MAKALAH Hakikat Perkembangan Mora AUD-WPS Office
MAKALAH Hakikat Perkembangan Mora AUD-WPS Office
A. Hakekat Moral
Secara estimologi kata ”moral” berasal dari kata Latin ”mos” yang berarti tata-cara, adat istiadat atau
kebiasaan, sedangkan jamaknya adalah ”mores” yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat
istiadat (Pratidarmanastiti, 1991 dalam Asri Budiningsih, 2004). Dalam arti adat istiadat atau
kebijaksanaan, kata ”moral” mempunyai arti yang sama dengan bahasa Yunani ”ethos”,yang
menurunkan kata ”etika”. Dalam bahasa Arab kata ”moral” berarti budi pekerti adalah sama dengan
”akhlak”, sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata ”moral” dikenal dengan arti ”kesusilaan”. (Bambang
Daroeso, 1989).
Dewey mengatakan bahwa moral sebagai hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai susila (Grinder,
1978) dalam Asri Budiningsih, 2004. Sedangkan Baron, dkk (1980) mengatakan bahwa moral adalah hal-
hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar. Magic-
Suseno (1987) mengatakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia dilihat dari
segi kebaikannya sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari
segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat
untuk mengukur kebaikan seseorang.
Menurut Purwadarminto (dalam Sunarto, 2008) moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan
kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan
antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam
bertingkah laku. Magic-Suseno,1987 dalam Asri Budiningsih 2004 menjelaskan bahwa sikap moral yang
sebenarnya disebut moralitas. Moralitas diartikan sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam
tindakan lahiriah. Moralitas terjadi apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan
kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan karena ia mencari keuntungan. Jadi moralitas adalah sikap
dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Hanya moralitaslah yang bernilai secara moral
(Magic-Suseno,1987) dalam Asri Budiningsih 2004.
Santrock mengemukakan pengertian moralitas yaitu perilaku proporsional ditambah beberapa sifat
seperti kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebutuhan-kebutuhan orang lain.
Kolhberg (dalam Santrock, 2002: 370) menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama
pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap.
Hal ini disebabkan pengetahuan yang tinggi, tidak menjamin seseorang bisa memiliki moral yang baik.
“This last point is further emphasized by another study that shows no relation between moral
knowledge and moral behavior”(D. McRae. dalam Lawrence E. Shapiro,1997: 530). Namun, ketika anak-
anak memiliki moral yang baik, otomatis mereka bisa menilai mana pendidikan yang baik dan buruk.
Peran orangtua dalam mempersiapkan anak-anak yang memiliki visi dan masa depan sangatlah penting.
Lewat orangtua, anak-anak belajar segala sesuatu mengungkapkan bahwa penguasaan tingkah laku
empati merupakan dasar bagi perkembangan moral anak (Elida Prayitno, 2005:175 ).
Wila Huky B.A. mengatakan : kita memahami moral dengan tiga cara:
a. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaran, bahwa ia terikat
oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam
ligkungannya.
b. Moral sebagai perangkat ide – ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang
dipegang oleh sekelompok manusia di dalam linkungan tertentu.
c. Moral adalah ajaran tentang tigkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama
tertentu (Bambang Daroeso, 1989:22)
Seseorang dikatakan bermoral jika mereka memiliki kesadaran moral yaitu dapat menilai hal-hal yang
baik dan buruk, hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta hal-hal yang etis dan tidak
etis. Seseorang yang bermoral akan tampak pada penalaran moralnya serta pada perilakunya (moralitas)
yang baik, benar dan sesuai dengan etika. Artinya, ada kesatuan dan keselarasan antara penalaran
moralnya adan perilaku moralnya (moralitas).
Menurut Blasi dalam Asri Budiningsih 2004 menyatakan bahwa perilaku moral akan begitu sempit jika
hanya dibatasi pada perilaku moral (moralitas) yang dapat dilihat saja. Perilaku moral meliputi hal-hal
yang dapat dilihat dalam bentuk tindakan moral dan hal-hal yang tidak dapat dilihat. Penalaran moral
untuk membuat suatu keputusan dalam melakukan suatu tindakan moral adalah perilaku yang tidak
dapat dilihat tetapi dapat ditelusuri dan dapat diukur. Menurut Kohlberg (1977) penalaran atau
pemikiran moral merupakan faktor penentu yang melahirkan perilaku moral. Artinya, pengukuran
perilaku moral yang benar tidak sekedar mengamati perilaku moral yang tampak, tetapi harus melihat
pada penalaran moral yang mendasari keputusan perilaku moral tersebut.
B. Perkembangan Moral
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa
yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain. Selain itu,
perkembangan moral dapat juga dikatakan sebagai perubahan penalaran, perasaan dan perilaku
tentang standar benar dan salah.
Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral yang disebut dengan immoral. Tetapi dalam dirinya
terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi
dengan orang lain misalnya dengan orang tua, saudara, teman sebaya dan guru, anak belajar memahami
tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak
boleh dikerjakan, tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya. Moral
berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah.
Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam bertingkah laku. Oleh sebab itu mereka akan
melakukan suatu tindakan, dimana tindakan tersebut akan ternilai sebagai tindakan moral yang ternilai
baik atau sebaliknya.
Perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal, yang mengatur aktivitas seseorang ketika dia tidak
terlibat dalam interaksi social dan dimensi interpersonal yang mengatur interaksi sosial dan
penyelesaian konflik. Dimensi perkembangan moral ini membahas tentang penalaran moral, perasaan
moral, perilaku moral dan kepribadian moral.
1. Penalaran Moral
Penalaran moral menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan dilakukan, daripada sekedar arti
suatu tindakan, sehingga dapat dinilai apakah tindakan tersebut baik atau buruk. Penalaran moral
dipandang sebagai suatu struktur pemikiran bukan isi. Dengan demikian penalaran moral bukanlah
tentang apa yang baik atau buruk, tetapi tentang bagaimana seseorang berpikir sampai pada keputusan
bahwa sesuatu adalah baik atau buruk (Kohlberg, 1977: 1981). Penalaran-penalaran moral inilah yang
menjadi indikator dari tingkatan atau tahap kematangan moral. Memperhatikan penalaran mengapa
suatu tindakan salah akan lebih menjelaskan daripada memperhatikan individu tindakan (perilaku)
seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya bahwa sesuatu itu salah (Duska dan Whelan, 1975).
Piaget dan Kohlberg adalah tokoh yang telah mengadakan studi dalam proses perkembangan anak.
1. Ada prinsip-prinsip moral dasar yang mengatasi niali-nilai moral lainnya dan prinsip-prinsip moral
dasar itu merupakan akar dari nilai-niali moral lainnya.
2. Manusia tetap merupakan subjek yang bebas dengan nilai-nilai yang berasal dari dirinya sendiri.
3. Dalam bidang penalaran moral ada tahap-tahap perkembangan yang sama dan universal bagi setiap
kebudayaan.
4. Tahap-tahap perkembangan penalaran moral ini banyak ditentukan oleh factor kognitif atau
kematangan intelektual.
2. Perasaan Moral
Empati, berasal dari kata pathos (dalam bahasa yunani) yang berarti perasaan yang mendalam. Empati
berarti bereaksi terhadap perasaan orang lain dengan respon emosional yang mirip dengan perasaan
orang lain tersebut. Berempati lebih dari sekedar simpati, beremapti berarti menempatkan diri pada
posisi orang lain secara emosional. Empati adalah sebuah keadaan emosi, tetapi memiliki komponen
kognitif-kemampuan untuk melihat keadaan psikologis dalam diri orang lain.
3. Perilaku Moral
Reinforcement, punishment, imitasi, situasi dan kontrol diri dalam menghadapi godaan merupakan hal
yang mempengaruhi apakah seseorang berperilaku sesuai moral atau tidak.
4. Kepribadian Moral
a. Identitas moral. Individu memiliki sebuah identitas moral ketika ide-ide dan komitmen moral
merupakan hal yang utama dalam kehidupan mereka (Blasi, 2005). Mereka menyusun diri bereferensi
pada kategori-kategori moral. Pelanggaran terhadap komitmen moral mereka akan membahayakan
integritas dirinya. Perkembangan identitas moral dipengaruhi oleh tiga kebijakan penting, yaitu (1)
kemauan (kontrol diri) yaitu strategi dan skill metakognitif yang melibatkan analisis masalah, penetapan
tujuan, penagturan atensi, penundaan pemuasan, penghindaran distraksi dan penahanan godaan, (2)
integritas yang terdiri dari rasa tanggung jawab yang ada ketika individu merasa dirinya bertanggung
jawab terhadap konsekuensi perilaku mereka, (3) hasrat moral adalah motivasi dan intense untuk
mengejar kehidupan moral.
b. Karakter moral. Merupakan seberapa kuat pendirian individu, perdidtensi dalam menghadapi
gangguan dan hambatan. Karakter moral mensyaratkan seseorang memiliki satu set tujuan moral dan
pencapaian tujuan tersebut melibatkan komitmen untuk bertindak sesuai dengan tujuan tersebut.
c. Teladan moral. Merupakan orang-orang yang hidup dengan gaya hidup yang patut dicontoh. Orang
ini memiliki kepribadian moral, identitas, karakter dan set kebajikan yang mencerminkan komitmen dan
kesempurnaan moral.
Tahap-tahap perkembangan moral tidak dapat berbalik (irreversible), yaitu bahwa suatu tahapan yang
telah dicapai oleh seseorang tidak mungkin kembali mundur ke tahapan di bawahnya (Kohlberg,
1977;19808b). misalnya, seseorang ayng telah berada pada tahap-5 tidak akan kembali pada tahap-3
atau tahap-4. Tendensi gerakan umum, proses perkembangan penalaran moral cukup jelas, yaitu
bergerak maju dari tahap-1 sampai tahap-6 dan gerak maju itu bersifat proses diferensiasi dan integrasi
yang semakin tinggi dan menghasilkan pula peningkatan dalam hal universal. Dewey berpendapat
bahwa proses perkembangan dan pertumbuhanlah yang merupakan tujuan universal pendidikan moral.
Menurut Kohlberg tahapan penalaran moral sebenarnya telah dipostulatkan pada pemikiran Dewey,
yang memandang perkembangan moral ke dalam tiga tingkatan, yaitu : (1) tingkat pra-moral atau pre-
conventional, (2) tingkat conventional, (3) tingkat autonomous. Pemikiran Dewey dikembangkan lebih
lanjut oleh Piaget dengan menetapkan 3 tahap perkembangan moral yang diikuti dengan ketentuan
umur yaitu (1) tahap pra-moral, yaitu anak yang berumur di bawah 4 tahun, (2) tahap heteronomous,
yaitu anak yang berumur antara 4-8 tahun, dan (3) tahap otonomous yaitu anak yang berumur 9-12
tahun.
1. Tahap Perkembangan Moral Piaget
Menurut Piaget (dalam Slavin, 2008:69). Sebagaimana kemampuan kognitif, Piaget berpendapat bahwa
perkembangan moral berlangsung dalam tahap-tahap yang dapat diprediksi, yakni dari tipe penalaran
moral yang sangat egosentris ke tipe penalaran moral yang didasarkan pada sistem keadilan
berdasarkan kerjasama dan ketimbalbalikan
Ketertarikan pada bagaimana anak berpikir mengenai isu moral dipicu oleh Piaget (1932) yang secara
ekstensif mengamati dan mewawancarai anak-anak dari usia 4-12 tahun. Piaget mengamati anak-anak
yang bermain kelereng untuk mengetahui bagaimana mereka menggunakan dan memikirkan aturan
permainan. Dia juga bertanya tentang isu etis, contohnya mencuri, berbohong, hukuman dan keadilan.
Piaget menyimpulkan bahwa anak melewati 2 tahap yang berbeda dalam cara mereka berpikir tentang
moralitas.
Merupakan tahap pertama dari teori perkembangan moral Piaget. Anak berpikir bahwa keadilan dan
peraturan adalah property dunia yang tidak bisa diubah dan tidak bisa dikontrol oleh orang.
bukan berdasarkan niat dari perilaku. Sebagai contoh, memecahkan 12 gelas secara tidak sengaja lebih
buruk dibandingkan dengan memecahkan 1 gelas dengan sengaja.
- Anak percaya bahwa aturan tidak bisa diubah dan diturunkan oleh sebuah otoritas yang maha
kuasa. Contohnya ketika Piaget menyarankan anak-anak agar membuat peraturan baru dalam bermain
kelereng, mereka menolak.
- Anak percaya adanya immanent justice, sebagai konsep bahwa ketika peraturan dilanggar maka
hukuman akan langsung mengiringi pelanggaran tersebut. Anak percaya bahwa pelanggaran terhubung
langsung secara otomatis dengan hukumannya. Sehingga, seringkali anak kecil melihat sekelilingnya
dengan perasaan khawatir ketika berbuat salah, takut terhadap adanya immanent justice.
Dari usia 7-10 tahun anak berada masa transisi, yang menunjukkan sebagian ciri-ciri dari tahap pertama
perkembangan moral dan sebagian ciri dari tahap kedua, moralitas otonom.
b. Moralitas Otonom
Pada tahap ini anak sadar bahwa aturan dan hukum dibuat oleh manusia dan ketika menilai sebuah
perbuatan mereka mempertimbangkan niat dan juga konskuensinya. Ketika anak berkembang ke tahap
ini, niat mulai dipertimbangkan. Anak mulai menerima dan menyadari bahwa peraturan adalah konvensi
yang disepakati dan dapat diubah (terlihat ketika ada saran untuk mengubah aturan dalam permainan
kelereng, anak pada tahap otonom ini mau menerima perubahan).
Anak dalam tahap ini menyadari bahwa hukuman terjadi hanya jika ada saksi mata terhadap
pelanggaran, bahkan dengan ini pun bukan berarti bahwa hukuman adalah sesuatu yang tidak dapat
dielakkan.
Piaget berpendapat bahwa ketika anak berkembang, mereka dapat berpikir lebih rumit mengenai
masalah sosial terutama terhadap kemungkinan dan kondisi kerjasama. Piaget percaya bahwa
pemahaman sosial ini terjadi melalui saling memberi dan menerima dalam hubungan teman sebaya. Di
dalam peer group (kelompok sebaya), di mana anggotanya memiliki status dan kekuatan yang sama,
rencana biasanya dikoordinasikan dan dirundingkan dan perbedaan pendapat dibahas dan pada
akhirnya bisa diselesaikan. Hubugan orang-tua anak, dimana orang tua memiliki kekuatan yang tidak
dimiliki anak akan lebih tidak mungkin mengembangkan penalaran moral, karena seringkali peraturan
diturunkan dengan cara otoriter.
Seperti juga Piaget, Lawrence Kohlberg (1958, 1976, 1986) menekankan bahwa cara berpikir tentang
moral berkembang dalam tahapan. Tahapan ini bersifat universal. Kohlberg menggambarkan 3 tingkatan
penalaran tentang moral, dan setiap tingkatannya memiliki 2 tahapan.
a. Penalaran Prakonvensional
Merupakan tingkatan terendah dari penalaran moral menurut Kohlberg. Pada tingkat ini, baik dan buruk
diintepretasikan melalui reward (imbalan) dan punishment (hukuman) eksternal. Pada tingkat ini
seseorang sangat tanggap terhadap aturan-aturan kebudayaan dan penilaian baik atau buruk, tetapi ia
masih menafsirkan baik atu buruk ini dalam rangka maksimalisasi kenikmatan atau akibat-akibat fisik
dari tindakannya (hukuman fisik, penghargaan, imbalan, tukar-menukar kebaikan). Kecenderungan
utamanya dalam interaksi dengan orang lain adalah menghindari hukuman atau mencapai maksimalisasi
kenikmatan (hedonistis). Pada tingkat ini perasaan dominan yang berkembang adalah rasa takut.
- Tahap 1: Moralitas heteronom, adalah tahap pertama pada tingkat penalaran prakonvensional.
Pada tahap ini, penalaran moral terkait dengan punishment.
Sebagai contoh, anak berpikir bahwa mereka harus patuh karena mereka takut terhadap hukuman
perilaku membangkang.
- Tahap 2: Individualism, tujuan instrumental, dan pertukaran. Pada tahap ini, penalaran individu
yang memikirkan kepentingan diri sendiri adalah hal yang benar dan hal ini juga berlaku untuk orang
lain. karena itu, menurut mereka apa yang benar adalah sesuatu yang melibatkan pertukaran setara.
Meeka berpikir jika mereka baik terhadap orang lain, orang lain juga akan baik terhadap mereka.
b. Penalaran Konvensional
Pada tingkat ini, individu memberlakukan standar tertentu, tetapi standar ini ditetapkan oleh orang lain,
misalnya orang tua asuh atau pemerintah. Pada tahap ini seseorang menyadari dirinya sebagai seorang
individu ditengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya. Dalam keluarga, masyarakat, bangsa
dinilai memiliki aturan standar sendiri. Perasaan dominan pada tahap ini adalah malu.
- Tahap 3: Ekspektasi interpersonal mutual, hubungan dengan orang lain, dan konformitas
interpersonal, merupakan tahap ketiga dari perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini, individu
menghargai kepercayaan, perhatian dan kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar dari penialain
moral. Anak dan remaja sering kali mengadopsi standar moral orang tua pada tahap ini, agar dianggap
oleh orang tua sebagai anak yang baik.
- Tahap 4: Moralitas sistem sosial. Pada tahap ini, penilaian moral didasari oleh pemahaman tentang
keteraturan di masyarakat, hukum, keadilan dan kewajiban. Sebagai contoh, remaja mungkin berpikir,
supaya komunitas dapat bekerja dengan efektif perlu dilindungi hukum yang diberlakukan terhadap
anggotanya.
c. Penalaran Pascakonvensional
Adalah tingkatan tertinggi dlam teori Kohlberg. Pada tingkat ini, individu menyadari adanya jalur moral
alternatif, mengeksplorasi pilihan ini, lalu memutuskan berdasarkan kode moral personal. Orang pada
tahap ini sadar bahwa hukum merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan kesejahteraan umum,
maka jika hukum tidak sesuai dengan martabat manusia hukum dapat dirumuskan kembali. Perasaan
yang muncul dalam tahap ini adalah rasa bersalah dan yang menjadi ukuran keputusan moral adalah
hati nurani.
- Tahap 5 : Kontrak atau utilitas sosial dan hak individu. Pada tahap ini individu menalar bahwa nilai,
hak dan prinsip lebih utama atau lebih luas daripada hukum. Seseorang mengevaluasi validitas hukum
yang ada dan sistem sosial dapat diuji berdasarkan sejauh mana hal ini menjamin dan melindungi hak
asasi dan nilai dasar manusia.
- Tahap 6 : Prinsip etis universal. Merupakan tahapan tertinggi dalam perkembangan moral. Pada
tahap ini seseorang mengembangkan standar moral berdasarkan hak asasi manusia universal. Ketika
dihadapkan dengan pertentangan antara hukum dan hati nurani, sesorang menalar bahwa yang harus
diikuti adalah hati nurani, meskipun keputusan itu dapat memberikan resiko. Tindakan yang benar
adalah tindakan yang berdasarkan keputusan yang sesuai dengan suara hati dan prinsip moral universal.
Prinsip moral ini bersifat abstrak dan di dasar lubuk hati terdapat prinsip universal yaitu keadilan,
kesamaan hak-hak asasi manusia dan hormat terhadap martabat manusia sebagai pribadi.
Kohlberg percaya bahwa tingakatan dan tahapan terjadi secara berurutan dan terkait dengan usia.
Perkembangan moral ini berkembang setahap demi setahap dan tidak pernah meloncat. Sebelum usia 9
tahun, kebanyakan anak menggunakan tingkat 1, penalaran prakonvensional, ketika mereka dihadapkan
pada pilihan moral. Ketika berada pada masa remaja awal, kebanyakan mereka menalar dengan cara
yang lebih konvensional. Kebanyakan remaja menalar dengan tahap 3 dan beberapa tanda pada tahap 2
dan 4. Ketika berada pada masa dewasa muda, beberapa orang menalar dengan cara
pascakonvensional.
Perkembangan penalaran moral dapat berakhir pada tahap mana pun, maka peran pendidik adalah
menciptakan iklim untuk mencapai tahapan yang lebih tinggi. Seorang yang memahami prinsip-prinsip
yang terdapat pada tahapannya sekarang dan ia mempunyai peluang untuk memahami satu tahap di
atasnya atau tahap-tahap yang telah dilampauinya.
Asri Budiningsih, 2004: 31-32 menyebutkan secara ringkas alasan-alasan atau motif-motif yang diberikan
bagi kepatuhan terhadap peraturan atau perbuatan moral, yaitu:
2. Tahap 2 : menyesuaikan diri (conform) untuk mendapatkan ganjaran, kebaikannya dibalas dan
seterusnya.
4. Tahap 4: menyesuaikan diri untuk menghindarkan penilaian oleh otoritas resmi dan rasa diri
bersalah yang diakibatkannya.
5. Tahap 5: menyesuaikan diri untuk memelihara rasa hormat dari orang netral yang menilai dari
sudut pandang kesejahteraan masyarakat.
Meskipun penalaran moral dalam setiap tahap mensyaratkan tingkat perkembangan kognitif tertentu,
Kolhberg berpendapat bahwa kemajuan dalam perkembangan kognitif anak tidak menentukan
perkembangan penalaran moral. Tetapi penalaran moral mencerminkan pengalaman anak dalam
menghadapi pertanyaan moral dan konflik moral.
Kohlberg dan piaget percaya bahwa hubungan dengan teman sebaya adalah bagian terpenting dari
stimulus sosial yang akan mengembangkan penalaran moral mereka. Hubungan memberi dan menerima
yang bersifat mutual dengan teman sebaya memberikan kesempatan bagi anak untuk mengambil peran
dan memberikan anak kesempatan merasakan bahwa peraturan dibuat dengan cara yang demokratis.
Sedangkan orang dewasa memiliki karakteristik untuk cenderung memaksakan aturan terhadap anak.
§ Pada masa ini anak menilai kebenaran atau kebaikan tingkah laku berdasarkan konsekuensinya, bukan
niat dari orang yang melakukan
§ Anak berpikir bahwa mereka tidak berhak membuat peraturan sendiri, melainkan dibuatkan aturan
oleh orang dewasa
§ Anak juga percaya bahwa aturan tidak bisa diubah atau diturunkan oleh sebuah otoritas yang
berkuasa
§ Anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman, anak berpikir bahwa mereka harus patuh dan takut
terhadap hukuman. Anak tidak akan melanggar aturan karena takut ancaman hukuman dari otoritas
§ Immanent Justice. Sebuah konsep bahwa ketika peraturan dilanggar, maka hukuman akan langsung
mengiringi
§ Individualism. Pada tahap ini, anak berpikir bahwa mementingkan diri sendiri adalah benar dan hal ini
juga berlaku untuk orang lain. Karena itu, anak berpikir apapun yang mereka lakukan harus
mendapatkan imbalan atau pertukaran yang setara. Jika ia berbuat baik, maka orang juga harus berbuat
baik terhadap dirinya.
Pada umur 6-12 tahun anak biasanya menunjukan ciri-ciri khas sebagai berikut:
a. Anak sudah memiliki sikap agresif
Sagner (Dalam Elida, 2005: 130) ”tingkah laku agresif yaitu tingkah laku yang cenderung menyakiti orang
lain, binatang atau objek”. Tingkah laku agresif bermacam-macam misalnya memukul, berbicara kasar
dan tindakan menyerang. Tingkah agresif pada anak cenderung dalam penyarangan fisik. ”Agresif
banyak ditentukan oleh faktor lingkungan yaitu melalui model, pemberian hukuman, ganjaran dan
perasaan kecewa”( Elida, 2005: 132).
”Anak melakukan perilaku agresif berdasarkan hal yang sering dilihatnya lalu mereka mengidentifikasi
diri sama seperti model yang dilihatnnya” (Fanzoi, 2000:13 ).
Tingkah laku individu diperoleh dari hasil balajar melalui pengamatan (observasitas) atas tingkah laku
yang ditampilkan oleh model yang dijadikan sebagai model. ”Anak akan menyimpang tingkah laku yang
diamati didalam ingatan lalu ia coba untuk mengungkap ulang tingkah laku model yang dialaminya itu”
(E. Koeswara, 1988:41).
Bandura (Dalam E.Koeswara, 1988:42) menyimpulkan bahwa ”agresif bisa dipelajari dan terbentuk
dalam individu hanya dengan cara maniru atau mencontoh agresi yang dilakukan oleh model yang
disenangi”. Motivasi anak untuk mencontoh agresi yang ditampilkan oleh model akan kuat apabila si
model memiliki daya tarik yang kuat serta memberikan pengaruh yang menyenangkan bagi diri.
Imitasi merupakan proses peniruan, ingin sama dengan individu yang disenangi. Imitasi ini merupakan
salah satu mekanisme yang membentuk perilaku anak. ”Anak mempunyai kecenderungan untuk meniru
orang lain dan melakukan apa yang dilihatnya” (Chen, 1996:12). ”Anak lebih meniru orang dewasa yang
disukainya sebagai model” (Fanzoi, 2000:14)
”Melalui proses imitasi anak menunjukan perilaku agresif” (Fanzoi, 2000:13). ”Anak tidak melakukan
imitasi sembarangan, mereka lebih sering meniru orang-orang tertentu yang berkuasa, penting atau
idola dan memiliki kemiripan yang sama dengan dirinya” (Fanzoi, 2000:14). Dan anak bisa mengimitasi
apa yang dilihatnya ditelevisi dan tayangan yang disukai apabila yang memiliki nasip atau kemiripan
dengan nya, semakin besar tingkat kemiripan anak dengan model maka semakin besar perilaku imitasi
dan agresi yang ditampilkan anakn (Fanzoi, 2000:32). ”Karakter anak yang masih labil maka akan lebih
mudah untuk melakukan imitasi” (Abu Said, 2005:31).
Fanzoi (2000:34) mengemukan bahwa berdasarkan ”hasil eksperimen yang diperoleh ternyata cuplikan
film sepanjang tujuh menit, bisa menimbulkan pengaruh beberapa jam”. ”Menonton tayangan telivisi
mampu membuat orang mengingat 50% dari apa yang mereka lihat dan dengar dari televisi walaupun
sekali tayang, dan bisa mengingat 85% dari apa yang mereka lihat dari televisi setelah tiga jam kemudian
dan 65% setelah tiga hari kemudian” (Abu Said, 2005:16).
Perkembangan moral anak yang berumur 6-7 tahun yaitu perkembangan moral heteronom maksudnya
adalah baik buruk segala sesuatu dilihatnya berdasarkan hasil akibat yang dihasilkan. Sedangkan anak
yang berumur 8-12 tahun sedang perkembangan moral otonom yang melihat baik buruk sesuatu
berdasarkan maksud dan tujuan orang bertingkah laku. Menurut Piaget (Dalam Elida dan Erlamsyah,
2002;100)
”Pada umur 5-7 tahun cara berpikir anak perkembangan berpikir konkret taraf satu”. Anak memahami
tingkah laku baik benarnya tergantung apakah tingkah laku itu memuaskan dan menimbulkan
kenikmatan pada diri sendiri atau orang lain (hedonisme). Dan pada anak berumur 8-12 tahun
perkembangan moralnya yaitu instrumental dan hedonisme dan tahap berpikir kognitif tahap dua.
1. Memiliki kemampuan membedakan antara perilaku yang melanggar hak dan harkat manusia dan
perilaku yang melanggar kaidah sosial.
2. Tumbuhnya kesadaran bahwa perilaku yang menimbulkan bahaya fisik dan psikologis secara moral
salah.
3. Tumbuhnya empati dan munculnya usaha untuk menghibur orang-orang yang sedang
berkesusahan, terurtama orang yang dikenal baik.
Michel meringkas lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja (Hurlock,
1980:225) sebagai berikut:
3. Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Hal ini mendorong remaja lebih berani mengambil
keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
5. Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral
merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan emosi.
Kehidupan moral merupakan problematika yang pokok dalam masa remaja. Maka perlu kiranya untuk
meninjau perkembangan moralitas ini mulai dari waktu anak dilahirkan, untuk dapat memahami
mengapa justru pada masa remaja hal tersebut menduduki tempat yang sangat penting.
Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan moral peserta didik, diantaranya , yaitu:
1. Faktor Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan terdekat dalam diri individu. Termasuk disini pola asuh orang tua dalam
mengasuh dan mendidik anak memberi pengaruh dalam pembentukan dan perkembangan moral anak.
Kualitas hubungan dan komunikasi orang tua dengan anak.
Menurut teori psikonalisa ”moralitas atau kesusilaan adalah bagian dari kata hati atau superego
seseorang” (Sarlito W, 1976:18). Superego terbentuk pada anak karena mengidentifikasikan orang tua
yang sejenis kelamin. Ini berarti hilangnya sifat ”Oedipus Complex”
Menurut Freud (Dalam Mudjiran, 2000:93) ”baik pria atau wanita meniru tingkah laku orang tua yang
sejenis kelamin sama adalah karena keinginan untuk menjadi seperti orang tua”. ”Anak laki-laki seperti
ayah dan anak perempuan ingin seperti ibunya. Peniruan terhadap orang tua bukan karena takut tidak
diterima” demikian Bronfenbrenner (Dalam Mujiran, 2000:93). Selanjutnya Bronfenbrenner (Dalam
Mujiran, 2000:93) mengemukakan bahwa seorang anak meniru seluruh atau sebagain aspek-aspek
tingkah laku orang tua mereka yang berikut, yaitu :
§ Motivasi
§ Aspirasi
Aspek-aspek tingkah laku yang ditiru dari orang tua dipadukan atau diuji dengan kenyataan yang
berada dalam lingkungan, sehingga terjadilah indetifikasi analitik yang hasilnya identifikasi tingkah laku
yang diperoleh.
Hoffan dan Saltztein (Dalam Elida, 2005:110), ”mencoba mengetahui hubungan antara perkembangan
moral anak dengan disiplin orang tua”. Temuan penelitian mereka menyimpulkan bahwa orang tua yang
mempergunakan teknik disiplin cenderung menyebabkan perkembangan moral anak sangat baik,
sedangkan penggunaan disiplin berkuasa atau otoriter cenderung menyebabkan perkembangan moral
anak yang lemah.
Hal ini disebabkan penggunaan teknik induksi menyebabkan meningkatkan kemampuan kognitif yang
berpengaruh besar terhadap pemahaman moral. Keadaan ini tidak terjadi jika digunakan teknik disiplin
yang lain seperti teknik menghukum dan memgabaikan. Menurut Hoffman dan Saltztein (Dalam Elida,
2005:110) ”penggunaan penarikan cinta (love- withdrawal) tidak mendukung perkembangan moral
anak, karena teknik ini terlalu menyuburkan perasaan bersalah yang irrasional dalam diri anak, namun
tidak kuat menahan godaan”. Hoffman (Dalam Elida, 2005:111), juga meneliti pengaruh keberadaan
orang tua lelaki dalam keluarga terhadap perkembangan moral anak. Anak pria yang ayahnya tidak ada,
skor moralnya lebih rendah dari anak pria yang ayahnya tinggal bersama. Terjadi peristiwa ini dapat
dikelaskan sebagai berikut :
a. Para ayah dapat memberikan pengarahan langsung cara bertingkah laku yang sesuai dengan standar
moral, dalam situasi yang tidak disiplin.
b. Peranan disiplin dari ayah menjadi terancam, kalau disiplin terlalu banyak ditangani oleh ibu.
Memang tidak dapat disangkal bahwa pengaruh ibu lebih besar terhadap perkembangan moral anak
daripada pengaruh ayah.
Dari berbagai penelitian yang dilakukan Hoffan dan Saltztein (Dalam Elida, 2005:111) tentang hubungan
antara disiplin orang tua dan perkembangan moral anak dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Orang tua dapat menonjolkan kekuasaan dalam mendisiplinkan anak, dapat melemahkan
perkembangan moral anak.
b. Orang tua yang melaksanakan disiplin penarikan cinta, menimbulkan pengaruh buruk atau negatif
bagi perkembangan moral anak.
c. Orang tua yang menggunakan disiplin induksi, dapat meninggalkan perkembangan moral anak.
2. Faktor lingkungan memegang peranan penting. Diantara semua unsur lingkungan sosial yang
berpengaruh, yang tampaknya sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk manusia yang
langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu. Seberapa
banyak model (orang-orang dewasa yang simpatik, teman-teman,orang-orang yang terkenal dan hal
lain) yang diidentifikasi oleh anak sebagai gambaran-gambaran ideal. Perubahan dan kemajuan dalam
berbagai bidang membawa pergeseran nilai moral serta sikap warga masyarakat ditengah perubahan
dapat terjadi kemajuan/kemerosotan moral. Perbedaan perilaku moral individu sebagian adalah
dampak pengalaman dan pelajaran dari lingkungan nilai masyarakatnya. Lingkungan memberi ganjaran
dan hukuman. Ini memacu proses belajar dan perkembangan moral secara berkondisi.
3. Tingkat penalaran. Perkembangan moral yang sifatnya penalaran menurut Kohlberg, dipengaruhi
oleh perkembngan nalar sebagai mana dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi tingkat penalaran
seseorang menurut tahap-tahap perkembangan Piaget, makin tinggi pula tingkat moral seseorang.
4. Faktor interaksi sosial, termasuk disini adalah factor teman. Seberapa besar faktor sosial dalam
memberikan kesepakatan pada anak untuk mempelajari dan menerapkan standar perilaku yang
disetujui masyarakat, keluarga, sekolah, dan dalam pergaulan dengan orang lain.
5. Faktor Budaya/kebudayaan
Kohlberg mengatakan bahwa tahap perkembanagn moral merupakan suatu yang bersifat universal,
tidak tergantung pada kebudayaan. Namun, faktor kebudayaan mempunyai peran dalam perkembangan
moral, yaitu pada tempo (waktu) dan kecepatan perkembangannya. Kebudayaan akan mempengaruhi
cepat lambatnya pencapaian tahap-tahap perkembangan moral dan juga mempengaruhi batas tahap
perkembangan yang dicapai. Dengan kata lain, bahwa individu yang mempunyai latar budaya tertentu
dapat berbeda perkembangan moralnya dengan individu lain yang berasal dari kebudayaan lain.
Beberapa Usaha Untuk meningkatkan Perkembangan Moral pada Anak Usia Dini :
2. Metode bercerita
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, cerita diartikan dalam beberapa pengertian, yaitu: 1) tuturan
yang membentangkan bagaimana suatu hal atau peristiwa, kejadian dan sebagainya, 2) karangan
yang menuturkan perbuatan, pengalaman, penderitaan orang, kejadian dan sebagainya, baik yang
sungguh-sungguh maupun rekaan belaka, 3) lakon yang diwujudkan atau dipertunjukkan dan digambar
hidup seperti sandiwara, wayang dan sebagainya. Azis Mustafa dan Imam Musbikin (2003:5)
membedakan antara bercerita dengan mendongeng. Perbedaannya adalah dongeng merupakan cerita
khayalan atau karangan, sedangkan cerita bisa khayalan atau karangan, tetapi bisa pula kenyataan.
Akan tetapi keduanya juga memiliki persamaan, yaitu sama-sama bertujuan untuk menyampaikan
pesan. Cerita sering digunakan oleh para guru untuk menyampaikan pesan kepada peserta didiknya.
Penggunaan cerira ini bukan tanapa alasan. Bercerita memiliki manfaat yang banyak. Abbas (2005:3)
mengungkapkan bercerita sebagai metode atau media pendidikan mempunyai fungsi: 1)
menyajikan kebenaran yang abstrak menjadi jelas, 2) mengembangkan imajinasi, 3) membangkitkan
rasa ingin tahu, 4) mempengaruhi perasaan, 5) melatih daya tangkap dan konsentrasi, 6)
membantu perkembangan fantasi, 7) menambah pengetahuan, 8) mengembangkan kemampuan
berbahasa. Otib Satibi Hidayat (2005), mengungkapkan beberapa makna penting bercerita bagi
anak TK sebagai berikut: 1) mengkomunikasikan nilai-nilai budaya, 2) mengkomunikasikan nilai-nilai
sosial, 3) mengkomunikasikan nilai-nilai agama, 4) menanamkan etos kerja, etos waktu dan etos
alam, 5) membantu mengembangkan fantasi anak, 6) membantu mengembangkan dimensi kognitif
anak, 7) membantu mengembangkan dimensi bahasa anak. Aziz Mustofa dan Imam Musbikin (2003:6)
mengungkapkan apabila dilihat dari isi ceritanya dongeng mempunyai kekuatan dalam membangun
imajinasi anak, menanamkan nilai-nilai etika, menanamkan rasa simpati, rasa kesetiakawanan pada
sesama, yang akhirnya akan membentuk kepribadian pada seorang anak. Jadi dongeng mempunyai
fungsi bukan sekedar alat komunikasi tetapi juga alat menanamkan nilai. Tadzkiroatun Musfiroh
(2003:78), menuliskan manfaat bercerita sebagai berikut: 1) mengasah imajinasi anak,
2)mengembangkan kemampuan berbahasa, 3) mengembangkan aspek sosial, 4) mengembangkan
aspek moral, 5) mengembangkan kesadaran beragama, 6) mengembangkan aspek emosi, 7)
menumbuhkan semangat berprestasi, dan 8) melatih konsentrasi anak.
Dari beberapa uraian di atas jelaslah bahwa bercerita atau mendongeng sangatlah penting
dilakukan untuk kehidupan anak, mengingat manfaatnya yang sangat banyak. Cerita yang
diberikan kepada anak disesuiakan dengan aspek perkembangan anak dan juga pesan yang akan
disampaiakan kepada anak. Bercerita dapat dijadikan metode untuk menyampaikan nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.12). Dalam cerita atau dongeng dapat
ditanamkan berbagai macam nilai moral, nilai agama, nilai sosial, nilai budaya, dan sebagainya.
Ketika bercerita seorang guru juga dapat menggunakan alat peraga untuk mengatasi keterbatasan anak
yang belum mampu berpikir secara abstrak. Alat peraga yang dapat digunakan antara lain, boneka,
tanaman, benda-benda tiruan, dan lain-lain. Selain itu guru juga bisa memanfaatkan kemampuan olah
vokal yang dimiliknya untuk membuat cerita itu lebih hidup, sehingga lebih menarik perhatian siswa.
3. Metode Bernyanyi.
Metode bernyanyi adalah suatu pendekatan pembelajaran secara nyata yang mampu membuat
anak senang dan bergembira. Anak diarahkan pada situasi dan kondisi psikis untuk membangun
jiwa yang bahagia, senang menikmati keindahan, mengembangkan rasa melalui ungkapan kata dan
nada. Pesan-pesan pendidikan berupa nilai dan moral yang dikenalkan kepada anak tentunya tidak
mudah untuk diterima dan dipahami secara baik. Anak tidak dapat disamakan dengan orang dewasa.
Anak merupakan pribadi yang memiliki keunikan tersendiri. Pola pikir dan kedewasaan seorang
anak dalam menentukan sikap dan perilakunya juga masih jauh dibandingkan dengan orang dewasa.
Anak tidak cocok hanya dikenalkan tentang nilai dan moral melalui ceramah atau tanya jawab saja.
Pendekatan pembelajaran melalui kegiatan membaca sajak merupakan salah satu kegiatan yang akan
menimbulkan rasa senang, gembira, dan bahagia pada diri anak. Secara psikologis anak Taman Kanak-
kanak sangat haus dengan dorongan rasa ingin tahu, ingin mencoba segala sesuatu, dan ingin
melakukan sesuatu yang belum pernah dialami atau dilakukannya. Melalui metode sajak guru bisa
menanamkan nilai-nilai moral kepada anak. Sajak ini merupakan metode yang juga membuat anak
merasa senang, gembira dan bahagia. Melalui sajak anak dapat dibawa ke dalam suasana indah, halus,
dan menghargai arti sebuah seni. Disamping itu anak juga bisa dibawa untuk menghargai makna
dari untaian kalimat yang ada dalam sajak itu. Secara nilai moral, melalui sajak anak akan memiliki
kemampuan untuk menghargai perasaan, karya serta keberanian untuk mengungkap sesuatu melalui
sajak sederhana (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.29)
5. Metode Karyawisata.
Metode karya wisata bertujuan untuk mengembangkan aspek perkembangan anak Taman Kanak-
kanak yang sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya pengembangan aspek kognitif, bahasa,
kreativitas, emosi, kehidupan bermasyarakat, dan penghargaan pada karya atau jasa orang lain.
Tujuan berkarya wisata ini perlu dihubungkan dengan tema-tema yang sesuai dengan pengembangan
aspek perkembangan anak Taman Kanak-kanak. Tema yang sesuai adalah tema: binatang, pekerjaan,
kehidupan kota atau desa, pesisir, dan pegunungan.
Cara yang efektif dalam penanaman moral, lebih banyak dilakukan melalui pembiasaan-pembiasaan
tingkah laku dalam proses pembelajaran. Ini dapat dilihat misalnya, pada berdoa sebelum dan
sesudah belajar, berdoa sebelum makan dan minum, mengucap salam kepada guru dan teman,
merapikan mainan setelah belajar, berbaris sebelum masuk kelas dan sebagainya. Pembiasaan ini
hendaknya dilakukan secara konsisten. Jika anak melanggar segera diberi peringatan.
7. Metode Bermain.
Dalam bermain ternyata banyak sekali terkandung nilai moral, diantaranya mau mengalah, kerjasama,
tolong menolong, budaya antri, menghormati teman. Nilai moral mau mengalah terjadi manakala
siswa mau mengalah terhadap teman lainnya yang lebih membutuhkan untuk satu jenis mainan.
Pengertian dan pemahaman terhadap nilai moral mau menerima kekalahan atau mengalah adalah
salah satu hal yang harus ditanamkan sejak dini. Seringkali terjadi sikap moral tidak terpuji seperti
perusakan dan tindakan anarkis lainnya yang dilakukan oleh oknum tertentu ketika ia kalah dalam
suatu persaingan, misalnya dalam pemilihan kepala desa, bupati, gubernur, atau bahkan dalam
pemilihan presiden. Oleh karena itu betapa penting untuk menanamkan nilai moral untuk mau
menerima kekalahan sejak usia dini.
8. Bermain Peran.
Bermain peran merupakan salah satu metode yang digunakan dalam menanamkan nilai moral
kepada anak TK. Dengan bermain peran anak akan mempunyai kesadaran merasakan jika ia
menjadi seseorang yang dia perankan dalam kegiatan bermain peran. Misalnya tema bermain
peran tentang kasih sayang dalam keluarga. Anak akan merasakan bagaimana seorang ayah harus
menyayangi anggota keluarga, bagaimana seorang ibu harus menyayangi keluarga, begitu juga
bagaimana dengan anak-anaknya.
9. Metode diskusi.
Diskusi yang dimaksud di sini adalah mendiskusikan tentang suatu peristiwa. Biasanya dilakukan
dengan cara siswa diminta untuk memperhatikan sebuah tayangan dari CD, kemudian setelah selesai
siswa diajak berdiskusi dengan guru tentang isi tayangan CD tersebut. Isi diskusinya antara lain
mengapa hal tersebut dilakukan, mengapa anak itu dikatakan baik, mengapa harus menyayangi dan
sebagainya.
10. Metode Teladan. Menurut Cheppy Hari Cahyono (1995 : 364-370) guru moral yang ideal adalah
mereka yang dapat menempatkan dirinya sebagai fasilitator, pemimpin, orang tua dan bahkan
tempat menyandarkan kepercayaan, serta membantu orang lain dalam melakukan refleksi. Guru
hendaknya menjadi figur yang dapat dicontoh dalam bertingkah laku oleh siswanya. Secara kodrati
manusia merupakan makhluk peniru atau suka melakukan hal yang sama terhadap sesuatu yang
dilihat. Apalagi anak-anak, ia akan senantiasa dan sangat mudah meniru sesuatu yang baru dan
belum pernah dikenalnya, baik itu perilaku maupun ucapan orang lain.
Orang tua sangat besar peranannya dalam perkembangan moral anak. Tidak seorang pun ahli
perkembangan moral anak yang membantah bahwa moral anak terbentuk melalui hubungan sosial.
Hubungan sosial pertama yang dialami anak dalam hidupnya adalah orang tuanya. Orang tua brperan
besar dalam membentuk tingkah laku altruitis, role taking,dan perasaan bersalah pada anak. Kasih
sayang orang tua terhadap anak, membangun sistem interaksi yang bermoral antara anak dengan orang
lain. Hubungan dengan orang tua yang hangat, ramah, gembira, dan kasih sayang, merupakan pupuk
bagi perkembangan moral anak.
Pengembangan tingkah laku moral tidak lepas dari berbagai peran keluarga adalah sebagai berikut :
Di negara kita ada empat sumber nilai yang dijadikan pedoman dalam bertingkah aku, yaitu agama, ilmu
pengetahuan, nilai-nilai luhur bangsa Indonesia (Pancasila) dan adat istiadat. Anak harus diperkenalkan
dengan aturan-aturan berhubungan sosial yang sesuai dengan keempat sumber nilai itu. Kebiasaan yang
berlaku di masyarakat tidak boleh bertentangan dengan keempat sumber nilai itu. Kalau terjadi
pertentangan nilai yang berlaku di masyarakat dengan nilai-nilai yang terkandung dalam keempat
sumber itu, maka anak akan mengikuti kebiasaan yang berlaku di masyarakat, karena seperti yang
dikatakan sebelumnya bahwa anak akan bertingkah laku yang dianggap baik oleh orang dewasa
sekitarnya walaupun tidak sesuia dengan moral. Dalam bertingkah laku mereka belum mempunyai
kesadaran untuk berpegang teguh pada prinsip moral, tetapi cenderung mengikuti kebiasaan-kebiasaan
orang dewasa dalam masyarakat sekitarnya.
b. Menciptakan Komunikasi
Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang moral. Anak-anak harus dirangsang
supaya lebih aktif. Hendaknya ada upaya untuk mengikutsertakan remaja dalam beberapa pembicaraan
dan dalam pengambilan keputusan keluarga, sedangkan dalam kelompok sebaya, remaja turut serta
secara aktif dalam tanggung jawab dan penentuan maupun keputusan kelompok.
Lingkungan merupakan faktor yang cukup luas dan sangat bervariasi, maka tampaknya yang perlu
diperhatikan adalah lingkungan sosial terdekat yang terutama terdiri dari mereka yang berfungsi sebagai
pendidik dan pembina, yaitu orang tua dan guru.
Beberapa individu yang beritikad baik menyatakan bahwa mesyarakat sedang mengalami kemerosotan
moral yang drastis dan mendesak para orang tua dan para pendidik untuk menanamkan nilai-nilai moral
yang baik (kejujuran, kesetiaan, tanggungjawab, dan lain-lain) melalui pelajaran di rumah dan di sekolah,
serta melalui kontrol yang tegas terhadap perilaku anak-anak. Kenyataannya tidak ada bukti generasi
anak muda sekarang berada pada pada tingkat moral atau proposional yang rendah dibandingkan
dengan generasi terdahulu (Turiel dalam Jeanne, 2000:141). Selain itu, mengajari siswa mengenai
perilaku yang tepat secara moral dan menerapkan kontrol yang tegas terhadap tindakan mereka dalam
rangka menanamkan serangkaian moral tertentu hanya memiliki sedikit dampak terhadap mereka.
Untuk membangkitkan perasaan bersalah jika melakukan sesuatu yang melanggar moral, orang tua dan
guru perlu memahami tentang timbulnya perasaan bersalah dari aspek moral dalam diri anak, seperti
yang dikemukan oleh Hoffman (Dalam Elida, 2005:177) sebagai berikut :
1) Perasaan bersalah mulai dapat dialami anak pada umur dua tahun namun belum sempurna. Pada
umur enam tahun anak telah memiliki perasaan bersalah yang sempurna.
2) Pembiasaan disiplin yang mementingkan kesadaran anak tentang akibat tingkah lakunya terhadap
orang lain dapat mengembangkan perasaan bersalah. Disiplin seprti ini disebut disiplin dengan teknik
induksi.
3) Membangkitkan perasaan empati atau cepat merasakan perasaan orang lain sehingga dapat
meningkatkan perasaan bersalah.
4) Timbulnya perasaan bersalah dalam diri anak, dapat mengubah atau memperbaiki tingkah laku
anak terhadap korban kejahatan.
5) Perasaan bersalah kadang – kadang menimbulkan tingkah laku meninjau dan menilai diri sendiri,
sehingga dalam bertindak tidak dikuasai oleh kepentingan diri sendiri.
Pengembangan kata hati merupakan usaha memperkuat kata hati itu sendiri. Memperkuat kata hati
berarti mengembangkan tingkah laku altruistik, role taking, dan perasaan bersalah. Oleh karena itu,
sebenarnya cara mengembangkan kata hati tidak berbeda dengan pengembangkan tingkah laku
altruistik, role taking, dan perasaan bersalah. Sutton dan Smith (Dalam Elida, 2005: 178)
mengemukakan cara-cara membentuk kata hati anak, dengan maksud lebih memantapkan keyakinan
para orang tua dan guru tentang perlunya usaha mengembangkan moral anak. Cara itu adalah sebagai
berikut :
h. Memberikan model
Orang tua dan guru merupakan model yang sangat penting dalam pengembangan moral anak. Anak
meniru tingkah laku orang tua dan gurunya. Oleh karena itu orang tua yang mempunyai kata hati yang
kuat akan ditiru oleh anak-anak.
i. Menerapakan disiplin
Ada beberapa teknik untuk menerapkan disiplin, diantaranya adalah sebagai berikut :
2) Teknik disiplin dengan cara ”induksi” yaitu dengan memberikan penjelasan mengapa anak dilarang
atau dibolehkan melakukan tindakan tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih, Asri, 2004. Pembelajaran Moral Berpijak Pada Karakteristik Siswa dan Budayanya. Jakarta:
PT Rineka Cipta.
Elida Prayitno. 2005. Perkembangan Anak Usia Dini dan Usia SD. Padang : Angkasa Raya.
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.
Jakarta: Erlangga
A. Pengertian
Moralitas adalah aspek penting dalam kehidupan manusia yang berkaitan dengan nilai-nilai, norma, dan
prinsip-prinsip yang mengatur perilaku dan interaksi sosial. Moralitas tidak hanya berlaku untuk
manusia, tetapi juga untuk entitas bukan manusia, seperti sistem kecerdasan buatan (AI) atau Aud
(Artificial Auditory Intelligence). Dalam makalah ini, kami akan membahas hakikat perkembangan
moralitas pada Aud, bagaimana Aud mungkin mengembangkan pemahaman moral, dan bagaimana hal
ini memengaruhi hubungan mereka dengan manusia.
2. **Pengalaman dan Pembelajaran**: Aud dapat mengumpulkan pengalaman dari interaksi dengan
manusia dan lingkungan sekitarnya. Mereka dapat mempelajari norma-norma sosial dan etika melalui
data yang terus-menerus diperbarui.
3. **Adaptasi Moral**: Aud dapat memodifikasi perilaku mereka berdasarkan umpan balik dan
pembelajaran dari situasi tertentu. Mereka dapat mengembangkan respons moral yang lebih baik
seiring waktu.
4. **Kolaborasi dengan Manusia**: Aud yang memiliki moralitas yang berkembang dapat lebih baik
berkolaborasi dengan manusia dalam situasi yang melibatkan keputusan etis.
2. **Keselarasan Nilai**: Aud yang memahami dan menerapkan nilai-nilai moral yang serupa dengan
manusia dapat memperkuat keselarasan nilai antara keduanya.
3. **Kesadaran Etis**: Perkembangan moralitas Aud juga dapat membantu mencegah situasi etis yang
buruk, seperti penggunaan teknologi AI untuk tujuan yang merugikan.
**Daftar Pustaka:**
Greene, J. D. (2018). The ethical algorithm: The science of socially aware algorithm design. Oxford
University Press.
Wallach, W., & Allen, C. (2011). Moral machines: Teaching robots right from wrong. Oxford University
Press.
Anderson, M., & Anderson, S. L. (2007). Machine ethics: Creating an ethical intelligent agent. AI
Magazine, 28(4), 15-26.
Johnson, D. G., Powers, T. M., & Sullins, J. P. (2008). Computer systems and responsibility: A normative
look at technological complexity. Ethics and Information Technology, 10(1), 1-7.
Floridi, L. (2010). The Cambridge Handbook of Information and Computer Ethics. Cambridge University
Press.