Anda di halaman 1dari 3

Nama :Samuel Ebenezer Hutabarat

Kelas : 3A

Mata Kuliah : Misiologi

Dosen : Pdt. Pulo Aruan M.Th


Pendahuluan

Dalam membahas kedudukan misiologi dalam kurikulum teologi, David Bosch


mencatat bahwa “masalah mendasarnya.bukan dengan apa itu misiologi tetapi dengan apa
misinya. Pada paruh kedua abad ke-20, misiologi mendapat manfaat dari perhatian yang
diberikan pada topik-topik kontroversial. Orang-orang juga mengandalkan misiologi untuk
mendukung suatu sudut pandang. Selama misi dapat menyelesaikan permasalahan yang ingin
dipecahkan oleh Gereja, beberapa tantangan yang dihadapi Gereja dapat diabaikan. Ketika
organisasi misionaris mendapat dukungan, kemampuan untuk menciptakan posisi pengajar
khusus setidaknya memberikan dukungan bagi pengajaran misiologi, terlepas dari
permasalahan teoritisnya. Namun, ketika isu-isu kunci seputar evangelisasi telah dipahami
dengan jelas atau ketika penginjilan menjadi doktrin teologis yang diterima secara luas, maka
kehadiran seorang misionaris yang berdedikasi tidak lagi diperlukan. Karena tujuan misiologi
adalah untuk memahami dengan jelas dan mendorong penerimaan ajaran-ajaran misiologis
dalam ajaran-ajaran teologis lainnya, hilangnya misiologi dapat dilihat sebagai akibat yang
tak terelakkan dari keberhasilannya.

INFORMASI AWAL

A. INFORMASI TENTANG MAHASISWA

Nama : Samuel Ebenezer Hutabarat

Nama tugas : Tugas Laporan buku Missiology After “Mission”?

Nama dosen : Pdt. Pulo Aruan, M.Th

Mata kuliah : Sejarah Kekristenan Asia

INFORMASI TENTANG BUKU

Judul buku : Missiology After “Mission”?

Penulis : John Roxborg


Edisi : volume 38

Isi

Pada tahun 1952, pertemuan Dewan Misionaris Internasional di Willingen menemukan


jawaban atas permasalahan perspektif teologis misi dalam pembangunan Mission Dei. Jika
penginjilan dipahami sebagai tindakan yang melintasi batas negara, apakah sebaiknya
dilakukan di organisasi, di gereja, atau di tempat lain? Dengan menempatkan misi pada
hakikat Allah dan bukan pada aktivitas Gereja, Willingen mampu menjawab, secara teologis
atau praktis, pertanyaan mengenai di mana letak tanggung jawab misioner. Orang-orang
mengandalkan misiologi untuk memberikan jawaban yang mereka inginkan. Ketika
denominasi-denominasi Barat berjuang, misiologi berjanji untuk menjawab pertanyaan
tentang apa yang harus dilakukan dengan membantu mengkritik pertumbuhan gereja dan
mendorong pembaharuan gereja, sambil memastikan bahwa masyarakat didasarkan pada
teologis daripada politik, sambil menegaskan bahwa identitas kita sebagai misionaris harus
didasarkan pada pemahaman. . . agama lain agar rasa hormat dan penginjilan berjalan
beriringan.

Misiologi yang Terancam

Dibalik keberhasilan dan beberapa keberhasilan di bidang misiologi juga terdapat


kekhawatiran. Gagasan kontekstualisasi yang populer pada tahun 1979 sulit diterapkan baik
di dalam maupun luar negeri, dan mereka yang mendapat manfaat tidak menyadarinya. Para
ahli misi mungkin mulai berpikir bahwa misi tidak lagi diperlukan, meskipun misi tersebut
masih diperlukan. Pertanyaan apakah misiologi harus independen atau terintegrasi dengan
disiplin teologi lainnya merupakan pertanyaan yang serius. Integrasi dan kemandirian
tidaklah sama, Boch berpendapat lebih baik mengintegrasikan misiologi dengan ilmu-ilmu
lain daripada memisahkannya atau mencoba mengadaptasi ilmu-ilmu yang sudah ada.
Namun, disiplin ilmu lain tidak sepenuhnya memahami bagaimana hal ini diterapkan pada
misiologi. Satu-satunya alasan Gereja bersatu adalah karena misi. Mungkin misiologi telah
melampaui batasnya dengan menyatakan bahwa misi merupakan inti dari kehendak Allah dan
sifat Gereja. Dipengaruhi oleh strategi pembangunan Gereja yang mengutamakan keamanan
Gereja dibandingkan keamanan dunia.

Nilai misiologi terletak pada misinya, pertanyaan-pertanyaan penting yang dijawabnya, dan
beragam perspektif yang dibawanya terhadap isu-isu terkini. Hal ini mungkin tidak diterima
secara universal, namun misiologi telah menghadapi ancaman sepanjang sejarah.
Tanggapan

Sepanjang sejarah, pendekatan Gereja terhadap politik telah berubah dan disesuaikan
dengan masyarakat dan pemerintah. Hal ini mengingatkan kita bahwa perubahan tidak bisa
dihindari dan Gereja harus bertransformasi. Penting untuk mulai mempersiapkan
transformasi, untuk menghindari kebingungan yang mengganggu Gereja. Tujuan Gereja
adalah untuk melaksanakan misi Tuhan dan membawa perdamaian ke dunia. Misi Gereja,
yang dikenal dengan Misio Dei, tentu tidak akan berubah, namun strategi untuk mencapainya
akan berkembang seiring berjalannya waktu. Misi misionaris adalah menyebarkan Injil dan
melanjutkan karya Kristus di dunia. Sangat penting bagi Gereja untuk melaksanakan misinya,
karena tanpanya, Gereja tidak akan mampu tumbuh dan berkembang, bahkan mungkin gagal.

Kesimpulan

Seperti yang telah kita pelajari dan pahami, tugas akan selalu mengalami perubahan
selama implementasi. Misiologi harus mampu berdiri sendiri, meskipun ada yang tidak
mempercayainya dan bersikeras bahwa tantangan ini bukanlah hal baru. Apa pun kondisinya,
misiologi selalu mempunyai hak untuk berbicara tentang misi Allah di dunia. Dengan
demikian, perkembangan Gereja jelas berdampak pada tujuan misiologi. Dalam hal ini, para
misionaris harus ikut serta mendukung segala perkembangan yang terjadi di Gereja.

Anda mungkin juga menyukai