Anda di halaman 1dari 10

REFLEKSI

KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN KOGNITIF

Disusun oleh:

Sri Wulandari(200101034)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

TP 2022/2023
KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN KOGNITIF

Secara bahasa kognitif berasal dari bahasa latin ”Cogitare” artinya berfikir.Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kognitif berarti segala sesuatu yang berhubungan atau melibatkan
kognisi, atau berdasarkan pengetahuan faktual yang empiris. Dalam pekembangan
selanjutnya, istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi, baik
psikologi perkembangan maupun psikologi pendidikan.

Belajar menurut teori kognitif adalah perubahan persepsi dan pemahaman, yang tidak
selalu berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan diukur. Teori kognitif lebih
menekankan bagaimana proses atau upaya untuk mengoptimalkan kemampuan aspek rasional
yang dimiliki oleh orang lain. Oleh sebab itu kognitif berbeda dengan teori behavioristik,
yang lebih menekankan pada aspek kemampuan perilaku yang diwujudkan dengan cara
kemampuan merespons terhadap stimulus yang datang kepada dirinya.

Teori kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai model
perseptual, yaitu proses untuk membangun atau membimbing siswa dalam melatih
kemampuan mengoptimalkan proses pemahaman terhadap suatu objek. Teori kognitif
menyatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya
tentang situasi yang berhubungan dengan dirinya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan
pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak.

Teori kognitif sangat besar pengaruhnya dalam proses pembelajaran, akibatnya


pembelajaran di Indonesia pada umumnya lebih cenderung cognitif oriented (berorientasi
pada intelektual atau kognisi). Implikasinya lulusan pendidikan atau pembelajaran kaya
intelektual tetapi miskin moral kepribadian. Mestinya proses pembelajaran harus mampu
menjaga keseimbangan antara peran kognisi dengan peran afeksi, sehingga lulusan
pendidikan memiliki kualitas intelektual dan moral kepribadian yang seimbang.

Secara umum teori kognitif memiliki pandangan bahwa belajar atau pembelajaran adalah
suatu proses yang lebih menitikberatkan proses membangun ingatan, retensi, pengolahan
informasi, emosi, dan aspek-aspek yang bersifat intelektualitas lainnya. Oleh sebab itu,
belajar juga dapat dikatakan bagian dari kegiatan yang melibatkan proses berfikir yang sangat
kompleks dan komprehensif.

Jean Piaget (dalam Gredler, 2013), menjelaskan bahwa,”untuk memahami gagasan tentang
belajar yang memadai, kita pertama-tama harus menjelaskan bagaimana individu bisa
mengonstruksi dan menciptakan, bukan hanya bagaimana dia mengulang dan meniru.”
Fatimah Ibda (2015), menjelaskan teori Piaget tersebut dikenal dengan genetic epistemologi
(epistemologi genetik) yakni sebuah kerangka yang ditujukan untuk melacak perkembangan
kemampuan intelektual. Hal ini menandakan bahwa pengetahuan dan kecerdasan bukan
kuantitas statis. Kebalikannya, Gredler (2013) menjelaskan, mengetahui adalah sebuah proses
yang berkembang melalui adaptasi individu terhadap lingkungannya dan terus-menerus
berubah. Oleh karena itu, proses pemerolehan pengetahuan baru seseorang tidak dapat
dipisahkan dengan lingkungan hidupnya. Dengan kata lain pengetahuan menurut Piaget
dalam Fatimah Ibda (2015) adalah genetic artinya pengetahuan itu berkembang atau
developmental bukan sesuatu yang diwariskan secara biologis. Sehingga, pengetahuan dalam
pandangan Piaget (dalam Puspo Nugroho, 2015) datang dari tindakan yang berimplikasi pada
perkembangan kognitifnya. Hal ini dipengaruhi oleh sebarapa jauh individu aktif
memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Perubahan Kualitatif dalam
Proses Penalaran Fatimah Ibda (2015) menjelaskan fase perkembanan kognitif menurut
Piaget dibagi menjdi empat tahap, yaitu: tahap sensori motor (0-1,5 tahun), tahap
praoperasional (1,5-6 tahun), tahap operasional konkrit (6-12 tahun), dan tahap operasional
formal (12 tahun ke atas).Perkembangan ini terus berlanjut bahkan hingga memasuki masa
tua. Hal ini berdasarkan hasil penelitian Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl (2012:89) dari
Universitas California, Los Angelos, yang menyatakan bahwa bagian otak yang berfungsi
memahami kata-kata (Werrnicke) jumlah dendrit mempunyai korelasi dengan kuantitas
belajar.Hal ini menguatkan teori Piaget, alih-alih semakin berkurang, kecerdasan manusia
akan semakin berkembang ketika manusia terus belajar. Proses Fundamental

Menurut Margaret E. Gredler (2013), terdapat empat faktor yang memengaruhi


perkembangan kognitif dari satu bentuk ke bentuk lainnya, yaitu: lingkungan fisik,
kematangan, pengaruh sosial, dan proses penyeimbangan.Sementara proses fundamental
perkembangan yang terjadi adalah asimilasi, akomodasi, ekuilibrasi,dan B. R Hergenhahn
dan Matthew H. Olson (2011) menambahkan proses interiorisasi. Fatimah Ibda (2015),
menjelaskan asimilasi terjadi ketika pengintegrasian informasi, persepsi, konsep dan
pengalaman baru ke dalam struktur yang sudah ada dalam benak seseorang. Margaret E.
Gredler (2013) menambahkan, terjadi penggabungan elemen eksternal (objek atau kejadian)
ke dalam sensorimotor atau skema konseptual subjek. Dapat pula dipahami sebagai respon
internal berupa pengubahan struktur skema informasi yang diperoleh dengan skema
konspetual pengetahuan yang sudah dimiliki oleh seseorang. Akomodasi menurut Margaret
E. Gredler (2013) terjadi ketika struktur internal menyesuaikan diri dengan dengan
karakteristik tertentu dari objek dan peristiwa.Sebagai proses penyesuaian atau penyusunan
yang membentuk skema ke dalam situaasi baru sebagaimana dijelaskan oleh Fatimah Ibda
(2015). Ekuilibrasi bagi Willis F. Everten dan Jeanette McCarthy Gallagher (1977)
merupakan proses yang dilakukan dalam memelihara keadaan yang tetap saat perubahan
terus berlangsung. Proses ini menurut Margaret E. Gredler (2013:337-339) merupakan proses
yang kompleks dan dinamis yang mengatur perilaku secara terus-menerus.Hal ini disebabkan
oleh adanya abstraksi reflektifyang terjadi akibat adanya konflik kognitif yang berimplikasi
adanya reorganisasi cara berpiki individu ke peringkat yang lebih tinggi.

Beberapa aspek wicara tersebut dibagi menjadi empat tahap pemikiran.Pertama, wicara
pra-intelektual,Margaret E. Gredler (2013) dicirikan dengan alat kontak sosial di tahun
pertama kehidupan; termasuk tertawa, mengocek, menunjuk, dan member isyarat. Kedua,
bicara otonom dicirikan dengan “kata” yang diucapkan anak untuk menyebut suatu objek
konkret yang tampak; namun, ia tidak dipakai secara konsisten. Ketiga, psikologi naif
dicirikan dengan wicara dan pemikiran mulai berbarengan di tahun kedua kehidupan saat
anak menemukan hal-hal yang memiliki nama; banyak kata digunakan tanpa dipahami makna
sebenarnya, (misalnya, karena, tetai, ketika).Ketiga, dominasi bicara eksternal (egosentris –
komunikatif)dicirikan dengan wicara memenuhi fungsi sosial. Pembicaraan pertama
mengiringi tindakan anak dalam perencanaan dan memecahkan masalah, kemudian ia
menjadi esensial dalam perencanaan,”penghubung tengah” di antara wicara eksternal dan
internal. Keempat, wicara batin (tahap intelektual) dicirikan dengan operasi eksternal
bergerak ke tataran internal dan mengalami banyak perubahan; wicara menjadi di batin saja.
Perbandingan Teori Kognitif Perspektif Piaget dan Vygotsky.

Tahap-tahap Perkembangan Kognitif Menurut Jean Piaget.

Menurut Piaget, pengetahuan dibentuk oleh individu melalui interaksi secara terus menerus
dengan lingkungan. Ada empat tahap perkembangan kognitif menurut Piaget, yaitu :

a. Tahap sensorimotor (usia 0-2 tahun). individu memahami sesuatu atau tentang dunia
dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensoris, (seperti melihat, dan
mendengar) dan dengan tindakan-tindakan motorik fisik. Dengan kata lain, pada usia ini
individu dalam memahami sesuatu yang berada di luar dirinya melalui gerakan, suara atau
tindakan yang dapat diamati atau dirasakan oleh alat inderanya. Selanjutnya sedikit demi
sedikit individu mengembangkan kemampuannya untuk membedakan dirinya dengan benda-
benda lain.
b. Tahap pra-operasional (usia 2-7 tahun). Individu mulai melukiskan dunia melalui tingkah
laku dan kata-kata. Tetapi belum mampu untuk melakukan operasi, yaitu melakukan tindakan
mental yang diinternalisasikan atau melakukan tindakan mental terhadap apa yang dilakukan
sebelumnya secara fisik.

c. Tahap operasional konkret (usia 7-11 tahun). Individu mulai berpikir secara logis tentang
kejadian-kejadian yang bersifat konkret.Individu sudah dapat membedakan benda yang sama
dalam kondisi yang berbeda.

d. Tahap operasional formal (11 tahun ke atas). Sementara Salvin menjelaskan bahwa pada
operasional formal terjadi pada usia 11 sampai dewasa awal. Pada masa ini individu mulai
memasuki dunia “kemungkinan” dari dunia yang sebenarnya atau individu mengalami
perkembangan penalaran abstrak. Individu dapat berpikir secara abstrak, lebih logis dan
idealis.

Kecepatan perkembangan setiap individu melalui urutan, dan setiap tahap tersebut berbeda
dan tidak ada individu yang melompati salah satu dari tahap tersebut. Setiap tahap ditandai
dengan munculnya kemampuan-kemampuan intelektual baru yang memungkinkan orang
memahami dunia dengan cara yang semakin kompleks. Hal ini berarti bahwa semakin
bertambah umur seseorang, maka semakin kompleks susunan sel syarafnya dan semakin
meningkat pula kemampuan kognitifnya.

Prinsip teori belajar kognitif dalam pembelajaran adalah sebagai berikut.

a. Proses belajar lebih penting daripada hasil.

b. Persepsi dan pemahaman dalam mencapai tujuan belajar menunjukkan tingkah laku
seorang individu.

c. Materi belajar dipisahkan menjadi komponen kecil, lalu dipelajari secara terpisah.

d. Keaktifan peserta didik saat pembelajaran merupakan suatu keharusan.

e. Pada kegiatan belajar, dibutuhkan proses berpikir yang kompleks.


Ciri-ciri atau karakteristik pembelajaran kognitif

a. Mementingkan apa yang ada pada diri si anak (nativistik)


b. Mementingkan keseluruhan (holistic)
c. Mementingkan peranan kognitif
d. Mementingkan keseimbangan dalam diri si pelajar (dynamic equilibrium)
e. Mementingkan kondisi pada waktu sekarang
f. Mementingkan pembentukan struktur kognitif
g. Dalam pemecahan masalah, ciri khasnya adalah insight

Kelebihan dan Kelemahan Teori Belajar Kognitif

Setiap teori belajar tidak akan pernah sempurna, demikian pula dengan teori belajar kognitif.
Di samping memiliki kelebihan – kelebihannya ada pula kelemahan – kelemahannya. Berikut
adalah beberapa kelebihan dan kelemahan teori kognitif

Kelebihan Teori Belajar Kognitif

a. Menjadikan siswa lebih kreatif dan mandiri

 Dengan teori belajar kognitif siswa dituntut untuk lebih kreatif karena mereka tidak
hanya merespon dan menerima rangsangan saja, tapi memproses informasi yang
diperoleh dan berfikir untuk dapat menemukan ide-ide dan mengembangkan
pengetahuan. Sedangkan membuat siswa lebih mandiri contohnya pada saat siswa
mengerjakan soal siswa bisa mengerjakan sendiri karena pada saat belajar siswa
menggunakan fikiranya sendiri untuk mengasah daya ingatnya, tanpa bergantung
dengan orang lain dengan.

b. Membantu siswa memahami bahan belajar secara lebih mudah

 Teori belajar kognitif membantu siswa memahami bahan ajar lebih mudah karena
siswa sebagai peserta didik merupakan peserta aktif didalam proses pembelajaran
yang berpusat pada cara peserta didik mengingat, memperoleh kembali dan
menyimpan informasi dalam ingatannya. Serta Menekankan pada pola pikir peserta
didik sehingga bahan ajar yang ada lebih mudah dipahami.
Kelemahan Teori Belajar kognitif

a. Teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan.


b. Sulit di praktikkan khususnya di tingkat lanjut.
c. Beberapa prinsip seperti intelegensi sulit dipahami dan pemahamannya masih belum
tuntas.

Pendekatan Kognitif (Cognitive Approach)

Sejalan dengan upaya menerapkan filsafah teknologi pembelajaran Tut Wuri Hadayani
pada semua jenjang pendidikan formal, pendekatan kognitif mulai menjajaki keberadaan
pendekatan perilaku sejak pertengahan dekade 80-an.

Pendekatan kognitif itu sendiri berangkat pada teori Gestalt yang memproposisikan bahwa
keseluruhan bukanlah penjumlahan dari bagian-bagiannya.

Sebagaimana dideskripsikan Brunner (1975), pembelajaran hendaknya dapat menciptakan


situasi agar siswa dapat belajar dari diri sendiri melalui pengalaman dan eksperimen untuk
menemukan pengetahuan dan kemampuan baru yang khas baginya. Sedangkan Ausubel
(1978) memdeskripsikan agar pembelajar dapat mengembangkan situasi belajar , memilih
dan menstrukturkan isi, serta menginformasikannya dalam bentuk sajian pembelajar yang
terorganisasi dari umum menuju kerinci dalam satu satuan bahasan yang bermakna.

Dalam pandangan psikologi kognitif, peran guru atau dosen menjadi semakin menentukan
apabila variabel perbedaan karakter individu dihargai dalam bentuk penyajian variasi pola
struktur kegiatan belajar mengajar.

Masalah yang sering muncul pada tahapan aplikasi teori-teori kognitif dibidang pembelajaran
adalah dalam kaitannya dengan pengorganisasian isi pesan atau bahan belajar dan
penstrukturan kegiatan belajar mengajar.

Sehubungan dengan adanya kenyataan empiris tersebut , maka teori dan teorema kognitif
yang ada bisa saja digunakan sebagai acuan umum bagi setiap jenis cabang disiplin keilmuan.
Namun, kemungkinan dapat terjadi bahwa kefektifan penerapannya pada level kesulitan dan
jenis kemampuan pada suatu bidang studi berbeda dengan bidang studi lainnya. Oleh karena
itu, cara yang dipandang efektif untuk meningkatkan kualitas output pendidikan dari sudut
pandang psikologi kognitif adalah pengembangan program-program pembelajaran yang dapat
mengoptimalkan keterlibatan mental intelektual pembelajar pada setiap jenjang belajar.
Sebagaimana direkomen-dasikan Merril (1983:286), jenjang tersebut bergerakdari tahapan
meningkat, dilanjutkan ke menerapkan, sampai pada tahap penemuan konsep, prosedur atau
prinsip baru dibidang disiplin keilmuan atau keahlian yang sedang dipelajari.
Gaya Kognitif Dalam Pembelajaran

Salah satu karakteristik siswa adalah gaya kognitif . Gaya kognitif merupakan cara
siswa yang khas dalam belajar, baik yang berkaitan dengan cara penerimaan dan pengolahan
informasi, sikap terhadap informasi, maupun kebiasaan yang berhubungan dengan
lingkungan belajar.

Gaya kognitif merupakan salah satu variabel kondisi belajar yang menjadi salah satu bahan
pertimbangan dalam merancang pembelajaran. Pengetahuan tentang gaya kognitif dibutuhkan
untuk merancang atau memodifikasi materi pembelajaran, tujuan pembelajaran, serta metode
pembelajaran. Diharapkan dengan adanya interaksi dari faktor gaya kognitif, tujuan, materi,
serta metode pembelajaran, hasil belajar siswa dapat dicapai semaksimal mungkin. Hal ini
sesuai dengan pendapat beberapa pakar yang menyatakan bahwa jenis strategi pembelajaran
tertentu memerlukan gaya belajar tertentu.

Beberapa batasan para ahli tentang gaya kognitif tersebut diantaranya Witkin mengemukakan
bahwa gaya kognitif sebagai ciri khas siswa dalam belajar.

Shirley dan Rita menyatakan bahwa gaya kognitif merupakan karakteristik individu dalam
berpikir, merasakan, mengingat, memecahkan masalah, dan membuat keputusan. Sebagai
karakteristik perilaku, gaya kognitif berada pada lintas kemampuan dan kepribadian serta
dimanifestasikan pada beberapa aktivitas dan media. Gaya kognitif menunjukkan adanya
variasi antar individu dalam pendekatannya terhadap satu tugas, tetapi variasi itu tidak
menunjukkan tingkat inteligensi atau kemampuan tertentu. Sebagai karakteristik prilaku,
karakteristik individu yang memiliki gaya kognitif yang sama belum tentu memiliki
kemampuan yang sama. Apalagi individu yang memiliki gaya kognitif yang berbeda
kecendrungan perbedaan kemampuan yang dimilikinya lebih besar.

Setiap individu mempunyai gaya yang berbeda ketika memproses informasi. Todd
menyatakan bahwa gaya kognitif adalah langkah individu dalam memproses informasi
melalui strategi responsif atas tugas yang diterima. Pada bagian lain, Woolfolk menunjukkan
bahwa didalam gaya kognitif terdapat suatu cara yang berbeda untuk melihat ,mengenal , dan
mengorganisasi informasi. Setiap individu akan memilih cara yang disukai dalam memproses
dan mengorganisasi informasi sebagai respons terhadap stimulasi lingkungannya. Ada
individu yang cepat merespons dan adapula yang lambat , cara-cara merespons ini juga
berkaitan dengan sikap dan kualitas personal.

Selanjutnya menurut Woolfolk gaya kognitif seseorang dapat memperlihatkan variasi


individu dalam hal perhatian, penerimaan informasi, mengingat, dan berpikir yang muncul
atau berbeda diantara kognisi dan kepribadian.

Selanjutnya Keefe agak berbeda pandangannya dengan Woolfolk tentang dimensi gaya
kognitif. Menurut Keefe, gaya kognitif dapat dipilah dalam dua kelompok, yaitu gaya dalam
menerima informasi (reception style) dan gaya dalam pembentukan konsep dan retensi
(concept formation and retention style). Keefe juga menambahkan, bahwa gaya kognitif
merupakan bagian dari gaya belajar , dan gaya berlajar berhubungan dengan kemampuan
intelektual.

Pengelompokan gaya kognitif tersebut didasarkan atas dimensi gaya kognitif yang dikaji dari
beberapa hasil penelitian. Dimensi gaya kognitif dalam menerima informasi meliputi :

1. Perceptual modality prefrrence, yaitu gaya kognitif yang berkaitan dengan kebiasaan
dan kesukaan seseorang dalam menggunakan alat indranya. Khususnya kemampuan melihat
gerakan secara visual atau spasial, pemahaman auditory atau verbal.

2. Field Dependent-Field Independent, yaitu gaya kognitif yang mencerminkan cara


analisis seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan.

3. Scanning, yang menggambarkan kecendrungan seseorang dalam menitik beratkan


perhatiannya pada suatu informasi.

4. Strong and Weakness Automatization, yang merupakan gambaran kapasitas seseorang


untuk menampilkan tugas secara berulang-ulang.

Sedangkan dimensi gaya kognitif yang termasuk dalam pembentukan konsep dan retensi
menurut Pettegrew dan Holzman terdiri atas dua gayakognitif, yaitu :

1. Breath Of Categorization, yang berkaitan dengan kesukaan seseorang dalam menyusun


kategori konsep secara luas atau sempit.

2. Leveling Sharperning, berkaitan dengan perbedaan seseorang dalam pemprosesan


ingatan, yakni antara kesukaan mengingat sesuatu dengan menyamakan pada hal-hal yang
telah diingatkannya atau kesukaan mengingat sesuatu dengan membuat ciri yang baru serta
mengingatnya dalam ciri baru tersebut.

Berdasarkan pemilahan gaya kognitif sebagaimana diuraikan diatas, dalam konteks penelitian
ini yang digunakan sebagai salah satu variabel adalah gaya kognitif perceptual modality
preference, yaitu gaya kognitif yang berkaitan dengan kebiasaan dan kesukaan seseorang
dalam menggunakan alat indranya , khususnya kemampuan melihat gerakan secara visual
atau spasial. Atau dengan kata lain variabel gaya kognitif yang teliti adalah gaya kognitif
meruangkan.

Pijakan teoritis gaya kognitif meruangkan bertolak dari teori hemisfer yang menjelaskan
tentang belahan otak manusia yang terdiri dari belahan kanan dan belahan kiri. Kedua
hemisfer ini mempunyai fungsi yang berbeda dalam penghayatan dan penyusunan informasi
selama proses belajar.

Kedudukan gaya kognitif dalam proses pembelajaran dapat diabaikan. Hal ini sesuai dengan
pandangan Reigeluth bahwa dalam variabel pengajaran, gaya kognitif merupakan salah satu
karakteristik siswa yang masuk dalam variabel kondisi pembelajaran, disamping karakteristik
siswa lainnya seperti motivasi, sikap, bakat, minat, kemampuan berpikir, dan lain-lain.
Sebagai salah satu karakteristik siswa , kedudukan gaya kognitif dalam proses pembelajaran
penting diperhatikan guru atau perancang pembelajaran sebab rancangan pembelajaran yang
disusun dengan mempertimbangkan gaya kognitif berarti menyajikan materi pembelajaran
yang sesuai dengan karakteristik dan potensi yang dimiliki siswa. Dengan rancangan seperti
ini, suasana belajar akan tercipta dengan baik karena pembelajaran tidak terkesan
mengintervensi hak siswa. Selain itu, pembelajaran disesuaikan dengan proses kognitif atau
perkembangan kognitif siswa.

Anda mungkin juga menyukai