Anda di halaman 1dari 4

TUGAS KELOMPOK HUKUM EKONOMI ISLAM

Nama Kelompok : 1. Isna Rizkiyah (0219052951)


2. Kurnia NovaSaputra (0219053221)
3. Muhammad Rafi (0219054611)
4. Krisna Arif Firmansyah (0219053921)
5. M. Rozikin (0219054931)
6. Muhammad Haikal (0219053831)
7. Idris Hadi Prayogo (0219055331)

BAB III

A. Pengertian Perjanjian (Akad)

Untuk mengetahui lebih jelas mengenai perjanjian dan perikatan dalam hukum Islam berikut
dikemukakan beberapa pendapat, antara lain yaitu:

Pertama, menurut Syamsul Anwar akad adalah pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan
kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya. Kemudian
pengertian secara terminologi akad didefenisikan dengan perikatan ijab dan qabul yang
dibenarkan syara' yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak. Sedangkan kalimat al-ahdu
dapat disamakan dengan istilah perjanjian overeenkomst, yaitu suatu pernyataan Dari seseorang
untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain.

Kedua, dalam pandangan ulama syafi'iyah, hanafiyah dan hanabillah. Akad merupakan segala
sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf,
pembebasan, atau sesuatu pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli
dan gadai.

Ketiga, menurut Abdor Raof mengatakan bahwa pada dasarnya ada tiga tahap yang
menimbulkan perikatan(akad) yaitu sebagai berikut:

1. Al’ahdu (perjanjian), yaitu ada pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang
lain dalam hal ini janji tersebut mengikat orang yang mengatakannya supaya
terlaksananya perjanjian yang telah dibuat.
2. Persetujuan yaitu pernyataan dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap perjanjian yang dinyatakan oleh pihak
pertama kemudian janji tersebut harus sesuai dengan janji pada pihak pertama.
3. Apabila ada dua buah janji yang dilaksanakan oleh para pihak maka terjadilah apa
yang dinamakan ‘’al-aqdu’’ yang mengikat masing-masing pihak sesudah
pelaksanaan perjanjian dengan kata lain hal tersebut bukan lagi al’ahdu tetapi sudah
al-aqdu.

Dari tiga tahap yang menimbulkan perikatan (akad) diatas dapat dimisalkan ketika si A
menyatakan janji untuk menjual sebidang tanah miliknya kepada si B, kemudian si B
menyatakan janji untuk membeli tanah tersebut, maka dalam tahap ini si A dan si B
sudah masuk ke tahap al’ahdu, apabila objek tanah telah jelas dan harga disepakati oleh
kedua belah pihak maka terjadilah persetujuan, kemudian dari kedua janji tersebut
dilaksanakan maka terjadilah perikatan al’aqdu.

Keempat, didalam pasal 1 ayat (13) undang-undang no 21 tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah ataun unit usaha syariah dan pihak lain yang memuat adanya hal dan kewajiban
bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.

Dari defenisi akad sebagai mana tersebut diatas, penulis menyimpulkan bahwa perjanjian
atau akad adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak yang betujuan untuk saling
mengikatkan diri satu sama lain, dengan diwujudkan dalam ijab dan qabul yang objeknya
sesuai dengan syariah, dengan pengertian lain bahwa perjanjian tersebut berlandaskan
keridhaan atau kerelaan secara timbal balik dari kedua belah pihak terhadap objek yang
diperjanjikan dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Dengan demikian akad atau
perjanjian akan menimbulkan kewajiban prestasi pada satu pihak dan hak bagi pihak lain
atas prestasi tersebut.

B. Unsur-unsur Perjanjian (Akad) dalam Hukum Islam

Merujuk kepada defenisi perjanjian atau akad sebagai mana dikemukakan di atas, dapat
diketahui bahwa untuk sah nya suatu perjanjian harus memenuhi rukun dan syarat dari
suatu perjanjian atau akad tersebut,. Dalam pandangan ulama fiqhiyah rukun adalah
unsur yang mutlak harus dipenuhi dalam suatu hal, peristiwa dan tindakan, sedaangkan
syarat adalah unsur yang harus ada untuk semua hal, peristiwa dan tindakan yang
dimaksud. Maka rukun dalam perjanjian atau akad adalah ijab dan qabul sedangkan
syarat yang harus ada dalam rukun bisa menyangkut subjek atau objek dari suatu
perjanjian yang dimaksud, dalam hal ini harus sesuai dengan syariah.

C. Asas-asas dalam Perjanjian Perbankan Syariah

Berdasarkan beberapa asas dan perangkat yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian
menurut hukum Islam, sebagaimana yang disebutkan diatas, maka hal- hal yang perlu
diperhatikan didalam membuat perjanjian adalah sebagai berikut:

1. Dari subjek akad yaitu para. pihak yang membuat perjanjian


2. Dari segi Tujuan dan Objek akad
3. Adanya kesepakatan dalam hal berkaitan dengan
4. Adanya persamaan/kesetaraan/kesederajatan/keadilan
5. Pilihan Hukum

D. Pengertian Pembiayaan

Pembiayaan menurut Undang-Undang Perbankan No. 7tahun 1992 kemudian direvisi menjadi
Undang-Undang Perbankan No. 10 tahun 1998 dalam Pasal 1 ayat 12 menyatakan pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu
dengan imbalan atau bagi hasil. Pasal 1 ayat 13 berbunyi prinsip syariah adalah aturan perjanjian
berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan pembiayaan
kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari'ah, antara lain
pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah), pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah),
atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank
oleh pihak lain.

E. Pembiayaan Murabahah

Dari definisi murabahah atau jual beli tersebut di atas dapat dikemukankan bahwa jual beli
tersebut adalah, untuk penjual mendapatkan manfaat keuntungan dan bagi pembeli mendapat
manfaat dari benda yang dibeli.

Dari berbagai pengertian Murabahah yang telah diungkapkan oleh para ulama dan cendikiawan
diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa pengertian Murabahah ini dapat dilihat dari sudut
pandang Fiqh dan sudut pandang tekhnis perbankan.

Dari sudut pandang fiqh, Murabahah merupakan akad jual beli atas barang tertentu, dimana
penjual menyebutkan harga dasar pembelian barang kepada pembeli, kemudian penjual tersebut
mensyaratkan keuntungan atas harga dasar pembelian barang tersebut.

BAB IV

Fikih Pertanggungjawaban Perdata dan Ganti Rugi dalam Islam

Fikih Pertanggungjawaban Perdata

Dalam hukum Islam, wanprestasi dan PMH dimasukan ke dalam pembahasan bab dhamân/
mas`uliyyah. Meskipun begitu, penggunaan istilah dhamân dalam konteks pertanggungjawaban
hukum ini, berbeda dengan pemaknaan dhamân dalam artian penanggungan hutang (jaminan)
yang meruapakan salah satu jenis akad yang ada dalam kitab fikih.

Ulama Malikiyah mengartikan dhamân secara bahasa sebagai kafalah (penjaminan), sedangkan
secara istilah yaitu keadaan terisinya dzimmah-dzimmah miliknya dengan kewajiban orang lain.
Khatib Syirbini (Syafi’iyah) mengatakan bahwa dhamân secara bahasa bermakna iltizam
(mewajibkan sesuatu atas dirinya sendiri yang pada dasarnya tidak wajib), dan secara istilah
adalah mewajibkan terhadap dirinya sendiri suatu hal yang dasarnya tidak wajib berkaitan
dengan hutang orang lain, atau dengan menghadirkan orang yang berhutang atau membayarkan
hutang itu sendiri. Ulama dari kalangan Hanabilah berpendapat bahwa dhamân berarti
menggabungkan tanggungan pihak yang menjamin kepada tanggungan pihak yang dijamin di
dalam kewajiban menunaikan hak (hutang). Maksudnya adalah hutang yang ada
menjaditanggungan kedua belah pihak, yaitu yang menjamin dan yang dijamin.

Berbeda dengan pengertian dhamân dalam artian diatas yang lebih berarti penanggungan hutang,
pengertian dhamân yang digunakan dalam penelitian ini memiliki arti yang lain.

Konsep Ganti Rugi dalam Islam

Dalam KHES pasal 20 ayat 37 dinyatakan bahwa ganti rugi (ta`widh) adalah penggantian atas
kerugian riil yang dibayarkan oleh pihak yang melakukan wanprestasi. Secara umum keduanya
sama, tapi pengertian yang digunakan dalam KHES terlihat kurang menyeluruh karena hanya
membatasi dalam hal wanprestasi. Hal ini kemungkinan dikarenakan dalam peraturan KHES
belum mencakup permasalahan PMH dalam hukum Islam dan baru mengakomodir permasalahan
wanprestasi (Ingkar janji pasal 36 KHES).

Dalam hal ganti rugi, harta debitur secara otomatis merupakan jaminan bagi hutangnya. Ganti
rugi ini harus diambil dari harta debitur sendiri dan tidak bisa diwariskan kepada ahli waris,
sebagaimana nash al-Quran: “dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”
(QS alAn`am: 164).

Jenis ganti rugi bergantung dengan jenis kerugianya. Dalam fikih Islam, ulama ada yang
membagi kerugian menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Kerugian harta (dharar al-mâl


2. Kerugian pada jasad (dharar jasady)
3. Kerugian immateriil (dharar al-ma`nawy/ adabi)

Anda mungkin juga menyukai