Anda di halaman 1dari 24

PROPOSAL PENELETIAN

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK SECARA


KUALITATIF PADA PASIEN DIARE (PEDIATRIK)
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LAPANDEWA

AKTANIAR
PBC180038

PROGRAM STUDI DIPLOMA TIGA FARMASI


JURUSAN KESEHATAN
POLITEKNIK BAUBAU
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat. Salah
satunya adalah dalam bentuk pelayanan farmasi klinik. Pelayanan ini langsung
diberikan oleh Apoteker untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety)
sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin (Permenkes RI, 2014).
Secara umum, penatalaksanaan terapi diare pada anak terdiri atas tiga
elemen utama, yaitu terapi dehidrasi, pemberian zinc, dan lanjutkan pemberian
makan. Obat antibiotik diberikan hanya jika diare disebabkan oleh infeksi,
seperti pada anak dengan diare berdarah atau kolera (yang sebagian besar
karena shigellosis). Kebanyakan diare bukan karena infeksi ataunon spesifik,
sehingga antibiotika tidak diperlukan, karena sebagian diare disebabkan oleh
rotavirus yang bersifat self limited. Namun pada kenyataannya, masih banyak
ditemukan adanya pemberian antibiotik pada kasus diare tanpa indikasi
terinfeksi bakteri. Pemberian antibiotik yang tidak rasional tersebut justru akan
memperpanjang lamanya diare karena akan mengganggu keseimbangan flora
usus dan Clostridium difficile yang akan tumbuh sehingga menyebabkan diare
sulit disembuhkan. Selain itu, pemberian antibiotik yang tidak rasional akan
mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotik, serta menambah biaya
pengobatan yang tidak perlu (Juffrie dkk., 2015).
Penggunaan antibiotik hanya diperbolehkan untuk mengatasi penyakit
akibat bakteri seperti diare infeksi dan tidak untuk diare non infeksi. Diare
merupakan peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak atau
lebih cair dari biasanya, dan terjadi lebih dari 3 kali dalam 24 jam. Penyakit
yang menyerang sistem pencernaan ini masih menjadi penyebab kematian bayi
usia 1-12 bulan terbanyak yaitu sebesar 42% dibanding pneumonia sebesar
24%, untuk golongan balita usia 1-4 tahun penyebab kematian karena diare
sebesar 25,2% dibanding pneumonia sebesar 15,5% (Juffrie, 2010).
Antibiotik merupakan senyawa yang diproduksi oleh beberapa jenis
3 mikroorganisme (bakteri, jamur actinomycetes) digunakan untuk
menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen. Antibiotik adalah obat
yang paling sering digunakan dengan peresepan atau tanpa peresepan di
seluruh dunia. Hampir 30% atau lebih pasien yang dirawat inap di seluruh
fasilitas kesehatan akan diresepkan antibiotik (Brunton et al., 2011).
Antibiotik merupakan obat yang paling banyak digunakan pada
infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Berbagai studi menemukan bahwa sekitar
40-62% antibiotik dugunakan secara tidak tepat antara lain untuk penyakit-
penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Pada penelitian
kualitas penggunaan antibiotik diberbagai bagian rumah sakit ditemukan 30%
sampai dengan 80% tidak didasarkan pada indikasi (Permenkes,2011).
Angka kejadian penyakit infeksi yang tinggi pada anak-anak
menyebabkan kuantitas penggunaan antibiotik meningkat. Hasil penelitian
yang dilakukan di ruang rawat Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN
CiptoMangunkusumo menyebutkan bahwa sebanyak 49,2% pasien anak
mendapatkan terapi antibiotik, yang terdiri dari 39,6% mendapatkan antibiotik
secara tepat dan 48,3% mendapatkan antibiotik yang tidak tepat. Penggunaan
antibiotik yang tidak tepat dapat memicu terjadinya resistensi (Satariel al.,
2011).
Resistensi antibiotik dapat menyebabkan peningkatan morbiditas,
mortalitas dan biaya kesehatan, oleh sebab itu perlu adanya evaluasi
penggunaan antibiotik. Evaluasi penggunaan antibiotik bertujuan untuk
mengetahui jumlah penggunaan antibiotik, mengetahui dan mengevaluasi
kualitas penggunaan antibiotik, serta sebagai indikator kualitas pelayanan.
Evaluasi penggunaan antibiotik dapat dilakukan secara kuantitatif dan
kualitatif. Evaluasi secara kualitatif dapat dilakukan dengan metode Gyssen,
untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik. Evaluasi secara
kuantitatif dilakukan untuk menghitung kuantitas penggunaan antibiotik
menggunakan metode Defined Daily Dose yang disingkat DDD (Kemenkes RI,
2011).
B. Rumusan Masalah
Bagaimana evaluasi penggunaan antibiotik pada penderita diare
(pediatrik) secara kualitatif puskesmas lapandewa pada tahun 2020 ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui evaluasi penggunaan antibiotik pada penderita
diare (pediatrik) secara kualitatif puskesmas lapandewa pada tahun 2020.

2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui jenis antibiotik yang digunakan
2. Untuk mengetahui penggunaan antibiotik yang benar dan aman
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat memberikan pengalaman yang berharga bagi
peneliti dalam rangka menambah wawasan serta mengembangkan diri
khususnya dalam bidang penelitian.
2. Bagi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan untuk menambah wawasan
tentang evaluasi penggunaan antibiotik pada penderita diare (Pediatrik)
secara kualitatif bagi semua mahasiswa farmasi.
3. Bagi Masyarakat
Penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat agar
masyarakat dapat menggunakan obat antibiotik dengan benar dan aman.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Landasan Teori
1. Diare
Diare didefinisikan sebagai suatu gejala penyakit yang ditandai
dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang lembek sampai cair dan
bertambahnya frekuensi buangs air besar yang lebih dari biasa, yaitu ≥3 kali
perhari yang disertai dengan muntah atau tinja yang berdarah. Diare
biasanya ditandai dengan mual, muntah, sakit perut, sakit kepala, demam,
menggigil, dan rasa tidak nyaman (Rachmawati,Dkk, 2014).

Diare merupakan penyakit yang berbasis lingkungan dan terjadi di


seluruh daerah geografis di dunia. Penyakit diare juga masih menjadi salah
satu masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia,
karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih terbilang tinggi terutama
pada bayi dan balita. Ditemukan 60 juta kejadian diare setiap tahunnya, 70-
80% dialami oleh anak-anak dibawah 5 tahun (± 40 juta kejadian) (Septiani,
2015).

Usia balita merupakan periode yang cukup berat pada anak


karenapada umur ini kondisi kekebalan atau imun anak masih belum stabil
sehingga akan mudah terserang penyakit infeksi. Salah satu penyakit infeksi
tersebut adalah diare. Penyakit diare masih menjadi masalah kesehatan
dunia, utamanya di negara yang sedang berkembang. Dampak dari masalah
tersebut terlihat dari tingginya angka kesakitan dan kematian yang
disebabkan oleh diare, karena penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-
anak khususnya pada usia balita. Diare pada umumnya disebabkan
olehinfeksi bakteri. Bakteri penyebab diare berbeda-beda berdasarkan umur,
tempat, dan waktu atau musim. Diare adalah gejala umum dari infeksi
gastrointestinal yang disebabkan oleh berbagai patogen, termasuk bakteri,
virus dan parasit. Bakteri patogen utama yaitu termasuk Escherichia coli,
Vibrio cholera, Shigella, Campylobacter sp dan Salmonella (Walker C et al.
2010).

Penyakit diare dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain


hygiene, sanitasi yang buruk, keadaan lingkungan yang padat, perilaku
masyarakat, pelayanan masyarakat, gizi, kependudukan, pendidikan yang
meliputi pengetahuan, dan keadaan sosial ekonomi. Diare dapat tertular
pada balita melalui perantara pengasuh, hal ini disebabkan karena balita
masih banyak bergantung pada pengasuh dan memiliki intensitas waktu
yang lama dibanding dengan orang lain. Pengasuh dalam hal ini dapat
berupa orang tua (ibu) atau nenek. pengasuh dapat menjadi perantara
penularan diare pada balita karena PHBS yang masih kurang yaitu
kebiasaan mencuci tangan sebelum merawat dan mempersiapkan segala
keperluan balita (Dyah, 2017).

2. Patofisiologi Diare
Dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologi/patomekanisme
di bawah ini (Setiati, siti et al. 2014) :
a. Diare sekretorik
Diare tipe ini disebabkan oleh meningkatnya sekresi air dan
elektrolit dari usus, menurunnya fungsi absorpsi dari usus. Bakteri dalam
usus akan mengeluarkan toksin yang mana toksin tersebut akan
menstimulasi c-AMP dan c-GMP yang mengakibatkan peningkatan
sekresi cairan dan elektrolit sehingga terjadi diare. Yang khas pada diare
ini yaitu secara klinis ditemukan diare dengan volume tinja yang banyak
sekali.
b. Diare osmotic
Diare tipe ini disebabkan meningkatnya tekanan osmotik
intralumen dari usus halus yang disebabkan oleh obat-obat/zat kimia
yang hiperosmotik (antara lain MgSO4. Mg(OH)2), malabsorpsi umum
dan efek dalam absorpsi mukosa usus misalnya pada defisiensi
disakarida,malabsorpsi glukosa/galaktosa. Diare osmotik ditegakkan bila
osmotic gap feses > 125 mosmol/kg (normal <50 mosmol/kg). Osmotic
gap dihitung dengan cara : osmolaritas serum (290 mosmol/kg) –2x
(konsentrasi natrium + kalium feses ).
c. Motilitas dan Waktu Transit Usus yang Abnormal
Diare tipe ini disebabkan hipermotilitas dan iregulitas motilitas
usus sehingga menyebabkan absorpsi yang abnormal di usus halus.
Penyebabnya antara lain: DM, pasca vagotomi, hipertiroid.
d. Diare infeksi
Jenis diare yang paling sering terjadi adalah diare karena infeksi,
seperti infeksi rotavirus, protozoa dan fungi. Dilihat dari sudut kelainan
usus yang terjadi pada diare oleh bakteri dibagi atas non invasif( tidak
merusak mukosa) dan invasif( merusak mukosa usus). Bakteri non
invasive dapat menyebabkan diare karena toksin yang disekresi oleh
bakteri tersebut yang disebut diare toksigenik. Contoh diare toksigenik
adalah diare yang disebabkan oleh bakteri Vibrio cholera. Enterotoksin
yang dihasilkan oleh bakteri ini menempel pada permukaan epitel usus,
kemudian akan membentuk adenosin monofosfat siklik (AMP siklik) di
dinding usus dan menyebabkan sekresi aktif dari anion klorida yang
diikuti oleh air, ion bikarbonat dan kation natrium serta kalium. Diare
karena bakteri yang invasifbiasanya merusak dinding usus, kerusakan
brush border disertai ulseratif dan nekrosis. Karakteristik berupa feses
dengan lendir dan darah dan dalam pemeriksaan feses menunjukkan
leukosit positif (Setiati, siti et al. 2014).
3. Puskesmas
Puskesmas merupakan organisasi fungsional yang
menyelenggarakan upaya kesehatan bersifat menyeluruh, terpadu, merata,
dapat diterima dan terjangkau masyarakat, dengan peran serta aktif
masyarakat dan menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan
masyarakat. Upaya kesehatan tersebut diselenggarakan dengan
menitiberatkan kepada pelayanan untuk masyarakat luas guna mencapai
derajat kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan kualitas kepada
perorangan (Irmawati, et.al., 2017.)
4. Antibiotik
Definisi infeksi yang disebabkan oleh bakteri terjadi apabila tubuh
tidak berhasil mengeliminasi bakteri patogen. Infeksi bakteri dapat diobati
dengan menggunakan antibiotik (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2011). Antibiotik merupakan senyawa yang dihasilkan suatu
mikroorganisme. Berfungsi untuk membunuh bakteri dan menghambat
bakteri sehingga bakteri tidak mudah berkembang biak dan menyebar
didalam tubuh. Antibiotik bersifattoksisitas selektif dimana toksik pada
Peningkatan prevalensi ketidakrasionalan penggunaan antibiotik
menyebabkan banyak kerugian, diantaranya adalah merupakan salah satu
penyebab terjadinya resistensi (Febiana, 2012).
Beberapa dekade terakhir kemunculan resistensi menjadi masalah
sglobal bagi dunia kesehatan. Studi di Eropa menunjukan resistensi
antibiotika meningkat karena adanya peningkatan konsumsi antibiotika
yang didorong oleh pengetahuan masyarakat tentang antibiotik yang
kurang memadai serta penggunaan antibiotik yang tidak rasional (Lim dan
The, 2012).
5. Klasifikasi Antibiotik
Antibiotik bisa diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya,
yaitu : (Permenkes, 2011)
1. Menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri, seperti beta-
laktam(penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitor
beta-laktamase),basitrasin, dan vankomisin.
a. Antibiotik Beta-Laktam
Antibiotik beta-laktam terdiri dari berbagai golongan obat
yang mempunyai struktur cincin beta-laktam, yaitu penisilin,
sefalosporin, monobaktam, karbapenem, dan inhibitor beta-
laktamase. Obat-obat antibiotik beta-laktam umumnya bersifat
bakterisid, dan sebagian besar efektif terhadap organisme Gram-
positif dan negatif. Antibiotik beta-laktam mengganggu sintesis
dinding sel bakteri, dengan menghambat langkah terakhir dalam
sintesis peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang memberikan
stabilitas mekanik pada dinding sel bakteri.
1. Penisilin
Golongan penisilin diklasifikasikan berdasarkan spektrum
aktivitas antibiotiknya. Dibawah ini tabel golongan penisilin :

Golongan Contoh Aktivitas

Penisilin G dan Penisilin G dan Sangat aktif terhadap


penisilin V penisilin V kokus Gram-positif,
tetapi cepat dihidrolisis
oleh penisilinase
atau beta laktamase,
sehingga tidak efektif
terhadap S.aureus.

Penisilin yang Metisilin, Merupakan obat pilihan


resisten terhadap nafsilin, utama untuk
beta-laktamase/pe oksasilin, terapiS.aureus yang
nisilinase kloksasilin, dan memproduksi penisilinase.
dikloksasilin Aktivitas antibiotik kurang
poten terhadap
mikroorganisme yang
sensitif terhadap penisilin G.

Aminopenisilin Ampisilin, Selain mempunyai


amoksisilin aktivitas terhadap
bakteri Gram-positif,
juga mencakup
mikroorganisme Gram-
negatif, seperti
Haemophilusin fluenzae,
Escherichia coli,dan
Proteusmirabilis. Obat-obat
inisering diberikan bersama
inhibitor beta-laktamase
(asam klavulanat,
sulbaktam,tazobaktam)
untuk mencegah hidrolisis
oleh beta-laktamase yang
semakin banyak ditemukan
pada bakteri Gram-negatif
ini.

Karboksipenisilin karbenisilin, Antibiotik untuk


tikarsilin Pseudomonas,
Enterobacter, dan Proteus.
Aktivitas antibiotik lebih
rendah dibanding ampisilin
terhadap kokus Gram-
positif,dan kurang aktif
dibanding piperasilin dalam
melawan Pseudomonas.
Golongan ini dirusak oleh
beta-laktamase.

Ureidopenislin Mezlosilin, Aktivitas antibiotik terhadap


azlosilin,dan Pseudomonas, Klebsiella,
piperasilin dan Gram-negatif lainnya.
Golongan ini dirusak oleh
beta-laktamase.
2. Sefalosporin
Sefalosporin menghambat sintesis dinding sel bakteri
dengan mekanisme serupa dengan penisilin. Sefalosporin
diklasifikasikan berdasarkan generasinya.
Generasi Contoh Aktivitas

Sefaleksin, Antibiotik yang efektif terhadap


I sefalotin, sefazolin, Gram-positif dan memiliki
sefradin, sefadroksil aktivitas sedang terhadap Gram-
negatif.
Sefaklor, Aktivitas antibiotik Gram-negatif
II sefamandol, yanglebih tinggi daripada
sefuroksim, generasi-I.
sefoksitin,
sefotetan,
sefmetazol,
sefprozil.
Sefotaksim, Aktivitas kurang aktif terhadap
III seftriakson, kokusGram-postif dibanding
seftazidim, generasi-I, tapilebih aktif terhadap
sefiksim, Enterobacteriaceae,termasuk
sefoperazon, strain yang memproduksibeta-
seftizoksim, laktamase.Seftazidim dan
sefpodoksim, sefoperazon juga aktif terhadap
moksalaktam. P.aeruginosa,tapi kurang aktif
dibanding generasi-III lainnya
terhadap kokus Gram-positif.
IV Sefepim,sefpirom Aktivitas lebih luas dibanding
generasi-III dan tahan terhadap
beta-laktamase.

3. Monobaktam (beta-laktam monosiklik)


Contoh: aztreonam. Aktivitas: resisten terhadap beta-
laktamase yang dibawa oleh bakteri Gram-negatif. Aktif
terutama terhadap bakteri Gram-negatif. Aktivitasnya sangat
baik terhadap Enterobacteriacease, P.aeruginosa, H.influenzae
dan gonokokus. Pemberian: parenteral, terdistribusi baik ke
seluruh tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Waktu paruh: 1,7
jam. Ekskresi: sebagian besar obat diekskresi utuh melalui urin.
4. Karbapenem
Karbapenem merupakan antibiotik lini ketiga yang
mempunyai aktivitas antibiotik yang lebih luas dari pada sebagian
besar beta-laktam lainnya. Yang termasuk karbapenem adalah
imipenem, meropenem dan doripenem. Spektrumaktivitas:
Menghambat sebagian besar Gram-positif, Gram-negatif, dan
anaerob. Ketiganya sangat tahan terhadap beta-laktamase. Efek
samping: paling sering adalah mual dan muntah, dan kejang pada
dosis tinggi yang diberi pada pasien dengan lesi SSP atau dengan
insufisiensi ginjal. Meropenem dan doripenem mempunyai efikasi
serupa imipenem, tetapi lebih jarang menyebabkan kejang.
5. Inhibitor beta-laktamase
Inhibitor beta-laktamase melindungi antibiotik beta-
laktam dengan cara menginaktivasi beta-laktamase. Yang
termasuk kedalam golongan ini adalah asam klavulanat,
sulbaktam, dan tazobaktam. Asam klavulanat merupakan suicide
inhibitor yang mengikat beta-laktama sedari bakteri Gram-positif
dan Gram-negatif secara ireversibel. Obat ini dikombinasi dengan
amoksisilin untuk pemberian oral dan dengan tikarsilin untuk
pemberian parenteral. Sulbaktam dikombinasi dengan ampisilin
untuk penggunaan parenteral, dan kombinasi ini aktif terhadap
kokus Gram-positif, termasuk S.aureus penghasil beta-laktamase,
aerob Gram-negatif (tapi tidak terhadap Pseudomonas) dan
bakteri anaerob. Sulbaktam kurang poten dibanding klavulanat
sebagai inhibitor beta-laktamase. Tazobaktam dikombinasi
dengan piperasilin untuk penggunaan parenteral. Waktu paruhnya
memanjang dengan kombinasi ini, dan ekskresinya melalui ginjal.
b. Basitrasin
Basitrasin adalah kelompok yang terdiri dari antibiotik
polipeptida, yang utama adalah basitrasin A. Berbagai kokus dan
basil Gram-positif, Neisseria, H.influenzae, dan Treponema
pallidum sensitif terhadap obatini. Basitrasin tersedia dalam
bentuk salep mata dan kulit, serta bedak untuk topikal. Basitrasin
jarang menyebabkan hipersensitivitas. Pada beberapa sediaan,
sering dikombinasi dengan neomisin dan/ atau polimiksin.
Basitrasin bersifat nefrotoksik bila memasuki sirkulasi sistemik.
c. Vankomisin
Vankomisin merupakan antibiotik ini ketiga yang
terutama aktif terhadap bakteri Gram-positif. Vankomisin hanya
di indikasikan untuk infeksi yang disebabkan oleh S. Aureus yang
resisten terhadap metisilin (MRSA). Semua basil Gram-negatif
dan mikobakteria resisten terhadap vankomisin. Vankomisin
diberikan secara intravena, dengan waktu paruh sekitar 6 jam.
Efek sampingnya adalah reaksi hipersensitivitas, demam,
flushingdan hipotensi (pada infus cepat), sertag angguan
pendengaran dan nefrotoksisitas pada dosis tinggi.
2. Memodifikasi atau Menghambat Sintesis Protein Obat antibiotik yang
termasuk golongan ini adalah aminoglikosid, tetrasiklin,
kloramfenikol, makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin),
klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin.
a. Aminoglikosid
Spektrum aktivitas : Obat golongan ini menghambat bakteri aerob
Gram-negatif. Obat ini mempunyai indeks terapi sempit, dengan
toksisitas serius pada ginjal dan pendengaran, khususnya pada
pasien anak dan usia lanjut. Efek samping :Toksisitas ginjal, otot
oksisitas (auditorik maupun vestibular), blokade neuro muskular
(lebih jarang).
b. Tetrasiklin
Antibiotik yang termasuk kedalam golongan ini adalah tetrasiklin,
doksisiklin, oksitetrasiklin, minosiklin, dan klortetrasiklin.
Antibiotik golongan ini mempunyai spektrum luas dan dapat
menghambat berbagai bakteri Gram-positif, Gram-negatif, baik
yang bersifat aerob maupun anaerob, serta mikroorganisme lain
seperti Ricketsia, Mikoplasma, Klamidia, dan beberapa spesies
mikobakteria.
c. Kloramfenikol
Kloramfenikol adalah antibiotik berspektrum luas, menghambat
bakteri Gram-positif dan negatif aerob dan anaerob, Klamidia,
Ricketsia, dan Mikoplasma. Kloramfenikol mencegah sintesis
protein dengan berikatan pada sub unit ribosom 50S. Efek
samping: supresi sumsum tulang, grey baby syndrome,
neuritisoptik pada anak, pertumbuhan kandida di saluran cerna, dan
timbulnya ruam.
d. Makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin, roksitromisin)
Makrolida aktif terhadap bakteri Gram-positif, tetapi juga dapat
menghambat beberapa Enterococcus dan basil Gram-positif.
Sebagian besar Gram-negatif aerob resisten terhadap makrolida,
namun azitromisin dapat menghambat Salmonela. Azitromisin dan
klaritromisin dapat menghambat H.influenzae, tapi azitromisin
mempunyai aktivitas terbesar. Keduanya juga aktif terhadap
H.pylori. Makrolida mempengaruhi sintesis protein bakteri dengan
cara berikatan dengan subunit 50 sribosom bakteri, sehingga
menghambat translokasi peptida.
1. Eritromisin dalam bentuk basa bebas dapat diinaktivasi oleh
asam, sehingga pada pemberian oral, obat ini dibuat dalam
sediaan salut enterik. Eritromisin dalam bentuk estolat tidak
boleh diberikan pada dewasa karena akan menimbulkanliver
injury.
2. Azitromisin lebih stabil terhadap asam jika dibanding
eritromisin. Sekitar 37% dosis diabsorpsi, dan semakin menurun
dengan adanya makanan. Obat ini dapat meningkatkan kadar
SGOT dan SGPT pada hati.
3. Klaritromisin. Absorpsi per oral 55% dan meningkat jika
diberikan bersama makanan. Obat ini terdistribusi luas sampai
ke paru, hati, selfagosit, dan jaringan lunak. Metabolit
klaritromisin mempunyai aktivitas anti bakteri lebih besar dari
pada obat induk. Sekitar 30% obat diekskresi melalui urin, dan
sisanya melalui feses.
4. Roksitromisin mempunyai waktu paruh yang lebih panjang dan
aktivitas yang lebih tinggi melawan Haemophilus influenzae.
Obat ini diberikan dua kali sehari. Roksitromisin adalah
antibiotik makrolida semi sintetik. Obat ini memiliki komposisi,
struktur kimia dan mekanisme kerja yang sangat mirip dengan
eritromisin, azitromisin atau klaritromisin. Roksitromisin
mempunyai spektrum antibiotik yang mirip eritromisin, namun
lebih efektif melawan bakteri gram negatif tertentu seperti
Legionellapneumophila. Antibiotik ini dapat digunakan untuk
mengobati infeksi saluran nafas, saluran urin dan jaringan lunak.
Roksitromisin hanya dimetabolisme sebagian, lebih dari separuh
senyawa induk diekskresi dalam bentuk utuh. Tiga metabolit
telah diidentifikasi di urin dan feses: metabolit utama adalah
deskladinosaroksitromisin, dengan N-mono dan N-di-demetil
roksitromisin sebagai metabolit minor. Roksitromisin dan ketiga
metabolitnya terdapat diurin dan feses dalam persentase yang
hamper sama. Efek samping yang paling sering terjadi adalah
efek pada saluran cerna: diare, mual, nyeri abdomen dan
muntah. Efek samping yang lebih jarang termasuk sakit kepala,
ruam, nilai fungsi hati yang tidak normal dan gangguan pada
indra penciuman dan pengecap.
e. Klindamisin
Klindamisin menghambat sebagian besar kokus Gram-positif dan
sebagian besar bakteri anaerob, tetapi tidak bisa menghambat
bakteri Gram-negatif aerob seperti Haemophilus, Mycoplasma dan
Chlamydia. Efek samping: diare dan enterokolitis
pseudomembranosa.
f. Mupirosin
Mupirosin merupakan obat topikal yang menghambat bakteri
Gram-positif dan beberapa Gram-negatif. Tersedia dalam bentuk
krim atau salep 2% untuk penggunaan dikulit (lesi kulit traumatik,
impetigo yang terinfeksi sekunder oleh S.aureus atau S.pyogenes)
dan salep 2% untuk intranasal. Efek samping: iritasi kulit dan
mukosa serta sensitisasi.
g. Spektinomisin
Obat ini diberikan secara intra muskular. Dapat digunakan sebagai
obat alternatif untuk infeksi gonokokus bila obat ini pertama tidak
dapat digunakan. Obat ini tidak efektif untuk infeksi Gonore faring.
Efek samping: nyeri lokal, urtikaria, demam, pusing, mual, dan
insomnia.
3. Obat Anti metabolit yang Menghambat Enzim-Enzim Esensial dalam
Metabolisme Folat.
a. Sulfonamid dan Trimetoprim.
Sulfonamid bersifat bakteriostatik.Trimetoprim dalam kombinasi
dengan sulfametoksazol, mampu menghambat sebagian besar
patogen saluran kemih, kecuali P.aeruginosa dan Neisseria sp.
Kombinasi ini menghambat S.aureus, Staphylococcus koagulase
negatif, Streptococcus hemoliticus, H.influenzae, Neisseria sp,
bakteri Gram-negatif aerob (E.coli dan Klebsiella sp), Enterobacter,
Salmonella, Shigella, Yersinia, P.carinii.
4. Obat yang Mempengaruhi Sintesis atau Metabolisme Asam Nukleat,
misalnya kuinolon, nitrofurantoin.
a. Kuinolon
1) Asam nalidiksat
2) Asam nalidiksat menghambat sebagian besar
Enterobacteriaceae.
3) Fluorokuinolon
Golongan fluorokuinolon meliputi norfloksasin, siprofloksasin,
ofloksasin, moksifloksasin, pefloksasin, levofloksasin, dan lain-
lain. Fluorokuinolon bisa digunakan untuk infeksi yang
disebabkan oleh Gonokokus, Shigella, E.coli, Salmonella,
Haemophilus, Moraxellacatarrhalis serta Enterobacteriaceae
dan P.aeruginosa.
4) Nitrofuran
Nitrofuran meliputi nitrofurantoin, furazolidin, dan nitrofurazon.
Absorpsi melalui saluran cerna 94% dan tidak berubah dengan
adanya makanan. Nitrofuran bisa menghambat Gram-positif dan
negatif, termasuk E.coli, Staphylococcus sp, Klebsiella sp,
Enterococcus sp, Neisseria sp, Salmonellasp, Shigella sp, dan
Proteussp.
5. Penggunaan Antibiotik yang Rasional
Penggunaan obat di sarana pelayanan kesehatan umumnya belum
rasional. Penggunaan obat yang tidak tepat ini dapat berupa penggunaan
berlebihan, penggunaan yang kurang dari seharusnya, kesalahan dalam
penggunaan resep atau tanpa resep, polifarmasi, dan swamedikasi yang
tidak tepat. Secara praktis, menurut Kementrian RI, (2011) penggunaan
obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria :
a. Sesuai dengan indikasi penyakit yaitu pengobatan didasarkan atas
keluhan individual dan hasil pemeriksaan fisik yang akurat.
b. Diberikan dengan dosis yang tepat yaitu pemberian obat
memperhitungkan umur, berat badan, dan riwayat penyakit.
c. Cara pemberian dengan interval waktu pemberian yang tepat yaitu
minum obat dengan aturan pemakaian yang telah ditentukan .
d. Lama pemberian obat yang tepat yaitu pada kasus tertentu pemberian
obat dalam jangka waktu tertentu.
e. Obat yang diberikan harus efektif dengan mutu terjamin yaitu hindari
pemberian obat yang kadaluwarsa dan tidak sesuai dengan jenis
keluhan penyakit.
f. Tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau yaitu jenis obat
mudah didapatkan dengan harga relatif murah.
g. Meminimalkan efek samping dan alergi obat
B. Kerangka Konsep
Evaluasi penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan metode
yaitu secara kualitatif. Evaluasi antibiotik secara kualitatif dilakukan dengan
menilai ketepatan penggunaan antibiotik dengan menggunakan alur Gyssens.

Data pasien diare (pediatrik) yang


didapat dari rekam medik

Penilaian penggunaan antibiotik


pada pasien diare

Tepat indikasi, Tepat dosis, tepat Tepat pemilihan


tepat pasien frekuensi pemberian obat
C. Dasar Pemikiran Variabel Penelitian
1. Data pasien diare (pediatrik) yang didapat dari rekam medik.
2. Penilaian penggunaan antibiotik pada pasien diare meliputi, Tepat
indikasi yaitu (pengobatan didasarkan atas keluhan individual dan hasil
pemeriksaan fisik yang akurat), Tepat pasien (Pasien diare anak-anak),
Tepat dosis yaitu ( Tepat pemberian obat memperhitungkan umur,
berat badan, dan riwayat penyakit). Tepat frekuensi yaitu (pemberian
cara pemberian dengan interval waktu pemberian yang tepat yaitu
minum obat dengan aturan pemakaian yang telah ditentukan), dan tepat
pemilihan obat yaitu (Obat yang diberikan harus efektif dengan mutu
terjamin yaitu hindari pemberian obat yang kadaluwarsa dan tidak
sesuai dengan jenis keluhan penyakit).
D. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

N Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Ukur


O

1. Jenis Nama satuan obat Data pasien


Antibiotik antibiotik yang diare Nominal
diberikan dokter (pediatrik)
kepada pasien yang didapat
dari rekam
medik

2. Penilaian Tepat indikasi, tepat Lembar


penggunaan pasien, tepat informasi obat Nominal
antibiotik pada pemilihan obat, tepat (Resep)
pasien diare dosis, tepat cara dan
lama pemberian dan
waspada terhadap
efek samping obat.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian non-eksperimental dengan
menggunakan metode penelitian deskriprif yang bersifat retrospektif dengan
melihat rekam medis pasien anak yang didiagnosa diare. Kriteria penilaian
dengan menggunakan rumus slovin.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni-Juli Tahun 2021,
Bertempat di Wilayah Kerja Puskemas Lapandewa, Dusun Lamandila, Desa
Lapandewa Jaya, Kecamatan Lapandewa, Kabupaten Buton Selatan.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi merupakan kumpulan yang lengkap dari seluruh elemen
yang sejenis dan dapat dibedakan menjadi objek penelitian. Populasi dalam
penelitian ini adalah semua pasien yang didiagnosis diare di Instalasi Rawat
Inap Puskesmas Lapandewa pada tahun 2020.
2. Sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini total untuk semua pasien
diare adalah sebanyak 60 orang. Sehingga sampel yang digunakan pada
penelitian ini sebanyak 32 sampel untuk pasien pediatrik Sampel ini sudah
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (Kriteria inklusi adalah kriteria
dimana subjek penelitian tidak dapat mewakili sampel). Penentuan sampel
peneliti menggunakan catatan rekam medik pasien dengan kasus diare yang
berobat di Puskesmas Lapandewa Kabupaten Buton Selatan periode
Januari– Desember 2020, yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
berikut :
1. Kriteria Inklusi
1) Pasien pediatri dengan diangnosa utama diare akut dengan atau tanpa
dehidrasi
2) Usia (0-12 tahun) menurut WHO rentan umur dikatakan pediatri
3) Data rekam medis pasien anak yang jelas terbaca dan lengkap serta
profil penggunaan antibiotik (golongan antibiotik, jenis antibiotik,
dosis antibiotik, lama pemberian antibiotik, dan rute pemberian
antibiotik).
2. Kriteria eksklusi
1) Pasien diare non spesifik anak yang disertai penyakit infeksi lainya.
2) Data rekam medik yang tidak lengkap dan sulit dibaca
Sampel yang diambil yaitu catatan rekam medik dari pasien diare anak
yang telah memenuhi kriteria inklusi, dengan jumlah 1 (satu) pasien
perhari kerja selama periode bulan Januari – Desember 2020. Cara
menentukan besar sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus
slovin, yaitu:
N
n=
(1+ N ( d ) ²)
Keterangan :
n = Besarnya sampel
N = Besarnya populasi
d = Tingkat kesalahan atau presisi dalam penelitian ini ditetapkan 5%
32
n=
(1+32 (5 % ) ²)
32
n=
¿¿
32
n=
1+32 ×0,0025
32
n=
1+0 ,08
32
n=
1 , 08
n=29 , 6 dibulatkan menjadi 30
D. Teknik Pengumpulan Data
Evaluasi penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan metode
Penelitian deskriptif retrospektif dengan mempergunakan data dari status
rekam medis pasien anak yang dirawat di Puskesmas Lapandewa.
E. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan metode analisis deskriptif kualitatif. Data
yang diambil meliputi jenis kelamin, usia, berat badan, gejala/keluhan pasien,
diagnosa penyakit, kesesuaian penggunaan antibiotik (jenis antibiotik,
ketepatan dosis antibiotik, cara pemberian antibiotik pada pasien diare serta
lama pemberian antibiotik). Serta presentase evaluasi penggunaan antibotik
pada pasien diare anak. Hasil penelitian dinyatakan dalam presentase tepat
indikasi, tepat pasien, tepat pemilihan obat, tepat dosis, tepat cara dan lama
pemberian dan waspada terhadap efek samping obat.
D. Penyajian Data
Penyajian data dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi disertai narasi sebagai penjelasan.
DAFTAR PUSTAKA

Balitbangkes Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2019. Riset


Kesehatan Dasar 2018. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Brunton, L., Chabner, B., Knollman, B. 2011. Goodman & Gilman’s The
Pharmacological Basis of Therapeutics 12th Edition Chapter 55. New
York: The McGraw-Hill Companies. p. 1522-1523.

Depkes RI (2011) Buku Saku Petugas Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan


Republik Indonesia.

Dyah R WL & Yunita DPS. 2017. Hubungan antara Pengetahuan dan Kebiasan
Mencuci Tangan Pengasuh dengan kejadian diare pada Balita. Jurnal of
Health Education. JHE 2 (1). ISSN 2527-4252.

Febiana, T., Hapsari, M.M., Hapsari, R., 2012, Kajian Rasionalitas Penggunaan
Antibiotik Di Bangsal Anak RSUP Dr.Kariadi Semarang Periode Agustus
- Desember 2011, Jurnal Media Medika Muda, 1–12.

Gyssens IC. Audits for monitoring the quality of antimicrobial prescription.


Dalam Van der Meer JW, Gould IM, penyunting. Antibiotic policies
theory and practice. New York: Kluwer Academic; 2005.h.197-226.

Juffrie. M. 2010, Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Jilid 1, Badan Penerbit


Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, Indonesia.

Juffrie, M., Soenarto, S.S.Y., Oswari, H., Arief, S., Rosalinal. & Mulyani, N.S.
2015, Buku Ajar Gastroenterologi Anak Indo-Hepatologi, Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, Indonesia.

Kemenkes (2011) Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan, Buletin jendela
data & informasi kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Kemenkes RI Kementerian Kesehatan RI. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian
Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI.

Lim, T.K,. 2012. Edible Medical and Non-Medical Plant. London New
York :Springer Dordrecht Heidelberg. Hal : 879-880.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 1148/Menkes/VI/2011 Tentang Pedagang
Besar Farmasi. Jakarta.

Purwaningsih, A. E. D. A., Rahmawati, F. and Wahyono, D. (2015) ‘Evaluasi


penggunaan antibiotik pada pasien pediatri rawat inap’, Manajemen dan
Pelayanan Farmasi, 5, pp. 211–218.

Peraturan Menteri Kesehatan RI. 2014, Standar pelayanan Kefarmasian di Rumah


Sakit, Kementrian Kesehatan RI, Jakarta, Indonesia.

Rachmawati, Y., Suharsono and Sutrisna, E. M. (2014) ‘Evaluasi Penggunaan


Antibiotik Pada Pasien Gastroenteritis Di Instalasi Rawat Inap Rumah
Sakit “X” Periode Januari-Juni 2013’.

Raini, M., Gitawati, R. and Rooslamiati, I. (2015) ‘Kerasionalan penggunaan obat


diare yang disimpan di rumah tangga di Indonesia’, Jurnal Kefarmasian
Indonesia, 5(1), pp. 49–56.

Setiati, siti et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6 jilid II Jakata:
Interna publishing. Hal 1899.

Septiani, S. (2015) ‘Evaluasi Penggunaan Obat Pada Pasien Balita Terkena Diare
Pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit x tahun 2014’, Naskah Publikasi.

Satari, HI., Firmansyah, A., Theresia. (2011). Qualitative Evaluation of Antibiotic


Usage in Pediatric Patients, Paediatricas Indonesiana, 51(6): 303 – 310.

Irmawati, S., Sultan M., dan Nurhannis (2017). Kualitas Pelayanan Kesehatan di
Puskesmas Sangurara Kecamatan Tatanga Kota Palu, 189 e Jurnal
Katalogis, Volume 5 Nomor 1 Januari 2017 hlm 188-197.

Anda mungkin juga menyukai