Anda di halaman 1dari 26

RESUME JURNAL

Jurnal 1
Pengembangan Transmission Blocking Vaccine (TBV) Melawan Demam Berdarah
Dengue (DBD) : Identifikasi Faktor Imunomodulator Putatif dari Salivary Gland
Aedes aegypti Berbasis Reaksi Antigen-Antibodi Vektor dan Inang Manusia
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor imunomodulator putatif
dari salivary gland vektor Aedes aegypti berbasis reaksi antigenantibodi vektor dan
inang manusia.
Metode : Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis profil protein
dengan SDS-PAGE dan dilanjutkan dengan western blot untuk mendeteksi adanya
protein imunogenik. H
Latar Belakang : Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu contoh dari
Arthropoda borne diseases yang merupakan penyakit pada manusia ditularkan oleh
vektor berupa serangga (Arthropoda). Di Indonesia, penyakit-penyakit yang ditularkan
melalui serangga merupakan penyakit endemis pada daerah tertentu. Penyakit yang
diperantarai oleh vektor serangga menyebabkan kematian sekitar 1,5 juta manusia
setiap tahunnya (Hill et al. 2005). Selain menyebabkan mortalitas juga morbiditas,
akibat infeksi penyakit tersebut menyebabkan kerugian ekonomi yang besar terutama
pada negara-negara berkembang (Coutinho-Abreu & Ramalho-Ortigao, 2010).
Berbagai Lamacam teknologi vaksin telah diterapkan untuk pengembangan vaksin
melawan demam berdarah, termasuk virus hidup yang dilemahkan (LAV), pemurnian
virus inaktif (PIV), vaksin DNA rekombinan. Pengembangan vaksin setelah tahun
1971 antara lain adalah mengembangkan vaksin gabungan terhadap semua 4 serotipe
DV yang disebut dengan Tetravalen Dengue Vaccine (TDV) (Edelman, 2007). TDV
dikembangkan dengan cara membuat vaksin hidup dari keempat serotipe virus dengue
(Live Attenuated Tetravalent Dengue Vaccine), yang telah dilakukan di Thailand
(Chanthavanich et al. 2006). Namun ada kendala dalam pengembangan TDV yaitu
kesulitan dalam melemahkan secara optimal empat serotipe DENV. Dari berbagai
macam vaksin tersebut di atas nampak bahwa semua pendekatan masih dalam tahap
pengembangan dan sampai saat ini dilaporkan belum ada vaksin berlisensi atau obat
untuk pencegahan penyakit DBD, satu-satunya metode pada saat ini yang digunakan
adalah dengan mengendalikan vektor Ae aegypti dan Ae albopictus (Luplertlop, et al,
2011). Oleh karena itu perlu dilakukan pendekatan baru dalam pengembangan vaksin
melawan DBD yang lebih inovatif dan juga berperan dalam menghambat transmisi
patogen penyebab penyakit DBD sehingga menanggulangi epideminya yaitu dengan
pengembangan Transmission-Blocking Vaccine (TBV).
Hasil elektroforesis SDS-PAGE terhadap protein SG Ae. aegypti menunjukkan
beberapa protein SG Ae. aegypti dengan berat molekul ~ 255, 69, 63, 56, 53, 50, 48,
42, 40, 38, 36, 31, 27, 26, 15 kDa (gambar 2). Diperoleh 4 pita tebal yaitu protein
dengan berat molekul 255, 56, 31 dan 26 kDa. Protein yang terkandung dalam SG
tersebut selain merupakan protein yang terdapat pada lamina basal (sel epithelium SG)
juga merupakan protein sekresi saliva (Lormeau, 2009). Protein dalam kelenjar saliva
memiliki sifat farmakologi yang secara langsung dapat menghambat hemostasis inang
vertebrata melalui proses anti koagulasi untuk menghambat vasokonstriksi
(vasodilator). Lebih jauh lagi kelenjar saliva juga mengandung molekul spesifik
(imunomodulator) yang berfungsi sebagai faktor anti inflamasi dan dapat menginduksi
respon imun inang yang dapat berupa respon alergi yang diwujudkan oleh rasa gatal di
kulit dan kemerahan di lokasi gigitan
Kesimpulan : dari hasil penelitian ini adalah identifikasi profil protein SG Ae. aegypti
menunjukkan 15 pita dengan berat molekul ~ ~ 255, 69, 63, 56, 53, 50, 48, 42, 40, 38,
36, 31, 27, 26, 15 kDa. Protein imunogenik ekstrak SG Ae. aegypti adalah protein
dengan berat molekul ~ 31 dan 56 kDa yang ditemukan pada serum orang yang
terpapar oleh saliva nyamuk Ae. aegypti.
Jurnal 2
VERIFIKASI cDNA T29 SEBAGAI KANDIDAT GEN PENGKODE PROTEIN
Toxoplasma gondii DENGAN METODE SDS PAGE

Tujuan : Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk melakukan verifikasi protein yang
dihasilkan dari cDNA T29 dengan metode SDS PAGE
Bahan dan Cara Kerja : Sampel untuk verifikasi cDNA merupakan hasil transkripsi
balik mRNA takizoit Toxoplasma gondii isolat lokal yang disisipkan ke dalam suatu
vektor pada situs restriksi EcoRI. Bakteri yang digunakan sebagai sel inang adalah
stok E. coli TB1 (New England Biolabs) yang disimpan dalam medium gliserol
dengan konsentrasi akhir 15% (v/v) dan disimpan dalam deep freezer –70 °C
(bacteriological storage). Vektor pengklonaan yang digunakan dalam penelitian adalah
fagemid pMal-p2x (New England Biolabs) sebagai vektor ekspresi. Pembuatan sel
kompeten dengan metode kalsium klorida dan transformasi Pembuatan sel kompeten
dan transformasi dengan kalsium klorida dilakukan berdasarkan modifikasi metode
Sambrook dan Russell
Latar Belakang :Analisis complementary deoxyribose nucleate (cDNA) mampu
memberikan gambaran aktivitas spesifik suatu gen, karena cDNA merupakan kopi
dari rantai messenger RNA (mRNA) yang hanya terdiri dari bagian gen yang
fungsional. Tanpa bagian yang tidak terekspresi (intron), gen yang terkandung dalam
cDNA dapat diekspresikan dengan mengklonakannya ke berbagai inang lain sehingga
ekspresi protein dari sekuens asam amino oleh gen yang diidentifikasi melalui cDNA
juga dapat diketahui. Terminologi ekspresi protein dapat berarti akumulasi dari protein
yang dikode oleh suatu gen pada sistem ekspresi tertentu, yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Faktorfaktor tersebut adalah transkripsi dan translasi gen, stabilitas
sistem ekspresi, mRNA, protein yang diekspresikan, serta sifat fisiologis dari sel inang
yang digunakan.
Telah dilakukan penelitian terhadap beberapa protein T. gondii yang bersifat
imunoreaktif dalam bentuk antigen rekombinan, di antaranya antigen membran,
antigen granula padat, dan antigen rhoptry (Aubert et.al., 2000). Penelitian
pendahuluan yang belum dipublikasikan menghasilkan beberapa cDNA yang diduga
mengandung gen pengkode protein dari T. gondii isolat lokal. Salah satu cDNA yang
diperoleh adalah cDNA T29
Hasil : Fragmen insert cDNA T29 diisolasi dari vektor dengan enzim EcoRI, karena
cDNA T29 disisipkan ke dalam vektor pada situs EcoRI. Hasil digesti yang
divisualisasikan dengan elektroforesis gel agarosa 1% menunjukkan keberhasilan
isolasi insert cDNA. Insert cDNA T29 berukuran 1.862 bp dapat diisolasi dari vektor
berukuran 4.678 bp. Hasil tersebut dikonfirmasi dengan pemotongan vektor
rekombinan menggunakan enzim BamHI yang menghasilkan pita linier sebesar 6.000
bp
Hasil PCR dan ekspresi protein dari plasmid yang diduga bersifat rekombinan
menunjukkan bahwa belum diperolehnya plasmid pMal-p2x yang telah tersisipkan
dengan insert cDNA T29. Hasil positif pada reaksi digesti plasmid tersebut
menggunakan enzim restriksi PstI diduga disebabkan oleh ketidaksempurnaan
restriksi plasmid sehingga konformasi plasmid tidak linier seluruhnya. Akibatnya,
plasmid sampel tersebut nampak berukuran lebih besar jika dibandingkan dengan
plasmid kontrol yang linier seluruhnya. Menurut Moeis & Rahman (2004), perbedaan
konformasi DNA akan mempengaruhi kecepatan pergerakannya dalam medium gel.
Kesimpulan : Berdasarkan uji ekspresi cDNA T29 dengan menggunakan SDS PAGE
menunjukkan tidak adanya perbedaan pita protein bakteri rekombinan dengan bakteri
kontrol, yaitu bakteri yang membawa plasmid tanpa insert. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa cDNA T29 tidak membawa gen pengkode protein Toxoplasma
gondii. Dari hasil penelitian ini disarankan agar melakukan verifikasi pada cDNA lain
dari ke 7 cDNA yang telah didapat untuk memastikan agar cDNA pembawa gen
pengkode protein dari Toxoplasma gondii telah didapat.
Jurnal 3
Induksi dan Purifikasi Antibodi Anti-Coxiella burnetii untuk Deteksi Post Mortem
Q Fever pada Ruminansia
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi antibodi poliklonal anti-C.burnetii
dan mengkarakterisasi antibodi tersebut untuk mendeteksi antigen pada organ limpa,
paru-paru, dan hati sapi dari Rumah Potong Hewan (RPH) di Medan yang sebelumnya
telah dikonfirmasi positif C.burnetii. C. burnetii strain Nine Mile (NM) dan Complete
Freund’s Adjuvant (CFA) digunakan untuk menginduksi antibodi pada dua ekor
kelinci New Zealand White (NZW) jantan berumur 10-16 minggu
Metode : Metode imunohistokimia telah digunakan untuk mendiagnosis kasus Q fever
pada hewan ternak. Antibodi yang digunakan untuk metode imunohistokimia masih
tergolong mahal dan harus diimpor dari negara lain sehingga produksi antibodi
menjadi peluang Metode imunohistokimia telah digunakan untuk mendiagnosis kasus
Q fever pada hewan ternak. Antibodi yang digunakan untuk metode imunohistokimia
masih tergolong mahal dan harus diimpor dari negara lain sehingga produksi antibodi
menjadi peluang yaitu tahap produksi antibodi anti-C.burnetii, tahap purifikasi
antibodi anti-C.burnetii, dan tahap aplikasi antibodi anti-C. burnetii dengan
pengamatan histopatologi.
Bahan : Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2015 sampai
dengan Juli 2016 di Rumah Sakit Hewan Pendidikan (RSHP) Fakultas Kedokteran
Hewan IPB, Bagian Patologi FKH IPB, dan Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI.
Hewan Percobaan Penelitian ini menggunakan kelinci jantan strain NZW berumur 10-
16 minggu sebanyak dua ekor dengan bobot badan 2,5 kg (Balai Penelitian Peternakan
Bogor, Indonesia). Material Penginduksi Antibodi Anti-Coxiella burnetii Isolat C.
burnetii strain NMII dari sel kultur Vero yang digunakan merupakan koleksi dari
National Institute of Infectious Disease (NIID, Jepang).
Sampel Organ Sapi Positif Q Fever Organ limpa, paru-paru, dan hati yang positif C.
burnetii diperoleh dari Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Medan, koleksi Sangkot
Sayuti Nasution (Balai Veteriner Medan, Indonesia).
Latar Belakang : Q fever (Query fever) merupakan penyakit yang disebabkan oleh
bakteri gram negatif bersifat obligat intraseluler Coxiella burnetii (Angelakis dan
Raoult 2010, Cremoux et al., 2011). Q fever bersifat zoonosis (Jones et al., 2011;
Wielders et al., 2015). Bakteri penyebab penyakit ini dapat bertindak sebagai agen
bioterorisme, seperti halnya Antraks ataupun Brucella (CDC 2008). Keputusan
Menteri Pertanian No.4026/Kpts./OT.140/3/2013 menyatakan bahwa Q fever
termasuk ke dalam daftar jenis penyakit hewan menular strategis (PHMS) yang perlu
mendapat perhatian (KEMENTAN 2013). Manifestasi klinis Q fever pada hewan
umumnya tidak menciri sehingga sulit didiagnosis secara klinis. Namun, yang
dikhawatirkan adalah terjadinya subfertilitas, infertilitas, metritis, endometritis, retensi
plasenta, stillbirth, dan keguguran pada trimester akhir kebuntingan (Arricau-Bouvery
dan Rodolakis 2005; Brom dan Vellema 2009; Rodolakis 2014). Metode untuk
identifikasi C. burnetii antara lain dengan isolasi dan identifikasi bakteri, molekuler
maupun uji serologis, dan imunohistokimia (Angelakis dan Raoult 2010). Beberapa
penelitian terbaru mengenai deteksi keberadaan patogen ini menggunakan Polymerase
Chain Reaction (PCR), Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), dan teknik
imunohistokimia mendapatkan hasil positif pada sejumlah sampel ternak di Indonesia
Hasil : Hasil SDS PAGE menunjukkan adanya beberapa pita, yaitu pada bobot molekul
170 kDa, 100 kDa, 65 kDa, 50 kDa, dan 25 kDa. Pita teratas dengan bobot molekul
170 kDa merupakan fragmen IgG yang tidak terdenaturasi, sedangkan pita dengan
bobot molekul 25 kDa merupakan antibodi light chain (rantai ringan) dan heavy chain
(rantai berat) dengan bobot molekul 50 kDa. Uji kompatibilitas antibodi dilakukan
dengan menggunakan Western blot. Western imunoblot dinyatakan positif bila serum
mengenal protein dari antigen yang diinfeksikan. Gambar 2 menunjukkan adanya
warna biru keunguan pada bobot molekul 35,5 kDa, 51,4 kDa, dan 58,284 kDa.
Data konsentrasi serum darah kelinci NZW pascainduksi dan pascaboosting antigen
yang diukur menggunakan nanofotometer ditunjukkan pada Tabel 1. Hasil penelitian
memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi antibodi pascaboosting pertama.
Kondisi ini merupakan kondisi yang cukup optimal untuk pemanenan serum sehingga
tidak dilakukan boosting ulangan.
Kesimpulan : Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain bahwa
antibodi anti-C.burnetii yang dihasilkan mampu mendeteksi antigen C. burnetii
dengan metode imunohistokimia bahkan pada hewan yang asimptomatik Q Fever.
Organ limpa yang menunjukkan hasil imunoreaktif cukup baik dapat dijadikan acuan
untuk proses sampling. Selain itu, proses produksi antibodi dapat diadopsi untuk
produksi antibodi penyakit-penyakit lain pada hewan.
Jurnal 4
KARAKTERISASI ANTIGEN PROTEIN DARI FASCIOLA GIGANTICA PADA
BERBAGAI UMUR

Tujuan : Untuk mengetahui karakterisasi protein dari fascioal gigantica pada berbagai
umur
Metode Dan Cara : Dilakukan dengan menggunakan SDS-PAGE dan immunoblotting.
Dalam penelitian ini diperlukan cacing F. gigantica dewasa, cacing newly excysted
juvenile (NEJ), cacing umur 3, 6 dan 9 minggu. Cacing dewasa diperoleh dari hati
sapi yang terinfeksi fasciola yang dipotong di RPH Bogor; sedangkan cacing umur 3,
6 dan 9 minggu dikoleksi dari domba ekor gemuk yang diinfeksi secara buatan. Lima
belas ekor domba ekor gemuk diinfeksi dengan 500 metaserkaria F. gigantica; setelah
infeksi 5 ekor domba dipotong pada minggu ke 3, 6 dan 9 cacingnya dikoleksi.
Kemudian, cacingcacing tersebut disimpan pada suhu –20o C sampai saat diperlukan
sebagai bahan antigen. Sebelum domba dipotong, darah domba diambil terlebih
dahulu, serum dipisahkan, yang selanjutnya digunakan dalam uji immunoblotting.
Untuk mendapatkan NEJ dilakukan penetasan (excystment) metaserkaria secara in
vitro menurut prosedur yang ditulis oleh HANNA et al. (1975) dengan sedikit
modifikasi: Metaserkaria dicuci dengan aquades dan direndam dalam larutan yang
mengandung pepsin 1%, ditambah 40 µl HCl per 10 ml aquades dan diinkubasikan
pada suhu 37o C selama 45 menit. Metaserkaria dicuci lagi dengan aquades 2 kali,
selanjutnya direndam dalam larutan yang mengandung 1% Na HCO3; 0,8% NaCl;
0,2% asam taurokholat dan 0,02 mM Na-hidrosulfite yang ditambah 50 µl HCl dan
diinkubasikan lagi pada suhu 37o C selama 45 menit. Setelah dilakukan pencucian 2
kali seperti sebelumnya, metaserkaria ditempatkan dalam saringan yang berukuran
100 µm dan direndam dalam medium RPMI tanpa phenol red (Sigma, R8755) yang
mengandung 10% serum domba normal, fungizone dan gentamycin, kemudian
diinkubasikan pada suhu 37o C dalam inkubator CO2 semalam. NEJ yang keluar dari
cangkang metaserkaria akan mengumpul di bawah saringan, kemudian dikoleksi dan
disimpan pada suhu – 20o C sampai saatnya diperlukan. yang ditambah dengan 0,002
M phenylmethylsulphonylfluoride (PMSF) dan 10 µM E64 (transepoxylsuccinyl l-
leucylamino (4-guanidio)-butane). Homogenisasi dilakukan secara manual dalam
keadaan dingin (di dalam ice bath). Kemudian, suspensi disentrifugasi selama 1 jam
dengan kecepatan 13.000 rpm pada suhu 4o C. Supernatan dikoleksi dan disimpan
pada suhu -20o C sampai saat diperlukan. Dalam pembuatan antigen perbandingan
antara jumlah cacing dan pelarut sebagai berikut: jumlah cacing dewasa, cacing umur
3, 6 dan 9 minggu masing-masing adalah 1 ekor, sedangkan untuk NEJ adalah 500
ekor, jumlah pelarut masing-masing adalah 1 ml, 50 µl, 100 µl, 200 µl dan 500 µl
untuk cacing dewasa, cacing umur 3, 6, 9 minggu dan NEJ. Konsentrasi antigen
protein dari ekstrak cacing F. gigantica tersebut diukur dengan menggunakan metode
LOWRY
Penyakit cacing hati (fasciolosis) yang disebabkan oleh cacing Fasciola gigantica telah
tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan tingkat prevalensi yang cukup tinggi
antara 10-90% (EDNEY dan MUKHLIS, 1962; SUHARDONO et al., 1988). Menurut
laporan DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN (1991) kerugian ekonomi
akibat penyakit fasciola dapat mencapai 513,6 milyar rupiah setiap tahunnya. Upaya
penanggulangan penyakit telah banyak dilakukan, salah satunya adalah dengan
pengobatan. Namun demikian, penggunaan obat secara terusmenerus akan
menimbulkan resistensi (OVEREND dan BOWEN, 1995). Selain itu, pengobatan
memerlukan biaya yang tidak sedikit yang mungkin tidak terjangkau oleh peternak
kecil. Penanggulangan melalui vaksinasi cacing F. gigantica dari berbagai umur yang
bersifat antigenik dan imunogenik.
Hasil : Gambaran antigen protein cacing F. gigantica dari berbagai umur yang diperiksa
dengan SDS-PAGE dapat dilihat pada Gambar 1. Selanjutnya, bila endapan (bands)
protein dari ekstrak masing-masing umur cacing dibandingkan dengan molekul
protein acuan (marker) dapat ditemukan beberapa band protein yang secara ringkas
tertera pada Tabel 1. Gambaran protein cacing F. gigantica dewasa, NEJ, cacing umur
3, 6 dan 9 minggu sangat beragam. Pada cacing dewasa, cacing umur 9 dan 6 minggu
mempunyai bagian protein dengan bobot molekul yang sama, yaitu di antara bobot
molekul 24 kDa sampai dengan 114 kDa. Akan tetapi, pada cacing umur 9 dan 6
minggu bagian protein yang mempunyai bobot molekul 73 kDa tidak terdeteksi. Pada
cacing dewasa, protein dengan bobot molekul 198 kDa dapat dideteksi. Cacing umur 3
minggu mempunyai protein yang sangat berbeda dengan cacing yang lain. Pada
cacing ini hanya terdeteksi protein dengan bobot molekul 47 kDa dan 46 kDa. Protein
yang dapat dideteksi pada NEJ ada pada kisaran bobot molekul 47 kDa sampai dengan
198 kDa, dan protein ini juga terdeteksi pada cacing dewasa, umur 9 dan 6 minggu,
akan tetapi pada NEJ tidak terdeteksi protein dengan bobot molekul 75 kDa. Hasil
penelitian ini sangat berbeda dengan laporan LAMMAS et al. (1985) yang
mengidentifikasi protein NEJ F. hepatica pada bobot molekul 78, 45, 30, 26, 13,5, 13
dan 10,5 kDa.
Kesimpulan : Dari pengamatan ini diketahui bahwa pada semua umur cacing F. gigantica
terdapat dua jenis protein yang bersifat antigenik yang mempunyai bobot molekul 46
kDa dan 47 kDa. Dari reaksi immunoblotting kedua fraksi tersebut merupakan sifat
immunologik yang baik pada semua umur cacing. Protein tersebut perlu dipelajari
lebih lanjut, terutama protein yang berasal dari NEJ, yang dapat digunakan sebagai
bahan diagnosis untuk mendeteksi infeksi fasciolosis secara dini pada hewan
ruminansia, atau mempunyai sifat immunoproteksi silang.
Jurnal 5
Analisis Profil Protein Ekstrak Aquades dan Etanol Daun Mimba (Azadirachta
Indica A. Juss) dengan Metode SDS-PAGE (Protein Profile Analysis of Aquadest
and Ethanol Extract of Neem Leaves by Means of SDS-PAGE Method)

Tujuan : Mengetahui profil protein ekstrak aquades dan etanol daun mimba melalui
metode SDSPAGE.
Metode : Penelitian ini menggunakan daun mimba sebagai sampel, aquades dan etanol
70% sebagai pelarut ekstraksi yang selanjutnya dilakukan analisis dengan metode
SDS-PAGE.
Latar Belakang : Mimba (Azadirachta indica A. Juss) merupakan tanaman obat yang
tersebar di beberapa negara dan dikenal sebagai tanaman obat yang memiliki aktivitas
biologi dengan spektrum luas Protein adalah suatu polipeptida yang mempunyai berat
molekul yang sangat bervariasi, dari 5 kDa hingga lebih dari satu juta. Suatu protein
terdiri dari asam amino yang terikat satu dengan yang lain oleh ikatan peptida Protein
pada tanaman dapat digunakan sebagai identifikasi secara farmakogenetik karena
beberapa protein dalam tanaman memiliki sifat dapat melawan mikroorganisme
pathogen. Tanaman dapat memproduksi sejumlah bahan protein yang dapat digunakan
sebagai terapi suatu penyakit, baik langsung dikonsumsi sebagai makanan atau pun
perlu pemrosessan yang lebih rumit seperti, ekstraksi atau pemurnian protein. Peneliti
sebelumnya mengatakan bahwa salah satu cara untuk mengetahui keberadaan protein
dapat dilakukan dengan analisis profil protein. Salah satu metode analisis profil
protein yang dapat dilakukan adalah metode SDSPAGE. SDS-PAGE dapat
mengidentifikasi pola pita protein tanaman menggunakan gel poliakrilamid dengan
buffer sodium dedosil sulfat (Sodium Dedocyl Sulphate – PolyAcrylamide Gel
Electrophorysis/ SDS-PAGE). Metode ini merupakan metode terbaik untuk analisis
protein karena digunakan gel polyacrylamide dalam pemurnian proteinnya. SDS-
PAGE memisahkan molekul-molekul protein berdasarkan ukuran dan bentuk
partikelnya serta dapat menentukan berat molekulnya. Profil protein dapat diperoleh
dengan bentuk ekstrak protein dengan menggunakan pelarut.
Hasil : Hasil menunjukkan 9 pita protein pada ekstrak aquades daun mimba dan 8 pita
protein pada ekstrak etanol daun mimba.
Kesimpulan : Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
ekstraksi protein daun mimba dengan bahan pelarut yang berbeda menghasilkan profil
protein yang berbeda antara pelarut aquades dan etanol. Hal tersebut ditunjukkan
dengan perbedaan jumlah pita protein, berat molekul pita protein, dan ketebalan pita
protein yang dihasilkan dengan metode SDS-PAGE.
Jurnal 6 :
Identifikasi protein pada granuloma periapikal dengan metode SDS - PAGE (The
identification of periapical granuloma protein using SDS - PAGE method)

Tujuan Penelitian : untuk mengetahui jenis protein dengan berat molekul kilodalton (kDa)
yang di identifikasi pada granuloma periapikal dengan metode SDS PAGE.
Metode Penelitian : Penelitian eksploratif deskriptif, menggunakan rancangan
crossectional study.
Latar belakang : Granuloma periapikal adalah produk lesi inflamasi kronis pada apeks gigi
non-vital, yang terdiri dari jaringan granulasi. Granuloma periapikal dapat berkembang
menjadi kista radikuler. Pembentukan kista terjadi sebagai hasil proliferasi epiteloid yang
membantu memisahkan stimulus inflamasi (nekrosis pulpa) dari tulang sekitarnya. Pada
tahap awal proses pembentukan kista, epitel rest of malassez (ERM) di ligamen
periodontal berproliferasi akibat peradangan di granuloma periapikal. Faktor yang memicu
peradangan adalah endotoksin bakteri yang berasal dari pulpa yang mati. Perubahan dental
granuloma menjadi kista radikuler di regulasi oleh beberapa faktor seperti protein albumin
yang kuantitasnya lebih besar daripada protein lainnya. Laporan Shear 2007 cit. Toller
1966 didapatkan bahwa albumin dengan berat molekul 69 kDa banyak ditemukan di kista
rahang. Jenis penelitian ini adalah eksploratif deskriptif untuk mengidentifikasi protein
pada granuloma periapikal. Granuloma periapikal diambil dari jaringan periapikal hasil
pencabutan gigi pasien dengan karies profunda. Selanjutnya sampel tersebut di haluskan
dengan grinder kemudian sampel dilarutkan dalam larutan Phosphat Buffer Saline (PBS).
Selanjutnya disonikasi dengan sonikator pada frekuensi 35 kHz dengan pola 10 x 30 detik
dengan interval istirahat selama 1 menit dalam keadaan suhu dingin. Lalu sampel
disentrifugasi menggunakan sentrifus dengan kecepatan 2.000 rpm selama 10 menit
dengan suhu 4oC untuk mengendapkan agar protein yang terlarut bisa terpisah. Pelet dan
supernatan suspensi tersebut dipisahkan. Supernatan hasil sentrifus yang mengandung
protein diambil menggunakan pipet, sedangkan endapan yang berbentuk pellet di buang.
Selanjutnya konsentrasi protein dihitung dengan nano drop spektrofotometer. Supernatan
yang dihasilkan disimpan dalam freezer -80oC dan siap digunakan untuk SDS-PAGE.
Prosedur kerja: Cara analisis protein yang digunakan dalam teknik ini pertama yaitu
separating gel 12% yang memiliki komposisi acrylamid 3,125 ml; 1,5 m Tris-HCl pH 8,8,
10% SDS, Akuabides, TEMED, 10% APS, dan kedua stacking gel 4% terdiri dari
Acrylamid 30% 0,5M Tris HCl pH 6,8, 10% SDS (Sodium Dodecyl Sulphate),
Akuabidest, TEMED, 10% APS. Bahan separating gel 12% dimasukkan kedalam gel plate
dengan posisi vertikal. Bagian atas dari gel plate yang telah tercampur larutan separating
gel 12% diberi air atau butanol untuk membuat permukaanya rata, setelah itu butanol
dibuang dan dibilas dengan PBS selanjutnya dikeringkan dengan kertas Whatmann. Gel
plate yang telah mengering tambahkan larutan stacking gel 4% dengan komposisi
kemudian comb dimasukkan. Gel plate yang telah mengeras, selanjutnya comb dilepaskan
dan pasang gel plate dengan minigel Twin G-24 slab (Biometra). Mini gel yang terpasang
dengan gel plate direndam dalam buffer elektroforesis, diusahakan tidak ada gelembung
udara terutama dibawah gel plate agar hasilnya sempurna. Sampel di ambil sebanyak 7,5µ
untuk dicampur dengan laemmli buffer dengan perbandingan 1:1. Selanjutnya,
didenaturasikan dengan cara dipanaskan di dalam waterbath bersuhu 100oC selama lima
menit. Sampel yang sudah didenaturasi sebanyak 15µ dimasukkan ke dalam sumuran
stacking gel. Selanjutnya running elektroforesis diaktifkan dengan tegangan 100 V dan
kuat arus 40 MA, proses running kurang lebih 1 jam. Proses running dihentikan bila warna
biru yang terawal turun dan telah sampai pada dasar gel. Gel kemudian diwarnai dengan
coommasie brilliant blue selama 30 menit. Gel yang telah terwarnai selanjutnya
dimasukkan dalam larutan asam asetat 10%. Hasil running gel telah didapat kemudian
lakukan proses pencucian pada gel. Pencucian gel dilakukan dalam 3 tahap, antara lain:
Pencucian pertama menggunakan 25 ml metanol 50%; 3,75 ml asam asetat 7,5% dan
71,25 ml akuades selama 30 menit. Pencucian kedua menggunakan 2,5ml metanol 5%;
3,75 ml asam asetat 7,5% dan 71,25 ml akuades selama 20 menit. Pencucian ketiga
menggunakan glutaraldehida 10% dan 90ml akuadest selama 25 menit. Gel dicuci untuk
menghilangkan larutan destaining dan gel disimpan dalam larutan akuadest, kemudian gel
siap untuk di analisis.
Hasil : Dari hasil penelitian denga metode SDSPAGE didapatkan pita-pita protein.
Gambar 1. menunjukkan hasil analisis protein granuloma periapikal yakni diperoleh 13
protein, dengan berat molekul relatif terdeteksi yaitu 175,388 kDa; 67,531 kDa; 58,139
kDa; 54,308 kDa; 45,304 kDa; 31,423 kDa; 27,444 kDa; 21,925 kDa; 17,513 kDa; 14,067
kDa; 12,130 kDa; 8,483 kDa dan 4,717 kDa.
Kesimpulan : Pada pita protein yang menunjukkan berat molekul 27,444 kDa dapat setara
dengan TNF-α dengan berat molekul 26 kDa. Namun, pada pita protein tersebut tidak
tebal. TNF- α diproduksi oleh makrofag sebagai respon terhadap aktifvasi oleh bateri LPS
(endotoksin). TNF-α merupakan mediator pro-inflamasi yang merangsang neutrophil pada
proses inflamasi. Selain itu TNFα berperan pada inflamasi akut atau awal terjadinya
inflamasi
Jurnal 7

PROFIL PROTEIN BERBASIS SDS-PAGE PADA ULAT SAGU HASIL


PENGERINGAN DENGAN GARAM DAN TANPA GARAM

Latar belakang : Ulat sagu (Rhynchophorus ferruginesus) merupakan sumber protein


hewani yang potensial, namun memiliki suatu kelemahan yaitu mudah membusuk. Untuk
menghindari pembusukan dapat dilakukan pengawetan, proses pengawetan dapat
dilakukan dengan berbagai macam cara secara kimiawi yang menyangkut penggaraman,
dan secara fisik pengeringan dan pembekuan. Kandungan protein ulat sagu sekitar 9,34%,
sedangkan pakan berbahan utama ulat sagu sekitar 27,77%. Ulat sagu juga mengandung
beberapa asam amino esensial, seperti asam aspartat (1,84%), asam glutamat (2,72%),
tirosin (1,87%), lisin (1,97%), dan methionin (1,07%). Sehingga masyarakat Kamoro,
Papua dan Maluku memanfaatkan ulat sagu sebagai sumber makanan. Sodium Dodecyl
Sulphate Polyacrylamide Gel Electroforesis (SDS-PAGE) adalah teknik untuk
memisahkan rantai polipeptida pada protein berdasarkan kemampuannya untuk bergerak
dalam arus listrik, yang merupakan fungsi dari panjang rantai polipeptida atau berat
molekulnya. Hal ini dicapai dengan menambahkan deterjen SDS dan pemanasan untuk
merusak struktur tiga dimensi pada protein dengan terpecahnya ikatan disulfide yang
selanjutnya direduksi menjadi gugus sulfidihidril. SDS akan membentuk kompleks dengan
protein dan kompleks ini bermuatan negatif karena gugus-gugus anionik dari SDS.
Tujuan : Untuk mengetahui protein SDS PAGE pada ulat sagu pada hasil pengeringan
dengan garam dan tanpa garam.
Metode : Desain penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan objek penelitian
adalah 10 ekor ulat sagu yang diambil di kota Merauke provinsi Papua. Ulat sagu dibagi
menjadi 3 kelompok perlakuan, 1 ekor digunakan sebagai kontrol, 3 ekor dilakukan
penggaraman 10% tanpa pemanasan, 3 ekor dilakukan penggaraman 10% dengan
pemanasan menggunakan oven temperatur 50° selama 1 jam, dan 3 ekor dilakukan
pemanasan menggunakan oven temperatur 50° selama 1 jam tanpa penggaraman.
Prosedur Kerja : Langkah awal persiapan pada ulat sagu adalah pemilihan ulat sagu
dengan syarat berukuran besar dan segar. Ulat sagu disiapkan kemudian ulat sagu,
dibersihkan (bagian kepala ulat sagu dibuang) lalu ulat dicuci dengan air bersih yang
mengalir agar kotoran yang melekat hilang. Ulat sagu yang telah bersih ditirisakan
didalam wadah keranjang kurang lebih 5 menit, kemudian setelah agak kering dilakukan
proses penggaraman. 10 ekor ulat sagu masing masing dipisah,1 ekor tanpa perlakuan
(kontrol), 3 ekor ulat sagu untuk sampel yang dilakukan pengeringan dengan suhu 50°
menggunakan oven selama 1 jam, 3 ekor ulat sagu untuk sampel yang dilakukan
penggaraman 0,4 g 10% (b/b) selama 1 jam, dan 3 ekor sampel ulat sagu untuk sampel
yang dilakukan Penggaraman 0,4 g (10% b/b) dengan pengeringan pada suhu 50°
menggunakan oven selama 1 jam. Ulat sagu kemudian dimasukkan kedalam wadah
tertutup yang telah diberi label sesuai perlakuan yang dilakukan ulat sagu dihaluskan
dengan menambahkan PBS 1× dan divortex. Sampel kemudian dicentrifuge sehingga
didapatkan supernatan (protein) dan kemudian dibaca total protein secara
spektrofotometri. Separating gel dibuat, ditambahkan butanol untuk menutupi permukaan
dan dibiarkan terjadi polimerasi kemudian dibersihkan dengan aquades dan ditambahkan
stacking gel. Sisir dimasukkan dan dibiarkan sampai terjadi polimerasi, sisir diangkat
maka akan terbentuk sumuran (well). Dimasukkan sampel ke well, kemudian ditambahkan
running buffer pada alat dan power supply dihidupkan. Ditunggu hingga proses running
selesai yang ditandai dengan turunnya Bromophenol Blue sampai ke dasar separating gel.
Gel dikeluarkan dari alat pencetak secara perlahan, kemudian dimasukkan dalam larutan
pewarna dengan 0,1 % Commasie Brilliant Blue R-250 selama 30-60 menit hingga pita
protein terwarnai. Destaining gel 3-4 kali hingga gel tampak bersih, kemudian dimasukkan
gel ke dalam larutan asam asetat glasial 10%, kemudian dipress dan dikeringkan ± 1-2 hari
di ruangan gelap.
Hasil : Dari hasil spektofotometer ulat sagu kontrol memiliki protein yang lebih besar
(4,93 µg/µl) dari pada ulat sagu yang telah mengalami penggaraman selama 1 jam (3,09
µg/µl) dan ulat sagu terendah setelah penggaraman 10% dan pengeringan selama 1 jam
temperatur 50°C (2,13 µg/µl).
Ulat sagu yang sudah dikeringkan dan digarami diisolasi protein, kemudian diseparasi
dengan SDS-PAGE metode Laemil (1970) dan diwarnai dengan Commasie Briliant Blue
(CBB).
Kesimpulan : Setelah dilakukan Pengeringan pada temperatur 50ºC dan penggaraman
10% (b/b) dapat dilihat pita proteinnya berkurang dari 26 menjadi 19 pita. Pada sampel
yang dikeringkan pada temperatur 50°C menggunakan oven selama 1 jam tanpa garam
dapat dilihat pita proteinnya berkurang dari 26 menjadi 21 pita. Sedangkan pada sampel
yang dilakukan penggaraman 10% (b/b) selama 1 jam tanpa pengeringan dapat dilihat pita
proteinnya tidak mengalami pengurangan yang signifikan yakni dari 26 menjadi 24 pita.
Sesuai hasil tersebut dapat diketahui bahwa dibandingkan perlakuan penggaraman 10%
(b/b), perlakuan pengeringan jauh lebih besar menyebabkan protein ulat sagu
terdenaturasi, namun gabungan perlakuan penggaraman 10% (b/b) dengan pengeringan
menggunakan oven pada suhu 50°C memberikan pengaruh denaturasi terbesar.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, untuk melakukan pengawetan pada ulat sagu,
penggaraman konsentrasi 10% (b/b) selama 1 jam tanpa panas paling disarankan karena
terlihat pada pita-pita protein tidak terjadi penurunan atau penipisan secara signifikan.
Jurnal 8
IDENTIFIKASI PROFIL PROTEIN ISOLAT TRYPANOSOMA EVANSI DENGAN
METODE SDS-PAGE

Tujuan : Untuk melakukan identifikasi profil protein isolat Trypanosoma evansi dari
wilayah yang berbeda. Hasil dari kegiatan ini diharapkan dapat menjadi informasi dasar
mengenai profil protein isolat Trypanosoma evansi.
Metode : Kegiatan ini menggunakan tiga isolat Trypanosoma evansi dari wilayah kasus
Surra di Indonesia (Tabel 1) yang telah diproses menjadi Soluble Trypanosoma Antigen
(STrAg) dan dilakukan di Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Banjarbaru pada bulan
Mei 2016. Identifikasi profil protein Soluble Trypanosoma Antigen (STrAg) Trypanosoma
evansi dilakukan menggunakan teknik Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel
Electrophoresis / SDS-PAGE.
Latar Belakang : Surra merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit darah
Trypanosoma evansi. Parasit ini yang tersebar luas di kawasan Asia Tenggara, termasuk di
benua Afrika dan Amerika (Davison et al. 2000; Abdel-Rady, 2008). Surra dapat menyerang
jenis ternak sapi, kerbau, onta, kuda, keledai, domba, kambing, selain itu juga menyerang
anjing, kucing, gajah, coati, capybara dan marsupial (Stephen, 1986). Kasus Surra di Pulau
Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2010 – 2011 mengakibatkan kematian
sebanyak 1760 ekor ternak, terdiri dari kuda 1159 ekor, kerbau 600 ekor dan sapi 1 ekor
(Ditkeswan 2012). Menurut hasil surveilans Balai Veteriner Banjarbaru tahun 2012 di
Kalimantan terjadi 14 kasus Surra, tahun 2013 terjadi 25 kasus dan pada tahun 2014 terjadi
26 kasus Surra berdasarkan hasil pemeriksaan ulas darah.
Hasil : secara umum terlihat jelas bahwa dari tiga isolat Trypanosoma evansi menunjukkan
profil protein yang berbeda. Meskipun demikian perbedaan itu tidak menjadikan isolat
tersebut berbeda spesies tetapi masih satu spesies yang sama yaitu Trypanosoma evansi.
Perbedaan dapat dilihat dari jumlah protein (garis/pita) yang teridentifikasi dan ketebalan
protein pada tiap – tiap isolat. Isolat A terdapat 14 protein dengan BM 174,76 – 7,17 kD,
Isolat B teridentifikasi 15 protein dengan BM 143,11 – 7,17 kD dan isolat C sebanyak 13
protein teridentifikasi dengan BM 90,02 – 7,12 kD. Isolat A mempunyai protein mayor
(tebal) lebih banyak dibandingkan isolat B sedangkan isolat hanya mempunyai protein minor
(tipis).
Kesimpulan : Profil protein tiga isolat dari wilayah kasus Surra yang berbeda di Indonesia
yaitu isolat A dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, Provinsi Kalimantan Selatan terdapat 14
protein dengan BM 174,76 – 7,17 kD sedangkan dua isolat dari Kabupaten Sumba Timur,
Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu isolat B teridentifikasi 15 protein dengan BM 143,11 –
7,17 kD dan isolat C ada 13 protein yang teridentifikasi dengan BM 90,02 – 7,12 kD. Hasil
kegiatan ini menunjukkan adanya perbedaan profil protein dari ketiga isolat yang berarti
bahwa ketiga isolat tersebut juga mempunyai fisiologi yang berbeda meskipun masih dalam
satu spesies yang sama yaitu Trypanosoma evansi.
Jurnal 9
Isolasi dan Identifikasi Protein Spike (Protein-S) pada Isolat Lapangan Infectious
Bronchitis Virus

Tujuan : untuk mengetahui berat molekul protein.


Metode : Metode diagnostik untuk mengkonfirmasi penyakit yang mengifeksi berbagai jenis
hewan sangat penting. Metode diagnostik ini bisa dilakukan menggunakan pendekatan
serologi, virologi dan molekuler. Salah satu metode untuk diagnosa IBV adalah melalui
metode molekuler.
Latar belakang : Infectious Bronchitis Virus (IBV) adalah salah satu penyebab penyakit
pernapasan pada unggas. IBV merupakan anggota dari Coronaviridae, genus Coronavirus.
IBV merupakan virus RNA berantai tunggal positif unsegmented yang terdiri atas 27-32 bp
genome, protein Nucleocapsid (N), protein Amplop (E), protein Membran (M), dan protein
Spike (protein-S). Penyakit ini menurunkan produktivitas kandang dan menyebabkan infeksi
permanen pada unggas (MacLachlan dan Dubovi, 2011). Dua puluh serotipe (Casais et al.,
2003) dan berbagai macam varian antigenik yang ditemukan, sebagai hasil mutasi genom
virus (MacLachlan dan Dubovi, 2011). Perbandingan antara protein-S dari isolat dan vaksin
dapat menunjukkan kemungkinan perubahan berat molekul dari isolat lapangan akibat rapid
mutation. Metode SDS-PAGE memisahkan protein berdasarkan berat molekulnya yang
divisualisasikan dalam bentuk band (Garfin, 2009; Kong et al., 2010; BioRad, 2014).
Kemurnian protein yang diisolasi dikonfirmasi dengan metode Dot-Blot (Rantam, 2003).
Prosedur kerja : diawali dengan mencetak gel yang terdiri dari Stacking gel 4% dan
Sparating gel 12%. Kemudian memasukkan ke dalam alat elektroforesis berisi Buffer.
Elektrophoresis ini dijalan kan dengan pengaturan; 120 Volt, 400 Ma 100 menit. Gel dicuci
sebanyak empat tahap dengan larutan yang berbeda. Pencucian pertama menggunakan
campuran dari methanol 25 ml, acetic acid 3,75 ml, aquadestilata 71,25 ml. Cawan petri yang
berisi gel dan larutan pencuci diletakkan pada shaker dengan kecepatan 42 rpm selama 30
menit. Larutan pencuci dibuang dan diganti dengan larutan pencuci kedua yaitu campuran
methanol 2,5 ml; acetic acid 3,75 ml; dan aquadestilata 93,75 ml; kemudian gel digoyang
dengan kecepatan 42 rpm selama 30 menit, pencucian ketiga dengan larutan Glutaradehid
dengan 90 ml aquadestilata kemudian digoyang dengan kecepatan 42 rpm selama 30 menit.
Pencucian terakhir dengan aquadestilata 100 ml selama 30 menit. Pencucian ini dilakukan
sebanyak 3 kali. Lalu dilakukan pewarnaan gel (pewarna terdiri dari campuran Commasie
blue 0,05 gr, Acetid Acid absolute 40 ml, Methanol absolut 10 ml dan Aquades 50 ml) ke
dalam cawan petri dan di goyang dengan kecepaan 42 rpm selama 15 menit. Pewarna
dibuang dan gel dicuci dengan 100 ml aquadestilata selama 2 menit sebanyak 2 kali diatas
shaker. Kemudian developer warna yang terdiri dari formaldehid 3,7 % sebanyak 50 μl
zitronensaure 5 % sebanyak 100 μl dan 100 ml aquadstilata ditmabhkan ke dalam cawan petri
yang berisi gel. Cawan patri di goyang selama 5 menit dengan kecepatan 42 rpm. Stopper
ditambahkan bersamaan dengan acetic acid 10 %, setelah itu dicuci dengan 100 ml
aquadestilata selama 2 menit sebanyak 2 kali, kemudian membuang dan menambahkan oleh
larutan yang terdiri dari atas Gliserol 10 ml dan aquadestilata 90 ml agar tidak rusak.
Hasil : Berdasarkan hasil yang diperoleh dari SDSPAGE, dapat diamati terdapat beberapa
band dari isolat I-147/11. Ada tiga band yang diduga merupakan protein-S, S1, dan S2. Hasil
SDS-PAGE. Berdasarkan penghitungan Rf value, berat protein-S = 168,21 kDa sedangkan
protein-S1 diduga terhubung protein-S2 memiliki berat molekul 111 kDa.
Kesimpulan : Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa berat molekul protein-S
IBV vaksin Massachusset dan isolat lokal I-147/11 adalah 168.21 kDa dan 135.26 kDa. Hal
ini menandakan bahwa tidak terjadi perubahan berat molekul dari protein-S yang diisolasi
dari isolat lokal.
Jurnal 10
PROFIL PROTEIN PADA IKAN TENGGIRI DENGAN VARIASI
PENGGARAMAN DAN LAMA PENGGARAMAN DENGAN MENGGUNAKAN
METODE SDS-PAGE

Tujuan : Untuk meihat profil protein pada ikan tenggiri dengan variasi penggaraman dan
lama penggaramannya.
Metode : Metode penelitian ini adalah kualitatif dengan desain penelitian berupa
penelitian eksperimen.
Latar Belakang : Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang banyak mengandung
protein. Protein ikan sangat diperlukan oleh manusia karena selain mudah dicerna oleh
tubuh, serta ikan juga memiliki kandungan asam amino dengan pola yang hampir sama
dengan pola asam amino yang ada dalam tubuh manusia (Almatsier, 2001). Ikan
mengandung sekitar 60 – 84% air, protein sekitar 18 - 30%, lemak sekitar 0,1 - 2,2%,
karbohidrat 0 – 1% dan vitamin sisanya. Ikan merupakan sumber energi yang sangat
diperlukan bagi tubuh manusia untuk menunjang kegiatan sehari - hari akan tetapi
kekurangan protein pada ikan juga dapat menimbulkan kesehatan yang buruk dan dapat
meningkatkan resiko penyakit infeksi, penyakit kardiovaskular, diabetes, serta kanker
yang merupakan penyebab utama kematian di Indonesia (Depkes, 2008). Pengawetan pada
ikan perlu dilakukan untuk menjaga kualitas ikan, karena dengan pengawetan yang benar
dan baik dapat memungkinkan agar ikan tersebut dapat didistribusikan ke tempat lain.
Pengawetan dapat dilakukan dengan berbagai cara namun pada umumnya prinsip kerjanya
adalah mematikan atau menghambat miikroorganisme. Pengawetan biasanya melibatkan
perlakuan fisik seperti pemanasan, pengeringan, pendinginan dan pembekuan. Pengawetan
juga ada yang melibatkan penambahan bahan kimia seperti bahan pengawet, pelunak,
penggaraman dll. Penggaraman adalah suatu rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk
mengawetkan produk hasil perikanan dengan menggunakan garam. Garam yang
digunakan adalah jenis garam dapur (NaCl), baik berupa larutan maupun Kristal. Sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 ekor ikan tenggiri. 1 ekor ikan tidak
dilakukan penggaraman dan 9 ikan lainnya masing – masing ikan digarami dengan variasi
konsentrasi penggaraman 10% b/b, 20% b/b, dan 30% b/b dan variasi lama penggaraman
12 jam, 24 jam dan 36 jam. Sampel tersebut dibeli di pasar Kobong Semarang.
Prosedur Kerja : Langkah awal penggaraman pada ikan tenggiri adalah dengan memilih
bahan ikan tenggiri yang segar. Disiapkan 10 ekor ikan yang memiliki besar dan berat
yang hampir sama. Langkah berikutnya dilakukan pembersihan isi perut pada ikan tenggiri
sambil dicuci dengan air sampai ikan benar - benar bersih. Ikan tenggiri yang telah dicuci
kemudian ditiriskan sampai air kering kemudian ikan dimasukan dalam wadah
penampungan untuk proses penggaraman. Dari 10 ekor sampel ikan 1 ekor ikan dianalisis
total protein dan profil protein tanpa penggaraman sedangkan 9 ekor ikan yang tersisa
dilakukan penggaraman 10%, 20% dan 30% b/b selama 12, 24, dan 36 jam. Ikan
kemudian dimasukan kedalam wadah tertutup yang telah diberi label sesuai perlakuan
yang dilakukan. Ikan tenggiri dihaluskan dengan menambahkan PBS 1x dan divortex.
Sampel dimasukkan ke dalam kulkas selama 1 jam dan dicentrifuge sehingga didapatkan
supernatan (protein) dan kemudian dibaca total protein secara spektrofotometri. Separating
gel dibuat, ditambahkan butanol untuk menutupi permukaan dan dibiarkan sampai terjadi
polimerisasi kemudian dibersihkan dengan aquades dan ditambahkan stacking gel. Sisir
dimasukkan dan dibiarkan sampai terjadi polimerisasi. Sisir diangkat maka akan terbentuk
sumuran (well). Dimasukkan sampel ke well dengan perbandingan 4:1 (16 µl sampel : 4 µl
sampel buffer). Tambahkan running buffer pada alat dan power supply dihidupkan.
Ditunggu hingga proses running selesai yang ditandai dengan turunnya Bromo Phenol
Blue sampai ke dasar. Kemudian gel diwarnai dengan Commasie Brilliant Blue R-250
selama 120 menit hingga pita protein terwarnai. Destaining gel 3–4 kali hingga gel tampak
bersih, dimasukkan gel ke dalam larutan asam asetat glasial 10%, kemudian dipress dan
dikeringkan selama 48 jam di ruangan gelap. Untuk menentukan berat molekul protein,
dihitung menggunakan Rf dan diplotkan pada grafik logaritma dari Rf marker protein
yang berat molekulnya telah diketahui.
Hasil : Pada penelitian ini metode spektrofotometri digunakan untuk menentukan
konsentrasi total protein ikan tenggiri sebelum penggaraman dan sesudah penggaraman
dengan variasi penggaraman 10%, 20%, dan 30% b/b dan vaiasi lama penggaraman 12
jam, 24 jam, dan 36 jam. Dari hasil pengukuran O.D dengan spektrofotometer dengan
panjang gelombang λ 595 nm kontrol ikan tenggiri memiliki total protein yang lebih besar
dibandingkan dengan ikan tenggiri yang dilakukuan penggaraman. Total protein ikan
tenggiri yang tertinggi ada pada ikan tenggiri segar sebesar 10,8 µg/µl. Ikan tenggiri yang
telah mendapat perlakuan variasi konsentrasi penggaraman dan variasi lama penggaraman
memiliki total protein yang lebih rendah dari pada total protein ikan tenggiri segar.
Kesimpulan : Proses penggaraman menyebabkan turunnya kelarutan protein. Hal ini
terjadi karena terbentuknya ikatan silang dari disulfida sehingga menyebabkan kelarutan
protein menurun. Hasil penelitian yang menunjukan bahwa konsentrasi penggaraman 10%
b/b selama 12 jam pada ikan tenggiri memiliki lebih banyak pita protein mayor dari pada
ikan tenggiri yang mendapat perlakuan penggaraman 20%, 30% b/b selama 12 jam dan
10%, 20%, dan 30% b/b selama 24 jam dan 36 jam sedangkan pada penggaraman 30% b/b
selama 36 jam tidak dianjurkan karena semua pita protein mayor tebal sudah terdenaturasi
menjadi pita protein mayor tipis dan pita protein minor.
DAFTAR PUSTAKA

Fahima, A., Mukaromah, A. H., & Ethica, S. N. (2018). Profil Protein Berbasis Sds-Page
Pada Ulat Sagu Hasil Pengeringan Dengan Garam Dan Tanpa Garam. In Prosiding
Seminar Nasional & Internasional (Vol. 1, No. 1).
Germanyta, A. A., Jularso, E., & Budhy S, T. I. (2016). Identifikasi protein pada
granuloma periapikal dengan metode SDS-PAGE. Oral and Maxillofasial Pathology
Journal., 3(1), 11-16.
Rahmahani, J., Pradhita, D. K. S., & Widjaja, N. S. (2021). Isolasi dan Identifikasi Protein
Spike (Protein-S) pada Isolat Lapangan Infectious Bronchtis Virus. Jurnal Medik
Veteriner, 4(1), 104-109.
Wahyudi, R., & Maharani, E. T. W. (2017). Profil protein pada Ikan Tenggiri dengan
variasi penggaraman dan lama penggaraman dengan menggunakan metode SDS-
PAGE. In Prosiding Seminar Nasional & Internasional.
Yuniarto, I., Jannah, N., & Kulsum, U. (2018). Identifikasi Profil Protein Isolat
Trypanosoma Evansi dengan Metode SDS-PAGE.
Herlina, N., Setiyono, A., Juniantito, V., & Said, S. (2019). Induksi dan purifikasi
antibodi anti-Coxiella burnetii untuk deteksi post mortem Q fever pada
ruminansia. Acta Veterinaria Indonesiana, 7(1), 1-10.
Masyitoh, MD, Dewanti, IR, & Setyorini, D. (2017). Analisis Profil Protein Ekstrak
Aquades dan Etanol Daun Mimba (Azadirachta Indica A. Juss) dengan Metode SDS-
PAGE (Analisis Profil Protein Aquadest dan Ekstrak Etanol Daun Mimba dengan
Metode SDS-PAGE). Pustaka Kesehatan , 4 (3), 533-539.
Estuningsih, S. E., & Widjajanti, S. (1999). Characterisation of protein antigen from
Fasciola gigantica of different age. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, 4(1), 60-64.
Germanyta, A. A., Jularso, E., & Budhy S, T. I. (2016). Identifikasi protein pada
granuloma periapikal dengan metode SDS-PAGE. Oral and Maxillofasial Pathology
Journal., 3(1), 11-16.
Oktarianti, R. Pengembangan Transmission Blocking Vaccine (TBV) Melawan Demam
Berdarah Dengue (DBD): Identifikasi Faktor Imunomodulator Putatif dari Salivary
Gland Aedes aegypti Berbasis Reaksi Antigen-Antibodi Vektor dan Inang Manusia.
Djajanegara, I., Artama, W., Lestari, R., & Pambudi, S. (2005). Verifikasi cDNA T29
sebagai kandidat gen pengkode protein Toxoplasma gondii dengan metode SDS
PAGE. BERKALA PENELITIAN HAYATI JOURNAL OF BIOLOGICAL
RESEARCHES, 11(1), 61-66.

Anda mungkin juga menyukai