Anda di halaman 1dari 3

Hukum Jual Beli Kotoran Hewan

Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh


‫َو َلْم َيْش َتِرْط اْلَح َنِفَّيُة َهَذ ا الَّش ْر َط َفَأَج اُز ْو ا َبْيَع الَّنَج اَس اِت َكَشْع ِر اْلِخ ْنِزْيِر َوِج ْلِد اْلَم ْيَتِة ِلالْنِتَفاِع ِبَها ِإَّال َم ا َو َرَد الَّنْهُي َع ْن َبْيِع ِه ِم ْنَها َكاْلَخ ْم ِر َو اْلِخ ْنِز ْي ِر َو اْلَم ْيَت ِة َو ال َّد ِم‬
‫َك َم ا َأَج اُز ْو ا َبْيَع اْلَح َيَو اَناِت اْلُم َتَو ِّح َش ِة َو اْلُم َتَنِّج ِس اَّلِذ ْي ُيْمِكُن ْاالْنِتَفاُع ِبِه ِفْي ْاَألْك ِل َو الَّضاِبُط ِع ْنَد ُهْم َأَّن ُك َّل َم ا ِفْيِه َم ْنَفَع ٌة َتِح ُّل َش ْر ًعا َف ِإَّن َبْيَع ُه َيُج ْو ُز َأِلَّن ْاَألْع َي اَن‬
‫ُخ ِلَقْت ِلَم ْنَفَعِة ْاِإل ْنَس اِن‬
Dan ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan syarat ini (barang yang dijualbelikan harus suci, bukan najis dan
terkena najis). Maka mereka memperbolehkan jualbeli barang-barang najis, seperti bulu babi dan kulit bangkai
karena bisa dimanfaatkan. Kecuali barang yang terdapat larangan memperjual-belikannya, seperti minuman
keras, (daging) babi, bangkai dan darah, sebagaimana mereka juga memperbolehkan jualbeli binatang buas dan
najis yang bisa dimanfaatkan untuk dimakan.Dan parameternya menurut mereka (ulama Hanafiyah) adalah,
semua yang mengandung manfaat yang halal menurut syara.’, maka boleh menjual-belikannya. Sebab, semua
makhluk yang ada itu memang diciptakan untuk kemanfaatan manusia.

Hukum Trading
Trading adalah aktivitas membeli di satu waktu dan menjual di waktu lain untuk maksud mendapatkan
keuntungan. Tempat melakukan trading forex adalah Pasar Berjangka Komoditi (future market). Karena di
dalam trading melibatkan terjadinya praktik jual beli, maka rukun utama yang harus terpenuhi dalam jual beli,
adalah:
‫أْر كان البيع وِهي َثالَثة العاِقد والمعقود َع َلْيِه وِص يَغة العقد‬

Artinya, “Rukun jual beli ada 3, yaitu (1) adanya pihak yang berakad, (2) adanya obyek akad dan (3) shighat
akad. (Abu Hamid al-Ghazali, al-Wasith fil Madzhab, [Kairo, Darus Salam: 1417 H], juz III, halaman 5).
Adapun syarat dari barang yang bisa dijualbelikan, adalah: Ketika ditemukan beberapa syaratnya, yaitu: (1)
adanya barang yang dijualbelikan suci, (2) bisa diambil manfaatnya, (3) bisa diserahterimakan, (4) pihak yang
berakad memiliki wewenang menjualbelikan.” (Muhammad ibn Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib al-Mujib fi
Syarh Alfazhit Taqrib, [Beirut, Dar Ibn Hazm: 2005 M], halaman 163). Mencermati syarat dan rukun jual beli
di atas, maka selanjutnya dapat ditarik benang merah, bahwa:
Pertama, broker yang bisa melakukan perdagangan di Bursa Berjangka, adalah pihak yang memiliki wewenang
(li al-’aqidi wilayatan) secara hukum dan peraturan yang berlaku untuk melakukan perdagangan di Bursa
Berjangka. Tanpa legalitas itu, broker tidak mungkin bisa memperjualbelikan aset di bursa berjangka.
Kedua, apabila ada broker yang mengaku menjualbelikan aset di bursa berjangka, namun badan hukumnya
ilegal sehingga tidak ada wewenang, maka itu menjadi pertanda bahwa pengakuannya itu dusta. Aset yang
diperjualbelikan dapat dipastikan sebagai berstatus fiktif (tidak ada). Ketiga, jual beli dengan broker ilegal
sama hukumnya dengan jual beli barang fiktif (ma’dum), sehingga haram karena illat gharar. Tidak ada barang
yang bisa diserahterimakan di dalamnya. Broker jenis ini sejatinya bukan broker, melainkan bandar judi.
Keempat, sahnya akad jual beli tergantung sepenuhnya pada terkumpulnya syarat dan rukun jual beli serta tidak
ada penghalang syara’ di dalamnya, misalnya riba, judi, ketidakjelasan, ghabn, jahalah, dan penipuan.
‫إن العقد إذا استجمع أركانه وشروطه الشرعية كان صحيحًا‬

Artinya, “Sesungguhnya akad, apabila terkumpul rukun dan syarat syar’inya maka akad itu sah.” (Muhammad
Musthafa az-Zuhaili, al-Qawa’idul Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fil Madzahib al-Arba’ah, [Damaskus: Darul
Fikr], juz I, halaman 621). Kesimpulan Hukum Broker Trading Forex Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa: Legalitas broker hanya merupakan alamat bagi terpenuhinya syarat adanya barang yang
diperjualbelikan. Broker legal, menandakan adanya barang yang dijual. Broker ilegal menandakan tidak adanya
barang yang dijual. Keabsahan trading forex hanya terjadi apabila terpenuhi syarat dan rukun jual beli, serta
tidak ada mawani’ syar’i (pencegah keabsahan akad menurut syariat).

Hukum Munakahat
nikah merupakan sebuah ibadah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah bagi mereka yang memiliki
kemampuan untuk melaksanakannya. Secara kebahasaan, nikah bermakna “berkumpul”. Sedangkan menurut
istilah syariat, definisi nikah dapat kita simak dalam penjelasan Syekh Zakariya Al-Anshari dalam kitab Fathul
Wahab berikut ini:
‫ ُهَو ُلَغ ًة الَّض ُّم َو اْلَو ْطُء َو َشْر ًعا َع ْقٌد َيَتَضَّم ُن إَباَح َة َو ْطٍء ِبَلْفِظ إْنَكاٍح َأْو َنْح ِوِه‬.‫كتاب النكاح‬
Artinya, “Kitab Nikah. Nikah secara bahasa bermakna ‘berkumpul’ atau ‘bersetubuh’, dan secara syara’
bermakna akad yang menyimpan makna diperbolehkannya bersetubuh dengan menggunakan lafadz nikah atau
sejenisnya,” (Lihat Syekh Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahab, Beirut, Darul Fikr, 1994, juz II, halaman 38).
Dari sudut pandang hukum, Sa‘id Mushtafa Al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala
Madzhabil Imamis Syâfi’i menjelaskan:
‫ وذلك تبعًا للحالة التي يكون عليها الشخص‬،‫ وليس حكمًا واحدًا‬،‫ُحكم الِنَكاِح َشْر ُعا للنكاح أحكام متعددة‬

Artinya, “Hukum nikah secara syara’. Nikah memiliki hukum yang berbeda-beda, tidak hanya satu. Hal ini
mengikuti kondisi seseorang (secara kasuistik),” (Lihat Sa‘id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha, Al-
Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i, Surabaya, Al-Fithrah, 2000, juz IV, halaman 17). Dari
keterangan tersebut, bisa dipahami bahwa hukum nikah akan berbeda disesuaikan dengan kondisi seseorang
dan bersifat khusus sehingga hukumnya tidak bisa digeneralisasi. Lebih lanjut, Sa‘id Musthafa Al-Khin dan
Musthafa Al-Bugha dalam kitab itu memerinci hukum-hukum tersebut sebagai berikut:
1. Sunah Hukum nikah adalah sunah karena nikah sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Hukum asal nikah adalah
sunah bagi seseorang yang memang sudah mampu untuk melaksanakannya sebagaimana hadits Nabi riwayat
Al-Bukhari nomor sebagaimana kita ketahui, nikah merupakan sebuah ibadah yang sangat dianjurkan oleh
Rasulullah bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Secara kebahasaan, nikah
bermakna “berkumpul”. Sedangkan menurut istilah syariat, definisi nikah dapat kita simak dalam penjelasan
Syekh Zakariya Al-Anshari dalam kitab Fathul Wahab berikut ini:
‫ ُهَو ُلَغ ًة الَّض ُّم َو اْلَو ْطُء َو َشْر ًعا َع ْقٌد َيَتَضَّم ُن إَباَح َة َو ْطٍء ِبَلْفِظ إْنَكاٍح َأْو َنْح ِوِه‬.‫كتاب النكاح‬

Artinya, “Kitab Nikah. Nikah secara bahasa bermakna ‘berkumpul’ atau ‘bersetubuh’, dan secara syara’
bermakna akad yang menyimpan makna diperbolehkannya bersetubuh dengan menggunakan lafadz nikah atau
sejenisnya,” (Lihat Syekh Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahab, Beirut, Darul Fikr, 1994, juz II, halaman 38).
Dari sudut pandang hukum, Sa‘id Mushtafa Al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala
Madzhabil Imamis Syâfi’i menjelaskan:
‫ وذلك تبعًا للحالة التي يكون عليها الشخص‬،‫ وليس حكمًا واحدًا‬،‫ُحكم الِنَكاِح َشْر ُعا للنكاح أحكام متعددة‬

Artinya, “Hukum nikah secara syara’. Nikah memiliki hukum yang berbeda-beda, tidak hanya satu. Hal ini
mengikuti kondisi seseorang (secara kasuistik),” (Lihat Sa‘id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha, Al-
Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i, Surabaya, Al-Fithrah, 2000, juz IV, halaman 17). Dari
keterangan tersebut, bisa dipahami bahwa hukum nikah akan berbeda disesuaikan dengan kondisi seseorang
dan bersifat khusus sehingga hukumnya tidak bisa digeneralisasi. Lebih lanjut, Sa‘id Musthafa Al-Khin dan
Musthafa Al-Bugha dalam kitab itu memerinci hukum-hukum tersebut sebagai berikut:
1. Sunah Hukum nikah adalah sunah karena nikah sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Hukum asal nikah adalah
sunah bagi seseorang yang memang sudah mampu untuk melaksanakannya sebagaimana hadits Nabi riwayat
Al-Bukhari nomor 4779 berikut ini:
‫ فإنه له وجاٌء‬،‫ ومن لم يستطع فعليه بالصوم‬،‫ فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج‬،‫يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج‬

Artinya, “Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih
menenteramkan mata dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi
tameng baginya.”
2. Sunah Ditinggalkan Nikah dianjurkan atau disunahkan baiknya tidak dilakukan. Ini berlaku bagi seseorang
yang sebenarnya menginginkan nikah, namun tidak memiliki kelebihan harta untuk ongkos menikah dan
menafkahi istri. Dalam kondisi ini sebaiknya orang tersebut menyibukkan dirinya untuk mencari nafkah,
beribadah dan berpuasa sambil berharap semoga Allah mecukupinya hingga memiliki kemampuan. Hal ini
senada dengan firman Allah SWT Surat An-Nur ayat 33:
‫ِ َو ْلَيْسَتْع ِفِف اَّلِذ يَن اَل َيِج ُد وَن ِنَكاحًا َح َّتى ُيْغ ِنَيُهْم ُهَّللا ِم ن َفْض ِله‬

Artinya, “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah
memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” Dalam konteks ini, jika orang tersebut tetap
memaksakan diri menikah, maka ia dianggap melakukan tindakan yang dihukumi khilaful aula, yakni kondisi
hukum ketika seseorang meninggalkan apa yang lebih baik untuk dirinya.
3. Makruh Nikah adalah makruh. Ini berlaku bagi seseorang yang memang tidak menginginkan nikah, entah
karena perwatakannya demikian, ataupun karena penyakit. Ia pun tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi
istri dan keluarganya. Jika dipaksakan menikah, dikhawatirkan bahwa hak dan kewajiban dalam pernikahan
tidak dapat tertunaikan.
4. Lebih Utama Jika Tidak Menikah Hal ini berlaku bagi seseorang yang sebenarnya memiliki kemampuan
untuk menafkahi istri dan keluarganya, namun sedang dalam kondisi tidak membutuhkan nikah dengan alasan
sibuk menuntut ilmu atau sebagainya.
5. Lebih Utama jika Menikah Hal ini berlaku bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk menafkahi istri
dan keluarganya, serta sedang tidak disibukkan menuntut ilmu atau beribadah. Maka orang tersebut sebaiknya
melaksanakan nikah.

Anda mungkin juga menyukai