mas. Yang Keyakinan terhadap
pertama, yakinilah kematian Mbah Putri adalah takdir takdir
Allah yang terbaik. Yang Kedua, biarkan waktu (Sikap dan
mengobati semua kesedihan. Yang ketiga, lihatlah hubungannya dengan
penjelasan ini dari kaca mata yang berbeda. Semoga tiga Tuhan)
hal itu bisa Kang Mas pikirkan, dan membantu
menghibur penat di dalam hati.” (Hal. 473)
79. Demi melihat itu, putri sulungnya sudah lompat, Bersyukur
bersimpuh memeluk kaki Mbah Kakung. Sambil (Sikap dan
menangis sekaligus mengucapkan rasa syukur. (Hal. 474) hubungannya dengan
Tuhan)
80. Satu meja jadi menahan napas. Anna seperti biasa Menghormati
tabiatnya nyeletuk ringan. Padahal sejak tadi mereka (Sikap dan
berhati-hati memilih topik percakapan agar Mbah Kakung hubungannya dengan
nyaman. Anna malah santai sekali bertanya. Dengan orang lain/ masyarakat)
suara kencang pula, memastikan Mbah Kakung
mendengarnya. (Hal. 476)
81. “Aku dengar kau sudah rajin shalat di masjid, Ambo?” Religius
Gurutta bertanya. (Sikap dan
Ambo Uleng mengangguk. hubungannya dengan
“Bagaimana dengan pelajaran ngajimu?” Tuhan)
“Sudah mulai mengeja kata, Gurutta. Tapi baru kata-kata
pendek.”
“Itu bagus, Nak. Kau bahkan belum seminggu belajar
mengaji. Seminggu lagi belajar dengan Upe, boleh jadi
kau sudah bisa membaca Juz’amma.” Gurutta tersenyum,
mengangkat kepala sejenak. (Hal. (481-482)
82. “Ilmu agamaku juga dangkal, Ambo. Tapi itu tidak Religius
menghalangiku untuk menunaikan kerinduan ke Tanah (Sikap dan
Suci.” Gurutta tersenyum. “Perjalanan haji adalah hubungannya dengan
perjalanan penuh kerinduan, Ambo. Berjuta orang pernah Tuhan)
melakukannya. Dan besok lusa, berjuta orang lagi akan
terus melakukannya. Menunaikan perintah agama
sekaligus mencoba memahami kehidupan lewat cara
terbaiknya.” (Hal. 482)
83. “Lepaskanlah, Ambo. Maka besok lusa, jika dia adalah Keyakinan terhadap
cinta sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara takdir
mengagumkan. Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk (Sikap dan
kita. Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, itu hubungannya dengan
bukan cinta sejatimu. Hei, Ambo, kisah-kisah cinta di Tuhan)
dalam buku itu, di dongeng-dongeng cinta, atau hikayat
orang tua, itu semua ada penulisnya. Tapi kisah cinta kau,
siapa penulisnya? Allah. Penulisnya adalah pemilik cerita
sempurna di muka bumi. Tidakkah sedikit saja kau mau
meyakini bahwa kisah kau pastilah yang terbaik yang
dituliskan.” (Hal. 492)
84. “Dengan meyakini itu, maka tidak mengapa kalau kau Pengendalian diri
patah hati, tidak mengapa kalau kau kecewa, atau (Sikap dan
menangis tergugu karena harapan, keinginan memiliki, hubungannya dengan
tapi jangan berlebihan. Jangan merusak diri sendiri. diri sendiri)
Selalu pahami, cinta yang baik selalu mengajari kau agar
menjaga diri. Tidak melanggar batas, tidak melewati
kaidah agama..” (Hal. 493)
85. Jika harapan dan keinginan memiliki itu belum tergapai, Berbuat kebaikan
belum terwujud, maka teruslah memperbaiki diri sendiri, (Sikap dan
sibukkan dengan belajar. Kau sudah melakukannya sejak hubungannya dengan
terjebak di ruangan kecil antara hidup dan mati. Kau diri sendiri)
mulai belajar agama. Kau juga belajar tentang kapal uap
ini. Dan kelebihan kau yang paling utama adalah kau
senantiasa berbuat baik kepada siapa pun. Maka teruslah
menjadi orang baik seperti itu. Insya Allah, besok lusa,
Allah sendiri yang akan menyingkapkan misteri
takdirnya.” (Hal. 493)
86. “Menulis adalah salah satu cara terbaik menyebarkan Menyebarkan
pemahaman, Ruben.” Gurutta menjawab pertanyaan pemahaman
Ruben tentang mengapa dia menghabiskan banyak waktu (Sikap dan
di kabin untuk menulis, “Ketika kita bicara, hanya hubungannya dengan
puluhan atau ratusan orang saja yang bisa mendengar. diri sendiri)
Kemudian hilang ditelan waktu. Tapi tulisan, buku-buku,
bisa dibaca oleh lebih banyak lagi. Satu buku bisa
dipinjam dan dibaca berkali-kali oleh orang yang
berbeda, apalagi ribuan buku. Dan jangan lupakan, buku
bisa abadi. Terus diwariskan, dicetak kembali. Itu sangat
efektif untuk membagikan pemahaman baik.” (Hal. 501-
502)
87. “Apakah Gurutta butuh sesuatu? Seperti selimut, atau Peduli terhadap sesama
pakaian ganti, akan aku ambilkan?” Ambo Uleng (Sikap dan
akhirnya bicara. (Hal. 510) hubungannya dengan
masyarakat dan
bangsa)
89. “Kita bahkan tidak tahu apa kabar sergent Lucas Menjunjung
sekarang. Mereka perompak kejam. Mereka boleh jadi kemerdekaan
sudah memenggal seluruh tentara Belanda di atas. Aku (Sikap dan
akan membebaskan Tuan Karaeng. Di atas kapal ini, hubungannya dengan
semua orang merdeka, semua orang setara.” Serdadu itu orang lain dan bangsa)
meneruskan membuka pintu sel- iyalah serdadu yang
menerima mangkuk sup iga dari Gurutta. (Hal. 526)
90. “Aku tahu itu, Gurutta, tapi kita tidak akan gagal.” Ambo Bersikap optimis
Uleng berkata mantap. (Hal. 530) (Sikap dan
hubungannya dengan
diri sendiri)
91. “Aku tahu, Gurutta tidak mau lagi kehilangan orang- Sikap keberanian
orang yang gurutta sayangi, tapi kebebasan pantas Keyakinan terhadap
dibayar dengan nyawa. Aku membutuhkan Gurutta dalam takdir
rencana ini. Pesan itu harus ditulis oleh gurutta agar (Sikap dan
penumpang gagah berani. Mereka akan memeroleh hubungannya dengan
berlipat kekuatan jika pesan itu ditulis atas nama gurutta. masyarakat dan
Mereka akan mematuhi setiap pesan yang gurutta bangsa)
tuliskan.” (Hal. 532)
92. Ambo Uleng, dengan wajah yakin mengegenggam tangan Menegakkan kebenaran
Gurutta, berkata perlahan,“Gurutta, aku masih ingat (Sikap dan
ceramah Gurutta beberapa hari lalu di masjid kapal. hubungannya dengan
Lawanlah kemungkaran dengan tiga hal. Dengan masyarakat dan
tanganmu, tebaskan pedang penuh gagah berani. Dengan bangsa)
lisanmu, sampai dengan perkasa. Atau dengan benci
dalam hati, tapi itu sungguh selemah-lemahnya iman.”
(Hal. 532)
93. Saat wajah lebam itu menatap Gurutta dengan tatapan Sikap Keberanian
sayu, Gurutta berkata lembut kepadanya ”Kemerdekaan (Sikap dan
adalah hak segala bangsa, mijn vriend.” (Hal. 539) hubungannya dengan
orang lain/ bangsa)
94. “Tapi di atas segalanya, yang paling membuat Gurutta Bersyukur dan optimis
bersyukur, kalimat Ambo Uleng terbukti, tidak ada satu (Sikap dan
pun penumpang yang jadi korban. Hanya beberapa hubungannya dengan
terluka, tapi itu hanya karena mereka pukul saat serangan orang lain /masyarakat)
mendadak. Ada ratusan yang semangat sekali ikut
menyerang perompak, satu-dua malah memukul teman
sendiri.” (Hal. 539)
95. Besok lusa, setelah pulang ke Makasar, Daeng Andipati Bersilaturahmi
mengunjungi enam saudaranya, kembali merekatkan tali (Sikap dan
persaudaraan mereka yang pernah renggang. Meminta hubungannya dengan
enam saudaranya memaafkan ayah mereka. Mereka orang lain/masyarakat)
bertujuh akhirnya datang menziarahi makam ibu dan ayah
mereka bersama-sama. Kali ini dengan perasaan lapang
dan memaafkan. (Hal. 542)
96. Hari itu, Ambo Uleng memahami seutuhnya nasihat Bersabar
Gurutta sungguh, telah menunggu hadiah yang paling (Sikap dan
indah bagi orang-orang bersabar. (Hal. 544) hubungannya dengan
diri sendiri)