Anda di halaman 1dari 12

TUGAS HUKUM KETENAGAKERJAAN

PEKERJA MIGRAN INDONESIA

Disusun oleh:

NUR YAUMIL HIKMAH (17/412179/HK/21317)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS GADJAH MADA


YOGYAKARTA

2019
1. Latar Belakang
Kasus yang terjadi pada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau yang sekarang disebut
Pekerja Migran Indonesia semakin tahun bukannya semakin menurun malah semakin
meningkat, bahkan setelah disahkannya undang-undang baru. Beberapa penyebabnya yaitu
banyak pekerja migran yang tidak memiliki dokumen. Sekretaris Jaringan Buruh Migran
Indonesia (JBMI) Savitri Wisnuwardhani mengatakan kasus pekerja migran di Indonesia
terus meningkat. Data BNP2TKI menunjukan saat ini setidaknya ada 254 pekerja tidak
berdokumen, 33 kasus over charging, dan 33 kasus overstay. Data kasus yang masuk ke
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menunjukkan, sepanjang 2016-2017, terjadi
peningkatan kasus pelanggaran kontraktual sebanyak 1.501 kasus. Pekerja migran juga
mengalami kasus penganiayaan, human trafficking dan sakit. Selain itu, monitoring media
yang dilakukan JBMI menunjukan, selama 2017 kasus terbanyak yang dialami pekerja
migran adalah kasus pekerja migran tidak berdokumen (6.300 kasus), kasus perdagangan
orang (1.083 orang) dan kasus pekerja migran yang meninggal dunia (217 orang). Selain hal
tersebut, Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia masih dinilai lemah oleh
JBMI.
Undang-undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) telah disahkan pada 22
November 2017. Isinya pun telah memasukkan Konvensi Perlindungan Pekerja Migran dan
Anggota Keluarganya tahun 1990 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui
Undang-Undang No.6/2012 dalam konsiderannya. Pengertian Pekerja Migran Indonesia telah
termuat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran
Indonesia (UU PPMI). Pada Pasal 1 UU PPMI menyebutkan bahwa “Pekerja Migran
Indonesia adalah setiap warga negara
Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan
pekerjaan dengan menerima upah di luar wiiayah
Republik Indonesia.” Dalam UU PPMI mengatur berbagai perlindungan untuk Pekerja
Migran Indonesia. Mulai dari perlindungan bagi keluarga Pekerja Migran Indonesia,
kontraktual kerja hingga jaminan sosial yang akan didapatkan oleh Pekerja Migran
Indonesia.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia pada tahun 2019, terdapat 10 jenis pengaduan terbesar terkait
pekerja migran Indonesia berdasarkan pengaduan pada tahun 2018. Pekerja Migran tidak
berdokumen, Pekerja Migran Indonesia ingin dipulangkan, Gaji yang tidak dibayarkan,
Pekerja Migran Indonesia yang gagal berangkat, sakit, putus komunikasi dengan keluarga,
potongan gaji berlebih, pekerjaan yang didapat tidak sesuai dengan kontrak, Pekerja Migran
Indonesia dalam tahaan hingga Pemutusan hubungan kerja sebelum habis masa kontrak.
Pekerja Migran Indonesia tidak berdokumen menduduki peringkat pertama dengan jumlah
pengaduan 441.

Berdasarkan beberapa hal yang telah penulis paparkan pada paragraf-paragraf


sebelumnya. Pada mini paper ini penulis akan menganalisa beberapa permasalahan seperti
perbandingan pengaturan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dengan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 yang mengatur penempatan dan perlindungan tenaga
kerja Indonesia di luar negeri. Memaparkan alur pendaftaran dokumen Pekerja Migran di
Indonesia dikarenakan hal tersebut menjadi jenis pengaduan tertinggi pada tahun 2019, serta
menganalisa tindakan-tindakan apa saja kah yang telah dan akan diambil pemerintah
Indonesia untuk menjadi perlindungan Pekerja Migrannya.
2. Rumusan Masalah
A. Apa saja perbedaan Pekerja Migran Indonesia pada Undang-Undang No. 18 Tahun
2017 dengan Undang- Undang No. 39 Tahun 2004 ?
B. Bagaimana perlindungan pemerintah terhadap Pekerja Migran Indonesia yang tidak
memiliki dokumen?
3. Tujuan
A. Mengidentifikasi perbedaan-perbedaan pada Undang-Undang No. 18 Tahun 2017
dengan Undang- Undang No. 39 Tahun 2004
B. Menganalisa perlindungan pemerintah terhadap Pekerja Migran Indonesia yang tidak
memiliki dokumen antara teori dan praktek yang terjadi di lapangan
4. Pembahasan
A. Perbandingan Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 dan Undang- Undang No. 39
Tahun 2004
Salah satu latar belakang revisi Undang- Undang No. 39 Tahun 2004 adalah
minimnya perlindungan bagi pekerja migran Indonesia yang diatur dalam Undang-
Undang tersebut. Perlindungan dianggap belum menyentuh akar masalah dikarenakan
adanya kesempatan besar bagi perusahaan-perusahaan yang orientainya pada bisnis
penempatan pekerja migran Indonesia. Bahkan pemberian peran kepada perusahaan
penempatan atau yang biasa kita kenal dengan sebutan Pelaksana Penempatan Tenaga
Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), semakin di legitimasi pada Undang- Undang No.
39 Tahun 2004. Sebuah paying hukum yang seharusnya memberikan perlindungan
bagi pekerja migran Indonesia, namun justru melemahkan bagi pekerja migran
Indonesia. Pada 22 November 2017 terjadi angina segar bagi para pekerja migran
Indonesia dikarekan Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan
Pekerja Migran Indonesia. Berikut beberapa perbandingan pasal-pasal yang berubah
mengenai pengaturan perlindungan pekerja migran Indonesia.
Pada pasal 78 UU 39 Tahun 2004 mengenai perwakilan/atase ketenagakerjaan
yang awalnya tidak memerlukan verifikasi pejabat dinas luar negeri yang ditunjuk
pada UU PPMI Tahun 2017 telah diatur hal tersebut pada pasal 9 ayat 2. Mengenai
jaminan soasial Pekerja Migran/Asuran yang pada UU 39 Tahun 2004 diatur pada
pasal 26 ayat 2 yang pada awalnya ditanggung oleh perusahaan penempatan TKI
menjadi tanggung jawab pemerintah mulai dari PMI itu sendiri maupun keluarga PMI
pada jaminan sosial nasional yang diberikan oleh pemerintah pusat pada Pasal 29 UU
PPMI Tahun 2017. Mengenai definisi pekerja migran Indonesia sendiri berubah dari
yang awalnya setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di
luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah
pada pasal 1 angka 1 UU TKI menjadi setiap warga negara Indonesia yang akan,
sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menrima upah di luar wilayah
Republik Indonesia pada UU PPMI tercantum pada pasal 1 angka 2. Hal ini
mempertegas peran pemerintah bukan hanya saat pekerja migran bekerja di luar
negeri tapi juga memberi pengaturan dan perlindungan bagi pekerja migran pada saat
sebelum, sedang dan sesudah melakukan pekerjaannya. Mengenai dokumen yang
signifikan perbedaannya adalah pada UU TKI pasal 51 dan 105 (2) seorang TKI
diwajibkan memiliki Kartu Tanda Kerja Luar Negeri (KTKLN) namun pada UU
PPMI hal tersebut dihapuskan dan bukan menjadi syarat dokumen bagi pekerja
migran. Pencabutan ini berhubungan dengan adanya pungutan liar yang terjadi di
bandara oleh oknum petugas bandara kepada para TKI yang tidak memiliki KTKLN.
Pungutannya pun beragam dan berkisar antara Rp. 200.000 hingga Rp. 250.000.
Selain hal-hal tersebut juga terdapat perubahan pada pengakuan buruh migran sektor
darat dan laut (ABK) dalam definisi pekerja migran. Konvensi PBB 1990 masuk pada
konsideran. Pendidikan dan pelatihan menjadi tanggung jawab pemerintah. Desa
memiliki peran untuk perlindungan buruh migran dan menjamin layanan informasi.
Biaya penempatan dibebaskan. Pengurangan peran swasta (PTJKI/PPTKIS).
Desentralisasi perlindungan PMI. Pengakuan ruang partisipasi kepada masyarakat
untuk melakukan pengawasan.
B. Perlindungan Pemerintah Indonesia terhadap Pekerja Migran Indonesia yang
tidak memiliki dokumen
Permasalahan pekerja migran Indonesia yang tidak memiliki dokumen yang
lengkap ketika sudah bekerja di luar negeri berakar dari kebanyakan pekerja migran
Indonesia tidak mengenyam pendidikan dan masih terbatasnya informasi atau
pengetahun mereka mengenai proses pendaftaran hingga bekerja di luar negeri. Hal
ini menyebabkan menjamurnya pekerja migran ilegal yang pada akhirnya apabila
timbul permasalahan pada negara mereka bekerja, mereka tidak mendapatkan
perlindungan hukum yang maksimal dari pemerintah Indonesia. Selain hal tersebut,
Dari pengalaman kasus yang diadvokasi oleh Migrant CARE, banyak pekerja migran
Indonesia tidak memahami apa yang sebenarnya mereka tandatangani. Perusahaan
Penempatan Pekerja Migran Indonesia acap kali memaksa pekerja migran untuk
segera menandatangi dokumen tanpa memberikan waktu untuk membaca dan
memahami. Bahkan mereka tidak memiliki salinan dokumen tersebut.
Iming-iming bekerja di luar negeri dengan gaji tinggi menjadikan calon pekerja
migran Indonesia mendaftar tanpa berpikir panjang mengenai syarat-syarat yang
ditentukan Perusahaan Penempatan. Dalam suatu kasus, pekerja migran indonesia
sektor formal yang dipekerjakan di Taiwan disyaratkan harus membayar sejumlah
uang ke Perusahaan Penempatan, dengan besaran nominal sekitar Rp40 hingga Rp60
juta. Ditambah lagi, mereka dipaksa menandatangani pinjaman dari Kredit Usaha
Rakyat sekitar Rp20 juta. Akibat pinjaman tersebut, gaji harus dipotong dalam kurun
waktu beberapa bulan. Sedangkan uang yang disetorkan ke Perusahaan Penempatan
sulit untuk didapatkan kembali. Padahal biaya yang harusnya ditanggung pekerja
migran indonesia sektor formal di Taiwan, berdasarkan Kep.Dirjen No 152 tahun
2009 sebesar Rp10.675.400.
Pekerja Migran Indonesia harus memahami dokumen-dokumen apa yang mereka
tandatangani, selain itu juga wajib memiliki dokumen sebagaimana sesuai Pasal 13
UU PPMI. Pekerja Migran perlu meminta waktu kepada staf perusahaan yang
memberikan dokumen agar dokumen dapat dibaca dan dipahami. Apabila ada sesuatu
yang membingungkan dan mengganjal bertanyalah dan komunikasikan ke staf
tersebut. Apabila sudah sepakat, ambil foto atau fotokopi dokumen-dokumen tersebut
dan simpan sebagai dokumen untuk pekerja migran dan keluarga pekerja migran. Hal
itu perlu dilakukan untuk mengetahui apakah selama bekerja (gaji, over time atau gaji
lembur, potongan gaji, libur kerja, jaminan sosial dan lain-lain) sesuai dengan
perjanjian kerja. Apakah tempat kerja sesuai dengan perjanjian penempatan dan visa
kerja sehingga tidak menyalahi aturan keimigrasian negara setempat, dan lain-lain.
Apabila selama bekerja tidak sesuai dengan dokumen-dokumen tersebut seperti
bekerja lembur tidak digaji, potongan gaji yang tidak sesuai, atau permasalahan lain
seperti PHK sebelum masa perjanjian kerja berakhir, gaji tidak dibayar, penipuan,
tindak kekerasan dari majikan maka Pekerja Migran Indonesia harus berani melapor
ke Perwakilan Republik Indonesia (KBRI/KJRI/KDEI) di negara penempatan.
Pekerja migran indonesia juga bisa mendapatkan pendampingan atau advokasi dari
serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, paguyuban di negera setempat, terlebih
yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro bono/gratis).
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia selama bekerja diatur dalam Pasal 21 UU
PPMI seperti di antaranya fasilitasi pemenuhan hak pekerja migran indonesia;
fasilitasi penyelesaian kasus ketenagakerjaan; pendampingan, mediasi, advokasi, dan
pemberian bantuan hukum berupa fasilitasi jasa advokat oleh Pemerintah Pusat
dan/atau Perwakilan Republik Indonesia serta perwalian sesuai dengan hukum negara
setempat. Pekerja Migran yang memiliki dokumen akan lebih mudah untuk kasusnya
diproses oleh Perwakilan Republik Indonesia karena dalam dokumen-dokumen
tersebut akan diketahui identitas pekerja migran indonesia, identitas Perusahaan
Penempatan Pekerja Migran Indonesia, identitas majikan, hak dan kewajiban pekerja
migran serta hak dan kewajiban majikan sesuai perjanjian kerja – sehingga dapat
dengan mudah dianalisis dan memetakan strategi penyelesaian kasusnya. Tentunya
penyelesaian kasus di Perwakilan Republik Indonesia di negara penempatan tidak
langsung terselesaikan. Pekerja migran indonesia juga harus melaporkan ke negara
asal (Indonesia). Keluarga yang di daerah harus berupaya mewakili dan harus terlibat
memperjuangkan hak-hak pekerja dengan cara pengaduan ke pemerintah daerah:
Disnaker/BP3TKI/LTSP/LTSA atau ke pemerintah pusat: BNP2TKI, Kementerian
Luar Negeri dan Kementerian Ketenagakerjaan.
Tentu melapor dengan membawa dokumen-dokumen yang telah diberikan pekerja
migran indonesia kepada keluarga sebelum bekerja. Dokumen-dokumen tersebut
sangat penting untuk dipahami dan dimiliki oleh pekerja migran indonesia dan
keluarganya, demikian untuk menuntut hak-hak pekerja yang belum terpenuhi. Bagi
pekerja migran indonesia yang sudah pulang namun permasalahan selama bekerja di
negara penempatan belum selesai juga dapat mengadukan kasusnya ke pemerintah.
Sebagaimana sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) huruf c bahwa Pemerintah Pusat
bersama-sama dengan Pemerintah Daerah memberikan Pelindungan setelah bekerja,
“Penyelesaian hak pekerja migran indonesia yang belum terpenuhi”.
Dalam rangka melindungi hak-hak pekerja migran Indonesia, pemerintah
Indonesia menyampaikan permasalahan pekerja migran pada Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) ASEAN di Manila, Filipina. Indonesia mendorong seluruh negara
ASEAN benar-benar mengawal dan memiliki komitmen yang sama dalam
mengimplementasikan konsensus melalui action plan terkait perlindungan pekerja
migran dan keluarganya. Baik yang legal maupun yang tidak berdokumen. Hal ini
selaras dengan Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak
Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, yang mana Indonesia juga telah
meratifikasinya melalui Undang-undang Nomor 6 Tahun 2012. Perlindungan juga
diberikan kepada pekerja migran undocumented, yakni pekerja migran yang masuk
dan tinggal untuk bekerja di suatu negara secara ilegal, serta pekerja migran yang
awalnya legal namun berubah menjadi ilegal.
Sebagai contoh Kementerian Ketenagerjaan (Kemnaker) melalui Direktorat
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN), menemukan
empat Pekerja Migran Indonesia (PMI) non prosedural melarikan diri dari pengguna
ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura. Melalui inspeksi
mendadak (sidak) Tim Pelindungan PMI ke PT.IES di kota Malang, Jawa Timur dan
kordinasi serta klarifikasi ke KBRI Singapura pada 6-7 Juli 2019, diperoleh
keterangan empat PMI tersebut diberangkatkan oleh PT IES tanpa dokumen lengkap
sehingga tidak tercatat pada sistem di KBRI. Kemnaker telah meminta
pertanggung jawaban kepada Perusahaan Penempatan PMI (P3MI) untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut dan memulangkan pekerja migran tersebut ke
kampung halamannya. Gaji dan hak-haknya dipastikan sudah dibayarkan dan pekerja
migran tidak akan dibebankan biaya apapun termasuk ganti rugi oleh pihak P3MI,
agensi ataupun majikan karena tidak dapat menyelesaikan kontraknya. Kemnaker
menegaskan akan memberikan sanksi tegas terhadap P3MI tersebut, atas
perbuatannya menempatkan PMI secara non procedural termasuk berkoordinasi
dengan pengawas ketenagakerjaan dan kepolisian apabila terbukti ada pelanggaran
pidananya. Kemnaker sendiri menghimbau gar PMI tidak mudah terbujuk sponsor
atau pihak manapun yang menjanjikan bekerja ke luar negeri dengan proses yang
cepat dan tanpa melalui prosedur secara benar. Hal ini dikarenakan Pekerja migran
yang berangkat secara prosedural dan memiliki kompetensi akan memberikan
kepastian pelindungan terhadap mereka.
5. Kesimpulan
Perubahan diharapkan akan mentransformasi tata kelola penempatan dan perlindungan
dari yang berorientasi bisnis menuju bentuk layanan publik migrasi tenaga kerja yang
diselenggarakan oleh negara. Perubahan juga diharapkan menertibkan oknum-oknum
yang merekrut pekerja migran secara ilegal yang tidak memiliki dokumen-dokumen
perusahaan lengkap, penempatan pekerja migran yang jelas, penempatan tempat tinggal
para calon pekerja migran pra-kerja yang layak agar hak-hak pekerja migran Indonesia
tetap bisa terlindungi oleh negara meskipun bekerja di luar wilayah Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Wisnuwardhani, Savitri. 2018. Buku Saku Memahami Undang-Undang Perlindungan Pekerja


Migran Indonesia : Kelebihan dan Kekurangan UU PPMI. Jakarta Selatan :
Jaringan Buruh Migran

INTERNET

Evi, Zulyani. 2018. Menghayati UU PMI. http://www.migrantcare.net/2018/05/menghayati-uu-


ppmi/ (07 November 2019)

Wartawan BBC Indonesia. 2014. Jokowi hapus Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri.
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/11/141130_presiden_hapu
s_kartu_tenagakerja_luar_negeri (07 November 2019)

Lestari, Fitri. 2018. Pentingnya Pekerja Migran Indonesia Memahami dan Memiliki Dokumen.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5bd1b1ff1dd4d/pentingnya-pekerja-
migran-indonesia-memahami-dan-memiliki-dokumen-oleh--fitri-lestari/ (07
November 2019)

Handoyo. 2019. Kemnaker Temukan Pekerja Migran Non Proseduran di Singapura.


https://nasional.kontan.co.id/news/kemnaker-temukan-pekerja-migran-non-
prosedural-di-singapura (07 November 2019)

Prasongko, Dias. 2017. Indonesia Minta Negara ASEAN Lindungi Pekerja Migran.
https://nasional.tempo.co/read/1033220/indonesia-minta-negara-asean-lindungi-
pekerja-migran (07 November 2019)

Undang-Undang
Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

Undang- Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri

Anda mungkin juga menyukai