Anda di halaman 1dari 11

SKEMA AKTANSIAL PADA CERITA RAKYAT AJIAN JARAN

GOYANG: KAJIAN NARATOLOGI A.J. GREIMAS

Anggita Nuramalia1, Nas Haryati2


Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Semarang
Anggitanur974@students.unnes.id

Abstrak. Penelitian ini mengenai skema aktansial pada cerita rakyat Ajian Jaran Goyang. Penelitian ini
menggunakan pendekatan naratologi dan pendekatan deskriptif dengan menggunakan pendekatan
kualitatif. Hasil penelitian ditemukan adanya keselarasan dalam perananya dari 4 skema aktan yang
ditemukan. Dari 4 skema tersebut, ditemukan 3 skema sempurna dan 1 skema yang mengalami ketiadaan.
Keseluruhan hasil skema aktan dikendalikan oleh tokoh utama cerita rakyat Ajian Kemat Jaran Goyang
yaitu Baridin. Baridin sebagai sender berada di 2 skema walaupun tidak secara langsung, kemudian
Baridin sebagai subjek berada di 2 skema, lalu Baridin sebagai receiver berada di 2 skema. Dengan
demikian, pengendali cerita pada cerita rakyat Ajian Kemat Jaran Goyang adalah Baridin.

Kata Kunci: Skema Aktan, Cerita Rakyat

PENDAHULUAN
Di Indonesia, cerita rakyat merupakan salah satu dari sekian banyak ragam tradisi lisan.
Bagi masyarakat Indonesia, cerita rakyat berperan penting dalam kehidupan, karena mampu
menjadi pedoman hidup bagi masyarakatnya. Kejadian atau peristiwa diungkapkan dalam
Tradisi lisan yang mengandung nilai moral, keagamaan, adat istiadat, fantasi,
peribahasa, nyanyian dan mantra. Cerita rakyat mengandung banyak nilai – nilai moral
dan kearifan lokal yang bisa menjadi sarana komunikasi untuk mengajarkan nilai- nilai
kehidupan kepada generasi muda.
Salah satu cerita rakyat tersebut adalah cerita rakyat Ajian Kemat Jaran Goyan. Cerita
rakyat Ajian Kemat Jaran Goyang merupakan salah satu sastra lisan yang berupa mantra.
Mantra berjenis pengasihan ini berkembang di masyarakat daerah Cirebon. Cerita rakyat Ajian
Kemat Jaran Goyang oleh masyarakat Cirebon lebih dikenal dengan kisah cinta antara Baridin
dan Suratminah yang disampaikan dengan cara bertutur dari mulut ke mulut.
Cerita rakyat Ajian Kemat Jaran Goyang adalah kisah tentang Baridin yang jatuh cinta
kepada Suratminah pada pandangan pertama. Baridin yang merupakan orang miskin ingin
memiliki Suratminah, akhirnya menyuruh Mbok Wangsih untuk melamar Suratminah. Namun,
dalam perjalanan cinta Baridin terhadap suratminah tersebut tidak semulus yang dibanyangkan.
Sesampainya Mbok Wangsih tiba di Rumah Suratminah untuk melamarnya, Mbok wangsih
dicaci maki dan perlakukan dengan kasar oleh Suratminah dan ayahnya yaitu Bapa Dam. Karena
Sruratminah yang merupakan orang kaya merasa tidak pantas menikah dengan Baridin.
Mendengar hal tersebut, Baridin marah kemudian melakukan ritual Kemat Jaran Goyang, puasa
40 hari 40 malam untuk menaklukkan hati Suratminah. Pada akhirnya, Suratminah menjadi
tergila-gila pada Bridin.
Masyarakat daerah Cirebon masih patuh dan meyakini warisan budaya nenek
moyangnya. Tercermin dari aspek kehidupan sosialnya, masyarakat tetap patuh terhadap hukum
adat yang berlaku.. Cerita rakyat kerap-kali dihubungkan dengan hal-hal di daerah Cirebon
dan sekitarnya. Cerita rakyat tersebut tercipta dan beredar di masyarakat tanpa pernah
diketahui siapa penciptanya..
Cerita rakyat Ajian Jaran Goyang keberadaannya terancam punah. Karena cerita tersebut
sudah jarang diceritakan, kecuali kepada orang yang ingin mengetahui cerita tersebut.
Kemudian, anggapan lainnya cerita rakyat Ajian Jaran Goyang sudah tidak selaras dengan
perkembangan zaman.
Cerita rakyat Ajian Jaran Goyang bagi generasi muda sudah tidak ada ketertarikannya.
Novel dan cerpen atau sinetron serta film-film layar lebar lebih disukai generasi muda yang
merupakan sastra tulis. Kendati demikian ada masyarakat yang masih mengenal cerita rakyat
tersebut. Sangat jarang yang dapat menceritakan cerita rakyat Ajian Jaran Goyang secara
lengkap. Penggalan-penggalan cerita serta versi yang beragam merupakan bentuk cerita rakyat
yang kebanyakan beredar di masyarakat kini.

TINJAUAN PUSTAKA
1. Folklor
Folklor berasal dari kata bahasa Inggris, yaitu folklore. Folklor berasal dari dua kata
dasar, yaitu folk dan lore. Kata folk berarti sekelompok orang yang mempunyai ciri-ciri
pengenal fisik, sosial, dan budaya sehingga dapat dibedakan dari kelompok lainnya. Ciri-ciri
tersebut dapat berwujud warna kulit, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian yang
sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama atau kepercayaan yang
sama. Selain itu, hal terpentingnya adalah mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni yang
dapat mereka akui sebagai milik bersama warisan tradisi turun-temurun setidaknya dua generasi.
Sedangkan lore adalah folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan oleh nenek
moyang secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai gerak isyarat
atau alat pembantu pengingat (Dundes melalui Endraswara, 2013:1-2).
Folklor terdiri dari tiga jenis, yaitu folklor lisan (verbal folklore), folklor setengah
lisan (partly verbal folklore), dan folklore nonlisan (non-verbal folklore). Folklore sebagai hasil
dari kebudayaan memiliki ciri khusus (Alaini, 2013:127-130) .
Ciri-ciri Folklor yaitu:(1) biasanya dalam penyebaran dan pewarisannya dilakukan
secara lisan, yakni disebarkan melalui tuturan dari mulut ke mulut;(2) folklor bersifat
tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar;(3) folklor
ada dalam versi-versi, bahkan varian-varian yang berbeda;(4) folklor bersifat anonim,
penciptanya sudah tidak diketahui lagi;(5) folklor lazimnya memiliki bentuk berumus atau
berpola, misalnya untuk menerangkan kecantikan seorang gadis digunakan kata-kata konotatif
“seperti bulan empat belas hari”;(6) folklor memiliki relevansi dalam kehidupan berkelompok ;
(g) folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan
logika umum; dan(7) folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu(Amir, 2013:162).

2. Sastra Lisan
Lord dalam Amir (2013:71) mengemukakan bahwa sastra lisan merupakan sastra
yang dipelajari, disampaikan, dan dinikmati secara lisan. Sastra lisan berasal dari berbagai
macam budaya yang terus berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan menurut
Astika dan Yasa (2014:1), sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan
masyarakat suatu kebudayaan yang disebarkan dan wariskan secara lisan (dari mulut ke mulut).
Dengan demikian, sastra lisan di zaman dahulu memiliki ciri khas di setiap daerahnya. Karena
nilai-nilai sosial dan budaya di dalam sastra lisan dapat mengikat masyarakatnya. Selain daripada
itu, sastra lisan bisa dijadikan sebagai aset kebudayaan masyarakat dengan cara
melestarikannya.
Menurut Hutomo (1991:62), jenis sastra lisan yang dijadikan sebagai objek
penelitian, yaitu (1) bahan yang bercorak cerita seperti cerita-cerita biasa (tales), mitos
(myths), legenda (legends), epik (epics), cerita tutur (ballads), memori (memorates);(2)
bahan yang bercorak bukan cerita seperti ungkapan (folk speech), nyanyian (songs),
peribahasa (proverbs), teka-teki (riddles), puisi lisan (rhymes), nyanyian sedih pemakaman
(dirge), undang-undang atau peraturan adat (law); serta (3) bahan yang bercorak tingkah laku
(Drama) seperti drama panggung dan drama arena.

3. Cerita Rakyat
Cerita rakyat mempunyai arti sebagai suatu bentuk karya sastra lisan yang terbentuk
dan berkembang dari masyarakat tradisional yang disebarkan dalam bentuk relatif tetap dan di
antara kelompok tertentu dari waktu yang cukup lama dengan menggunakan kata konotatif
(Danandjaja, 2007:3-4). Ciri-ciri cerita rakyat diantaranya diwariskan secara turun-temurun;
tidak diketahui siapa penciptanya;kaya akan nilai-nilai luhur; bersifat tradisional; mempunyai
banyak versi dan variasi; mempunyai bentuk-bentuk klise dalam susunan atau cara
pengungkapkannya; bersifat anonim, artinya nama pengarang tidak ada; berkembang dari
mulut ke mulut; dan disampaikan secara lisan (Saputra, 2013).
Cerita rakyat yang lahir di masyarakat dilatar belakangi oleh kondisi sosial dan
budaya yang berbeda-beda. Masing-masing wilayah, cerita rakyat hampir diwariskan kepada
generasi penerusnya. Karakteristik cerita yang dimiliki berupa mite, mitos, dan legenda.

4. Strukturalisme Naratologi Model Algirdas Julien Greimas


Naratologi pada dasarnya merupakan semiotik yang dipergunakan dalam ranah analisis
cerita. Prinsip analisis struktural bermaksud untuk membongkar dan memaparkan secermat,
seteliti, sedetail, dan sedalam mungkin terhadap kekoherensian semua bagian dan aspek karya
sastra yang menghasilkan makna menyuluruh (Teeuw, 2015:106). Analisis struktural yang
digunakan dalam meneliti cerita rakyat atau mitos mempengaruhi Semiotik cerita yang
diterapkan pada analisis sastra
Vladimir Propp dan Claude Levi Strauss melakukan penelitian cerita atau mitos yang
menjadi penggagas awal dalam bidang naratologi. Para penganut aliran naratologi ini
mengembangkan perhatian mereka secara khusus pada masalah bagian-bagian terkecil dari suatu
cerita. Bagian-bagian terkecil itu kemudian disatukan lagi dengan satu tata bahasa yang
difokuskan pada persoalan alur atau jalann cerita. Tete bahasa tersebut kerapkali
disebutdengan grammar of the plot. Istilah teori atau pemikiran model strukturalisme oleh Para
ahli sebagai naratologi, naratologi semiotik, ataupun semiotik wacana dan cerita. Naratif
secara spesifik di asosiasikan dengan permasalahan bentuk, yakni sebagai bentuk naratif yang
kemudian menjadi naratologi atau ilmu tentang bercerita seperti teks naratif (Susanto, 2012:109-
110).
Kehidupan tokoh-tokoh di dalam cerita diterangkan secara detil dari awal sampai akhir
merupakan kelebihan pada strukturalisme model A.J. Greimas. Selain itu, tokoh protagonis
dan antagonis pada Strukturalisme model ini ditunjukkan secara jelas. Pada penelitaian
strukturalisme naratologi A.J. Greimas, yang lebih difokuskan adalah aksi daripada pelaku.
Subjek yang merupakan manusia semu yang dibentuk oleh tindakan yang disebut actans dan
acteurs.
Teori strukturalisme yang dikembangkan oleh A.J. Greimas menjadi strukturalisme
naratif dan mengenalkan konsep aktan sebagai satuan naratif terkecil dalam karya sastra.
Perumpamaan-perumpamaan struktural dalam linguistik yang berasal dari Ferdinand de
Saussure yang menjadi dasar pengembangan teori ini, dan Greimas menerapkannya dalam
dongeng atau cerita rakyat Rusia (Rokhmansyah, 2014: 88). Berdasarkan tata ceritanya, aktan
menunjukkan relasi yang berbeda-beda. Tujuannya, dalam suatu skema aktan, suatu fungsi
dapat menduduki beberapa peran, dan karakter peran menjadi kriteria dari tokoh. Menurut teori
Greimas, dalam skema aktan beberapa fungsi dan peran dapat diduduki oleh seorang
tokoh(Jabrohim, 1996: 12).
Greimas dalam struktur cerita umum menguraikan satuan naratif secara lebih lanjut
sehingga dihasilkan tujuh buah aktan sebagai berikut: Pengirim, Objek, Penerima, Penolong,
Subjek, Lawan, dan Anti-Subjek yang selanjutnya disederhanakan kembali dan diletakkan dalam
relasi sintaksis dan tematik.
1. Sender (pengirim), adalah sesuatu atau seseorang yang mendorong Subjek melakukan
suatu tindakan dan berfungsi sebagai penggerak (Pengirim) untuk mendapatkan objek
2. Subject (Subjek), adalah pahlawan dalam sebuah pencarian. Subjek yang telah menerima
tugas dari sender untuk mendapatkan Objek.
3. Object (Objek), merupakan sesuatu atau seseorang yang menjadi tujuan dalam sebuah
pencarian.
4. Receiver (Penerima), sesuatu atau seseorang yang menerima Objek hasil dari
kemenangan Subjek.
5. Helper (Penolong), sesuatu atau seseorang yang membantu Subjek mencapai Objek yang
diinginkannya.
6. Opponent (Penghalang), sesuatu atau seseorang yang menghalangi usaha Subjek dalam
tujuannya untuk mencapai Objek atau keinginannya (Greimas, 1988; Hobyane, 2015;
Lejot, 2017)
Tanda panah dari Sender yang mengarah pada Subjek mengandung arti bahwa Sender
memiliki keinginan atau penggerak bagi Subjek untuk memeroleh Objek. Tanda panah dari
subjek ke objek memiliki makna bahwa tujuan atau pencarian yang dilakukan oleh subjek berupa
objek.
Tanda panah helper yang mengarah pada subjek mengandung arti bahwa helper
memberikan bantuan kepada subjek dalam rangka menunaikan tugas dari sender. Kemudian
tanda panah opponent ke objek mengandung arti bahwa opponent menghalangi, mengganggu
subjek dalam mendapatkan Objek.

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Kemudian
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan naratologi. Naratologi merupakan serangkaian
konsep mengenai cerita dan penceritaan. Dasar perkembangan naratologi adalah analogi
linguistik, seperti model sintaksis, seperti halnya relasi antara subjek, predikat, dan objek
penderita. Analisis cerita mengenai aktan akan menggunakan model aktan dari Algirdas Julien
Greimas. Sumber data dalam penelitian yaitu cerita rakyat Ajian Jaran Goyang. Pokok dari
penelitian ini adalah adegan Model Aktan Greimas dalam cerita rakyat Ajian Jaran Goyang.
Subfokus penelitian ini adalah aktan Greimas dalam cerita rakyat tersebut.

PEMBAHASAN
Pada uraian berikut ini akan dipaparkan hasil analisis struktural dari cerita rakyat Kemat
Jaran Goyang, dengan menggunakan konsep strukturalisme model A.J Greimas sebagai dasar
analisis teks cerita rakyat tersebut. Dalam konsep strukturalisme ini menggunakan satu langkah
kerja yaitu membuat skema aktansial. Analisis struktural dengan cara membuat skema aktansial
dilakukan untuk mengetahui latar belakang motivasi dan obsesi tokoh utama penggerak cerita,
Berikut pemaparannya.

SKEMA 1

PENGIRIM PENERIMA
(Cinta Baridin thd (Ratminah)
Ratminah)

SUBJEK OBJEK
(Baridin) (Ratminah)

PENOLONG
PENGHALANG
(Ancaman bunuh
(Mbok Wangsih)
diri Baridin)

Penjelasan Skema 1:
Setelah Baridin(subjek) terpikat cinta (pengirim) pada pandangan pertama kepada
Suratminah(penerima), Baridin meminta Ibunya untuk melamarkan gadis idamannya. Tetapi
Mbok Wangsih (Penghalang) menyadari dan menolak permintaan Baridin. Karena seorang kaya
raya tidak mungkin menerima lamarannya yang merupakan seorang pria miskin. Namun
demikian, Baridin terus memaksa Ibunya untuk melamar Ratminah. Seandainya Mbok Wangsih
tidak menuruti kemauan Baridin, Baridin mengancam akan bunuh diri(penolong).

SKEMA 2

PENGIRIM PENERIMA
Ancaman bunuh Suratminah
diri Baridin
SUBJEK OBJEK
Mbok Wangsih Lamaran

PENOLONG PENGHALANG
(-) Ratminah dan Bapa
Dam
Penjelasan Skema 2:
Berdasar ancaman bunuh diri (pengirim) dan takut kehilangan anak satu-satunya, Mbok
Wangsih (subjek) akhirnya melamar (objek) Suratminah. Di rumah Suratminah, Mbok Wangsih
menyampaikan maksud kedatangannya kemudian diperlakukan kasar, dihina, dicerca, dipukul,
diludahi bahkan diusir oleh Suratminah dan Bapa Dam (penghalang).

SKEMA 3

PENGIRIM PENERIMA
Perlakuan kasar Ratminah
Ratminah dan
Bapa Dam SUBJEK OBJEK
Baridin Ratminah

PENOLONG PENGHALANG
(Kemat Jaran -
Goyang)
Penjelasan Skema 3:
Mengetahui berita mengenai perlakuan kasar (pengirim) Suratminah terhadap Ibunya,
Baridin (subjek) marah besar dan merasa bersalah terhadap Ibunya. Baridin kehilangan akal
sehatnya. Baridin kemudian melakukan guna-guna(penolong) karena Ia telah sakit hati. Guna-
guna tersebut ditunjukkan agar Ratminah (penerima) tergila-gila padanya. Ia melakukan ritual
puasa selama 40 hari 40 malam tanpa makan. Ritual yang diamalkan baridin dikenal sebagai
”Ajian Kemat Jaran Goyang.” Suratminah tiba-tiba menjadi tergila-gila pada Baridin.

SKEMA 4

PENGIRIM PENERIMA
Keinginan Baridin
Ratminah utk
menikahi
SUBJEK OBJEK
Ratminah Baridin

PENOLONG PENGHALANG
(Bapa Dam) Meninggalnya
Baridin

Penjelasan Skema 4:
Suratminah(subjek) berteriak, menangis, dan memohon kepada bapaknya supaya
dinikahkan dengan Baridin(penerima). Suratminah menjadi gila. Bapa Dam sebagai seorang
duda kaya dan memiliki anak satu-satunya, Ia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada
anaknya. Maka dari itu, Bapa Dam(penolong) menuruti kehendak anaknya.
Kemudian Bapa Dam mengajak Suratminah menemui Baridin dengan niat untuk
menikahkannya. Tetapi, ketika Bapa Dam mendatangi Baridin, ternyata Baridin sudah
meninggal dunia. Kematian Baridin disebabkan oleh rasa sakit hati yang teramat ditambah rasa
lapar yang menusuk karena puasa selama 40 hari 40 malam ia tidak makan walau sesuap.
Sementara itu Suratminah menjadi orang gila. Ia terus mengeluarkan kata-kata
“Baridin.. Baridin dan Baridin..”. Setelah itu Suratminah pun meninggal dunia.

E. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian menganalisis struktur naratif pada cerita rakyat Ajian Kemat
Jaran Goyang dapat ditarik kesimpulan diantaranya: (1) Pada cerita rakyat Ajian Kemat Jaran
Goyang yang dianalisis dengan menggunakan skema aktan ditemukan keselarasan dalam
peranannya dari 4 skema aktan yang ditemukan. berdasarkan 4 skema tersebut, ditemukan 3
skema sempurna dan 1 skema yang mengalami ketiadaan. (2) keseluruhan hasil skema aktan
dikendalikan oleh tokoh utama pada cerita rakyat Ajian Kemat Jaran Goyang yaitu Baridin.
Baridin sebagai sender berada di 2 skema walaupun tidak secara langsung, kemudian Baridin
sebagai subjek berada di 2 skema, lalu Baridin sebagai receiver berada di 2 skema. Dengan
demikian, penggerak cerita pada cerita rakyat Ajian Kemat Jaran Goyang adalah Baridin.
DAFTAR PUSTAKA
Aarva, P., & Tampere, M. P. 2006. Studying The Striving and Opposing Forces in Newspaper
Journalism: The Actantial Model of Health Promotion. Health Promotion International,
21(2), 160-168.
Alfiah, Mega (2020) Perspektif Naratologi Greimas dalam Serial Drama 5-Ji Kara 9-Ji Made
Karya Sutradara Shin Hirano. Other thesis, Univesitas Komputer Indonesia.
Alaini, Nining Nur. 2013. “Cerita Rakyat Putri Mandalika sebagai Sarana Pewarisan Budaya
dan Local GeniusSasak” dalam Endraswara, Suwardi(ed.).Folklor dan Folklife dalam
Kehidupan Dunia Modern: Kesatuan dan Keberagaman. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Amir, Adriyetti. 2013. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Astika, I Made dan I Nyoman Yasa. 2014. Sastra Lisan; Teori dan Penerapannya.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Busyrah, H. (2012). Analisis Struktural Model Aktansial dan Fungsional Greimas pada Sepuluh
Cerkak dalam Antologi Geguritan Lan Cercak Pisungsung. Depok: Universitas
Indonesia.
Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia:Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta:
Pustaka.
Nandita, A. (2014). Struktur Naratif dalam Yodaka No Hoshi Karya Miyazawa Kenji Menurut
Teori Naratologi Greimas. Dipetik April 30, 2018, dari
http://eprints.dinus.ac.id/8315/1/jurnal_14048.pdf
Muttaqin, Z. (2015) Menilik Aktansial Greymas dalam Songeng Prahara Di Istana Dewa Petir.
SEBASA. (1). 2. 18-20
Ratna, N.K. 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sri Astuti, Yoseph Yapi Taum/Atavisme, 21 (1), 2018, 35-49
Susanti, R. (2011). Analisis Bagan Aktansial Cerita Anak Jepang Urashima Taro. Lingua
Cultura , 5, 1-9.
Susanto, Dwi. 2012. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: CAPS.

Utama Grafiti.Endraswara (ed.). 2013. Folklor Nusantara: Hakikat, Bentuk, Fungsi.


Yogyakarta: Penerbit Ombak
https://www.cirebonkota.go.id/profil/sejarah/cerita-rakyat/

Anda mungkin juga menyukai