Anda di halaman 1dari 5

PENGEMIS SEBAGAI PROFESI DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI HUKUM

Mata kuliah : Antropologi Hukum

Oleh:

Syafiq Ramdhani (165010107111096)

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

MALANG

2019

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara yang multikultural, multi etnik, agama, ras, dan
multi golongan. Bhinneka Tunggal Ika mencerminkan kemajmukan budaya bangsa dalam
naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.1Sistem nilai budaya merupakan tingkat
yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. 2 Hal itu disebabkan karena nilai-
nilai budaya merupakan konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian
besar masyarakat, mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting
dalam hidup.
Kemajemukan budaya dalam konteks masyarakat Indonesia merupakan pengertian
yang majemuk pula, oleh karena pengertian kebudayaan itu sendiri bergantung pada aspek
di dalam kehidupan masyarakat secara teoritis dianggap pokok untuk pemahaman
perilaku warga masyarakat. Budaya lokal merupakan salah satu dasar pembentukan
perilaku masyarakat.3Setiap manusia mempunyai apa yang dinamakan prilaku (behavior),
yakni suatu totalitas dari gerak motoris, persepsi dan fungsi kognitif dari fungsi.
Salah satu unsur dari perilaku adalah gerak sosial,, yakni gerak yang terikat oleh
empat syarat:Pertama,diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, Kedua, terjadi
pada situasi tertentu, Ketiga, diatur oleh kaidah-kaidah tertentu, Keempat. Terdorong oleh
motivasi-motivasitertentu.4
Kebiasaan dan kelaziman yang diterima dan dipakai masyarakat secara berulang,
yang dijadikan pedoman dan diterapkanya dalam pelaksanaan mewujudkan kebahagiaan,
kesejahtreaan, keseimbangaan, kerukunan, ketertiban, keadilan dan kedamaian dalam

1
Gina Lestari, 2015, Bhinneka Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia di Tengah Kehidupan SARA, Jurnal
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, No. 1, Februari 2015, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada,
hlm. 35
2
Sriwahyu Istana Trahutami, 2015, Nilai Sosial Budaya dalam Peribahasa, Jurnal Izumi, Vol. 5, No. 1, Semarang:
Universitas Diponegoro, hlm. 66
3
Rasid Yunus, 2013, Transformasi Nilai-Nilai Budaya Lokal sebagai Upaya Pembangunan Karakter Bangsa, Jurnal
Penelitian Pendidikan, Vol. 14, No. 1,Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, hlm. 71
4
Suryani Br. Ginting, 2015, Pengaruh Budaya Hukum terhadap Pembangunan Hukum GoodGovernance di
Indonesia,Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, Vol. 14, No. 1, Manado: Institut Agama Islam Negeri, hlm. 7
melangsungkan kehidupan itu merupakan suatu sistem kontrol-sosial.5
Dalam pandangan antropologi, dimana saja ada manusia hidup bermasyarakat
harus ada sistem kontrol sosialnya. Sistem kontrol sosial itu akan mempunyai kekuatan
hukum, apabila ia digunakan oleh kekuatan masyarakat guna mengatur perilaku manusia
dan masyarakat bersangkutan, supaya kehidupan mereka teratur. Sepanjang masyarakat
itu teratur, karena ada yang mengatur dan mempunyai kekuasaan, maka pada masyarakat
itu terdapathukum.
Sebagai kelanjutan dari usaha manusia dari usaha manusia dalam masyarakat
untuk memelihara sistem kemasyarakat, maka ia menghasilkan kesamaan dan keserasian
perilaku dari anggota individu dalam masyarakat atau sebagian dari masyarakat itu. Jadi
jelaslah bahwa lapangan penulisan antropologi hukum ditunjukan pada suatu garis
perilaku yang menunjukan kejadian terus- menerus.
Budaya kemiskinan seakan menjadi pilihan oleh sebagian masyarakat Kota
Malang dan kemiskinan sering kali dipahami dalam pengertian sederhana, yakni dalam
keadaan kekurangan uang, rendahnya tingkat pendapatan dan tidak terpenuhinya
kebutuhan sehari-hari Padahal kemiskinan adalah masalah yang sangat komplek, baik dari
faktor penyebabnya maupun dampak yang akan ditimbulkan dari masalah kemiskinan
tersebut, dari masalah kemiskinan inilah banyak orang yang mengambil profesi sebagai
pengemis. Masalah pengemis adalah masalah yang pelik.6
Di dalam Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa setiap manusia diperintahkan untuk
bekerja dan Al-Qur’an mendorong mereka melakukan usaha, serta mengarahkan mereka
menjadi orang-orang yang bersikap positif dalam menemukan hidup dengan kesungguhan
dan kerajinan agar dapat memberi dan memperoleh manfaat untuk diri sendiri dan orang
lain.7
Mengemis merupakan salah satu jalan pintas bagi orang miskin untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Ada yang benar-benar tidak mampu sehingga ia harus mengemis di
jalanan dan tidak sedikit pula yang berpura-pura mengemis hanya untuk mengambil
keuntungan semata. Ia terkadang mempunyai rumah bahkan telephon selular. Dalam
5
Hilman Hadikusuma, 2006, Antropologi Hukum Indonesia, Bandung: PT. Alumni, hlm. 6

6
Hotifah Hartati, 2010, Mengemis sebagai Profesi, Skripsi, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, hlm. 3
7
Baqir Syarif Qorashi, 2007, Keringat Buruh Hak dan Peran Bekerja dalam Islam, Jakarta: Al-Huda, hlm. 20
koran jawa pos, seorang bos pengemis mengakui bahwa kesuksesan yang ia raih berawal
dari hasil mengkoordinir pengemis- pengemis disekitar tempat tinggalnya. Menurut
pengakuan bos pengemis tersebut, dari hasil mengkoordinir pengemis ia bisa membeli
rumah, alat rumah tangga, dan bahkan ia sanggup membeli mobil. Ia mempunyai anak
buah yang dijadikan sebagai pengemis. Dari hasil anak buah tersebut ia bisa
menghasilkan 200 s/d 300 ribuperhari.
Dikarenakan perbedaan tempat dan lingkungan, perbedaan sejarah dan asal-
usulnya, perbedaan semangat dan jiwanya, perbedaan akal dan cara berpikirnya,
perbedaanya budaya dan agama yang mempengaruhinya, maka perilaku budaya manusia
itu berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Jadi tidak ada suatu sistem pola
perilaku manusia yang seragam, dan oleh karenanya tidak ada pula suatu sistem
kepribadian (personality) manusia itu yangsama.8
Di luar persoalan agama dan pelanggaran ketertiban umum, setiap uang yang
diberikan kepada para pengemis membuat mereka merasa dihargai dan menyebabkan
menadahkan tanganya kepada orang lain. Sedekah yang kita berikan, justru membuat
pengemis semakin tergantung kepada pemberian orang lain tanpa berusaha untuk
mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari mengemis. Akhirnya, mereka akan menjadikan
kegiatan mengemis sebagai mata pencahariaannya atau sebagai profesi.
Dalam hal ini bukan kemiskinan yang menjadi alasan, tetapi budaya pada diri
masyarakat itu sendiri yang sudah melekat. Mereka berfikir bahwa mengemis adalah
profesi yang menjanjikan, walaupun sebenarnya mereka mampu untuk mengambil
pekerjaan yang lebih baik selain dari mengemis. Karena itu mereka berani melanggar
peraturan yang terkait dengan larangan mengemis di daerah tersebut. Padahal pemerintah
setempat telah berusaha menegakkan hukum dengan cara mengadakan pembersihan kota
dengan menagkap dan mengusir para pengemis tetapi mereka tetap tidak berhenti dan
terus menjalankan profesinya. Oleh karena itu, kelompok kami memutuskan untuk
membuat penelitian tentang hal ini.

B. Rumusan Masalah

8
Loc.cit, HilmanHadikusuma, hlm. 5
Dari latar belakang masalah di atas, maka kami merumuskan permasalahan sebagai
berikut :
1. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi budaya mengemis pada masyarakat
Kota Malang?
2. Bagaimana Profesi Pengemis dalam Perfekstif Antropologi Hukum?
3. Bagaimana penegakkan hukum yang mengatur kegiatan mengemis?

C. Tujuan Penelitian

Dari permasalahan di atas, maka adapun tujuan dari penelitian kami adalah :
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi budaya mengemis di
masyarakat Kota Malang.
2. Untuk mengetahui tinjauan antropologi hukum terhadap budaya pengemis sebagai
profesi.
3. Untuk mengetahui bagaimana penegakkan hukum yang mengatur kegiatan
mengemis.

Anda mungkin juga menyukai