Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Maloklusi merupakan suatu penyimpangan pertumbuhan dentofasial,selain

mengganggu fungsi pengunyahan,penelanan dan bicara,juga mengganggu

keindahan wajah. Maloklusi merupakan problem yang cukup besar dan

menempati urutan ketiga diantra masalah gigi dan mulu setelah karies dan

penyakit periodontal,karena itu masalah ini harus mendapatkan perhatian

khusus dari dokter gigi (Kusnoto, 2015).

Salah satu masalah gigi dan mulut yang sering terjadi adalah maloklusi.

Maloklusi dapat berupa ketidakteraturan gigi geligi atau yang keluar dari

posisi ideal, serta hubungan yang tidak tepat antar rahang dilihat dari berbagai

bidang (Adhani R, 2014; Shenoy RP, 2014; Laguhi VA, 2014).

Maloklusi menempati urutan ketiga dalam masalah kesehatan gigi dan

mulut setelah karies dan penyakit periodontal. (Adhani R, 2014; Shenoy RP,

2014; Uzuner FD, 2015). Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013

menunjukkan prevalensi nasional untuk masalah gigi dan mulut di Indonesia

adalah sebesar 25,9%, prevalensi ini naik dibanding tahun 2007 lalu yaitu

sebesar 23,4%. Prevalensi masalah gigi dan mulut Provinsi Sumatera Barat

sebesar 22,2% (Riskesdas, 2013). Beberapa peneliti di bidang ortodonti

lainnya mengatakan bahwa prevalensi maloklusi pada remaja Indonesia

menunjukkan angka yang sangat tinggi. Prevalensi maloklusi remaja


Indonesia mulai tahun 1983 sebesar 90% dan pada tahun 2006 sebesar 89%

(Adhani R, 2014).

Umumnya maloklusi dan deformitas dentofasial bukan merupakan suatu

proses patologis dan penyebabnya multifaktoral yaitu adanya interaksi

berbagai faktor yang memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan. Dari

insidensi maloklusi hanya sekitar 5% yang dapat diketahui penyebabnya

dengan pasti. Pendapat ini ditunjang oleh beberapa ahli yang menyatakan

bahwa maloklusi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara berbagai faktor

dentokraniofasial,baik dalam ukuran,bentuk maupun posisinya.

Perkembangan gigi dan pertumbuhan fasial ditentukan oleh faktor herediter

dan lingkungan. Hasil penelitian menunjukan bahwa ukuran gigi,lengkung

gigi dan oklusi sangat ditentukan oleh faktor keturunan (Kusnoto, 2015).

Profit,mengelompokkan etiologi maloklusi sebagai berikut:

1. Penyebab yang spesifik: gangguan pada waktu perkembangan

embrio,pertumbuhan skeletal,disfungsi otot,akromegali dan hipertrofi

hemimandibula,serta gangguan perkembangan gigi.

2. Pengaruh genetik.

3. Pengaruh lingkungan.

4. Etiologi dari sudut pandang mutakhir.

Menurut Bahreman perkembangan oklusi dipengaruhi oleh genetik dan

lingkungan,serta keduanya saling mempengaruhi. Penelitian menunjukkan

bahwa faktor genetik sangat berpengaruh pada struktur kraniofasial selama

periode embrio,sedangkan faktor lingkungan mempengaruhi perkembangan

oklusi pada periode pascanatal dini (Kusnoto, 2015).

2
Faktor keturunan sangat berpengaruh pada terjadinya maloklusi terutama

pada periode pranatal. Jenis maloklusi tertentu sering dijumpai pada satu

keluarga. Berbagai faktor ras,tipe fasial dan pola tumbuh kembang berperan

dalam terjadinya maloklusi (Kusnoto, 2015).

Beberapa klasifikasi maloklusi dijelaskan menurut Dewey

dimana,klasifikasi Dewey merupakan modifikasi dari klasifikasi maloklusi

menurut Angle. Dewey memodifikasi klasifikasi Angle kelas I dan kelas III

pada tahun 1915 dengan cara memisahkan malposisi segmen anterior dan

posterior. Salah satu hasil modifikasi Dewey adalah klasifikasi maloklusi tipe

1 yaitu klasifikasi Angle kelas I dengan crowded pada gigi anterior rahang

atas (Marya, 2011). Gigi crowded atau gigi berjejal itu sendiri diartikan

sebagai sebuah ketidakharmonisan antara panjang lengkung basal yang

tersedia dengan panjang lengkung yang diharapkan untuk letak atau barisan

gigi yang baik (Sun MK, 2009).

Lengkung gigi didefinisikan sebagai suatu garis lengkung imajiner yang

menghubungkan sederetan gigi pada rahang atas dan rahang bawah (Shafique

A, 2011). Lengkung gigi berhubungan dengan ketersediaan ruang untuk

erupsi gigi geligi, estetika dan stabilitas dari gigi geligi (Mohammad HA,

2011). Bentuk lengkung gigi yang telah dijabarkan oleh para peneliti pada

dasarnya dikategorikan atas tiga bentuk, yaitu tapered, ovoid, dan square

(Tajik, 2011). Howe dkk. (1983) menunjukan bahwa dimensi lengkung lebih

berpengaruh terhadap gigi berjejal dibandingkan dengan ukuran gigi,serta

lebar lengkung rahang kelompok gigi tidak berjejal lebih besar dibandingkan

dengan kelompok gigi berjejal (Raymond P. Howe, 1983). Pada lengkung

3
rahang bawah berbentuk narrow menjadi bentuk lengkung kedua terbanyak

setelah flat yang memiliki gigi berjejal ringan (0-3mm) pada regio anterior

rahang bawah (Puteri Islami Savitri, 2014). Untuk menentukan bentuk

lengkung gigi langsung pada model kerja dapat menggunakan metode

determinasi lengkung. Metode ini dilakukan dengan cara membuat gambaran

bentuk lengkung gigi rahang atas pada plastik transparant yang diletakkan di

atas glass lab dengan spidol (Sulandjari, 2008)

Keberhasilan suatu perawatan ortodonti tergantung dari diagnosa dan

rencana perawatan yang baik dan benar. Dalam menegakkan diagnosa dan

rencana perawatan,salah satu prosedur penting yang harus dilakukan adalah

menentukan bentuk lengkung gigi. Dimana dimensi lengkung gigi merupakan

pertimbangan penting yang akan mempengaruhi ketersediaan ruang, estetis,

dan stabilitas gigi. Perbedaan bentuk lengkung gigi antar individu disebabkan

oleh faktor genetik, ras, jenis kelamin, dan lingkungan seperti yang sudah

dijelaskan diatas. Bentuk lengkung gigi harus dievaluasi, mengingat

pentingnya mempertahankan dimensi bentuk lengkung gigi selama perawatan

ortodontik. Kebanyakan pasien dengan maloklusi memiliki perubahan

dimensi lengkung gigi yang berbeda dari normal (Trivino, 2008)

Berdasarkan karakteristik kraniofasial, mandibula, gigi, lengkung gigi,

sampai bentuk kepala dapat merefleksikan ciri khas dari masing-masing ras.

Sassouni dan Rickets berpendapat bahwa kelompok ras yang berbeda akan

menampilkan pola kraniofasial yang berbeda pula. Masyarakat Indonesia

berasal dari dua ras utama, yaitu Austro-Melanoid, yang banyak bermukim di

daerah timur dan Mongoloid, yang banyak bermukim di daerah barat.

4
Selanjutnya, ras Austro-melanoid dan Mongoloid tersebut membentuk sub-

ras, yaitu Proto Melayu dan Deutro Melayu. Ras Mongoloid umumnya

memiliki bentuk kepala brakhisefalik atau mesosefalik. Penelitian Thu pada

tahun 2005, menjelaskan bahwa suku Melayu mempunyai ukuran lengkung

gigi hampir sama dengan suku Cina karena suku Melayu dan Cina tergolong

dalam satu ras yang sama yaitu ras Mongoloid (Irsa, 2013). Oleh karena itu,

perlu dilakukan penelitian mengenai bentuk lengkung gigi rahang bawah pada

masing-masing ras, khususnya untuk bangsa Indonesia (Paputungan,

Anindita, & Siagian, 2015).

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti ingin melakukan penelitian

tentang perbandingan bentuk lengkung gigi antara Ras Mongoloid dengan

Ras Deutro Melayu.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, didapatkan rumusan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana perbedaan bentuk lengkung gigi rahang atas antara antara Ras

Mongoloid dan Ras Deutro Melayu?

2. Manakah yang lebih sering terdapat maloklusi crowded anterior pada ras

Mongoloid dan ras Deutro Melayu?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan Umum:

5
 Untuk mengetahui perbedaan bentuk lengkung dengan kejadian maloklusi

crowded anterior pada gigi rahang atas antara Ras Mongoloid dan Ras

Deutro Melayu di Kota Padang.

Tujuan khusus:

 Untuk mengetahui perbedaan bentuk lengkung gigi rahang atas antara

antara Ras Mongoloid dan Ras Deutro Melayu.

Untuk mengetahui mana yang lebih sering terdapat maloklusi crowded

anterior pada ras Mongoloid dan ras Deutro Melayu.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi klinisi

 Membantu klinisi dalam menentukan rencana perawatan dan prognosa

pada suku yang di teliti.

 Membantu klinisi dalam pemilihan bentuk lengkung gigi yang benar dari

segi estetik serta cocok untuk protesa dalam bidang prostodonti.

 Menambah informasi dalam bidang ortodonti mengenai kondisi ekstra oral

khususnya bentuk lengkung gigi pada ras Mongoloid dan ras Deutro

Melayu sebelum melakukan perawatan ortodonti.

1.4.2 Bagi ilmu pengetahuan

 Memberikan informasi mengenai bentuk lengkung gigi suku Minang.

 Memberikan informasi dan menambah ilmu pengetahuan mengenai

perbedaan lengkung gigi antara pada ras Mongoloid dan ras Deutro

Melayu.

6
 Hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat menjadi informasi

tambahan untuk penelitian selanjutnya.

1.4.3 Bagi Peneliti

Dapat menambah wawasan pengetahuan dan menjadi pengalaman bagi

peneliti khususnya dalam bidang penelitian.

7
DAFTAR PUSTAKA

Adhani R, d. (2014). Perbedaan Indeks Karies antara Maloklusi Ringan dan Berat
pada Remaja di Ponpes Darul Hijrah Martapura. Dentino Jurnal Kedokteran Gigi.
, 2(1):13-17.

Irsa, R. S. (2013). Variasi Kefalometri pada Beberapa Suku di Sumatera Barat.


Jurnal Biologi Universitas Andalas , 2(2): 130-137.

Kusnoto, j. d. (2015). buku ajar jilid 1 ortodonti. EGC.

Laguhi VA, d. (2014). Gambaran Maloklusi dengan Menggunakan HMAR pada


Pasien di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Sam Ratulangi Manado.
Jurnal e-GiGi. , 2(2).

Marya, C. (2011). A textbook of public health dentistry. New Delhi: Jaypee


Brothers Medical Publishers.

Mohammad HA, H. M. (2011). Dental arch dimension of Malay ethnic group .


Am J Applied Sci , 8(11): 1061-4.

Paputungan, R. E., Anindita, P. S., & Siagian, K. V. (2015). Ukuran dan Bentuk
Lengkung Gigi Rahang Bawah pada Suku Mongondow. Jurnal e-GiGi (eG) , 351.

Puteri Islami Savitri, P. R. (2014). FREKUENSI SUSUNAN GIGI TIDAK


BERJEJAL DAN BERJEJAL RAHANG BAWAH PADA BENTUK
LENGKUNG NARROW RAHANG BAWAH. DENTINO JURNAL
KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2 , 131.

Raymond P. Howe, D. M. (1983). An examination of dental crowding and its


relationship to tooth size and arch dimension. American Journal of
ORTHODONTICS , 365.

Riskesdas. (2007). Laporan hasil riset kesehatan dasar nasional tahun 2007.
Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI.

Riskesdas. (2013). Laporan hasil riset kesehatan dasar nasional tahun 2013. p.
110-119: Badan Litbangkes, Depkes RI.

8
Shafique A, S. T. (2011). Arch form analysis: A comparison of two different
method. Pakistan Oral & Dental Journal vol 31 , 31(3): 347-50.

Shenoy RP, d. (2014). Malocclusion and Orthodontic Treatment Need among


High School Students in Mangalore City India. JMED Research.

Sulandjari, J. H. (2008). Buku Ajar Ortodonsia I. Yogyakarta: Penerbit


Universitas Gajah Mada.

Sun MK, J.-H. K.-H.-S. (2009). What determines dental protrusion or crowding
while both malocclusions are caused by large tooth size? Korean J Orthod , 39(5);
330-336.

Tajik, I. M. (2011). Arch forms among different angle classification. Pakistan


Oral & Dental Journal , 31(1): 92-95.

Trivino, T. D. (2008). A New Concept of Mandibular Dental Arch with Normal


Occlusion . Am J Orthod Dentofacial Orthop , (1):pp.10-e15.

Uzuner FD, d. (2015). Angle’s Classification Versus Dental Aesthetic Index in


Evaluation of Malocclusion among Turkish Orthodontic Patients. J Dent Apps.
Austi Publishing Group. , 2(3):168-173.

Anda mungkin juga menyukai