Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

NIKAH

Dosen Pengampu: Muhammad Anshari, M. Pd.

Disusun oleh kelompok 12 kelas F :

1. Iskandar Wiranata (2022A1H224)


2. Jainul (2022A1H212)
3. Khairul Anam (2022A1H226)
4. Senja Harizona (2022A1H236)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya,
sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Media dan Sumber Belajar IPS
SD”. Sholawat beserta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW,
kepada keluarganya, para sahabatnya, dan sampai kepada kita selaku umatnya.

Penyusun makalah ini tiada lain adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“FIQIH IBADAH”. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Terutama kepada Bunda Lina nida zulfa, M. Pd.
selaku dosen mata kuliah Konsepm dasar IPS kelas rendah, rekan-rekan, dan semua pihak yang
telah membantu.

Penulis mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya, dan bagi para pembaca pada umumnya.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................4

1.1 Latar Belakang...........................................................................................................4


1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan........................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................6

2.1 Pengertian Nikah........................................................................................................6


2.2 Rukun dan Syarat Nikah............................................................................................ 6
2.3 Talak, Ruju’ dan Iddah..............................................................................................15
BAB III PENUTUP..............................................................................................................20

3.1 Kesimpulan...................................................................................................................20
3.2 Saran.............................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................21
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pernikahan adalah suatu hal yang membahagiakan. Karena dua insan yang saling
mencintai dapat berdampingan untuk membangun keluarga yang Sakinah, melalui
Mawaddah dan Warahmah. Bahkan tidak sedikit yang berjuang keras agar bisa menikah
dengan orang yang dicintainya. Selain itu, pernikahan juga dapat menyambung tali
silaturrahim antara kedua pasangan tersebut.

Suatu perkawinan tentunya dibangun dengan tujuan untuk mewujudkan keluarga yang
bahagia, kekal, dan harmonis. Sebagaimana yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam
pasal 3 yang berebunyi bahwa “tujuan perkawinan adalah mewujudkan keluarga yang
sakinah, mawaddah, dan warahmah”.

Tujuan menurut hukum adat berbeda dengan menurut perundangan. Tujuan perkawinan
bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan, adalah untuk mempertahankan dan
meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk
kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan
kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan.

Berbeda lagi tujuan menurut agama. Tujuan perkawinan adalah untuk menegakkan
agama Allah SWT, dalam arti mentaati perintah dan larangan Allah.3 Hal ini sesuai dengan
Firman Allah SWT yang terkandung dalam QS Ar-Rum ayat 2

Artinya:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari pernikahan


2. Apa itu rukun dan syarat nikah
3. Apa itu talak, Ruju’dan Iddah

1.3 Tujuan Penulisan

1. Memahami tentang pengertian pernikahan


2. Memahami rukun dan syarat nikah
3. Memahami talak, Ruju’dan Iddah
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Nikah

Menurut bahasa, nikah artinya kawin, setubuh dan senggama (Ahmad Warson
Munawwir, 1997: 1461). Sedangkan menurut istilah, nikah yaitu

Artinya:

Suatu perjanjian antara dua pasangan (calon mempelai pria dan wanita) untuk
menghalalkan persetubuhan antara keduanya. (Asy-Syaukani, Tt: 160)

Lebih jelas dalam Kompilasi Hukum Islam Bab II Pasal 2 disebutkan bahwa Perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsagan
ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

2.2 Rukun dan Syarat Nikah

Suatu pernikahan akan menjadi sah ketika telah terpenuhi beberapa rukun dan syaratnya.
Adapun rukun nikah sebagaiberikut (Abu Muhammad, Tt: 9-17) 1.

1. Adanya seorang wali yang telah ditunjuk.

2. Adanya dua saksi yang adil.Nabi saw bersabda:

‫ ال ِنَك اَح ِإاَّل ِبَوِلى َو َشاِهَدى َعْد ٍل َفِإِن‬:‫َعْن َعاِئَش َة َقاَلْت َقاَل َر ُس وُل ِهللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫اْس َتَج ُر وا َفالُّس ْلَطاُن َوِلى َم ْن‬ ‫ال َوِلى َلُه َفِإْن َنَك َح ْت َفِنَك اُح َها َباِط ُل‬

Artinya: Dari 'Aisyah berkata bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: Tidaklah sah suatu
pernikahan kecuali dengan adanya seorang wali dan dua orang saksi yang adil, dan
apabila mereka berselisih maka seorang penguasa yang menjadi wali bagi yang tidak
memiliki wali, dan apabila seorang wanita menikah tanpa wali, maka pernikahannya batal
(Al-Baihaqi: 21031)
3. Adanya kerelaan dari kedua calon pasangan suami dan istri.

4. Menentukan calon suami dan istri.

5. Adanya lafaz ijab dan qabul.

Syarat-syarat pernikahan sangat berkaitan erat dengan rukun-rukun pernikahan di atas.


Misalkan, apabila rukun nikah itu adalah harus ada wali, maka wali tersebut harus
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Al-Quran, Al-Hadis, dan Undang-
undang yang berlaku.

A. Syarat-syarat Calon Kedua Mempelai Pria dan Wanita Secara umum calon
kedua mempelai disyaratkan adalah calon pasangan yang halal untuk
menikah atau ghairu muhram. Selain itu, menurut Slamet Abidin Aminudin,
sebagaimana yang dikutip Saebani (2009: 122), menyebutkan bahwa kedua
mempelai disyaratkan harus kafa'ah atau sepadan. Prinsip kafa'ah atau
sepadan dalam pernikahan antara pria dan wanita terdiri dari lima sifat yaitu:
agama, merdeka atau hamba, perusahaan, kekayaan, kesejahteraan. Namun
menurut pendapat yang lebih kuat dari kelima prinsip tersebut, kufu hanya
berlaku dalam hal keagaman. Sedangkan, Saebani sendin berpendapat bahwa
kafa’ah bukan termasuk dari syarat. Meskipun bukan termasuk Rasulullah
saw syarat, sangat menganjurkan agar calon kedua mempelai sekufu atau
sepadan.

Secara detail, dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan syarat-syarat calon


kedua mempelai berdasarkan konteks Leindonesiaan sebagai berikut:

Pasal 15:

1. Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh


dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal
7 Undang-undang No. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya
berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun
2. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin
sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) UU No.1
Tahun 1974.

Pasal 6; ayat (1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua alon mempelai. Ayat (2)
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Ayat (3) Dalam hal seorang dari kedua orang tu
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari
orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. Ayat (4) dalam hal kedua orang ha telah
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk nyatakan kehendaknya, maka izin
diperoleh dari wali orang yang emelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam kadaan
menyatakan kehendaknya. Ayat (5) Dalam hal ada perbedaan tara orang-orang yang
dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal

Pasal 16:

1. Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai

2. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata
dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak
ada penolakan yang tegas.

Pasal 17

1. Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih


dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.

2. Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka
perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan

3. Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat
dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.

Pasal 18:
"Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat
halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Bab VI" 2

ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas
permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-
orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini. Ayat (6) Ketentuan tersebut
ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Bab VI tentang
Larangan Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam.

B. Syarat-syarat sebagai Wali Nikah

Seseorang dianggap sah menjadi wali bagi mempelai wanita, apabila


termasuk ke dalam susunan sebagai berikut (Beni Seseorang Ahmad Saebani,
2009: 236):

1) Bapaknya

2) Kakeknya (bapak dari bapak mempelai wanita) Saudara laki-laki yang


seibu sebapak dengarnya

3) Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya. Anak laki-laki dari


saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.

4) Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.


Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak)

5) Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya

6) Hakim.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Bagian III dijelaskan tentang wali nikah secara detail:
Pasal 20:

1. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat
hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh

2. Wali nikah terdiri dari:

a. Wali nasab

b. Wali hakim

Pasal 21:

1. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan. Kelompok yang
pertama didahulukan dan kelompok selanjutnya berdasarkan kekerabatan dengan
calon mempelai wanita.

a. Kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak
ayah dan seterusnya. b. Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau
saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

b. Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara


seayah dan keturunan laki-laki mereka.

c. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki- laki seayah dan
keturunan laki-laki mereka.

2. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama
berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat
derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

3. Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan, maka yang paling berhak
menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah.

4. Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat
kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi
wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22:

"Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai
wali nikah atau wali nikah itu menderita funa wicara, tuna rungu atau sudah udzur,
maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat
berikutnya."

Pasal 23:

1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak
ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan

2. Dalam hal wali adlal atau enggan maka dapat bertindak sebagai wali nikah
setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.

C. Syarat-syarat saksi nikah

Secara umum, beberapa ulama telah menjelaskan tentang syarat-syarat


saksi dalam pernikahan, antara lain Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'l dan
Imam Hambali. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa syarat-syarat saksi
nikah sebagai berikut:

1. Berakal, orang gila tidak sah menjadi saksi b Balig, tidak sah saksi
anak-anak

2. Merdeka, bukan hamba sahaya

3. Islam

4. Keduanya mendengar ucapan ijab dan Kabul dari kedua belah pihak

Sedikit berbeda dengan Imam Hanafi, Imam Syafi'i berpendapat bahwa


syarat-syarat saksi adalah sebagai berikut:

1. Dua orang saksi

2. Berakal
3. Balig

4. IslamMendengar

5. Adil

Sedangkan Imam Hambali berpendapat bahwa syarat-syarat saksi nikah


adalah dua orang laki-laki yang balig, berakal, dan adil. Keduanya beragama
Islam, dapat berbicara dan mendengar. Keduanya bukan berasal dari satu
keturunan kedua mempelai (Ben Ahmad Saebani, 2009: 120). Secara khusus
dalam konteks keindonesiaan, dalam Kompilasi Hukum Islam Bagian IV
telah dijelaskan tentang masalah saksi dalam pernikahan:

Pasal 24:

1. Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.

2. Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.

Pasal 25:

"Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-
laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu
atau tuli".

Pasal 26:

"Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta
menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di

tempat akad nikah dilangsungkan".

D. Syarat-syarat Akad Nikah

Menurut bahasa, akad artinya perjanjian (yang tercatat), kontrak (Ahmad


Warson Munawwir, 1997; 953). Sedangkan menurut istilah, sebagaimana
yang dikutip oleh Saebani (2009: 200-201) dari beberapa ulama
menyebutkan.
a. Az-Zurjani

‫َر ِّبط َأْج َز اِء الَّتَصُّر ِف ِباِإْل يَج اِب َو اْلَقُبْو ِل َشْر عًا‬

Artinya: Suatu ikatan yang membolehkan untuk melakukan sesuatu


dengan adanya ijab dan Kabul.

b. Ibn Abidin

‫ارتباط إيجاب ِبَقُبوٍل َع َلى َو ْج ِه َم ْش ُر وِع َيْثُبُت َأَثُرُه ِفي َم َج لد‬

Artinya : Perikatan yang ditetapkan dengan Ijab Kabul ketentuan


syara' yang berdampak pada objeknya.

Jadi, akad merupakan suatu ikatan yang diwujudkan dengan jab (pernyataan) dan kabul
(penerimaan atau persetujuan) yang mengakibatkan bolehnya melakukan sesuatu yang pada
dasamya tidak boleh. Apabila akad itu dilakukan dalam hal perkawinan, maka dengan akad
itu membolehkan kedua mempelai laki-laki dan perempuan melakukan hal-hal yang pada
dasarnya tidak boleh dalam pergaulan antara lawan jenis. Hal demikian relevan dengan
sebuah qa'idah ushul yang berbunyi sebagai berikut (Az-Zarkasyi, Tt: 332):

‫اَأْلْص َل ِفي اَأْلْبَض اِع الَتْح ِر يُم‬

Artinya: Asal dalam masalah kemaluan/setubuh itu haram

Oleh karena itu, untuk dapat menjadikan setubuh itu halal, maka harus ada syarat-syaratnya,
seperti salah satunya dengan akad perkawinan/pernikahan, dan inilah yang paling pokok
dalam rukun perkawinan (Beni Ahmad Saebani, 2009: 204).

Sedangkan, akad nikah dalam Kompilasi Hukum Islam Bab I Pasal 1 poin (c)
didefinisikan sebagai "suatu rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang
diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi". Lalu
bagaimanakah syarat-syarat akad nikah yang sah?

Sebagaimana yang dikutip oleh Saebani (2009: 205-206) dari Ahmad Rafiq menjelaskan
bahwa salah satu rukun nikah itu adalah ijab dan Kabul sebagai wujud dari akad nikah yang
memiliki i syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.

b. Adanya pernyataan menerima dari calon mempelai pria

c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nukah atau tazwij

d. Antara ijab dan kabul bersambungan.

e. Antara ijab dan kabul jelas maksudnya.

f. Orang yang berkait ijab kabul tidak sedang dalam keadaan ihram haji atau umrah. g
Majelis ijab dan kabul itu harus dihadiri minimal empat orang, yaitu calon mempelai
pria atau wakilnya, wali dan dua orang saksi.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Bagian V dijelaskan syarat- syarat akad secara detail:

Pasal 27:

"Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak
berselang waktu".

Pasal 28:

"Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan
atau wali nikah mewakilkan kepada orang lain"

Pasal 29:

1. Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.

2. Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan
ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa
penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.

3. Apabila calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili,
maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
2.3 Talak, Ruju' dan Iddah

1. Talak

a. Pengertian Talak

Menurut bahasa talak artinya berpisah, bercerai (Ahmad Warson


Munawwir, 1997: 861). Sedangkan menurut istilah berarti

‫َح ُّل ُع ْقَد ِة الَّتزويج‬

Artinya: memutuskan ikatan perkawinan. (Al-Shan'any, Tt: 168).

Dalam Kompilasi Hukum Islam Bab XVI pasal 117 disebutkan bahwa
"Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi
salah satu sebab putusnya perkawinan".

Jadi, talak atau perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya suatu
ikatan perkawinan antara suami dan istri. Selain karena talak, ada juga penyebab
lain putusnya perkawinan, seperti kematian dan atas putusan pengadilan
(Kompilasi Hukum Islam Bab XVI Pasal 113).

b. Sebab-sebab Diperbolehkannya Talak

Meskipun masalah talak/perceraian merupakan sesuatu yang telah


disyari'atkan dalam ajaran Agama Islam, namun mempertahankan hubungan
perkawinan adalah jauh lebih baik. Oleh karena itu, sebisa mungkin suami
berupaya untuk menghindari ikrar talak tersebut. Kalaupun tidak dapat dihindari,
maka harus jelas alasan menjatuhkan ikrar talak.

Dalam Undang-undang Kompilasi Hukum Islam telah dijelaskan alasan-


alasan menjatuhkan talak, sebagaimana yang termaktub dalam pasal 116 berikut:

1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di
luar kemampuannya;
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlang- sung
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri:
6) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga;
7) Suami melanggar taklik talak;
8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.

c. Sumber Hukum Talak


Menurut Sayyid Sabiq, sebagaimana yang dikutip oleh Saebani (2009:
55), menyebutkan bahwa apabila telah terjadi perkawinan, yang harus dihindari
adalah perceraian, meskipun perceraian bagian dari hukum adanya persatuan atau
perkawinan itu sendiri.

Jadi, meskipun talak atau perceraian merupakan sesuatu yang telah


ditetapkan oleh Allah, namun mempertahankan hubungan perkawinan adalah jauh
lebih baik, melihat kemashlahatan dan kemudharatan yang ditimbulkan dari kedua
hal tersebut. Dalam Al-Qur'an, cukup banyak ayat yang berbicara tentang talak,
seperti yang dipaparkan berikut ini:

‫َأْس ِك ُنوُهَّن ِم ْن َح ْيُث َس َك ْنُتْم ِم ْن ُو ُج ِد ُك ْم َو اَل ُتَض اُّر وُهَّن‬


‫ِلُتَض َّيُقوا َع َلْيِهَّن َو ِإْن ُك َّن ُأواَل ِت َح ْم ٍل َف َأْنِفُقوا َع َلْيِهَّن َح َّتى‬
‫َيَض ْعَن َح ْم َلُهَّن َف ِإْن َأْر َض ْعَن َلُك ْم َف آُتوُهَّن ُأُج وَر ُهَّن َو َأَتِم ُر وا‬
‫َبْيَنُك ْم ِبَم ْعُر وٍف َو ِإْن َتَعاَسْر ُتْم َفَس ُتْر ِضُع َلُه ُأْخ َر ٰى‬

Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal


menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq)
itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu
(segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (QS. Al-Thalaq: 6).

‫َيا َأُّيَه ا اَّل ِذ يَن آَم ُن وا ِإَذ ا َنَك ْح ُتُم اْلُم ْؤ ِم َن اِت ُثَّم َطَّلْقُتُم وُهَّن‬
‫ِم ْن َقْبِل َأْن َتَم ُّس وُهَّن َفَم ا َلُك ْم َع َلْيِهَّن ِم ْن ِع َّد ٍة َتْع َت ُّدوَنَها‬
‫َفَم َّتُعوُهَّن َو َسَّرُح وُهَّن َسَر اًح ا َج ِم ياًل‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-


perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya Maka sekali- sekali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah
mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya. (QS. Al-Ahzab: 49).

Di antara ayat-ayat Al-Qur'an itu, yang paling lengkap membahas tentang


talak terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 227- 229. Dalam ayat-ayat tersebut
dijelaskan tentang talak, masa iddah, dan kewajiban suami yang menalak istrinya,
sehingga perceraian yang dilakukan oleh kedua belah pihak, bukan bertujuan
untuk menghancurkan kehidupan salah satu dari kedua belah pihak. Allah
berfirman:

‫َو ِإْن َع َز ُم وا الَّطاَل َق َفِإَّن َهَّللا َسِم يٌع َع ِليٌم‬

Artinya: Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, Maka
Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah:
227).
‫َو اْلُم َطَّلَقاُت َيَتَر َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِهَّن َثالَثَة ُقُر وٍء َو اَل َيِح ُّل َلُهَّن َأْن َيْكُتْم َن َم ا َخ َلَق ُهَّللا ِفي َأْر َح اِم ِهَّن ِإْن‬
‫ُك َّن ُيْؤ ِم َن ِباِهَّلل َو اْلَيْو ِم اآْل ِخ ِر َو ُبُعوَلَتُهَّن َأَح ُّق ِبَر ِّد ِهَّن ِفي َذ ِلَك ِإْن َأَر اُدوا ِإْص اَل ًح ا َو َلُهَّن ِم ْثُل اَّل ِذ ي َع َلْيِهَّن‬
‫ِباْلَم ْعُر وِف َوِللِّر َج اِل َع َلْيِهَّن َد َر َج ًة َو ُهَّللا َع ِز يٌز َح ِك يُم‬

Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga


kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah
dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-
suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai
satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (QS. Al-Baqarah: 228).

‫الَّطاَل ُق َم َّر َتاِن َفِإْم َس اُك ِبَم ْعُر وٍف َأْو َتْس ِر يُح ِبِإْح َس اٍن َو اَل َيِح ُّل‬
‫َلُك ْم َأْن َتْأُخ ُذ وا ِم َّم ا آَتْيُتُم وُهَّن َشْيًئا ِإاَّل َأْن َيَخ اَفا َأاَّل ُيِقيَم ا ُح ُدوَد‬
‫ِهللا َفِإْن ِخ ْفُتْم َأاَّل ُيِقيَم ا ُح ُدوَد ِهَّللا َفاَل ُج َناَح َع َلْيِهَم ا ِفيَم ا اْفَت َدْت‬
‫ـِه ِتْلَك ُح ُدوُد ِهللا َفاَل َتْع َتُدوَها َو َم ْن َيَتَعَّد ُح ُدوَد ِهَّللا َفُأوَلِئَك ُهُم‬

Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi
kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau kedua- nya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya, barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah:
229).

Di samping bersumber dari Al-Qur'an, talak juga banyak dijelaskan di


dalam hadis Nabi saw, antara lain:

‫َعْن اْبِن ُع َم َر َعْن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َق اَل َأْبَغُض الَخ الِل ِإَلى ِهللا َتَع اَلى‬
‫الطالق‬
Artinya: Dari Ibnu Umar ra berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Perkara halal
yang paling dibenci oleh Allah adalah perkara talak.” (HR. Abu Daud: 1863).

‫َعْن اْبِن ُع َم َر َأَّنُه َطَّلَق اْم َر َأَتُه َو ِهَي َح اِئٌض ِفي َع ْهِد َر ُس وِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َفَس َأَل ُع َم ُر ْبُن اْلَخ َطاِب‬
‫َر ُس وَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َعْن َذ ِلَك َفَقاَل َلُه َر ُس وُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ُم ْر ُه َفْلُيَر اِج ْعَها ُثَّم ِلَيْتُر ْك َه ا‬
‫َح َّتى َتْطُهَر ُثَّم َتِح يَض ُثَّم َتْطُهَر ُثَّم ِإْن َشاَء َأْم َس َك َبْعُد َو ِإْن َشاَء َطَّلَق َقْبَل َأْن َيَم َّس َفِتْلَك اْلِع َّد ُة اَّلِتي َأَم َر ُهَّللا‬

‫َع َّز َو َج َّل َأْن ُيَطَّلَق َلَها الِّنَس اُء‬

Artinya: Dari Ibnu Umar r.a bahwasanya ia menalak istrinya, sedangkan istrinya
dalam kondisi haid di masa Rasulullah Saw, lalu Umar bertanya kepada Beliau
tentang hal tersebut, dan bersabda: Perintahkan dia (Ibnu Umar) untuk
memulangkan istrinya, kemudian menahannya sampai dia suci, lalu kemudian
haid lagi dan suci lagi, sehingga apabila Ibnu Umar berkehendak maka ia boleh
menahannya setelah suci dari haid, dan jika berkehendak maka ia boleh
menalaknya sebelum menggaulinya. Hal yang demikian itu merupakan masa
iddah yang Allah perintahkan bagi kalian yang menalak istrinya. (HR. Muslim:
2675). Dari sumber yang sama juga menyebutkan:

‫ُم ْر ُه َفْلُيَر اِج ْعَها ُثَّم ْلُيَطِلْقَها َظاِهًر ا َأْو َح اِم ًال‬

Artinya: "Suruh ia memulangkannya, kemudian hendaknya ia menalak istrinya


dalam keadaan suci atau hamil." (HR. Muslim: 2680).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Perkahwinan adalah merupakan sunnah Rasulullah s.a.w. dan ditegaskan dalam Al-
Qur’an Surah An - Nisaa' - Ayat 3, maka nikahlah menurut ajaran Islam yang sesuai dengan
Rukun dan syarat nikah yang benar, tidak ada cacat atau cela dan tidak mahram.
Jika terjadi pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang tidak syah maka
hukumnya haram. Apabila dipaksakan untuk tetap berjalan dalam kehidupan berumah
tangga, maka orang tersebut senantiasa hidup dalam perzinaan.
Seseorang yang akan melangsungkan pernikahan sebaiknya memperhatikan petuah
orang jawa dahulu yaitu bibit, bobot dan bebet , artinya tahu silsilah keturunan, kepribadian
dan perilakunya.

3.2 Saran

Akhirnya, pemakalah mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut
membantu di dalam menyelesaikan makalah kami ini. Disamping itu, kritik dan saran dari
mahasiswa serta dosen pengampu dan para pembaca sangat kami harapkan, demi kebaikan
kita bersama terutama bagi pemakalah.
DAFTAR PUSTAKA

http://rezkirasyak.blogspot.com/2012/10/makalah-pendidikan-agama-islam.html
Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan terjemahnya. Toha Putra
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2006. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: Lentera
Rasjid, H. Sulaiman. 2008. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Rifa’I, H. Moh. Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra
Drs. H. Muh. Rifa’i. Fiqih Islam Lengkap. (Semarang: PT Karya Toha Putra)
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Departemen Agama Islam)
H. Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. (Bandung: Sinar Baru Algesindo) 381-383
http://rumahabi.info, http://id.shvoong.com, http://www.eramuslim.com

Anda mungkin juga menyukai