Anda di halaman 1dari 12

PANDUAN

PENERAPAN PROGRAM APU PPT BERBASIS RISIKO TERKAIT


TINDAK PIDANA KEHUTANAN
SEBAGAI TINDAK PIDANA ASAL (TPA) TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (TPPU)
BERISIKO TINGGI

(Sumber: Penilaian Risiko Sektoral Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Kehutanan, Maret 2020)

I. Latar Belakang
• Hasil Pengkinian Penilaian Risiko Indonesia terhadap Pencucian Uang Tahun 2015 yang
dilakukan tahun 2019 (NRA 2015 Updated), telah memetakan risiko pencucian uang
berdasarkan tindak pidana asal yang menunjukkan bahwa adanya 5 (lima) Tindak Pidana
Asal yang memiliki risiko tinggi, diantaranya Tindak Pidana Narkotika, Korupsi Perbankan,
Kehutanan dan Pasar Modal. NRA 2015 Updated tersebut masih digunakan sebagai acuan
dalam proses Mutual Evaluation Review (MER) Indonesia oleh Financial Action Task Force
(FATF) termasuk pada penilaian Immediate Outcome 3 – Supervision dan Immediate Outcome
4 – Preventive Measure.
• Untuk merespon hal tersebut, Pemerintah Indonesia telah menyusun Strategi Nasional
Dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme Tahun 2019 yang menyatakan bahwa aksi prioritas untuk memitigasi
risiko tersebut diantaranya melalui penyusunan Penilaian Risiko Sektoral Penanganan
Perkara Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Kehutanan atau Sectoral Risk Assessment on
Forestry Crimes dengan pemangku kepentingan meliputi Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Polri), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
• Berkaitan dengan hal tersebut, telah disusun Penilaian Risiko Sektoral
Penanganan Perkara Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Kehutanan atau Sectoral
Risk Assessment on Forestry Crime. SRA TPA Kehutanan disusun dengan menggunakan
data kuantitatif dan kualitatif selama periode 2017 s.d. 2019 dari berbagai sumber a.l.
Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, Hasil Analisis atau Hasil Pemeriksaan PPATK,
Penyidikan, Penuntutan dan Putusan Pengadilan, dan Studi Kasus.
• Penilaian Risiko Sektoral TPA Kehutanan bertujuan untuk mencapai pemahaman yang lebih
baik, mengidentifikasi risiko utama dan mengeksplorasi strategi mitigasi untuk mencegah
dan memberantas TPPU Kehutanan, sekaligus menjadi dasar koordinasi domestik antara
Penegak Hukum, Lembaga Pengawas dan Pengatur, dan PPATK.

II. Modus
Beberapa modus pencucian uang hasil tindak pidana di bidang Kehutanan yang umum
dilakukan oleh para pelaku sesuai dengan APG Yearly Typologies Report, Methods and Trends of
Money Laundering and Terrorism Financing adalah sebagai berikut:
• Pembelian aset dan barang– barang mewah
Uang hasil tindak pidana yang digunakan membeli barang – barang mewah jam mewah,
mobil dan perhiasan ataupun aset seperti tanah atau apartemen dijadikan sebagai upaya
pengaburan asal usul hasil tindak pidana tersebut. Aset dan barang mewah selanjutnya
umumnya diatasnamakan pihak ketiga yang bertujuan untuk menyembunyikan beneficial
owner yang sebenarnya.

1
• Penggunaan akun nama orang lain (nominee), wali amanat, anggota keluarga dan pihak
ketiga yang berasal dari lingkup pelaku kejahatan
Teknik ini biasa digunakan untuk mengaburkan identitas orang-orang yang mengendalikan
dana hasil kejahatan. Contohnya pembelian aset/barang-barang mewah berupa tanah,
bangunan dan properti dengan mengunakan nama kepemilikan orang lain (perantara) dan
pihak keluarga (anak, istri, orang tua). Pihak tersebut hanya tercatat atas kepemilikannya
(registered ownership) dan bukan sebagai penerima manfaat.
• Penggunaan uang tunai
Cara ini digunakan sehingga perpindahan dana tidak diketahui atau terhindar dari
pelaporan transaksi tunai.

III. Tindak Pidana Kehutanan


Lingkup tindak pidana kehutanan yang dimaksud yaitu suatu perbuatan yang pelakunya
diancam hukuman pidana berdasarkan Undang-Undang. Ketentuan pemidanaan atas Tindak
Pidana Kehutanan diatur dalam Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Berdasarkan Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2013
tersebut, perbuatan tindak pidana kehutanan meliputi:
No Karakteristik Tindak Perbuatan Pidana
Pidana Kehutanan
1 Pasal 12 huruf a a. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang
sampai m tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan.
b. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang.
c. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
secara tidak sah.
d. Memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut,
menguasai dan/atau memiliki hasil penebangan di
Kawasan hutan tanpa izin.
e. Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan kayu
yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan
sahnya hasil hutan.
f. Membawa alat–alat yang lazim digunakan untuk
menebang, memotong atau membelah pohon di dalam
kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
g. Membawa alat–alat berat dan/atau alat–alat lainnya yang
lazim atau patut diduga akan digunakan untuk
mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa
izin pejabat yang berwenang.
h. Memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari
hasil pembalakan liar.
i. Mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat,
perairan atau udara.
j. Menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui
sungai, darat, laut atau udara.
k. Menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima

2
No Karakteristik Tindak Perbuatan Pidana
Pidana Kehutanan
titipan dan atau memiliki hasil hutan yang diketahui
berasal dari pembalakan liar.
l. Membeli, memasarkan dan/atau mengolah hasil hutan
kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau
dipungut secara tidak sah.
m. Menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang
berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut
secara tidak sah.
2 Pasal 14 huruf a dan b a. Memalsukan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu;
dan/atau
b. Menggunakan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu
yang palsu.
3 Pasal 15 Setiap orang dilarang melakukan penyalahgunaan dokumen
angkutan hasil hutan kayu yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang.
4 Pasal 16 Setiap orang yang melakukan pengangkutan kayu hasil hutan
wajib memiliki dokumen yang merupakan surat keterangan
sahnya hasil hutan dengan ketentuan peraturan perundangan
– perundangan.
5 Pasal 17 Ayat 1 huruf a. Membawa alat – alat berat dan/atau alat – alat lain yang
a s.d. e lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan
kegiatan penambangan dan/atau mengangkut hasil
tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri;
b. Melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan
hutan tanpa izin Menteri;
c. Mengangkut dan/atau menerima titipan hasil tambang
yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan
hutan tanpa izin;
d. Menjual, menguasai, memiliki dan/atau menyimpan hasil
tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam
kawasan hutan tanpa izin; dan/atau
e. Membeli, memasarkan dan/atau mengolah hasil tambang
dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa
izin.
6 Pasal 17 Ayat 2 a a. Membawa alat – alat berat dan/atau alat – alat lainnya yang
hingga e lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan
kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di
dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri;
b. Melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di
dalam kawasan hutan;
c. Mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan
di dalam kawasan hutan tanpa izin;

3
No Karakteristik Tindak Perbuatan Pidana
Pidana Kehutanan
d. Menjual, menguasai, memiliki dan/atau menyimpan hasil
perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di
dalam kawasan hutan tanpa izin; dan/atau
e. Membeli, memasarkan dan/atau mengolah hasil kebun
dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di
dalam kawasan hutan tanpa izin.
7 Pasal 19 huruf a a. Menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan
hingga i pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah;
b. Ikut serta melakukan atau membantu terjadinya
pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah;
c. Melakukan permufakatan jahat untuk melakukan
pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah;
d. Mendanai pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah secara langsung atau tidak
langsung;
e. Menggunakan dana yang diduga berasal dari hasil
pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah;
f. Mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan/atau
hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, seolah–
olah menjadi kayu yang sah atau hasil penggunaan
kawasan hutan yang sah untuk dijual kepada pihak ketiga,
baik di dalam maupun di luar negeri;
g. Memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dengan
mengubah bentuk, ukuran, termasuk pemanfaatan
limbahnya;
h. Menempatkan, mentransfer, membayarkan,
membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri dan/atau
menukarkan uang atau surat berharga lainnya serta harta
kekayaan lainnya yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil pembalakan liar dan/atau hasil
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; dan/atau
i. Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang
diketahui atau patut diduga berasal dari hasil pembalakan
liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara
tidak sah sehingga seolah – olah menjadi harta kekayaan
yang sah.

4
IV. Hasil Penilaian Risiko Sektoral Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana
Kehutanan

Berdasarkan Best Practice International-FATF Guidance, National Money Laundering and Terrorist
Financing Risk Assessment, Februari 2013, klasifikasi risiko pada SRA ini dibagi menjadi tiga
yaitu tinggi, menengah, dan rendah.

A. Hasil penilaian risiko berdasarkan jenis tindak pidana kehutanan


Berdasarkan hasil penilaian risiko terhadap jenis tindak pidana Kehutanan diketahui bahwa
terdapat 5 dari 36 karakteristik tindak pidana kehutanan sebagaimana telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 yang memiliki risiko tinggi terjadinya
pencucian uang, yaitu:
1. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi
secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan (Pasal 12 E);
2. Melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan (Pasal
17 Ayat 2B);
3. Melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri
(Pasal 17 Ayat 1B);
4. Mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan atau udara (Pasal
12 I); dan
5. Menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/atau
memiliki hasil hutan kayu diketahui berasal dari pembalakan liar (Pasal 12 K).

B. Hasil penilaian risiko berdasarkan profil pelaku kejahatan


Berdasarkan jenis profil pelaku kejahatan, diketahui bahwa pihak yang memiliki risiko
tinggi terhadap pencucian uang hasil tindak pidana kehutanan risiko tinggi meliputi:
1. Pengusaha
2. Politically Exposed Person/PEP (Pejabat Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif)
3. Non Perorangan – Perseroan Terbatas (PT); dan
4. Perusahaan Dagang atau Usaha Dagang (PD/UD).

5
Hal tersebut dikarenakan tingginya ancaman yang diperoleh dari banyaknya jumlah kasus
yang melibatkan profil tersebut. Lebih lanjut, dalam penanganan kasus yang melibatkan
profil tersebut, terutama pada profil pengusaha dan non perorangan-PT sering kali
mendapatkan upaya perlawanan, dalam bentuk pra-peradilan. Penilaian risiko berdasarkan
profil pelaku kejahatan secara lengkap sebagaimana gambar di bawah.

C. Hasil penilaian risiko berdasarkan wilayah


Berdasarkan sebaran wilayah terjadinya pencucian uang hasil tindak pidana kehutanan
diketahui bahwa wilayah berisiko tinggi adalah:
1. Papua;
2. Riau;
3. Papua Barat;
4. Kalimantan Barat;
5. Kalimantan Tengah;
6. Jambi; dan
7. Sumatera Selatan.

Penilaian risiko berdasarkan wilayah secara lengkap sebagaimana gambar di bawah.


Selanjutnya, berdasarkan data penyidikan dan penindakan Sumber Daya Alam (SDA) oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Tahun 2017 s.d. 2019, telah dilakukan Penyidikan SDA
pada komoditi kayu sebanyak 9 kasus dan 37 Penindakan terhadap Illegal Logging.
Berdasarkan data intelijen diketahui bahwa negara tujuan ekspor Illegal Logging
tersebut tersebar ke beberapa negara di antaranya Malaysia, Singapura, China dan
Maldives.

6
V. Indikator atau Redflag Transaksi Keuangan Mencurigakan Indikasi Tindak Pidana
Kehutanan
Indikator Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM) yang berindikasi tindak pidana
pencucian uang hasil kehutanan ini diperoleh berdasarkan data-data TKM, Hasil Analisis atau
Pemeriksaan PPATK, serta Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap,
sebagai berikut:
a. Terdapat transaksi yang dilakukan dengan para pihak terduga dan/atau terpidana
melakukan aktivitas tindak pidana kehutanan;
b. Pengajuan fasilitas pembiayaan dengan menjaminkan lahan hutan lindung di wilayah yang
tidak memiliki izin penggunaan kawasan;
c. Adanya instruksi transaksi yang tidak wajar pada berita transaksi;
d. Transaksi tampak tidak sesuai atau tidak konsisten dengan aktivitas atau kegiatan bisnis
pengguna jasa;
e. Penggunaan rekening pribadi atau perseorangan untuk menampung hasil kegiatan usaha;
f. Adanya transaksi dari rekening pengurus atau perusahaan di bidang kehutanan kepada
pihak PEP (Pejabat Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif);
g. Adanya setoran dan/atau penarikan uang tunai yang dipecah-pecah dengan nominal
tertentu dan dilakukan berkali-kali dalam sehari (structuring);
h. Transaksi yang dilakukan secara tunai dalam jumlah besar di luar kebiasaan pengguna jasa;
i. Identitas profil pekerjaan pengguna jasa saat pembukaan rekening tidak sesuai dengan
jabatan dan pekerjaan saat ini;
j. Pola transaksi bersifat pass-by dengan menggunakan metode MCM In-house Transfer atau
transfer yang dilakukan secara mandiri oleh pengguna jasa;
k. Adanya pemanfaatan rekening lainnya sebagai rekening penampungan;
l. Adanya penggunaan rekening pribadi untuk melakukan aktivitas usaha yang
mengatasnamakan beberapa perusahaan (Beneficial Ownership).

7
VI. Tantangan
Dalam penanganan perkara pencucian uang hasil tindak pidana kehutanan, Pihak Aparat
Penegak Hukum memiliki beberapa tantangan yang dihadapi, sebagai berikut:
• Banyaknya pihak pelaku kejahatan yang terlibat dan memiliki akses politik yang kuat.
• Terbatasnya waktu penyidik selama 90 hari dalam menyelesaikan dan menyampaikan
berkas perkara perusakan hutan hingga ke aktor intelektual.
• Adanya upaya hukum yang kuat dilakukan oleh pelaku kejahatan.
• Masih terdapat kesulitan dalam melakukan pembekuan aset seperti akun rekening yang
diindikasikan sebagai penampungan hasil tindak pidana di bidang kehutanan.
• Adanya tren atau fenomena pada hasil putusan perkara di bidang kehutanan yang
memberikan hukuman denda yang sangat besar namun opsi subsider yang diberikan cukup
ringan. Hal ini belum sejalan dengan upaya untuk mengoptimalkan pengembalian kerugian
negara maupun kerusakan lingkungan.

VII. Strategi Mitigasi Risiko


A. Bidang Pencegahan
o Penyelarasan aturan–aturan yang berkaitan dengan Tindak Pidana Kehutanan yang
berpotensi menghasilkan Tindak Pidana Pencucian Uang.
o Sosialisasi dan edukasi program Anti Pencucian Uang kepada masyarakat di sekitar
kawasan hutan yang berisiko tinggi.
o Penyediaan akses data dan informasi bagi publik mengenai Rencana Kerja Usaha (RKU),
Rencana Kerja Tahunan (RKT) dan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) untuk membangun
jaringan pemantauan dari hulu sampai hilir.
o Pemberian pedoman bagi sektor industri terkait dengan indikator transaksi
keuangan mencurigakan yang berindikasi Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil
Tindak Pidana Kehutanan.
o Sosialisasi dan edukasi program Anti Pencucian Uang kepada stakeholder (Pihak
Pelapor dan Aparat Penegak Hukum) di wilayah berisiko tinggi terjadinya Tindak
Pidana Kehutanan.
o Pihak Pelapor diharapkan dapat lebih aware terhadap identifikasi dan verifikasi
perizinan terhadap Korporasi yang bergerak di bidang kehutanan.

B. Bidang Pemberantasan
o Peningkatan kapasitas aparat yang berkaitan dengan penegakkan hukum tindak pidana
pencucian uang hasil tindak pidana kehutanan.
o Optimalisasi kerjasama antara Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung
dan Penyidikan tindak pidana kehutanan termasuk penanganan tindak pidana
pencucian uang.
o Meningkatkan informasi antara Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung
dan Penyidikan tindak pidana kehutanan dengan PPATK dan Bea Cukai dalam rangka
pengungkapan tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana kehutanan.
o Meningkatkan alokasi sumber daya berbasis risiko tindak pidana kehutanan pada
Penyidik Polri dan Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan.
o Penegakan hukum yang konsisten dan menyasar aktor intelektual sehingga dapat
memberikan efek jera bagi pelaku dan menjadi bagian upaya pencegahan bagi calon
pelaku.

8
o Pemberian kewenangan penyidikan penanganan perkara pencucian uang bagi Penyidik
Tindak Pidana Kehutanan, dalam hal ini PPNS Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

C. Bidang Kerja Sama


o Melakukan koordinasi terkait dengan penangan perkara sebelum diterbitkannya Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) antara penyidik, penuntut dan PPATK
untuk menegakkan hukum tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana di bidang
kehutanan
o Melakukan kolaborasi kerjasama melalui program joint investigasi, multidoor dan
training antara penyidik, penuntut dan PPATK untuk menegakkan hukum tindak pidana
pencucian uang hasil tindak pidana bidang kehutanan
o Mengoptimalkan pertukaran informasi antara penegak hukum, regulator, PPATK, Bea
dan Cukai dan counterpart lainnya yang relevan di luar negeri.

VIII. Panduan Umum

Berikut Panduan Umum dalam penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan
Pendanaan Terorisme (APU PPT) berbasis risiko sebagai upaya mitigasi risiko atas Tindak
Pidana Kehutanan sebagai TPA TPPU berisiko tinggi, sebagaimana mengacu pada dokumen
Fighting Forest Crime and Promoting Prudent Banking for Sustainable Forest Management: The
Anti Money Laundering Approach – Center for International Forestry Research Occasional Paper
No.44, Bambang Setiono and Yunus Husein 2005 dan FATF Report - Money Laundering from
Environmental Crime, July 2021, dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku:

1. Penyedia Jasa Keuangan (PJK) wajib memiliki kebijakan, praktik dan prosedur yang
memadai, termasuk aturan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ) yang ketat, yang
mengedepankan standar etika dan profesional yang tinggi di sektor keuangan. Kebijakan
ini dimaksudkan untuk mencegah pjk digunakan, baik sengaja maupun tidak, oleh unsur-
unsur kriminal.
2. PJK wajib memahami profil nasabahnya (termasuk nasabah yang bergerak di industri
kehutanan) dan pola transaksi nasabahnya baik bagi nasabah lama maupun nasabah baru.
3. PJK wajib melakukan Customer Due Diligence (CDD) untuk menjaga profil nasabahnya,
dengan informasi yang mencakup identitasnya, pekerjaan atau bisnis, pendapatan normal,
rekening lain yang dimiliki, transaksi keuangan normal, dan tujuan pembukaan rekening.
4. PJK wajib memastikan nasabah yang bergerak di usaha Kehutanan telah memiliki
dokumen izin resmi dari Instansi dan Pejabat terkait.
5. Dewan Direksi PJK harus menetapkan kriteria untuk menentukan negara, bisnis/usaha,
dan nasabah yang berisiko tinggi mengacu pada dokumen National Risk Assessment (NRA)
dan Sectoral Risk Assessment (SRA). Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM) biasanya
berasal dari transaksi yang berhubungan dengan entitas berisiko tinggi tersebut.
6. Mengingat Tindak Pidana Kehutanan adalah salah satu kegiatan kriminal utama di
Indonesia dan dinilai sebagai TPA TPPU berisiko tinggi pada NRA 2015 yang dikinikan
tahun 2019, maka PJK (baik domestik maupun asing) yang berurusan dengan bisnis
kehutanan dan nasabah yang melakukan usaha di sektor kehutanan harus
mempertimbangkan bisnis dan nasabah ini sebagai risiko tinggi.
7. Dengan demikian, PJK harus melakukan Enhanced Due Diligence (EDD) untuk
memastikan bahwa: (1) pendanaan untuk transaksi keuangan nasabah tidak berasal

9
dari TP Kehutanan atau kegiatan kriminal lainnya; (2) nasabah telah memiliki izin
yang sah dari Pejabat yang berwenang sebagaimana diatur pada Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor
P.6/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2020 tentang Pelimpahan Kewenangan Penerbitan
Perizinan Berusaha Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal, serta ketentuan perundang-undangan terkait lainnya;
dan (3) nasabah telah melakukan kewajiban upaya pelestarian lingkungan, sehingga
nasabah yang melakukan hubungan usaha dengan PJK tidak dan bukan nasabah yang
melanggar hukum.
8. PJK harus melakukan EDD, meliputi identifikasi, verifikasi dan monitoring, yang
tepat dan memadai pada kesempatan pertama sesuai pendekatan berbasis risiko (Risk-
based Approach/RBA). PJK tidak boleh baru melakukan EDD yang tepat dan memadai
saat telah diketahui keterlibatan nasabah dalam TP Kehutanan atau mendukung
kejahatan.
9. PJK wajib melakukan identifikasi dan verifikasi, baik bagi nasabah perorangan maupun
korporasi, dengan menggunakan dokumen pendukung. Bagi nasabah korporasi, PJK juga
wajib menilai keabsahan informasi yang berkaitan dengan bidang usaha perusahaan,
laporan keuangan, uraian kegiatan usaha, profil transaksi, perputaran usaha, lokasi
perusahaan, dan sebagainya.
10. PJK wajib melakukan monitoring atau pemantauan terhadap rekening dan transaksi
nasabahnya. Proses ini termasuk mengidentifikasi kemungkinan entri atau transaksi (tunai
atau non-tunai) yang tidak sesuai dengan profil pelanggan. PJK wajib melakukan
pemantauan yang lebih intensif terhadap nasabah berisiko tinggi.
11. PJK melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan terkait nasabah atau transaksi yang
terlibat Tindak Pidana Kehutanan kepada PPATK.
12. Penguatan Public Private Partnership (PPP) dalam penanganan TPPU yang berasal dari
Tindak Pidana Kehutanan sebagai international best practice dalam menghadapi berbagai
tantangan di sektor jasa keuangan. Melalui PPP diharapkan dapat meningkatkan
awareness mengenai Tindak Pidana Kehutanan sebagai TPA TPPU berisiko tinggi, dan
sebagai solusi atas information gap di sektor ektraksi yang, pada umumnya, PJK memiliki
informasi yang terbatas dan bergantung pada dokumen nasabah.

IX. Keuangan Berkelanjutan


Penerapan Keuangan Berkelanjutan dimaksudkan untuk mewujudkan perekonomian nasional
yang tumbuh secara stabil, inklusif, dan berkelanjutan dengan tujuan akhir memberikan
kesejahteraan ekonomi dan sosial kepada seluruh rakyat, serta melindungi dan mengelola
Lingkungan Hidup secara bijaksana di Indonesia, proses pembangunan ekonomi harus
mengedepankan keselarasan aspek ekonomi, sosial, dan Lingkungan Hidup. Hal ini karena
penyelenggaraan pembangunan yang hanya menargetkan pertumbuhan ekonomi akan
menyebabkan kesenjangan sosial dan penurunan kualitas Lingkungan Hidup dengan segala
implikasinya.
Dalam mencapai perekonomian nasional yang tumbuh secara stabil, inklusif, dan
berkelanjutan tersebut diperlukan dukungan dari sistem keuangan yang dapat mencegah
terjadinya praktik pendanaan atau investasi pada kegiatan usaha yang menggunakan
sumber daya secara berlebihan, dapat meningkatkan kesenjangan sosial, dan
mengakibatkan kerusakan Lingkungan Hidup.

10
PJK agar mengacu pada Peraturan OJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan
Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik, sebagai berikut:

1. PJK, Emiten, dan Perusahaan Publik wajib menerapkan Keuangan Berkelanjutan dalam
kegiatan usaha PJK, Emiten, dan Perusahaan Publik.
• Keuangan Berkelanjutan adalah dukungan menyeluruh dari Sektor Jasa Keuangan
untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan menyelaraskan
kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.
• Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang memengaruhi alam itu
sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lain.
2. Penerapan Keuangan Berkelanjutan dilakukan dengan menggunakan:
a. Prinsip investasi bertanggung jawab;
Yang dimaksud dengan “prinsip investasi bertanggung jawab” adalah pendekatan
investasi keuangan pada proyek dan inisiatif pembangunan berkelanjutan, produk
pelestarian alam, dan kebijakan yang mendukung pembangunan ekonomi berkelanjutan
serta meyakini bahwa penciptaan keuntungan investasi jangka panjang tergantung pada
sistem ekonomi, sosial, Lingkungan Hidup, dan tata kelola. Pembangunan berkelanjutan
merupakan upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek ekonomi, sosial, dan
Lingkungan Hidup ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan
Lingkungan Hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup
generasi masa kini dan generasi masa depan.
b. Prinsip strategi dan praktik bisnis berkelanjutan;
Yang dimaksud dengan “prinsip strategi dan praktik bisnis berkelanjutan” adalah
pembangunan nilai bagi sektor jasa keuangan untuk berkontribusi terhadap masyarakat
melalui kebijakan dan praktik bisnis serta penerapan strategi bisnis oleh PJK, Emiten,
dan Perusahaan Publik dengan meminimalkan dampak negatif dan mengintegrasikan
aspek ekonomi, sosial, Lingkungan Hidup, dan tata kelola baik pada setiap sektor
maupun strategi dari masing-masing lini bisnis.
c. Prinsip pengelolaan risiko sosial dan Lingkungan Hidup;
Yang dimaksud dengan “prinsip pengelolaan risiko sosial dan Lingkungan Hidup” adalah
pengintegrasian aspek tanggung jawab sosial serta perlindungan dan pengelolaan
Lingkungan Hidup dalam manajemen risiko guna menghindari, mencegah, dan
meminimalkan dampak negatif yang timbul akibat eksposur risiko yang terkait dengan
aspek sosial dan Lingkungan Hidup.
d. Prinsip tata kelola;
Yang dimaksud dengan “prinsip tata kelola” adalah penerapan tata kelola pada aspek
tanggung jawab sosial serta perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup yang
transparan, akuntabel, bertanggung jawab, independen, setara dan wajar.
e. Prinsip komunikasi yang informatif;
Yang dimaksud dengan “prinsip komunikasi yang informatif” adalah penggunaan model
komunikasi yang tepat terkait strategi organisasi, tata kelola, kinerja, dan prospek usaha
kepada seluruh pemangku kepentingan.
f. Prinsip inklusif;
Yang dimaksud dengan “prinsip inklusif” adalah pemerataan akses produk dan/atau
jasa PJK, Emiten dan Perusahaan Publik bagi masyarakat, serta menjangkau seluruh

11
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk mempercepat kemajuan ekonomi,
kesejahteraan sosial, dan perlindungan Lingkungan Hidup, khususnya bagi masyarakat
yang selama ini tidak atau kurang memiliki akses produk dan/atau jasa PJK, Emiten,
dan Perusahaan Publik.
g. Prinsip pengembangan sektor unggulan prioritas; dan
Yang dimaksud dengan “prinsip pengembangan sektor unggulan prioritas” adalah
memberikan porsi yang lebih besar pada sektor unggulan yang menjadi prioritas untuk
mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan termasuk upaya mitigasi dan adaptasi
terhadap perubahan iklim.
h. Prinsip koordinasi dan kolaborasi.
Yang dimaksud dengan “prinsip koordinasi dan kolaborasi” adalah peningkatan
koordinasi dan kolaborasi seluruh pemangku kepentingan sektor jasa keuangan
termasuk kementerian, lembaga, sektor, atau unit bisnis yang memiliki program kerja
berkaitan erat dengan implementasi pembangunan berkelanjutan untuk mempercepat
peningkatan kesejahteraan ekonomi, sosial dan kualitas Lingkungan Hidup bagi seluruh
rakyat Indonesia serta mendorong peran serta masyarakat terkait dengan aspek
ekonomi, sosial, Lingkungan Hidup dan tata kelola.
3. Untuk menerapkan Keuangan Berkelanjutan, PJK wajib menyusun Rencana Aksi Keuangan
Berkelanjutan disertai dengan target waktu penerapan dan disusun berdasarkan prioritas
masing-masing LJK paling sedikit:
a. pengembangan Produk dan/atau Jasa Keuangan Berkelanjutan termasuk peningkatan
portofolio pembiayaan, investasi atau penempatan pada instrumen keuangan atau
proyek yang sejalan dengan penerapan Keuangan Berkelanjutan;
b. pengembangan kapasitas intern PJK; atau
c. penyesuaian organisasi, manajemen risiko, tata kelola, dan/atau standar prosedur
operasional (standard operating procedure) PJK yang sesuai dengan prinsip penerapan
Keuangan Berkelanjutan.

12

Anda mungkin juga menyukai