Anda di halaman 1dari 2

Latar Belakang

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok


Agraria (UUPA). UUPA sejatinya dimaksudkan berlaku sebagai lex generalis
(“undang-undang pokok”) bagi pengaturan lebih lanjut obyek materiilnya,
yaknibumi,airdankekayaanalamyangterkandung di dalamnya sebagaimana
diamanatkan oleh Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Amanat tersebut kemudian dijabarkan dalam UU Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Penjabaran UUPA karena salah tafsir adalah (1) penafsiran pengertian hak
menguasai dari negara yang demikian luas, mencakup seolah-olah negara sebagai
pemilik tanah; (2) penafsiran yang beragam terhadap pengertian “tanah negara”
dan berbagai implikasi yuridisnya; (3) pembelokan hak pengelolaan sehingga
lebihmenonjolkan sifat keperdataannya; (4) penafsiran yang longgar terhadap
pengertian “fungsi sosial” hak atas tanah sehingga menafikan asas keseimbangan
antara kepentingan umum dan kepentingan perseorangan; (5) pengakuan dan
perlindungan hak masyarakat hukum adat yang tidak tuntas yang bisa berdampak
terhadapkurangnya perlindungan terhadap hak ulayat karena menafikan kedudukan
tanah (hak) ulayat sebagai entitas tersendiri, di samping tanah negara dan tanah
hak, (6) pengabaian nilai-nilai lain dari tanah dan hanya memandangnya dari nilai
ekonomis semata, telah menjadikan tanah sebagai komoditas dan alat untuk
akumulasi modal.

Konflik terhadap tanah kerap kali terjadi, diantaranya konflik Alastlogo,


puncaknya bermula saat terjadinya penembakan oleh Marinir TNI AL terhadap warga
petani pada tanggal 30 Mei 2007 di Desa Alastlogo, Kecamatan Lekok, Kabupaten
Pasuruan, Jawa Timur. Peristiwa ini dipicu konflik tanah seluas 539 hektar. Warga
Alastlogo merupakan salah satu pihak yang memperebutkan tanah seluas 539 hektar
di 11 desa di dua kecamatan, Kecamatan Lekok dan Grati yang juga diklaim PT
Rajawali Nusantara. Adanya saling mengklaim kepemilikan tanah antara warga yang
telah menempati lahan tersebut dengan pihak TNI AL yang merasa memiliki hak
atas tanah. Konfl ik tanah Puslatpur (Pusat Latihan Tempur) melibatkan 11 desa di 3
kecamatan (Grati, Lekok dan Nguling). 10 desa yang lain memilih penyelesaian konfl
ik melalui upaya-upaya politik, sementara desa Alastlogo menggunakan jalur hukum/
pengadilan. Warga memiliki bukti kepemilikan berupa Petok D dan Letter C,
sedangkan TNI AL memiliki bukti sertifi kat. Tanah tersebut menurut perijinan akan
digunakan sebagai Puslatpur, namun dalam kenyataannya digunakan PLTU, PT
Rajawali, Lapindo dan Gentos.
Sedangkan perkebunan Petung Ombo terdiri dari tanaman karet, kopi,
kelapa, cengkeh, tebu dan beberapa tanaman polowijo serta peternakan ayam dan
kolam ikan. Di lokasi perkebunan juga ada perkampungan yang terpencil berdiri
bangunanbangunan rumah yang bersambung dan sudah ada sejak penjajahan
Belanda. Sampai penelitian ini berlangsung, rumah-rumah tersebut masih tetap di
tempati warga masyarakat. Konfl ik di Petung Ombo Blitar berkaitan dengan sumber
daya alam yang sangat subur yang seharusnya kehidupan masyarakatnya sangat
makmur dan sejahtera. Namun kenyataannya kehidupan masyarakat di Petung
Ombo sangat miskin dan memprihatinkan. Keadaan tersebut terjadi karena
masyarakat setempat dinyatakan tidak mempunyai hak atas tanah dan pemukiman
serta dijadikan sebagai buruh perkebunan dengan imbalan yang sangat minim rata-
rata perhari Rp9.000,- disebut magersari. Penduduk hanya diberi kesempatan
mengkais mata pencaharian sebagai buruh sadap getah pohon karet, memanjat
pohon kelapa. Semua tanaman dan pemukiman dianggap milik Puskopad Kodam
V/Brawijaya yang sampai penelitian ini dilakukan tidak pernah mempunyai HGU (Hak
Guna Usaha).

Rumusan Masalah

1. Faktor-faktor apa saja yang bisa memengaruhi terjadi konflik agraria di


masyarakat?
2. Bagaimana penyelesaian konflik tersebut?

Refrensi

Jurnal :

 Model Resolusi Konfl ik dan Pembentukan Negara: Pemahaman Budaya


Hukum secara Holistik di Masyarakat Rawan Konfl ik Sri Endah Kinasih,
Bambang Budiono, Sarkawi B. Husain. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik,
Th. 23, No. 1, Januari–Maret 2010, 27–34.
 Jurnal HAM Vol. 9 No. 1, Juli 2018: 87-101.
 Jurnal Pembaharuan Hukum Volume I No. 2 Mei – Agustus 2014Analisis
Hukum Sistem Penyelesaian Sengketa Atas Tanah Berbasis Keadilan Herlina
Ratna Sambawa Ningrum.

Anda mungkin juga menyukai