Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH KELOMPOK

EQUAL OPPORTUNITIES

Teori dan Proses Kebijakan Pendidikan


Dosen Pengampu : Dr. Wiwik Wijayanti, M. Pd

Disusun Oleh :
Diana Maulidiyah (22103251021)
Rini Maharani (22103251042)

PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Equal Opportunities" dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori dan Proses Kebijakan
Pendidikan. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang kesetaraan dalam
pendidikan bagi para pembaca dan juga penulis.
Penulis mengucapkan terimakasih Kepada Ibu Dr. Wiwik Wijayanti, M. Pd selaku Dosen
Teori Perencanaan dan Kebijakan Pendidikan. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada
semua pihak yabg telah membantu diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Yogyakarta, September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR...................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1
1.1. Latar Belakang...................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..............................................................................................................2
1.3. Tujuan................................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................4
2.1 Struktur Konsep Equal Opportunities...............................................................................4
2.2 Nilai dan Equal Opportunities dalam Pendidikan.............................................................6
2.3 Kesetaraan Kesempatan Melalui dan Untuk Pendidikan..................................................8
2.4 Cakupan dan Equal Opportunities dalam Pendidikan.......................................................9
2.5 Kesetaraan dalam Pendidikan..........................................................................................13
2.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Rendahnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan Di
Indonesia..........................................................................................................................15
2.7 Kebijakan Pemerintah terkait Pemerataan Pendidikan....................................................15
2.8 Peraturan Perundang-Undangan dan Kesempatan Pendidikan.......................................18
BAB III PENUTUP......................................................................................................................19
3.1 Kesimpulan......................................................................................................................19
3.2 Saran................................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pendidikan dalam suatu bangsa memegang peranan yang sangat penting.
Perkembangan dan kemajuan sumber daya manusia pada suatu negara sangat
bergantung pada hasil pendidikan dari bangsa yang bersangkutan. Jika
pendidikannya lemah, akan lemah dan tertinggal juga sumber daya manusia pada
negara itu. Pendidikan dapat mengarahkan perjalanan hidup suatu bangsa.
Pendidikan adalah cara yang mendasar dalam perkembangan dan reformasi sosial
Gagasan bahwa harus ada kesetaraan kesempatan dalam pendidikan, di
mana setiap orang memiliki akses yang adil dan setara terhadap pendidikan yang
berkualitas baik tanpa memandang latar belakang sosial, ras, jenis kelamin atau
agama, dan di mana orang mencapai kesuksesan dalam pendidikan sesuai dengan
upaya dan kemampuannya, bebas dari segala bentuk diskriminasi, diabadikan
dalam beberapa Konvensi Internasional. Pasal 26 Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (Perserikatan Bangsa-Bangsa, 1948) menyatakan bahwa “everyone has
the right to education”, bahwa “education shall be free, at least in the elementary
or fundamental stages” dan bahwa “education shall be directed to the full
development of the human personality” (J.P. Keeves dan Ryo Watanabe, 2003).
Maksudnya bahwa setiap manusia mempunyai hak atas pendidikan, dan
pendidikan harus difasilitasi (gratis) minimal pada tingkat sekolah dasar, serta
pendidikan harus diarahkan untuk perkembangan penuh dari kepribadian
manusia.
Pemerataan pendidikan mencakup dua aspek penting yaitu “Equality” dan
“Equity”. Equality (Persamaan) mengandung arti persamaan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan. Sedangkan Equity bermakna keadilan dalam
memperoleh kesempatan pendidikan yang sama diantara berbagai kelompok
dalam masyarakat. Akses terhadap pendidikan yang merata berarti semua

1
penduduk usia sekolah telah memperoleh kesempatan pendidikan, sementara itu
akses terhadap pendidikan telah adil jika antar kelompok bisa menikmati
pendidikan secara sama. Menurut Coleman dalam bukunya “Equality of
educational opportunity” mengemukakan secara konsepsional konsep pemerataan
ada 2 yaitu pemerataan aktif dan pemerataan pasif. Pemerataan pasif adalah
pemerataan yang lebih menekankan pada kesamaan memperoleh kesempatan
untuk mendaftar di sekolah, sedangkan pemerataan aktif bermakna kesamaan
dalam memberi kesempatan kepada siswa-siswi agar memperoleh hasil belajar
setinggi-tingginya (Baskara, 2010). Berdasarkan konsep ini pemerataan
pendidikan berarti mempunyai makna yang luas dan tidak hanya persamaan
dalam memperoleh kesempatan pendidikan, tapi juga setelah menjadi siswa-siswi
harus diperlakukan sama guna memperoleh pendidikan dan mengembangkan
potensi yang dimilikinya untuk dapat berwujud secara optimal.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana struktur konsep equal opportunities?
1.2.2 Bagaimana nilai dan equal opportunities dalam pendidikan?
1.2.3 Bagaimana kesetaraan kesempatan melalui dan untuk pendidikan?
1.2.4 Bagaimana cakupan dan equal opportunities dalam pendidikan?
1.2.5 Bagaimana kesetaraan dalam Pendidikan?
1.2.6 Bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya pemerataan
kesempatan pendidikan di Indonesia?
1.2.7 Bagaimana kebijakan pemerintah terkait pemerataan pendidikan?
1.2.8 Bagaimana kebijakan pemerintah terkait pemerataan pendidikan?

1.3. Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui struktur konsep equal opportunities.
1.3.2 Untuk mengetahui nilai dan equal opportunities dalam pendidikan.
1.3.3 Untuk mengetahui kesetaraan kesempatan melalui dan untuk pendidikan.

2
1.3.4 Untuk mengetahui cakupan dan equal opportunities dalam pendidikan.
1.3.5 Untuk mengetahui kesetaraan dalam Pendidikan.
1.3.6 Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya
pemerataan kesempatan pendidikan di Indonesia.
1.3.7 Untuk mengetahui Bagaimana kebijakan pemerintah terkait pemerataan
pendidikan.
1.3.8 Untuk mengetahui kebijakan pemerintah terkait pemerataan pendidikan?

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Struktur Konsep Equal Opportunities


Menurut Peter Westen (1995) konsep equal opportunities terdiri dari
empat elemen yang berbeda, yaitu sebagai berikut.
1. Pola distributif yaitu persamaan.
2. Deskripsi subjek diantara siapa pola itu harus dipegang, seperti semua
anggota daerah tertentu atau seluruh warga negara.
3. Objek distributif yang menjadi fokus pola, seperti pekerjaan, sumber daya,
atau kesejahteraan.
4. Uraian tentang hambatan untuk mencapai objek yang seharusnya tidak ada
atau disamakan sebagai hambatan, seperti kekayaan, kekuatan fisik atau
warna kulit.

Masing-masing elemen di atas merupakan bagian penting dari konsep


equal opportunities; tanpa satu elemenpun, konsep yang dijelaskan tidak akan
menjadi konsep equal opportunities. Jika seseorang berharap untuk beralih dari
konsep abstrak ke konsepsi tertentu tentang equal opportunities, ia harus
memberikan penjelasan khusus tentang elemen-elemen yang menyusun konsepsi
tersebut. Artinya, seseorang harus menggambarkan siapa subjek konsepsi,
hambatan mana yang relevan dengan peluang dan barang mana yang merupakan
objek peluang.

Dalam pandangan ini, mengatakan bahwa sekelompok individu tertentu


harus memiliki equal opportunities yang berarti serangkaian hambatan tertentu
tidak diizinkan menjadi pembanding pencapaian individu dari beberapa objek.
Ini tidak berarti bahwa semua hambatan yang dihadapi individu untuk mencapai
objek harus sama. Hal ini sesuai dengan pernyataan biasa mengenai persamaan
kesempatan. Misalnya, ketika kita menanyakan apakah equal opportunities

4
berlaku diantara beberapa kelompok kandidat pekerjaan, kita biasanya
mengharuskan kandidat disaring tanpa mengacu pada karakteristik tertentu
seperti suku atau jenis kelamin. Dengan demikian, pada konsepsi yang diberikan,
suku dan jenis kelamin tidak boleh menjadi penghalang yang membedakan
diantara kandidat untuk mendapatkan equal opportunities dan eksis. Demikian
pula, ketika kita menanyakan apakah equal opportunities berlaku antara atlet
dalam lari cepat 100 m, biasanya mengharuskan setiap atlet hanya menggunakan
jenis pakaian olahraga tertentu, tidak menggunakan obat peningkat performa, dan
sebagainya. Di sini, obat-obatan dan pakaian olahraga yang sangat
menguntungkan diidentifikasi sebagai hambatan yang tidak boleh membedakan
antara kandidat, dan kami akan mengatakan bahwa equal opportunities ada
meskipun beberapa pelari jauh lebih cepat daripada yang lain. Dalam kedua
kasus tersebut, dan dalam bahasa sehari-hari pada umumnya, kesetaraan
kesempatan tidak perlu mengharuskan setiap anggota kelompok subjek untuk
benar-benar dapat atau memiliki peluang yang sama untuk mencapai objek
(Lazenby, 2016)

Selanjutnya konsep kesetaraan kesempatan atau kesempatan yang sama


(equal opportunities) menjadi rumit karena memerlukan asumsi politik. Hal ini
dikatakan oleh Rees, dia mengatakan bahwa “Equal opportunity has proved to
be an enormously• difficult• objective to define, let alone deliver”. Telah
dikatakan bahwa “…unequal regimes represent interrelated practices,
processes, actions and meanings that result in maintaining class, gender and
racial inequalities within particular organizations” (Acker, 2006). Maksudnya
untuk mewujudkan keserataan kesempatan menjadi sangat sulit karena keadaan
rezim yang ada tidaklah sama dalam hal praktik, proses, tindakan, dan makna
sehingga masing-masing rezim mempertahankan ketidakserataan kelas, gender,
dan ras dalam organisasi tertentu. Adapun definisi keserataan kesempatan secara
ringkas yaitu: “Equal opportunity is an ideal state in which everyone has the

5
same chance to participate and succeed in any aspect of their work and lives”
atau ”Keserataan kesempatan adalah keadaan ideal di mana setiap orang
memiliki kesamaan hak untuk berpartisipasi dan berhasil dalam setiap aspek
pekerjaan dan kehidupan mereka” (Karsten Jonsen, Joerg Dietz, dan Mustafa F
Ozbilgin, 2015).
Berdasarkan dari beberapa konsep para ahli diatas dapat kita simpulkan
sekaligus koreksi dan memberi pemikiran tambahan, yaitu selain memberikan
penjelasan mengenai tentang siapa subjek dan apa hambatan dan objek yang
relevan, kita juga harus memberikan penjelasan tentang nilai yang mendasari
konsepsi kita tentang equal opportunities. Dan juga, equal opportunities
biasanya mengacu pada keadilan dan ketidakberpihakan. Dengan kata lain, suatu
negara harus memperlakukan semua warganya secara setara. Menurut definisi
OECD (2007), equality of opportunity is equal attitude and equal behaviour of
the State to all its citizens, regardless of gender, socio-economic status and
ethnicity. Maksudnya bentuk persamaan kesempatan dalam pendidikan
dimaksudkan bahwa semua individu yang tinggal di dalam batas-batas negara
suatu bangsa memiliki hak atas akses yang sama kepada layanan pendidikan
yang paling tepat dan dapat mengembangkan kemampuan serta keterampilannya
tanpa terkena diskriminasi. Persamaan kesempatan dalam pendidikan
dipengaruhi oleh ekonomi, geografis, sosial, politik dan faktor individu
(Mammadov, 2018).

2.2 Nilai dan Equal Opportunities dalam Pendidikan


Terdapat dua kategori nilai yang luas dapat membedakan nilai-nilai yang
dapat menginformasikan kepedulian kita terhadap equal opportunities dalam
pendidikan. yaitu sebagai berikut.
1. Nilai-nilai yang berkaitan dengan kebaikan. Kategori ini berpotensi sangat
luas (seluas jumlah cara sesuatu bisa menjadi baik), termasuk kesejahteraan,
pengetahuan, dan lain sebagainya. Perhatikan contoh berikut tentang

6
bagaimana kebijakan tindakan afirmatif dapat dipertahankan (atau ditentang)
dengan mengacu pada nilai yang tidak berkaitan dengan kebaikan.
Kemendiknas, Kemenag dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan &
Perlindungan Anak (KPPA) mengkoordinasikan kebijakan dan strategi yang
terfokus pada penghapusan disparitas rasio gender untuk indikator
pendidikan pada semua jenjang pendidikan di tingkat propinsi dan
kabupaten/kota, serta memperkuat pelaksanaan pengarusutamaan gender di
semua tingkatan di bidang pendidikan (Kemenpppa, 2011).
2. Nilai-nilai yang tidak berkaitan dengan kebaikan (cakupannya luas),
Mencakup nilai-nilai seperti keadilan, legitimasi dan persetujuan. Biasanya,
nilai-nilai ini dilihat sebagai kendala tentang bagaimana kita dapat mengejar
kebaikan. Seperti sebelumnya, tidak semua nilai-nilai ini mungkin secara
masuk akal menginformasikan keprihatinan akan equal opportunities dalam
pendidikan. Tapi beberapa melakukannya. Perhatikan contoh berikut tentang
bagaimana kebijakan tindakan afirmatif dapat dipertahankan (atau ditentang)
dengan mengacu pada nilai yang tidak berkaitan dengan kebaikan.
Kemendiknas ataupun pemerintah lainnya menghadapi permasalahan
terhadap tradisi pendidikan yang ada dibeberapa daerah, yaitu anak
perempuan tidak boleh keluar daerah karena jadi hina karena dipandang tidak
murni lagi, anak perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi karena akan
akan mengurusi rumah tangga setelah menikah, masih banyak yang
menginginkan anak perempuan menikah muda, dan sebagainya (Lazenby,
2016).
Dalam hanya satu konsepsi yang berharga atau setidaknya bahwa
hanya satu yang dapat dipilih. Tetapi tidak serta merta benar bahwa hanya
ada satu nilai yang harus menginformasikan konsepsi akhir tentang
kesetaraan kesempatan yang kita pilih. Konsepsi yang benar mungkin
merupakan kompromi antara lebih dari satu nilai, dan bahkan jika tidak, kita
akan memiliki dialog yang lebih konstruktif dengan lawan-lawan kita jika

7
kita mengenali nilai-nilai mendasar yang diajukan oleh orang-orang dengan
pandangan berbeda.

2.3 Kesetaraan Kesempatan Melalui dan Untuk Pendidikan


Adapun hubungan antara “pendidikan” dengan “equal opportunities”
terdapat dua cara berbeda untuk yang menghubungkan keduanya sebagai berikut.
1. Pendidikan dapat menjadi kendaraan untuk mewujudkan beberapa konsepsi
yang lebih umum tentang equal opportunities. Pada pandangan ini, langkah
pertama adalah mengidentifikasi konsepsi umum tentang equal opportunities
yang didukung oleh beberapa nilai, lalu kemudian menentukan bagaimana
pendidikan harus digunakan untuk mencapai konsepsi tersebut. Misalnya,
jika konsepsi equal opportunities mensyaratkan bahwa setiap individu harus
memiliki sarana yang sama untuk kehidupan yang baik dengan perbedaan
dalam cara mereka menjalani hanya bergantung pada bakat alami dan pilihan
untuk mengeluarkan usaha, sistem pendidikan kemudian dapat digunakan
untuk memberikan perbaikan. Kesetaraan kesempatan dalam pendidikan akan
tercapai sepanjang sistem pendidikan berfungsi untuk mewujudkan konsepsi
persamaan kesempatan yang lebih umum. Orang mungkin menyebut jenis
pandangan ini “equal opportunities melalui pendidikan”.
2. Kedua, konsepsi kesetaraan kesempatan dapat diterapkan secara langsung
pada pendidikan itu sendiri. Pandangan ini tidak melihat pendidikan semata-
mata sebagai kendaraan melainkan sistem pendidikan dan orang-orang di
dalamnya yang menjadi perhatian utama persamaan kesempatan. Ciri khas
dari pandangan ini tidak mengacu pada konsepsi yang lebih umum tentang
equal opportunities. Misalnya, konsepsi equal opportunities dalam
pendidikan mungkin mengharuskan barang didistribusikan secara merata di
sekolah dan ujian disusun untuk memberi penghargaan kepada yang paling
mampu, terlepas dari bagaimana hal ini memengaruhi konsepsi yang lebih

8
umum tentang kesetaraan peluang. Orang mungkin menyebut jenis
pandangan ini “equal opportunities untuk pendidikan”.

(Lazenby, 2016).

Ada kecenderungan berpikir bahwa pemerataan kesempatan melalui


pendidikan harus menjadi pandangan yang benar. Lagi pula, ini tampaknya
paling sesuai dengan pemikiran menarik bahwa kehidupan seseorang, secara
keseluruhan yang merupakan unit dasar perhatian moral. Ada juga contoh sehari-
hari di mana kita tampaknya menghargai distribusi di dalam sekolah untuk
kepentingan mereka sendiri. Kebijakan bahwa setiap anak harus mengenakan
seragam sekolah. Masuk akal bahwa anak-anak harus mengenakan seragam
sekolah meskipun hal ini tidak berdampak pada seberapa jauh anak-anak ini
berhasil di luar sistem pendidikan. Kebijakan ini dapat dipertahankan dengan
alasan bahwa ia menampilkan status yang setara dengan anak-anak. Lebih jauh
lagi, alasan untuk berpikir bahwa pendidikan mungkin istimewa menjadi
semakin kuat ketika seseorang menganggap bahwa sekolah adalah satu-satunya
periode dalam kehidupan seseorang di mana negara memaksanya untuk
menjalani jenis pelatihan dan pendaftaran tertentu. Jika pemaksaan semacam ini
memiliki makna moral khusus, mungkin juga menghasilkan prinsip-prinsip moral
tertentu yang spesifik kontek (Lazenby, 2016).

2.4 Cakupan dan Equal Opportunities dalam Pendidikan


Perbedaan antara cakupan konsepsi equal opportunities yang berbeda dan
tugas yang mereka ciptakan sudah tidak asing lagi dalam praktik kita sehari-hari.
Bentuk contohnya yaitu anggaplah bahwa konsepsi tertentu tentang kesetaraan
kesempatan dalam pendidikan membutuhkan kesetaraan yang ketat dalam
alokasi sumber daya negara kepada siswa secara individu. Konsepsi ini didukung
oleh nilai keadilan. Menurut konsepsi ini, Andrew, seorang guru, akan bertindak
salah jika dia, sebagai agen negara, memberikan sumber daya tambahan kepada

9
siswa tertentu. Tapi Andrew mungkin juga orang tua. Konsepsi tersebut hanya
berlaku untuk apa yang mungkin dilakukan oleh negara dan hanya untuk apa
yang mungkin dilakukan Andrew ketika bertindak sebagai agen negara. Itu tidak
meluas kekehidupan pribadi Andrew. Secara pribadi, Andrew mungkin
mendukung penjelasan alternatif tentang nilai kesetaraan kesempatan dalam
pendidikan. Ketika bertindak sebagai orang tua, konsepsi yang disukainya dapat
menyebabkan dia menghabiskan lebih banyak sumber daya untuk beberapa anak
daripada yang lain. Di sini, ada dua konsepsi kesetaraan kesempatan dalam
pendidikan yang memiliki cakupan berbeda dan dianut oleh individu yang sama
secara satu demi satu (Lazenby, 2016).
Tujuan pendidikan suatu negara adalah untuk memberikan kesempatan
individu pada sosial, ekonomi, dan manfaat sosial dengan membekali mereka
dengan kualifikasi tertentu. Di tingkat nasional, pendidikan bertujuan untuk
mewujudkan sumber daya manusia yang damai, toleran, tanpa kekerasan,
berkualitas secara ekonomi, dan sebagai tujuan sosial, untuk mendidik individu
yang melindungi kepentingan nasional masyarakat di mana mereka tinggal.
Untuk alasan ini, setiap negara mengembangkan kebijakan untuk meningkatkan
tingkat pendidikan masyarakat. Dengan melakukan itu, mereka ingin
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan memberikan semua warga
negara kesempatan untuk mengenyam pendidikan.
Kekuatan ekonomi negara, tingkat pendapatan keluarga, profesi orang
tua, dan distribusi pendapatan merupakan faktor ekonomi yang mempengaruhi
equal opportunities dalam pendidikan. Variabel-variabel ini juga mempengaruhi
akses pendidikan karena alasan yang timbul dari hubungan mereka satu sama lain
dalam konteks faktor ekonomi. Menurut Zhang (2002), di negara-negara dimana
pendapatan distribusi tidak dibenarkan, belanja pendidikan nasional bergeser
lebih ke kalangan atas, yang pada gilirannya meningkatkan ketimpangan
kesempatan dalam pendidikan. Karena, di negara-negara dimana keadilan tidak
diberikan dalam distribusi pendapatan, kelompok kalangan atas memegang

10
kekuasaan politik, yang akan menghalangi redistribusi pendapatan dan
menyebabkan generasi berikutnya menjadi kurang mendapatkan setaraan. Fakta
ini menjadi kendala nasional pembangunan terutama di negara-negara dimana
sektor publik dan swasta menyediakan layanan pendidikan karena orang
kalangan atas meningkatkan kesempatan mereka untuk menerima pendidikan
dari sektor swasta dan mengambil lebih banyak bagian dari perekonomian negara
dalam pembentukan modal manusia.
Selanjutnya faktor geografis yang mempengaruhi kesetaraan kesempatan
dalam pendidikan adalah pembeda antara desa-kota dan daerah. Di desa atau
daerah tertinggal, variabel seperti rendahnya angka partisipasi terutama untuk
anak perempuan, ketidakmampuan keuangan keluarga, rasio siswa-guru yang
tinggi, jumlah guru yang tidak memadai, pekerja anak dan pekerjaan yang tidak
terdaftar berdampak negatif terhadap kesetaraan kesempatan dalam pendidikan.
Diskriminasi gender, agama, perbedaan bahasa, diskriminasi etnis,
kependudukan, dan ketidakseimbangan pendidikan sosial merupakan faktor
sosial yang mempengaruhi pemerataan kesempatan dalam pendidikan. Baik di
negara maju maupun di negara berkembang, perempuan tertinggal dalam akses
pendidikan dibandingkan dengan laki-laki.
Sebagai penentu dan pengikut kebijakan pendidikan, negara juga dapat
menjadi bagian dari faktor yang dapat menyebabkan ketimpangan kesempatan
dalam pendidikan. Situasi ini disebut sebagai faktor politik dalam sastra.
Kelompok politik yang memegang kekuasaan menganggap pandangan kelompok
tertentu sebagai ancaman terhadap kepentingan politik mereka dan menimbulkan
kesulitan bagi mereka dalam menerima pendidikan. Situasi ini meningkatkan
kesenjangan di dalam negeri dan melemahkan pembangunan sosial-ekonomi.
Faktor yang mempengaruhi kesetaraan kesempatan dalam pendidikan
adalah perbedaan individu seperti tingkat kecerdasan, potensi, status biologis.
Faktor-faktor ini bukan hasil dari eksternalitas atau hasil kebijakan lainnya,
melainkan faktor-faktor yang berasal dari sifat manusia. Dalam hal ini, sumber

11
perbedaan yang mempengaruhi persamaan kesempatan dalam pendidikan adalah
kompetensi turun temurun. Intervensi pemerintah tidak dapat dihindari untuk
mengambil tindakan pencegahan pada sektor ekonomi, geografis, faktor sosial,
politik, dan individu yang menciptakan ketimpangan kesempatan dalam
pendidikan.
Untuk menghilangkan faktor ekonomi negara berdampak pada kebijakan
pengeluaran pendidikan. Negara dapat menyediakan distribusi belanja
pendidikan publik sesuai dengan keadaan ekonomi warga. Pemerintah bisa
mengurangi yang negatif dampak faktor geografis dengan menerapkan layanan
wajib kepada guru, mengembangkan fasilitas teknis dan fisik sekolah
berdasarkan perbedaan wilayah, dan menerapkan kebijakan intensif bagi
masyarakat lokal untuk bekerja sama dengan sekolah. Faktor sosial berada di
faktor terdepan yang secara negatif mempengaruhi kesetaraan kesempatan dalam
pendidikan dan hampir tidak mungkin diselesaikan tanpa campur tangan negara.
Untuk itu, hukum pengaturan negara, penggunaan kekuatan sanksi dapat
mengurangi arah negatif dari efek ini. Pengaturan konstitusional penting
dilakukan untuk menghilangkan faktor politik yang disebabkan oleh negara itu
sendiri dan untuk menempatkan semua undang-undang yang meliputinya. Untuk
meminimalkan faktor individu, hal penting dan efektif yang dapat digunakan
dalam pendidikan adalah saling menghormati.
Dalam sistem pendidikan di mana equal opportunities dijamin, setiap
individu memperoleh kemampuan untuk menerima pendidikan yang sesuai.
Menurut Karakutuk (2012), sistem pendidikan dengan equal opportunities dalam
pendidikan, yaitu:
a) Memberikan kesinambungan sosial dengan mentransfer budaya dan gaya
hidup, bahasa dan nilai-nilai masyarakat kepada generasi mendatang.
b) Memungkinkan mayoritas masyarakat untuk berpengaruh pada pemerintah,
mengajarkan prinsip-prinsip demokrasi, dan mengubahnya menjadi gaya
hidup bagi mahasiswa.

12
c) Melatih individu yang produktif, menghindari pemborosan dalam
penggunaan sumber daya daerah dan memberikan perhatian terhadap
lingkungan.

(Mammadov, Equality of Opportunity in Education, 2018).

Pendidikan memberikan pengormatan dan pendapatan bagi individu.


Untuk itu, pemerataan kesempatan pendidikan dalam masyarakat akan
memberikan kemajuan sosial dan peningkatan kualitas sumber daya manusia
dalam pembangunan ekonomi. Singkatnya, itu akan menciptakan eksternalitas
positif. Inti dari kebijakan pendidikan adalah untuk mengurangi kemiskinan,
untuk memiliki tenaga kerja yang lebih mampu, berpotensi tinggi, dan untuk
mengurangi pembagian kelas. Agar kebijakan ini berhasil, memastikan
kesetaraan kesempatan dalam pendidikan harus menjadi prioritas utama.

2.5 Kesetaraan dalam Pendidikan


Pendidikan merupakan fondasi yang sangat penting dalam peradaban
manusia. Pendidikan memainkan peran yang sangat krusial dalam menanamkan
ide, konsep, teori, nilai dan norma pada individu. Bisa dibilang bahwa selain dari
lingkungan, individu ditanamkan norma dan nilai dari pendidikan. Yang
dimaksud dengan kesamaan kesempatan pendidikan adalah sikap
nondiskriminatif bahwa setiap warga masyarakat, tanpa memandang ras, warna
kulit, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial atau bentuk-bentuk stratifikasi sosial
lainnya, berhak untuk diberi kesempatan yang sama dalam memasuki suatu
program pendidikan. Satu-satunya faktor yang membedakan mereka adalah bakat
dan minat pribadinya yang bermuara pada kemampuan akademiknya. Sejalan
dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat
(1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu”, dan pasal 11, ayat (1) menyatakan
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan,

13
serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga
negara tanpa diskriminasi”.
Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan telah lama menjadi masalah yang mendapat perhatian,
terutama di negaranegara sedang berkembang. Hal ini tidak terlepas dari makin
tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan mempunyai peran penting dalam
pembangunan bangsa, seiring juga dengan berkembangnya demokratisasi
pendidikan dengan semboyan education for all. Pemerataan pendidikan
mencakup dua aspek penting yaitu Equality dan Equity. Equality atau persamaan
mengandungn arti persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan,
sedangkan equity bermakna keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan
yang sama diantara berbagai kelompok dalam masyarakat. Coleman dalam
bukunya Equality of educational opportunity mengemukakan secara
konsepsional konsep pemerataan yakni: pemerataan aktif dan pemerataan pasif.
Pemerataan pasif adalah pemerataan yang lebih menekankan pada kesamaan
memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah, sedangkan pemerataan
aktif bermakna kesamaan dalam memberi kesempatan kepada murid-murid
terdaptar agar memperoleh hasil belajar setinggi-tingginya (Ace Suryadi , 1993 :
31).
Dalam pemahaman seperti ini pemerataan pendidikan mempunyai makna
yang luas tidak hanya persamaan dalam memperoleh kesempatan pendidikan,
tapi juga setelah menjadi siswa harus diperlakukan sama guna memperoleh
pendidikan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk dapat berwujud
secara optimal. Akses terhadap pendidikan yang merata berarti semua penduduk
usia sekolah telah memperoleh kesempatan pendidikan, sementara itu akses
terhadap pendidikan telah adil jika antar kelompok bisa menikmati pendidikan
secara sama. Clark (dalam Henriksen, 1995) mengistilahkannya sebagai "cooling
out process", di mana para peserta didik tersaring ke dalam program-program
pendidikan yang setaraf dengan kemampuan akademiknya. Para peserta didik

14
yang mempunyai tujuan pribadi yang tidak realistis harus dibuat sadar akan
keterbatasannya, dan dengan bantuan seorang konselor, dapat
mempertimbangkan kembali bidang pendidikan atau karir yang lebih sesuai
dengan bakatnya. Yang dimaksud dengan akses pendidikan adalah kemudahan
yang diberikan kepada setiap warga masyarakat untuk menggunakan
kesempatannya untuk memasuki suatu program pendidikan. Akses tersebut dapat
berupa sikap sosial yang nondiskriminatif, kebijakan politik dalam bentuk
peraturan perundangundangan yang mendukung dan mencegah diskriminasi,
tersedianya lingkungan fisik pendidikan yang aksesibel, tersedianya alat bantu
belajar/mengajar yang sesuai, dan biaya pendidikan yang terjangkau, yang
memungkinkan setiap warga masyarakat menggunakan kesempatannya untuk
mengikuti proses belajar/mengajar di program pendidikan yang dipilihnya.

2.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Rendahnya Pemerataan Kesempatan


Pendidikan Di Indonesia
Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya pemerataan kesempatan
pendidikan sebagai berikut:
a) Sebagian masih berorientsi di wilayah perkotaan, sedangkan untuk wilayah
terpencil dirasakan masih sangat kurang. Hal ini berakibat pada kurang
adanya pemerataan kesempatan pendidikan.
b) Masih terdapat pendirian/penyelenggaraan pendidikan prasekolah tidak
memenuhi standar minimal baik dari segi sarana dan prasarana maupun mutu
dan profesionalisme guru.
c) Kondisi sosial ekonomi masyarakat di pedesaan dan daerah terpencil yang
sebagian besar miskin telah menyebabkan kualitas gizi anak kurang dapat
mendukung aktivitas anak didik dalam bermain sambil belajar.
d) Kurangnya sarana dan prasarana.
e) Kurangnya kesadaran pendidikan dari warga negara.

15
f) Rendahnya kualitas tenaga pendidik dan kependidikan.
g) Akses pendidikan yang lambat karena keterbatasan teknologi di daerah
tersebut.

2.7 Kebijakan Pemerintah terkait Pemerataan Pendidikan


Untuk meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan berbagai
langkah akan diambil seperti peningkatan jumlah anak didik yang ikut merasakan
pendidikan, akses terhadap pendidikan ini dihitung berdasarkan angka partisipasi
mulai tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah. Dewasa ini, pemerintah
telah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan tingkat pendidikan
masyarakatnya, hal itu dapat dilihat sejak tahun 1984, Indonesia telah berupaya
untuk memeratakan pendidikan formal Sekolah Dasar, kemudian dilanjutkan
dengan Wajib Belajar Sembilan Tahun pada tahun 1994, kemudian sekarang
ditambah menjadi dua belas tahun.
Pemerintah Indonesia juga melakukan berbagai strategi dalam upaya
meningkatkan kualitas dalam bidang pendidikan yaitu dengan menerbitkan
peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan tertuang dalam Nomor 14 Tahun
2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru mulai dari tingkat Dasar sampai
Menengah Atas bagi sekolah-sekolah yang dilaksanakan dibawah kendali
pemerintah daerah yaitu penerapan sistem zonasi. Sistem Zonasi di terapkan
dalam rangka pemerataan pendidikan dan menghilangkan stratafikasi dalam
dunia pendidikan. Sedangkan sistem zonasi merupakan suatu bentuk pemantapan
dan efisiensi bagi masyarakat untuk memasukkan anaknya sesuai lokasi sekolasi
dekat rumahnya. Senada dengan i’tikad baik pemerintah terkadang tidak
sepenuhnya berjalan mulus karena yang namanya kebijakan pasti akan
menimbulkan pro dan kontra yaitu munculnya polemik di tengah masyarakat,
munculnya sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru di nilai merugikan oleh
masyarakat karena tidak bisa menempatkan anaknya pada sekolah favorit atau

16
unggul. Pada tahun 2018 zonasi diatur dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun
2018 tentang penerimaan peserta didik baru pada TK, SD, SMP, SMA, SMK
atau bentuk lain yang sederajat. Sedangkan untuk tahun ajaran 2019/2020
kebijakan ini tertuang dalam Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang
penerimaan peserta didik baru pada TK, SD, SMP, SMA dan SMK 6 yang
diperbaharui kembali menjadi Permendikbud Nomor 20 Tahun 2019 tentang
perubahan atas Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018. Tujuan Permendikbud
yang baru ialah mendorong peningkatan akses layanan pendidikan
(Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018) tentang penerimaan peserta didik baru
pada TK, SD, SMP, SMA dan SMK pasal 3 ayat 1). Dengan demikian dapat
dikatakan fokus utama dari kebijakan zonasi ialah pemerataan akses layanan
pendidikan. Selain pemerataan akses, masalah yang ingin diselesaikan oleh
kebijakan ini ialah pemerataan kualitas pendidikan. Dari kebijakan yang
dikeluarkan, mendikbud ingin agar semua sekolah menjadi sekolah favorit
Andini, (2017). Dengan kata lain kebijakan zonasi dipandang sebagai sulusi
untuk menyelesaikan dua maslaah pokok pendidikan, yaitu pemerataan akses dan
kualitas pendidikan. Pada hakikatnya pemerataan pendidikan memiliki dua
dimensi yaitu keadilan dan inklusi.
Keadilan berkaitan dengan keadaan pribadi dan sosial siswa yang
seharusnya tidak mempengaruhi kesempatan dalam menjalani pendidikan.
Sedangkan inklusi berkaitan dengan persamaan standar pendidikan untuk semua.
Praktiknya pemerataan pendidikan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu penawaran
dan permintaan Cummings (2008). Penawaran berada di tangan pemerintah
sebagai otoritas publik yang menyediakan pendidikan. Hal ini seringkali
dipengaruhi kebijakan yang dibuat pemerintah. Sementara permintaan datang
dari masyarakat yang merupakan pengguna layanan pendidikan. Oleh karena itu,
untuk mencapai pemerataan pendidikan diperlukan keseimbangan antara
penawaran dan permintaan. Salah satu langkah yang yang diambil pemerintah
saat ini adalah dengan menerapkan kebijakan sistem zonasi. Penerapan kebijakan

17
sistem zonasi dalam PPDB diatur dalam Permendikbud No. 14 tahun 2018.
Dalam peraturan tersebut disebutkan sekolah wajib menerima paling sedikit 90%
siswa yang berdomisili di zona sesuai ketentuan pemerintah daerah. Pemerataan
pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk mandapatkan pendidikan
yang layak telah lama menjadi masalah yang mendapat banyak perhatian,
terutama di negara-negara sedang berkembang. Pemerataan yang dimaksud di
sini ialah mencangkup dua aspek penting yaitu persamaan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan dan keadilan dalam memperoleh pendidikan yang sama
dalam masyarakat. Pendidikan harus mampu menjadi wadah bagi pembangunan
bangsa dan membentuk manusia berkulitas. Karena itu, pemerintah berkewajiban
untuk memenuhi hak setiap warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan
guna meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan
oleh UUD 1945, yang mewajibkan pemerintah bertanggung jawab dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan kesejahteraan umum.

2.8 Peraturan Perundang-Undangan dan Kesempatan Pendidikan


Berbagai dokumen badan-badan dunia menggariskan bahwa setiap orang
seyogyanya memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh
pendidikan. Dokumen-dokumen tersebut antara lain adalah:
1. The United Nations Declaration of Human Rights, 1948, yang mencakup hak
akan pendidikan dan partisipasi penuh di dalam masyarakat bagi semua
orang;
2. The United Nations Convention on the Rights of Children, 1989, yang
mencakup hak bagi semua anak untuk memperoleh pendidikan;
3. World conference on Education for All, 1990, yang diselenggarakan oleh
Unesco di Jomtien, Thailand, dengan tujuan utama sebagai berikut:
* Agar semua anak bersekolah;
* Agar semua anak memperoleh pendidikan yang paling cocok; anak untuk
memperoleh pendidikan;

18
4. The United Nations Standard Rules on the Equalization of Opportunities for
Persons with Disabilities, 1993, yang mencakup hak penyandang cacat untuk
memperoleh kesempatan yang sama dalam pendidikan;
5. The World Conference on Special Needs Education, 1994, yang
diselenggarakan oleh Unesco di Salamanca, Spanyol, yang secara aklamasi
menetapkan the Salamanca Statement on inclusive education, yang
menegaskan hak anak-anak penyandang cacat untuk memperoleh pendidikan
secara inklusif di sistem persekolahan umum.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Setiap individu memiliki hak keserataan kesempatan (equal
opportunities). Adapun bentuknya dalam pendidikan dimaksudkan bahwa semua
individu yang tinggal di dalam batas-batas negara suatu bangsa memiliki hak atas
akses yang sama kepada layanan pendidikan yang paling tepat dan dapat
mengembangkan kemampuan serta keterampilannya tanpa terkena diskriminasi.
Persamaan kesempatan dalam pendidikan dipengaruhi oleh ekonomi, geografis,
sosial, politik dan faktor individu termasuk gender didalamnya. Terdapat dua
kategori nilai yang luas dapat membedakan nilai-nilai yang dapat
menginformasikan kepedulian kita terhadap equal opportunities dalam
pendidikan, yaitu nilai-nilai yang berkaitan dengan kebaikan dan nilai-nilai yang
tidak berkaitan dengan kebaikan. Selanjutnya hubungan antara “pendidikan”
dengan “equal opportunities” terdapat dua cara berbeda untuk yang
menghubungkan keduanya, yaitu kesetaraan kesempatan melalui pendidikan dan
kesempatan untuk pendidikan. Selain itu, terdapat dua konsepsi equal

19
opportunities dalam pendidikan yang memiliki cakupan berbeda dan dianut oleh
individu yang sama secara satu demi satu dalam menyikapi sebuah keadaan yang
dihadapi.
Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan telah lama menjadi masalah yang mendapat perhatian,
terutama di negara-negara sedang berkembang. Hal ini tidak terlepas dari makin
tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan mempunyai peran penting dalam
pembangunan bangsa, seiring juga dengan berkembangnya demokratisasi
pendidikan dengan semboyan education for all. Pemerataan pendidikan
mencakup dua aspek penting yaitu Equality dan Equity. Equality atau persamaan
mengandungn arti persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan,
sedangkan equity bermakna keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan
yang sama diantara berbagai kelompok dalam masyarakat.Selain daripada itu,
pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan tingkat
pendidikan masyarakatnya, hal itu dapat dilihat sejak tahun 1984, Indonesia telah
berupaya untuk memeratakan pendidikan formal Sekolah Dasar, kemudian
dilanjutkan dengan Wajib Belajar Sembilan Tahun pada tahun 1994, kemudian
sekarang ditambah menjadi dua belas tahun

3.2 Saran
Program-program yang diselenggarakan oleh pemegang kebijakan, yaitu
pemerintah sebaiknya diawasi dengan seksama dapat mencapai sasaran yang
tepat sehingga hambatan-hambatan dalam equal opportunities terutama dalam
pendidikan di Indonesia dapat teratasi dengan tepat.

20
DAFTAR PUSTAKA

Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan: Isu, Teori, dan Aplikasi
untuk Pembangunan Pendidikan dan Sumber Daya Manusia Indonesia, Edisi
Kedua, (Bandung: Widya Aksara Pres, Th.2012.
Acker, J. (2006). Inequality Regimes: Gender, Class, and Race in Organizations.
Gender & Society.
Andini, N. 2009. Analisis Pengaruh Persepsi terhadap Keputusan Orang Tua Murid
Memilih Jasa Pendidikan di SD IT Bina Insani Semarang. Skripsi Tidak
Diterbitkan. Semarang: Fakultas Ekonomi Universitas 34 (JMSP) Jurnal
Manajemen dan Supervisi Pendidikan, Vol 4 No 1 November 2019: 28-34.
Baskara, I. (2010). Aktualisasi Sistem Pendidikan Nasional Guna Peningkatan Daya
Saing Bangsa dalam Rangka Pembangunanan Nasional. Indonesia:
Lennannas RI.
Cummings, W. K. 2008. Policy Options For Access and Equity in Basic Education.
Dalam William K. Cummings & James H. Williams (Eds). Policy-Making For
Education Reform In Developing Countries : Policy, Options, And Strategy.
USA: Rowman & Littlefield Education.
Depdiknas .2003. Undang-undang RI No.20 tahun 2003.tentang sistem pendidikan
nasional.

21
J.P. Keeves dan Ryo Watanabe. (2003). International Handbook of Educational
Research in the Asia-Pacific Region . London: Kluwer Academic Publishers.
Karsten Jonsen, Joerg Dietz, dan Mustafa F Ozbilgin. (2015). Equal Opportunity.
ResearchGate.
Kemenpppa. (2011). Kertas Kebijakan Kesetaraan Gender dan Pendidikan. NEW
brief 3 indo.indd.
Lazenby, H. (2016). What is Equality of Opportunity in Education? Theory and
Research in Education.
Mammadov, R. (2018). Equality of Opportunity in Education. International Journal
of Instruction e-ISSN: 1308-1470.
Mammadov, R. (2018). Equality of Opportunity in Education. ResearchGate.
Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada
TK, SD, SMP, SMA, SMK, atau Bentuk Lain yang Sederajat.

22

Anda mungkin juga menyukai