Anda di halaman 1dari 30

CRITICAL BOOK REPORT

SENI KRYA
Dosen Pengampu : Dra. Nurhayati Tanjung

Disusun oleh :
Kristin R Sianturi
5203343022

PRODI TATA BUSANA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas rutin di mata kuliah Seni Krya. saya mengucapkan banyak
terima kasih kepada Ibu Dra. Nurhayati Tanjung M.Pd sebagai dosen Mata Kuliah
seni krya , orang tua kami dan teman teman kami. Saya menyadari masih banyak
kesalahan dan kekurangan dalam membuat Critical book report ini. Saya hanya
berusaha semaksimal mungkin dengan kemampuan saya yang ada. Oleh karena itu,
saya mengharapkan kritik dan saran untuk memperbaiki CBR ini supaya pada
kesempatan berikutnya, kami dapat menghasilkan CBR yang lebih baik. Tugas
critical book report ini dibuat untuk memenuhi tugas seni krya . Dengan
menyelesaikan CBR ini, saya harap CBR yang kurang sempurna ini dapat
menambah pengetahuan bagi pembaca, banyak manfaat yang dapat diambil,
semoga dengan adanya CBR ini para mahasiswa bisa mengetahui seni krya.

Medan,18 November 2021

Kristin Sianturi
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Rasionalisasi pentingnya CBR


Critical Book Report adalah hasil kritik/bandingan tentang suatu topic materi
yang pada umumnya di materi perkuliahan terhadap buku yang berbeda. Penulisan
critical book reportini pada dasarnya adalah untuk membandingkan dua buku yang
berbeda.Setiap buku yang dibuat oleh penulis tertentu pastilah mempunyai
kekurangan dan kelebihan masing-masing. Kelayakan suatu buku dapat kita
ketahui jika kita melakukan resensi terhadap buku itu dengan perbandingan
terhadap buku lainnya. Suatu buku dengan kelebihan yang lebih dominan
dibandingkan dengan kekurangan nya artinya buku ini sudah layak untuk dipakai
dan dijadikan sumber referensi bagi khalayak ramai.

B. Tujuan penulisan CBR


Alasan dibuatnya critical book review ini adalah untuk:
1. Penyelesaian tugas Mata kuliah seni krya.
2. Untuk memperluas wawasan tentang seni krya.
3. Mengetahui isi bacaan Buku yang dikritik.
4. Membandingkan kan Buku yang dikritik dengan teori teori yang ada maupun
Buku yang sejenis.

C. Manfaat CBR
Manfaat dari critical book review ini adalah:
1. Menambah pengetahuan seni krya.
2. Meningkatkan kemampuan menemukan inti sari suatu buku, kemampuan
membandingkan buku dengan buku lainnya dengan baik.
3. Melatih diri untuk berpikir kritis dalam mencari informasi yang diberikan oleh
setiap bab dari buku pertama dan buku kedua.
BAB II
RINGKASAN ISI BUKU

A. Identitas Buku
Buku utama

Judul : Seni Krya Dan Kerajinan


Pengarang :Dr.Timbul Raharjo,M.Hum
Penerbit : Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Tahun Terbit :2011
Kota Terbit :Yogyakarta
ISBN :978-602-8820-20-2

Buku Pembanding

Judul :
Pengarang :
Penerbit :
Tahun Terbit :
Kota Terbit :
ISBN :

B. Ringkasan Buku
Buku utama

KRIYA INOVASI DAN MASAL


A. Seni Kriya yang Adiluhung
Seni kriya merupakan salah satu cabang seni rupa yang memiliki akar kuat,
yakni nilai tradisi yang bermutu tinggi atau bernilai adiluhung. Sebab pada masa
lampau, para kriyawan keraton menghasilkan karya seni dengan ketekunan dan
konsep filosofi tinggi serta memberikan legitimasi sebagai produk seni kriya tempo
dulu. Di dalam konsep tersebut termasuk pula adanya pola pikir metafisis yang
mengandung muatan nilai-nilai spiritual, religius, serta magis. Di samping itu
adalah juga adanya kesadaran kolektif terhadap lingkungan alam, solidaritas yang
tinggi dan didukung oleh tatanan budaya tradisional yang ternyata telah
menghasilkan seni kriya yang berkualitas adiluhung serta mencerminkan jiwa
zaman1 . Dalam konteks ini, jiwa zaman yang dimaksud adalah berupa seluruh
kehidupan batin manusia yang terdiri dari perasaan, pikiran, dan anganangan pada
masa itu yang terjadi dari sebuah dialektika budaya tertentu yang senantiasa
berinteraksi. Tentu, jiwa zaman ini memberikan letupan-letupan semangat
berkarya pada masingmasing jiwa pendukungnya. Oleh karena itu, ke-
adiluhungan-nya adalah juga sebuah karya yang kemudian diukur dari siapa
pendukung dan siapa penikmatnya. Kita tahu, pada zaman kerajaan tertentu cukup
menguat adanya pembedaan strata masyarakat terutama yang ningrat dan rakyat
biasa. Keduanya memiliki taste (selera) yang berbeda dan secara formal maupun
non-formal posisi rakyat sering ditabukan untuk memiliki atau memakai produk
yang mirip dengan apa yang ada di keraton. Hal inilah yang kemudian
membedakan, terutama dalam hal sumber wilayah munculnya seni kriya yakni
karya yang dihasilkan dari jeron betèng (dalam keraton), jaban betèng (luar
keraton), dan bahkan pesisiran(pantai). Tentu, penyebutan adiluhung juga selalu
dikaitkan dengan apa pun karya yang berada di wilayah keraton. Sebab, memang,
karya-karya kriya yang berada di dalam wilayah keraton memiliki legitimasi
tersendiri. Itulah yang membuatnya sangat disakralkan dan diagungkan. Maka,
banyak orang menganggap adiluhung karena dari wilayah keraton. Lain halnya
dengan karya yang dibuat dari wilayah jaban keraton yang dianggap sebagai karya
rakyat jelata dan bersifat profan, tanpa memiliki makna yang luhur atau adiluhung2
.
Namun, maksud adiluhung pada masa sekarang sudah berbeda. Terutama dengan
adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bukan merupakan kerajaan lagi.
Maka, pemerintah Indonesia pun melindungi bentuk-bentuk kebudayaan tradisi
yang telah berakar kuat dan menjadi trade mark daerah tertentu atau wilayah
tertentu. Terutama yang memiliki ciri khas tersendiri sebagai bagian dari seni
tradisi, misalnya, seni ukir Jepara, seni batik Yogya-Solo, adanya motif Dayak,
keris, dan lain sebagainya. Sejumlah karya yang juga bersifat artefak budaya itu,
tentu memiliki nilai tersendiri sebab menyangkut bagian dari kreativitas lokal
komunitas perajin. Dengan demikian, daya tawar karya yang bernilai adiluhung
juga memiliki kekuatan sebagai karya yang telah didukung oleh masyarakat.
B. Strata Pengguna Seni Kriya
Ada pun pembedaan siapa pengguna dari produk seni kriya itu tergantung
pada sebuah komunitas pengguna. Pertama adalah karya seni kriya yang dibuat
sebagai pengabdian terhadap dewa-raja yang secara tekun dikerjakan agar
kemakmuran dan kebahagiaan hidup terlindungi dengan cara
memberikan/membuat karya yang baik. Maka, Sang Dewa pun akan merasa
senang dan memberikan ketenteraman serta kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat. Kedua adalah pengguna dengan tingkat ekonomi lebih baik yang dapat
mengapresiasi seni kriya menjadi bagian gaya hidup mereka untuk mengikuti trend
seni. Pastilah aspek seni yang dihasilkan pun memiliki nilai yang tinggi. Bahkan,
pada masa sekarang, karya yang dikoleksi oleh orang “berduit” ini luar biasa
nilainya, dapat melampaui koleksi karya-karya yang dimiliki keraton. Ketiga
adalah pengguna pada strata menengah ke bawah. Tentu mereka hanya mampu
mengoleksi dan mengapresiasi menyesuaikan dengan tingkat ekonomi mereka
sendiri sehingga produknya pasti menyesuaikan dengan kemampuan kantong. Oleh
sebab itulah, maka munculnya jenis seni rupa tradisi keraton pada masa lalu
tersebut memang lahir dari unsur strata kelas masyarakat yang didasarkan pada
kasta-kasta, misalnya kasta bendoro, priyayi, dan petani. Kasta bendoro lebih
banyak berada di dalam keraton sehingga keraton memiliki tempat yang paling
terhormat. Sementara di luar keraton dianggap sebagai komunitas rakyat biasa juga
dianggap memiliki tingkat ekonomi lebih rendah daripada komunitas bendoro.
Meskipun adanya perubahan zaman kini membedakan antara tingkat kemakmuran
hidup orang per orang yang lebih ditentukan oleh seberapa jauh tingkat ekonomi
masing-masing. Gustami mempertegas bahwa pada masa kerajaan di Jawa dikenal
adanya produk-produk seni kriya yang diciptakan di lingkungan keraton dengan
istilah budaya agung sebagaisalah satu nilai tradisi yang cukup besar di dalam seni
kriya. Sementara yang dikerjakan di luar keraton, yang dikerjakan oleh rakyat kecil
di pedesaan, disebut dengan nama budaya alit sebagai salah satu tradisi kecil.
Kedua lingkungan budaya itu menghasilkan produk yang canggih atau adiluhung
di satu pihak dan produk yang sederhana di pihak lain. Sebutannya pun berbeda,
seniman yang merupakan asal dari keraton disebut kriyawan, sedangkan seniman
yang merupakan asal pedesaan serta pesisiran disebut perajin3 . Dari dalam
keraton, luar keraton, dan pesisiran sebagai wilayah penghasil produk seni
dianggap oleh para penganutnya sebagai seni tradisi warisan nenek moyang
mereka. Meski demikian, dalam banyak hal, nilai adiluhung juga bisa selalu
dikaitkan dengan hal yang sangat diagungkan sehingga nilai ini berhubungan
dengan karya seni yang dikonsumsi untuk keraton. Rumah raja dianggap sebagai
tempat yang dipertuan agung dan sebagai pelindung seni dengan menempatkan
kriyawan atau pekriyan sebagai seniman keraton yang tidak memiliki otoritas
terhadap karya yang dihasilkan. Semua karya itu sebagai persembahan kepada
gusti yang dalam hal ini adalah raja yang dipercaya sebagai titisan dewa. Dulu,
pada zaman pra-Islam, raja dipandang sebagai penjelmaan dewa (raja-dewa) atau
berasal dari dewa. Biasanya, Siwa dianggap menjelma sebagai raja, tetapi ada juga
raja-raja yang dianggap merupakan penjelmaan Dewa Wisnu. Sebagai contoh
adalah Raja Kertarajasa (1315 M) yang merupakan pendiri Kerajaan Majapahit
yang diabadikan dalam patung hari-hara. Patung tersebut ternyata sebagai
campuran penjelmaan antara Dewa Wisnu dan Siwa.
Sementara produk jaban betèng menjadi produk seni kelas dua, kelas yang tidak
diperkenankan memproduksi produk-produk yang sama dengan karya dari jeron
betèng kecuali sebagai barang pesanan. Terkait dengan kepercayaan masyarakat
terutama Jawa, benda-benda yang dianggap menyaingi keraton akan membuat
pemiliknya bisa berakibat pada kehidupan yang susah. Keyakinan ini akan terus
digulirkan sebagai salah satu legitimasi dewa-raja kepada rakyatnya. Sedangkan
yang terakhir, produk pesisiran dianggap sebagai kelas tiga yang menghasilkan
karya lebih bebas dan kasar. Karya seni kriya yang adiluhung kemudian menjadi
sangat spesial bagi pihak keraton. Sebab seni kriya jenis ini memiliki keunikan
tersendiri sebagai sebuah karya yang diciptakan untuk persembahan kepada dewa-
raja. Di dalamnya juga mengandung nilai pengabdian yang luar biasa yang dapat
mempengaruhi seluruh aspek kehidupan maupun kematian, kebahagiaan,
kesengsaraan, kemakmuran, dan lain sebagainya. Bentuk ekspresi Sang Dewalah
yang mampu menggetarkan hati si kriyawan untuk menciptakan karya terbaik.
Ekspresi demikian tampaknya hadir dalam penciptaan seni kriya masa
kinimeskipun bukan lagi dalam pengertian berkarya untuk Tuhan atau kepercayaan
tertentu bagi yang bersangkutan, namun lebih sebagai ekspresi luapan jiwa untuk
menghadirkan gubahan karya kriya menjadi mempunyai semangat tersendiri dalam
berkarya.

C. Kreatifitas Inovasi Seni Kriya


Pada perkembangannya, seni kriya dipakai sebagai kata untuk menamai hasil
karya yang dianggap memiliki keunikan tersendiri yang terkait dengan penggalian
nilai-nilai tradisi yang adiluhung. SP. Gustami memberi batasan bahwa seni kriya
adalah suatu karya seni yang unik dan berkarakter yang di dalamnya mengandung
muatan nilai-nilai yang mendalam menyangkut nilai estetik, simbolik, filosofis,
dan fungsional. Dalam perwujudannya pun didukung oleh aspek craftmanship
tinggi. Oleh karenanya, pada tahun 1970-an, Gustami sebagai seorang guru besar
Institut Seni Indonesia Yogyakarta mencoba untuk sedikit keluar dari patronisasi
nilai-nilai tradisi yang kemudian memunculkan seni lukis batik. Nilai-nilai yang
terkandung di dalam seni batik tersebut ternyata memiliki kedalaman aspek
teknologis misalnya pada proses produksi, bentuk, dan simbolisasi motif. Ini bisa
dilihat pada hasil karya seni batik yang dianut oleh masyarakat tertentu. Seni Kriya
& Kerajinan I 14 Perubahan itu kemudian tidak lantas memberi efek degradasi
terhadap aspek nilainya, namun justru menjadi sebuah fenomena baru dalam
menggali budaya tradisi Nusantara. Teknologi membatik untuk mengekspresikan
situasi batin yang semula bermedia canthing menjadi kuas yang menghasilkan
goresan-goresan tidak beraturan. Kreasi Gustami yang demikian ternyata mampu
menginspirasi beberapa seniman batik dalam menerapkan cara-cara membuat seni
lukis batik. Maka, pada era 1980-an segeralah seni lukis batik menjadi lebih
berkembang. Sejalan dengan perkembangan zaman dan tuntutan masyarakat,
khususnya perkembangan seni rupa, batasan tentang seni kriya mengalami
perubahan dan perkembangan pula. Bahkan batasan tersebut sering tumpang-tindih
dengan bidang seni rupa murni dan desain. Penulis mencoba untuk memberi
definisi secara umum tentang batasan seni kriya, yaitu sebagai salah satu bentuk
produk seni rupa, baik fungsional atau nonfungsional, yang mengutamakan pada
nilai-nilai dekoratif dan kerja tangan dengan kemampuan craftmanship tinggi. Pada
umumnya menggali nilai-nilai tradisi yang juga bersifat unik.

Definisi ini tampaknya memberi kelonggaran pada jenis produk yang dituju. Bisa
menjadi lebih luwes, karena semua produk sejenis bisa terangkum dalam definisi
ini, mulai dari souvenir perkawinan sampai pada jenis patung yang berukuran
besar. Berdasarkan definisi tersebut, maka kajian seni kriya dapat diperhitungkan
lebih luas, tidak hanya diklasifikasikan dari aspek fungsinya saja, tetapi juga aspek
lainnya. Kekompletan jangkauan seni kriya pun memang dapat menjadi lebih
luwes dan menyeluruh, keunikan yang muncul dari gerak ornamentasi dan bentuk
juga memberikan unikum tersendiri terutama pada karakter setiap karya yang
dihasilkan. Aspek estetika dengan tampilan tiga dimensional maupun dua
dimensional juga membawa kedalaman, baik pada efek maupun bentuk yang lebih
menantang secara visual dalam sebuah unsur relief ukiran serta goresan
ornamentasi yang menunjukkan adanya pengolahan kompleksitas teknologi
maupun material yang ternyata tidak terbatas. Memang, kecenderungan yang ada
saat ini adalah peran media bukan lagi menjadi persoalan yang signifikan namun
ide tetaplah menjadi panglima dalam menciptakan sebuah karya seni kriya.
Terutama ide yang kreatif dan inovatif dengan mengangkat isu-isu yang sedang
berkembang sehingga seni kriya dapat terus mengikuti perkembangan zaman.
Eksplorasi terhadap nilai-nilai tradisi kemudian menjadi sumber inspirasi tersendiri
yang diwujudkan dalam bentuk karya kriya yang memiliki unsur artistik luar biasa
dan dapat diapresiasi sebagai suatu pengembangan baru dalam dunia seni. Wujud
yang muncul di samping mengeksplorasi bentuk, motif, dan media yang ada, pada
sisi aspek kandungan seni juga menjadi hal yang penting. Penciptaan suatu karya
kriya, di satu sisi tampak masih ada usaha inovatif yang mengarah pada karya
individual. Di sisi lain ada usaha untuk mengacu pada unsurunsur masa lalu yang
kemudian diterapkan pada rancangan produk masa kini. Hal ini cukup menggejala
di kalangan masyarakat kriyawan saat ini. Mereka melakukan upaya tersebut
karena bertujuan menciptakan produk-produk yang bermuatan Seni Kriya &
Kerajinan I 16 lokal atau citra tradisional yang berciri khas suatu budaya, terutama
yang merupakan pendalaman budaya tertentu. Bahkan dalam menciptakan produk
kriya, tidak semuanya dikerjakan oleh tangan-tangan terampil akan tetapi sebagian
lainnya dibuat dengan alat bantu (mesin) untuk mengatasi masalah dalam
pencapaian kuantitas dan kualitas produksi secara tepat dan efektif.
Di dalam seni terapan, Wiyoso Yudoseputro berpendapat bahwa dalam upaya
pengembangan seni kriya sebagai seni terapan masa kini, diharapkan ia mampu
menampilkan nilainilai guna baru berdasarkan daya imajinasi para kriyawan.
Kecenderungan untuk memandang produk kriya sebagai hasil produksi massal dan
sebagai karya kriya ulang, sering mengecilkan arti dari kandungan nilai ekspresi
pribadi sebagai karya seni terapan4 . Kaitannya dengan seni kriya sebagai seni
terapan dan ekspresi para perupa, maka munculnya perkembangan seni kriya pun
tak dapat lepas dari semangat karya-karya pendahulunya, karya-karya yang
menjadi masterpiece tiap zaman. Dalam konteks ini, upaya pengaruh
danmempengaruhi antarpertumbuhan dan perkembangan seni kriya seringkali tak
dapat dihindari. Artinya, antara karya kriya yang satu dengan yang lainnya
seringkali ada kemiripan, bisa pada tema atau ide dasar maupun pada persoalan
kemasan estetis atau wujud visual.
D.Inovasi Radikal dan Kaizen Kriya
Kemiripan antarkarya seni kriya juga sering dipengaruhi oleh adanya teks
atau teori perihal seni kriya yang sebelumnya telah ada. Karenanya, karya yang ada
pun kemudian mempengaruhi secara ideologis dengan penciptaan karya seni kriya
selanjutnya. Bentuk-bentuk tipografi karya, misalnya, akan terpengaruh oleh karya
seniman atau perupa yang lebih terkenal, yang hidup pada zaman sebelum karya
seni kriya bersangkutan lahir. Saling meniru dan mempengaruhi sebagai hal yang
dapat memberikan rujukan inspirasi pada karya baru hasil dari gubahan karya
lama. Dalam sudut pandang ilmu produktivitas maka perpaduan ketika
menerapkan teknologi canggih disebut dengan nama kaizen. Hal ini bisa dilihat
pada jenis produk yang berteknologi canggih dari Jepang, seperti pembuatan
desain motor yang setiap tahun berganti seri dan tipe dengan perubahan yang tidak
signifikan. Perubahan yang ada dilakukan secara pelan, tidak radikal, dan
mempengaruhi konsumen dengan ingatan produk lama namun bernuansa baru. Hal
ini membuat biaya research and development juga dapat dihemat. Demikian juga
pada seni kriya, meskipun banyak juga muncul corak maupun gaya dalam
menciptakan karya seni, namun pola penciptaannya terdapat dua hal, yakni yang
pertama inovasi menyeluruh atau penemuan baru. Sementara itu yang kedua yaitu
kaizen tersebut. Hasil dari perubahan tertentu bisa menjadi hal yang baru, demikian
juga hasil dari seni inovasi ketika menciptakan barang yang sebelumnya belumlah
ada. Maka, yang pertama sangat menitikberatkan pada nilai noveltynya, namun
yang kedua tidak begitu menghiraukan perubahan itu.
E. Seni Kriya sebagai Masterpiece
Seni kriya tercipta sebagai karya seni yang diwujudkan menjadi salah satu
upaya problem solving dalam memenuhi kebutuhan seni. Karya yang tercipta
menjadi bentuk karya yang utuh, karya yang bernilai, karya masterpiece dari hasil
karya kriyawan yang memiliki visi ke depan dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat akan pentingnya sebuah karya baru. Terciptanya sebuah karya tertentu
juga bisa menjadi satu produk yang mempresentasikan diri kriyawannya. Oleh
karena itu sebagai salah satu ekspresi untuk menuangkan gagasan, maka ide yang
lahir diharapkan bisa selayaknya sebagaimana karya seni murni lain dengan
menggunakan media atau material tertentu yang tidak sekadar kanvas dan
permainan bentuk patung belaka. Namun telah mengeksplorasi materi-materi kayu,
logam, bambu, batu, keramik, dan lain sebagainya. Tentu, pembuatan semacam ini
menjadi salah satu contoh atau boleh dikata representasi produk baru atau desain
baru. Banyak obyek yang dibuat oleh kriyawan sebagai bagian karya masterpiece.
Baik fungsional maupun non-fungsional memiliki status yang sama manakala
karya itu dibuat dengan desain baru dan memiliki standar kualitas seni yang baik.
Peter Domer mencontohkan produk-produk berbahan keramik, logam, dan barang
lain yang fungsional yang diproduksi oleh dosen dan mahasiswa dalam workshop
di Bauhaus pada abad ke-XX. Disebutkan bahwa produk mereka memiliki kualitas
yang baik sebagai karya yang memiliki tingkat desain yang juga sangat baik5 .
Mereka adalah orang-orang yang berusaha menciptakan karya baru dengan
mengasah otak untuk menemukan banyak ide guna menciptakan suatu obyek.
Maka kuncinya adalah kreativitas pada masing-masing individu yang kemudian
bekerja, mengeksplorasi berbagai kemungkinan mendapatkan ide dalam membuat
karya6 . Aspek inilah yang kemudianmemberikan peluang pada daya kreativitas
untuk menciptakan karya kriya yang memiliki ciri khas atas diri kriyawannya.

F. Kriyawan yang Bertalenta


Karya seni kriya yang diciptakan para kriyawan strata lulusan Jurusan Seni
Kriya Institut Seni Indonesia Yogyakarta juga memberi pengaruh yang luar biasa
dalam penciptaan seni kriya. Banyak karya seni kriya yang diciptakan berbasis
material sesuai dengan latar belakang pendidikan masing-masing. Pada umumnya,
para kreator membuat seni kriya untuk mengekspresikan pengalaman batin mereka
akan sebuah intuisi dan pengalaman serta berbagai latar belakang dalam hidup
guna divisualisasikan dalam sebuah karya seni kriya. Tentu, pola-pola
penciptaannya mengikuti gerak atau dinamika hidupnya beserta pengaruh
lingkungan yang ada di sekelilingnya. Baik dalam hal materi, teknik, dan karakter
yang ingin dicapai. Basic penciptaan pun telah dipelajari sebagai bagian latar
belakang pendidikan sehingga para kriyawan yang ternyata mayoritas
berkecimpung di dunia pendidikan mampu mengimajinasikan teori dan praktek
dalam sebuah olah penciptaan seni kriya.
Memang, regenerasi seni kriya terus berlanjut seiring dengan banyaknya seni
budaya bangsa yang cukup banyak memberi inspirasi pada bagaimana mengolah
material yang sangat melimpah di negeri Nusantara ini. Oleh sebab itu diharapkan
muncul kriyawan-kriyawan yang memiliki talenta yang baik untuk menciptakan
sebuah karya yang benar-benar memiliki karakter seni kriya yang memiliki nilai
masterpiece tersebut. Oleh sebab itu pula, penggalian kekayaan budaya dan alam
Nusantara masih menjadi hal yang penting untuk terus dikembangkan ke ranah
yang lebih berdaya saing bagi perkembangan seni kriya Nusantara di mata dunia.

Buku Pembanding
KRIYA MELINTASI ZAMAN
Pengertian dan Perkembangan Konsep Kriya
Pengertian Kriya
Kriya dalam konteks masa lampau dimaknai sebagai suatu karya seni yang unik
dan karakteristik yang di dalamnya mengandung muatan nilai estetik, simbolik,
filosofis dan fungsional serta ngrawit dalam pembuatannya. Adapun kriya dalam
konteks masa kini memberikan pengertian yang berbeda dari pemaknaan kriya
masa lampau. Perbedaan ini lahir karena adanya perbedaan motivasi yang
melatarbelakangi penciptaan karya-karya yang dihasilkan. Pergulatan serta
perjuangan pendukung kriya masa kini telah melahirkan karya-karya kriya dalam
wujud baru sesuai dengan konteks zamannya, karya-karya ini memberikan
pengertian dan pemahaman yang baru pula tentang pengertian atau batasan kriya.
Keberadaan kriya masa lampau telah memberikan andil yang luar biasa dalam
memenuhi kebutuhan artistic manusia pada zamannya. Karya-karya yang
dihadirkan kemudian menjadi obyek kajian (–kerena telah menjadi benda seni
budaya) di dalam melacak peradaban yang melingkupinya. Keris misalnya, ia tidak
diciptakan semata-mata sebagai alat perang atau senjata pelindung pemiliknya
melainkan, ia diciptakan dengan material pilihan dengan prosesi yang berbalut
mistis atau magis sekaligus mengandung nilai-nilai filosofis dari kandungan
budaya masyarakatnya. Oleh karena itu, kriya masa lampau sebagian sering
disebut sebagai karya-karya kriya adiluhung yang mencerminkan, keunikan,
keindahan, keagungan atau kebesaran budaya masa lampau.
Adapun kriya masa kini, merupakan hasil kreasi generasi yangyang “dimodifikasi”
dalam berbagai variasi dengan didasari oleh pikiran-pikiran yang tumbuh sebagai
gagasan personal yang diekspresikan dalam wujud karya seni personal maupun
gagasan yang sifatnya kolektif untuk kepentingan ekonomi komersial. Daya hidup
kriya yang luar biasa telah memberi peluang munculnya
pemikiran-pemikiran dan kreasi-kreasi baru yang beragam. Aktivitas kriya dalam
geliatnya merambah kewilayah “seni murni” dan melahirkan istilah kriya-seni,
yang kemudian dipertegas lagi dengan istilah kriya-ekspresi.
Kriya dalam konteks karya seni murni yang sekarang sering disebut dengan istilah
kriya-ekspresi, merupakan
imbas dari masuknya pengaruh seni rupa Barat ke dalam kriya Indonesia.
Sebagaimana telah dipahami bersama, dalam seni rupa Barat, penghargaan
ekspresi seni yang bersifat pribadi (personal) mendapatkan tempat terhormat dan
penghargaan yang tinggi. Terlebih jika karya yang diciptakan mampu memberikan
simpati bagi pemerhati, penikmat, dan pengamat dalam

berinteraksi dengan nilai-nilai yang menjadi “roh” dari karya tersebut sehingga
mengugah emosi menjadi empati.
Kriya terapan dalam konteks masa kini, yang paling pesat perkembangannya
adalah produk kriya fungsional (-praktis) yang dalam dunia perdagangan sering
disebut “kerajinan”. Produk kriya komersial ini tumbuh subur dan terus
dikembangkan, karena mampu menggerakkan ekonomi masyarakat dan bahkan
memberikan
ketahanan ekonomi ketika dilanda krisis yang berkepanjangan. Kesadaran akan
pentingnya kedudukan kriya dalam bidang pembangunan ekonomi khususnya dan
seni budaya pada umumnya telah lama disadari oleh pemerintah dengan
mendirikan banyak Balai Pelatihan Keterampilan (BLK), sekolah kejuruan SMIK
(sekarang SMK) di susul dengan SMP Ketrampilan. Dalam bentuk pendidikan
tinggi telah lama dibuka beberapa progran studi atau jurusan yang berlabel Seni
Kriya, Desain Cinderamata dan Desain Produk. Adapun untuk memacu-giatkan
ekonomi “Kerajinan”, pemerintah mendirikan Dewan Kerajinan Nasional
(DEKRANAS) yang berkedudukan di ibu kota Jakarta, kemudian disusul di
dirikan Dewan Kerajinan di daerah-daerah dengan nama DEKRANASDA
yang berfungsi memberikan pembinaan terkait dengan peningkatan kualias
produk, kemampuan produksi, dan promosi.
Kriya pada kenyataanya adalah sebuah istilah yang lebar dan kompleks
menyangkut banyak aspek yang melingkupinya. Dari aspek pendidikan misalnya,
pada aktifitas pendidikan awal yaitu pada jenjang pendidikan dasar TK dan SD,
kegiatan kriya dimulai dengan main-main yang bertujuan rekreasi dan
menghidupkan keterampilan anak agar dapat membuat sesuatu yang mereka
inginkan. Melalui segumpal tanah misalnya anak-anak akan membuat boneka atau
benda pakai yang mereka angankan. Pada jenjang yang lebih tinggi yakni Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SMP dan yang sederajat), anak-anak dilatih
keterampilan membuat suatu benda (bisa apa saja sesuai dengan SAP/KTSP)
dengan teknik yang diajarkan/dilatihkan. Pada jenjang yang lebih tinggi lagi, yaitu
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, seorang siswa diharapkan mampu memproduksi
atau mencipta karya yang lebih berkualitas dari segi teknik dan estetiknya.
Aktifitas kriya pada jenjang pendidikan TK, SD, SMP, SMU/SMK itu sering
menggunakan istilah Prakarya, Keterampilan, Kerajinan atau seni kerajinan.
Akan halnya dengan kriya di perguruan tinggi ataupun yang sederajat, dalam hal
ini perguruan tinggi yang secara khusus membuka program studi atau jurusan Seni
Kriya, Desain Produk, Pendidikan Seni Kerajinan dan Desain Cenderamata, maka
aktivitas kriya pada jenjang ini tidaklah sekedar penguasaan keterampilan
produksi, melainkan sudah pada tahapan kreasi, inovasi, bahkan invesi. Kriya pada
tahapan ini dapat menghasilkan karya kriya-seni baik berupa benda fungsional-
eksklusif (yang bermuatan ornamen atau estetika “tinggi”), dapat pula
menghasilkan karya kriya-seni murni yang disebut dengan kriya-ekpresi yakni
karya yang diciptakan atas dasar ekspresi individual atau personal yang memang
bertujuan untuk kepuasan pribadi dalam upaya memperoleh prestise kesenimanan;
dan yang terakhir kriya dapat berupa “produk kerajinan” (kriya-kerajinan), dalam
tahapan ini kriya adalah berupa benda-benda yang memang diproduksi guna
pemenuhan kebutuhan masyarakat luas yakni sebagai benda yang diproduksi masal
dengan muatan citra etnik maupun kehandalan teknik “kekriyaan” (craftmenship)
yang tinggi. Berdasarkan kenyataan yang ada, baik dari segi wacana maupun segi
praksisnya dapat diambil kesimpulan bahwa istilah kriya sebagaimana telah
disebutkan di atas adalah istilah yang lebar dan umum yang mempunyai banyak
istilah turunan, yang istilah itu dapat dituliskan secara berderet sebagai berikut:
Seni kriya/ kriya-seni, disain kriya/ kriya disain, kriya produk, kriya teknik, kriya-
terapan, kriya-hias, kriya-ekspresi, kriya-kontemporer, kriya-cinderamata/souvenir
dan lain sebagainya. Jika dikaji dan dicermati istilah-istilah diseputar kriya
berdasarkan wacana dan praksisnya, maka substansi kriya dapat dikelompokan ke
dalam tiga gugus berdasarkan wilayah kerjanya.
Ketiga gugus kriya itu ialah: Kriya- seni, Kriya-disain, dan Kriya-kerajinan.
Secara ringkas ketiga gugus tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1). Kriya-seni adalah bidang kekriyaan yang wilayah kerjanya menekankan
penciptaan karya-karya untuk kepentingan ekspresi yang bersifat personal dengan
berlandaskan pada pemanfaatan unsur-unsur tradisi yang ada pada kriya,
2). Kriya- disain adalah bidang kekriyaan yang wilayah kerjanya menekankan
penciptaan karya-karya untuk pemenuhan (pelayanan) kebutuhan masal yang
produknya merupakan hasil perpaduan dari pemanfaatan unsur- unsur tradisi yang
ada pada kriya dengan dilandasi adaptasi prinsip- prinsip perancangan (desain),
3). Kriya-kerajinan adalah bidang kekriyaan yang wilayah kerjanya menekankan
penguasaan keterampilan teknik untuk kepentingan produksi dan reproduksi
benda-benda kriya.
Melalui karya-karya yang dihasilkan, Kriya masa kini dapat didefinisikan sebagai
berikut; kriya adalah suatu ranting atau cabang seni yang menghasilkan benda-
benda yang dibuat dengan bantuan alat sederhana maupun mesin yang
pembuatannya mengandalkan bahan natural maupun buatan dan bertumpu pada
keterampilan tangan dengan muatan nilai (estetika) etnik budaya Nusantara
(Indonesia).
Dalam kenyataanya kriya dalam pengertian luas bisa berupa apa saja, berada
dimana saja, dan digunakan oleh siapa saja, serta untuk kepentingan apa saja.
Pengertian kriya dapat berupa apa saja adalah menyangkut: Materialnya yakni:
tanah liat (keramik), kayu, kulit, tekstil, logam, batu, dan lain sebagainya.
Pengertian kriya dapat berada dimana saja adalah menyangkut: Tempat
atau penerapannya: di rumah, di hotel, di kantor, di ruang-ruang publik lainnya
(berupa: berbagai perabot, elemen estetik interior, peralatan rumah tangga atau
restoran, dan lain sebagainya).
Pengertian kriya dapat digunakan oleh siapa saja ialah: Kriya dapat digunakan
sesuai dengan perencanaan peruntukan produk itu diciptakan, sasarannya bisa
anak-anak, remaja, dewasa, orang tua baik laki-laki maupun perempuan.
Pengertian kriya dapat digunakan untuk kepentingan apa saja ialah menyangkut:
(1). Tujuan praktis produk itu diciptakan misalnya: untuk perhiasan, pakaian atau
peralatan yang digunakan. (2). Tujuan estetik, misalnya: untuk ekspresi pribadi,
simbol status, pajangan atau “klangenan”. (3) Tujuan sosial misalnya: sebagai
hadiah, oleh-oleh atau cinderamata wisata. (4) Tujuan bisnis perdagangan yakni
kepentingan ekonomi rumah tangga, ekonomi masyarakat secara luas maupun
ekonomi negara. (5) Tujuan pendidikan yakni memberikan bekal kemampuan
ketrampilan produksi, reproduksi, mencipta, mengelola (managerial), memasarkan
dan apresiasi sesuai dengan tingkat atau jenjang pendidikan yang ditempuh.

Perbedaan antara Kriya dan Kerajinan Masa Lampau


Masyarakat Jawa dalam sejarahnya memiliki dualisme budaya.
Dualisme yang dimaksud adalah:
1. Budaya Agung dalam tradisi besar berkembang dalam lingkungan tembok
kraton, di kalangan bangsawan atau golongan elit masyarakat feodal agraris.
2. Budaya Alit dalam tradisi kecil berkembang di luar tembok keraton, di
kalangan masyarakat pedesaan atau kawula alit.

Dari kedua tradisi ini bisa dipastikan adanya garis pemisah yang membelah antara
keduanya menyangkut pola hidup dengan tata aturannya. Keterbelahan itu bukan
berarti pertentangan, melainkan berupa pola keselarasan dan keseimbangan yang
menjadi keharusan antara yang memimpin dan yang dipimpin, sebagai suatu
kewajaran dalam budaya Jawa seperti yang tersirat dalam konsep hubungan
kawula gusti dan kawula alit. (Kuntowijoyo, 1987: 68-72).
Dari dalam tembok kraton dikenal istilah kriya. Praktik kriya ditujukan untuk
produksi artefak fungsional, serimonial, dan spiritual, menjunjung nilai-nilai
simbolis kedudukan istana yang menjadi pusat pemerintahan tanah Jawa. Seniman
kriya dimasa lalu memiliki kedudukan yang tinggi dengan gelar empu. Hasil karya
para empu ini pada akhirnya melahirkan seni klasik Jawa yang dianggap
mempunyai nilai tinggi (adiluhung) (Asmujo, 2000: 260). Adapun produksi artefak
pada masyarakat kecil diluar lingkungan tembok kraton oleh Gustami Sp. (1991:
99 – 100) disebut sebagai kerajinan, seperti pembuat cangkul, golok,

cobek, besek, dan lain-lain, yang dalam pembuatannya lebih mementingkan segi
kegunaan atau kepraktisan saja. Dari kedua hal yang dikemukakan ini, kiranya
dapat dijadikan pembanding, bahwa ada perbedaan antara kriya dengan kerajinan.
Adanya perbedaan hirarkis antara produksi artefak di istana dan kehidupan rakyat
bawah merupakan kenyataan sejarah. Tetapi, cukup meraguhkan mengenai
pengunaan istilah „kerajinan‟ di masa lalu, mengingat istilah tersebut baru populer
digunakan setelah masa kemerdekaan dan tidak hadir dalam khazanah bahasa Jawa
lama. Istilah kerajinan tampaknya masih perlu dikaji. Sejak kapan istilah itu
digunakan. Dan, apa benar untuk menamai hasil-hasil pekerjaan tangan pada
periode yang sezaman dengan munculnya istilah kriya menggunakan istilah
kerajinan. Jawaban untuk ini kiranya memerlukan kajian yang dalam.
Berikut ini merupakan salah satu upaya untuk mendekati persoalan (kelahiran)
istilah kerajinan mudah-mudahan dapat memberikan kejelasan yang memadai bagi
keberadaannya. Istilah kerajinan lahir dan terangkat kepermukaan sebenarnya
ditandai dengan adanya perubahan yang terjadi pada zaman penjajahan Belanda,
yaitu sejak bergesernya nilai-nilai kehidupan masyarakat dan pergeseran nilai
budaya bangsa yang menyeret keberadaan kriya menjadi bagian dari kegiatan
ekonomi, sehingga keberadaan kriya dikesampingkan dari kepentingan adat dan
kepercayaan. Kenyataaan ini dibuktikan dengan munculnya „perusahaan- perusaan
seni‟ yang dimungkinkan – salah satunya - bertujuan untuk menyiasati adanya
trend perburuan benda-benda seni budaya pada waktu itu.
Perkataan „perusahaan seni‟ dalam bahasa Belanda kunstnijverheid sangat boleh
jadi kunstnijverheid inilah asal mula istilah kerajinan, masalahnya lawan
kemalasan itu kebetulan saja ijver (hampir seperti nijver!) alias kerajinan. Jadi,
kesibukan yang namanya nijverheid itu dianggap kerajinan saja. Dan, barang hasil
kegiatan ini adalah kerajinan (Sudjoko, 1991: 5).

Melalui keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa munculnya istilah kerajinan


berhubungan dengan kegiatan produksi dan/atau reproduksi benda-benda seni yang
kegiatannya itu berlandaskan kepentingan ekonomi komersial. Jadi, simpulan lebih
lanjut dapat dikemukakakan: kriya berbeda dengan kerajinan, terutama
menyangkut motivasi yang melatar belakangi pembuatan karya-karyanya.

Perkembangan Kriya
Kebudayaan modern yang ditandai dengan gerakan industrialisasi disegala bidang
tidak terbantah lagi kehadirannya memikul nilai-nilai baru dan melahirkan pranata
baru bagi masyarakat pendukungnya. Modernisasi dengan dampak logisnya
memberikan perubahan pola dan perilaku yang sudah lama kukuh pada tradisi yang
mapan. Perubahan nilai-nilai ini pada akhirnya ikut pula mementukan arah
perkembangan kesenian khususnya kriya.

1. Pelestarian Seni Kriya


Pelestarian diamaksud ialah mempertahankan keberadaan seni kriya masa lampau
dalam bentuk teoritis maupun praktis, dengan cara menyerap pengetahuan seni
kriya yang tersebar diberbagai daerah, melalui studi pustaka dan/atau studi
lapangan ke daerah yang menjadi sumber kajian, sedangkan dalam bentuk
praktisnya biasa dilakukan dalam bentuk praktik dasar guna penguasaan teknik
pembuatan karya-karya seni kriya masa lampau. Dengan demikian, pada tahapan
berikutnya para calon kriyawan mampu menjadi pelestari seni kriya masa lampau.
Penyerapan pengetahuan dan keterampilan teknis masa lampau itu tentu saja tidak
seluruhnya dilakukan oleh para calon kriyawan, melainkan mengarah pada
pemilihan bidang masing-masing yang mereka minati, mengingat bahwa kriya itu
memiliki banyak bidang yang menjadi lahan garapan. Kelanjutan dari tahapan itu
para calon kriyawan diharapkan mampu mengembangkan seni kriya dalam
kekriyaannya.

2. Pengembangan Seni Kriya


Pengembangan ini memiliki dua mata arah yang berbeda yaitu: pengembangan
dalam bentuk penciptaan benda-benda fungsional (baik fungsional praktis maupun
fungsional non praktis) dan pengembangan berupa penciptaan karya-karya kriya-
ekpresi.

a. Pengembangan Seni Kriya dalam Penciptaan Benda-benda Fungsional


Penciptaan-benda-benda fungsional praktis bertujuan menciptakan karya-karya
fungsional yang memiliki bobot seni yang menyatu pada karya yang dihasilkan.
Oleh karena itu, dalam penciptaan karya, masalah ornamentasi bukan hanya
sekedar tempelan, melainkan memerlukan kreativitas di dalam mengompromikan
antara kemampuan ornamentasi yang tinggi dan kreasi bentuk yang dikaitkan
dengan prisnsip-prinsip desain fungsional yang comportable. Pengembangan ini
terarah pada pemanfaatan seni-seni ornamen primitif, tradisional, dan klasik
(dengan tidak mengesampingkan landasan filosofisnya), diolah dan dihadirkan
secara harmonis atau artistik dalam wujud keseluruhannya. Adapun mengenai
penciptaan benda-benda fungsional non praktis pada intinya sama dengan
penciptaan benda-benda fungsional praktis hanya saja yang satu memakai
pertimbangan-pertimbangan kegunaan langsung secara fisik, sedangkan yang satu
lagi memakai pertimbangan- pertimbangan yang lain sesuai dengan pengertiannya.

b. Pengembangan seni kriya dalam penciptaan karya-karya kriya- ekspresi


Seiring dengan perkembangan zaman ternyata cita-cita seni manusia ikut
berkembang pula. Jika pada masa lampau manusia menciptakan karya-karya seni
kriya yang didasari oleh keahlian seni untuk tujuan tertentu, maka manusia kinipun
bermaksud menciptakan karya- karya seni yang sesuai dengan semangat zamannya
yaitu seni yang berdiri sendiri dengan tujuan untuk kepuasan pribadi. Motivasi
inilah yang melatar belakangi arah pengembangan dan perkembangan seni kriya
dalam menghadirkan karya-karya kriya-ekspresi. Pengembangan dalam bidang ini
memiliki keleluasaan atau kebebasan sejalan dengan kemampuan yang kreatif-
inovatif dan kekuatan atau kedalaman ekspresi dari masing-masing calon
kriyawan. Adapun mengenai media yang digunakan kebanyakan jatuh pada pilihan
bahan yang umumnya sudah dikenal, sepanjang ada kesesuaian dengan teknik yang
dikuasai atau disukai. Karya-karya kriya yang berorientasi pada prestasi
kesenimanan kehadirannya dapat disaksikan melalui pameran-pameran yang sering
digelar. Untuk menamai karya-karya kriya yang lepas dari segi fungsi alias karya-
karya seni murni ini disebut dengan karya kriya seni yang istilah ini secara nyata
dimunculkan pada Festival Kesenian Yogyakarta ke III (FKY III), tepatnya pada
tahun 1991.

3. Pengembangan Kriya Produk/ Kerajinan-Kriya


Pada pembicaran terdahulu telah dikemukakan bahwa munculnya istilah kerajinan
dilatar belakangi oleh kepentingan ekonomi komersial. Oleh karena itu, produk-
produk kerajinan ini tidak lebih merupakan pemenuh kebutuhan pasar.
Di masa lalu (pada masa penjajahan Belanda), kegiatan seni yang berorientasi pada
kepentingan ekonomi banyak melakukan reproduksi benda-benda seni kriya
(lampau). Oleh karena itu, kegiatan itu tidak lebih merupakan kegiatan imitatif.
Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan dalam kegiatan reproduksi itu dilakukan
juga usaha-usaha memodifikasi atau kombinasi dalam produknya.
Di masa pembangunan sekarang ini ekonomi semakin berperan, maka kerajinan
dipandang sebagai aset yang menguntungkan untuk dikembangkan. Dengan kata
lain kerajinan memiliki potensi ekonomi

dalam perdagangan internasional dan dunia pariwisata. Oleh karena itu, kegiatan
kerajinan ini digalakkan dan diharapkan mampu meningkatkan devisa negara,
sekaligus dapat memperluas lapangan kerja dan dapat meningkatkan pendapatan
serta kesejahteraan perajinnya. Pengembangan dalam bidang kerajinan ini berupa
penciptaan desain- desain baru dengan muatan warna etnik citra seni ke-
Indonesian, namun dengan pertimbangan selera pasar.
Konsep Kriya pada saat ini
Kriya dalam konteks masa lampau dimaknai sebagai suatu karya seni yang unik
dan karakteristik yang di dalamnya terkandung muatan estetik, simbolik, filosofis,
dan fungsional serta ngrawit dalam pembuatannya (Gustami Sp., 1992: 71).
Adapun kriya dalam konteks masa kini memberikan pengertian yang berbeda dari
pemaknaan kriya masa lampau. Perbedaan ini lahir karena adanya perbedaan
motivasi yang melatar belakngi lahirnya kembali istilah kriya. Berkenaan dengan
itu dapat dikutipkan pandangan Asmujo (2000: 262) sebagai berikut:
Bisa diasumsikan bahwa istilah „kriya‟ mengalami transformasi pengertian,
mengingat pengertian art juga mengalami transformasi pengertian yang cukup jauh
dari pengertiannya yang lama. Istilah art dalam bahasa Inggris merupakan turunan
dari istilah ars dalam bahasa latin yang memilki pengertian sama dengan techne
dalam bahasa Yunani, artinya kurang lebih sama dengan pengertian craft atau skill
saat ini dalam bahasa Inggris.

transformasi pengertian kriya adalah suatu hal yang perlu disikapi dengan wajar,
karena sebuah istilah pada waktu yang berbeda, tempat yang berbeda, dan konteks
yang berbeda maknanya bisa berlainan. Hal itu sering terjadi dan diterima sebagai
sesuatu yang „wajar‟. Persoalan yang mungkin timbul terletak pada kemauan sikap
(keberterimaan) membangun konvesi melalui kesepahaman para pihak yang
berkompeten pada dunia seni (rupa).

Adalah suatu kenyataan bahwa pada saat ini kriya masih menjadi ajang perebutan
untuk dimasukan pada wilayah seni atau desain. Berkaitan dengan itu, Nugroho
(1999: 4) mengatakan sebagai berikut:
Bidang ilmu kriya, jika diurai dari akar keilmuaanya, masih terus menjadi
perdebatan sengit diantara kalangan praktisi dan akademisi di bidang seni rupa.
Bidang kriya telah menjadi ajang perebutan antara masuk ke dalam disiplin ilmu
seni atau ilmu desain.
Sesungguhnya kriya berada dan mencakup kedua disiplin ilmu tadi, seni dan
desain, sehingga memungkinkan muncul dua istilah seperti: kriya seni dan kriya
desain, atau seni kriya dan desain kriya. Pada kenyataannya kriya memilki
fleksibilas yang tinggi, berada pada posisi diantara wilayah seni dan desain.
Kondisi ini menyadarkan kita bahwa seharusnya tidak ada definisi yang kaku
dalam pengelompokan kriya, karena hal itu tergantung diwilayah mana secara
esensial kriya itu sendiri beraktifitas (Nugroho, 1999: 5).
Sebagaimana diketahui penciptaan karya-karya kriya masa lampau dimotivasi
antara lain oleh kepentingan ritual magis dan simbol status patrimonial. Sedang
kriya masa kini (khususnya untuk pendidikan tinggi di Yogyakarta) dimotivasi
oleh prestasi kesenimanan. Akibat dari perbedaan itu, maka kekriyaan masa
lampau dan kekriyaan masa kini melahirkan perbedaan pula dalam wujud hasil-
hasil karyanya.
Kriya masa kini melahirkan karya-karya seni yang dapat digolongkan kedalam dua
kategori, yaitu karya-karya seni fungsional tergolong dalan karya seni terapan dan
karya-karya seni kriya yang pembuatannya lepas dari segi fungsi tergolong dalam
kategori seni murni. Akan tetapi, kedua-duanya bertolak dari landasan yang sama
yaitu pemanfaatan unsur-unsur tradisi dalam penciptaan karya-karyanya.
Kekriyaan masa kini yang berorientasi pada prestasi kesenimanan, dalam bentuk
karya fungsional telah banyak dibuktikan dengan hadirnya karya-karya yang
kreatif-inovatif dan khas dari masing-masing pribadi penciptanya. Sedangkan
dalam bentuk karya seni murni (kriya seni/kriya-

ekspresi) dibuktikan dengan hadirnya karya-karya seni yang memiliki kedalaman


nilai seni yang tercermin dari masing-masing karya yang dihasilkan. Boleh
dikatakan pembuatan karya-karya kriya itu merupakan cermin dari segenap
kemampuan kriyawan, karena esensi dari pembuatan karya-karyanya merupakan
pertaruhan nama di dalam mejaga pretise kesenimanan. Terkait dengan pernyataan
ini Hastanto (2000: 2) mengatakan bahwa:
Kelahiran kriya seni atau kriya kontemporer merupakan salah satu pengukuhan
seni kriya sebagai cabang seni rupa sebagai mana halnya dengan cabang seni rupa
lainnya, serta memberikan apresiasi kepada masyarakat untuk menerima kriya seni
sebagai proses kreatif dan ungkapan ekspresi estetik dalam bentuk yang khas dari
kriyawan.
Istilah kriya seni pada saat kemunculannya (1991) sesungguhnya dipahami sebagai
istilah untuk menamai karya-karya kriya yang pembuatannya lepas dari segi
fungsi. Dengan kata lain, karya-karya yang dinamai kriya seni adalah karya yang
dibuat untuk kepentingan ekspresi dengan tujuan prestasi kesenimanan.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya istilah inipun tidak digunakan secara
konsisten karena sering ditemukan karya-karya yang fungsional, meskipun
bermuatan seni (ornamentasi) tinggi, sering disertakan dalam pameran-pameran
yang berlabel kriya seni. Berkaitan dengan itu, kiranya perlu adanya sikap
konsisten dalam penggunaan istilah agar kategorisasi ( dalam batas-batas tertentu)
dapat dimengerti dengan jelas dan termaknai sesuai dengan pengertian yang
dikandungnya.
Istilah kerajinan sebagaimana telah diuraikan di depan, merupakan penamaan bagi
benda-benda yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang berorientasi pada
kepentingan ekonomi-komersial. Para pembuatnya ( baca: pekerja) disebut perajin
atau pengrajin. Pada perkembangan berikutnya, istilah kerajinan yang memakai
label seni (berbunyi seni kerajinan) lebih sering terdengar disamping istilah
kerajinan itu sendiri.

Adapun istilah seni yang disertakan di depan istilah kerajinan bisa dipastikan
keberadaannya merupakan penjelas yang mensifati hasil-hasil bendanya yang pada
kenyataannya memang mengandung nilai seni (- hias).
Istilah kerajinan maupun istilah seni kerajinan sekarang sudah banyak
ditinggalkan. Dengan kata lain, istilah kerajinan atau seni kerajinan mulai dihindari
dan digantikan dengan istilah kriya atau seni kriya. Kata kerajinan sesungguhnya
me-benda-kan kata sifat rajin yang diberi awalan ke dan akhiran an yang artinya
lawan dari kemalasan. Kata kerajinan mengandung makna kegiatan (atau aktivitas)
yang dilakukan berulang-ulang. Oleh karena itu, kata kerajinan dalam konteks
kekriyaan tampaknya masih “dapat” digunakan apabila hendak membangun
peristilahan dalam dunia kriya. Sesuai dengan sifat kata kerajinan, maka segala
aktifitas kriya yang berhubungan dengan produksi atau reproduksi benda-benda
kriya dapat menggunakan istilah kerajinan-kriya. Istilah lain yang juga dapat
dimunculkan ialah „industri‟ kerajinan-kriya yang pada hakekatnya lebih
mempertegas arah kegiatan produksinya („skala besar‟) yaitu bertujuan
menghasilkan produk-produk sesuai selera pasar (sering- sering berupa pesanan),
dalam jumlah yang banyak atau sebanyak- banyaknya, dalam waktu yang relatif
singkat atau dengan target terjadwal dan dapat segera dikonsumsi oleh pasar serta
segera mendapatkan keuntungan. Para pekerja dalam lingkup ini dapat disebut
perajin atau pengarajin sesuai dengan aktifitas yang motorik berulang-ulang yang
jauh dari persoalan kreativitas dan ekspresi.
Istilah kriya adalah istilah yang lebar dan umum. Istilah itu merupakan induk besar
dari kegiatan kekriyaan. Dari induk kriya ini kemudian muncul istilah turunan
yaitu: kriya seni, kriya ekspresi, kriya desain, kriya produk, kriya kontemporer dan
lain sebagainya. Adapun pelaku kriya biasa disebut kriyawan, pekriya, seniman
kriya dan sebagainya.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kelebihan
Buku Utama
 Bahasa yang digunakan dalam buku ini sangat mudah
dipahami.
 Cover buku ini sangat menarik,karena percampuran warnanya
yang sangat indah.
 Buku ini dapat dibaca oleh pembaca dari semua kalangan.
 Bahasa yang digunakan sangat sopan.
 Banyak terdapat gambar yang berwarna sehingga pembaca
mudah dipahami.
 Sistematika penulisan buku sudah bagus dan sangat rapi
 Ukuran huruf sudah bagus sehingga pembaca mudah

Anda mungkin juga menyukai