Memberdayakan RUMAH IBADAT, Memakmurkan UMAT (PDFDrive)

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 272

Editor: I Nyoman Yoga Segara

Memberdayakan RUMAH IBADAT,


Memakmurkan UMAT

Penulis:
Habibi Zaman Riawan Ahmad, H. Fatchan Kamal, A. Fachruddin,
M. Ishom, Abdul Jamil, Zaenal Abidin Eko Putro, Mardjuki, Muchtar,
Achmad Ubaidillah, Agus Mulyono, Pormadi Simbolon, I
Nyoman Yoga Segara, Selamet, Achmad Rosidi

KEMENTERIAN AGAMA RI
BADAN LITBANG
Kementerian Agama RI DAN DIKLAT
PUSLITBANG
Badan LitbangKEHIDUPAN
dan Diklat KEAGAMAAN
Puslitbang Kehidupan
TAHUN Keagamaan
2015
Jakarta, 2015

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat i


Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
ISBN : 978-602-8739-39-9
xxxii + 378 hlm; 15 x 21 cm.
Cetakan ke-1 November 2015

Hak cipta pada Penerbit


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk
dengan cara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin sah dari penerbit.

Penulis: Habibi Zaman Riawan Ahmad, H. Fatchan Kamal, A. Fachruddin, M.


Ishom, Abdul Jamil, Zaenal Abidin Eko Putro, Mardjuki, Muchtar,
Achmad Ubaidillah, Agus Mulyono, Pormadi Simbolon, I Nyoman
Yoga Segara, Selamet, Achmad Rosidi

Editor: I Nyoman Yoga Segara

Desain cover dan Layout oleh : Suka, SE

Penerbit:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI
Jl. M. H. Thamrin No.6 Jakarta 10340
Telp./Fax. (021) 3920425 - 3920421
http://puslitbang1.kemenag.go.id

ii Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


KATA PENGANTAR
KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan


Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karuniaNya, Puslitbang
Kehidupan Keagamaan dapat menerbitkan naskah buku kehidupan
keagamaan. Buku “Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat”
yang diterbitkan pada 2015 ini adalah hasil penelitian yang dilaksanakan
Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada 2014.
Buku yang diterbitkan ini adalah kompilasi dari hasil penelitian
tentang model-model pemberdayaan rumah ibadat agama-agama di
Indonesia. Penelitian tersebut diselenggarakan di tujuh lokasi, yaitu
Surabaya (Masjid Al Falah, Masjid Nasional Al Akbar), Banjarmasin
(Masjid Sultan Suriansyah, Masjid Jami’ Sungai Jengah, Mesjid Raya Sabilal
Muhtadin, Mesjid Hasanuddin Madjedie), Medan (HKBP Cinta Damai,
HKBP Maranatha), Papua (GKI Maranatha Remu, GKI Immanuel
Boswezen), Yogyakarta (Gereja Jetis, Gereja Kumetiran), Denpasar (Pura
Desa dan Puseh, Pura Subak) dan Semarang (Vihara Tanah Putih, Vihara
Maha Bodhi).
Buku ini sangat kaya dengan data lapangan dan analisis yang
diharapkan dapat memberikan sumbangan besar, baik untuk
pengembangan teori sosial, budaya dan keagamaan, serta sebagai bahan
pertimbangan bagi pemangku kebijakan. Selain itu, buku ini dapat menjadi
referensi utama bagi praktisi dan akademisi. Dengan demikian, buku ini
secara praksis diharapkan menjadi model untuk mengelola rumah ibadat
dengan tujuan memakmurkan umat.
Terbitnya buku ini tidak dapat dilepaskan dari bantuan dan
kerjasama semua pihak. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Kepala Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI yang telah
memberikan arahan dan sambutan untuk buku ini
2. Pakar yang telah bersedia membaca dan memberikan prolog dan
epilog

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat iii


3. Editor yang telah melakukan editing, menyelaraskan, dan menyajikan
pengantar untuk memudahkan pembaca menyelami isi buku ini
4. Narasumber, informan, pembantu lapangan dan semua pihak, baik
saat penelitian ini dilaksanakan maupun setelah penelitian ini
disajikan dalam berbagai forum diskusi ilmiah, sehingga hasil
penelitian akhirnya dapat dikomplilasi menjadi buku
Namun demikian, terbitnya buku ini juga tidak lepas dari kekurangan,
baik secara substansi maupun hal teknis lainnya. Untuk itu, ijinkan kami
dengan kerendahan hati mohon maaf sekaligus meminta saran dan kritik
agar terbitan berikutnya dapat diperbaiki dan disempurnakan. Selamat
membaca dan semoga bermanfaat.

Jakarta, November 2015


Kepala,

H. Muharam Marzuki, Ph.D


Nip. 19630204 199403 1 002

iv Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


SAMBUTAN
KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT
KEMENTERIAN AGAMA RI

Syukur Alhamdulillah ke hadapan Allah SWT, Tuhan Yang Maha


Esa, laporan penelitian Model-Model Pemberdayaan Rumah Ibadat
Agama di Indonesia Tahun 2014 akhirnya dapat dibukukan dengan judul
“Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat”. Sampai saat
diterbitkan menjadi buku, penelitian ini telah mampu menjawab sejumlah
masalah pokok tentang model pemberdayaan rumah ibadat.
Hasil penelitian ini tidak saja penting bagi Badan Litbang dan
Diklat, tetapi juga secara umum sangat strategis bagi Kementerian Agama
RI dalam mengambil kebijakan terkait pemberdayaan rumah ibadat. Pada
sisi yang lain, penelitian ini dapat menjadi referensi akademik dan ilmiah
bagi penelitian selanjutnya.
Sebagaimana telah diuraikan panjang lebar dalam buku ini,
penelitian ini merepresentasikan semangat yang sama dalam
memberdayakan modal sosial rumah ibadat, meskipun oleh agama-agama
dilakukan dengan model yang beragam. Varian model pemberdayaan ini
selain karena kearifan lokal di tujuh wilayah (Medan, Semarang,
Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Banjarmasih dan Papua), juga terutama
aspek teologis agama masing-masing. Namun dalam konsep pemberdayaan
dan modal sosial yang dikaitkan dengan total quality management, hasil
penelitian ini sangat kaya data dan maknawinya.
Satu hal yang juga sangat berharga adalah penelitian ini telah
berhasil mengungkap sejumlah faktor yang mendukung dan menghambat
pemberdayaan rumah ibadat selama ini. Meskipun faktor penghambatnya
telah diberikan rekomendasi, tetap saja masalah tersebut harus dicarikan
jalan keluarnya oleh unit-unit yang berkepentingan pada Kementerian
Agama. Harapannya, hasil penelitian ini dapat digunakan sehingga rumah
ibadat di masa depan dapat berfungsi lebih maksimal dalam rangka
meningkatkan partisipasi dan kemakmuran umatnya, selain yang utama
dan pertama adalah peningkatan kualitas rohani.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat v


Melalui pemberdayaan rumah ibadat dengan berbagai model
yang sejak dulu telah dilakukan secara mandiri dan swadaya, Kementerian
Agama telah dimudahkan dalam menjalankan tugas dan fungsi
pembinaan kepada umat beragama. Namun upaya peningkatan kualitas
taqwa dan iman ini, tidak semata menjadi tugas Kementerian Agama,
sehingga sinergi dan kolabororasi dengan pihak lain menjadi kebutuhan
untuk terus ditingkatkan. Semoga dengan dibukukannya hasil penelitian
ini dapat memberikan manfaat dan menjadi rujukan utama bagi semua
pihak.
Sebagai apresiasi atas pencapaian hebat ini, ucapan terima kasih
yang setinggi-tingginya khusus diberikan kepada para peneliti Puslitbang
Kehidupan Keagamaan. Namun demikian, sebagai karya manusia, buku
ini mungkin tidak luput dari kesalahan, sehingga diperlukan sumbang
saran dan kritik untuk penyempurnaan buku ini di masa-masa yang akan
datang. Selamat membaca.

Jakarta, November 2015


Kepala

Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D


NIP. 19600416 198903 1 005

vi Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


PROLOG
MAKMURKAN RUMAH IBADAT, MAKMURKAN UMAT

Oleh Imam Addaruqutni


Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia (DMI)

Tidak secara spesifik, berbagai macam rumah ibadat: masjid,


gereja, vihara, pura, dan sebagainya, lebih dari sekadar konstruksi
bangunan an sich yang semula secara fungsional merupakan fasilitas
ritualistik, pada tataran lanjut dalam spektrum sosiologis dan kultural,
praktis merupakan wahana kehidupan sub-kultur dalam suatu masyarakat
bahkan negara. Dikatakan sub-kultur oleh karena berbagai rumah ibadah
tersebut memang menyemai dan sekaligus merupakan fasilitas bagi proses
internalisasi segenap nilai yang bersumber dari ajaran agama yang dianut
oleh jamaahnya dan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) yang
ada. Meskipun dalam beberapa aspek malahan boleh jadi dalam banyak
aspek terdapat varian perbedaan di antara berbagai rumah ibadah, kiranya
hal itu dapat dipahami oleh karena secara herarkis proses penyemaian
nilai itu diderivasi dari sumber ajaran agama masing-masing di mana para
pemegang otoritas dalam rumah ibadah itu apakah kyai atau ustad di
masjid, para rahib dan/atau pendeta di gereja, pada bhiksu dan pedanda
masing-masing di vihara dan pura dan sebagainya memegang peran kunci
(key role) dan sentral yang sekaligus mengkonstruksi semacam corak
herarkis dalam perspektif tatanan nilai dan pola sosial. Kondisi demikian
jelas berbeda dengan pola umum yang berlangsung dalam masyarakat luar
rumah ibadat, yaitu masyarakat dari komunitas jamaah tersebut berasal.
Dengan demikian, berbagai rumah ibadat juga menjelma sebagai
pranata sosial (social institution) dan juga pranata budaya (cultural
institution) yang bersifat otonom jika ditimbang dari perspektif (secara
teknis) sterilnya dari dominasi kepentingan di luar misi pokok
sebagaimana konsep idealnya. Lebih dari itu, bahkan berbagai rumah
ibadat tersebut secara sosial dan kultural dalam batas tertentu mampu
mengambil peran transformatif sebagaimana dilihat oleh Emile Durkheim
(The Elementary Forms of Religious Life, 1912) ketika secara sosiologis

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat vii


terutama secara antropologis terbukti bahwa berbagai pengalaman
religious menjadi dasar bagi terbinanya suatu tatanan sosial (social order)
yang khas dalam suatu masyarakat yang dilatarbelakangi oleh spiritualitas
keagamaan.
Lebih jauh, bahwa berbagai rumah ibadat tersebut dengan
bertemu, berkumpul, dan kemudian bergaulnya jamaah yang sebelumnya
merupakan individu-individu dengan latar belakang beragam, kemudian
memasuki wilayah kesadaran bersama (cosmic consciousness) baik dalam,
misalnya, kepentingan dan solidaritas (social transformation) yang, jika
didekati menurut model analisis intrinsik dari tingkat mikro sampai
makro, oleh Peter M. Blau (Exchange and Power in Social Life, 1964) bahwa
gejala saling asosiasi dan saling empati dalam jamaah tersebut melahirkan
rasa senang dan bahagia (mutual awareness) yang boleh jadi kontras dengan
keberadaannya dalam masyarakat luar jamaah, yakni masyarakat dari
mana masing-masing individu berasal. Bahkan meski model saling asosiasi
dan empati tersebut harus menuntut biaya yang, berbeda dengan model
formal transaksi komersial, tidak menghitung untung-rugi atau semacam
nilai riel yang akan diperoleh (capital gain) atas sejumlah pengorbanan
yang dikeluarkannya tetap saja dilakukan dengan ikhlash dan senang hati.
Motif kebaikan ekatologis kiranya juga dapat ditimbang sebagai alasan
utama kerelaan untuk saling asosiasi dan empati atas sesama jamaah
tersebut. Dalam hal ini, sebagaimana ditawarkan oleh sosiolog Amerika
George C. Homans (Social Behavior as Exchange,1958, termasuk karyanya
yang lain The Human Group, Social Behavior: Its Elementary Forms, 1961)
dengan mempertimbangkan pola tingkah laku yang berlangsung di
permukaan (up-stream level) di kalangan jamaah, secara fundamental serta-
merta berlangung juga terjadinya semacam pertukaran (nilai) sosial di
level bawah (down stream) antara yang bersifat profane dan yang sublime,
antara yang artifisial dan yang substansial, dan seterusnya termasuk antara
yang duniawiah dengan yang ukhrawiyah. Pertukaran (nilai) sosial
tersebut berlangsung begitu kompleks, misalnya antara pemimpin jamaah
dengan jamaah, antar-individu dalam jamaah, antara nilai-nilai yang
semula dianut dalam masyarakat dengan nilai-nilai yang datang dari
mimbar dan sebagainya.
Sementara itu, telaah Max Weber (Die Wirtschaftsethic der
Weltreligionen, 1915) khususnya menyangkut etika ekonomi keagamaan

viii Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


yang nampaknya ingin menjustifikasi bahwa agama apapun pada aspek
psikologis justru mengambil peran penting dalam memicu meningkatnya
sikap pandang praktis dan pragmatis bagi pemeluknya. Karena itu, sejalan
dengan Homans, bagi Weber, etika (ekonomi) keagamaanlah, jika dirunut,
yang akan secara efektif membangkitkan kinerja profesional ekonomis
dalam dunia modern sebagaimana sekarang ini. Secara khusus pandangan
teoritisnya yang tertuang dalam publikasinya The Protestant Ethic and the
Spirit of Capitalism, (edisi Jerman: Die Protestantische Ethik und Der Geist Des
Kapitalismus) sebagaimana dimuat dalam Archiv fur Social wisssenschaft und
Socialpolitik, 1905, menelaah ajaran etika Protestan pada umumnya dan
khususnya Protestan aliran Calivinis yang didasarkan atas data statistika
bahwa di Eropa modern (sekitar akhir abad 19 awal abad 20) di mana para
pejabat, birokrat, kaum kapitalis sampai para pekerjanya pada umumnya
terdiri dari pemeluk Kristen Protestan. Berbeda dengan kapitalisme klasik
yang rakus dengan semangat mendapat keuntungan tanpa batas dan tidak
bermoral, Weber menekankan bahwa kapitalisme modern yang
disemangati oleh etika Protestan justru mementingkan profesionalisme
serta disiplin yang ketat bahwa bekerja dan kerja keras merupakan tugas
hidup sebagai ibadah.
Sementara itu, sebagaimana dalam Protestan, Islam juga
menekankan pentingnya memperhatikan keseimbangan (tawazzun) atau
keberimbangan proporsional (tanasub) antara semangat mencari keduniaan
dan mencita-citakan kebahagiaan di akherat (al-Qur’an; al-Qashash/28: 77)
yang diperkuat oleh sabda Nabi Muhammad SAW:
“Siapa pun yang menghendaki keduniaan hendaknya dengan menguasai
ilmunya, siapa pun yang menghendaki akheratnya hendaknya juga dengan
menguasai ilmunya, dan siapapun yang menghendaki keberhasilan keduanya
juga harus dengan ilmu”.
Demikian juga doktrin kebaikan (al-ihsan) dalam Islam yang
terkenal:
“Bekerjalah untuk duniamu seolah kamu akan hidup selamanya, serta
berbuatlah untuk akheratmu (ibadah) seakan kamu merasa akan mati esuk
hari” (I’mal li dunyaka ka-annaka ta’isyu abadan wa’mal li-akhiratika ka-
annaka tamutu ghadan).”

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat ix


Karena itu, dalam Islam kemalasan sangat dikecam. Demikian
juga kemiskinan karena malas adalah keburukan dan sangat dikecam.
Bahkan Nabi Muhammad menegaskan bahwa tangan yang di atas jauh
lebih bagus dari tangan yang di bawah. Pemberi lebih terhormat dari yang
menerima. Semangat karitatif adalah di anatara orisinalitas etika sosial
Islam di mana yang kaya memungkinkan meringankan beban si miskin. Di
atas semua itu adalah bahwa ethos kehidupan yang produktif dalam arti
seluas-luasnya ini merupakan ethos universal Islam. Demikian juga
tentang spirit bahwa hidup itu berarti memberi manfaat bagi sesama
terdapat dalam ajaran berbagai agama yang dalam Islam hal ini sangat
ditegaskan Khairukum anfa’ukum li al-nas (Sabda Nabi Muhammad SAW).
Dalam konteks masjid, secara historis sosiologis masjid pada
jaman Nabi Muhammad pun, bahkan terutama Masjid Nabi sendiri di
Madinah pada era beliau, telah menjadi semacam epicentrum bagi
transformasi sosial seluas-luasnya. Di samping sebagai tempat shalat,
masjid menjalankan peran multi-fungsi sehingga masalah sosial politik
dan budaya juga dapat dibahas dalam masjid ini. Misalnya, mengatasi
krisis perdamaian antar-suku dan strategi perang serta negosiasi (politik),
masalah pertanian dan perdagangan (ekonomi), kebersihan dan
penampilan di tengah umum (public performance) serta pemberantasan buta
huruf (budaya), dan sebagainya banyak dibahas dalam Masjid Nabi. Itulah
sebabnya hadits-hadits Nabi Muhammad meliputi berbagai hal kehidupan
yang terbanyak justru merespon permasalahan umat. Konstruksinya
semacam umat bertanya Nabi menjawab. Karena itu kian hari Masjid Nabi
semakin dipenuhi jamaah sehingga muncul semacam pemikiran perlu
membuat cluster jamaah yang diakomodasi lewat semacam berbagai
pemondokan (saqifah-saqifah) yang dibangun di sekitar Masjid Nabi oleh
para sahabat yang kaya dan selanjutnya diwaqafkan ke Masjid. Karena itu
seperti saqifah Bani Sa’adah (bidang politik) memang tempat
berkumpulnya kelompok elite umat yang intens dengan persoalan
pemerintahan/kenegaraan, saqifah Abdurrahman bin Auf (bidang
ekonomi) tempat berkumpulnya kelompok profesional serta mereka yang
minat menekuni wilayah ini, dan saqifah Labid al-Anshariy untuk
pembarantasan buta huruf (bidang budaya) dan pendidikan/pengajaran
(tarbiyah/ta’lim) untuk menyebut beberapa contoh. Sampai sekarang,
fenomena kedekatan masjid dengan kehidupan sosial-budaya umat dan

x Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


kehidupan bazariy masih kuat terlihat baik di Masjid al-Haram (Makkah)
dan Masjid al-Nabi (Madinah).
Dengan menunjuk pada sejumlah pandangan teoritis di atas,
kiranya dapat memperkaya kerangka analisis komparatif yang lebih
radikal antara perspektif kuantitatif dengan perpektif kualitatif
sebagaimana yang kedua ini ditekankan oleh buku ini. Apalagi jika
mengingat bahwa berbagai rumah ibadat memang bisa dibedakan secara
tajam dengan lembaga-lembaga industri dan bisnis. Kiranya beberapa
contoh di atas juga masuk dalam kategori model pemberdayaan dengan
mentransendensikan semua social capital yang ada dalam spektrum rumah
ibadat agama apapun, khususnya masjid.
Buku Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat yang
diterbitkan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI yang ada di tangan khalayak pembaca
ini, dengan banyak data kualitatif ingin mengurai dengan detail peran
pemberdayaan/pemakmuran rumah ibadat berbagai agama di Indonesia
melalui telaah model-model pemberdayaannya dengan objek penelitian
(kasus) di tujuh wilayah yang dikaitkan dengan Total Quality Management
(TQM) sebagai alat analisis yang lazim berlaku dalam dunia industri
(business). Pendekatan analisis TQM ini pada hemat saya memang perlu
elaborasi lebih mendalam oleh karena konstruksi teoritis yang terbangun
lebih menekankan pada kinerja profit oriented di dunia industri di mana hal
ini kontras dengan spirit yang melatari kinerja rumah ibadat dengan social
capital yang ada secara agregat yang umumnya lebih menekankan
keikhlassan beramal sebagai di antara paradigma (nilai) sosial yang
menyemai di dalamnya.

Ciputat, 20 Oktober 2015

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat xi


xii Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
PRAKATA EDITOR

Dalam konteks pembinaan umat beragama, terlebih dalam


kehidupan keagamaan yang sangat khas Indonesia, rumah ibadat memiliki
peran yang sangat strategis. Bahkan sejak kehadiran agama-agama besar
ke nusantara, rumah ibadat telah menjadi episentrum, tempat di mana
para pemimpin agama dan umatnya melakukan perjumpaan jasmaniah,
dan terutama rohaniah. Pada akhirnya, emanasi nilai-nilai kerohanian
lebih banyak ditemukan di rumah ibadat. Akibatnya ada semacam
“ketidakrelaan” rumah ibadat disepadankan “seperti” sekolah, kantor,
atau balai pertemuan. Rumah ibadat berkenaan dengan yang suci dan
sakral. Selalu seperti itu.
Henri Lefebvre (1971) mengartikan ruang sakral dengan istilah
second nature (alam kedua) di mana kondisi obyektif yang dimaknai secara
sosial dan historis sebagai tempat suci. Tidak berlebihan akhirnya,
kalangan tradisional, terutama di daerah pedesaan misalnya, akan
memperlakukan rumah ibadat sebagai fetishism of space. Bagi mereka,
rumah ibadat nyaris tidak memiliki peluang untuk aktivitas non ibadat.
Meskipun demikian, dalam perkembangannya, rumah ibadat kini
juga menjadi wahana aktivitas non ibadat, namun masih berhubungan erat
dengan nilai-nilai keagamaan. Fenomena ini dapat terjadi karena ruang
untuk aktivitas keagamaan juga semakin terbatas dilakukan secara bebas.
Bagaimanapun, rumah ibadat menyimpan banyak modal sosial yang jika
diberdayakan akan berdampak langsung untuk memenuhi dan
meningkatkan kualitas hidup. Kebutuhan hidup ini melingkupi jasmani
dan rohani, keduanya terdapat interrelasi.
Semangat ini dapat dijumpai, misalnya dalam Muktamar Dewan
Masjid Indonesia (DMI) IV di Jakarta yang salah satu keputusannya
menyatakan peran dan fungsi masjid selain sebagai pusat ibadat, juga
tempat ber-muamalah, pemberdayaan dan persatuan umat, meningkatkan
keimanan, ketaqwaan, akhlaq mulia, kecerdasan umat dan tercapainya
masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT dalam wilayah NKRI.
Sementara bagi umat Kristiani, gereja tidak hanya dipahami
sebatas gereja para imam yang sibuk dengan ritual, melainkan juga gereja

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat xiii


para nabi yang peka terhadap masalah-masalah sosial. Bahkan konteks
panggilan gereja kini tercakup dalam tiga agenda pokok gereja di dalam
dunia, yaitu menegakkan keadilan, mewujudkan perdamaian, dan
memajukan kesejahteraan dalam dan bagi seluruh masyarakat.
Dua contoh di atas memperlihatkan bahwa agama-agama pada
umumnya juga memiliki ajaran agar umatnya memberikan sebagian harta
yang dimiliki bagi kegiatan ibadat, kegiatan sosial (filantropi) dan
kemanusiaan. Dalam setiap agama pula, ibadat tidak semata-mata
dipahami sebagai bentuk kesalihan individu yang tercermin dalam ibadat
ritual keseharian, tetapi terkait pula dengan kesalihan sosial. Untuk itu
tidak heran jika kini banyak rumah ibadat justru berperan besar sebagai
lembaga sosial, menghimpun dana umat, melakukan pengelolaan, dan
mendistribusikannya kepada pihak-pihak yang dianggap membutuhkan.
Dengan demikian rumah ibadat memiliki peran tidak hanya sebagai
tempat untuk beribadat dan pembinaan keagamaan namun juga sebagai
tempat pemberdayaan masyarakat.
Bagaimana dengan agama-agama lainnya? Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat pada 2014 telah melakukan kajian
dan penelitian mendalam tentang model pemberdayaan rumah ibadat
berbagai agama di Indonesia, dengan fokus untuk mengeksplorasi masalah
pokok: bagaimana rumah ibadat dikelola untuk memberikan pelayanan di
bidang keagamaan dan pemberdayaan umat beragama; upaya yang
dilakukan pengelola rumah ibadat untuk mengoptimalkan modal sosial
yang ada; dan faktor pendukung dan penghambat pengelolaan rumah
ibadat.
Penelisikan atas tujuan penelitian tersebut didekati melalui teknik
wawancara mendalam, observasi dan focus group discussion. Penelitian ini
dilakukan di tujuh lokasi, yaitu Surabaya (Masjid Al Falah, Masjid
Nasional Al Akbar), Banjarmasin (Masjid Sultan Suriansyah, Masjid Jami
Sungai Jengah, Masjid Raya Sabilal Muhtadin, Masjid Hasanuddin
Madjedie), Medan (HKBP Cinta Damai, HKBP Maranatha), Sorong (GKI
Maranatha Remu, GKI Immanuel Boswezen), Yogyakarta (Gereja Jetis,
Gereja Kumetiran) Denpasar (Pura Desa dan Pura Puseh, Pura Subak Pakel
II) dan Semarang (Vihara Tanah Putih, Vihara Maha Bodhi).

xiv Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Ragam Model Pemberdayaan Rumah Ibadat
Total quality management atau TQM yang telah lama digunakan
dalam dunia bisnis, dalam penelitian ini menjadi perspektif besar dan
“teman dialog” selama penelitian. Pilihan ini menjadi penting untuk
mengelaborasi konsep pemberdayaan seperti disampaikan Jim Ife dalam
Suharto (1997) (baca juga Payne, 1997; Saraswati, 1997) dan konsep modal
sosial sebagaimana dijelaskan ahli-ahli ilmu sosial, seperti Hanifan (1916),
lalu berturut-turut Colemen (1988), Putnam (1993, 1995, 1999) dan
Fukuyama (1995). Pemberdayaan, modal sosial dan TQM menjadi kata
kunci dalam analisis penelitian ini (lihat lebih jauh tinjauan pustaka).
Dalam setiap simpulan penelitian ini, paling tidak ada tiga hal
pokok yang dapat disaripatikan – selain sebagai representasi konteks
waktu dan tempat penelitian, juga hasil diskusi teoritik yang menunjukkan
bahwa Pertama, rumah ibadat memiliki fungsi yang sangat strategis dalam
memberdayakan umatnya, karena rumah ibadat tidak semata memiliki
fungsi sebagai tempat ritual, namun dapat berfungsi dalam berbagai
bidang. Ada ruang sakral dan profan yang dimanfaatkan secara
proporsional. Modal sosial yang dimiliki rumah ibadat dapat dikelola dan
diberdayakan berdasarkan pemanfaatan atas ruang dalam rumah ibadat.
Setiap ruang memiliki kegiatan yang berbeda-beda.
Kedua, model pemberdayaan rumah ibadat berbeda-beda, selain
karena norma yang dianut masing-masing agama, juga karena kearifan
lokal di mana rumah ibadat itu berada. Bahkan dalam satu wilayah juga
memiliki keragaman cara, sebagaimana ditemukan dibeberapa lokasi
penelitian.
Ketiga, secara umum, terdapat faktor pendorong pemberdayaan
rumah ibadat dan umat. Hal ini karena peran atau kontribusi aktif para
pemuka agama, majelis agama dan pemerintah, terutama pemerintah
daerah. Hampir semua rumah ibadat telah memiliki kemandirian dalam
pengelolaannya, dilakukan secara mandiri atau swadaya bahkan ada yang
dikelola dengan pola hierarkhis dan terstruktur.
Tiga simpulan tersebut setidaknya menjadi jawaban awal atas
pertanyaan apakah modal sosial yang dimiliki rumah ibadat dan para
pengelolanya selama ini telah mampu diberdayakan secara maksimal?
Selanjutnya, bagaimana model pemberdayaan modal sosial dan

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat xv


optimalisasi faktor pendukung sehingga hasil pemberdayaan tersebit
mampu memakmurkan umatnya, berikut dapat dibaca dalam ragam
model pemberdayaannya.
Model Pemberdayaan Masjid di Kota Surabaya yang disajikan Habibi
Zaman Riawan Ahmad dan H. Fatchan Kamal boleh dianggap sebagai
model pemberdayaan yang lebih banyak memaksimalkan modal sosial,
seperti trust, norms dan networking, modal sosial yang diwilayah lain tidak
begitu besar. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa masjid memiliki
peran dalam upayanya melakukan pemberdayaan di masyarakat. Masjid
tidak hanya memiliki fungsi sebagai tempat ritual semata, namun dapat
banyak berbuat dalam berbagai bidang. Kemampuan masjid dalam
mengelola sumberdaya manusia di internal mereka, dan kemampuan
mengembangkan modal sosial menjadikan sebuah masjid dapat
menjalankan fungsinya.
Untuk itu sebagai upaya menjaga fungsi masjid, perlu adanya
penajaman mengenai kondisi sumberdaya manusia di dalamnya dengan
melihat realitas manajemen yang dilakukan, dan analisis terhadap aset
yang dimiliki. Bagi pemerintah dalam hal ini Kementrian Agama Republik
Indonesia perlu melakukan sebuah proses bimbingan dan dorongan agar
hambatan-hambatan dalam proses pemberdayaan masyarakat dan
pengembangan masjid dapat diatasi dengan baik.
Model Pemberdayaan Masjid di Banjarmasin yang disajikan A.
Fachruddin dan M. Ishom dianggap sebagai upaya para pengelolanya
memberdayakan rumah ibadat dengan cara membangun jejaring
(networking) dalam memuliakan masjid-masjid bersejarah dan sektoral
yang banyak terdapat di provinsi “seribu sungai” tersebut. hasil penelitian
memperlihatkan bahwa pemberdayaan masjid dilakukan melalui
mekanisme pengumpulan, pengelolaan, pendistribusian (pemanfaatan),
dan pengawasan bervariasi sesuai tipologinya.
Pada masjid raya dan masjid sektoral mekanismenya lebih
menekankan manajemen top-dwon, yang berpangkal kepada penyandang
dana utama atau pengurus yayasan yang cukup besar. Yang unik adalah
masjid tipe bersejarah, seperti Masjid Sultan Suriansyah dan Masjid Jami
Sungai Jengah. Keduanya hanya mendapat bantuan dari pemerintah secara
tentatif, dan selebihnya dari bantuan swadaya masyarakat. Pada kedua

xvi Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


masjid ini diterapkan mekanisme buttom-up di mana antara pengurus
dengan jemaah sama-sama merasakan kepuasan karena masjid yang
mereka banggakan masih tetap eksis, sekalipun hanya melayani bidang
peribadatan, pendidikan, dan dakwah.
Model Pemberdayaan Gereja HKBP di Medan yang disajikan Abdul
Jamil, Zaenal Abidin Eko Putro, dan Mardjuki dapat dikatakan sebagai
model pemberdayaan dengan cara membangun strong leadership dan
kemandirian jamaat. Hal ini dapat dibaca saat peneliti menggambarkan
Gereja HKBP, baik Gereja Cinta Damai dan Maranatha yang selama ini
rutin melayani jamaat juga aktif dalam melaksanakan kegiatan sosial,
seperti memberikan santunan untuk jamaat yang sakit, meninggal, dan
kurang mampu. Gereja HKBP merupakan gereja yang memiliki
kemandirian, di mana kegiatan gereja dibiayai sepenuhnya oleh jamaat
melalui dana persembahan yang dihimpun secara sukarela.
Dana persembahan dari jamaat, dimanfaatkan untuk empat hal,
yaitu pertama untuk pengelolaan Gereja seperti pembayaran listrik,
telephon, PAM, kebersihan, dan biaya hidup pendeta. Kedua, untuk
pembangunan gereja seperti rehabilitasi gedung. Ketiga, untuk disetor ke
pusat HKBP. Keempat, yaitu dana diakonia untuk kegiatan sosial.
Pengelolaan dana tersebut diadministrasikan oleh pengurus secara baik,
dan dilaporkan secara berkala kepada jamaat. Di samping itu dilakukan
audit oleh auditor internal, auditor KHBP distrik dan HKBP pusat.
Memang, usaha pemberdayaan yang dilakukan oleh pihak gereja terhadap
jamaat dan masyarakat nampak belum signifikan, hal ini karena secara
finansial gereja masih terbatas, dan masih fokus pada pembangunan
gedung, yaitu gedung “Serba Guna” untuk Gereja HKBP Cinta Damai dan
gedung gereja untuk HKBP Maranatha.
Model Pemberdayaan GKI di Kota Sorong yang di sajikan Muchtar
dan Achmad Ubaidillah adalah model pemberdayaan dengan
merefleksikan teologi melalui diakonia transformatif. Model
pemberdayaan ini dapat dibaca bahwa GKI Marantha Remu dan
Immanuel Bozwesen yang merupakan kelompok Kristen Protestan
beraliran Calvinis dengan struktur keorganisasian menganut model
Presbyterial Sinodal, serta merupakan denominasi Gereja Kristen Injili di
tanah Papua memiliki dan menerapkan model manajemen yang sama baik
dalam hal manajemen organisasi maupun manajemen keuangan. Setiap

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat xvii


keputusan terkait dengan perencanaan kegiatan dirumuskan dan
diputuskan dalam sidang jemaat sebagai forum tertinggi di aras jemaat
yang pelaksanaan sidangnya berdasarkan pada tata gereja, peraturan
pokok, peraturan khusus serta peraturan pelaksanaan Gereja Kristen Injili
di tanah Papua.
Model pemberdayaan yang dilakukan mengacu pada model
teologi diakonia transformatif selain model diakonia yang bersifat karitatif.
Sedangkan model manajemen dan kepemimpinan yang diterapkan adalah
model manajemen Kristus dan Model Kepemimpinan Transformasional.
Partisipasi aktif jemaat berjalan dengan baik sehingga menentukan
keberhasilan program-program yang diselenggarakan oleh gereja maka
Pelaksana Harian Majelis Jemaat di GKI Maranatha Remu dan Immanuel
Bozwesen Kota Sorong.
Model Pemberdayaan Gereja di Kota Yogyakarta yang disajikan Agus
Mulyono dan Pormadi Simbolon adalah model pemberdayaan yang
dilakukan dengan cara menegakkan hirarkhi dan meneruskan keteladanan
para romo yang sudah banyak berjasa. Para pengurus Gereja Jetis dan
Gereja Kumetiran dalam memberikan pelayanan di bidang keagamaan dan
pemberdayaan umat beragama digariskan secara hirarkis mulai dari
Uskup (Keuskupan), diturunkan lagi kepada Kevikepan (perwakilan
uskup dengan wilayah tertentu), kemudian dilaksanakan dalam paroki
oleh pastor paroki beserta jajarannya. Pola ini merupakan kekhasan
Katolik, dan pola organisasinya sama untuk Paroki-Paroki. Perbedaannya,
berjalan tidaknya organisasi Paroki tergantung kepemimpinan dan
kreativitas Pastor Paroki.
Memang pemberdayaan ekonomi umat untuk kedua gereja di atas
tidak begitu kelihatan namun model pemberdayaannya dialihkan dengan
memfasilitasi pelatihan-pelatihan kepada umat, misalnya berdagang. Ada
juga pemberian pinjaman dana dengan keringanan pembayaran cicilan di
bulan keempat seperti yang dilakukan di paroki Santo Albertus Jetis
Yogyakarta. Pemberdayaan ekonomi umat pada umumnya bersifat
karitatif, bantuan bagi umat yang kurang mampu. Umat yang kurang
mampu dibantu berupa dana membiayan uang sekolah atau uang sosial
bagi yang sakit atau berduka. Model pemberdayaan ini dapat
dilangsungkan dengan baik karena disokong oleh kesadaran umat yang

xviii Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


cukup tinggi, terutama persembahan sukarela, juga sumbangan tenaga,
dan waktu
Model Pemberdayaan Pura di Kota Denpasar yang disajikan I
Nyoman Yoga Segara dan Selamet menjadi model pemberdayaan yang
khas dengan adanya konsep “pembagian dunia” atau struktur alam yang
dikontekstualisasi melalui ajaran Rwa Bhineda, Tri Mandala dan Tri Hita
Karana. Bagaimanapun, pemberdayaan rumah ibadat umat Hindu di Bali,
khususnya di Denpasar sangat berkaitan erat dengan klasifikasi pura yang
masing-masing klasifikasi pura tersebut memiliki pengempon atau
komunitas di pura bersangkutan, sehingga pemberdayaan tempat ibadat
sangat tergantung pula dari program dan kegiatan yang mereka (baca:
pengempon), baik yang rutin maupun kegiatan-kegiatan insidental untuk
komunitas internalnya.
Berdasarkan pemetaan seperti tersebut, modal sosial yang dimiliki
sebuah pura untuk memberdayakan pengemponnya akan secara konkrit,
dirasakan, dinikmati dan tepat sasaran untuk para pengemponnya, baik
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi melalui koperasi, LPD, pasar, dll;
kebutuhan seni-budaya melalui sekaa atau kelompok-kelompok sosial
yang memberikan kesempatan kepada umat untuk mengekspresikan seni
dan budayanya; kebutuhan rohani melalui aktivitas keagamaan. Artinya
pemberdayaan pura semata untuk memenuhi kebutuhan manusia akan
nilai-nilai ketuhanan yang bersifat rohaniah yang diimplementasikan ke
dalam konsep parahyangan, kebutuhan manusia secara jasmaniah
(pawongan) dan kebutuhan untuk hidup dialam semesta atau lingkungan
hidup (palemahan). Tujuan ini adalah inti dari ajaran Tri Hita Karana yang
implementasinya secara konkrit juga dilakukan di pura berdasarkan Tri
Mandala, yaitu nista mandala untuk kegiatan manusia secara profan, madya
mandala masih untuk kegiatan manusia tetapi lebih berorientasi kepada
Tuhan dan utama mandala total untuk Tuhan. Dengan demikian, apa yang
dimaksud dengan total management quality telah secara nyata dan langsung
dilakukan oleh para pengempon secara mandiri dan otonom meskipun
berada dalam atap yang sama, yakni manajemen pemerintahan baik
melalui desa pakraman maupun desa dinas. Artinya Pengempon Pura
Kawitan, Pura Swagina, Pura Kahyangan Tiga dan Pura Kahyangan Jagat tetap
berada dalam satu wilayah. Sinergi ini menghasilkan kemampuan untuk

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat xix


membagi kekuatan kepada para leader dari masing-masing komunitas
(pengempon).
Model Pemberdayaan Vihara di Kota Semarang yang disajikan
Achmad Rosidi adalah model pemberdayaan rumah ibadat dengan titik
tekan memandirikan vihara melalui yayasan yang kuat, dan menjadikan
dunia pendidikan sebagai wahana meningkatkan kualitas sumber daya
manusia Buddhis. Sedangkan pelayanan dibidang keagamaan dilakukan
melalui peribadatan mingguan, perayaan hari-hari besar, dan konsulting
serta umat dapat menemui para Bikkhu setiap saat di vihara masing-
masing.
Manajemen kelembagaan dibidang sosial diselenggarakan oleh
yayasan, dan urusan pelayanan keagamaan peran diambil oleh vihara
yang dipimpin oleh para Bikkhu. Modal sosial didasarkan pada
kepercayaan (trust) manajemen yayasan pada figur para Bikkhu. Modal
sosial lainnya adalah trust dari umat Buddha yang makin menyadari peran
yang diambil oleh vihara, juga kharisma para Bikkhu yang memimpin di
vihara juga makin besar.

Catatan Akhir
Selain menemukan ragam model pemberdayaan di atas, hasil
penelitian ini juga berhasil menggali sejumlah hambatan yang dihadapi
para pengelola atau pengurus rumah ibadat (lihat faktor penghambat dan
pendukung masing-masing penelitian). Beberapa wilayah penelitian masih
menghadapi hambatan untuk memaksimalkan modal sosial rumah ibadat,
sehingga perlu ditindaklanjuti dengan pertama, sinergitas dan kolaborasi
antara Kementerian Agama dengan instansi lain, seperti Kementerian
Koperasi dan UKM, Pemerintah dan swasta untuk melakukan
pemberdayaan rumah ibadat di bidang sosial ekonomi.
Kedua, Kementerian Agama melakukan pembinaan dan sosialisasi
yang intensif kepada pemuka agama masing-masing rumah ibadat untuk
menumbuhkan kesadaran bahwa rumah ibadat dapat juga menjadi sentra
pelayanan dan pemberdayaan yang bukan hanya untuk memenuhi
kebutuhan ritual (rohani) semata, tetapi juga kewirausahaan (ekonomi),

xx Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


pendidikan, sosial-budaya dan kebutuhan profan lainnya tanpa sedikitpun
mengurangi kesakralan rumah ibadat.
“Rumah ibadat berdaya, umat beragama makmur”, itulah idealisasi
hasil pemberdayaan rumah ibadat yang diharapkan di masa mendatang.
Lalu bagaimana caranya, dan apa modelnya? Buku ini akan menjadi
pemandu pembaca untuk “berenang” di lautan data dan analisis para
peneliti.
Selamat membaca dan semoga bermanfaat [*]

Jakarta, Agustus 2015

I Nyoman Yoga Segara

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat xxi


xxii Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG


KEHIDUPAN KEAGAMAAN ............................................... iii
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT
KEMENTERIAN AGAMA RI .............................................. v
PROLOG .................................................................................... vii
PRAKATA EDITOR ................................................................ xiii
DAFTAR ISI ............................................................................. xxiii

Pendahuluan
Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian ............. 4
Metode Penelitian ..................................................................... 5

Tinjauan Pustaka
Definisi Konsep ......................................................................... 7
Kerangka Teori .......................................................................... 10
Penelitian Terdahulu yang Relevan ....................................... 20

Model Pemberdayaan Masjid di Kota Surabaya:


Memaksimalkan Trust, Norms dan Networking
Habibi Zaman Riawan Ahmad dan H. Fatchan Kamal ....... 23

Model Pemberdayaan Masjid di Banjarmasin:


Membangun Jejaring untuk Memuliakan Masjid Bersejarah dan
Masjid Sektoral
A. Fachruddin dan M. Ishom ............................................. 73

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat xxiii


Model Pemberdayaan Gereja HKBP di Medan:
Membangun Strong Leadership dan Kemandirian
Abdul Jamil, Zaenal Abidin Eko Putro, dan Mardjuki .. 97

Model Pemberdayaan GKI di Kota Sorong:


Merefleksikan Teologi melalui Diakonia Transformatif
Muchtar dan Achmad Ubaidillah ..................................... 121

Model Pemberdayaan Gereja di Kota Yogyakarta:


Menegakkan Hirarkhi dan Meneruskan Keteladanan Para Romo
Agus Mulyono dan Pormadi Simbolon ............................ 155

Model Pemberdayaan Pura di Kota Denpasar:


“Membagi Dunia” melalui Rwa Bhineda, Tri Mandala dan Tri
Hita Karana
I Nyoman Yoga Segara dan Selamet ................................. 185

Model Pemberdayaan Vihara di Kota Semarang:


Memandirikan Vihara melalui Pendidikan
Achmad Rosidi .................................................................... 217

EPILOG ...................................................................................... 243

INDEKS ..................................................................................... 245

xxiv Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah


Rumah ibadat memiliki peran dalam pembinaan umat masing-
masing agama, khususnya di bidang keagamaan. Rumah ibadat biasanya
dimaknai sebagai ruang sakral, dimana fungsinya sebagai tempat
melaksanakan ibadat dan tempat atau ruang suci yang harus terpisahkan
dengan aktivitas-aktivitas duniawi. Sebagai tempat suci maka rumah
ibadat berbeda dengan bangunan atau tempat lain seperti sekolah, balai
pertemuan, gedung perkantoran, atau pasar. Henri Lefebvre (1971)
mengartikan ruang sakral tersebut dengan istilah second nature (alam
kedua) di mana kondisi obyektif ruang telah ditransformasikan dan
dimaknai secara sosial dan historis sebagai tempat suci. Bagi kaum
tradisional rumah ibadat diperlakukan sebagai fetishism of space sehingga
tidak ada peluang aktivitas non ibadat. Bagi sebagian umat Islam, misalnya
masjid berfungsi sebagai tempat shalat saja, itupun bila jamaah shalatnya
ramai, tidak ada aktivitas non-shalat atau ibadat mahdhah bisa dilakukan
oleh masyarakat di masjid.
Namun demikian, di samping berfungsi dalam kegiatan
keagamaan rumah ibadat juga berfungsi bagi tempat pelaksanaan aktivitas
sosial bagi jamaah atau masyarakat di lingkungan sekitar. Hal demikian
tidak lepas dari adanya konsepsi teologis agama-agama yang memberikan
tuntunan moralitas kepada manusia untuk mengasihi sesama manusia
sehingga agama juga memiliki nilai sosial. Hampir semua agama di
samping menekankan kesalihan individu juga kesalihan sosial.
Agama-agama umumnya juga memiliki ajaran agar umatnya
memberikan sebagian harta yang dimiliki bagi kegiatan ibadat, kegiatan
sosial (filantropi) dan kemanusiaan. Dalam setiap agama, ibadat tidak
semata-mata dipahami sebagai bentuk kesalihan individu yang tercermin
dalam ibadat ritual keseharian, tetapi terkait pula dengan kesalihan sosial.
Untuk itu tidak heran jika banyak rumah ibadat yang berperan sebagai
lembaga sosial, menghimpun dana umat, melakukan pengelolaan, dan
mendistribusikannya kepada pihak-pihak yang dianggap membutuhkan.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 1


Dengan demikian rumah ibadat memiliki peran tidak hanya
sebagai tempat untuk beribadat dan pembinaan keagamaan namun juga
sebagai tempat pemberdayaan masyarakat. Misalnya dalam Islam, yang
melalui Muktamar Dewan Masjid Indonesia (DMI) IV di Jakarta, peran dan
fungsi masjid dinyatakan bahwa masjid memiliki fungsi sebagai tempat
ibadat dan tempat ber-muamalah. Lebih rinci dijelaskan dalam muktamar
tersebut, peran dan fungsi masjid adalah sebagai pusat ibadat,
pemberdayaan dan persatuan ummat, meningkatkan keimanan,
ketaqwaan, akhlaq mulia, kecerdasan umat, tercapainya masyarakat adil
makmur, yang diridhoi Allah SWT dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Sementara itu bagi umat Kristiani, gereja tidak hanya dipahami
hanya sebatas gereja para imam yang sibuk dengan ritual, melainkan juga
gereja para nabi yang peka terhadap masalah-masalah sosial. Bahkan
konteks panggilan gereja kini tercakup dalam tiga agenda pokok gereja di
dalam dunia, yaitu menegakkan keadilan, mewujudkan perdamaian, dan
memajukan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Di sinilah nampak adanya persoalan terkait manajemen (baca:
pengelolaan) rumah ibadat. Pada satu sisi, ada rumah ibadat yang hanya
difungsikan oleh pengelolanya hanya sebatas ruang untuk tempat
beribadat atau pembinaan keagamaan, namun sebagian rumah ibadat
lainnya, peran rumah ibadat juga telah difungsikan untuk kegiatan sosial,
pemberdayaan umat, bahkan pengembangan ekonomi.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010-2014 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Buku II Bab
II Bidang Pembangunan Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama,
dijelaskan bahwa negara dan pemerintah berkewajiban memberikan
jaminan dan perlindungan atas hak setiap warganya untuk memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya, serta memberikan fasilitas dan
pelayanan pemenuhan hak dasar warga tersebut. Berkaitan dengan
kualitas beragama yang belum optimal, dinyatakan bahwa pelayanan
kehidupan beragama masih terbatas, untuk itu pemerintah perlu lebih
meningkatkan perannya dalam memberikan pelayanan dan fasilitas
kepada umat beragama dalam menjalankan aktivitas keagamaannya
dengan mudah dan aman. Melihat peran rumah ibadat yang begitu
penting dan strategis, maka banyak dukungan diberikan terhadap rumah

2 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


ibadat baik oleh masing-masing jamaah rumah ibadat dan masyarakat,
juga diberikan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat melalui
Kementerian Agama maupun pemerintah daerah.
Kementerian Agama melalui berbagai bentuk program dan
kegiatan, salah satunya adalalah memberikan bantuan kepada rumah-
rumah ibadat dan ormas-ormas keagamaan. Pemberian bantuan
diharapkan dapat memberikan manfaat bagi tumbuh dan berkembangnya
kehidupan beragama di masyarakat. Bantuan dimaksud bila dilihat dari
jumlah nominal tidak banyak menolong dan mengatasi kebutuhan para
penerima bantuan. Akan tetapi, dari segi tanggung jawab, perlindungan,
pengayoman, dan layanan terhadap kehidupan beragama di Indonesia
sangatlah bermakna. Program bantuan Kementerian Agama ini memiliki
makna strategis di samping sebagai pengembangan manajemen rumah
ibadat dalam mengelola rumah ibadat, juga untuk menunjang peran sosial
rumah ibadat dalam pemberdayaan masyarakat.
Namun demikian, mengingat besarnya jumlah rumah ibadat maka
bantuan tersebut tidak dapat menjangkau seluruh rumah ibadat yang ada.
Berdasarkan data statistik hasil sensus jumlah penduduk Indonesia tahun
2010 dan data jumlah rumah ibadat tahun 2011 oleh PIKMAS Kemenag,
diketahui bahwa jumlah penduduk dan rumah ibadat,1 adalah: umat Islam
207.176.162; jumlah masjid 239.497,2 umat Kristen 16.528.513; jumlah gereja
60.170, umat Katolik 6.907.873; jumlah gereja 11.021, umat Hindu 4.012.116;
jumlah pura 24.837, umat Buddha 1.703.254; jumlah vihara 2.354, dan umat
Konghucu 117.091; jumlah kelenteng 552.

Berdasarkan data tersebut, terdapat sejumlah preposisi yang


menarik, yaitu Pertama, sejumlah bantuan yang diberikan kepada rumah
ibadat seringkali tidak proporsional antara kebutuhan riil dengan besar
bantuan. Akibatnya, seringkali pembangunan rumah ibadat ‘berhenti’ di
tengah jalan. Atau sebaliknya, beberapa bantuan akhirnya tidak tepat
sasaran karena besarannya tidak sesuai dengan kebutuhan pengelola.

1 Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia Tahun 2012,


Balitbang dan Diklat Kementerian Agama
2 Jumlah ini sudah mengalami perubahan, misalnya jumlah masjid pada 2012

adalah 288.117 (sumber: Bimas Islam dalam Angka 2012).

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 3


Kedua, disinyalir penyaluran bantuan rumah ibadat mengalir kepada
kelompok-kelompok tertentu yang berasosiasi dengan oknum tertentu
pula. Ketiga, bantuan rumah ibadat yang biasanya berbentuk uang selalu
dikaitkan dengan bantuan untuk pembangunan fisik, sehingga dalam
tingkat tertentu justru bantuan tidak berdampak langsung untuk
menciptakan kesejahteraan umat. Keempat, rumah ibadat memiliki potensi
yang besar khususnya terkait modal sosial, namun umumnya belum secara
optimal bisa dimanfaatkan dengan baik.

Empat preposisi tersebut masih menjadi permasalahan diberbagai


komunitas agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha) terkait pola
manajemen dan perannya dalam pemberdayaan umat beragama, baik di
bidang keagamaan maupun sosial kemasyarakatan, serta untuk melihat
sejauhmana efektivitas bantuan yang diberikan Kementerian Agama dan
pihak lain terhadap rumah-rumah ibadat. Artinya, meskipun rumah ibadat
sebagai salah satu pranata keagamaan menjadi unsur penting dalam
penyelenggaraan pembangunan di bidang agama, sampai saat ini
eksistensi pranata tersebut belum sepenuhnya mampu menunjukkan
performa seperti yang diharapkan masyarakat. Atas masalah ini,
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat berusaha
menggali informasi mengenai pemberdayaan rumah ibadat dalam upaya
memakmurkan umat diberbagai agama dalam satu kajian mengenai
“Model-Model Pemberdayaan Rumah Ibadat Berbagai Agama di
Indonesia”.

Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian


Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, dapat dirumuskan
permasalahan pokoknya melalui pertanyaan penelitian, yaitu (1)
bagaimana model pengelolaan rumah ibadat dalam memberikan
pelayanan di bidang keagamaan dan pemberdayaan umat beragama? (2)
bagaimana pengurus rumah ibadat dalam mengoptimalisasikan modal
sosial yang ada? (3) bagaimana mekanisme pengumpulan, pengelolaan,
pendistribusian dan pengawasan terhadap dana bantuan yang diterima?
dan (4) faktor-faktor apakah yang menjadi pendorong dan penghambat

4 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


pengelolaan rumah ibadat dalam pelayanan di bidang keagamaan dan
pemberdayaan umat?
Empat pertanyaan kunci penelitian tersebut menjadi penuntun
untuk menghasilkan tujuan penelitian, yaitu (1) mengetahui model-model
pengelolaan rumah ibadat dalam memberikan pelayanan di bidang
keagamaan dan pemberdayaan umat beragama, (2) Mengetahui upaya
rumah ibadat dalam mengoptimalisasikan modal sosial yang ada, (3)
Mengetahui mekanisme pengumpulan, pengelolaan, pendistribusian
(pemanfaatan), pengawasan terhadap dana bantuan yang diterima, dan
(4) mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat pengelolaan
rumah ibadat dalam pelayanan di bidang keagamaan dan pemberdayaan
umat.
Secara praktis, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan masukan
bagi seluruh unit Eselon I (masing-masing Ditjen Bimas) pada Kementerian
Agama RI dalam merumuskan kebijakan pembimbingan dan mendorong
pembinaan rumah ibadat di masing-masing agama serta instansi lainnya
yang terkait dengan rumah ibadat dalam memberdayakan umat beragama
ke arah yang lebih baik dan profesional; referensi dan bahan kajian lebih
lanjut bagi akademisi, para pakar dan pemerhati lembaga sosial
keagamaan dan rumah ibadat, dan basis bagi penyusunan kebijakan
tentang model-model pemberdayaan rumah ibadat.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik


pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara
mendalam terhadap sejumlah informan dan key person. Informan dipilih
berdasarkan kualitas dan tidak menekankan aspek kuantitas, yaitu
informan yang berasal dari pengurus rumah ibadat dari berbagai agama
(sesuai unit analisisnya), dan beberapa anggota masyarakat (jamaah rumah
ibadat) serta tokoh agama yang memahami persoalan pengelolaan rumah
ibadat diwilayahnya. Sebelum penggalian data primer melalui
pelaksanaan wawancara dilakukan penggalian data sekunder sebagai
bahan/informasi awal terkait rumah ibadat yang diperoleh dari sumber-
sumber resmi yang dianggap relevan dengan objek dan tema penelitian.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 5


Lamanya waktu penggalian data di lapangan adalah 15 hari.
Adapun lokasi penelitian adalah di 8 provinsi yang disetiap provinsi
dilakukan penelitian terhadap dua rumah ibadat dalam satu agama, yaitu
rumah ibadat tingkat Kabupate/Kota dan rumah ibadat tingkat
desa/kelurahan yang dikelola masyarakat, namun untuk mendapatkan
data yang lebih mendalam maka penggalian data hanya difokuskan di dua
rumah ibadat saja dalam satu lokasi Kabuapten/kota.
Langkah selanjutnya adalah pemilihan atau reduksi data,
pengelompokkan, dan ketegorisasi data, dengan jalan abstraksi yang
merupakan upaya memuat rangkuman inti, proses dan pernyataan.
Selanjutnya dilakukan analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data
yang tersedia. Sebagai tahap akhir sebelum menyusun simpulan,
dilakukan interpretasi data dengan cara memaknai, mendiskusikan,
membandingkan dan mencocokkan dengan teori yang ada.

6 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Konsep

Pemberdayaan
Pemberdayaan dapat diartikan “memampukan” dan
‘memandirikan masyarakat’ (Kartasasmita, 1997:12). Dalam bahasa Inggris,
pemberdayaan sepadan dengan “empowerment”, yang memiliki arti
empowerment aims to increase the power of disadvantaged (Jim Ife dalam
Suharto, 1997:214), yaitu pemberian atau peningkatan “power” atau
“kekuasaan” kepada masyarakat lemah atau kurang beruntung
(disadvantaged).
Dari pengertian tersebut tedapat dua pengertian kunci, yaitu
“kekuasaan” dan “kelompok lemah” (Ife dalam Suharto, 2005:59).
Kekuasaan di sini tidak dalam arti kekuasaan politik yang sempit, namun
penguasaan atas berbagai hal seperti pilihan-pilihan dan kesempatan
hidup, kemampuan membuat keputusan, kemampuan menentukan
kebutuhan hidup, kemampuan menjangkau dan mempengaruhi pranata-
pranata masyarakat (kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan),
kemampuan mengekspresikan gagasan, kemampuan memobilisasi
sumber-sumber formal dan informal, serta kemampuan memanfaatkan
dan mengelola mekanisme produksi, distibusi dan pertukaran barang/jasa,
dan lainnya.
Istilah pemberdayaan atau empowerment, juga dapat diartikan
sebagai pemberkuasaan atau pemberian atau peningkatan kekuasaan
kepada masyarakat yang lemah atau kurang beruntung. Dalam diskursus
ini, pemberdayaan memiliki maksud pengembangan masyarakat dengan
banyak metode seperti kemandirian, penekanan terhadap partisipasi,
penggunaan jaringan kerja, dan pemerataan.3 Lebih lanjut pemberdayaan

3 Gary Craig dan Magorie Mayo, “Editorial Introduction: Managing Conflict

through Community Development.” Community Development Journal, Vol 2 No 33 (1995:


77-79).

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 7


merupakan bagian dari pada pembangunan ekonomi yang merangkum
nilai-nilai sosial.
Tujuan dasar dari pemberdayaan adalah keadilan sosial dengan
memberikan ketentraman kepada masyarakat yang lebih besar serta
persamaan politik dan sosial melalui upaya saling membantu dan belajar
melalui pengembangan langkah-langkah kecil guna tercapainya tujuan
yang lebih besar (Payne, 1997:268). Secara konseptual pemberdayaan harus
mencakup enam hal, yaitu: learning by doing (belajar dan tindakan konkrit),
problem solving (pemecahan masalah), self-evolution (evaluasi secara
mandiri), self-development and coordination (pengembangan diri dan
hubungan luas), self-selection (pemilihan langkah secara mandiri), dan self-
decision (memutuskan secara mandiri) (Saraswati, 1997:79-80).

Modal Sosial
Konsep modal sosial muncul dari pemikiran bahwa anggota
masyarakat tidak mungkin dapat mengatasi berbagai masalah yang
dihadapi. Untuk menghadapi masalah-masalah tersebut, diperlukan
kerjasama dan kebersamaan yang baik dari segenap anggota masyarakat.
Konsep modal sosial (sosial capital) dalam mainstream ilmu sosial pertama
kali diusung oleh Hanifan (1916). Konsep tersebut semakin popular oleh
Colemen (1988), Putnam (1993, 1995, 1999), Fukuyama (1995) dan ilmuwan
sosial lainnya.
Menurut pencetusnya, Lyda Judson Hanifan, modal sosial
bukanlah modal dalam arti biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi
mengandung arti kiasan, namun merupakan asset atau modal nyata yang
penting dalam kehidupan. Contoh modal sosial menurut Hanifan dapat
berupa kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta hubungan
sosial dan kerjasama erat antara individu dan keluarga yang membentuk
suatu kelompok sosial. Sedangkan Putnam (1993) menyatakan bahwa
modal sosial merupakan unsur utama pembangunan masyarakat madani
(civil community). Modal sosial tersebut mengacu pada aspek-aspek utama
organisasi sosial seperti kepercayaan (trust), norma-norma (norms), dan
jaringan-jaringan (networks) yang dapat meningkatkan efisiensi dalam
suatu masyarakat melalui fasilitasi tindakan yang terkordinasi (Putnam,
1993:167).

8 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Sementara Fukuyama (1995) menyebutkan adanya keunggulan
modal sosial dibanding modal material atau modal ekonomi, modal sosial
justru semakin bertambah apabila semakin dikelola dan dipergunakan
dengan baik. Penggunaan modal sosial akan meningkatkan efesiensi dalam
pengelolaan suatu kegiatan pembangunan secara umum. Fukuyama juga
menyatakan, kepercayaan (trust) muncul jika di masyarakat itu terdapat
nilai (shared values) sebagai dasar dari kehidupan untuk menciptakan
pengharapan umum dan kejujuran. Dengan kepercayaan, orang tidak akan
mudah curiga yang sering menjadi penghambat. Di samping itu, jaringan
(networks) memiliki dampak yang sangat positif dalam usaha peningkatan
kesejahteraan ekonomi dan pembangunan lokal (Fukuyama, 1995:125)
Pengertian yang hampir serupa dikemukakan oleh Pierre
Bourdieu, ia mendefinisikan modal sosial adalah keseluruhan sumberdaya
baik aktual maupun potensial yang terkait dengan kepemilikan jaringan
hubungan kelembagaan yang tetap dengan didasarkan pada saling kenal
dan saling mengakui. Sedangkan Halpem (2005) secara eksplisit
menyatakan bahwa modal sosial itu meliputi networks, norma dan sanksi.
Modal sosial antara komunitas yang satu dengan yang lain memiliki
perbedaan (Halpem, 2005:12).
Dari beberapa teori modal sosial yang telah dikemukakan para
ahli di atas, dapat diambil pengertian tentang modal sosial yang relevan
dengan tujuan penelitian ini yaitu potensi fisik atau material dan spiritual
yang dimiliki suatu komunitas rumah ibadat yang apabila dibangun dan
ditumbuhkembangkan secara baik merupakan kekuatan yang strategis
untuk mengembangkan rumah ibadat sehingga mampu menjalankan
perannya di masyarakat secara maksimal.
Dengan memahami modal sosial sebagaimana tersebut di atas,
maka dalam pengelolaan rumah ibadat terdapat modal sosial yang
potensial. Modal sosial itu muncul dari adanya interaksi antara jamaah dan
lingkungan komunitas rumah ibadat. Relasi intim yang terbangun antara
jamaah akan melahirkan ikatan emosional sebagai sesama jamaat rumah
ibadat.
Besarnya modal sosial yang diperoleh oleh seseorang atau suatu
lembaga seperti rumah ibadat, tergantung pada seberapa besar kuantitas
maupun kualitas jaringan yang diciptakannya, serta seberapa besar

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 9


volume modal ekonomi, budaya dan sosial. Dengan demikian, seperti
halnya modal ekonomi, modal sosial juga bisa bersifat produktif dan tidak
produktif.

Kerangka Teori
Rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu
yang khusus dipergunakan beribadat bagi para pemeluk masing-masing
agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga. 4 Dilihat
dari sejarahnya, kemunculan dan berdirinya rumah ibadat di Indonesia
adalah bersamaan dengan muncul dan berkembangnya agama-agama itu
sendiri. Rumah ibadat dalam sejarahnya berfungsi tidak hanya sebagai
rumah ibadat saja, melainkan juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan
(pembinaan) keagamaan dan penyebaran masing-masing agama.
Dalam RPJMN Bidang Pembangunan Sosial Budaya dan
Kehidupan Beragama dinyatakan bahwa negara memberikan fasilitas dan
pelayanan pemenuhan hak dasar pada setiap warga negara. Ini berarti
negara turut memberikan fasilitas terhadap rumah-rumah ibadat sebagai
tempat ibadat dan pembinaan keagamaan masyarakat. Namun demikian
karena banyaknya jumlah rumah ibadat yang ada, maka fasilitas,
pelayanan, dan bantuan yang diberikan pemerintah bagi rumah-rumah
ibadat tidak dapat menjangkau seluruh rumah ibadat yang ada. Akibatnya
rumah-rumah ibadat lebih banyak dikelola secara mandiri oleh masyarakat
sehingga model pengelolaan rumah ibadat juga menjadi sangat beragam.
Terkait rumah ibadat umat Islam, khususnya masjid, ada beberapa
tipologi masjid berdasarkan tipe tingkat kewilayahan dan keaktifan
pengurusnya. Berdasarkan tingkat kewilayahan, masjid terbagi menjadi
masjid negara (berada di tingkat pemerintahan pusat), masjid nasional
(masjid provinsi yang ditetapkan pemerintah menjadi masjid nasional),
masjid raya (masjid tingkat provinsi), masjid agung (masjid tingkat
kabupaten/kota), masjid besar (masjid tingkat kecamatan), masjid Jami

4 Ini adalah definisi yang terdapat dalam Peraturan Bersama Menteri Agama

dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 Tahun 2006 dan No 8 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan
Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan
Pendirian Rumah Ibadat.

10 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


(masjid tingkat desa/kelurahan), dan masjid yang ada di lingkungan
masyarakat.5
Berdasarkan keaktifan pengurus masjid, masjid dikategorikan
dalam tiga kategori, yaitu pertama, masjid statis. Para pengurus masjid
hanya mengurus jamaah tetap yang setiap shalat fardhu datang ke masjid
untuk melaksanakan shalat fardhu. Kedua, masjid aktif. Para pengelola
masjid selain melakukan sebagai mana pada tipe statis, juga merangkul
jamaah yang ada di sekitar masjid. Sifat kepengurusan juga lebih terbuka
dibanding masjid pasif, dan ketiga, masjid professional. Para pengelola
masjid selain melakukan sebagaimana masjid aktif juga merangkul jamaah
yang potensial di luar masjid dan leboh bersikap professional dalam
pengelolaan masjid (Direktorat Urais, Ditjen Bimas Islam, 2007:55-57).
Di samping beberapa tipologi tersebut, terdapat tipologi masjid
yang didasarkan atas status pengelolaan, status kepemilikian, status
pembiayaan, dan letak geografis. Berdasarkan status pengelolaan masjid
terbagi dalam masjid yang dikelola oleh keluarga, masyarakat, yayasan,
organisasi, perusahaan/instansi tertentu, dan pemerintah. Berdasarkan
status kepemilikian, maka status tanah ada yang bersifat wakaf dan non
wakaf. Sedangkan berdasarkan status pembiayaan, maka pembiayaan
masjid terbagi dalam dibiayai oleh pribadi atau keluarga tertentu secara
mandiri, masyarakat secara bergotong royong, dan masjid yang dibangun
dengan dana utama dari pemerintah. Untuk tipologi berdasarkan letak
geografis maka masjid terbagi dalam wilayah pedesaan dan perkotaan.
Untuk tipologi rumah ibadat dari agama Katolik, terbagi dalam
hirarki sebagai gereja katedral atau gereja keuskupan (wilayah
keuskupan), dan gereja paroki, sebuah keuskupan menjadi pusat
keagamaan dari beberapa gereja paroki di wilayah teritorial tertentu.
Dalam agama Kristen hirarki semacam dalam agama Katolik ada dalam
sinode Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), secara hirarki adalah gereja
HKBP tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa. Untuk
sinode lainnya maka gereja-gereja itu umumnya memiliki otoritas
tersendiri di bawah kepemimpinan pendetanya.

5 Direktoral Urais, Ditjen Bimas Islam (2007:53-54)

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 11


Tipologi pura juga sama, yaitu pura keluarga (kawitan, paibon,
padharman) yang dipuja oleh keluarga yang memiliki ikatan daearh, pura
berdasarkan wilayah teritorial (kahyangan tiga) yang dipuja oleh
masyarakat adat pakraman, pura berdasarkan kesamaan profesi (pura
Melanting bagi pedagang atau pura Subak bagi petani) dan pura umum
yang dipuja oleh umat Hindu tanpa melihat golongan. Secara hirarkhis
dimulai dari keluarga, desa pakraman, dan provinsi (kahyangan jagat).
Sementara vihara ada yang bersifat hirarkhis, yaitu vihara tingkat
provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa. Bagi rumah ibadat agama
Buddha, maka rumah ibadat berafiliasi dalam beberapa majelis agama
dalam Buddha, seperti Mahayana, Terevada, Budayana, Tantrayana dan
lainnya. Namun demikian dalam Buddha, jumlah rumah ibadat yang
paling banyak adalah pada Terevada dan Mahayana. Tipologi rumah
ibadat ini disamping terbagi berdasarkan segmentasi majelis agama juga
terbagi dalam vihara (tempat ibadat utama dan ritual untuk hari-hari
tertentu) dan cetya (tempat untuk ibadat para biksu). Adapun untuk
rumah ibadat Khonghucu, saat ini jumlahnya masih relatif sedikit dan
tersebar dalam wilayah Indonesia, untuk jumlah rumah ibadat terbesar ada
di Sumatera Utara dan Bangka Belitung.
Rumah-rumah ibadat umumnya dibangun secara swadaya oleh
masyarakat untuk keperluan bersama sebagai bagian integral dari
dorongan keyakinan keagamaan. Peningkatan rumah ibadat dari segi
kuantitas perlu dibarengi dengan peningkatan kualitas pengelolaan rumah
ibadat dalam menjalankan fungsinya, baik dalam memberikan pelayanan
ibadat maupun pemberdayaan masyarakat dalam arti luas. Untuk itu
penting bagaimana menggalang dan menggerakkan modal sosial dan
segenap potensi yang dimiliki masjid menjadi kekuatan yang berkembang
secara simultan dan timbal balik, rumah ibadat makmur, umat sejahtera.
Sebaliknya umat sejahtera rumah ibadat makmur.
Dari uraian di atas, modal sosial memiliki beberapa elemen pokok
yang mencakup (1) kepercayaan (trust), yaitu meliputi kejujuran, keadilan,
sikap egaliter, toleran, keramahan, dan saling menghormati, (2) jaring
sosial (social networks), yaitu meliputi partisipasi, resiprositas (timbal-balik),
solidaritas, dan kerjasama, dan (3) pranata (institutions), yaitu meliputi
nilai-nilai yang dimiliki bersama, norma, sanksi, serta aturan-aturan.
Ketiga elemen tersebut tidak bersifat given, untuk itu perlu diciptakan,

12 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


dikembangkan, dan didayagunakan melalui mekanisme sosial budaya
dalam suatu unit sosial.
Untuk menjawab elemen pokok di atas, ada tiga parameter untuk
mengukur apakah rumah ibadat memiliki modal sosial yang kuat atau
lemah, yaitu (1) adanya kepercayaan antar sesama jamaah maupun jamaah
terhadap pengurus rumah ibadat, (2) sejauhmana jaringan kerjasama
antara komunitas sosial keagamaan tertentu dengan rumah ibadat, dan (3)
sejauhmana nilai-nilai dan norma yang terdapat dalam agama diyakini dan
dijalankan bersama oleh jamaah rumah ibadat, jika nilai dan norma
tersebut secara kolektif dijalankan maka akan dapat berperan dan
berfungsi bagi kemajuan rumah ibadat.
Untuk itu penting dilakukan pengelolaan modal sosial secara baik
sehingga bisa produktif dan terbangun kuat. Untuk itu rumah ibadat perlu
dikelola berdasarkan prinsip-prinsip manajemen yang baik. Manajemen
berarti proses penggunaan sumber daya secara efektif menangani suatu
urusan untuk mencapai sasaran yang diharapkan. Manajemen juga adalah
ilmu dan seni dalam perencanaan, pengorganisasian dan pengontrolan
daripada benda dan tenaga manusia untuk mencapai tujuan yang
ditentukan lebih dahulu.
Selain dikelola dengan manajemen yang baik, rumah ibadat juga
perlu dikelola berdasarkan suatu kepemimpinan yang andal.
Kepemimpinan adalah perihal tentang seni tata cara atau kemampuan
untuk membimbing, menuntun seseorang atau kelompok untuk mencapai
tujuan tertentu. Dengan kata lain, kemampuan memengaruhi, menuntun,
dan membimbing seseorang atau kelompok dan mempunyai visi dalam
pribadinya sebagai landasan berpijak untuk mencapai cita-cita ataupun
tujuan organisasi tersebut. Pada dasarnya, manajemen dan kepemimpinan
mempunyai persamaan yakni menggerakkan orang lain untuk mencapai
tujuan bersama, walaupun dalam prosesnya mempunyai perbedaan
tertentu sesuai dengan konteksnya. Seiring dengan perkembangan dan
kemajuan dalam dinamika kehidupan modern, sebagian rumah ibadat itu
sudah dikelola dengan manajemen dan kepemimpinan modern.
Salah satu teori manajemen yang banyak dikembangkan dalam
era modern ini adalah Total Quality Management atau TQM yang
merupakan suatu usaha dalam proses perbaikan guna mencapai hasil

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 13


yang baik, khususnya dalam mutu atau kualitas dari suatu produk. Dalam
sejarahnya, TQM lahir di Amerika pada 1980an. Konsep manajemen ini
dikalangan Angkatan Laut Amerika disebut Total Quality Leadership (TQL).
Sedangkan di Jepang disebut Total Quality Control (TQC) dan di Singapore
disebut Total Quality Process (TQP). Sedangkan di Indonesia dikenal
dengan nama Pengendalian Mutu Terpadu (PMT). 6
Manajemen Mutu Total yang merupakan adaptasi dari TQM
mengacu pada metode manajemen yang digunakan untuk meningkatkan
kualitas dan produktivitas dalam organisasi bisnis. TQM adalah
pendekatan manajemen komprehensif yang bekerja horizontal di seluruh
organisasi dengan melibatkan semua departemen dan karyawan, serta
memperluas baik ke ‘belakang’ maupun ke ‘depan’, termasuk bagi para
pemasok dan klien. TQM hanya salah satu dari banyak akronim yang

6 Sejarah lahirnya TQM diawali dari Ellias Whitney yang memperkenalkan

‘pengendalian mutu’ pada awal abad 19 dalam bentuk pengecekan barang yang akan
dikirim kepelanggan dengan cara memisahkan barang cacat untuk kepuasan konsumen.
Pendekatan ini dikenal dengan pengendali mutu klasik. Tahun 1924, Dr. Walter
Shewhart memperkenalkan “bagan kendali control (controlchart)” yang bermanfaat untuk
mengetahui apakah mutuproduk yang dihasilkan berada pada batas yang dikehendaki,
sehingga inspeksi dilakukan hanya pada sampel barang dan dapat mengurangi biaya.
Fungsi pengendalian mutu ini mulai dikembangkan dalam berbagai perusahaan. Pada
1950, Dr.W. Edward Deming memperkenalkan konsep “pengendalian mutu menyeluruh
dalam perusahaan”. Deming menekankan pentingnya statistic control dalam proses
produksi dan perbaikan mutu produksi. Deming memberikan kontribusi dengan teori
“14 Butir Untuk Manajemen”. Deming dan Schewart mengembangkan konsepsiklus
“PDCA” (plan-do-check-action). “Plan” meliputi identifikasi masalah, memperoleh data,
dan mengembangkan rekomendasi. “Do” meliputi penerapan solusi berbagai percobaan.
“Check” berupa pengamatan setelah penerapan untuk memastikan apakah hasil yang
diperoleh sesuai rencana. “Act” melibatkan kegiatan perubahan permanen jika hasilnya
efektif bagi peningkatan atau kembali pada kondisi sebelumnya jika penerapannya
bermasalah. Pada 1961, Dr. AV Feigenbaum memperkenalkan konsep “make it right at the
first time”. Konsep ini akan berkembang dan menjadi salah satu dasar Total Quality
Management (TQM). Pada 1979, Phillips B. Crosby menekankan “pentingnya pimpinan
puncak” untuk menciptakan iklim kerja yang nyaman dan meyakinkan bahwa mutu
adalah misi pokok yang harus dicapi oleh organisasi. Dan bahwa karyawan di semua
tingkatan dapat dimotivasi untuk mengejar peningkatan tetapi motivasi tersebut tidak
akan berhasil kecuali disediakan alat untuk meningkatkannya. Pada 1987, lahirlah suatu
standar tentang sistem manajemen mutu yaitu ISO 9000, Quality Management System.

14 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


digunakan untuk menamai sebuah sistem manajemen yang berfokus pada
mutu.7
TQM menyediakan kerangka-kerangka kerja untuk menerapkan
produktivitas yang lebih berkualitas dan inovatif secara efektif yang dapat
meningkatkan profitabilitas dan daya saing organisasi. TQM diterapkan
bukan hanya pada industri manufaktur, tetapi juga industri jasa. Industri
jasa atau non barang ini mulai diterapkan seperti pada Rumah Sakit,
Puskesmas, dan lain sebagainya. TQM dapat juga dipergunakan oleh
lembaga usaha yang berorientasi profit (keuntungan), seperti perusahaan
atau lembaga nirlaba (non-profit).
Dari uraian tersebut, prinsip dan unsur pokok dalam TQM dapat
disimpulkan, sebagai berikut:
1. Kepuasaan pelanggan, kepuasan pelanggan merupakan sasaran
utama yang harus dicapai, karena dalam TQM konsep kualitas
suatu produk tidak lagi tergantung kepada kesesuaian dengan
spesifikasi tertentu, tetapi kualitas sebuah produk itu ditentukan
oleh pelanggan.
2. Respek terhadap setiap orang, karyawan merupakan sumber daya
organisasi yang paling bernilai. Karena itu setiap orang dalam
perusahaan diperlakukan dengan baik dan diberi kesempatan
untuk terikat dan berpartisipasi dalam tim pengambilan
keputusan.
3. Manajemen berdasarkan fakta, dalam hal ini setiap keputusan
selalu didasarkan pada data bukan sekedar pada perasaan.
4. Perbaikan berkesinambungan, untuk mencapai kesuksesan
tersebut perlu melakukan proses perbaikan secara sistematis dan
berkesinambungan. Dalam proses ini dipakailah siklus PDCA
(Plan-Do-Chek-Act), yaitu perencanaan, pelaksanaan, pemeriksaan
hasil dan tindakan korektif terhadap hasil yang sudah diperoleh.

7 Akronim lainnya termasuk CQI (Continuous Quality Improvement/Peningkatan

Putu Berkelanjutan), SQC (Statistical Quality Control/Pengendalian Kualitas Statistik),


QFD (Quality Function Deployment), QIDW (Quality in Daily Work/Kualitas dalam
Pekerjaan Sehari-Hari), TQC (Total Quality Control/Pengendalian Mutu Total), dan lain-
lain.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 15


TQM kemudian banyak dikembangkan oleh para ahli manajemen,
salah satunya adalah Malcolm Baldrige Quality Award (MBQA). MBQA
merupakan “award” yang dimulai sejak 1988, dan ditujukan untuk
meningkatkan TQM perusahaan-perusahaan Amerika. Baldrige8 pada
awalnya menggunakan Total Quality Management, seperti “kualitas
pelatihan”, “kualitas perencanaan”, “kualitas team” dan seterusnya.
Namun belajar dari pengalaman, kata “quality” akhirnya tidak digunakan
lagi dalam menetapkan kriteria, dan sejak 1995 diganti dengan kata
“performance” yang memberikan tekanan kualitas pada keseimbangan
semua aspek organisasi sebagai sebuah sistem, bukan hanya menekankan
pada produk atau jasa yang bebas dari cacat, dan pada kepuasan
konsumen saja seperti pada TQM.9

MBQA digunakan sebagai kerangka kerja (framework) untuk


mengevaluasi dan mendiagnosis kinerja sitem manajemen organisasi
secara keseluruan. Selain itu, MBQA merupakan common language yang
memfasilitasi pertukaran informasi antara organisasi di Amerika. MBQA
memiliki tujuh kriteria dasar pelaksanaan TQM yang harus dipenuhi
dengan baik oleh perusahaan yang ikut kompetisi. Ketujuh kriteria itu

8 Malcolm Baldrige adalah Menteri Perdagangan Amerika dari 1981 sampai

meninggalnya secara tragis dalam kecelakaan “rodeo” tahun 1987, yang dipandang telah
memberikan kontribusi bagi peningkatan efektifitas dan efisiensi jangka panjang
pemerintah.
9 Diadaptasi dari Mark Graham Brown: Baldrige Award Winning Quality, How to

Interpret the Baldrige Criteria for Performance Excellence (New York, CRC Press, 17th
Edition, 2008).

16 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


setiap tahunnya dikaji ulang sesuai dengan kondisi perindustrian saat itu,
sehingga makin lama kriteria-kriteria tersebut makin disempurnakan.
Ketujuh kriteria yang digunakan dalam MBQA terdiri dari:
1. Leadership
Kriteria leadership ini memeriksa bagaimana pemimpin senior di dalam
organisasi membimbing dan mempertahankan kesinambungan
organisasi. Bagian ini sekaligus menjalankan bagaimana penataan
organisasi dan bagaimana organisasi tersebut memenuhi segala aspek
legal dan tanggung jawab etis dari komunitas.
2. Strategic Planning
Kriteria ini menjelaskan bagaimana organisasi mengembangkan
sasaran strategis dan rencana tindakan mereka serta memaparkan
begaimana kedua hal tersebut dibagikan dan disesuaikan dengan
keadaan. Langkah selanjutnya adalah bagaimana kesemuanya itu
diukur. Bagian ini terdiri dari dua item, yaitu strategy development
(bagaimana organisasi mengembangkan strategi dan sasarannya) dan
strategy deployment (bagaimana organisasi mengubah sasaran
strateginya ke dalam rencana tindakan, termasuk di dalamnya
bagaimana memproyeksikan kinerja organisasi ke depan).
3. Customer and Market Focus
Kriteria ini menjelaskan bagaimana suatu organisasi mengerti suara
konsumen dan pangsa pasarnya, serta bagaimana menggambarkan
suatu hubungan dengan konsumen dan faktor-faktor yang mengarah
pada kepuasan, loyalitas serta perluasan bisnis. Bagian ini terdiri dari
dua item, yaitu customer and market knowledge (bagaimana suatu
organisasi menetukan apa yang dibutuhkan, diinginkan, dan
diharapkan cutomer) dan customer relationships and satisfaction (cara
suatu organisasi dalam menciptakan hubungan untuk mengetahui
kepuasan cutomer dan cara organisasi dalam mempertahankan
customer yang telah ada).
4. Measurenment, Analysis, and Knowledge Management
Kriteria ini menjelaskan bagaimana organisasi memilih, menganalisa,
dan mengatur serta meningkatkan kapasitas data, informasi serta asset

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 17


pengetahuan mereka, dan menjelaskan bagaimana organisasi
membahas kinerja mereka. Bagian ini terdiri dari dua item, yaitu
measurenment analysis and review of organizational performance
(bagaimana organisasi mengukur, menganalisa, membahas, dan
meningkatkan informasi serta data yang dimiliki, sistem pengumpulan
informasi dan data, dan keefektifan penggunaannya) dan information
and knowledge management (bagaimana organisasi memastikan kualitas
dan ketersediaan informasi dan data bagi seluruh stakeholder, supplier,
partner serta rekanan).
5. Workforce Focus
Kriteria ini menjelaskan bagaimana sistem kerja, serta pengembangan
pendidikan dan training pekerja demi meningkatkan potensi mereka
hingga maksimal lewat pemerataan seluruh sasaran, strategi, dan
rencana tindakan organisasi. Bagian ini sekaligus memeriksa upaya
organisasi dalam membangun dan mempertahankan lingkungan kerja
serta dukungan terhadap seluruh elemen perusahaan guna
menciptakan suasana kondusif terhadap pertumbuhan organisasi dan
individu di dalamnya. Bagian ini terdiri dari tiga item, yaitu work
systems (cara kerja sesuai struktur organisai dan desain kerja), human
resources learning and training (pendidikan dan training untuk
meningkatkan keahlian dan pengetahuan pekerja), dan human resources
well being and satisfaction (perusahaan menciptakan lingkungan kerja
yang sehat dan memberikan fasilitas kesehatan dan keselamatan kerja
bagi seluruh pekerja).
6. Process Management
Kriteria ini memeriksa aspek utama dari manajemen proses dalam
organisasi, termasuk di dalamnya proses-proses produk dan jasa,
proses-proses bisnis, dan proses-proses pendukung.
7. Results
Dalam kriteria ini seluruh kunci sukses dari kemauan perusahaan
untuk memperbaiki kinerjanya. Bagian ini terdiri dari empat item,
yaitu costumer outcomes (factor-faktor yang menyebabkan konsumen
merasa puas akan produk atau jasa yang diterima), market financial
outcomes (kinerja financial perusahaan termasuk pengukuran nilai

18 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


ekonomi dan tingkat kenaikan financial serta kinerja dari pangsa
pasar), human resources outcomes (perbandingan terhadap perusahaan
lain meliputi hasil-hasil pengukuran aktivitas dan perbaikan yang
dilakukan mengenai sumber daya manusia), dan special outcomes
(ringkasan hasil-hasil khusus perusahaan yang dibagi dalam kinerja
produk dan jasa berkualitas, kinerja kunci proses, produktivitas, cycle
time dan lainnya).
Dari uraian tersebut di atas, nampak bahwa perkembangan
manajemen modern telah sampai pada pendekatan MBQA untuk
mengembangkan beberapa perusahaan-perusahaan khususnya di
Amerika. Melihat bahwa unit analisis dalam penelitian ini adalah rumah
ibadat dari enam agama, yaitu: masjid (Islam), gereja Katolik, gereja HKBP
(Protestan), pura (Hindu), vihara (Buddha), dan klenteng (Khonghucu),
yang bukan sepenuhnya memiliki unsur-unsur dalam sebuah perusahaan,
maka dalam kajian ini digunakan pendekatan TQM yang lebih sederhana
dibanding MBQA. Dalam TQM ditekankan adanya empat kaidah jaminan
mutu, yaitu (1) Jaminan mutu berorientasi pada pemenuhan kebutuhan
dan harapan konsumen, (2) Jaminan mutu mendorong pendekatan tim, (3)
Jaminan mutu menggunakan data, dan (4) Jaminan mutu berfokus pada
sistem dan proses.
Untuk memudahkan pemahaman terkait kerangka berpikir dalam
penelitian ini maka berikut ini flow chart yang menggambarkan alur
kerangka berpikir dari penelitian ini sebagai berikut.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 19


Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Penelitian terkait peran rumah ibadat dalam pemberdayaan umat
telah beberapa kali dilakukan, antara lain Pertama, penelitian
“Pemberdayaan Umat melalui Pengembangan Manajemen Masjid”, Tahun
2008 oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama. Penelitian dilakukan di beberapa masjid, antara lain
Masjid Raya Makassar Sulsel, Masjid Ar-Rahman Kampung Melayu
Banjarmasin Tengah Kalsel, Masjid Al-Muhajirin Kec. Jelutung Kota Jambi,
Masjid Agung dan Masjid Al-Mahmudiyah di Palembang, Masjid Ar-
Rahmah Sweta Cakranegara Mataram, Masjid At-Taqwa Kec. Palmerah
Jakbar, Masjid Al Bashor Kec. Kramat Jati Jaktim, Masjid Raya Pondok
Indah Jaksel, dan Masjid Raya Islamic Center Jakut. Penelitian ini berusaha
memotret perkembangan pengelolaan masjid, terutama berkenaan dengan
berbagai upaya pemberdayaan umat.
Kedua, penelitian “Bantuan Sosial Kementerian Agama RI bagi
rumah Ibadat dan Ormas Keagamaan di Indonesia”, Tahun 2010 oleh
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama. Penelitian dilakukan dibeberapa daerah, yaitu Aceh, Jawa Timur,
Bali, Kalimantan Tengah, dan NTT. Penelitian ini difokuskan pada bantuan
sosial oleh Kementerian Agama terhadap rumah-rumah ibadat dan ormas
keagamaan, dalam penelitian diketahui bahwa secara umum dampak
sosial dari bantuan sosial keagamaan tersebut masih kurang nampak, dana
bantuan umumnya dimanfaatkan untuk rehabilitasi rumah ibadat.
Ketiga, penelitian “Peran Lembaga Pengelola dan Asset Sosial
Keagamaan dalam Pemberdayaan Umat Beraga di Berbagai Daerah”,
Tahun 2011 oleh Puslitbang Kehiudupan Keagamaan Badan Litbnag dan
Diklat Kementerian Agama. Penelitian ini mengkaji efektivitas pengelolaan
dana dan asset umat yang diberikan kepada sejumlah lembaga sosial
termasuk rumah ibadat.
Berbeda dengan tiga penelitian di atas, penelitian ini akan
berusaha mengidentifikasi dan mendeskripsikan secara lebih jelas pola
manajemen atau pengelolaan rumah-rumah ibadat dalam melakukan
pelayanan keagamaan dan pemberdayaan umat. Sekilas ada persamaan
dengan kajian yang pertama, namun perbedaannya adalah penelitian
pertama hanya mengkaji rumah ibadat milik umat Islam saja, yaitu masjid,

20 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


sedangkan dalam penelitian ini juga akan mengkaji seluruh rumah ibadat
umat agama.
Jika dibandingkan dengan penelitian yang kedua dan ketiga,
terdapat beberapa perbedaan yang cukup kuat, yaitu pertama, kedua
penelitian tersebut hanya mengkaji aspek aspek bantuan dana terhadap
rumah ibadat oleh pemerintah, sedangkan aspek manajemen rumah ibadat
tidak menjadi fokus kajian. Dalam penelitian kali ini aspek bantuan dana
terhadap rumah ibadat oleh pemerintah hanya salah satu bagian dari
aspek yang dikaji. Kedua, aspek yang dikaji tidak hanya out come, yaitu
pemberdayaan umat, melainkan juga input atau sumber daya yang dimiliki
rumah ibadat, juga proses yaitu aspek pengelolaan rumah ibadat oleh
masing-masing pengurusnya.

***

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 21


Daftar Pustaka

Coleman, J.S., Social Capital In Creation of Human Capital, Amarican Journal


of Sociology, 94 Supplement: S95-120.
Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariat Ditjen Bimas Islam
Kementerian Agama. 2007. Pedoman Pemberdayaan Majid (Melalui Aspek
Idarah, Imarah, dan Ri’ayah).
Fukuyama F., 1995. The Social Virtues and The Creation of Prosperity.
Newyork: Free Press.
Halpen, David. 2005. Social Capital. Cambridge: Polity.
Putnam, R.D., 1993. Marking Democracy Work: Civil Tradition In Modern Italy.
Princeton NJ: Princeton University Press.
Rais, Rahmat. 2009. Modal Sosial Sebagai Strategi Pengembangan Madrasah.
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.

22 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


MODEL PEMBERDAYAAN MASJID DI
KOTA SURABAYA:
Memaksimalkan Trust, Norms dan Networking

Oleh:
Habibi Zaman Riawan Ahmad dan H. Fatchan Kamal

Gambaran Umum Wilayah Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Kota Surabaya, Jawa Timur. Kota
dengan jumlah penduduk pada 2011 sebesar 3.024.321 jiwa dengan
perincian 1.517.341 jiwa berjenis kelamin laki-laki, dan 1.506.960 jiwa
berjenis kelamin perempuan. Pada 2012 jumlah penduduk kota surabaya
sebesar 3.125.576 jiwa dengan perincian 1.566.072 jiwa berjenis kelamin
laki-laki, dan 1.559.504 jiwa berjenis kelamin perempuan.
Surabaya terletak di tepi pantai Utara Provinsi Jawa Timur.
Wilayahnya berbatasan dengan selat Madura di Utara dan Timur,
Kabupaten Sidoarjo di Selatan, serta Kabupaten Gresik di Barat. Surabaya
berada pada dataran rendah, ketinggian antara 3-6 m di atas permukaan
laut kecuali di bagian Selatan terdapat 2 bukit landai yaitu di daerah Lidah
dan Gayungan, dengan ketinggian antara 25-50 m di atas permukaan laut
dan di bagian barat sedikit bergelombang. Surabaya memiliki muara Kali
Mas, satu dari dua pecahan Sungai Brantas.
Adapun komposisi suku di Kota Surabaya, didominasi oleh Suku
Jawa. Suku Jawa di Surabaya memiliki karakteristik yang unik dibanding
Suku Jawa di kawasan Mataraman, Suku Jawa di Surabaya berkarakter
sedikit lebih keras dan berbicara blak-blakan. Karakteristik daerah pantai,
dan perpaduan budaya Jawa, Madura, dan lainnya memberikan
karakteristik Suku Jawa di Surabaya. Meskipun Jawa adalah suku
mayoritas, tetapi Surabaya juga menjadi tempat tinggal berbagai suku
bangsa di Indonesia, termasuk Madura (7,5%), Tionghoa (7,25%), Arab
(2,04%), dan sisanya merupakan suku bangsa lain seperti Batak, Bali,

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 23


Minangkabau, Manado, Dayak, Toraja, Ambon, Aceh, warga negara asing,
dan lainnya.
Surabaya juga menjadi rumah dan pusat pendidikan, Surabaya
menjadi tempat tinggal mahasiswa dari berbagai daerah dari seluruh
Indonesia, bahkan di antara mereka juga membentuk wadah komunitas
tersendiri. Sebagai pusat komersial regional, banyak warga asing yang
tinggal di daerah Surabaya, terutama di daerah Surabaya Barat.
Menurut komposisi jumlah penduduk menurut agama yang
dipeluk, pada 2012, sesuai dengan data yang dimiliki Kementerian Agama
Kota Surabaya, pemeluk Islam berjumlah 2.578.576 jiwa, Katolik (122.787
jiwa), Kristen (1.722.000), Hindu (92.520), Buddha (54.083). Adapun
Konghucu data yang terverifikasi penulis dapat di tahun 2011 sebanyak
396, dan 955 menyatakan memiliki kepercayaan lain di luar enam agama
tersebut.10
Wilayah penelitian ini difokuskan pada daerah masjid dan
sekitarnya, di daerah Surabaya. Menurut penelitian awal yang penulis
lakukan, terdapat empat masjid yang potensial untuk dilakukan penelitian
mengenai model-model pemberdayaan masjid. Pemberdayaan masjid ini
dipahami sebagai sebuah kemampuan dari insitusi masjid baik internal
maupun eksternal. Kemampuan dalam melakukan pemberdayaan di
dalam dan keluar ini pada akhirnya dapat dijadikan model bagi masjid
lainnya. Keempat masjid tersebut di antaranya (1) Masjid Al Falah yang
berada di Jl. Raya Darmo 137 A Surabaya, (2) Masjid Al-Akbar di Jl. Masjid
Al-Akbar Timur No. 1 Pagesangan Surabaya, (3) Masjid Sunan Ampel di Jl.
KH Mas Mansyur Kelurahan Ampel, Semampir, Surabaya, dan (4) Masjid
Rahmat Kembang Kuning, yang berada di Jl. Kembang Kuning No 79-81
Surabaya.
Secara administrasi, letak Al Falah di Jl. Raya Darmo di bawah
kecamatan Wonokromo. Demikian halnya dengan Masjid Rahmat
Kembang Kuning, juga di kelurahan, dan kecamatan yang sama, yaitu
Kelurahan Darmo, Kecamatan Wonokromo Surabaya Selatan. Masjid
Nasional Al-Akbar, yang berada di Pagesangan secara adminitratif berada

10 Lihat rilis BPS di http://surabayakota.bps.go.id/index.php?hal=publikasi_


detil&id=1

24 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


di Kecamatan Jambangan yang masih masuk kawasan Surabaya Selatan.
Adapun Masjid Agung Sunan Ampel berada di daerah Semampir,
Surabaya Utara.
Namun, mengingat keterbatasan ruang penelitian, penulis
mencoba mentelaah masjid yang secara potensi memiliki peranan sosial
keagamaan yang kuat, terutama sekali dalam sisi kekuatan modal sosial,
dan manajemen. Kemampuan modal sosial dan manajerial yang dilakukan
oleh masjid tersebut melahirkan pemberdayaan dalam beberapa aspek,
baik dalam aspek keagamaan, pendidikan, maupun sosial. Peneliti
mengambil dua dari empat masjid tersebut untuk diperdalam, yaitu
Masjid Al Falah Surabaya, dan Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya.

A. Masjid Al Falah Surabaya


1. Profil, dan Program Masjid Al Falah

Masjid ini berdiri pada 27 September 1976 atau bertepatan


pada awal bulan Ramadhan 1393 H. Masjid ini berada di kawasan
Darmo, Jl. Raya Darmo 137 A Surabaya. Berdirinya masjid ini
tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Yayasan Pendidikan
Tinggi Dakwah Islam (PTDI) Jawa Timur karena keduanya
memiliki akar sejarah yang sama dalam peningkatan mutu iman
dan ketakwaan umat Islam di Surabaya pasca pemberontakan G30
S PKI. Atas peranan pengurus PTDI Jawa Timur, dilakukan usaha
meminta izin Bapak Walikota dan pada akhirnya terbit surat ijin
penggunaan tanah tertanggal 9 mei 1969 Nomor 78/04/88 yang
berada di Jl. Raya Darmo sebelah selatan, yaitu Taman
Mayangkara, yang saat ini lebih dikenal dengan Jl. Raya Darmo
137 A Surabaya.
Persiapan pembangunan yang dilakukan oleh PTDI ialah
dengan membentuk Yayasan Al-Chairat sebagai wahana
pengumpulan dana persiapan pembangunan masjid, Yayasan Al-
Chairat di pimpin oleh Awis Tamin. Dari pengumpulan dana
tersebut terhimpun dana sebesar Rp. 13.000.000 sebagai kelanjutan
pembangunan dibentuklah Panitia Pembangunan Masjid Al Falah
pada 1 Juli 1970, di pimpin oleh H. A. Rusydi Rachbini. Pada

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 25


tanggal 25 September terdapat perubahan formasi kepanitiaan
dikarenakan ketua panitia, H. A. Rusydi Rachbini mengundurkan
diri karena sakit. Posisi ketua pembangunan Masjid Al Falah
kemudian beralih ke H. Abdul Karim.
Untuk memperoleh pendanaan, panitia melakukan
berbagai usaha, di antaranya mencetak kupon infaq yang terdiri
dari berbagai nilai nominal, dan usaha ini mendapatkan izin dari
Walikota Surabaya tertanggal 6 Oktober 1977 No. 3266. Dana yang
sangat signifikan diperoleh Panitia Pembangunan Masjid Al Falah
atas inisiasi Ketua PTDI, Laksamana Madya Syamsul Bachri yang
melakukan pendekatan personal kepada Bapak Ibnu Sutowo,
Direktur Utama Pertamina saat itu. Dari Bapak Sutowo diperoleh
dana Rp. 50.000.000. Selain dari Dirut Pertamina, Panitia
Pembangunan Masjid Al Falah juga memperoleh bantuan dari
Gubernur Jawa Timur sebanyak tiga kali masing-masing Rp.
500.000 atau sebanyak Rp. 1.500.000 dan dari walikota madya
sebesar Rp. 2.000.000. Setelah lebih dari tujuh tahun, sejak
didapatkan ijin dari walikota tahun 1969, pembangunan masjid
pada akhirnya dapat diselesaikan dengan dana tidak lebih dari
Rp. 100.000.000.
Setelah masjid berfungsi, dibentuklah Yayasan Masjid Al
Falah yang didirikan berdasarkan akta tertanggal 17 Maret 1976
Nomor 47, yang dibuat oleh notaris Anwar Mahayudin.
Berdasarkan Surat Keputusan Yayasan Pendidikan Tinggi
Dakwah Islam Perwakilan Jawa Timur tertanggal 26 rabi’ul akhir
1396 H atau 27 April 1976 M Nomor 04/KPTS/YPTDI/PW/1976,
maka tugas kepengurusan Masjid Al Falah beralih kepada
Pengurus Yayasan Masjid Al Falah. Saat ini Ketua Pengurus
Yayasan Masjid Al Falah dipimpin oleh Bapak Sigit.
Adapun program yang dijalankan Masjid Al Falah, dibagi
menjadi dua aspek, yaitu aspek hissiyah (bangunan), dan aspek
ijtima’iyah (segala kegiatan). Untuk aspek hissiyah
bertanggungjawab terhadap perencanaan pembangunan masjid.
Saat ini Masjid Al Falah belum mengalami renovasi besar sejak
diresmikan.

26 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Adapun kegiatan dalam aspek hissiyah ini masih seputar
perawatan dan pemeliharaan. Kegiatan ini tidak kalah penting
dari fungsi pembangunan yang besar, mengingat semua fasilitas
yang ada harus diptimalkan fungsinya dalam melayani jamaah.
Beberapa hal yang dilakukan aspek hissiyah di antaranya:
a. memelihara kebersihan dan kenyamanan masjid
b. memasang tandon air yang dilengkapi fengan filter, dan
ketersediaan air cukup
c. menambah jumlah kran air di tempat wudhu
d. mengganti karpet di ruang utama, dan ruang shalat muslimah
e. renovasi total instalasi listrik
f. memelihara suasana agar ibadah dapat dilaksanakan dengan
khusu’
g. mengatur dan menertibkan pedagang kaki lima
h. memperbaiki dan meninggikan pagar keliling masjid, serta
menambah tenaga keamanan untuk mencuiptakan rasa aman
i. mengupayakan fasilitas yang dipandang penting dan
mendesak bagi para jamaah
j. selalu memberikan pengarahan dan menekankan kepada staff
dan kepala-kepala bagian agar dapat terus meninggatkan
pelayanan kepada para jamaah, sesuai dengan fungsi dan
tanggungjawab masing-masing.
Adapun dalam bidang ijtimaiyyah, dibagi atas lembaga,
dan bagian-bagian. Kesemua lembaga, dan bagian-bagian tersebut
bernaung di bawah Yayasan Masjid Al Falah, yaitu:

a. Bagian Pendidikan Al Falah


b. Lembaga Kursus Al-Qur’an Al Falah
c. Biro Konsultasi, dan Konseling Keluarga Sakinah Al Falah
d. Bagian Zakat, Infaq, dan Shodaqoh
e. Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah
f. Bagian Muhtadin Masjid Al Falah

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 27


g. Bagian Muslimah Al Falah
h. Bagian pelayanan Kesehatan Al Falah
i. Bagian Dakwah Masjid Al Falah
j. Bagian Penerangan dan Dokumentasi
k. Bagian remaja Masjid Al Falah
l. Bagian Keamanan, dan Ketertiban
m. Bagian Perpustakaan
n. Bagian Pemeliharaan Gedung, dan Taman
o. Bagian Kebersihan11
2. Pengelolaan Aset Masjid Al Falah
Berbicara mengenai aset yang dimiliki oleh Yayasan
Masjid Al Falah dapat dibagi menjadi tiga, yaitu aset fisik, dan
finansial (dana), aset manusia (human capital), dan aset non fisik
(immaterial). Aset fisik Yayasan Masjid Al Falah, dalam
pandangan peneliti dipahami pada setiap aset non-manusia yang
dibuat oleh manusia dan kemudian digunakan dalam
pembangunan dan pengembangan masjid. Dalam hal ini dapat
dijelaskan beberapa hal:
a. bangunan Masjid Al Falah yang terletak di zona strategis,
berada di jantung Kota Surabaya
b. aset fisik yang berkaitan dengan bangunan, dan sarana
prasarana
c. aset bangunan fisik penunjang eksistensi masjid di
masyarakat, seperti gedung lembaga pendidikan formal yang
di bawah naungan Yayasan Masjid Al Falah Surabaya.
Adapun aset finansial dipahami sebagai kekayaan yang
dimiliki Yayasan Masjid Al falah dalam sektor kuangan.
d. aset manusia, atau yang umum dipahami sebagai modal
manusia (human capital) dipahami sebagai potensi
sumberdaya manusia yang dimilikinya.

11 Dari sekian lembaga tersebut, terdapat lembaga yang otonom, yaitu


Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umroh (KBIH) Al Falah, dan Markaz Dakwah

28 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Adapun aset non fisik dipahami sebagai aset potensial
yang dimiliki oleh Masjid Al Falah yang memberi arti penting
eksistensi masjid, dan pengembangannya. Aset non fisik tersebut
dapat berupa modal sosial yang terdiri dari empat unsur, yaitu
trust (kepercayaan), penguatan norma (norms) networking
(jejaring), dan resiprositas.
3. Aset Fisik dan Finansial Masjid Al Falah

Letak Masjid Al Falah yang berada di kawasan Darmo


Surabaya, dan berada di pusat sirkulasi atau arus kegiatan
masyarakat Kota Surabaya, menjadikan masjid selalu menjadi
pilihan persinggahan, baik itu untuk sekadar menjalankan ibadah
sholat, maupun untuk bertemu dengan teman dan kerabat. Hal ini
seperti disampaikan Mulyono (60 tahun), dari kawasan Rungkut
Surabaya, dan mengaku berprofesi sebagai Pensiunan Dinas Pasar
di Kota Surabaya menjelaskan bahwa Masjid Al Falah memiliki
keunggulan letak yang strategis. Mulyono mengaku sering
mengikuti sholat Jum’at selain karena isi khutbah Jum’atnya
menarik, Mulyono mengaku juga kerap menjumpai teman
lamanya di masjid tersebut.12

Demikian halnya dengan Sugiono (54 tahun), asal Candi


Kota Sidoarjo juga menjelaskan hal yang sama mana kala peneliti
bertanya mengenai alasan mengikuti sholat Jum’at di masjid
tersebut. Sugiono berkata bahwa dirinya merupakan jamaah tidak
tetap Al Falah yang mana tidak aktif mengikuti kegiatan
keagamaan di Al Falah. Namun Sugiono menjelaskan bahwa
dirinya sholat Jum’at di Al Falah karena tempatnya yang
strategis.13

Dalam sisi potensi aset fisik berupa bangunan, dan sarana


prasarana. Masjid Al Falah Surabaya, dalam desain bangunan

12 Wawancara dengan Mulyono (60 tahun), jamaah tidak tetap Masjid Al Falah,

asal Rungkut Kota Surabaya, pada tanggal 30 Mei 2014 Pukul 10.30 WIB.
13 Wawancara dengan Sugiono (54 tahun), jamaah tidak tetap Masjid Al Falah,

berasal dari candi Sidoarjo, pukul 11.00 WIB.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 29


yang tergolong sudah lama, karena diresmikan pada 1976
tersebut, dan sampai saat ini belum melakukan perombakan
(renovasi) besar pada struktur bangunan masjid. Meskipun
termasuk bangunan lama, perawatan dan perbaikan oleh
pengurus masjid dalam menjaga aset masjid selalu mereka
perhatikan. Bangunan Masjid Al Falah terdiri dari ruangan-
ruangan, dan di belakang masjid masih terdapat sisa tanah yang
dimanfaatkan untuk taman.

Adapun rincian masing-masing ruangan, yaitu ruang


utama termasuk serambi samping Utara, dan Selatan seluas 1.264
m2, aula atau ruangan pengajian seluas 56 m2, sekretariat, termasuk
di dalamnya tempat rapat, dan tempat pengurus masjid memiliki
luas area 40 m2, ruang perpustakaan seluas 56 m2, musholla wanita
memiliki luas area 80 m2, balkon anjung memiliki luas area 28 m2,
serambi depan memiliki luas 21 m2, halaman samping Utara,
Selatan, dan Timur yang telah diberi atap seluas 365 m2, ruang
wudhu, termasuk di dalamnya tiga kamar mandi, 3 buah WC, dan
terdapat 75 Kran wudhu, dan luas taman di sebelah barat
(belakang) bangunan masjid seluas 965 m2.

Masjid Al Falah memiliki fasilitas parkir sepeda motor


yang sederhana, tetapi fungsional, dan dengan pengamanan
keamanan yang baik. Adapun parkir mobil dilakukan di badan
jalan di sekitar Masjid Al Falah. Suasana parkir hampir setiap hari
selalu ramai, dan memiliki beban yang sebenarnya dirasakan
kurang mampu menampung kendaraan. Untuk mobil ambulance,
Masjid Al Falah pernah mengoperasionalkan, namun dengan
masa penyusutan mobil Ambulan tersebut, dan rumitnya
pengelolaannya, saat ini Masjid Al Falah tidak lagi
mengembangkan pelayanan tersebut.

Masjid Al Falah juga memiliki fasilitas klinik yang


melayani masyarakat dalam bidang kesehatan untuk dokter
umum, spesialis dan pelayanan dokter gigi. Pelayanan ini sangat
terjangkau bagi masyarakat luas karena hanya membayar uang

30 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


sebesar Rp. 10.000 kegiatan pelayanan kesehatan ini didukung dan
dibiayai langsung oleh Masjid Al Falah. Dokter yang menangani
pengobatan di klinik Masjid Al Falah ini mewakafkan dirinya
sepenuh hati, secara sukarela untuk memberikan tenaganya dalam
rangka membantu masyarakat luas dalam bidang kesehatan.
Mereka tidak mengambil keuntungan, dan tidak dibayar.

Masjid Al Falah juga memiliki fasilitas koperasi yang


fungsinya menyediakan peralatan yang terkait dengan kajian-
kajian yang dilakukan oleh Yayasan Masjid Al Falah, seperti Al-
Qur’an, buku-buku, dan perlengkapan penunjang lainnya.
Koperasi masjid Al Falah ini hanya bergerak dalam bidang jual
beli, semacam mini market yang menyatu dengan gedung masjid.
Koperasi masjid ini sebenarnya juga dapat dikembangkan secara
lebih luas apabila dikelola dan menjadi prioritas Al Falah
mengingat berbagai sarana penunjang baik dalam bentuk
sumberdaya manusia dan pendanaan dirasa dapat dipenuhi oleh
Yayasan Masjid Al Falah.

Adapun fasilitas fisik sebagai penunjang keberadaan


Masjid Al Falah di masyarakat adalah hadirnya gedung sekolah
untuk sekolah dasar dari mulai Taman Kanak-Kanak Al Falah,
Sekolah Dasar AL Falah, dan SLTP Al Falah. Kesemuanya tersebut
adalah aset Yayasan Masjid Al Falah.14

14 Taman Kanak-kanak Al Falah berdiri pada 3 Desember 1979 dengan kepala

sekolah pertama, Ustadzah Kusminah (1979-1993); Sekolah Dasar Al Falah berdiri pada
tahun 1985 dengan murid pertamanya sebanyak 12 siswa, dengan tenaga pengajar dua
guru; SLTP Al Falah berdiri pada 1991.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 31


Gambar 1:
Aset Fisik Masjid Al Falah Berupa Gedung Sekolah Dasar Al Falah
Sumber: foto peneliti, 2014

Adapun aset finansial Masjid Al Falah Surabaya, menurut


rilis laporan tahunan Yayasan Masjid Al Falah, posisi keuangan
Yayasan Masjid Al Falah per 31 Desember 2013 dan 2012 ditutup
dengan jumlah aset serta kewajiban dan aset bersih masing-
masing sebesar Rp 31.903.186.844,86 dan Rp 26.802.519.825,33.
Laporan aktivitas yang berakhir pada 31 Desember 2012 dan 2011
ditutup dengan jumlah aset bersih masing-masing sebesar Rp
25.662.439.853,06 dan Rp 21.161.115.382,20 serta penambahan aset
bersih akhir tahun masing-masing sebesar Rp 4.501.324.470,86 dan
Rp 3.636.113.384,56. Laporan arus kas per 31 Desember 2013 dan
2012 ditutup dengan kenaikan bersih kas dan setara kas masing-
masing sebesar Rp 5.423.265.155,12 dan Rp 287.599.195,80, serta
kas dan setara kas akhir periode masing-masing sebesar Rp
16.950.182.131,07 dan Rp 11.526.916.975,95.
Adapun Penerimaan atau pemasukan Yayasan Masjid Al
Falah sepanjang tahun 2013 di antaranya diperoleh dari:

32 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Tabel 1. Pemasukan Yayasan Masjid Al Falah

No Penerimaan Besaran
1 Penerimaan kas dari infaq 2.256.056.700,00
2 Penerimaan kas dari zakat 788.167.000,00
3 Penerimaan kas dari lembaga kursus 2.565.095.140,00
4 Penerimaan kas dari poliklinik 130.665.950,00
5 Penerimaan kas dari pernikahan 21.800.000,00
6 Penerimaan kas dari muslimah 14.706.500,00
7 Penerimaan kas dari YDSF 694.220.545,46
8 Penerimaan kas dari Wakaf Tunai 731.000.000,00
9 Penerimaan kas dari siswa 16.163.289.300,00
10 Penerimaan kas dari bantuan pemerintah 844.040.000,00
11 Penerimaan kas dari pendaftaran siswa 120.500.000,00
baru
12 Penerimaan kas dari bagi hasil dan jasa 433.506.292,87
giro
13 Penerimaan kewajiban jangka pendek 47.570.000,00
lainnya
14 Pelunasan Pinjaman Karyawan dan Pihak 228.177.454,00
Ketiga
15 Penerimaan kas dari pendapatan lain-lain 16.275.723,28
Jumlah 25.055.070.605,61

Aset fisik dan finansial yang dimiliki Yayasan Masjid Al


Falah Surabaya tersebut di atas memungkinkan sebuah
kemampuan pemberdayaan kepada masyarakat sekitar,
mengingat keberadaan masjid dan sarana penunjang dalam
melayani masyarakat dalam banyak bidang dapat dipenuhi oleh
masjid tersebut.

4. Kondisi Sumberdaya Manusia dan Jama’ah Masjid Al Falah

Sesuai dengan tujuan Yayasan Masjid Al Falah, yaitu


memakmurkan masjid dengan mengamalkan fungsi, dan risalah

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 33


(misi) masjid serta dakwah islamiyah pada umumnya dengan
berpedoman kepada Al-Qur’an dan As Sunnah, Yayasan Masjid
Al Falah memerlukan jajaran yang memahami benar tujuan
daripada pendirian Masjid Al Falah.
Untuk itu, sesuai dengan Surat Keputusan Ketua Pembina
Yayasan Masjid Al Falah Surabaya Nomor 003/03-1/2014 tanggal
29 Januari 2014 tentang Susunan Personalia Pengawas dan
Pengurus Yayasan Masjid Al Falah Surabaya, susunan Pengawas
dan Pengurus Yayasan periode 2014-2019 terdiri dari dua jajaran,
yaitu jajaran pengawas, dan jajaran pengurus. Susunan jajaran
pengawas dipimpin oleh Drs. H. Muhammad Taufiq AB, dengan
empat anggota, yaitu Prof. DR. H. Tjiptohadi Sawarjuwono, M.Ec,
Ak; Ahmad Wachid, S.Sos, MBA, MM; Drs. H. Sugeng Praptoyo,
MM, MH, Ak, dan Dra. Hj. Nur Syamsi Hisyam, MM. Adapun
susunan pengurus terdiri atas:
a. H. Sigit Prasetyo sebagai Ketua Umum
b. Ir. H. Abdul Kadir Baradja sebagai Ketua Bidang Pendidikan
c. Drs. H. Sri Siswanto, sebagai Sekretaris Umum
d. H. Aun bin Abdullah Baroh sebagai Bendahara Umum.
Jumlah pegawai Yayasan Masjid Al Falah Surabaya
(karyawan tetap dan tidak tetap) sampai dengan 31 Desember
2013 sebanyak 256 pegawai yang terdiri dari lembaga kursus Al-
Qur’an (LK) sebanyak 46 pegawai, masjid sebanyak 35 pegawai,
dan Lembaga Pendidikan (LPF) sebanyak 175 pegawai. Dari
sejumlah 256 pegawai tetap Yayasan Masjid Al Falah berjumlah
169 pegawai.
Dalam pengamatan peneliti, kegiatan kepengurusan
Yayasan Masjid Al Falah tergantung kepada unit-unit bidang yang
dijalankan, untuk kegiatan kependidikan, praktis kegiatan
kepengurusan berada di sekolah masing-masing, namun untuk
kegiatan yang berada di Masjid Al Falah, kegiatan berpusat di
masjid tersebut, dengan kantor dan sekretariat yang menyatu di
dalamnya. Kantor tersebut buka setiap hari, selain hari ahad,
dengan jam kantor dari pukul 07.00 WIB sampai pukul 16.00 WIB.

34 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Kegiatan kursus Al-Qur’an, dan kajian yang dilakukan oleh
masjid tersebut memiliki jadwal tersendiri yang dapat
berlangsung dari pukul 05.30 dini hari sampai pukul 22.00 WIB.
Terkait jamaah yang mengikuti kegiatan di Masjid Al
Falah, dapat dikategorikan kepada beberapa kelompok, di
antaranya adalah jamaah sholat lima waktu, jamaah sholat Jum’at,
dan jamaah yang mengikuti kegiatan kajian di Masjid Al Falah.
Jamaah sholat lima waktu terdiri atas jamaah tetap dan tidak
tetap, demikian halnya dengan jamaah sholat Jum’at. Dalam
pengamatan peneliti, jumlah jamaah lima waktu pada sholat
shubuh kira-kira mencapai jumlah antara 150-250 jamaah, sholat
dhuhur mencapai 350-500 jamaah, sholat maghrib mencapai 350-
400 jamaah, dan untuk sholat isya mencapai kisaran 350-400
jamaah. Jumlah tersebut tidak selalu demikian, mengingat
kebanyakan dari jamaah adalah pengguna jalan raya yang
singgah, dan mengikuti sholat di Masjid Al Falah.15 Untuk sholat
Jum’at, jumlah jamaah yang mengikuti kegiatan tersebut dapat
mencapai angka 4000 jamaah, dengan daya tampung maksimal
dikisaran 6000 jamaah.

Profesi jamaah Masjid Al Falah sangat beragam. Namun


kebanyakan jamaah berada di usia 18 tahun ke atas. Hal ini
dipahami mengingat posisi yang dekat dengan jalan raya, banyak
jamaah merupakan pekerja atau karyawan di sekitar Surabaya.

5. Aset Modal Sosial Masjid Al Falah

Modal sosial dipahami oleh Field dan ilmuwan modal


sosial lainnya, seperti Hasbullah sebagai sebuah kekuatan atau
asset yang bermuara pada terjaganya hubungan baik antar
sesama, yang melahirkan mereka perasaan saling percaya dan

15 Pengamatan peneliti lakukan pada tanggal 07-12 Mei 2014, dan 22-31 Mei

2014. Untuk jamaah yang mengikuti pengajian setelah Maghrib, rata-rata peserta yang
mengikuti antara 80-100 peserta kajian.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 35


melakukan kerjasama. Dorongan kerjasama atau partisipasi aktif
yang lahir atas dasar saling percaya tersebut juga biasanya muncul
karena persamaan pemahaman, dalam artian kesamaan nilai yang
mereka anut dengan kelompok atau anggota dalam jejaring yang
ada.16

Pendapat Field dan Hasbullah tersebut menjelaskan


bahwa setidaknya modal sosial memiliki beberapa unsur di
antaranya trust, norma, resiprositas, dan networking. Untuk
melihat sejauh mana Yayasan Masjid Al Falah memiliki modal
sosial, dapat dilihat dari sejauh mana kepercayaan masyarakat
terhadap program-program yang dijalankan, sejauhmana
masyarakat berperan aktif dalam mengikuti program, dan
menciptakan kemakmuran masjid. Selain itu sisi kekuatan modal
sosial dapat dilihat dari kemampuan Yayasan Masjid Al Falah
menginternalisasi niai-nilai, dalam hal ini nilai keagamaan yang
dianut yaitu Islam. Selain itu dapat pula dilihat kemampuan
Yayasan Masjid Al Falah menciptakan jejaring.

Trust di Masjid Al Falah

Menurut pemantauan peneliti terdapat potensi yang


dimiliki oleh Al Falah, potensi terbesarnya adalah trust
(kepercayaan). Kepercayaan yang melekat pada Masjid Al Falah
tersebut bukan karena hadir dengan sendirinya, melainkan karena
kontribusi sosial keagamaan Masjid Al Falah yang memiliki rekam
perjalanan panjang dan istiqomah menjalankan misi dan visi
daripada pelayanan sosial keagamaan sesuai dengan petunjuk Al-
Qur’an dan Sunnah.

16 Lihat John Field, Social Capital (London: Roudlege, 2003); Jousairi Hasbullah,

Social Capital, Menuju keunggulan Budaya Manusia Indonesia (Jakarta: MR United Press
Jakarta).

36 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Potensi trust ini sedikit banyak berpengaruh pada jamaah
yang mengikuti kegiatan di Masjid Al Falah. Pada kegiatan
kursus, satu angkatan Al Falah, yang dibina selama tiga bulan
oleh tim pengajar Al Falah dapat mencapai 3000 jamaah. Besarnya
angkatan yang mengikuti kegiatan kursus ini karena jamaah juga
sangat bangga apabila dapat bergabung dan menjadi bagian dari
Masjid Al Falah. Kebanggaan menjadi jamaah, dan labelisasi
bahwa Masjid Al Falah memiliki karakteristik yang unggul
menjadikan masyarakat sekitar antusias atas program yang
dijalankan Masjid Al falah, dan ada internalisasi nilai bangga akan
keberadaan Masjid Al Falah. Posisi yang strategis, di kawasan elit
di perumahan Darmo menjadi nilai lebih Masjid Al Falah ini.

Pada 1399 H atau bertepatan dengan 1978 M berdirilah


Remaja Masjid Al Falah. Berawal dari kegiatan Remaja Masjid Al
Falah, Seksi Dakwah berinisiatif menghimpun jama'ah untuk
mengaji Al-Qur’an (kursus), santri yang mengikuti program
tersebut awalnya berkisar antara 75-125 orang, dengan tidak
dipungut biaya sedikitpun, prinsipnya asal mau belajar membaca
Al-Qur’an. Namun, para santri justru merasa kurang bersemangat,
dan banyak yang putus di tengah jalan, karena mereka tidak ada
ikatan dengan biaya yang dikeluarkan, di samping juga karena
kurang seriusnya pengelolaan. Pada 1402 H/1981 M timbulah
gagasan kursus Al-Qur’an dengan infaq dengan pengelolaan
serius, fokus, dan dikelola secara profesional.

Dari pengelolaan ini pada akhirnya berkembang pesat


dari yang tadinya 125 santri menjadi 500 bahkan berkembang
sampai 1500 santri. Opini dan asumsi yang umum berkembang di
masyarakat Surabaya, "jika kursus bayar, maka pengelolaannya
tentu serius bahkan profesional", inilah yang mengilhami
banyaknya peminat untuk belajar membaca Al-Qur’an (lihat Tabel
2)

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 37


Tabel 2. Perkembangan Peserta Kursus Al-Qur’an Periode
Desember 2001-April 2012

NO PERIODE JUMLAH KETERANGAN


SANTRI
1 61 2275 Laki-laki 656, Perempuan 1619
2 62 2530 Laki-laki 732, Perempuan 1798
3 63 2670 Laki-laki 758, Perempuan 1912
4 64 2550 Laki-laki 706, Perempuan 1844
5 65 2700 Laki-laki 747, Perempuan 1953
6 66 2771 Laki-laki 770, Perempuan 2001
7 67 2702 Laki-laki 746, Perempuan 1956
8 68 2782 Laki-laki 749, Perempuan 2033
9 69 2850 Laki-laki 767, Perempuan 2083
10 70 2723 Laki-laki 719, Perempuan 2004
11 71 2970 Laki-laki 768, Perempuan 2202
12 72 3013 Laki-laki 791, Perempuan 2222
13 73 2850 Laki-laki 741, Perempuan 2109
14 74 2945 Laki-laki 784, Perempuan 2109
15 75 2789 Laki-laki 758, Perempuan 2031
16 76 2706 Laki-laki 735, Perempuan 1971
17 77 2761 Laki-laki 783, Perempuan 1978
18 78 2520 Laki-laki 747, Perempuan 1773
19 79 2594 Laki-laki 755 , Perempuan 1839
20 80 2788 Laki-laki 790, Perempuan 1989
21 81 2670 Laki-laki 732, Perempuan 1918
22 82 2673 Laki-laki 754, Perempuan 1919
23 83 2753 Laki-laki 734, Perempuan 2019
24 84 2726 Laki-laki 791, Perempuan 1935
25 85 2844 Laki-laki 727, Perempuan 2117
26 86 2950 Laki-laki 760, Perempuan 2190
27 87 2865 Laki-laki 686, Perempuan 2179
28 88 3017 Laki-laki 722, Perempuan 2295
29 89 3089 Laki-laki 765, Perempuan 2324
30 90 3013 Laki-laki 761, Perempuan 2252
31 91 3040 Laki-laki 784, Perempuan 2252

38 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Trust yang dimiliki Al Falah juga dapat dilihat dari
pemasukan kotak amal pada setiap Jum’at berkisar antara 35-36
Juta. Angka yang cukup fantastis untuk masjid yang secara usia
bangunan sudah cukup tua. Para jamaah yang menginfakkan
sebagian harta mereka di Masjid Al Falah, selain karena kesadaran
keagamaan juga karena telah sedemikian dekat dengan Masjid Al
Falah.
Selain melihat trust dari sisi terbentuknya, perlu juga
melihat radius terbentuknya trust. Radius terbentuknya trust di
Masjid Al Falah ini dapat dilihat dari sejauhmana cakupan, dan
skala penerimaan Masjid Al Falah di masyarakat. Apabila radius
dan skala terbentuknya trust tersebut sempit, dapat berimplikasi
pada penerimaan masyarakat terhadap Masjid Al Falah yang
hanya pada tingkat dan komunitas masyarakat tertentu.
Sebaliknya, apabila radius trust tersebut luas, dan lebar dapat
dijelaskan bahwa banyak tipologi dan karakteristik masyarakat
yang menerimanya.
Untuk melihat sejauh mana penerimaan masyarakat
muslim atas Masjid Al Falah, peneliti menggali keterangan kepada
bebrapa jama’ah mengenai Masjid AL Falah. Bapak Pori (74 tahun)
menjelaskan bahwa Masjid Al Falah adalah masjid dari empat
masjid berpengaruh di Surabaya, yaitu Masjid Agung Sunan
Ampel, Masjid Al Falah, Masjid Nasional Al-Akbar, dan Masjid
Muhajirin. Menurut Pori, Masjid Al Falah telah berkontribusi luas
dalam mensikapi isu-isu global mengenai umat Islam, terutama
sekali mengenai isu-isu perdamaian. Setiap terdapat gejolak umat
Islam di belahan dunia, pihak Masjid Al Falah kerap menggalang
dana.17
Peneliti kemudian bertanya mengenai keberpihakan
Masjid Al Falah terhadap salah satu ormas keagamaan di
Indonesia, seperti halnya Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama.
Sepanjang pengunjung yang peneliti gali informasi, menjelaskan

17Wawancara dengan jamaah Masjid Al Falah, Bapak Pori (74 tahun), pada 30
Mei 2014 pukul 11.02 WIB.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 39


bahwa Masjid Al Falah berada dalam posisi netral, dan tidak
memihak organisasi keagamaan yang berkembang di Indonesia.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa radius
trust Masjid Al Falah memiliki ciri trust tinggi dengan skala lebar.
Suatu lembaga dapat dikatakan memiliki trust tinggi apabila
memiliki radius trust lebar, sementara lembaga yang tergolong
memiliki trust rendah adalah apabila lembaga tersebut memiliki
radius trust sempit. Lembaga yang memiliki radius trust lebar
cenderung bersikap akomodatif dan terbuka, tidak fanatik
terhadap bendera, dan golongan organisasi di masyarakat,
lembaga tersebut memiliki solidaritas tinggi, terkait Masjid Al
Falah, yaitu memiliki kepekaan yang tinggi terkait nasib dan isu-
isu yang mengemuka atas umat Islam, para anggotanya bekerja
sesuai garis aturan yang disepakati, dengan kebersamaan yang
tinggi.18
Sementara lembaga yang memiliki rentang radius trust
sempit adalah lembaga yang tertutup dalam perilaku kolektifnya,
tidak akomodatif dan memiliki kepercayaan rendah terhadap
kualitas dan hubungan yang sedang berjalan. Lembaga yang
memiliki radius trust lebar mampu mengoperasikan organisasinya
dengan fleksibilitas dan orientasi kemajuan lembaga berbasis
pendelegasian pada tingkat-tingkat organisasi yang lebih rendah.
Sebaliknya lembaga yang memiliki tingkat radius trust sempit
cenderung memiliki kehati-hatian tinggi dalam pendelegasian,
memilih tidak melangkah, mengisolasi dengan aturan-aturan yang
birokratis.

Jaringan (Networking) Yayasan Masjid Al Falah


Dalam pembahasan ini, peneliti akan mengungkap
kemampuan Yayasan Masjid Al Falah membangun jaringan baik

18 Lihat Michael Woolcock, “Social Capital and Economic Development: Toward a

Theoretical Synthesis and Policy Framework” Theory and Society, No. 27. Vol 2 (1998): 151-
208; Kurt Annen, “Social Capital, Inclusive Networks, and Economic Performance,” Journal of
Economic Behavior and Organization Vol. 50 (2003): 449–463.

40 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


di internal dalam kegiatan yang dilakukan oleh masjid, maupun
pembangunan jaringan yang bersifat eksternal. Kemampuan
membangun jaringan oleh pengurus Yayasan Masjid Al Falah
tersebut menjadikan masjid dapat melakukan banyak kegiatan
sosial keagamaan, baik yang berskala kecil, besar maupun
nasional.
Kemampuan internal pengurus Yayasan Masjid Al Falah
dalam mengelola kelompok-kelompok, seperti halnya kelompok
yang terhimpun dalam lembaga kursus Al-Qur’an al Falah,
muhtadin Masjid Al Falah, yang bergerak dalam membimbing
para muallaf, kelompok muslimah Al Falah, dan remaja masjid Al
Falah menjadikan proses memakmurkan masjid dan hubungan
timbal balik dari peserta kelompok kepada masjid juga sangat
kental, dijelaskan dalam penelitian ini bahwa salah satu donatur
terbesar Masjid Al Falah adalah peserta bimbingan muallaf yang
dulu sebenarnya ikrar di Masjid Al-Akbar Surabaya.19 Peranan
kelompok-kelompok tersebut sangat signifikan dalam eksistensi
Masjid Al Falah di masyarakat, bahkan kelompok-kelompok
tersebut memiliki laporan keuangan yang berjalan baik. Tercatat
dalam laporan keuangan tahunan pada akhir tahun 2013,
penerimaan keuangan lembaga kursus ini mencapai Rp.
2.104.212.001,67.
Kelompok dan komunitas-komunitas yang terbentuk di
Masjid Al Falah seperti halnya lembaga kursus tersebut dapat
pula berpotensi membentuk dan melebarkan jaringan Al Falah di
beberapa tempat, hal ini dapat dicapai mengingat terdapat
program kerja untuk melaksanakan bakti sosial setahun sekali di
beberapa wilayah dengan pendekatan-pendekatan pemberdayaan
masyarakat.
Selain memelihara simpul-simpul jaringan internal,
Yayasan Masjid Al Falah juga menjalin kerjasama dengan pihak
eksternal, seperti YDSF (Yayasan Dana Sosial Al Falah), dan Yatim

19 Penjelasan ini disampaikan perwakilan Masjid Al Falah, Bapak Ali


Muktamar pada FGD antara Tim peneliti dengan Pengurus Masjid Al Falah dan Al-
Akbar di Masjid Al-Akbar pada 28 Mei 2014.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 41


Mandiri. Embrio lahirnya kedua organisasi amal dan sosial yang
telah berskala nasional ini tidak terlepas dari peran dan
kaderiasasi Al Falah. Walaupun secara struktur organisasi, tidak
ditemukan simpul keterikatan, namun secara historis dan
kedekatan emosional kedua organisasi tersebut sangat kental. Baik
YSDF ataupun Yatim Mandiri, keduanya sama-sama memiliki
nilai kapitalisasi aset yang cukup besar. Apabila potensi jaringan
keduanya dapat terus bersinergi dengan Al Falah, maka sangat
mudah bagi Al Falah meluaskan pengaruhnya ke cakupan skala
yang lebih besar.20
Untuk melihat manfaat jaringan bagi Masjid Al Falah juga
dapat dilihat dari sejarah berdirinya masjid tersebut, di mana
banyak pihak yang memberikan sokongan dan bantuan, baik dari
kalangan pengusaha maupun pemerintah. Kemampuan menjalin
hubungan dengan banyak stakeholder tersebut membuat langkah-
langkah pembangunan Masjid Al Falah lebih mudah dijalankan.
Kemampuan mengelola jaringan juga bermanfaat pada kegiatan-
kegiatan yang dilaksanakan Masjid Al Falah, seperti halnya
pelaksanaan tabligh akbar yang menghadirkan penceramah-
penceramah berskala nasional dan tentunya memiliki
kesepahaman dengan visi misi yang dijalankan Al Falah.

Potensi jaringan yang memiliki cakupan luas, bahkan


dapat dinilai mengarah kepada tipologi bridging social capital, dan
linking social capital. Masjid Al Falah secara hierarki sosial juga
memiliki kedekatan dengan masyarakat dengan perasaan yang
sangat mengikat antara jamaah dan masjid (embededness). Pola ini
selain memiliki fungsi sebagai penguatan memakmurkan masjid,
juga berimplikasi pada pola hubungan timbal balik (resiprocity
norms).

20 Hasil wawancara peneliti dengan Prof. Dr. Roem Rowi, selaku dewan

pembina masjid Al Falah menyatakan bahwa YDSF, dan Yatim Mandiri memiliki
kedekatan historis dan emosional yang kuat, karena keduanya dilahirkan oleh aktifis-
aktifis dari Masjid Al Falah. Kedua badan amal tersebut memiliki pengaruh yang kuat di
masyarakat, karena aktif melakukan kegiatan-kegiatan sosial. Nilai kapitalisasi Yatim
Mandiri telah mencapai angak 90 Milyar.

42 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Penguatan Norma

Norma dalam pandangan Koentjaraningrat ialah nilai-


nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu
dari manusia dalam masyarakat. Norma juga berarti sekumpulan
aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota
masyarakat pada suatu entitas sosial atau kelompok tertentu.
Norma dapat berupa pemahaman-pemahaman, nilai-nilai,
harapan-harapan dan tujuan yang diyakini dan dijalankan
bersama oleh kelompok atau masyarakat. terdapat sedikit
perbedaan mengenai norma, dan nilai.

Nilai merupakan pandangan tentang baik-buruknya


sesuatu, sedangkan norma merupakan ukuran yang digunakan
oleh masyarakat apakah tindakan yang dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang merupakan tindakan yang wajar dan
dapat diterima karena sesuai dengan harapan sebagian besar
warga masyarakat ataukah tindakan tersebut menyimpang karena
tidak sesuai dengan harapan sebagian besar masyarakat. Norma
dibangun di atas nilai, dan norma diciptakan untuk menjaga dan
mempertahankan nilai. Pelanggaran terhadap norma akan
mendapatkan sanksi dari masyarakat.21

Norma dapat bersumber dari ajaran agama, panduan


moral, maupun standar-standar sekuler, seperti halnya kode etik.
Norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama
dimasa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerjasama di
masa mendatang. Norma-norma sosial berperan mengontrol
bentuk-bentuk perilaku dalam masyarakat. Dalam komunitas
Masjid Al Falah, yayasan beserta jajaran pengurus memahami
benar bahwa mereka harus tunduk dan patuh terhadap nilai-nilai
agama, terutama sekali Al-Qur’an dan Sunnah. Sebagaimana
tujuan didirikannya masjid adalah untuk menghidupkan syi’ar
dakwah sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah. Namun, untuk

21 Lihat Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta:


Gramedia, 1974:21)

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 43


mengetahui secara lebih dekat, pendekatan operasional yang
mereka jalankan atas penguatan norma keagamaan di lingkungan
Masjid Al Falah dapat dilihat dari beberapa metode yang
dilakukan.

Komunitas Al Falah melihat bahwa nilai-nilai Islam harus


dijalankan dengan sungguh-sungguh, dan istiqomah. Hal ini
seperti halnya menertibkan shaff dalam sholat. Konsepsi
menertibkan shaff sholat lima waktu yang senantiasa dijaga oleh
pengurus Masjid Al Falah menjadi poin penting kesungguhan
Masjid Al Falah dalam memperbaiki dan menjaga kekhusu’an
sholat. Bagi komunitas ini sholat merupakan tonggak utama
keberhasilan menciptakan suatu peradaban ynag lebih besar.

Peneliti melihat dengan jelas, security (bagian keamanan)


Masjid Al Falah setiap sholat lima waktu selalu mengawasi
barisan jamaah dari belakang, dan mengarahkan jamaah yang
datang terlambat mengisi shaff atau barisan yang semestinya
harus diisi. Kegiatan ini selalu mereka jalankan dengan istiqomah
sehingga membekas di hati masyarakat yang pernah mengikuti
sholat jamaah di Masjid Al Falah, bahwa Al Falah benar-benar
menertibkan shaff.22

Nilai keagamaan lainnya yang peneliti rasakan adalah


mereka menjaga amanah, dan memegang kejujuran serta tepat
janji. Poin dari pada penjelasan ini adalah sejauh konsistensi nilai-
nilai keagamaan dipegang dan dijalankan, dengan sendirinya
modal sosial memiliki ruang yang besar dan kuat dalam sebuah
komunitas masyarakat. kuatnya modal sosial dalam pelaksanaan
nilai-nilai keagamaan melahirkan prinsip-prinsip ta’awun (tolong
menolong), takaful (saling menanggung), dan tadhomun
(memiliki solidaritas).

22 Penjelasan mengenai menertibkan shaff ini peneliti peroleh dari keterangan

Bapak H. Muammak Hamidy, Lc salah satu ustadz senior yang dimiliki oleh Masjid Al
Falah.

44 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Resiprositas Komunitas Masjid Al Falah
Resiprositas atau saling tukar menukar kebaikan yang
didasarkan atas perasaan rasa saling percaya akan melahirkan
kerekatan dan keikutsertaan sosial. Hal ini akan mengurangi
resiko konflik antar individu dalam sebuah kelompok atau
komunitas. Dengan adanya kerekatan dan keikutsertaan sosial
maka akan membuka akses distribusi yang adil dan merata
terhadap hasil-hasil pembangunan, menghilangkan hambatan-
hambatan formal yang kerap kali menjadi penghalang seseorang
atau kelompok mengakses sebuah informasi, dan hasil
pembangunan.23

Diagram 1: Manfaat Resiprositas

(5)
Menghilangkan Hambatan
Formal dalam
Berpartisipasi
(4) (6) Kesediaan
Membuka Akses
Bekerjasama
Distribusi yang Adil &
Merata
Resiprositas
dilandasi Trust
(3) Mengurangi (1)
Resiko Konflik Kerekatan
(2)
Keikutsertaan
Sosial

Sumber: Habibi Zaman Riawan Ahmad (2012): Tantawi (t.t.):3937.

Untuk melihat sejauhmana resiprositas komunitas Masjid


Al Falah baik antarindividu dalam wadah kepengurusan di
yayasan masjid, ataupun antarkelompok bidang dan komunitas
masjid dengan masyarakat. Pembahasan ini memiliki

23 Untuk melihat peranan resiprositas baik juga meihat tulisan M. Mawardi J.,

“Peranan Social Capital Dalam Pemberdayaan Masyarakat Komunitas,” Jurnal Pengembangan


masyarakat Islam, Volume 3, No. 2 (2007): 7.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 45


kompleksitas tersendiri mengingat untuk menelaah satu persatu
dalam setiap kelompok dan individu yang berbeda memerlukan
pengamatan yang lebih mendalam. Namun secara garis besar
indikasi dari adanya resiprositas di komunitas Masjid Al Falah
dapat dilihat dari peran aktifnya masyarakat mengikuti kegiatan
di Masjid Al Falah dengan juga kontribusi yang mereka himpun
dalam bentuk infaq dan dana sosial. Imbal balik selanjutnya
adalah peran aktifnya pengurus dalam setiap kegiatan yang
mereka buat untuk dilaksanakan secara bersama-sama, dan
kemampuan pengurus masjid melayani para jamaah adalah tanda
dari adanya resiprositas yang cukup kental.
Sikap-sikap yang melahirkan resiprositas dapat karena
peran aktif kedua belah pihak menjalankan fungsi, dan kewajiban
mereka masing-masing. Selain itu dapat pula karena persamaan
tujuan yang ingin mereka capai, dan yang lebih penting adalah
kesadaran bahwa di antara mereka adalah bersaudara.
Persaudaraan (ukhuwwah) antara sesama melahirkan sikap saling
berbagi, menolong dalam kebaikan, dan saling mencegah dari
perbuatan tercela.24 Sikap, dan nilai-nilai sosial yang humanis
tersebut dapat memudahkan sebuah kemajuan ekonomi, dan
kehidupan sosial lainnya.
Dari ulasan mengenai aset modal sosial Masjid Al Falah
dari unsur trust, jaringan, norma, dan resiprositas tersebut
dipahami bahwa stok modal sosial yang dimiliki masjid tersebut
dalam kondisi yang baik, dan senantiasa harus dipelihara serta
dijaga dengan tetap mengedapankan misi dan visi tujuan
pendirian masjid, serta mengevaluasi setiap hal yang dapat
mengancam stok modal sosial baik dari internal maupun
eksternal. Kemampuan Masjid Al Falah dalam mengembangkan
modal sosial dipahami memberi manfaat seluas-luasnya bagi
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat luas.

24 Muhammad Sayyid Tantawi, “Al-Tafsir al- Wasith,”Mauqi‘ al-Tafasir, t.t,


3937.

46 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


6. Model Pemberdayaan Masjid Al Falah
Sesuai penjelasan mengenai aset yang dimiliki oleh
Yayasan Masjid Al Falah dapat diketahui bahwa pemberdayaan
yang dilakukan oleh masjid tersebut baik upayanya
mengembangkan masjid dalam sisi cakupan pelayanan, maupun
pemberdayaan dalam bentuk pelayanan sosial keagamaan kepada
masyarakat luas sangat kental kaitannya dengan unsur potensi
yang mereka miliki, yaitu adanya aset fisik, finansial, sumberdaya
manusia yang didalamnya terdapat manajemen, dan modal sosial.
Pembahasan ini, penulis menjelaskan mengenai mekanisme
pemberdayaan yang dilakukan oleh Masjid Al Falah baik dalam
bidang pelayanan keagamaan, maupun sosial sebagai bagian dari
adanya pemberdayaan kepada masyarakat luas. Tulisan ini
mengelaborasi tiga hal, yaitu jenis pelayanan atau pemberdayaan,
mekanisme bekerjanya manajemen dan modal sosial.
Menurut peneliti, pelayanan yang dilakukan Yayasan
Masjid Al Falah dapat dikelompokkan kepada empat bidang,
yaitu pendidikan, keagamaan, kesehatan, dan sosial. Pelayanan
bidang pendidikan formal tentunya mengacu kepada lembaga
pendidikan formal yang berada di bawah naungan Yayasan
Masjid Al Falah secara langsung. Semenntara pelayanan
keagamaan dapat berupa pelaksanaan sholat lima waktu,
pelaksanaan kajian agama dalam bentuk tausiah yang bersifat
harian maupun dalam momen tertentu, pembelajaran ilmu agama
dalam bentuk Lembaga Kursus Al-Qur’an, pelayanan atas zakat,
infak, dan shodaqoh, bimbingan haji, dan umrah, baiat masuk
Islam, pembinaan atas muallaf, dan konseling untuk mewujudkan
keluarga sakinah. Di bidang kesehatan dapat dilihat dari
disediakannya klinik, dan program-program kesehatan yang
dicanangkan Yayasan Al Falah kepada masyarakat setiap
melakukan wisata bakti. Adapun dibidang sosial dapat berupa
santunan kepada fakir miskin masyarakat sekitar dan masyarakat
lainnya, dan korban bencana ataupun konflik.
Empat bidang pelayanan tersebut terkadang dilakukan
oleh bidang-bidang dalam Yayasan Masjid Al Falah yang tidak
secara langsung tertuang dalam kewajiban pokoknya, seperti

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 47


halnya Wisata Bakti yang dilakukan oleh Lembaga Kursus Al-
Qur’an. Fenomena ini menarik mengingat Lembaga Kursus Al-
Qur’an dapat berbicara banyak tidak hanya berkutat pada
pembelajaran mengenai ajaran dan pengetahuaan keislaman,
melainkan menuangkan dan mempraktekkan secara langsung
nilai-nilai keislaman dalam bentuk yang aplikatif, berupa
kepedulian sosial.
Lembaga Kursus Al-Qur’an Al Falah yang berdiri pada
1978 adalah Lembaga Kursus Al-Qur’an tertua menurut versi Al
Falah, dan sampai saat ini eksis melayani santri yang jumlahnya
menurut data periode 98 (April-Agustus 2014) mencapai 836 santri
putra, dan 2411 santri putri. Jenis kursus Al-Qur’an di Al Falah ini
meliputi:
a. baca tulis Al-Qur’an dengan target santri mampu membaca
Al-Qur’an dengan tajwid dan menulis Arab
b. kemampuan tartil al-Qur’an dengan target kemampuan
membaca Al-Qur’an dengan tartil (indah serasi) dan
menguasai tajwid serta penerapannya
c. keterampilan seni baca al-Qur’an, yaitu dengan target santri
mampu menguasai irama dan lagu qiro’ah
d. kursus dalam bidang tafsir al-Qur’an, jenis ini santri
diharapkan dapat memahami arti kandungan Al-Qur’an
e. kursus tarjamah lafdhiyah al-Qur’an, jenis kursus iini
diharapkan santri bisa mengartikan kosa kata dan kalimat
dalam Al-Qur’an
f. kursus dengan tekanan kemampuan sholat dan pemahaman
hukum Islam (SHI), jenis ini santri diharap memahami aturan
dan tehnik ibadah keseharian
g. kursus dengan tekanan al-Hadist, jenis ini santri diharapkan
mampu memahami kandungan Hadist
h. kursus lebih spesifik mengenai bahasa Arab, jenis ini santri
diharapkan mampu berbicara dengan bahasa Arab dengan
baik

48 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


i. kursus dengan titik tekan dalam kajian da’wah, target jenis
ini, santri diharapkan mampu dan berani berpidato atau
khutbah
j. jenis hafalan al-Qur’an, target kursus ini ialah santri mampu
menghafal Juz 30 dengan benar
k. kursus dengan titik tekan mengenai aqidah akhlak, target
kursus jenis ini diharapkan agar santri memiliki akidah yang
kuat dan akhlak yang mulia.
Sebagai tanggung jawab akan pelayanan bidang Kursus
Al-Qur’an tersebut Yayasan Masjid Al Falah melakukan seleksi
yang ketat kepad para pengurus yang akan mengelolanya. Seleksi
untuk memilih Ketua Kursus Al Qur’an Masjid Al Falah
dilakukan dengan melibatkan instansi TNI Angkatan Laut, yaitu
tes psikologi di Dinas Psikologi Angkatan laut di Darmokali
Surabaya. Ketatnya seleksi tersebut dipahami karena Yayasan
Masjid Al Falah sedang mencari sosok sumberdaya manusia yang
memiliki keahlian manajerial, bukan sekadar karyawan.25
Dalam pencapaian dan prestasi yang dilakukan, Lembaga
Kursus Al-Qur’an juga menjalin kerjasama dengan berbagai
perusahaan ternama di Jawa Timur, pada 2009 TVRI Surabaya
tertarik untuk menggandeng lembaga kursus dalam sebuah
program tayangannya, yaitu BBQ (Belajar Baca Al-Qur’an).
Program ini tayang setiap hari Rabu pukul 15.30-16.00 WIB. VCD
rekaman BBQ juga mendapat animo yang luas di masyarakat
dengan banyaknya pemirsa yang memesan VCD tersebut. Selain
itu POGI, yaitu perkumpulan dokter kandungan dan penyakit
dalam se Surabaya, dan Sidoarjo juga pernah menjalin kerjasama
kursus. Para insan bank yang tergabung dalam wadah Badan
Musyawarah Perbankan Daerah (BMPD), organisasi Persatuan
Wanita Patra, yang menampung karyawati, dan istri karyawan
pertamina, dan organisasi BKKBN Jawa Timur dan Dinas
Kesehatan Jawa Timur juga menjalin kerjasama dengan Lembaga
Kursus Al-Qur’an Al Falah.

25 Lihat Jendela Santri Vol 3. No 10. Desember 2011, hal. 28

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 49


Lembaga Kursus Al-Qur’an juga menorehkan jangkauan
yang luas baik dalam jaringannya maupun aktivitas sosial
kemasyarakatan, setelah terbentuk wadah Forum Komunikasi
Santri. Forum yang dimotori santri dakwah ini kerap melakukan
banyak kegiatan sosial seperti bantuan bencana alam, khitanan
massal, dan santunan bagi masyarakat miskin.26
Kegiatan yang diikuti oleh banyak santri tersebut sampai
saat ini selalu mendapat tempat di hati masyarakat Kota Surabaya,
mengingat kredibilitas pengelolaan yang baik. Dari beberapa
dokumen yang peneliti baca, terdapat santri Kursus Al-Qur’an
yang mengikuti kursus mengaji dari tahun 1990 dengan biaya Rp.
7500 hingga saat ini. Hj. Zubaidah, nenek dengan 10 cucu sampai
saat ini di sela-sela mengikuti kursus selepas shubuh dan pulang
selepas sholat isya, mengisinya dengan menjual sari kedelai
kepada peserta kursus lainnya.27
Dari uraian tersebut di atas, pelayanan yang dilakukan
Yayasan Masjid Al Falah kepada masyarakat sekitar baik dalam
bentuk pendidikan, keagamaan, kesehatan, dan sosial memang di
bawah kewajiban dan tugas-tugas oleh lembaga-lembaga yang
ditentukan. Namun kegiatan yang bersifat sosial, dan kesehatan
dapat pula dilakukan oleh lembaga yang secara tugas adalah
melakukan kegiatan pembelajaran, seperti halnya Lembaga
Kursus Al-Qur’an, namun tetap pelaksanaannya di bawah
naungan Yayasan Masjid Al Falah.

7. Faktor Pendukung dan Penghambat


Penjelasan mengenai aset dan tipologi pemberdayaan
Masjid Al Falah tersebut di atas dapat dijelaskan kembali menurut
analisis faktor pendukung dan penghambat. Faktor pendukung
dari Masjid Al Falah adalah:

26 Pada 2011 Lembaga Kursus Al-Qur’an melakukan Wisata Bakti, dengan

melakukan Khitanan Masal 113 anak yatim, dan miskin, nikah massal 41 pasang,
pemberian santunan 300 dhuafa, dan bantuan renovasi rumah ibadah di kab. Kediri.
Lihat Jendela Santri Vol 3 No 8. April 2011, hal, 11, 33.
27 Jendela Santri Vol 3. No 8 April 2011, hal 20-21.

50 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


a. tempat yang strategis, berada di pusat Kota Surabaya, dengan
akses kendaraan yang mudah
b. rekam jejak yang baik di masyarakat menjadikan Masjid Al
Falah mendapat tempat tersendiri, dan dipercaya dalam
banyak kegiatan
c. pelayanan yang dilakukan oleh Masjid Al Falah yang mana
sejauh ini dianggap berhasil
d. Masjid Al Falah dikenal tidak memihak salah satu ormas
keagamaan di Indonesia, dipercaya dapat merangkul semua
kalangan menjadi kekuatan dan modal tersendiri kemajuan
masjid.
Adapun faktor penghambat dari Masjid Al Falah, di
antaranya:
a. kapasitas ruangan yang semakin terbatas dalam memenuhi
animo masyarakat yang mengikuti kegiatan. Keterbatasan
kapasitas tersebut berimplikasi kepada efektifitas pelayanan
apabila terjadi renovasi besar masjid
b. fasilitas penunjang berupa parkir yang semakin lama semakin
tidak memadahi dalam memenuhi permintaan jamaah, perlu
dilakukan sebuah rekayasa dan analisa mengenai
kenyamanan dalam parkir
c. tiadanya penambahan buku-buku baru, dan fasilitas
perpustakaan yang tidak dikelola secara profesional
d. koperasi masjid belum dikembangkan menjadi sebuah badan
yang dapat menyerap sumber-sumber ekonomi untuk
kemudian menjadi kebijakan masjid dalam pemberdayaan
masyarakat.

B. Masjid Nasional Al-Akbar


1. Profil Masjid Nasional Al-Akbar
Peletakan batu pertama pembangunan Masjid Nasional
Al-Akbar dilakukan pada 4 Agustus 1995 oleh Wakil Presiden
Indonesia H. Tri Sutrisno, atas gagasan Walikota Surabaya H.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 51


Soenarto Sumoprawiro. Peresmian pada 10 November 2000 oleh
Presiden Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid. Luas total
tanah Masjid Nasional Al-Akbar mencapai 11,2 ha. Secara fisik
luas bangunan, dan fasilitas penunjang seluas 22.300 m2, panjang
147 m2 dan lebar 128 m2, dengan kapasitas jama’ah sebanyak
59.000 orang. Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya dipasok
kekuatan listrik sebesar 1 megawatt. Masjid Al-Akbar memiliki
kelengkapan sarana prasarana yang memadai, seperti parkir yang
luas, perpustakaan, ruang belajar untuk Ma’had ‘Aly (Perguruan
Tinggi), radio SAS FM, Poliklinik, Klinik Islami (Bekam), Sekolah
untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), play group, dan Taman
Kanak-Kanak (TK).
Visi Masjid Nasional Al-Akbar adalah ingin menjadikan
masjid tersebut bertaraf nasional, terdepan dalam dakwah dan
syiar Islam, pengembangan pendidikan, dan sosial budaya,
ditopang dengan manajemen andal untuk menuju masyarakat
yang berakhlak mulia. Dengan melihat misi tersebut, Masjid
Nasional Al-Akbar membuat misi meliputi:
a. pelayanan kegiatan peribadatan/dakwah
b. mewujudkan syiar Islam
c. menyelenggarakan pendidikan Islam
d. mewujudkan kesejahteraan umat
e. mengembangkan budaya Islam
f. mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia
g. mewujudkan manajemen yang andal
Adapun tujuan Masjid Nasional Al-Akbar adalah sebagai
tempat sholat, dzikir, dan aktivitas ibadah lainnya, serta
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
menyelenggarakan akad nikah, resepsi pernikahan, seminar,
pameran, wisata religi, manasik haji, kajian atau diklat, sosial
ekonomi, budaya Islam, dan PAUD dan Ma’had Aly.

52 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Status kelembagaan atau badan hukum dari Masjid
Nasional Surabaya ini adalah Badan Pengelola dengan Surat
Keputusan (SK). Pemerintah Provinsi, dan status kepemilikan
asset adalah asset pemerintah Kota Surabaya. Status asset tanah
seluas 11, 2 ha tersebut sesuai kesepakatan, selama fungsi dan
tujuannya diperuntukkan untuk masjid, maka akan tetap
demikian.
Secara struktur organisasi, Masjid Nasional Al-Akbar
dipimpin oleh direktur utama. Direktur utama membawahi empat
direktur, yaitu Direktur Idarah, Direktur Imarah-Ijtimaiyah,
Direktur Shiyanah, dan Direktur Ma’had Ali. Direktur Idarah
membawahi lima bagian, yaitu Bagian Administrasi dan Umum,
Bagian Keuangan, Bagian Usaha, Bagian Pengamanan dan Bagian
Hubungan Masyarakat dan Protokol.
Adapun Direktur Imarah-Ijtimaiyah membawahi empat
bagian, yaitu Bagian Ibadah dan Dakwah, Bagian Sosial dan
Remaja Masjid, Bagian Pembinaan Keluarga dan Kewanitaan dan
Bagian Kajian, Pendidikan dan Pelatihan. Direktur Shiyanah
membawahi tiga bagian, yaitu Bagian Perencanaan dan
Pengembangan, Bagian Pembangunan dan Perawatan dan Bagian
Perlengkapan dan Peralatan. Sedangkan Direktur Ma’had Ali
sendiri membawahi tiga bagian, yaitu Bagian Sekretariat Ma’had
Ali, Bagian Pendidikan dan Pengajaran Ma’had Ali dan Bagian
Monitoring dan Evaluasi Ma’had Ali.
Saat ini direktur utama dipimpin oleh Drs. H. Endro
Siswantoro, Msi dengan wakilnya bernama Ir. H. Moch Djaelani,
MM. Adapun Direktur Idaroh diketuai oleh Drs. H. Kasno
Sudaryanto, M.Ag., Direktur Imarah-Ijtimaiyah diketuai Drs. H.
M. Roziqi, MM, MBA., Direktur Shiyanah dipimpin Ir. H.
Moerhanniono, MT, dan Direktur Ma’had Ali dibina dan dipimpin
Prof. Dr. H. M. Roem Rowi, MA.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 53


Bagan 1. Struktur Organisasi Masjid Nasional Al-Akbar

Akses jalan dan transportasi dari dan menuju MAS


berdekatan dengan jalan utama, yaitu Jl. Ahmad Yani yang
menuju Kota Surabaya dan ke arah luar Kota Surabaya. Di
samping itu juga terdapat akses jalan alternatif yang dapat
ditempuh menuju Masjid Nasional Al-Akbar, yaitu jalan tol
Surabaya-Malang dan sebaliknya serta jalan tol ke arah Bandara
Internasional Juanda. Kendaraan umum berupa angkutan kota,
dan bus dapat diakses dengan mudah mengingat letak Masjid
Nasional Al-Akbar yang secara letak geografis berada di dekat
perbatasan antara Surabaya dan Sidoarjo, di mana letak tersebut
terdapat terminal bus Purabaya Surabaya.

54 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


2. Aset Masjid Nasional Al-Akbar
Pengelolaan Aset Fisik, dan Finansial Masjid Nasional Al-Akbar
Sejalan dengan makin berkembangnya tuntutan
masyarakat terhadap pelayanan yang mendukung aktivitas
Masjid Nasional Al-Akbar, maka manejemen Masjid Al-Akbar
melakukan pengembangan dan inovasi baik secara mandiri
maupun bekerja sama dengan berbagai lembaga pemerintah
maupun swasta untuk memberikan pelayanan yang baik kepada
jama’ah dan pengunjung Masjid Nasional Al-Akbar.

Masjid Nasional Al-Akbar dengan bangunan fisik dan


luas bangunan 22.300 m2 dan lebar 128 m2 berdiri di atas tanah
seluas 15.800.000 m2, memiliki berbagai fasilitas yang mampu
menopang kegiatan Masjid Nasional Al-Akbar. Masjid Nasional
Al-Akbar memiliki menara dengan tinggi 99 didukung dengan
penyedia’an kantin dan lift. Fasilitas ini dapat dinikmati dengan
membayar infak tiket 5.000, dan pelayanannya dimulai pukul
08.00-17.00 WIB.

Dalam struktur bangunan terdapat tingkatan lantai dan


ruangan-ruangan. Pada lantai dasar terdapat beberapa ruangan, di
antaranya:

a. ruang Unit Layanan Terpadu (UPT)


b. ruang Pendidikan dan Pelatihan yaitu Ma’had ‘Ali, Paud,
Kelompok Bermain, Raudhatul Athfal, dan Kajian Agama
c. ruang Perpustakaan
d. poliklinik, yang melayani poli umum, poli gigi, dan bekam
e. ruang Siaran Radio Suara Al-Akbar Surabaya (SAS FM), pada
frekuensi 107,5 MHz
f. koperasi karyawan Masjid Al-Akbar yang di dalamnya
terdapat kantin dan minimart

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 55


g. ruang AFADA, menyediakan berbagai macam souvenir dan
wedding aksesoris lainnya
h. ruang multi fungsi muzdalifah, di dalamnya bisa di
manfaatkan untuk acara resepsi pernikahan,
seminar/pelatihan dan acara lainnya
i. ruang computer untuk pelatihan internet
j. gudang Masjid Nasional Al-Akbar yang menyimpan logistik
keperluan Masjid Nasional Al-Akbar.
Di lantai I adalah ruang utama untuk kegiatan ibadah,
akad nikah, ceramah agama, dan kajian lainnya, sementara lantai
II adalah gedung Al-Marwah dan ash-Shofwa yang dapat
dimanfaatkan untuk resepsi pernikahan, seminar dan kegiatan
kajian atau lainnya. Untuk kenyamanan dalam bersuci, Masjid
Nasional Al-Akbar menyediakan air dengan kapasitaas besar yang
dapat dimanfaatkan untuk berwudu, dan fasilitas kamar mandi,
toilet, dan perawatan tanaman di taman-taman milik Masjid
Nasional Al-Akbar. Fasilitas ini dipenuhi dengan keran wudhu
berjumlah 577 buah, kamar mandi berjumlah 39 buah, kamar kecil
(toilet) berjumlah 28 buah, tempat buang air kecil pria berjumlah
37 buah, dan wastafel berjumlah 31 buah. Untuk memfasilitasi
pelayanan komunikasi baik internal maupun eksternal telah
tersedia line pesawat telepon ± 40 ekstension.
Dalam pengelolaan lingkungan sebagai bentuk
pengamanan dan mengantisipasi bahaya kebakaran, MAS telah
menyediakan tabung kebakaran (APAR) sejumlah 24 buah tabung
kecil dan satu buah tabung besar. Untuk pengelolaan sampah
MAS telah memiliki tempat pengelolaan kompos sendiri yang
berada di halaman sisi Selatan. Untuk pengelolaan air limbah
Masjid Nasional Al-Akbar telah mempunyai 2 lokasi IPAL
(Instalasi Pengelolaan Air limbah), yaitu di halaman sisi selatan
dan sisi utara. Limbah dari poli klinik pengelolaannya dilakukan
dengan mengadakan perjanjian kerjasama dengan CV. Rojokoyo
yang menangani jasa pembakaran sampah medis.

56 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Untuk menjaga kenyamanan jama’ah, dan kebersihan,
sebagai bahan evaluasi kinerja, pihak Masjin Nasional Al-Akbar
juga menjalankan survei untuk mengetahui pandangan
masyarakat atas kinerja fasilitas yang dilakukan pihak Masjid
Nasional Al-Akbar.28 Untuk fasilitas pengamanan Masjid Nasional
Al-Akbar melakukan pengamanan selama 24 jam, fasiitas parkir
yang dimiliki dapat menampung parkir bus sebanyak 100 unit,
parkir mobil 1.110 unit, dan parkir sepeda motor 1500 unit.
Dengan struktur bangunan yang indah, luas aset masjid
yang mencapai 11,2 ha, dan fasilitas ruangan serta kegiatan baik
dalam bidang keagamaan, pendidikan, sosial, kesehatan,
perawatan serta pembangunan, maka tentunya biaya operasional
yang dibutuhkan Masjid Nasional Al-Akbar juga tinggi. Dalam
pengakuan yang dijelaskan oleh Direktur Utama, bahwa biaya
yang dibutuhkan dalam setahun dapat menghabiskan anggaran
sebesar 9-10 milyar rupiah.29 Untuk memenuhi anggaran yang
besar tersebut, karena biaya operasional Masjid Nasional Al-
Akbar dalam sebulan mencapai angka 250 juta rupiah. Untuk
biaya pembayaran listrik selama bulan ramadhan dapat
menghabiskan biaya sebesar 60 juta rupiah.
Dalam rangka menunjang pembiayaan operasional
Masjid Nasional Al-Akbar, di samping adanya dukungan

28 Sebagai misal Survey Indek Kepuasan Masyarakat (IKM) yang dilakukan

oleh Masjid Nasional Al-Akbar tahun 2013 periode survey 1-30 juni 2013, menjelaskan
hasil yang menurut pengunjung bahwa fasilitas kebersihan, keamanan, dan fasilitas
lainnya dirasakan dengan pelayanan baik. Fasilitas wudhu dengan Indek Kepuasan
Masyarakat sebesar 70.44975 dengan predikat baik, fasilitas kebersihan, Indek kepuasan
masyarakat 78.53775 dengan predikat baik, fasilitas parkir Indek kepuasan masyarakat
sebesar 74.8695 dengan predikat baik, fasilitas dan pelayanan dakwah Indek kepuasan
masyarakat sebesar 72.846 dengan predikat baik, keamanan memiliki Indek Kepuasan
Masyarakat sebesar IKM 69.49125 dengan predikat baik, akad nikah dengan Indek
kepuasan masyarakat sebesar 81.80975 dengan predikat sangat baik, dan unit resepsi
dengan Indek kepuasan masyarakat sebesar 75.41975 dengan predikat baik.
29 Biaya yang dibutuhkan 9-10 Milyar tersebut, peneliti belum mendapatkan

perincian pastinya, namun dalam keterangan terpisah pada waktu FGD, biaya
operasional Masjid Nasional Al-Akbar menghabiskan sedikitnya 6 milyar rupiah. FGD
antara Masjid Nasional Al-Akbar, Masjid AL Falah, dan tim peneliti pada tanggal 27 Mei
2014.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 57


pemerintah Provinsi dan pemerintah daerah, meskipun dalam
realisasi bantuan yang diberikan tidak terlalu besar, yaitu
sejumlah 30 juta per bulan dari dana APBD, maka pihak pengurus
dalam hal ini menggali sumber-sumber pendapatan mandiri yang
berasal dari infaq, yaitu di antaranya infaq tiket menara, infaq
penyelenggaraan resepsi dan akad nikah, infaq parkir, dan
penitipan sandal, dan infaq pemakaian sarana dan ruangan yang
ada di Masjid Nasional Al-Akbar.
Terkait pengeolaan keuangan, baik penerimaan, dan
pengeluaran, Masjid Nasional Al-Akbar menggunakan
manajemen satu pintu. Keuangan ini ditangan oleh dua
bendahara, bendahara pertama khusus menangani uang masuk,
dan bendahara kedua, khusus menangani uang keluar. Setiap
instansi dan pimpinan atau ketua di Masjid Nasional Al-Akbar
tidak dibenarkan mengelola keuangan atau memegang keuangan
sendiri-sendir, uang keluar harus memiliki mekanisme yang benar
sebagai wujud manajemen yang transparan dan mencegah adanya
penyalahgunaan atau moral hazard.

Kondisi Sumberdaya Manusia, dan Jama’ah Masjid Al-Akbar


Sumberdaya manusia Masjid nasional Al-Akbar dikelola
dengan menggunakan manjemen modern yang dikenal dengan
sistem menejemen mutu ISO 9001:2008. Sesuai dengan struktur
organisasi yang diulas di atas, bahwa Masjid Nasional Al-Akbar
dipimpin oleh direktur utama dengan membawahi empat
direktur, yaitu Direktur Idarah, Direktur Imarah-Ijtimaiyah,
Direktur Shiyanah dan Direktur Ma’had Ali. Secara keseluruhan
SDM yang dimiliki Masjid Nasional Al-Akbar berjumlah 130
pengurus.
Para pengurus yang ada di Masjid Nasional Al-Akbar
dikenalkan dengan organisasi modern, dengan sama-sama
menginternalisasi visi, misi, dan job dascription masing-masing
bidang. Untuk menunjang terpenuhinya SDM yang profesional
Masjid Nasional Al-Akbar bekerjasama dengan perusahaan
Petrokimia Gresik untuk memberikan bantuan berupa pelatihan

58 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


SDM. Dalam menjalankan misinya, sebagai contoh bagian
kebersihan, dan semua stakeholder yang ada di Masjid Nasional Al-
Akbar penting untuk diketahui bahwa lingkungan Masjid
Nasional Al-Akbar harus dijaga dengan memperhatikan kriteria
rawat, rajin, dan resik.
Untuk karyawan tetap mendapat honor tetap, dan
dibayarkan setiap bulan. Adapun karyawan kontrak digaji
seminggu sekali. Karyawan kontrak ini berjumlah sekitar 100
karyawan, biasanya adalah mereka yang menangani kebersihan,
dan mekanik.
Adapun jumlah jamaah Masjid Nasional Al-Akbar
menyesuaikan menurut kegiatan yang dilaksanakan, pada
kegiatan sholat lima waktu, jumlah jamaah berkisar ±1000 jama’ah,
sholat Jum’at mencapai ± 10.000 jamaah, sholat Idul Fitri mencapai
± 60.000 jamaah, sholat Idul Adha mencapai ± 60.000 jamaah,
dzikir akbar atau istighosah yang dilaksanakan mencapai ± 20.000
jamaah, kunjungan terkait wisata religi mencapai angka ± 1000
orang perhari, pengunjung festival, atau bazar menyerap
pengunjung sedikitnya ± 3000 orang.
Pada kajian agama yang diadakan oleh menyentuh
pengunjung ±1000 jamaah, perkuliahan mahasantri Ma’had Aly
perhari diikuti oleh ± 100 Mahasiswa dan resepsi pernikahan yang
diadakan dapat menyerap pengunjung ± 5000 orang perbulan.
Jalan sehat dakwah yang dilaksanakan diikuti oleh peserta
sebanyak ± 10.000-15000 orang peserta. Pasar untuk PKL yang
difasilitasi oleh Masjid Nasional Al-Akbar, untuk 600 pedagang
dapat menyerap pengunjung sebanyak ± 5000 orang. Event ini
biasanya dilakukan perminggu. Adapun PKL harian dengan stand
yang didirikan mencapai 70 stand, dapat mendatangkan
pengunjung sebanyak ± 1000 orang.
Data-data tersebut adalah estimasi atau perkiraan,
terkadang mencapai target pengunjung atau jamaah menurut
yang diperkirakan, terkadang juga jauh dari target. Namun, pada
bulan ramadhan, PKL dan keramaian masjid Nasional Al-Akbar,

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 59


sesuai rekam yang dilakukan dapat dikatakan hampir setiap hari
selalu dipenuhi pengunjung.

Aset Modal Sosial Masjid Nasional Al-Akbar


Untuk menggali aset modal sosial Masjid Nasional Al-
Akbar, penulis menggunakan empat indikator adanya modal
sosial, yaitu trust, jaringan, penguatan norma, dan resiprositas.
Keempat hal tersebut dijadikan tolok ukur untuk menilai
kekuatan modal siosial dari Masjid Nasional Al-Akbar.
a. Trust di Masjid Nasional Al-Akbar
Trust dalam pemahaman sosiologis diartikan sebagai
sebuah hubungan antara satu pihak dengan pihak lainnya
atau lebih yang mengandung harapan yang menguntungkan
salah satu pihak atau kedua belah pihak melalui interaksi
sosial. Fungsi trust di sini adalah kemauan melakukan sebuah
hubungan baik.30 Adapun dalam pembagiannya, trust dibagi
menjadi tiga tingkatan, yaitu pertama, tingkatan individual
(self trust). Kedua, relasi sosial (relationship trust), dan ketiga
pada tingkatan sistem sosial.
Untuk melihat trust di Masjid Nasional Al-Akbar,
peneliti akan mengkaji dalam beberapa sisi, yaitu internal,
dan ekstenal. Dari sisi internal, wujud daripada adanya trust
adalah efektifnya jajaran organisasi yang dikelola. Model dan
alur sistem yang dijalankan oleh organisasi ini sangat
berjenjang, dan masing-masing memiliki kewenangan serta
batasan dalam menentukan sebuah keputusan. Pada level
direksi, semua kegiatan yang menjadi program masjid
memiliki penanggung jawab masing-masing. Kegiatan
evaluasi juga kerap dilakukan sebagai bentuk perbaikan, dan
tolok ukur keberhasilan suatu agenda. Dalam pengamatan
peneliti karyawan yang ada di unit-unit kerja di Masjid

30 R.M.Z. Lawang, Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar


(Depok: FISIP UI Press), 36.

60 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Nasional Al-Akbar memang melakukan kegiatan mereka
sesuai dengan yuridiksi kewenangannya.

Dalam upaya menjaga kedekatan, antara pimpinan


dan karyawan, direktur utama, Endro Siswantoro mengaku
bahwa dirinya menekankan agar tidak ada jarak antara atasan
dan bawahan, istilah anak buah tidak dikenal dalam
kepemimpinannya. Lebih lanjut Bapak Endro menjelaskan,
meskipun membaur, tetapi harus efektif peran dan
fungsinya.31 Kemampuan mengelola sisi internal supaya
memiliki tingkat soliditas tinggi adalah kunci terbentuknya
trust di antara mereka. Kepedulian direksi dalam
memperhatikan karyawan, baik yang sakit maupun
memberikan penghargaan bagi karyawan yang memiliki
kinerja baik juga mempengaruhi loyalitas, dan kepercayaan
karyawan. Bapak Drs. HM. Ghufron Ihsan, M.Pd.I, selaku
Kepala Bagian Sosial, dan remas menjelaskan bahwa bagi
karyawan yang sakit mendapat bantuan pengobatan dari
masjid.32

Penanaman nilai-nilai seperti keikhlasan, dan tauhid


serta melakukan sebuah pelatihan sumberdaya manusia
dipahami oleh Direktur Utama Masjid Nasional Al-Akbar
sebagai sebuah langkah yang tepat untuk meningkatkan trust
di sisi internal dan eksetrnal. Kemampuan sisi internal dalam
mengelola tanggungjawabnya menjadi dasar lahirnya trust
dalam skala yang lebih luas khususnya ditingkat masyarakat.
Pada tingkatan masyarakat, animo kunjungan menuju Masjid
Nasional Al-Akbar Surabaya menunjukkan tren yang tetap
stabil, meskipun ada momen di mana kunjungan menuju
Masjid Al-Akbar naik dengan jumlah pengunjung yang
banyak. Kesadaran masyarakat untuk menyisihkan sebagian

31 Wawancara dengan Direktur Utama Masjid Nasional Al-Akbar, Drs. H.

Endro Siswantoro, M.Si, tanggal 11 mei 2014 M pukul 14.00 WIB.


32 Wawancara dengan Kepala bagian Sosial, dan Remas, Bapak Drs. HM.

Ghufron Ihsan, M.Pd.I, tanggal 28 Mei 2014 pukul 13.00 WIB

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 61


dari kekayaannya juga termasuk tinggi, hal ini dapat dilihat
dari perolehan dana infaq kotak Jum’at yang mencapai angka
50 juta setiap selesai sholat Jum’at.

Ditingkat pemerintahan kota juga melihat dan


memberikan apresiasi atas usaha keras yang dilakukan oleh
jajaran pengurus Masjid Nasional Al-Akbar dengan berbagai
penghargaan seperti penghargaan masjid dari Wali Kota
Surabaya dengan Nomor 003.3/334/436.2.1/2004 sebagai Juara
Satu Lomba Toilet Public 2004 kategori objek wisata dalam
rangka hari jadi Kota Surabaya ke-711 tahun 2004; Piagam
Penghargaan Wali Kota Surabaya sebagai Juara Ketiga objek
wisata terbaik tahun 2012 untuk katergori informasi
komunikatif dalam rangka Surabaya Tourism Destination
Award, dan Piagam Penghargaan sebagai objek wisata favorit
tahun 2012 dalam rangka Surabaya Tourism Destination Award.

Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa trust


yang terbentuk di Masjid Nasional Al-Akbar dalam kondisi
yang baik, namun peneliti memberikan sebuah catatan bahwa
sistem masjid yang memiliki manajerial bagus dalam sisi
hierarki birokrasinya, tidak serta merta memiliki kemampuan
efektif dalam melayani masyarakat, apabila sikap-sikap yang
menjadi dasar daripada emotional qoution, kecerdasan
emosional tidak diasah dan dikembangkan. Kemampuan
manajerial harus seiring dengan pemahaman yang utuh dan
sikap responsif terhadap hal apapun yang sekiranya patut
diperbaiki, baik oleh tingkatan individu, tingkatan komunitas
maupun tingkatan sistem sosial siuatu lembaga. Tidak
efektifnya pelayanan dengan tidak memperhatikan sikap
responsibilitas, dan pelayanan yang seutuhnya terhadap
masyarakat hanya akan memunculkan sikap ketidak
percayaan dan pola seperti ini menjadi rangakain bola salju,
yang pada akhirnya meluas dan memunculkan proses
ketidakpuasan.

62 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


b. Jaringan Masjid Nasional Al-Akbar
Sebagai masjid milik pemerintah, Masjid Nasional Al-
Akbar memiliki jaringan yang luas baik di tingkat kota,
nasional, maupun internasional. Namun dari sekian jaringan
tersebut, tentunya berpotensi jaringan tersebut aktif
dimanfaatkan, dan sebagiannya menjadi jaringan pasif.
Namun dalam pengamatan peneliti, sejauh ini pola jaringan
yang dikelola Masjid Nasional Al-Akbar efektif membuat
masjid tersebut survive dan tetap bertahan di tengah
tantangan besarnya dana operasional dan biaya perawatan
masjid yang memiliki bangunan dan ornamen indah tersebut.
Kemampuan direksi mengelola jaringan tersebut
dapat diilihat dari berjalannya komunitas-komunitas di dalam
internal masjid di setiap bidang. Walaupun peneliti belum
begitu mendalami sejauh mana interaksi antar komunitas di
Masjid Nasional Al-Akbar berperan terhadap penguatan
institusi masjid secara lebih jauh, namun peneliti dapat
melihat jaringan-jaringan yang ada tersebut bekerja sesuai
porsi kewenangannya masing-masing. Di tingkat
pemerintahan kota, Masjid Nasional Al-Akbar tentu
mendapat tempat, dengan prestasi yang diukir oleh masjid
tersebut dalam berbagai event dan acara yang dihelat oleh
piihak pemerintah kota. Potensi kedekatan tersebut memiliki
sejumlah manfaat, tentunya hal ini menjadi sebuah aset yang
baik bagi Masjid Nasional Al-Akbar. Beberapa pendekatan
tentu harus dijalankan agar arus transportasi dapat melewati
wilayah masjid yang membuat masyarakat memiliki
kesempatan besar untuk singgah dan berkunjung.
Ditingkat masyarakat, Masjid Nasional Al-Akbar
tidak hanya menjadi ikon kota, namun di antara mereka juga
memanfaatkan jasa yang ditawarkan oleh masjid baik itu
bidang keagamaan, pendidikan, sosial maupun kesehatan.
Hubungan yang terjalin antara masjid dengan masyarakat
luas tersebut menjadi potensi dan kekuatan masjid. Jaringan
internasional juga menjadi sebuah pilihan yang dilakukan
oleh direksi Masjid Nasional Al-Akbar, sebagai upaya

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 63


melakukan komunikasi dan kerjasama yang saling
menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dari adanya bantuan
pemerintah Turki yang memberikan karpet untuk di dalam
ruang utama masjid.
Dari ulasam tersebut dapat dijelaskan bahwa jaringan
yang dimiliki oleh Masjid nasional Al-Akbar telah malampaui
bridging social capital (modal sosial yang menjembatani)
menuju linking social capital. Potensi jaringan yang luas
tersebut perlu diimbangi dengan sikap-sikap yang profesional
untuk menyambut dan memelihara jaringan yang ada.

c. Penguatan Norma
Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari lahirnya
trust, dan jaringan, norma memegang peranan yang penting,
norma tersebut memiliki kekhasan antara satu institusi
dengan institusi lainnya. Terkait penanaman norma yang
dilakukan oleh Masjid Nasional Al-Akbar berkorelasi dengan
kode etik modern sebagai nilai yang mereka tekuni saat ini.
Hal ini mereka lakukan dalam upaya menjadikan pelayanan
masjid nasional profesional dan memiliki manajemen modern.
Meskipun demikian terdapat kesamaan nilai antara Masjid
Nasional Al-Akbar dengan masjid lainnya, yaitu sistem nilai
ajaran agama tetap menjadi panduan utama.
Dalam menanamkan nilai sebuah lembaga perlu
memahami bahwa nilai dapat digali dan dapat pula
dihancurkan. Untuk itu perlu adanya value culture yang
penting bagi sebuah lembaga, dalam upaya mencari dan
menanamkan kesamaaan pandangan bahwa misi utama
lembaga masjid adalah menciptakan kata’atan kepada ajaran
dan nilai-nilai agama. Keberhasilan sebuah institusi masjid
menanamkan nilai-niali keagamaan diinternal dan
masyarakat dapat memberikan kekuatan tersendiri bagi
keberadaan masjid tersebut.

64 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Terkait Masjid Nasional Al-Akbar, kesamaan visi
bahwa masjid adalah tempat beribadah, dan ingin menjadi
garda terdepan dakwah dan syiar Islam, maka proses
internalisasi nilai-nilai tersebut dapat dilihat dari kegiatan-
kegiatan ibadah, kajian keagamaan, sosial, kesehatan, dan lain
sebagainya. Kegiatan yang mereka laksanakan secara tidak
langsung menginternalisiasi nilai-nilai yang dibawa Masjid
Nasional Al-Akbar. Internalisasi norma dapat pula dilakukan
dengan proses kerjasama antarindividu dalam sebuah
kelompok. Belajar bersama dalam kelompok (learning group)
dapat meningkatkan hasil kerja kelompok dan perasaan
menyatu dalam sebuah institusi. Terdapatnya komunitas, dan
bagian-bagian dalam masjid, dan adanya kerjaama masing-
masing individu di lingkungan Masjid Nasional Al-Akbar
memberi sebuah proses pembelajaran dan pembentukan
kepercayaan di antara mereka.

d. Resiprositas di Masjid Nasional Al-Akbar


Terkait analisis peneliti melihat resiprositas
(hubungan timbal balik), saling tukar menukar kebaikan di
lingkungan Masjid Nasional Al-Akbar dapat dilihat dari
Pertama, usaha Masjid Al-Akbar dalam memberikan
pelayanan. Kedua, perhatian pengurus kepada para karyawan
yang tertimpa sakit atau musibah. Ketiga, peran aktif jamaah
dalam memberikan dana infaq kepada Masjid Nasional Al-
Akbar.
Dalam penjelasan yang lebih rinci, resiprositas yang
dimaknai sebagai sebuah hubungan timbal balik yang
dilakukan baik antarindividu di internal pengurus masjid,
maupun hubungan timbal balik masjid dengan masyarakat
atau lebih khusus lagi kepada jamaah tidak selalu disikapi
dengan proses tawar menawar fasilitas yang dimiliki masjid
untuk dimanfaatkan oleh jama’ah, tetapi lebih dari sekedar
itu, yaitu upaya pengurus Masjid Nasional Al-Akbar yang

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 65


melakukan pelayanan baik dalam bidang ibadah, keagamaan,
pendidikan, sosial maupun kesehatan.
Proses yang dilakukan pihak Masjid Nasional Al-
Akbar sejauh ini peneliti pandang cukup baik, dan Masjid
Nasional Al-Akbar sebagai ikon Kota Surabaya manfaatnya
cukup pula dirasakan oleh masyarakat. kehadiran masjid di
tengah-tengah keramaian Kota Surabaya kemudian disambut
oleh masyarakat dengan melakukan hubungan timbal balik
yang menguntungkan kedua belah pihak seperti halnya
mengikuti kajian-kajian yang dilakukan, mengunjungi dan
berkontribusi secara aktif meramaikan kunjungan di Masjid
Nasional Al-Akbar.
Dari semua ulasan tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa aset modal sosial di masjid nasional relatif terjaga dan
dalam kondisi yang baik. Peran aktif pengurus menjaga stok
modal sosial di masyarakat atas Masjid Nasional Al-Akbar
perlu dipelihara dengan terus memberikan pelayanan dengan
baik supaya modal sosial yang dimiliki berkontribusi bagi
pengembangan Masjid Nasional Al-Akbar.

3. Model Pemberdayaan Masjid Nasional Al-Akbar


Melalui desain organisasi yang baik, dalam artian sebagai
kelembagaan modern, pengelolaan Masjid Nasional Al-Akbar
dalam melayani jamaah dari sisi bidang kebersihan, ketertiban,
keamanan, dan kegiatan keagamaan, pendidikan, kesehatan, dan
sosial lainnya dinilai baik dan tertib. Dalam beberapa kegiatan
yang dibawahi oleh direktorat juga dapat dilihat fungsinya
berjalan.
Peran aktif fungsi dan bagian pada strukur organisasi di
Masjid Nasional Al-Akbar dalam memberikan pelayanan peneliti
pandang sebagai upaya masjid melakukan sebuah pemberdayaan
kepada masyarakat. Pelayanan di bidang keagamaan, selain
proses pelayanan ritual keagamaan. Masjid Nasional Al-Akbar
secara aktif memberikan pemahaman dan kesadaran keagamaan

66 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


kepada mastyarakat dalam berbagai level usia. Seperti halnya
adanya dialog pendalaman setelah khutbah Jum’at dilakukan;
pengajian dengan pendalaman pada bidang kajian rumpun ilmu
agama, baik fiqh, tafsir, hadis, perbandingan agama, peradaban
islam, ekonomi, dan kesehatan setiap hari baik itu dilakukan
setelah sholat shubuh, setelah sholat maghrib, setelah sholat isya,
dan kajian pada waktu dhuha. Kegiatan ini dilakukan secara
konsisten dan berkesinambungan.
Di bidang pendidikan, Masjid Nasional Al-Akbar saat ini
memiliki beberapa saluran, yaitu KB (Kelompok Bermain) TK, dan
Ma’had Ali selevel dengan perguruan tinggi. animo masyarakat
atas fasilitas ini dirasakan cukup baik megingat siswa baru yang
mengikuti kegiatan di tingkat KB dan TK meningkat dari tahun
sebelumnya, yaitu dengan jumlah siswa baru untuk KB sebanyak
75 siswa, dan siswa baru pada tingkatan RA sebanyak 135 siswa.
Di bidang kesehatan Masjid Nasional Al-Akbar rutin
menyelenggarakan senam dakwah, jalan sehat dakwah,
memberikan pelayanan kesehatan dengan adanya klinik yang
dipungkut biaya sebesar Rp. 10.000,00. Masjid Nasional Al-Akbar
juga memberikan pelayanan mobil jenazah gratis.
Pemberdayaan dalam bidang sosial dilakukan oleh
Masjid Nasional Al-Akbar dengan menghimpun dan
menyalurkan zakat, bahkan target program Masjid Nasional Al-
Akbar adalah menjadikan para mustahik (penerima zakat)
menjadi muzakki (pemberi zakat). Kegiatan tersebut dilakukan
dengan memberikan bantuan baik berbentuk modal usaha
ataupun barang kepada masyarakat yang tidak mampu.
Pola membentuk seorang mustahik menjadi muzakki
dilakuakan dengan cara bantuan usaha yang diberikan kepada
mereka dengan harapan usaha mereka berkembang dan dapat
melakukan infak kepada masjid menurut kadar kemampuannya.
Masjid tidak mematok besaran infak, besaran infak dilakukan atas
kesadaran dan kemampuan penerima bantuan usaha. Kegiatan ini
menurut bapak Gufron selaku bagian sosial dirasakan berhasil
mengangkat himpitan ekonomi di Kota Surabaya bagi masyarakat
lemah.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 67


Gambar 2: Program Zakat Maal Produktif Masjid Nasional Al-
Akbar

Sumber: foto peneliti, 2014


Kegiatan pemberdayaan dalam zakat ini juga dapat
berupa beasiswa pendidikan, pemeberian santunan bagi yatim
piatu, bantuan korban bencana alam, pengobatan gratis, perbaikan
masjid dan musholla, penyebaran wakaf Al-Qur’an, dan
pemberian sembako kepada delapan asnaf. 33 Selain itu, masjid
juga memberikan bantuan zakat kepada ibnu sabil, mereka yang
kehabisan biaya dalam perjalanan, ataupun mereka yang tertimpa
musibah di perjalanan di kota Surabaya. Masjid memberikan bekal
bagi ibnu sabil untuk biaya transportasi menuju rumah asal. Bagi
para donatur, Masjid Nasional Al-Akbar juga memberikan
pelayanan gratis berupa belajar membaca dan menulis Al-Qur’an,
konsultasi zakat, dan syariah, bimbingan keluarga sakinah,
bimbingan keluarga pra nikah, bimbingan manasik haji, kajian
rutin, dan mendapatkan majalah Al-Akbar.
Masjid Nasional Al-Akbar juga memberikan nilai lebih
kepada masyarakat sekitar masjid dengan naiknya harga tanah
sebelum berdirinya masjid. Menurut Direktur Shiyanah, Bapak
Mardiono, harga tanah apabila sesuai NJOP sebesar 1,3 juta untuk
satu meter persegi, namun realita saat ini masyarakat dapat

33 Mereka yang berhak menerima zakat dalam Islam.

68 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


melepas aset tanah mencapai 10 juta untuk setiap meter persegi.
Aset tanah di sekitar masjid yang merupakan masih milik masjid
juga dapat dimanfaatkan secara gratis oleh masyarakat dalam
berdagang. Kebaikan masjid kepada masyarakat tersebut adalah
sebuah bentuk pemberdayaan kepada masyarakat, dan kepedelian
masjid dalam bidang pembangunan ekonomi.

4. Faktor Pendukung dan Penghambat

Menurut uraian di atas dapat dijelaskan kembali beberapa


faktor pendukung dan penghambat pemberdayaan Masjid
Nasional Al-Akbar. Faktor pendukung dapat dilihat dari sistem
manjeman yang dimiliki oleh Masjid Nasional Al-Akbar memiliki
keunggulan, karena dijalankan dengan profesional. Hal ini dapat
dilihat dari sertifikat ISO yang dimiliki masjid tersebut. Stok
modal sosial yang baik juga berperan bagi pengembangan
pelayanan masjid. Hubungan yang terjalin baik antar stakeholder
dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masjid.
Adapun faktor penghambat yang peneliti lihat sejauh ini
dapat dilihat dari beberapa segi. Di antaranya, pertama, letak
Masjid Nasional Al-Akbar yang kurang strategis menjadi sebuah
hambatan bagi masyarakat untuk secara aktif mengakses masjid.
Letak masjid yang jauh dari pusat kota, serta arus transportasi
yang belum dilakukan sebuah rekayasa supaya dapat melewati
halaman atau samping masjid menjadi persoalan tersendiri,
terutama tantangan bagi pengurus untuk berusaha lebih keras
bahwa kehadiran jamaah menuju masjid bukan sekadar didasari
akan kemudahan sarana transportasi dan jauh dekatnya tempat
tinggal.
Kedua adalah labelisasi Masjid Nasional Al-Akbar sebagai
masjid nasional oleh pemerintah pusat. Labelisasi ini dapat
menjadi persoalan tersendiri bagi Masjid Nasional Al-Akbar
apabila kontribusi negara dalam hal ini pemerintah pusat atas
pengembangan masjid tidak signifikan. Dalam pengakuan
pengurus Masjid Nasional Al-Akbar secara umum,
pengembangan masjid tersebut saat ini lebih banyak dilakukan

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 69


oleh masyarakat dan perusahaan-perusahaan. Perlu adanya dialog
untuk mencapai kata sepakat atas labelisasi masjid nasional,
apakah hanya sekedar sebuah tingkatan masjid dengan klasifikasi
tertentu ataukah juga mendapat perlakuan khusus dari
pemerintah pusat dalam bentuk pembinaan dan pendanaan.
Ketiga, perlu adanya sebuah langkah yang tepat untuk
medekonstruksi atas kemampuan personalia, terutama di front
office dalam melakukan sebuah pelayanan kepada masyarakat,
supaya tidak terkesan memiliki jarak, elitis dan birokratis.
Keempat, pengembangan fasilitas, dan instalasi penunjang
seperti perguruan tinggi yang memiliki gedung tersendiri
memerlukan persetujuan pemilik aset, dalam hal ini adal
pemerintah kota Surabaya. Hal-hal yang kiranya menjadi
penghambat dalam melakukan terobosan-terobosan
pengembangan harus dideteksi secara dini supaya dapat sinergi
dan berjalan sesuai program yang ditetapkan.

Penutup

Dari pemaparan di atas dapat dilakukan sebuah kesimpulan


bahwa masjid memiliki peran dalam upayanya melakukan pemberdayaan
di masyarakat. Masjid tidak hanya memiliki fungsi sebagai tempat ritual
semata, namun dapat banyak berbuat dalam berbagai bidang.
Kemampuan masjid dalam mengelola sumberdaya manusia di internal
mereka, dan kemampuan mengembangkan modal sosial menjadikan
sebuah masjid dapat menjalankan fungsinya.
Untuk itu sebagai upaya menjaga fungsi masjid, perlu adanya
penajaman mengenai kondisi sumberdaya manusia di dalamnya dengan
melihat realitas manajemen yang dilakukan, dan analisis terhadap aset
yang dimiliki. Bagi pemerintah dalam hal ini Kementrian Agama Republik
Indonesia perlu melakukan sebuah proses bimbingan dan dorongan agar
hambatan-hambatan dalam proses pemberdayaan masyarakat dan
pengembangan masjid dapat diatasi dengan baik.
***

70 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Daftar Pustaka

Buku dan Jurnal


Annen, Kurt. “Social Capital, Inclusive Networks, and Economic Performance,”
Journal of Economic Behavior and Organization Vol. 50 (2003):
449–463.
Craig, Gary, dan Mayo, Magorie, “Editorial Introduction: Managing Conflict
through Community Development.” Community Development
Journal, Vol 2 No 33 (1995): 77-79.
Field, John. 2003. Social Capital. London: Roudlege.
Fukuyama, Francis, “Social Capital and The Global Economy,” Foreign Affairs,
Vol. 74, No. 5, (1995): 89-103.
J, M. Mawardi., “Peranan Social Capital Dalam Pemberdayaan Masyarakat
Komunitas,” Jurnal Pengembangan masyarakat Islam, Volume 3,
No. 2 (2007): 7.
Jousairi Hasbullah, Social Capital, Menuju keunggulan Budaya Manusia
Indonesia. Jakarta: MR United Press Jakarta.
Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia.
Lawang, R.M.Z. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar.
Depok: FISIP UI Press.
Tantawi, Muhammad Sayyid. “Al-Tafsir al- Wasith,”Mauqi‘ al-Tafasir, t.t,
3937.
Woolcock, Michael. “Social Capital and Economic Development: Toward a
Theoretical Synthesis and Policy Framework” Theory and Society, No.
27. Vol 2 (1998): 151-208.
Majalah

Jendela Santri Vol 3. No 10. Desember 2011


Jendela Santri Vol 3 No 8. April 2011

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 71


Online
BPS di http://surabayakota.bps.go.id/index.php?hal= publikasi_detil&id=1
Putnam, R. D. “The Prosperous Community: Social Capital and Public
Life,” American Prospect, 13, Spring, 35- 42. 1993,
http://www.philia.ca/ files/pdf/ProsperousCommunity.pdf

72 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


MODEL PEMBERDAYAAN MASJID DI
BANJARMASIN:
Membangun Jejaring untuk Memuliakan Masjid
Bersejarah dan Masjid Sektoral

Oleh:
A. Fachruddin dan M. Ishom

Gambaran Umum Wilayah Penelitian


Kota Banjarmasin terletak di antara 3o 15’-3o 22’ Lintang Selatan
dan 114o32’-114o 38’ Bujur Timur. Kota ini sering disebut sebagai ”Kota
Seribu Sungai” karena memiliki sedikitnya 117 alur sungai. Sekitar 40
sungai melintasi Banjarmasin, seperti Sungai Barito, Martapura, Kuin,
Mulawarman, Alalak, Pangeran, dan Pelambuan. Kota seribu sungai ini
terletak di bagian Selatan Provinsi Kalimantan Selatan pada ketinggian
tempat rata-rata 0,16 meter dibawah permukaan laut dan kondisi wilayah
relatif datar.
Luas wilayahnya ± 98 Km2 atau 0,23% dari luas wilayah Provinsi
Kalimantan Selatan dan memiliki batas-batas wilayah administrasi sebagai
berikut :
Sebelah Utara : berbatasan dengan Kabupaten Barito Kuala.
Sebelah Timur : berbatasan dengan Kabupaten Banjar.
Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Banjar.
Sebelah Barat : berbatasan dengan Kabupaten Barito Kuala.
Luas wilayah Kota Banjarmasin terbagi dalam 5 kecamatan dan 52
kelurahan, yaitu Kecamatan Banjarmasin Utara dengan luas wilayah ±
22,25 Km2/22,7 % yang terbagi dalam 11 kelurahan dengan pusat
kecamatan di Kelurahan Surgi Mufti, Kecamatan Banjarmasin Selatan
dengan luas wilayah ± 21,18 Km2/21,6% yang terbagi dalam 11 kelurahan
dengan pusat kecamatan di Kelurahan Kelayan Barat, Kecamatan

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 73


Banjarmasin Barat dengan luas wilayah ± 19,37 km2/19,7 % yang terbagi
dalam 9 kelurahan dengan pusat kecamatan di Kelurahan Pelambuan,
Kecamatan Banjarmasin Tengah dengan luas wilayah ± 16,66 km2/17,1 %
yang terbagi dalam 12 kelurahan dengan pusat kecamatan di Kelurahan
Teluk Dalam, dan Kecamatan Banjarmasin Timur dengan luas wilayah ±
18,54 Km2/118,9 % yang terbagi dalam 9 kelurahan dengan pusat
kecamatan di Kelurahan Kuripan.
Sebagai kota yang dilintasi banyak sungai, dengan kelerengan
0,13%, kehidupan masyarakat Banjarmasin seperti Kampung Apung.
Keberadaan Sungai Martapura yang bermuara ke Sungai Barito, pada
khususnya telah dimanfaatkan masyarakat Banjarmasin sebagai prasarana
transportasi air, pariwisata, perikanan dan perdagangan. Kondisi ini
mencirikan kekhasan Banjarmasin sebagai kota air, kota pelabuhan, kota
perdagangan, kota pariwisata dan sekaligus Ibukota Provinsi Kalimantan
Selatan.
Masyarakat Kota Banjarmasin secara garis besar terdiri dari dua
kelompok, yaitu masyarakat pribumi dan pendatang. Kaum pribumi
adalah Suku Banjar yang merupakan mayoritas dari total penduduk
Provinsi Kalimantan Selatan. Suku Banjar terdiri dari Suku Banjar
Pahuluan dan Suku Banjar Batang Banyu. Kaum pendatang terdiri dari
Suku Jawa, Madura, Bajau, Bugis, Cina dan Arab. Budaya dan tradisi
orang Banjar adalah hasil asimilasi selama berabad-abad. Budaya tersebut
dipengaruhi oleh kepercayaan Islam yang dibawa oleh pedagang Arab dan
Persia.
Banjarmasin yang berpenduduk sekitar 625.481 jiwa dikenal taat
pada ajaran agama. Sebagaimana agama yang diakui di Indonesia, semua
agama ada di Banjarmasin, seperti Islam, Buddha, Hindu, Katolik,
Protestan, dan Khonghucu. Agama yang pemeluknya terbesar di sini
adalah agama Islam. Kondisi penduduk Kota Banjarmasin berdasarkan
agama adalah sebagai berikut:

74 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Tabel 1: Jumlah Pemeluk Agama

No Agama Jumlah
1 Islam 597,556
2 Katholik 6,484
3 Kristen 15,095
4 Hindu 437
5 Buddha 4,262
6 Khonghucu 122
Total 625,481
Sumber: Data Sensus Penduduk, 2010 (BPS)

Sedangkan sebaran tempat peribadatan masing-masing agama


adalah Masjid/Mushalla 2.383 bangunan, Gereja Katholik 9 bangunan,
Gereja Kristen 105 bangunan, Pura 91 bangunan, Vihara 20 bangunan, dan
Klenteng 3 bangunan.

A. Model Pemberdayaan Masjid Sultan Suriansyah


1. Profil Masjid Sultan Suriansyah
Masjid Sultan Suriansyah atau Masjid Kuin merupakan
masjid pertama di antara masjid tertua yang ada di Kota
Banjarmasin, semisal Masjid Besar (cikal bakal Masjid Jami
Banjarmasin) dan masjid Basirih. Masjid ini letaknya berdekatan
dengan komplek makam Sultan Suriansyah dan ditepian kiri
Sungai Kuin, yang bermuara ke Sungai Bintaro, di Kelurahan Kuin
Utara, Banjarmasin Utara. Kawasan ini dulunya merupakan
ibukota Kesultanan Banjar pertama yang dibentuk oleh Pangeran
Samudera alias Sultan Suriansyah (1526-1550).
Pangeran Samudera masih keturunan Raja Daha.
Ayahnya bernama Raja Mantri Jaya dan ibunya Putri Galuh, putri
dari Maharaja Sukarama yang memerintah di kawasan Amuntai
pada 1462-1517. Maharaja Sukarama ini pernah berwasiat kelak
yang menggantikannya ialah Pengeran Samudera yang waktu itu
berusia sepuluh tahun.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 75


Wasiat Maharaja Sukarama ini tidak disenangi putranya
Pangeran Tumenggung yang berambisi mewarisi tahta ayahnya.
Hal ini mendorong Mangkubumi Daha, Arya Taranggana untuk
menyelamatkan Pangeran Samudera dengan cara
menyelinapkankannya dari kerajaan dan menghanyutkannya ke
Sungai Martapura dengan perahu kecil. Pangeran Samudera
diberi perbekalan berupa pakaian dan makanan secukupnya dan
jala untuk mencari ikan, menyisiri hilir sungai di daerah Muara
Bahan, Balandian, Sapatan, Tamban, dan berakhir di Kuin.
Pangeran Samudera tinggal ditepi sungai Kuin,
menyamar sebagai nelayan miskin yang dikenal suka membantu,
sopan dan santun. Kebaikan budinya menjadi pembicaraan
masyarakat sampai terdengar oleh Patih Masih. Pada akhirnya
Patih Masih mengetahui bahwa pemuda nelayan itu adalah cucu
Maharaja Sukarama yang mengasingkan diri.
Patih Masih kemudian mengajak Patih Balit dari
Balandian, Patih Muhur dari Sarapat, Patih Balitung dan Patih
Kuin untuk mengangkat Pangeran Samudera sebagai raja
tandingan Raja Daha yang saat itu dijabat Pangeran Tumenggung.
Pengaruh Pangeran Samudera berkembang luas di seluruh
wilayah muara Barito sampai Banjar Kuala.
Pengaruh besar Pangeran Samudera ini terdengar oleh
Pangeran Tumenggung. Raja Daha ini memutuskan untuk
menghancurkan Kerajaan Banjar sehingga tak terelakkan beberapa
kali terjadi pertempuran yang dimenangkan kedua belah pihak
secara bergantian. Kondisi ini mendorong Pangeran Samudera
untuk meminta bantuan kepada Sultan Demak.
Permohonan Pangeran Samudera ini dituruti Sultan
Demak dengan syarat dirinya memeluk agama Islam.
Pengislaman Pangeran Samudera dipimpin langsung oleh Khatib
Dayan, ulama asal Cirebon yang diutus oleh Sultan Demak. Dalam
pertempuran antara pasukan Pangeran Samudera yang dibantu
pasukan Demak melawan Pangeran Tumenggung tidak ada yang
menang dan yang kalah. Keduanya bersepakat damai dan

76 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


memberikan kewenangan penuh kepada masing-masing untuk
memerintah kerajaannya.
Semenjak itulah Pangeran Samudera dikukuhkan sebagai
Raja Banjar Islam pertama dengan gelar Sultan Suriansyah. Ia lalu
mendirikan masjid sebagai simbol keislaman Keraton Banjar di
tepi Sungai Kuin. Ketika pertama kali didirikan, masjid ini berupa
panggung dengan atap tumpang tiga. Tiang masjid dibuat dari
kayu halayong, sejenis palem, dan atapnya dari rumbai yang
diberi hiasan sungkul dan jamang.
Masjid Kuin tercatat pernah mengalami pemugaran dan
perluasan pada masa Sultan Tamjidillah I (Sultan Sepuh) gelar
Panembahan Badarul Alam (1734-1759). Ia selain mengganti tiang
kayu halayon menjadi kayu ulin juga memperluas bangunan pada
sisi mihrab, teras kanan-kiri dan teras depan masjid yang masing-
masing memiliki atap sendiri yang terpisah dengan bangunan
induk. Sehingga masjid Kuin memiliki lima atap kemuncak yang
melambangkan lima rukun Islam.
Peran Sultan Tamjidillah dalam pemugaran Masjid Kuin
dapat dilihat pada 2 buah inskripsi yang tertulis pada bidang
berbentuk segi delapan berukuran 50 cm x 50 cm yakni pada dua
daun pintu Lawang Agung. Pada daun pintu sebelah kanan
terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi:
“Ba'da hijratun Nabi Shalallahu 'alahihi wassalam sunnah
1159 pada Tahun Wawu ngaran Sultan Tamjidillah Kerajaan
dalam Negeri Banjar dalam tanah tinggalan Yang mulia”
Sedangkan pada daun pintu sebelah kiri terdapat 5 baris
inskripsi Arab-Melayu berbunyi:
“Kiai Damang Astungkara mendirikan wakaf Lawang Agung
Masjid di Nagri Banjar Darussalam pada hari Isnain pada
sapuluh hari bulan Sya'ban tatkala itu (tidak terbaca)”
Kedua inskripsi itu menunjukkan pada hari Senin tanggal
10 Sya’ban 1159 telah berlangsung pembuatan Lawang Agung
(pintu utama) oleh Kiai Demang Astungkara pada masa
pemerintahan Sultan Tamjidillah I.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 77


Setelah pemugaran yang dilakukan Sultan Sepuh, Masjid
Kuin tercatat pernah dilakukan pergantian mimbar yang terbuat
dari kayu ulin. Pada pelengkung mimbar terdapat kaligrafi
berbunyi “Allah Muhammadarasulullah”. Pada bagian kanan atas
terdapat tulisan “Krono Legi: Hijrah 1296 bulan Rajab hari Selasa
tanggal 17”, sedang pada bagian kiri terdapat tulisan: “Allah
subhanu wal hamdi al-Haj Muhammad Ali al-Najri”. Ini berarti
pembuatan mimbar pada hari Selasa Legi tanggal 17 Rajab 1296,
atas nama Haji Muhammad Ali al-Najri.
Masjid Kuin baru direnovasi kembali pada masa
kemerdekaan pada 1976 yang dipelopori Kodam X Lambung
Mangkurat karena komponen masjid banyak yang rusak, seperti
tiang “soko guru” dari kayu ulin yang lapuk dibagian bawah
tanah. Seperti dijelaskan H. Ahmad Mahfudz, seorang pengurus
Masjid Suriansyah, pada saat renovasi tiang kayu ulin ujung
bawahnya sudah habis dimakan rayap. Renovasi yang dilakukan
Kodam X Lambung Mangkurat hanya melapisi bagian bawah
tiang utama yang lapuk. Selain itu juga dilakukan penambahan
ruang shalat untuk jemaah perempuan di dua sisi serambi masjid
bagian depan.
Pada 1978 Masjid Kuin ditetapkan sebagai benda cagar
budaya yang dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Direktur
Sejarah Purbakala Ditjen Kebudayaan Departemen Pendidikan
No. 047/L.3/DSP/78, tanggal 1 September 1978. Masjid Kuin
ditetapkan penamaannya dengan sebutan masjid Sultan
Suriansyah. Kemudian, pada 1999 Masjid Sultan Suriansyah
direnovasi kembali atas prakarsa Gubernur Kalimantan Selatan,
H. Gusti Hasan Aman. Renovasi meliputi perawatan bangunan
masjid dan penataan halaman sekitar masjid yang menghabiskan
biaya Rp. 1.039.027.200. Renovasi masjid tidak menghilangkan
bentuk maupun bagian-bagian masjid yang bernilai sejarah,
seperti empat buah tiang utama dari kayu ulin, satu daun pintu
kaca yang tengahnya terdapat ukiran kayu berisi inskripsi Arab-
Melayu, beduk, dan mimbar berukir dari kayu ulin.
Sebagai gambaran arsitektur masjid, pola ruang pada
Masjid Sultan Suriansyah merupakan pola ruang dari arsitektur

78 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


masjid Agung Demak yang dibawa bersamaan dengan masuknya
agama Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan. Arsitektur Masjid
Agung Demak sendiri dipengaruhi oleh arsitektur Jawa Kuno
pada masa kerajaan Hindu. Identifikasi pengaruh arsitektur
tersebut tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu
yang dipenuhi oleh masjid tersebut.
Tiga aspek tersebut meliputi atap meru, ruang keramat
(cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella. Meru
merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk
atap yang bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang
vertikalitas dan orientasi kekuasaan ke atas. Bangunan yang
dianggap paling suci dan dan penting memiliki tingkat atap
paling banyak dan paling tinggi. Ciri atap meru tampak pada
masjid Sultan Suriansyah yang memiliki atap bertingkat sebagai
bangunan terpenting di daerah tersebut. Bentuk atap yang besar
dan dominan, memberikan kesan ruang di bawahnya merupakan
ruang suci (keramat) yang biasa disebut cella. Tiang guru adalah
tiang-tiang yang melingkupi ruang cella (ruang keramat). Ruang
cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang
mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari
mihrab.
Sebagai masjid bersejarah di dalam Masjid Sultan
Suriansyah terdapat bangunan asli yang bernilai budaya tinggi.
Masing-masing antara lain ialah tiang utama/tiang guru 4 buah,
daun pintu 2 buah (sepasang), beduk 1 buah, dan mimbar khatib 1
buah.
Sekarang ini, luas lahan masjid Sultan Suriansyah adalah
623 m2 yang dibatasi parit disebelah Barat dan Utara masjid serta
jalan perkampungan di sebelah Selatan. Sedangkan bangunan
masjidnya memiliki luas 225 m2. Masjid ini mampu menampung
jemaah 750 orang, khusus di dalam masjid, sedangkan di hari-hari
tertentu seperti pada saat shalat Id bisa mencapai 2.000 orang
jemaah. Adapun pada pelaksanaan shalat lima waktu di hari-hari
biasa jemaah yang hadir sekitar 100 orang.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 79


Di samping bangunan masjid, di atas lahan masjid juga
telah berdiri bangunan perpustakaan dan sekretariat yang
tersambung langsung dengan bangunan masjid, Pemancar Radio
FM Kerjasama dengan Radio Madinatus Salam, bangunan
TK/TPA, bangunan tempat wudhu dan MCK, garasi mobil
ambulance dan mobil pemadam kebakaran, serta bangunan pos
jaga.
Pengelolaan masjid ini dilaksanakan oleh Badan
Pengelola Masjid Bersejarah Sultan Suriansyah dengan Surat
Keputusan (SK) dari Walikota Banjarmasin, yaitu SK Nomor:
005/A/BPMMSS/VI/2012, tertanggal 6 Juni 2012. Pengelola terdiri
dari Penasehat, Pengurus Harian, dan bidang-bidang teknis,
antara lain:
a. Bidang Pembangunan dan Pemeliharaan Sarana-Prasarana
b. Bidang Peribadatan, Keagamaan dan Dakwah
c. Bidang Pendidikan
d. Bidang Sosial Kemasyarakatan dan Pemuda Remaja
Masjid/BPK.

2. Pengelolaan Dana dan Optimalisasi Modal Sosial

Untuk mendukung operasional masjid selama ini


Pengurus Masjid Sultan Suriansyah mengandalkan dari sumber
dana ZIS dan tromol masjid serta bantuan dari pemerintah.
Perolehan teromol masjid perjumatnya di masjid tertua ini ialah
dua juta rupiah. Sedangkan bantuan yang pernah diberikan
pemerintah terdiri:
a. tahun 1976 renovasi masjid ditangani langsung Kodam X
Lambung Mangkurat
b. tahun 1999 renovasi dipelopori Pemprov Kalimantan Selatan
(Gubernur H. Gusti Hasan Aman) dengan biaya mencapai Rp.
1.039.027.200

80 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


c. tahun 2013 Pengurus Masjid Sultan Suriansyah mendapat
sumbangan Rp. 30.000.000 dari Pemerintah Kota Banjarmasin
untuk pembangunan MCK di sebelah Utara bangunan masjid.
Sebagai bangunan cagar budaya Masjid Sultan
Suriansyah tidak memiliki kendala berarti dari sisi pembangunan
dan pemeliharaan. Praktis perolehan dana ZIS dan teromol masjid
hanya digunakan untuk kegiatan rutin masjid, seperti untuk
petugas kegiatan peribadatan seperti imam, khatib, ustadz,
muadzin, dan pembantu umum serta pembayaran listrik, air dan
kebersihan.
Masjid ini sebetulnya dapat dikembangkan potensinya,
terutama dari aspek wisata ziarah. Masjid Sultan Suriansyah selain
dikunjungi masyarakat untuk kegiatan shalat berjamaah dan
kegiatan dakwah, juga sampai sekarang masih dikunjungi
masyarakat dari luar wilayah, kurang lebih 100 orang perharinya
untuk tujuan ziarah, wisata, dan tujuan lainnya.
Di samping itu Masjid Sultan Suriansyah di setiap tanggal
12 Rabiul Awwal yang bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi
SAW selalu diadakan ritual baayun. Ritual dengan cara mengayun
anak, remaja sampai orang tua di atas ayunan dari kain selindang
yang dihias dengan beraneka macam bunga dan buah-buahan ini
bertujuan mendapat keberkahan di bulan Maulid dan mengharap
cita-cita serta keinginannya supaya terkabul. Hal lain yang
menjadi keunikan masjid ini ialah jemaah shalat Shubuh
khususnya di hari libur membeludak. Masyarakat lokal maupun
pendatang mengambil start di masjid ini untuk memulai kegiatan
pasar apung di pagi hari.
Hanya saja potensi ini tidak digarap secara apik. Ada
semacam pandangan bahwa sebagai pranata (institution) agama
Masjid Sultan Suriansyah cukup bergerak pada kegiatan yang
mempunyai nilai-nilai khusus yang sakral. Hanya ruang utama
dalam masjid yang paling dimakmurkan sebagai tempat
peribadatan. Kesakralan ruangan dalam masjid juga dikaitkan
dengan simbol-simbol filosofis yang selalu dipertahankan,
walaupun bangunan fisiknya sudah dilakukan pemugaran.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 81


Misalnya Masjid Sultan Suriansah pada bagian ruang keramat
(cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella hanya
digunakan untuk kegiatan peribadatan, seperti shalat, I’tikaf,
tadarus Al-Qur’an, dan pengajian serta ritual khusus sesuai
keyakinan pengunjung.
Jemaah pun menghormati kesakralan ini, termasuk para
pengunjung, mereka selalu menutupi aurat dan menjaga diri
untuk tidak berbincang-bincang atau tiduran di ruang ini. Selesai
melakukan kegiatan peribadatan di dalam masjid mereka sukarela
ada yang menaruh infaq ke dalam tromol dan banyak yang tidak.
Hal ini dikarenakan tamu yang datang tidak ditentukan harus
melapor dan diberikan pemandu, sehingga terkesan kunjungan
pribadi walaupun ia dari daerah lain. Berbeda halnya jika
pengurus masjid membuat aturan ziarah masjid dan memberikan
pelayanan secukupnya maka otomatis pengunjung akan
memberikan sikap pengertian terhadap upaya pengelolaan masjid.
Begitu pula dari sisi pengelolaan ruang yang dinilai
profan, yakni di luar ruang utama masjid, seperti ruang serambi
atau plaza masjid, halaman dan pelataran masjid. Sekalipun di
Masjid Sultan Suriansyah terdapat fasilitas pendidikan TK/TPA,
fasilitas perpustakaan, fasilitas siaran radio transmisi, fasilitas
ambulance dan mobil pemadam kebakaran akan tetapi
pengelolaannya kurang maksimal. Hal ini tampak dari sisi
perawatan bangunan TK/TPA, dan fisik mobil ambulance serta
mobil pemadam kebakaran yang sudah mulai usang.

3. Kegiatan Masjid Sultan Suriansyah

Masjid Sultan Suriansyah memiliki sejumlah kegiatan,


antara lain:
a. melaksanaan shalat wajib berjamaah dilanjutkan kuliah
umum dan ceramah agama Islam
b. melaksanaan Shalat jum’at, Shalat Id, Shalat Gerhana, shalat
Tarawih, dan shalat sunnah lainnya

82 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


c. melaksanakan buka bersama dan “mengintip” Lailatul Qadr
pada malam 10 hari akhir Ramadan
d. mengumpulkan dan meyalurkan ZIS dan hewan qurban
e. memperingati Hari-Hari Besar Islam (PHBI)
f. menyelenggarakan sunatan massal
g. menyelenggarakan Festival Baayun Maulid
h. melaksanakan bakti sosial gotong-royong “gawi sabumi”
lingkungan di sekitar masjid dan pemakaman Sultan
Suriansyah
i. mengikuti Festival Keraton dan Masjid Bersejarah se-
Indonesia
j. menyiarkan peribadatan dan dakwah melalui Radio FM
k. menyelenggarakan pendidikan al-Qur’an (TPA/TKA) yang
kini siswanya berjumlah 260 anak.
Khusus kegiatan ceramah agama, di Masjid Sultan Suriansyah
dilaksanakan pada:
a. malam Sabtu, materi fiqh diasuh Ust. Abdus Satar
b. malam Minggu, materi Hadist oleh Ust. Fahrowi
c. malam Senin, materi umum keislaman oleh ustad-ustad dari
kawasan Kuin
d. malam Selasa, materi fiqh dan tasawwuf diisi Ust Hasan
Baihaqi
e. Kamis Siang diadakan Majelis Taklim Ibu-ibu
Di samping program rutin tersebut, pengurus Masjid
Sultan Suriansyah juga telah merancang program jangka
panjang,34 yaitu:

34 Hanya saja sejak pembentukan pengurus masjid dari tahun 2009 hanya ada

beberapa program yang sudah direalisasikan seperti fesitival makanan kuliner Banjar
yang digelar pada saat momen Maulid Nabi SAW.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 83


a. mendirikan pendidikan MI, MTs, dan MA
b. membangun Panti Asuhan
c. membangun Ruang Serba Guna
d. membebaskan tanah/rumah penduduk untuk memperluas
sarana-prasarana masjid
e. membuat armada air berupa perahu wisata untuk
mengantarkan wisatawan menuju Pasar Apung
f. menyelenggarakan Festival Masakan Kuliner Banjar
g. menerbitkan Bulletin Masjid Sultan Suriansyah, dan lain-lain.

4. Faktor pendukung dan penghambat


Secara umum masyarakat Banjarmasin masih menaruh
perhatian dan harapan besar terhadap Masjid Sultan Suriansyah.
Hal ini dibuktikan dari anggapan dan praktik sebagian
masyarakat Banjar bahwa masjid ini bernilai keramat seperti
untuk praktik I’tikaf, bermunajat di dekat mimbar, dan ritual yang
dibungkus dalam festival Baayun.
Selain faktor pendukung itu, pemberdayaan Masjid
Sultan Suriansyah juga mendapat dukungan berupa bantuan
pemerintah dalam statusnya sebagai bangunan cagar budaya yang
harus dilestarikan. Hanya saja terdapat hambatan dalam
pemberdayaan masjid bersejarah ini, yaitu:
a. dukungan pemerintah tidak optimal karena menganggap
pengelolaan masjid menjadi urusan warga setempat. Dalam
hal ini ada semacam “kecemburuan kepentingan”, pemerintah
kurang diberikan peran untuk perawatan masjid sedangkan
pengurus masjid menganggap bisa mengelola masjid tetapi
dengan sumberdaya kurang professional.
b. pengurus masjid masih menerapkan pengelolaan masjid
tradisional dan tidak mengembangkan aspek entertraining

84 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


kesejarahan masjid yang dapat memikat daya tarik wisatawan
dan masyarakat luas.
c. lingkungan masjid berada di tengah-tengah pemukiman
penduduk dan tepian sungai yang kurang tertata
mengesankan masjid ini tak ubah seperti masjid biasa yang
tidak tampak kesejarahannya.
d. belum tergali manfaat ekonomi secara optimal yang bisa
dirasakan masyarakat dari keberadaan masjid bersejarah ini.
Misalnya, rintisan rute wisata air dari masjid Sultan
Suriansyah sampai sekarang belum digarap secara optimal.

B. Model Pengelolaan Masjid Jami Sungai Jengah


1. Profil Masjid Jami Sungai Jengah

Salah satu saksi sejarah perkembangan Islam di


Banjarmasin adalah Masjid Jami Banjarmasin yang terkenal
dengan Masjid Jami Sungai Jingah Banjarmasin. Sekarang, masjid
ini berdiri di Jl. Masjid RW. 2 RT. 5 No. 1 Kelurahan Antasan Kecil
Timur, Kecamatan Banjarmasin Utara Kota Banjarmasin.
Dinamakan Masjid Sungai Jingah karena lokasi awal masjid
berada di kawasan perkampungan tua di tepi Sungai Martapura
di Banjarmasin, yakni Kampung Sungai Jingah. Toponim
Kampung Sungai Jingah sebenarnya berasal dari sebuah sungai
kecil bernama Sungai Jingah. Sungai ini sesungguhnya merupakan
sebuah handil atau semacam saluran yang muaranya di sungai
atau di Anjir/Antasan. Sungai ini bermuara di Sungai Pangeran
dan mengalir menuju Sungai Andai.
Penamaan Sungai Jingah kemungkinannya adalah
dahulunya disepanjang sungai kecil ini terdapat banyak pohon
Jingah, yakni vegetasi khas tanaman rawa di Banjarmasin dan
sekitarnya. Kini Sungai Jingah menjadi pembatas kampung Sungai
Jingah menjadi dua kelurahan, yakni Kampung Sungai Jingah
yang menjadi bagian dari Kelurahan Surgi Mufti sehingga kini
disebut Kampung Surgi Mufti, dan Kampung Sungai Jingah yang

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 85


menjadi bagian Kelurahan Sungai Jingah dan disebut sebagai
Kampung Sungai Jingah.
Pendirian masjid yang awalnya berarsitektur joglo di tepi
Sungai Martapura tidak dapat dipisahkan karena faktor geografi
Banjarmasin, yaitu terletak dipertemuan antara Sungai Barito dan
Sungai Martapura. Sungai Barito yang luas dan dalam, Sungai
Martapura yang dapat dilayari kapal-kapal besar, membuat kapal-
kapal Samudera dapat merapat hingga Kota Banjarmasin
(Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosu, tt:236).
Kawasan ini menjadi strategis sekali untuk perdagangan,
termasuk bagi pedagang muslim, sehingga timbul keinginan
mendirikan masjid Sungai Jingah.
Menurut data sejarah Masjid Jami Sungai Jingah dilokasi
awal didirikan oleh Sultan Sepuh atau Sultan Tamjidillah I pada
1195 H (1777 M). Masjid ini lalu dipindahkan ke lokasi sekarang
pada 1352 H (1934 M). Hal ini berdasarkan tulisan dalam sebuah
Prasasti berbentuk plakat kuningan berlapis kaca yang melekat di
mimbar masjid. Tulisan prasasti Arab-Melayu itu berbunyi:
“Tarikh didirikan Masjid asal adalah hari Sabtu, 17 Syawal
tahun 1195 H Sultan Tamdjidillah dan dicabut 11 Rajab tahun
1353 umurnya 157 Tahun 8 bulan 245 hari. Tarikh didirikan
masjid baru hari Ahad 16 Zulhijjah 1352. Mufti H. Ahmad
Kusasi”.
Saksi sejarah perpindahan Masjid Sungai Jingah kelokasi
sekarang ialah keberadaan sebuah beduk tua yang memiliki
panjang sekitar 1,25 meter dengan diameter sekitar 1,25 meter
pula yang ditempatkan di plaza sebelah Selatan Masjid Jami. Di
badan beduk tertera tulisan Arab-Melayu: “Hari Sabtu 17 Syawal
Tahun 1195”.
Perpindahan Masjid Jami sangat dipengaruhi oleh aspek
geografi. Menurut H. Husin Naparin, imam masjid, dan H.
Radiansyah, Sekretaris Umum Badan Pengurus Masjid,
perpindahan lokasi masjid karena adanya pelongsoran tanah
disekitar masjid akibat pengikisan air sungai atau erosi air sungai
Martapura. Lahan tanah Masjid Jami Sungai Jingah awalnya

86 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


merupakan tanah rawa yang becek dan digenangi air sehingga
membuat bangunan yang didirikan mudah longsor. Selain itu
lahan atau lokasi Masjid Jami pertama kali dinilai terlalu sempit
padahal masyarakat Banjarmasin pada saat itu memerlukan
tempat beribadah yang lumayan besar.
Pemerintah Kolonial Belanda pun, menurut H. Husin
Napirin dan H. Radiansyah, pernah berusaha menggunakan
kesempatan itu untuk mengambil hati orang Banjar. Mereka
berniat menyumbangkan uang hasil pajak untuk membantu
pembangunan masjid baru yang diinginkan masyarakat Banjar.
Kebetulan saat itu pendapatan pajak pemerintah Belanda dari
hasil memeras rakyat Kalimantan sedang berlimpah, terutama
dari hasil hutan seperti karet dan damar. Namun masyarakat
Banjar menolak mentah-mentah tawaran itu. Bagi orang Banjar
yang beragama Islam adalah haram hukumnya menerima
pemberian dari penjajah Belanda, apalagi untuk pembangunan
masjid.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut mereka secara
swadaya dan bergotong-royong membangun tempat ibadah
tersebut. Tua-muda, laki-laki dan perempuan secara bahu-
membahu mengumpulkan dana. Ada yang menyumbangkan
tanah, perhiasan emas atau hasil pertanian, sehingga tidak lama
kemudian di atas tanah seluas 2 ha berdirilah sebuah masjid yang
indah dan megah sebagai tempat beribadah pada 1934.
Masjid berarsitektur Banjar dan kolonial (indish) yang
dibuat dengan bahan dasar kayu ulin ini diarsitektori oleh Ir.
Pangeran Muhammad Nur dan diawasi Mufti H. Ahmad Kusasi.
Mereka tergabung dalam “Tim Sembilan” Panitia Pembangunan
Masjid baru digambarkan sebagai orang-orang terdidik yang
memakai jas berwarna putih, layaknya orang-orang berpengaruh
dijaman Hindia Belanda. Kemungkinan gaya hidup dan
pemikiran anggota panitia pembangunan masjid mewarnai model
bangunan Masjid Jami Banjarmasin berarsitektur Banjar dan
Eropa.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 87


Luas masjid bagian dalam adalah 40 x 40 m2, ditambah
dengan plaza diseputar masjid dan 3 pendopo sebagai pintu
utama dan 38 pintu masuk. Masjid Jami ini bisa memuat 7.000
jemaah. Secara fisik, Masjid Jami masih kokoh dengan tiang utama
penyangga (tiang soko guru) dari bahan kayu ulin sebanyak 17
buah, melambangkan jumlah rakaat shalat lima waktu. Tiang-
tiang itu menjulang menyangga atap masjid yang terbuat dari
sirap berbahan kayu ulin yang berlapis tiga bermahkotakan kubah
besar. Jumlah kubah Masjid Jami Banjarmasin adalah lima buah
melambangkan shalat lima waktu atau rukun Islam yang lima.
Bahan kayu ulin yang mendominasi infrastruktur masjid
masih banyak yang asli termasuk plafon masjid bagian dalam.
Bagian masjid yang sudah dirubah ialah lantai masjid, dimana
dulunya dari ubin porselin tapi sejak 2010 diganti dengan lantai
marmer dan keramik. Pada 2010-2011 Pemerintah Daerah (Pemda)
Banjarmasin menggelontorkan dana sebanyak 14 milyar untuk
renovasi Masjid Jami Banjarmasin dan penataan serta
pembangunan tata ruang di sekitar masjid, yang terdiri dari:
a. bangunan menara, taman air mancur dan gerbang utama serta
pos jaga di sebelah Selatan masjid
b. bangunan MCK dan ruang kelas di sebelah Utara masjid
c. bangunan perpustakaan, kantor secretariat, TPA/TPQ, dan
klinik di sebelah Timur masjid
d. gedung STAI Al-Jami di sebelah Timur-Tenggara masjid.
Lahan lainnya diperuntukkan untuk parkir tapi
sayangnya masjid tidak memiliki lahan hijau. Sekarang ini,
pengelolaan masjid dilaksanakan oleh Badan Pengurus Masjid
Jami Banjarmasin Periode 2014-2016 yang terdiri dari Badan
Pembina, Pengurus Harian dan bidang-bidang teknis, yakni
Bidang Takmir dan Peribadatan, Bidang Pemeliharaan, Bidang
Keamanan, Bidang Sosial Ekonomi dan Bidang Pemberdayaan
Perempuan.

88 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


2. Pengelolaan Dana dan Optimalisasi Modal Sosial
Untuk mendukung program kegiatan masjid, selama ini
pengurus Masjid Jami Banjarmasin mengandalkan dari sumber
dana ZIS dan tromol masjid, di samping donasi dari instansi
pemerintah dan swasta. Di antaranya masjid ini pernah mendapat
bantuan Pemda Kalimantan Selatan sebesar 14 milyar untuk
renovasi masjid pada 2010-2011.
Perolehan teromol masjid per-Jumat-nya di masjid Jami
ini ialah delapan juta rupiah, serta perolehan putaran kotak amal
pada pelaksanaan Pengajian Tuan Guru Zuhdi per-Minggu-nya
sebanyak sembilan juta rupiah. Total perbulannya dana yang
terkumpul dari masyarakat sekitar Rp. 55.000.000 yang
diperuntukkan untuk kegiatan rutin peribadatan dan pengeluaran
rutin untuk listrik dan air, serta kebersihan.
Perolehan donasi yang cukup besar pada masjid ini tidak
terlepas dari kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan
masjid ini. Masyarakat disetiap waktu shalat lima waktu datang
berbondong-bondong ke masjid untuk menunaikan kewajibannya.
Biasanya 3-5 shaf terisi jemaah dengan kapasitas masing-masing
shaf 120 orang, sehingga diperkirakan jemaah shalat maktubah di
Masjid Jami Sungai Jengah mencapai 350 orang. Sedangkan
diwaktu shalat Jum’at bisa menampung 7.000 orang. Kondisi
inilah yang menyebabkan donasi masyarakat setiap Jumatnya
cukup besar, yaitu delapan juta rupiah atau Rp. 24.000.000/bulan.
Selain itu masyarakat juga masih mengikuti kegiatan
taklim yang diadakan di masjid ini, yang dari sejak dahulu para
tuan gurunya dikenal sangat mumpuni dan berkualitas dalam hal
materi yang disampaikannya. Jemaah pun secara sukarela
menyisihkan dana infak yang dimasukkan ke dalam kas masjid.
Dana yang terkumpul dari jemaah pengajian per-bulannya
mencapai Rp. 30.000.000.

Menurut salah seorang pengurus masjid, kas Masjid Jami


Sungai Jengah sekarang sudah mencapai 1 milyar yang disimpan
di Bank Kal-Sel Syari’ah. Ujrah (bunga)-nya dimanfaatkan salah

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 89


satunya untuk mengumrahkan petugas/pembantu umum masjid
sebanyak 2 orang. Rencananya pengurus akan memanfaatkan kas
masjid ini untuk membeli lahan atau areal pemakaman umum
(alkah) tetapi hingga kini masih terkendala ijin sebab dalam
rencana tata kota Banjarmasin sudah tidak ada peruntukan lahan
untuk pemakaman baru. Pengurus berencana mengalihkan
pengadaan lahan pemakaman ke Kabupaten Banjar Baru atau
Martapura.

Pengurus Masjid Jami Sungai Jengah tergolong sangat


berhati-hati dalam pengelolaan dana maupun lahan masjid pada
umumnya. Mereka tidak berani melanggar nilai-nilai kesakralan
masjid yang dianut mayoritas jemaah masjid, seperti tidak boleh
melakukan kegiatan bisnis yang bernilai ekonomis di kawasan
masjid. Oleh karenanya fasilitas masjid hanya diperuntukkan
untuk kegiatan peribadatan dan pendidikan. Masjid ini sekalipun
mempunyai lahan luas tetapi tidak memiliki ruang serbaguna
yang biasa disewakan untuk kegiatan seperti resepsi pernikahan.
Begitu pula tidak terdapat business centre, seperti toko dan warung
di dalam areal masjid ini sehingga pengunjung kalau hendak
membeli air minum misalnya harus melangkah ke luar pagar
masjid. Para penjajak kaki lima hanya diperbolehkan berdagang di
luar pagar masjid.

Sekalipun demikian, pernah pula diadakan di dalam areal


masjid ini klinik kesehatan hasil kerjasama dengan Dompet Duafa.
Klinik ini sempat melayani rawat inap bagi ibu hamil yang
melahirkan. Akan tetapi klinik ini hanya berjalan dua tahun sebab
mendapat teguran dari Sudin Kesehatan Kota Banjarmasin karena
klinik tidak memiliki pengolahan limbah. Penutupan klinik ini
tidak memperoleh solusi tindak lanjut sehingga program
pelayanan kesehatan masyarakat yang dibuka Masjid Jami Sungai
Jengah berhenti total. Sebagai penggantinya pengurus masjid
berencana mengadakan mobil ambulance yang samapi sekarang
belum dimilikinya.

90 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


3. Kegiatan Masjid Jami Sungai Jengah
Masjid Jami Banjarmasin memiliki sejumlah kegiatan,
antara lain:
a. melaksanakan shalat wajib berjamaah
b. melaksanakan shalat Jum’at, shalat Id, shalat gerhana, shalat
tarawih, dan shalat sunnah nishfu sya’ban dan lainnya
c. melaksanakan buka bersama dan “mengintip” Lailatul Qadr
pada malam 10 hari akhir Ramadan
d. mengumpulkan dan menyalurkan ZIS dan hewan qurban
e. peringatan hari-hari besar Islam
f. melakukan kerjasama dengan BKRMI untuk
menyelenggarakan TPA dan TPSQ
g. menyelenggarakan pendidikan pada perguruan tinggi atas
nama STAI Al-Jami dengan konsentrasi PAI dan Dakwah
h. bekerjasama dengan Dompet Duafa membuka Klinik
Pengobatan dan Klinik Bersalin, tetapi sejak 2014 ditutup
karena belum mengantongi ijin.
Di samping menyelenggarakan shalat fardhu berjamaah,
menurut H. Radiansyah, masjid ini juga memiliki kegiatan harian
yang cukup padat, meliputi:

a. malam Jum’at kegiatannya setelah shalat maghrib sampai


setelah isya’ diadakan shalat taubat dan shalat hajat,
yasinanan, wirid asmaul husna dan ditutup dengan shalat
hajat. Jemaah masjid tersebut di tengah malam juga
dibiasakan shalat tahajjud

b. Jum’at pagi setelah shalat shubuh diadakan kajian tafsir dan


pada Jam 9 diadakan taklim ibu-ibu

c. malam Sabtu setelah shalat maghrib diadakan kajian hadist


dan fiqh yang diisi secara bergantian oleh Ust. H. Jumaidi dan
Ust. H. Tabrani Basri

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 91


d. malam Minggu sesudah shalat maghrib diadakan kajian
akhlaq/tashawwuf yang diasuh oleh Tuan Guru Zuhdi Nur
dengan jemaah sekitar 10.000 orang dari berbagai penjuru
Kota Banjar yang 60 persen di antaranya terdiri pemuda dan
remaja

e. malam Selasa sesudah shalat maghrib diadakan ceramah


umum agama yang diisi oleh Ust H. Mubarok dan Ust. H.
Nurdin Azhari dan setelah shalat Isya diadakan kursus
Tilawatil Qur’an oleh Ust. Masrum Zuhri serta qari’-qari’ah
Banjarmasin lainnya.

f. Rabu pagi, jam 9, diadakan pengajian Al-Qur’an untuk ibu-


ibu sekitar masjid.

4. Faktor Pendukung dan Penghambat


Berdasarkan uraian di atas tampaknya ada faktor
pendukung dan penghambat pemberdayaan masjid Jami Sungai
Jengah. Faktor pendukungnya ialah:
a. masjid ini masih dipercaya memiliki keutamaan tertentu oleh
masyarakat sehingga setiap shalat lima waktu maupun
kegiatan keagamaan lainnya di masjid ini selalu ramai
dihadiri banyak orang. Termasuk masyarakat memilih
menshalatkan anggota keluarga mereka yang meninggal
dunia di masjid ini.
b. pengurus mempertahankan ciri khas masjid ini sebagai pusat
pengembangan pendidikan dan dakwah serta ilmu-ilmu
keislaman dengan menghadirkan ulama yang alim dan
ternama. Masjid ini menjadi kiblat pengajian dan taklim bagi
jemaah masjid lainnya di Banjarmasin.
c. Pemda menyokong pendanaan masjid Jami ini terutama dari
sisi pembangunan fisiknya.
d. aset berupa dana simpanan dan areal lahan masjid Jami
tergolong cukup banyak dan cukup luas untuk
pengembangan masjid ke depannya.

92 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Adapun penghambat pemberdayaan Masjid Jami Sungai
Jengah, adalah:
a. pemerintah kurang memperhatikan analisis kebutuhan tata
kelola Masjid Jami. Orientasi bantuan pengembangan fisik
masjid yang pernah diberikan Pemerintah telah mengubur
benda-benda bernilai sejarah di masjid ini.
b. pengurus masjid kurang aktif sehingga program-program
kegiatan yang berjalanan lebih banyak bersifat peribadatan
dan pendidikan. Sedangkan program-program pemberdayaan
social-ekonomi belum bisa dijalankan hingga sekarang.

Penutup
1. Simpulan

a. Model pengelolaan masjid di Kota Banjarmasin dalam


memberikan pelayanan kepada jemaahnya lebih berorintasi pada
aspek spiritual dan kesalehan pribadi dibandingkan aspek
kesalehan sosial dan manfaat ekonomi.
b. Pengurus masjid di Banjarmasin cukup aktif mengoptimalisasikan
modal sosial yang dimiliki walaupun tidak sangat baik, yaitu
dengan cara membagi ruang masjid menjadi ruang sakral dan
ruang profan. Masjid Sultan Suriasyah dan masjid Jami Sungai
Jengah sebagai masjid bersejarah dan dianggap “keramat” oleh
sebagian masyarakat masih dipertahankan fungsinya oleh para
pengurus masjid. Masyarakat luas masih dibolehkan bermunajat
atau berdiam diri dalam tempat-tempat tertentu di dalam ruang
utama masjid yang dianggap sakral. Sedangkan di ruang profan,
Pengurus Masjid Sultan Suriansyah hingga kini masih
melestarikan tradisi Baayun. Pengurus Masjid Jami Sungai Jengah
juga masih mengadakan pendidikan dan kajian-kajian keislaman
seperti yang diadakan para mufti di jaman dulu. Hanya saja
pengurus kedua masjid ini kurang dapat memanaj modal sosial
itu secara profesional.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 93


c. Mekanisme pengumpulan, pengelolaan, pendistribusian
(pemanfaatan), dan pengawasan terhadap dana bantuan yang
diterima masjid di Banjarmasin bervariasi sesuai tipologinya. Pada
masjid raya dan masjid sektoral mekanismenya lebih menekankan
manajemen top-down, yang berpangkal kepada Penyandang dana
utama atau pengurus yayasan. Pendanaan pada masjid ini tidak
mengalami banyak kendala dan relatif tercukupi untuk
melakukan biaya pemberdayaan masjid. Justru yang unik ialah
masjid tipe bersejarah, seperti Masjid Sultan Suriansyah dan
Masjid Jami Sungai Jengah. Kedua masjid ini hanya mendapat
bantuan dari pemerintah secara tentatif, dan selebihnya dari
bantuan swadaya masyarakat. Pada kedua masjid ini diterapkan
mekanisme buttom-up dimana antara pengurus dengan jemaah
sama-sama merasakan kepuasan karena masjid yang mereka
banggakan masih tetap eksis, sekalipun hanya melayani bidang
peribadatan, pendidikan, dan dakwah.
d. Secara umum faktor yang menjadi pendorong pengelolaan masjid
dalam pelayanan di bidang keagamaan dan pemberdayaan umat
di Banjarmasin ialah (1) kehidupan masyarakat Banjarmasin masih
cukup religius dan cukup dermawan untuk kepentingan
memakmurkan masjid, (2) tokoh masyarakat Islam Banjarmasin
memiliki kepedulian tinggi terhadap keberagamaan umat Islam
dan kelangsungan kegiatan peribadatan, pendidikan, dan dakwah
di masjid, (3) dukungan dan peran serta pemerintah serta institusi
swasta untuk mengembangkan masjid masih sangat tinggi.
Adapun faktor penghambat pengelolaan masjid secara umum di
Banjarmasin ialah persepsi bahwa fungsi masjid hanya sebagai
sarana peribadatan, pengembangan pendidikan dan dakwah.
Sedangkan upaya untuk mengoptimalkan manfaat ekonomi dari
masjid dan jemaah masjid di Banjarmasin belum dapat dilakukan
secara maksimal karena pandangan tradisional itu.

2. Rekomendasi
a. Pemerintah supaya mengintensifkan sosialisasi wakaf masjid
produktif kepada pengurus masjid dan tokoh masyarakat agar

94 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


terbangun persamaan persepsi bahwa asset wakaf maupun asset
ZIS yang dimiliki masjid dapat diperuntukkan untuk kepentingan
yang lebih luas daripada manfaat peribadatan an sich. Dengan
demikian diharapkan pemberdayaan ekonomi-sosial dapat
dipelopori lewat masjid
b. Pemerintah supaya melakukan analisis kebutuhan masjid sebelum
memberikan program bantuan masjid. Jika perlu maka
pemerintah dapat memasukkan persyaratan agar setiap masjid
yang mengajukan permohonan dana terlebih dahulu melakukan
self assessment.
c. Pengurus masjid supaya lebih aktif membangun jaringan (network)
dengan sesama pengurus masjid dengan maksud agar tidak
terjadi kesenjangan antarmasjid di satu daerah.
***

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 95


Daftar Pustaka

Coleman, J.S., Social Capital In Creation of Human Capital, Amarican Journal


of Sociology, 94 Supplement: S95-120.

Daud, Alfani, 1979. “Ulama dalam Masyarakat Banjar” dalam Agama,


Budaya dan Masyarakat: Ikhtisar Hasil-Hasil Penelitian, (Moeslim
Abdurrahman (ed)), Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Agama Proyek Penelitian Agama

__________, 1997. Islam dan Masyarakat Banjar; Deskripsi dan Analisa


Kebudayaan Banjar, Jakarta; PT. RajaGrafindo Perada

Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariat Ditjen Bimas Islam
Kementerian Agama. 2007. Pedoman Pemberdayaan Majid (Melalui
Aspek Idarah, Imarah, dan Ri’ayah).

Fukuyama F., 1995. The Social Virtues and The Creation of Prosperity.
Newyork: Free Press.

Halpen, David. 2005. Social Capital. Cambridge: Polity.

Kutoyo, Sutrisno dan Sri Sutjianingsing (ed.), 1977/1978, Sejarah Daerah


Kalimantan Selatan, Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya
Pendidikan dan Kebudayaan

Putnam, R.D., 1993. Marking Democracy Work: Civil Tradition In Modern Italy.
Princeton NJ: Princeton University Press.

Rais, Rahmat. 2009. Modal Sosial Sebagai Strategi Pengembangan Madrasah.


Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.

Ras, J.J. 1968. Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiograpy, Martinus


Nijhoff: The Hague

96 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


MODEL PEMBERDAYAAN GEREJA HKBP
DI MEDAN:
Membangun Strong Leadership dan Kemandirian

Oleh:
Abdul Jamil, Zaenal Abidin Eko Putro, dan Mardjuki

Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Kota Medan sering diidentikkan dengan Suku Batak. Pendapat


tersebut tidaklah sepenuhnya benar, sebab penduduk Kota Medan bukan
hanya terdiri dari etnis Batak, namun banyak etnis Melayu dan Cina.
Dalam sejarah berdirinya Kota Medan, peranan orang-orang Melayu
dalam membangun kota ini cukup signifikan, yaitu terutama peran Sultan
Makmoen Al-Rasyid dari Kerajaan Deli.
Kota Medan dulunya masih berupa hutan belantara, oleh sebuah
perusahaan swasta dan pemerintah kolonial Belanda bekerjasama dengan
pemerintah lokal (Kerajaan Deli) didirikanlah sebuah penjara untuk
memenjarakan buruh atau kuli kontrak yang melakukan penyelewengan
kontrak kerja. Beberapa tahun kemudian kantor pos pertama didirikan di
wialayah ini, serta perkumpulan orang-orang Belanda “White Societeit”
tahun 1879. Akibat keuntungan perkebunan kerjasama antara Belanda dan
Kerajaan Deli, maka pembangunan Kota Medan kemudian semakin
meningkat. Beberapa sarana infra struktur kota dibangun seperti jalan-
jalan, jembatan, got-got, dan air minum. Dalam perkembangan berikutnya
Kota Medan akhirnya dipilih oleh Kerajaan Deli sebagai pusat
pemerintahan.
Dipilihnya Kota Medan sebagai ibukota Kerajaan Deli, karena
kawasan ini memiliki dataran yang tinggi, datar, luas, dan tidak berbukti,
sehingga sangat strategis untuk pusat pemerintahan. Tanah Kota Medan
juga lebih tinggi dibanding kawasan perkebunan sehingga bisa dijadikan
tempat pengawasan areal perkebunan tersebut, termasuk pengawasan
distribusi hasil-hasil perkebunan ke berbagai daerah. Dimulai pada 1888,

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 97


Sultan Makmoen Al-Rasyid kemudian mendirikan sebuah istana yang
megah. Pembangunan istana ini berlangsung selama tiga tahun. Setelah
pembangunan selesai maka sejak saat itu ibukota Deli secara resmi pindah
ke Medan (Teruna, 2006:83-86).

Kota Medan merupakan ibukota Provinsi Sumatera Utara yang


merupakan kota terbesar di Sumatera dan ketiga di Indonesia setelah
Jakarta dan Surabaya. Kota Medan memiliki 21 kecamatan dan 150
kelurahan dengan luas wilayah adalah 265,20 km2. Perkembangan Kota
Medan cukup pesat, jumlah penduduknya terus bertambah. Berdasarkan
data BPS Provinsi Sumatera Utara pada 2012 jumlahnya mencapai
2.122.804 jiwa. Jumlah penduduk itu akan terus meningkat sebab Medan
memiliki daya tarik bagi para pencari kerja dari berbagai daerah, sehingga
masyarakat Medan sangat multietnis, berbagai etnis yang ada di Indonesia
juga terdapat (menetap) di Medan, terutama Suku Batak, Melayu, Jawa,
Minang, dan Thionghoa.

Jenis lapangan kerja yang paling banyak menyedot tenaga kerja


adalah sektor perburuhan dan sektor jasa. Sektor buruh dan jasa hampir
63% dari jumlah mata pencaharian penduduk kota Medan, baik buruh
toko, pabrik garmen, jasa angkutan jalan raya, seperti angkutan becak
motor, angkutan kota, jasa hiburan dan lainnya. Selanjutnya, yang juga
merupakan lapangan kerja kedua adalah sektor informal yaitu pedagang,
karyawan pegawai swasta, BUMN, kemudian PNS dan TNI .

Kota Medan mempunyai jaringan perhubungan darat, laut, dan


udara, sehingga memudahkan transportasi bagi aktivitas bisnis atau
perekonomian. Melalui jalur darat, laut, dan udara maka komoditas
produk dan kebutuhan hidup dapat dengan mudah dipenuhi. Medan juga
merupakan pintu gerbang bagi wisata mancanegara maupun domestik
dengan tujuan pedalaman Sumatera Utara yang kaya akan aneka ragam
budaya, adat istiadat, peninggalan sejarah, dan keindahan alamnya. Objek
wisata Sumatera Utara yang terkenal salah satunya adalah danau Toba
yang sudah terkenal dimancanegara.

Masyarakat Medan tidak hanya plural dalam etnis dan budaya


namun juga dalam beragama. Agama yang banyak dianut masyarakat
adalah Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Khonghucu. Dalam hal

98 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


keagamaan masyarakat kota Medan sangat heterogen. Kota Medan
memiliki rumah ibadat dari berbagai agama. Berdasarkan data BPS
Provinsi Sumatera Utara, jumlah masjid (Islam) adalah 805 buah, gereja
Protestan 691 buah, gereja Katolik 40 buah, pura (Hindu) 23 buah, vihara
(Buddha) 200 buah, kelenteng (Khonghucu) 38 buah.35 Tingkat
heterogenitas yang sangat tinggi itu menjadikan masyarakat Medan sudah
terbiasa dengan perbedaan agama dan keyakinan.

A. Gereja Huriah Kristen Batak Protestan (HKBP)


1. Selintas Sejarah HKBP
Pengelolaan Gereja Huriah Kristen Batak Protestan (HKBP)
bermula tumbuh dari Misi RMG (Rheneische Missions Gesselschaft) dari
Jerman yang kemudian secara resmi berdiri pada 7 Oktober 1861.
Berdirinya Gereja HKBP tidak lepas dari peran empat orang
missionaris yakni: Pdt. Heine, Pdt. J.C. Klammer, Pdt. Betz dan Pdt.
Van Asselt (mereka berasal dari Zending Emerlolo Belanda dan
Zending Rheinische Mission Jerman). Keempat tenaga Zending ini
mengadakan rapat di Sipirok untuk membicarakan pembagian
wilayah pelayanan di Tapanuli.36 Keempat penginjil tersebut telah
berkomitmen untuk lebih berkonsentrasi dalam penginjilan di bagian
utara bukan lagi bagian selatan tanah Batak. Visi dan misi mereka
adalah bahwa Injil harus diberitakan secepat mungkin kepada kaum
Batak yang masih hidup dalam dunia agama purba yang animis-
magis.
Pada 1862 I Ludwigh Nomensen datang ke tanah Batak. Sejak
kehadirannya di tanah Batak, perkembangan kekristenan semakin
pesat. Metode yang kontekstual dan corak berpikir adaptif dan
transformatif (pemberitaan injil yang meliputi perkataan, perbuatan
diaconal, dan pendidikan) membuat Injil mudah diterima orang Batak
(Hutauruk, 2011:35-37). Sejarah kemudian mencatat HKBP terus

35 BPS Provinsi Sumatra Utara, diakses dari www. sumut.bps.co.id


36 Hasil wawancara dengan ketua Pusat Kajian Budaya Batak Univ.
Nommensen bpk Nababan, Senin, 25 Mei 2014, pukul 12.15 wib di perpustakaan
Universitas Nommensen Medan.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 99


berkembang, bukan hanya di tanah Batak atau Sumatera Utara tapi
juga ke luar Sumatera Utara.
Saat ini HKBP memiliki jamaat sekitar 4.5 juta anggota di
seluruh Indonesia. Berdasarkan data tahun 2012, HKBP memiliki 3.168
gedung gereja dan 638 resort dengan 27 distrik. Bahkan HKBP juga
mempunyai beberapa gereja di luar negeri, seperti di Singapura, Kuala
Lumpur, Los Angeles, New York, Seattle dan di negara bagian
Colorado. Meski memakai nama Batak, HKBP juga terbuka bagi suku
bangsa lainnya. Menurut informasi yang disampaikan Kabid Bimas
Kristen Kanwil Kemenag Sumatera Utara, Hasudungan Simatupang,
diperkirakan HKBP merupakan sinode Kristen terbesar di wilayah
Asia Tenggara.
Sejak pertama kali berdiri, HKBP merupakan organisasi
keagamaan yang terus berkembang. Hal ini dibuktikan melalui
usianya yang sudah 153 tahun pada 2013. Pusat HKBP berkantor di
Pearaja, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara yang berjarak
sekitar 1 km dari pusat kota Tarutung, Ibu kota Kabupaten Tapanuli
Utara. Pearaja merupakan sebuah desa yang terletak di sepanjang jalan
menuju kota Sibolga (Ibukota Kabupaten Tapanauli Tengah). Di desa
itu berdiri kompleks perkantoran HKBP dan pusat administrasi
organisasi HKBP yang berada dalam area lebih kurang 20 ha. Di
kompleks ini juga tempat berkantornya Ephorus sebagai pimpinan
tertinggi HKBP (seperti Uskup dalam Katholik). Dulunya Ephorus
dijabat oleh penginjil dari RMG, namun sejak 1940 sampai sekarang
Ephorus selalu orang Batak.
Di dalam gereja HKBP telah terbangun pola yang telah
mengakar. Di setiap gereja HKBP sesuai aturan yang telah ditetakan
berlaku perangkat organisasi dan perangkat kerja yang sama, antara
lain terdapat aturan dan peraturan HKBP yang di dalamnya tersusun
hal-hal seperti nyanyian, liturgi, konvensi, dan aturan dan peraturan
yang khas HKBP. Karena menggunakan nama Batak di dalamnya
maka tidak mengherankan jika Bahasa Batak mendominasi dalam
nama maupun penyebutan istilah dalam pranata dan perangkat yang
terdapat di dalam organisasi sinode tersebut.37

37Wawancara dengan pdt. Games Purba, pendeta di gereja HKBP Cinta


Damai, Medan, 13 Mei 2014

100 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


2. Tata Organisasi Gereja
Struktur kelembagaan gereja HKBP mengenal hirarki dari
tingkat pusat sebagai yang tertinggi, kemudian distrik, resort, dan
terakhir sektor sebagai tingkat yang terendah. Seluruh gereja HKBP
berada dalam kepemimpinan HKBP pusat. Bersama Sekretaris
Jenderal dan Kepala Departemen (Koinonia, Marturia, dan Dikaonia)
Ephorus memimpin segenap HKBP. Setiap lima tahun sekali mereka
(Ephorus, Sekretaris Jenderal, dan Kepala Departemen) dalam Sinode
Godang memilih Praeses (pemimpin distrik). Mereka juga bersama
kepala Biro Personalia HKBP menetapkan pimpinan jamaat cabang,
pendeta resort, dan kepala bidang di distrik melalui Surat Keputusan
(SK).
Dalam aturan dan peraturan HKBP (2002) ada enam jenis
jabatan tahbisan tohanan di HKBP yaitu: pendeta, guru jamaat,
bibelvrouw, diakonia, evangelis dan penatua (sintua). Enam pelayan
tahbisan tersebut semuanya melayani penuh waktu (full time), kecuali
penatua (sintua) hanya paruh waktu saja, karena penatua menerima
jabatan dari HKBP melalui pendeta resort sesuai dengan agenda
HKBP. Adapun yang lainnya (pendeta, guru jamaat, bibelvrouw,
diakonia, dan evangelis) menerima jabatannya dari HKBP melalui
Ephorus.
Di dalam kepengurusan gereja HKBP berlaku standar
kepengurusan. Untuk gereja yang masih belum ditempati pendeta,
maka kepengurusanya terdiri dari gembala, bendahara, dan majelis
jamaat Sintua (terdiri dari perwakilan kumpulan jamaat, jumlahnya
berbeda-beda tiap gereja tergantung besarnya jamaat), dan jamaat.
Untuk gereja yang sudah memiliki pendeta maka jabatan pimpinan
gereja dipegang oleh pendeta yang ditugaskan dari pusat. Di samping
pendeta terdapat sekretaris, bendahara, bibelvrouw, Ketua Parartaon,
anggota Parartaon, Ketua Dewan Koinonia, Ketua Dewan Marturia,
dan Ketua Dewan Diakonia. Biasanya gereja dengan klasifikasi gereja
resort tersebut jamaatnya sudah relatif banyak.
Menyangkut honorarium kepada pendeta, didapatkan
informasi bahwa pendeta di lingkungan Gereja HKBP mendapatkan
gaji sebesar Rp. 2.000.000 setiap bulan untuk tingkat paling bawah

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 101


(pagaran), yang biasanya gereja tersebut berada di pedesaan. Besaran
gaji ini akan meningkat seiring dengan besaran dana persembahan
yang diberikan jamaat. Namun demikian, untuk gereja HKBP di
wilayah perkotaan, dapat dipastikan bahwa dana persembahan jamaat
jumlahnya semakin besar, sehingga gaji pendetanya dua atau tiga kali
lipat ketimbang gereja HKBP di wilayah pedesaan.
Untuk gaji pendeta di wilayah perkotaan bisa mencapai tiga
kali lipat dibanding gaji pendeta di pedesaan karena mengikuti
tingginya biaya hidup di wilayah perkotaan. Jika gaji minimal pendeta
di Gereja HKBP yang terletak di pedesaan sebesar Rp. 2.000.000, di
tingkat distrik dapat mencapai dua kali lipat dan di tingkat pusat bisa
mencapai tiga kali lipat. Di luar gaji tetap ini, terkadang pendeta
menerima persembahan pribadi dari jamaat yang jumlahnya tidak
ditentukan berdasarkan kemampuan dan selera jamaat.
Dalam pemberian gaji, perlu dicatat terdapat dua model
penyaluran gaji untuk Pendeta HKBP ini. Pendeta yang bertugas di
tingkat bawah (pagaran) hingga resort (selevel kecamatan), maka
gajinya ditanggung oleh jamaat lokal melalui distrik (setingkat
wilayah). Adapun untuk pendeta di level atas, dari tingkat distrik
sampai pusat, gajinya ditanggung oleh pusat. 38
Untuk mendinamisasi pelayanan, terdapat aturan di mana
pendeta di lingkungan HKBP tidak boleh melebihi masa empat tahun
dalam melakukan pelayanan pada satu gereja. Sesudah empat tahun
dalam melakukan pelayanan. Ia harus berpindah tempat. Di samping
itu di suatu distrik seorang pendeta hanya bisa bertugas maksimal
selama delapan tahun, artinya seorang pendeta tidak boleh bertugas
melayani di suatu distrik selama dua priode berturut-turut, pada
periode berikutnya ia harus pindah ke lain distrik.
Meskipun manajemen pengelolaan gereja telah ditata
sedemikian rupa, bukan berarti konflik internal tidak pernah terjadi.
Konflik kadang terjadi di dalam gereja HKBP, pangkal
permasalahannya biasanya pada hal pelayan dalam hal ini, yaitu sikap

38 Wawancara dengan Lindon Tambunan, jamaat dan parartaon (urusan harta


gereja) di gereja HKBP Cinta Damai, Medan, 14 Mei 2014.

102 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


pendeta yang kadang tidak diterima, baik oleh pengurus atau jamaat.
Ketika terjadi konflik internal seperti itu, menurut Pendeta Games
Purba, solusi penyelesaian konflinya bisa melalui rohani, atau melalui
Dalian Natolu. Kadang konflik bisa juga diselesaikan melalui
pendekatan personal kepada masing-masing pihak. Lalu ada juga
pendekatan struktur, dalam bentuk laporan ke distrik, yaitu ke Distrik
Medan-Aceh, dan kemudian diintervensi oleh distrik. Dalam wilayah
Distrik Medan-Aceh terdapat 78 gereja ressort.
Kabid Bimas Kristen Kanwil Kemenag Sumut, Hasudungan
Simatupang, menyatakan bahwa misi utamanya dalam menjabat
posisi di Bimas Kristen Kanwil Kemenag Sumut selama empat tahun
terakhir ini adalah untuk menangkal potensi konflik dalam HKBP.
Kebetulan ia juga jamaat HKBP. Ia rajin memantau dan memediasi jika
terdapat gereja yang dirundung konflik internal dan turut aktif
mencari solusi dan memediasi berbagai pihak yang terlibat di
dalamnya. Menurut Hasudungan: “Hilang pamor Kemenag kalau
sampai terjadi konflik di internal HKBP.”39

3. Pengelolaan Dana

Dalam sistem keuangan HKBP, untuk persembahan di setiap


Gereja HKBP dalam setiap minggunya telah ditentukan atau
dialokasikan pada tiga kebutuhan, yaitu untuk Huria yaitu dana untuk
pengelolaan oprasional sehari-hari gereja setempat, kemudian untuk
Pembangunan yaitu dana untuk biaya pembangunan gereja setempat
dan untuk Pusat yaitu dana untuk di setorkan ke HKBP pusat. Pola
penggunaan dana di setiap Gereja HKBP sama sedemikian ini. Jadi,
dapat dibayangkan berapa besar dana yang terkumpul untuk
organisasi jika jumlah Gereja HKBP yang saat ini mencapai 20 ribu di
seluruh dunia. Sedangkan HKBP merupakan sinode terbesar di Asia
Tenggara.
Sekalipun semua gereja menyetor ke pusat, namun dana yang
dikumpulkan di pusat itu juga digunakan untuk kepentingan

Wawancara dengan Hasudungan Simatupang, Kabid Bimas Kristen Kanwil


39

Kemenag Sumatera Utara, 13 Mei 2014

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 103


organisasi seperti membantu orang sakit, orang jompo, dan yatim
piatu yang tergabung dalam yayasan dan pusat-pusat pendidikan
HKBP. Termasuk juga untuk membiayai kegiatan-kegiatan pusat
HKBP yang melibatkan struktur dari tingkat bawah (pagaran) hingga
tingkat pusat yang bermarkas di Desa Pearaja Tarutung, Tapanuli
Utara. Saat ini HKBP juga mempunyai perguruan tinggi di Medan,
yaitu Sekolah Tinggi Teologia (STT) HKBP dan Universitas HKBP
Nommensen.
Jamaat gereja setiap minggu datang ke gereja untuk
melakukan kebaktian, mereka biasanya memberikan uang
persembahan kepada gereja yang jumlahnya disesuaikan dengan
kemampuan. Besarnya jumlah dana persembahan yang diberikan
setiap individu jamaat berbeda-beda, semakin banyak jamaat gereja
maka biasanya semakin besar dana persembahan yang diperolehnya.
Besarnya dana persembahan sukarela setiap minggunya dalam HKBP
juga seiring dengan tingkat taraf ekonomi jamaat. Perlu diketahui
bahwa tidak ada ketentuan berapa besaran dana persembahan itu. Hal
inilah yang membedakan dengan gereja-gereja kharismatik yang
mematok persembahan sampai 10 persen. Dengan kondisi ini, maka
beralasan jika gereja-gereja kharismatik kebanyakan berada di
masyarakat perkotaan, berbeda dengan gereja, seperti HKBP yang
kadang jauh masuk ke desa-desa.40
Di samping jumlah jamaat dan taraf ekonominya, besarnya
dana persembahan yang diperoleh juga terkait dengan tingkat
kepercayaan jamaat terhadap pihak gereja, untuk itu dibutuhkan rasa
saling kepercayaan yang kuat di antara organ-organ di dalam gereja.
Untuk menjaga kepercayaan jamaat, di Gereja HKBP juga dilakukan
audit oleh audit internal. Ini dilakukan secara terbuka, yang biasanya
diselenggarakan dalam kegiatan rapat kerja tahunan yang membahas
program kerja dan juga laporan keuangan. Tim audit internal itu
jumlahnya harus ganjil. Di samping itu diterjunkan pula tim audit
dari tingkat distrik dan tim audit dari HKBP pusat.

40 Wawancara dengan Lindon Tambunan, jamaat dan parartaon (urusan harta


gereja) di gereja HKBP Cinta Damai, Medan, 14 Mei 2014.

104 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Pengelolaan keuangan di Gereja HKBP ini di luar campur
tangan pendeta, sebab tugas pendeta hanya mengurusi soal rohani
atau spritual. Untuk urusan pengelolaan dana adalah menjadi urusan
majelis gereja yang terdiri dari perwakilan tokoh-tokoh gereja
setempat, di sini pendeta hanya sekedar mengetahui, namun tidak
terlibat dalam pengelolaanya. Terkait dengan tugas pelayanan, semua
biaya hidup pendeta dan keluarganya ditanggung oleh jamaat yang
dibiayai dari dana persembahan, mulai dari rumah dinas, gaji bulanan,
biaya listrik dan lain-lain. Semua prokosa (biaya) itu difasilitasi gereja.
Pemanfaatan dana jamaat oleh gereja-gereja HKBP, disamping
untuk kebutuhan rutin pengeluaran gereja dan biaya hidup pendeta,
juga digunakan untuk biaya pembangunan atau rehabilitasi gereja,
serta untuk disumbangkan ke HKBP pusat. Selain itu juga digunakan
untuk kegiatan diakonia (sosial) dan pemberdayaan, misalnya dengan
memberikan beasiswa (stimulant biaya) pendidikan kepada jamaat.
melalui dana diakonia HKBP disamping memberikan bantuan-
bantuan sosial, juga mampu melayani pelatihan-pelatihan yang
dibutuhkan jamaat, bahkan mampu menghidupkan kembali sekolah-
sekolah HKBP yang sempat tutup. Dalam hal ini, untuk
memaksimalkan pendapatan dana, HKBP juga sudah membuka Badan
Usaha Milik Jamaat (BUMJ).

B. Model Pengelolaan Gereja HKBP Cinta Damai


1. Profil Gereja
Gereja HKBP Cinta Damai sudah sejak lama berdiri, yaitu
kira-kira sejak tahun 1957.41 Dinamakan Gereja Cinta Damai karena
mengikuti nama kelurahan setempat. Gereja Cinta Damai letaknya
berada di Jl. Pantai No. 4, Kelurahan Cinta Damai, Kecamatan Medan
Helvetia, Kotamadya Medan. Kecamatan ini berbatasan langsung
dengan Kecamatan Medan Sunggal di sebelah Selatan, Kabupaten Deli
Serdang di sebelah Utara, Kabupaten Deli Serdang di sebelah Barat,
dan Kecamatan Medan Barat Petisah di sebelah Timur.

41Pernyataan Pdt. Games Purba saat wawancara di gereja HKBP Cinta Damai,
Jum’at 23 Mei 2014,

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 105


Kecamatan Medan Helvetia mempunyai luas sekitar 11,55 km
dan jarak kantor kecamatan ke kantor Walikota Medan sekitar 8 km.
Kecamatan Medan Heltevia dihuni oleh 144.077 orang penduduk di
mana laki-laki berjumlah 71.047 orang serta perempuan berjumlah
73.030 orang. Di samping warga pribumi, terdapat warga negara
Indonesia turunan Thionghoa yang berdomisili di kecamatan ini, yaitu
jumlahnya sebanyak 3811 orang, yakni 1.904 laki-laki dan 1.907
perempuan. Kelurahan Cinta Damai merupakan kawasan yang
banyak dihuni oleh warga Indonesia keturunan, yakni sebanyak 1.876
orang.42 Gereja ini sebelumnya merupakan perkampungan kuda. Saat
itu belum banyak penduduk yang menempati kawasan itu, dulunya di
wilayah sekitar terdapat banyak kebun kangkung dan perkampungan
sayur dan kandang peternakan babi.43
Saat ini Gereja HKBP Cinta Damai memiliki gedung yang
cukup besar dan halaman parkir yang luas. Gereja juga memiliki
gedung serbaguna yang berada di sebelah gereja, tepatnya berada di
belakang rumah dinas pendeta dan sekretariat gereja. Di lingkungan
sekitar gereja banyak terdapat pohon mangga yang rindang, Di
sekeliling halaman parkir, tumbuh pohon-pohon yang sudah relatif
tinggi sehingga terasa teduh. Sementara di samping rumah dinas
pendeta banyak tanaman yang juga menjadikan suasana lingkungan
yang terasa hijau dan sejuk.
Suasana gereja ini pada Minggu pagi sangat ramai, banyak
jamaat gereja yang datang untuk ibadat kebaktian, jamaat umumnya
datang berkendaraan, saat itu halaman gereja hampir penuh dengan
kendaraan roda dua dan roda empat yang parkir. Gereja HKBP Cinta
Damai mempunyai anggota jamaat relatif besar, berdasarkan KK
jumlahnya mencapai 498 KK, sulit untuk menghitung secara pasti
berdasarkan per individu/jiwa sebab banyak jamaatnya yang pergi
untuk belajar atau bekerja di tempat lain. Sebaliknya ada pula jamaat
dari HKBP dari resort atau distrik yang berbeda mengikuti ibadah di
situ. Untuk meningkatkan efektivitas pelayanan, maka jamaat HKBP

42 Dikutip dari ZM Isa, dalam http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/

31410/4/chapter% 2011. pdfv, diakses tanggal 24 mei 2014


43 Wawancara dengan Pdt. Games Purba di gereja HKBP Cinta Damai, Jum’at

23 Mei 2014.

106 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Resort Cinta Damai dibagi ke dalam 12 sektor khusus, antara lain:
Sektor 1 (pasar 1), Sektor 2 (pasar 2), Sektor 3 (pasar 2 Rel), Sektor 4
(perumahan guru SMS-Gaperta ujung), Sektor 5 (pasar 3), Sektor 7
(Pasar 5-Kampung Lalang), Sektor 8 (BLKI-Gg. Sekata-Pinang Baris),
Sektor 9 (Jatioso), Sektor 10 (Sukawati), Sektor 12 (Pargodungan).
Saat ini ada dua pendeta yang memimpin Gereja HKBP Cinta
Damai yang Pdt. Games Purba yang bertugas sebagai pemimpin Cinta
Damai Resort, dan Pdt. Agustina Boru Simare-Mare yang bertugas di
Gereja HKBP Rogate. Selain itu ada juga pendeta yang bertugas
sebagai pelayanan bagi perempuan (Biblevrow, Lambok Manulu) dan
yang melayani sekolah mingguan yaitu Pdt. Doglas Simanungkalit.
Pdt. Games Purba saat ini di samping memimpin jamaat di HKBP
Cinta Damai juga memberikan pelayanan di Gereja HKBP Rogate di
jalan Gaperta Ujung Gg. Beringin dengan jumlah jamaat 152 KK dan
Gereja HKBP Maranatha di Mulyorejo dengan jumlah jamaat sekitar 48
KK. Di samping tiga gereja tersebut beliau juga melayani 12 distrik dan
48 majelis jamaat.

2. Program dan Kegiatan Gereja

Program yang dijalankan oleh Gereja HKBP Cinta Damai


adalah mengikuti aturan yang telah ditetapkan HKBP pusat, yaitu
berupa Garis-Garis Besar Pengembangan Pelayanan, program tersebut
berupa Rencana Induk Pelayanan (RIP) dan Rencana Strategi (RS).
Pada setiap tahunnya pelayanan tersebut berbeda fokus, menurut Pdt.
Games Purba: “Pada tahun kemarin (2013) pelayanan HKBP adalah
khusus untuk anak-anak, sedangkan sekarang tahun 2014 adalah
pelayanan untuk remaja dan pemuda.”
Masih menurut beliau, dalam HKBP tidak berarti semua
kegiatan harus ditetapkan dari pusat (top-down), pada tahun ini juga
mulai diterapkan di seluruh Gereja HKBP adanya partisipasi warga,
terutama dalam setiap pengambilan keputusan. Biasanya konsep awal
datangnya dari pendeta/gembala lalu ditawarkan ke majelis,
kemudian ditetapkan dalam rapat umum jamaat yang biasanya
diadakan pada bulan Januari setiap tahunnya. Forum seperti ini

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 107


menjadi rapat evaluasi sekaligus juga saran menampung aspirasi dari
bawah dan ketika menjadi program, lalu dilaksanakan bersama-sama.
Adapun program-program yang diusulkan jamaat tersebut
yang kemudian ditetapkan menjadi program kegiatan gereja adalah
kegiatan rutin kebaktian, program konseling keluarga, yaitu apabila
ada keluarga yang bermasalah maka pendeta (Pdt. Games Purba) akan
mendatangi rumah jamaat yang bermasalah tersebut. Program
konseling tersebut untuk saat ini lebih mengutamakan nasihat
perkawinan bagi calon pengantin, pelayanan orang sakit, pelayanan
orang yang mendapat kemalangan, dan juga untuk lanjut usia (lansia).
Di samping itu ada juga program sekolah mingguan berupa pelayanan
khusus untuk anak-anak dari tingkat usia TK sampai SD kelas 6.
Untuk remaja didirikan kelompok musik dan pada waktu
yang ditentukan ada diskusi semacam seminar dengan topik yang
berbeda-beda, antara lain: menghormati orang tua, menyiapkan
generasi muda sukses dalam studi, dan bagaimana generasi muda di
dunia kerja. Program pemuda HKBP lainnya adalah terkait tugas
pemuda yaitu bahwa pemuda harus mendalami dan menjiwai budaya
batak. Pada tahun ini ada juga kegiatan “retreat”, semacam pembinaan
khusus buat remaja yang dilaksanakan setiap tahun berupa wisata
rohani yang diperkirakan 100 orang yang mengikutinya. Untuk tahun
ini kegiatan akan dilaksanakan di Tapanuli. Bagi calon pemuda di
gereja ini juga diajarkan program “cidi” (priode transisi dari anak-anak
ke dewasa) yakni menyangkut ajaran pokok-pokok iman Kristen.

3. Pengelolaan Dana Sosial Umat


Semua program dan kegiatan tidak pernah akan berjalan
tanpa adanya dukungan dana, demikian halnya dengan program yang
dijalankan oleh Gereja HKBP Cinta Damai. Dana bagi pelaksanaan
program-program tersebut telah disiapkan, yaitu berasal dari uang
persembahan jamaah yang diberikan dengan suka rela. Tiap individu
jamaat memberikan uang persembahan kepada gereja rata-rata sebesar
Rp. 15.000,00 setiap Minggunya. Dana tersebut digunakan untuk tiga
pos kepentingan, yaitu pertama untuk pengelolaan gereja seperti
pembayaran listrik, telephon, PAM, kebersihan, dan biaya hidup

108 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


pendeta. Kedua, untuk pembangunan gereja seperti rehabilitasi
gedung. Ketiga, untuk disetor ke HKBP pusat. Di samping tiga hal
tersebut, juga terdapat pos keempat, yaitu dana untuk diakonia (dana
untuk kegiatan sosial).
Dana diakonia yang diambil dari persembahan jamaat tiap
bulannya, saat ini untuk memaksimalkan pengelolaannya maka dana
diakonia terpisah dari dana gereja, dan memiliki kepengurusan serta
pengadministrasian khusus. Gereja HKBP Cinta Damai sengaja
memisahkannya dengan pengelolaan keuangan jamaat, seksi diakonia
diberi kepercayaan untuk mengelolanya sendiri. Dana tersebut
digunakan untuk membantu jamaat yang sudah tua dan sakit-sakitan,
untuk jamaat yang penyakitnya ringan diberi bantuan sebesar Rp 100
ribu, akan tetapi jika sudah menahun dan parah diberi santunan
sebesar Rp 500 ribu. Untuk bantuan bagi jamaat yang meninggal
dunia, maka jumlah dana yang diberikan bervariasi, biasanya biaya itu
untuk mengganti karangan bunga; untuk usia anak-anak 400 ribu,
remaja 500 ribu, dan untuk orang dewasa 600 ribu. Dari dana diakonia
ini juga bisa diberikan bantuan dalam bentuk beras sebanyak 10 kg
bagi satu keluarga yang tidak mampu dan belum mempunyai
pekerjaan setiap bulan.
Untuk memperkuat kepercayaan jamaat kepada pengurus
gereja, maka pihak pengelola membuat laporan keuangan serinci
mungkin. Lindon Johnson Tambunan, pengelola harta gereja (pararton)
di HKBP Cinta Damai menyampaikan, bahwa dirinya mencatat semua
pemasukan yang diterima untuk gereja dan pengeluaran uang yang
dibelanjakan untuk kebutuhan jamaat gereja. Hasil catatannya itu
kemudian dipublikasikan kepada jamaat setiap minggunya melalui
selebaran semacam tabloid. Dalam mempertanggung jawabkan
laporannya ke pusat, pengurus Gereja HKBP Cinta Damai
memisahkannya menjadi dua laporan, satu laporan keuangan
persembahan mingguan dan kedua laporan keuangan diakonia.
Laporan ini buat semacam buletin dengan judul “Tahun Remaja Dan
Pemuda HKBP 2014”. Pada bulan ini pengeluaran per 10 – 17 Mei 2014
jumlahnya sebanyak Rp. 13.872.000,00 dan saldo per 17 Mei 2014
sebesar Rp. 27.770.250,00. Untuk setoran dana ke pusat yaitu setoran
Pelean II jumlahnya sebesar Rp. 16.057.000,00.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 109


Pengelolaan keuangan ini dilakukan secara transparan. Hal
ini disadari oleh pihak gereja bahwa keuangan bisa menjadi sumber
fitnah. Pendeta tidak pernah ikut campur dalam hal keuangan,
pendeta hanya mengontrol saja. Dalam setiap keputusan tidak diambil
dari satu atau dua orang, melainkan dengan jalan musyawarah.
Sebagai bukti, pihak gereja kini berhasil menyelesaikan pembangunan
gedung serba guna yang biayanya sudah menghabiskan dana sebesar
Rp. 1,8 miliar. Dana pembangunan gedung tersebut bisa dikatakan
sepenuhnya dari jamaat. Kini pembangunan gedung sedang dalam
proses penyelesaian akhir (finishing). Bangunan gedung serbaguna ini
rencananya akan diresmikan oleh Ephorus HKBP bulan Oktober 2014
nanti.
Sebelum tahun 2013, Gereja HKBP Cinta Damai belum pernah
menerima bantuan dari lembaga lain baik dari swasta maupun
pemerintah. Barulah tahun 2013 lalu, dan ini merupakan satu-satunya
bantuan dari pemerintah yang diterima oleh gereja yaitu sebesar Rp.
50.000.000 melalui Bimas Keristen Kanwil Kemenag Sumut. Bantuan
dari lembaga swasta belum pernah, kecuali hanya individu para
jamaat yang kebetulan bekerja di sektor swasta. Rekor bantuan dari
jamaat paling tinggi dalam rangka pembangunan gedung serba guna
tercatat sebanyak 2.500 batu-bata atau setara dengan uang Rp.
50.000.000.
Gedung serba guna milik HKBP merupakan aset yang
berharga bagi Gereja HKBP karena sudah disewakan untuk umum,
sekali sewa dikenakan biaya 2,4 juta, dan ada potongan (diskon) 40%
apabila yang menyewa adalah jamaat HKBP Cinta Damai sendiri.
Sejak gedung serbaguna ini disewakan untuk umum maka dalam
jadwal hampir setiap sabtu dan minggu, gedung itu sudah habis
dipesan. Saat ini semua biaya yang diperoleh dari hasil sewa
digunakan untuk dana pembangunan gedung tersebut.

4. Faktor Pendukung dan Penghambat


Sebagai faktor pendukung perkembangan gereja, antara lain
pertama, sistem organisasi di lingkungan HKBP yang sudah tertata
baik dan adanya panduan yang baku dari HKBP pusat yang diikuti

110 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


semua level tingkatan gereja. Kedua, ketulusan dan kemandirian
jamaat dalam membangun dan mengembangkan gereja sangat kuat,
hal ini bisa dibuktikan dengan adanya dana persembahan yang
diberikan secara rutin dan sukarela, serta kehadiran mereka setiap
minggu di gereja untuk ibadat kebaktian. Ketiga, pengadministrasian
pengelolaan dana jamaat yang dilakukan secara rapih dan transparan,
setiap minggu pengurus menyampaikan laporan penerimaan dan
pemanfaatan dana yang diperoleh, hal ini telah menumbuhkan
kepercayaan jamaat terhadap pengurus gereja.
Adapun yang merupakan faktor penghambat, antara lain
pertama, derasnya arus modernisasi, globalisasi dan informasi menjadi
tantangan sendiri bagi pihak gereja dalam menanamkan nilai-nilai
keagamaan, sebab modernisasi dan globalisasi pada satu sisi
menghasilkan kemajuan, namun pada sisi lain telah masyarakat
semakin materialis dan hedonis. Kedua, masih terbatasnya dana
persembahan yang diperoleh dari jamaat, padahal seluruh program
dan kegiatan gereja adalah mengandalkan dana yang berasal dari dana
persembahan jamaat.

C. Model Pengelolaan Gereja HKBP Maranatha


1. Profil Gereja
Gereja HKBP Maranatha mulai berdiri pada 1991, Gereja
HKBP Maranatha Mulyorejo Deli Serdang, termasuk dalam resort
Gereja HKBP Cinta Damai Distrik X Medan-Aceh. Gereja ini terletak di
jalan Pardede Gang Sakinah. Jumlah jamaat di gereja ini masih sedikit
yaitu sebanyak 60 KK, dengan jumlah jiwa sekitar 231 jiwa. pada
dasarnya pengelolaan gereja ini sama dengan gereja-gereja HKBP
lainnya, aturan-aturan yang dipakai mengikuti ketetapan Gereja HKBP
pusat di Tarutung yang tahun ini mencantumkan visinya sebagai
tahun pelayanan bagi pemuda dan remaja. Visi tersebut mengandung
makna bagaimana pemuda dan remaja dapat menjadi pemuda bangsa,
bukan hanya pemuda gereja.44

44 Wawancara dengan Johnson Hasibuan, gembala gereja HKBP Maranatha,


Mulyorejo, Deli Serdang, 26 Mei 2014.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 111


Gereja Maranatha dipimpin oleh Gembala Johnson Hasibuan,
status beliau saat ini belum pendeta. Dalam HKBP terdapat ketentuan
khusus untuk kualifikasi seorang pendeta antara lain harus lulus
Sekolah Tinggi Teologia (STT) HKBP atau STT lain, sementara beliau
masih menempuh pendidikan tersebut. Gereja Maranatha dulunya
pernah mengalami konflik yang berkepanjangan dan konflik tersebut
membuat jamaat terpecah, karena terjadinya dualisme kepemimpinan
antara pendeta yang lama dengan majelis Gereja. Ketika gembala
Johnson Hasibuan ditugaskan di Gereja Maranatha dengan ditetapkan
berdasarkan SK, maka menurut beliau, sebagai langkah pertama
adalah mendamaikan para pimpinan gereja, beliau memulai dengan
mencoba menyadarkan betapa pentingnya persatuan dan
mengingatkan untuk kembali ke gereja, yaitu membangun dan
membesarkan Gereja Maranatha. Usaha Gembala Johnson Hasibuan
tidak sia-sia, karena ternyata mampu meredakan suasana, pimpinan
Gereja Maranatha yang tadinya sering berselisih akhirnya bisa
berdamai.
Dalam menjalankan tugas pelayanan, jam kerja Gembala
Johnson Hasibuan bisa dikatakan 24 jam, sebab dirinya harus selalu
stand by (siap di tempat), kapan dipanggil jamaat beliau haruslah siap
datang setiap saat, misalnya jika ada jamaat yang meninggal, maka ia
harus melayat jam berapa pun, begitu juga untuk melayani orang yang
membutuhkan bimbingan pastoral. Beban kerja ini sebenarnya tidak
sebanding dengan jumlah honorarium yang diterima Gembala
Johnson Hasibuan yang besarnya saat ini hanya 600 ribu perbulan.
Jumlah tersebut mungkin hanya habis untuk biaya transportasi dalam
melayani kepentingan di luar dan kepentingan di dalam gereja.
Jumlah honorarium tersebut sangat jauh jika dibandingkan
dengan honorarium pendeta di tingkat resort. Tugas pendeta ditingkat
resort yang juga sebagai pimpinan majelis gajinya bisa mencapai 6 juta
perbulan. Standar honorarium itu ditentukan dalam rapat, sesuai
dengan kemampuan jamaat gereja masing-masing. Biasanya jika
gerejanya sudah besar dan persembahannya juga besar maka gereja
bisa memberikan honorarium yang lebih besar.
Untuk kasus Gereja Maranatha, jamaatnya secara kuantitas
dan kualitas masih sangat terbatas. Umumnya tingkat ekonomi jamaat

112 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


berpenghasilan rendah. Untuk itu jamaat belum mampu
mendatangkan pendeta, sebab jika harus mendatangkan pendeta maka
honorarium pendeta akan menjadi tanggung jawab mereka. 45 Saat ini
jamaat menyadari bahwa untuk saat ini mereka hanya bisa memiliki
gembala yaitu Johnson Hasibuan yang belum jadi pendeta. Pada
dasarnya tugas gembala sama dengan pendeta, namun memang ada
beberapa bentuk pelayanan yang tidak bisa dilakukan oleh gembala,
dan hanya bisa dilakukan oleh pendeta, yaitu sakramen perjamuan
kudus dan penahbisan kudus.
Di samping seorang gembala, pelayanan keagamaan di
Gereja Maranatha juga dibantu oleh dua orang guru. Tugas guru
berbeda dengan gembala, tugas guru hanya berkhutbah atau mengajar
agama saja di dalam lingkup gereja. Sedangkan gembala di samping
bertugas di dalam juga di luar gereja.46

Seorang gembala harus pandai melakukan pendekatan


kepada masyarakat sesuai dengan kelompok umurnya. Dalam
pendekatannya dengan jamaat yang masih berusia anak-anak, maka
Gembala Johnson Hasibuan kadang harus bisa menjadi seperti anak-
anak, yaitu ikut bermain dengan mereka dengan memberi game-game
tertentu, sehingga anak-anak tertarik dan semangat untuk datang ke
gereja. Begitu halnya ketika harus mendekati kelompok pemuda, ia
pun berusaha untuk bisa menjadi seperti pemuda walaupun
mengingat usianya saat ini ia tidak pantas dikatakan pemuda. Ia
mengatakan bahwa selama menjalankan tugas pelayanan dirinya tidak
mengalami hambatan yang berarti, karena ia banyak mengenal
masyarakat dan banyak berkomunikasi dengan mereka.

Gembala Johnson Hasibuan mengetahui nama-nama dan


rumah masing-masing jamaatnya. Ia berusaha melayani jamaat
semaksimal mungkin, kadang ia harus datang untuk menjengut
jamaat yang sakit atau bermasalah, meski honor yang diterimanya

45 Wawancara dengan Nurita Sianipar seorang jamaat aktif gereja Maranatha di

rumahnya, tanggal 26 Mei 2014


46 Wawancara dengan J. Simanjuntak seorang pengurus gereja HKBP

Maranatha, tanggal 26 Mei 2014.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 113


tergolong kecil. Gembala Johnson Hasibuan juga berusaha
memperhatikan jamaatnya dengan memberikan reward kepada jamaah
yang aktif datang ke gereja, yakni memberikan Al Kitab yang baru.
Adapun jamaat yang tidak rajin ke gereja ia tidak memaksanya, tapi
beliau berusahan mendekatinya, menyadarinya sehingga jamaat
tersebut merasa malu dan akhirnya mau datang kembali ke gereja.

2. Program dan Kegiatan Gereja

Arus globalisasi membuat banyak pendeta HKBP merasa


kawatir akan generasi pemuda dan remaja yang lambat laun banyak
yang meninggalkan agama dan juga budaya batak. Pergeseran ini
dirasakan oleh Gembala Johnson Hasibuan, maka beliau mengadakan
kegiatan rohani kepada pemuda yang diadakan pada malam rabu
untuk membahas Alkitab dan berdiskusi tentang masa depan pemuda
dan remaja sehingga tidak meninggalkan keimanannya. Beliau juga
berusaha mengajari pemuda dan remaja gereja bahasa Batak sebulan
sekali, beliau menginginkan agar kelak generasi gereja Maranatha
tidak hanya menjadi pemuda gereja tapi juga pemuda bangsa yang
siap dan mampu menjaga budayanya.

Implementasi program ini menurut Gembala Johnson


Hasibuan dimulai dengan penguatan rohani, dengan menekankan
pentingnya pemuda dan remaja memiliki tanggung jawab. Sebagai
langkah jangka pendek, diadakan seminar-seminar tentang peran
pemuda dan remaja. Tema tentang remaja dan pemuda menjadi visi
tahun ini. Mereka juga dilatih bersikap bagaimana menjalin
kebersamaan dengan lingkungan yang plural. Di lingkungan Gereja
HKBP Maranatha sendiri kebetulan masyarakatnya beragam agama,
ada Muslim dan juga Buddhis. Dengan membawa ajaran Kristen yaitu
garam dan terang, maka remaja dan pemuda kristen semestinya
mampu menempatkan diri bagaimana berintraksi secara baik dengan
muslim, buddhis dan lainnya. Mereka tidak boleh lagi berfikir ekslusif
dan merasa tidak ada hubungan dengan pemeluk agama lain.

114 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


3. Pengeolaan Dana Sosial Umat
Saat berdiri pada 1991 bangunan Gereja Maranatha masih
sangat sederhana. Bangunan gereja saat itu dindingnya dari kayu
triplek dan atapnya dari seng. Melihat kondisi demikian, maka
pengurus dan jamaat kemudian merasa sudah saatnya Gereja
Maranatha dibangun secara layak. Untuk itu dimulailah perencanan
pembangunan Gereja Maranatha dengan mengadakan pesta
penghimpunan dana beberapa kali. Dalam pesta penghimpunan dana
tersebut dilakukan lelang amal. Dari dana yang berhasil dihimpun
maka kemudian pembangunan gereja mulai dilaksanakan. Bangunan
gereja yang luasnya sekitar 202 m2 dengan rincian panjang 18 m2 lebar
12 m2 ini mendapatkan banyak bantuan yang datangnya dari jamaat
gereja Maranatha sendiri dan jamaat Kristen dari gereja lain. Bantuan
juga diperoleh dari Kanwil Kemenag sebesar 50 juta yang digunakan
untuk membangun menara khas Gereja HKBP yang letaknya di bagian
depan. Bantuan Kemenag juga digunakan untuk pemasangan atap
bagian depan gereja dengan bahan dari baja ringan.
Selain bantuan dari pemerintah, bantuan juga datang dari
kalangan swasta. Salah satunya dari PT Latexindo, sebuah perusahaan
sarung tangan yang berlokasi tidak jauh dari tempat berdirinya Gereja
Maranatha. Bentuk bantuan tersebut berupa barang-barang material
dan tenaga tukang. Bantuan tersebut merupakan bagian dari tanggung
jawab PT Latexindo karena dengan pembuangan limbahnya telah
banyak mencemari lingkungan di sekitar gereja, untuk itu bantuan
tersebut sebenarnya merupakan timbal-balik.
Pembangunan Gereja Maranatha sekarang ini telah mencapai
60% dengan perkiraan dana mencapai 1,3 milliar. Bangunan gereja
yang baru dibangun itu kini sudah mulai digunakan oleh jamaat
untuk acara kebaktian dan kegiatan keagamaan lainnya.
Gereja Maranatha bisa dibangun atas dasar kebersamaan
jamaatnya. Mereka mempunyai rasa memiliki gereja yang kuat. Para
jamaat berusaha membangun gereja dengan berbagai cara, utamanya
adalah dengan memberikan uang persembahan dengan sukarela
secara rutin setiap minggunya. Persembahan itu diperuntukkan untuk
tiga hal, yaitu (1) biaya kebutuhan rutin gereja, (2) biaya untuk

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 115


pembangunan gereja, dan (3) uang untuk disetor ke resort. Uang
persembahan tersebut ada pembukuaanya dan disampaikan
laporannya kepada jamaat tiap minggunya. Pihak gereja berusaha
untuk transparan dalam pelayanan keuangan, dalam laporan
keuangan gereja ini, dipisahkan antara uang persembahan untuk biaya
gereja dan uang yang untuk disetorkan ke resort.
Jamaat gereja umumnya menyadari bahwa
mempersembahkan uang ke gereja adalah sepenuhnya menjadi
kewajiban mereka sebagai jamaat. Mereka harus memberikan
dukungan bagi Gereja Maranatha sendiri, juga kepada pengurus di
tingkat resort, dan demikian seterusnya hingga ke tingkat pusat.
Jamaat HKBP haruslah memberikan dan menyukseskan HKBP hingga
level yang di atasnya, tanpa pernah menginginkan adanya bantuan ke
gereja mereka yang datangnya dari resort, distrik atau pusat. Berbeda
dengan organisasi yang lain misalnya yang memungkinkan adanya
kucuran dana dari level organisasi “atas” ke bawah. Mereka meyakini
bahwa kebesaran HKBP adalah kebesaran mereka juga. Seperti
umpamanya perayaan Paska di kantor pusat HKBP Pearaja Tarutung,
pada 5-7 Mei 2014 lalu, perayaan itu dananya juga ditanggung
persembahan gereja-gereja ditingkat pagaran, seperti Gereja
Maranatha.

4. Faktor Pendukung dan Penghambat

Ada beberpa faktor yang dapat dikatakan sebagai pendukung


keberhasilan pelayanan gereja, yaitu pertama, Gembala Johnson
Hasibuan sebagai pimpinan jamaat adalah merupakan sosok yang
aktif dalam memberikan pelayanan, bukan hanya di lingkungan gereja
tapi juga dalam kegiatan di masyarakat, ia juga terlibat dalam Satuan
Tolong Menolong (STM) di masyarakat. Hal ini berkontribusi bagi
kelancaran tugasnya dalam memberikan pelayanan. Kedua,
kebersamaan jamaat, mereka mempunyai rasa memiliki yang besar
terhadap gereja sehingga siap berkorban untuk membesarkan gereja,
dengan kegigihan dan sikap mau berkorban maka gereja pun bisa
berdiri dengan perkiraan dana mencapai 1,3 milliar.

116 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Sedangkan beberapa faktor penghambat adalah pertama,
ekonomi masyarakat masih kategori miskin, hal ini berpengaruh pada
minimnya jumlah dana persembahan dana yang berhasil dihimpun,
padahal aktifitas gereja dibiayai oleh dana tersebut. Kedua, masih
maraknya perilaku yang terkategorikan penyakit masyarakat (pekat)
terutama dikalangan laki-laki dewasa. Mereka ini jarang datang ke
gereja untuk ikut kebaktian setiap hari minggu, kaum bapaknya yang
datang hanya sekitar lima persen saja. Namun demikian biasanya
kaum laki-laki dewasa hadir pada momen-momen tertentu saja,
seperti pada acara pesta penghimpunan dana pembangunan perayaan
paskah dan natal.

D. Analisis
Melihat dari kiprah Gereja HKBP di dua tempat, yakni HKBP
Cinta Damai dan HKBP Maranatha di Mulyorejo tersebut di atas
membabarkan pengetahuan bahwa lembaga agama ternyata mampu
menunjukkan kemandiriannya dalam memberikan pelayanan kepada
jemaatnya. Tuntunan hidup yang bernafaskan rohani maupun spiritual
dapat dipadukan dengan pengorganisasian umat dan sumber daya materi
maupun immateri melalui sistem dan struktur yang telah dibakukan sejak
berdirinya sinode ini lebih dari satu abad lampau.
Mengikuti analisis Coleman maupun Robert R. Putnam, dua tokoh
yang paling sering disebut sebagai pakar di bidang social capital,
perkembangan Gereja HKBP di dua lokasi tersebut tidak terbantahkan
memberikan bukti betapa social capital itu telah berjalan walaupun
mungkin belum seideal yang dibayangkan kalangan pemikir teori ini. Hal
ini dapat dilihat dari loyalitas yang dimiliki jemaat, dibuktikan misalnya
dengan pemberian dana persembahan kepada gereja di setiap kebaktian,
maupun persembahan khusus kepada pendeta dalam rangka ucapan
sukur atas tercapainya suatu kesuksesan. Ditopang dengan system hirarkhi
yang sedemikian ketat, maka pengorganisasian jemaat dan sekaligus dana
persembahan yang terkumpul tersebut terbukti dapat mendinamisasi
gereja, sehingga dapat berkembang baik dari segi fisik maupun pelayanan
yang diberikan kepada jemaat.
Untuk melihat ini, analisis Berger tentang mediating structure juga
memberi pembuktian bahwa lembaga agama seperti gereja ternyata
mampu menjadi struktur perantara (mediating structure) yang membantu

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 117


meningkatkan kualitas hidup dan peningkatan kesejahteraan warga
Negara. Dalam hal ini, sekalipun peran Negara terbukti amat kecil dalam
lingkup gereja, namun gereja mampu memainkan fungsinya sebagai
lembaga yang memberi solusi di tengah himpitan hidup yang mendera
jemaatnya. Aksi-aksi sosial (diakonia) yang berjalan di Gereja HKBP
seperti diuraikan di bagian terdahulu dapat dilihat sebagai upaya lembaga
agama dalam memainkan peranan sebagai struktur perantara, di luar
struktur Negara dan bisnis yang keduanya menyiratkan adanya kewajiban
pemenuhan hak-hak hidup warga Negara di satu sisi dan di sisi lain
kompetisi memperebutkan profit dan capital yang menciptakan
konsekuensi kelompok yang kalah dalam pertarungan mengejar profit
tersebut. Di sini, lembaga agama, seperti HKBP bisa menjadi jalan tengah
dari himpitan dua “kekuatan” besar tersebut, terutama bagi yang belum
terpenuhi hak-haknya oleh negara dan belum mampu bersaing secara
bebas dalam pertarungan kapital.

Penutup
1. Simpulan
a. Gereja HKBP, baik Gereja Cinta Damai dan Maranatha selama ini
rutin melayani jamaat dalam ibadat keagamaan seperti kebaktian
minggu (remaja dan orang tua) dan sekolah minggu (bagi anak-
anak). Gereja juga aktif dalam melaksanakan kegiatan sosial
seperti memberikan santunan untuk jamaat yang sakit, meninggal,
dan kurang mampu.
b. Gereja HKBP merupakan gereja yang memiliki kemandirian.
Kegiatan gereja dibiayai sepenuhnya oleh jamaat melalui dana
persembahan yang dihimpun secara sukarela. Besarnya dana yang
diperoleh oleh Gereja HKBP berkorelasi dengan besarnya jamaat,
baik secara kuantitas maupun kualitas. Semakin besar jumlah
jamaah dan semakin baik kualitas (ekonomi) jamaat, maka dana
yang dihimpun akan semakin besar.
c. Dana persembahan dari jamaat, dimanfaatkan untuk empat hal,
yaitu pertama untuk pengelolaan Gereja seperti pembayaran listrik,
telephon, PAM, kebersihan, dan biaya hidup pendeta. Kedua,
untuk pembangunan gereja seperti rehabilitasi gedung. Ketiga,
untuk disetor ke pusat HKBP. Keempat, yaitu dana diakonia untuk

118 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


kegiatan sosial. Pengelolaan dana tersebut diadministrasikan oleh
pengurus secara baik, dan dilaporkan secara berkala kepada
jamaat. Di samping itu dilakukan audit oleh auditor internal,
auditor KHBP distrik dan HKBP pusat.
d. Usaha pemberdayaan yang dilakukan oleh pihak gereja terhadap
jamaat dan masyarakat nampak belum signifikan, hal ini masih
menjadi harapan (keinginan) para pengurus gereja karena secara
finansial gereja masih terbatas, saat ini gereja masih fokus pada
pembangunan gedung, yaitu gedung “Serba Guna” untuk Gereja
HKBP Cinta Damai dan gedung gereja untuk HKBP Maranatha.

2. Rekomendasi
a. Para pengurus Gereja HKBP perlu mempertahankan dan
meningkatan kualitas pengelolaan Gereja HKBP, baik dalam
menjalani fungsinya dalam memberikan pelayanan ibadat,
bantuan sosial, maupun pemberdayaan jamaatnya. Sebab
kehadiran Gereja HKBP sesuai nilai kekristenan harus mampu
memberikan manfaat nyata untuk jamaat gereja khususnya dan
juga masyarakat di sekiling gereja pada umumnya.
b. Gereja-gereja HKBP mempunyai modal sosial yang potensial,
modal sosial itu muncul dari adanya interaksi antara jamaat dan
pengurus gereja (pendeta, gembala, guru). Modal sosial yang
dimiliki HKBP ini perlu dikelola secara optimal, sehingga mampu
menjadi kekuatan yang bisa dikembangkan secara maksimal dan
secara timbal balik.
c. Kepemimpinan pendeta/gembala di masing-masing gereja sangat
berpengaruh terhadap perkembangan Gereja HKBP. Eksistensi
dan perkembangan Gereja HKBP tidak bisa dilepaskan dari
kinerja para pendeta/gembala dalam melayani jamaat dan
memajukan gereja. Selama ini Gereja HKBP tumbuh dan
berkembang secara mandiri, yaitu dengan mengandalkan
dukungan jamaatnya, untuk itu suatu kepemimpinan yang
inovatif, kreatif, dan transformatif sangat dibutuhkan.
***

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 119


Daftar Pustaka

Coleman, J.S., Social Capital In Creation of Human Capital, Amarican Journal


of Sociology, 94 Supplement: S95-120.
Fukuyama F. The Social Virtues and The Creation of Prosperity. Newyork: Free
Press.
Halpen, David. 2005. Social Capital. Cambridge: Polity.
Hutauruk. Jubil Raplan. 2011. Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus,
Peraja-Tarutung. Kantor Pusat HKBP.
Payne, Malcom. 1997. Modern Social Work Theory, Second Edition. London:
MacMillan Press.Ltd.
Putnam, R.D. 1993. Marking Democracy Work: Civil Tradition In Modern Italy.
Princeton NJ: Princeton University Press.
Rais, Rahmat. 2009. Modal Sosial Sebagai Strategi Pengembangan Madrasah.
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.
Saraswati. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Kecil dalam Tata Ruang Perkotaan.
Makalah disampaikan dalam Saresehan Pemberdayaan Rakyat
Kecil dalam Konteks Hankam Menyambut HUT ke-51 Kodam
III/Siliwangi, di Bandung, 24 April 1997.
Simanjuntak, Nurmaya RA. 2012. Pendeta Perempuan dalam Kepemimpinan di
Gereja HKBP. Universitas Kristen Satya Wacana.
Sitompul, Harion Parlindungan. 2013. 100 Tahun Gereja HKBP Medan.
Universitas Negeri Medan.
Suharto, Edi. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial, dan Pekerjaan Sosial:
Spketrum Pemikiran. Bandung. Lembaga Studi Pembangunan –
Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial.
___________. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat.
Bandung: Refika Aditama.
Teuruna, A, Tengku Azwansyah. 2006. Sultan Makmoen Al-Rasyid dan
Berdirinya kota Medan serta Istana Maimoon. Bandung: Melajoe
Marie Meladjoe.

120 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


MODEL PEMBERDAYAAN GKI
DI KOTA SORONG:
Merefleksikan Teologi dengan Diakonia
Transformatif

Oleh:
Muchtar dan Achmad Ubaidillah

Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Nama Sorong berasal dari kata “Soren” dalam bahasa Biak


Numfor yang berarti laut yang terdalam dan bergelombang, kata Soren
digunakan pertama kali oleh Suku Biak Numfor yang berlayar pada zaman
dahulu dengan perahu-perahu layar dari satu pulau ke pulau yang lain
hingga tiba dan menetap di kepulauan Raja Ampat. Suku Biak Numfor
inilah yang memberi nama “Daratan Maladum” dengan sebutan “Soren”
yang kemudian dilafalkan oleh para pedagang Tionghoa, misionaris dari
Eropa, Maluku dan Sangihe Talaud dengan sebutan Sorong. Awal
mulanya Kota Sorong merupakan salah satu kecamatan yang dijadikan
pusat pemerintahan Kabupaten Sorong. Namun berdasarkan Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 1999, Kota Administratif ditingkatkan menjadi
Kota Otonom, yaitu Kota Sorong pada tanggal 21 Oktober 1999. Secara
Geografis Kota Sorong terletak pada Posisi, antara 131º 15’ Bujur Timur
dan 0º 54’ Lintang Selatan. Dengan ketinggian 3 meter dari permukaan
laut. Kota Sorong dengan luas wilayah 1.105 Km² adalah pintu gerbang
Papua, di samping sebagai kota persinggahan juga merupakan kota
industri, perdagangan dan jasa.47
Masyarakat Kota Sorong terdiri dari penduduk asli Papua dan
berbagai suku pendatang yang menyebar dan mendiami enam distrik dan
31 kelurahan. Berdasarkan pemutakhiran data pada Desember 2009,
penduduk Kota Sorong berjumlah penduduk 286.822 jiwa yang terdiri dari
jumlah laki-laki sebanyak 151.186 jiwa dan perempuan sebanyak 135.636

47 http://www.sorongkota.go.id, diakses pada tanggal 1 Juni 2014

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 121


jiwa.48 Dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan data Kota Sorong
Dalam Angka Tahun 2013, jumlah penduduk Kota Sorong mengalami
perubahan menjadi 208.292 jiwa yang terdiri dari jumlah laki-laki sebanyak
109.297 jiwa dan perempuan sebanyak 98.995 jiwa. Adapun jumlah
penduduk Kota Sorong berdasarkan agama pada 2012 adalah umat Kristen
134.009 jiwa atau 55.31 %, umat Islam 85.974 jiwa (35.48%), umat Katolik
19.925 jiwa (8.22%), umat Hindu 890 (0.28%), umat Buddha 1.688 (0.87%)
dan umat Konghucu (0%) (Dokumen Jumlah Penduduk dan Pemeluk
Agama Menurut Kabupaten/Kota se-Provinsi Papua Barat Tahun 2012).
Sedangkan jumlah tempat ibadah masing-masing agama di Kota Sorong
adalah 219 Gereja Jemaat Kristen dan 42 Pos Pekabaran Injil, 15 Gereja
Katolik, 88 Masjid, 1 Pura dan 3 Wihara.49
Kehidupan masyarakat di Kota Sorong memang sangat dinamis.
Letaknya yang strategis membuat kota ini menjadi salah satu pintu masuk
ke daerah Papua. Orang dari berbagai daerah di Indonesia dan juga luar
negeri hilir-mudik melakukan berbagai kegiatan. Dengan segala
kedinamisan yang dimiliki, tidak heran jika akhirnya Kota Sorong menuai
banyak julukan sebagai kota minyak, jasa, perdagangan, dan juga kota
industri.
Kehidupan di Sorong baru dimulai ketika Belanda datang untuk
menjajah melalui perdagangan dan eksploitasi minyak. Sorong kemudian
berkembang menjadi pusat perdagangan dan tempat berkembangnya
perkantoran perusahaan minyak. Alhasil, sejak 1947 Kota Sorong mulai
melekat dengan julukan kota minyak. Selain perusahaan minyak, Sorong
juga menjadi pusat perikanan. Banyak perusahaan yang bergerak di sektor
perikanan bermarkas di kota ini. Tidak heran jika sarana pelabuhan
lautnya tergolong lengkap. Selain fasilitas pangkalan, ada juga gudang,
tempat pelelangan ikan, cold storage, dan tentu saja pabrik es. Kekayaan
laut memang menjadi salah satu kekuatan ekonomi di kota ini. Sekitar
3.726 orang menggantungkan hidup sebagai nelayan, dan pada 2001
produksi perikanan rakyat tercatat sebesar 1.193,83 ton dengan nilai Rp 3,7
miliar.

48 Ibid
49 Lihat, Kota Sorong Dalam Angka 2013

122 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Dengan potensi seperti itu, Kota Sorong kian dipadati oleh
berbagai perusahaan yang bergerak di bidang perikanan. Mulai dari
penangkapan udang, pengolahan ikan kaleng, ikan kayu, pengumpulan
hasil perikanan, hingga penangkapan ikan tuna/cakalang sehingga sektor
industri pun melaju pesat. Pesatnya perkembangan sektor industri
menyebabkan Kota Sorong menjadi salah satu pusat perdagangan di
Papua.50
Meskipun demikian, Kota Sorong yang memiliki visi
“Terwujudnya Masyarakat Kota yang Setara, Bersahabat dan Dinamis ini
didiami oleh masyarakat yang bermata pencaharian utama sebagai petani.
Pola mata pencaharian demikian mencerminkan bahwa masyarakat di
wilayah ini adalah masyarakat peladang dan peramu murni. Karena itu,
untuk pengembangan dan pembinaan ekonomi masyarakat di wilayah ini
Pemerintah Kota Sorong telah mengarahkan pada usaha-usaha pertanian
terutama tanaman pangan dan perkebunan (usaha tani lahan kering).
Sementara usaha-usaha nelayan dikembangkan melalui usaha
penangkapan maupun budidaya sesuai potensi wilayah terutama
komoditas laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi (Usman Habieb, 2011).
Dengan dinamika perkembangan Kota Sorong tersebut, satu hal
yang menjadi kenyataan di sana adalah terjadinya kesenjangan ekonomi di
Kota Sorong, yaitu antara warga asli Papua dan pendatang (non Papua).
Warga asli yang mayoritas merupakan Suku Moi juga terdesak dan tersisih
dari percaturan ekonomi daerah. Indikasi ini antara lain terlihat di pusat-
pusat ekonomi di Kota Sorong.
Di Pasar Sentral Remu misalnya, nyaris tidak ada pedagang dari
Suku Moi ataupun Maybrat serta Inawatan yang merupakan pribumi di
Sorong. Pasar ini justru dikuasai para perantau dan pemodal yang nota
bene pendatang. Padahal, dahulu tanah di Kota Sorong dimiliki masyarakat
Suku Moi. Tanah itu perlahan dijual kepada pendatang, dan mereka pun
tinggal di pinggiran kota. Mayoritas warga Suku Moi masih tinggal di
pinggiran hutan, tetap dengan tradisi berburu, meramu, dan
mengumpulkan hasil hutan. Persoalan seperti itu juga dialami orang asli
Papua hampir di seluruh pulau tersebut. Dari Manokwari, Sorong,
Jayapura, Wamena, Nabire, Timika, hingga Merauke, pendatang terus

50 http://anastat.web.ugm.ac.id/index.php), Diakses pada tanggal 1 Juni 2014

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 123


berdatangan. Ini terjadi sejak migrasi besar-besaran mengalir melalui
program transmigrasi.
Pembukaan akses ekonomi melalui pembangunan infrastruktur
semakin membuat pendatang berbondong-bondong datang yang
menyebabkan masyarakat asli Papua semakin tersingkir. Pembangunan di
bidang ekonomi, terutama pasar yang tidak diikuti dengan pemberdayaan
perekonomian masyarakat asli telah mengakibatkan masyarakat asli kalah
bersaing dalam di sektor perdagangan.51
Selanjutnya mengenai kehidupan keagamaan khususnya
mengenai relasi antar umat beragama, toleransi antar umat beragama yang
sudah berlangsung lama khususnya antara umat Kristen dan Muslim di
sana sempat terusik oleh adanya peristiwa pemukulan Imam Masjid Al-
Jihad oleh seorang pemuda Kristen yang sedang dalam kondisi mabuk.
Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 21 April 2014. Namun berkat
kesigapan dan kesiapan aparat keamanan serta upaya para tokoh kedua
agama untuk meredam kemungkinan terjadinya konflik terbuka dapat
terhindarkan.52

A. Pengelolaan Gereja Kristen Injili di Tanah Papua


1. Sejarah dan Program Diakonia
Pembahasan mengenai gereja Kristen Injili Maranatha Remu
dan Immanuel Bozwesen dan model model pemberdayaannya tentu
tidak bisa dilepaskan dari keberadaan denominasi gereja Kristen Injili
di Tanah Papua (disingkat GKI-TP). Oleh karena itu perlu
dikemukakan terlebih dahulu mengenai sejarah dan program diakonia
GKI-TP sebelum menjelaskan profil dan model pemberdayaan yang
dilakukan di gereja Kristen Injili Maranatha Remu dan gereja Kristen
Injili Immanuel Bozwesen di kota Sorong sebagai dua gereja besar

51http://regional.kompas.com/read/2013/10/28/2013236/Warga.Asli.Papua.Barat.

Makin.Terdesak, Diakses tanggal 1 Juni 2014).


52 Wawancara dengan H. Muhammad Saban Bugis, Kepala Kantor
Kementerian Agama Kota Sorong dan Agung Sibela, Kasi Bimas Islam Kantor
Kementerian Agama Kota Sorong, Tanggal 26 Mei 2014).

124 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


yang relatif merepresentasikan program program yang disusun dan
dilaksanakan oleh Sinode Gereja Kristen Injili di tanah Papua.
Gereja Kristen Injili di tanah Papua (disingkat GKI-TP)
merupakan kelompok gereja Kristen Protestan beraliran calvinis di
Indonesia, khususnya di tanah Papua, yang mencakup Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat. GKI di tanah Papua yang berkantor pusat di
Jayapura terdiri 45 klasis dan 1.237 jemaat yang bertebaran di seluruh
wilayah Papua.53

GKI di tanah Papua berdiri pada 26 Oktober 1956 sebagai


hasil pekabaran injil yang dimulai oleh Ottow dan Geissler pada 5
Februari 1855. Sejak awal berdirinya, GKI di Tanah Papua merupakan
suatu gereja yang bersifat oikumenis, dan bukan gereja suku. Oleh
karena itu, anggota-anggota jemaat GKI di tanah Papua berasal dari
orang Papua dan non Papua dari berbagai suku dan bangsa serta dari
berbagai latar belakang keanggotaan gereja. Kehadiran dan
keberadaan GKI di tanah Papua merupakan kehendak Tuhan untuk
menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah yang nyata di tengah
keterbelakangan, keterasingan, kebodohan dan kemiskinan. Oleh
pemberitaan Injil, peradaban baru Papua dimulai dan terus
berlangsung sampai sekarang.

GKI di tanah Papua berdiri yang dalam strutur


keorganisasiannya menganut model presbyterial sinodal
dalam menunjang kerja kerja sinode GKI di tanah Papua, terdapat
beberapa departemen yang mempunyai tugas masing-masing sesuai
dengan urusannya yaitu Departemen Pekabaran Injil, Departemen
Pembinaan Jemaat, Departemen Pendidikan, Departemen Litbang,
Departemen Ekubang dan Departemen Diakonia. Di samping itu, GKI
di tanah Papua juga mempunyai beberapa yayasan, yaitu sebagai
berikut Yayasan Diakonia, Yayasan Ottow Geissler, Nasional Republik
Indonesia di Jakarta, yayasan Pendidik Kristen, Yayasan Percetakan
dan Balai Buku, Yayasan Izak Samuel Kijne

53 http://gkiditanahpapua.org/profil/, Diakses pada tanggal 1 Juni 2014

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 125


Di samping kelima yayasan tersebut, dalam hal
pengembangan sumber daya manusia, GKI di Tanah Papua
mempunyai enam institusi yang bergerak di bidang pembangunan
sumber daya manusia, yaitu (1) Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kristen
Injili Izaak Samuel Kijne, (2). Universitas Ottow Geissler Papua, (3).
Sekolah Pendidikan Guru Jemaat Manokwari, (4). Pusat Pelatihan dan
Pembinaan Wanita (P3W) Gereja, (5). Pusat Pendidikan Kader
(Puspenka) dan (6). PPG Petrus Kaviar.

Selanjutnya terkait dengan program program pelayanan dan


pemberdayaan umat, secara khusus GKI di tanah Papua melalui
Departemen Diakonia banyak melakukan program-program
pelayanan dan pemberdayaan umat Kristen dan umat lainnya di tanah
Papua. Departemen Diakonia dalam GKI di tanah Papua terpanggil
untuk terus memberitakan Injil dan membina warganya sesuai amanat
agung Yesus Kristus kepada gereja (Matius 28:19-20) yang merupakan
tugas hakiki gereja dalam hidup bersaksi, bersekutu dan melayani di
dunia ini, sebagaimana terdapat dalam tata gereja GKI di Tanah
Papua, Bab II, Pasal 5 dan Pasal 6.54

Panggilan untuk memberitakan injil dan pembinaan warga


harus berlangsung terus menerus sebagai suatu gereja yang misioner
di mana seluruh anggotanya dapat terlibat dalam peran-serta yang
sejati untuk melaksanakan tugas panggilan, kesaksian dan pelayanan
gereja yang berfungsi sebagai “garam dan terang dunia” dalam setiap
situasi dan kondisi, baik di dalam gereja maupun di tengah-tengah
masyarakat di berbagai bidang kehidupan terutama kesehatan dan
pelayanan kasih.

Pelayanan kasih adalah suatu proses yang sudah dan terus


akan mengaktualisasikan diakonia Yesus Kristus di dalam
persekutuan jemaat GKI di Tanah Papua yang selalu tampil bersaksi
ke dalam maupun ke luar. Keberhasilan berbagai program Diakonia
tersebut di GKI di Tanah Papua tidak dapat dilepaskan dari adanya
potensi Departemen Diakonia dalam menopang pelaksanaan program:

54 Ibid

126 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


a. komitmen pimpinan dan struktur gereja
b. adanya lembaga pendidikan, pelayanan kesehatan, yayasan
dan aset-aset lainnya milik gereja
c. adanya pokja di lingkungan GKI di Tanah Papua yang
mendukung Departemen Diakonia: P3W, Siloam, Maphia,
Eklesia berserta jaringannya.
d. adanya sumberdaya manusian, yaitu jemaat dengan berbagai
profesi, pelayan jemaat dan pekerja gereja, pekerja sosial dan
generasi muda gereja
Dalam melaksanakan program-programnya, kordinasi
Departemen Diakonia GKI di Tanah Papua di aras sinodal terdiri dari
10 wilayah pelayanan dan GKI di tanah Papua terbagi menjadi 45
Klasis dan 12 Bakal Klasis serta 10 jemaat kategorial. Sesuai dengan
misi GKI di tanah Papua untuk mewujudkan tanda-tanda kerajaan
Allah atau tanda-tanda syaloom yang mencakup bidang kesehatan
dan pelayanan kasih, maka aktivitas Departemen Diakonia diatur dan
dilaksanakan sesuai dengan pokok-pokok program pelayanan Gereja
Kristen Injili di tanah Papua (P-4 GKI) tahun 2011-2016, tentang
pokok-pokok program Departemen Diakonia GKI di Tanah Papua.
Oleh karena itu penjabarannya di aras sinode, klasis dan jemaat harus
selalu menyentuh dan mewarnakan diakonia yang jelas nampak dari
jemaat-jemaat GKI di seluruh wilayah pelayanan GKI di Tanah Papua.
Adapun pokok-pokok program Diakonia GKI, yaitu
pelayanan kesehatan, pelayanan bantuan kepada asrama-asrama,
pelayanan bantuan bencana alam dan emergency, pelayanan anak
terlantar, panti asuhan dan lansia, dan Pembentukan komite
penanggulangan aids dan pengembangan jaringan penanggulangan
HIV/AIDS. Di samping itu, beberapa pos pelayanan kesehatan milik
GKI di Tanah Papua, yaitu rumah sakit ”efata” di Anggruk, Klasis GKI
Yalimo, toko obat berijin “Bethesda” Klasis GKI Numfor, klinik
“Agape” Klasis GKI Waropen, toko obat “Manna” di Klasis GKI
Nabire, dan klinik kesehatan di Klasis GKI Biak Selatan.55

55 Ibid

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 127


2. Jemaat GKI Maranatha Remu Sorong
Jemaat Maranatha Remu Sorong terbentuk sebagai persekuan
Jemaat pada 1935. Gedung gereja pertama dibangun oleh pemborong
“Holand Beton Maskapay” (HBM) dengan dana atau modal awal
sebesar 25 golden, mata uang Belanda saat itu. Pendeta dan Ketua
Majelis Jemaat pertama adalah Y. W. Klay, yaitu jemaat yang
berbahasa Belanda dan jemaat yang berbahasa melayu. Untuk
memudahkan pelayanan saat itu, ibadah dilaksanakan dua kali.
Jemaat yang berbahasa Melayu terdiri dari jemaat yang berasal dari
Papua dan daerah lainnya di Indonesia yang saat itu bekerja sebagai
karyawan pada perusahaan besar saat itu. Perusahaan tersebut
bernama Nederland Nieuw Guinea Petrolium Mascapy (NNGPM),
sebuah perusahaan minyak dan perusahaan Holand Beton Mascapay
(HBM), sebuah perusahaan kayu dan bangunan di Papua.
Pada 1962, tepatnya pada waktu Tri Komando Rakyat
(Trikora), warga negara Belanda kembali ke negaranya dan kemudian
turut mempengaruhi kehidupan bermasyarakat, pemerintahan,
pendidikan, kesehatan, ekonomi dan juga bagi kehidupan dalam
ibadah di bergereja. Kekosongan tersebut mengakibatkan guru-guru
yang ada ditarik ke kota Sorong untuk mengisi kekosongan yang di
tinggalkan oleh warga atau orang-orang Belanda, baik dalam bidang
pendidikan maupun bidang pelayanan ibadah gereja. Guru yang
pertama di tempatkan di Gereja Maranatha adalah Guru Jemaat P.
Layunusa (alm). Selanjutnya Gereja Maranatha di pimpin oleh Pendeta
dengan masa bakti yang berbeda-beda hal ini dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.

Dalam pergumulan jemaat yang sangat panjang, dengan


memperhatikan tingkat pertumbuhan jemaat, maka di bangunlah
gedung gereja yang baru yang diresmikan pada tanggal 4 Juni 2000.
Hingga saat ini Gereja GKI Maranatha Remu Sorong masih tetap ada
sebagai wadah untuk melaksanakan tugas pelayanannya berdasarkan
Tri Panggilan Gereja, yakni Koinonia, Marturia, dan Diakonia.

Adapun wilayah pelayanan Jemaat Maranatha Remu meliputi


tiga wilayah pelayanan dan satu POS PI di antaranya: Rayon Remu

128 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Selatan, terbagi atas enam sub rayon, Rayon Kilo Meter 7, terbagi atas
tiga sub rayon, Rayon Remu Utara, terbagi atas empat sub Rayon dan
Satu Pos Pekabaran Injil, yaitu Pos I Siloam Bikar yang terletak di
distrik Sausapor Kabupaten Tambrauw.

3. Rumah Jemaat Maranatha Remu Sorong

Rumah Jemaat Maranatha Remu terletak di tengah-tengah


kota Sorong tepatnya di Jalan Basuki Rahmat. Bangunan gedung
Gereja Maranatha Remu Sorong terdiri dari tiga lantai yang
keseluruhan luasnya adalah11.837,55 m dan berdiri di atas tanah
2

seluas 20.392.55 m2. Sedangkan luas halaman gereja, yaitu 5.960 m2 dan
aula serba guna seluas 2.595 m2.

Adapun sarana dan prasarana yang dimiliki, antara lain aula


Maranatha dengan luas 2.595 m2, sebuah gedung Pastori Maranatha,
sebuah gedung/rumah kostor, gedung TK Maranatha dua lantai, kios
usaha sebanyak empat buah (satu buah dikelola oleh jamaat
Maranatha dan tiga kios di kontrakan), dan mobil APV tahun 2010 &
toyota kijang tahun 1995 serta satu buah sepeda motor Honda Mega
pro tahun 2009.

Sebagai penunjang kegiatan Jemaat Gereja, Gereja GKI


Marantha Remu memiliki berbagai kelengkapan, sebagai berikut:

a. kelengkapan kegiatan ibadat, seperti mimbar, kotak derma,


bangku dan kursi serta meja kerja, loud speaker aktif, organ dan
piano, komputer, dll

b. sekretariat dilengkapi dengan prasarana, seperti mesin resograf


CZ 180, mesin fotocopy, TV, printer canon, lemari juga ada mesin
ketik, ruang tamu, dll

c. ruang kerja Ketua PHMJ, ruang kantor jemaat, ruang ganti


pendeta, ada rumah menara lonceng, ruang konsistori, ruang
bendahara serta gudang dan rumah pastori

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 129


4. Struktur Organisasi Rumah Ibadah Maranatha Remu Sorong
Dalam rangka mengkoordinir serta menata pelayanan
terhadap jamaat sesuai dengan program-program yang telah
digariskan dalam setiap persidangan, maka pelaksanaannya
diamanatkan kepada Pelaksanaan Harian Majelis Jemaat (PHMJ)
bersama dengan perangkat penunjang di setiap urusan. Adapun
susunan perangkat Pelaksana Harian Majelis Jemaat Periode 2011-
2015, sesuai dengan Surat Keputusan Badan Pekerja Klasik GKI
Sorong tertanggal 1 Januari 2012, dengan Nomor SK Nomor:
045/SK/A-23.C/1/2012, sebagai berikut:
a. Ketua : Pdt. Demianus Sipata, S.Th
b. Wakil Ketua : Pnt. Thomas Nussy
c. Sekretaris : Pnt. Sadrak Wariori
d. Wakil Sekretaris : Pnt. Joost Richard Nelwan
e. Bendahara : Sym. Ursula Ana Rikumahu Matulessy
Untuk menunjang pelaksanaan tugas Pelaksana Harian
Majelis Jemaat (PHMJ) maka dibentuk beberapa Sekertaris Urusan
(sektur), yaitu:
a. Sekretaris Urusan (sektur) Injil yang diketuai oleh Penatua (Pnt)
Marthen Lapikmassa.
b. Sekretaris Urusan (sektur) Pembinaan Jemaat diketuai Pnt. Habil
Djitmau
c. Sekretaris Urusan Diakonia & Kpke diketuai Pnt. Y. Yurukai, S.
Sos
d. Sekretaris Urusan Pendidikan diketuai Sym Betuel Erari S.Pd,
M.MPd.
e. Sekretaris Urusan Ekubang diketuai Pnt. Ruty Ruimasa
Di samping itu, pada periode 2011-2015, Badan Pekerja Harian
Majelis Jemaat juga dibantu oleh tiga rayon, antara lain Rayon Remu
Selatan dengan anggota sebanyak 58 orang, Rayon KM 7
beranggotakan sebanyak 20 orang, dan Rayon Remu Utrara sebanyak

130 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


41 orang. Sejumlah majelis dan rayon Badan Pekerja Harian Majlis
Jemaat juga dibantu oleh pelayanan firman/hamba-hamba Tuhan,
antara lain: pendeta sebanyak 4 orang, guru Jemaat sebanyak 6 orang
dan guru Injil 1 orang
Sedangkan dalam upaya mendukung kelancaran tugas rutin
di jemaat Gereja GKI Maranatha Remu, terdapat beberapa fasilitas,
antara lain Tata Usaha sebanyak 4 orang, Kostor 5 orang, tenaga
keagaman 1 orang, tenaga sound system 1 orang dan di bidang
Pendidikan (TK) ada seorang kepala sekolah, 2 orang guru organik, 2
orang guru non-organik/honorer dan 1 orang penjaga TK.

5. Aktivitas Rumah Ibadat Jemaat Maranatha Remu Sorong


Sesuai dengan fungsi dan peran gereja, berikut ini beberapa
kegiatan GKI Maranatha Remu antara lain:
a. Ibadah Rutin
1) paduan suara remaja dilakukan hari Sabtu, pukul 18.00-20.00
2) ibadah Usbu dilakukan satu minggu sekali pada hari Senin,
pukul 09.00-10.00
3) ibadah umum/keluarga waktunya hari Jumat, pukul 17.00-
19.00
4) paduan suara ibu ibu Kristen setiap hari Senin dan Rabu,
pukul 14.00-16.00
5) paduan suara pemudah pada hari (Senin, Rabu dan Jumat),
pukul 17.00-19.00 yang disebut pemuda mencari jodoh
6) ibadah buat anak-anak hari Sabtu pagi dan Minggu siang
7) ibadah Persekutuan Wanita Kristen hari Kamis, pukul 17.00-
19.00
8) Persekutuan Kaum Bapak setiap hari Rabu pukul 19.00-21.00
9) sekolah minggu anak-anak pada hari Minggu sore, pukul
15.30-17.00

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 131


10) ibadah bagi pemuda, hari Selasa, pukul 18.00-20.00

11) peringatan hari besar keagamaan, seperti peringatan


masuknya Injili ke tanah Papua setiap 5 Februari, peringatan
berdirinya gereja GKI di tanah Papua setiap 26 Oktober,
peringatan Natal dan Tahun Baru, dan Kenaikan Yesus &
Kebangkitan Yesus biasanya waktunya ditentukan oleh Klasis
Sorong

b. Kegiatan Sosial

1) kegiatan Diakoni, yaitu kegiatan pelayanan kasih antara lain


mendatangi orang yang sedang kesusahan (sakit) yang
membutuhkan bantuan atau memberikan bantuan seperti,
orang yang sakit di rumah mendapaat santunan sebesar Rp.
300.000 dan yang terbaring di rumah sakit diberikan santunan
sebesar Rp. 500.000

2) kerja bakti lingkungan biasanya bekerja sama dengan


pemerintah daerah

3) demo kebersihan yang dilakukan satu tahun sekali biasanya


dilakukan bersamaan peringatan hari besar keagamaan

4) bantuan bagi lanjut usia dengan memberikan pelayanan


kesehatan gratis, sembako dan sembako

5) melakukan donor darah setahun sekali

6) pemberian modal atau pemberdayaan umat/jemaat diberikan


bantuan modal usaha sebesar Rp. 5.000.000. Bila ada
keuntungan 10% diberikan ke gereja sebagai persembahan
dengan jangka waktu satu tahun (12 bulan).56

56 Penjelasan mengenai profil GKI Maranatha Remu Kota Sorong, Lihat,

Dokumen Laporan Ketua Panitia Pelaksana Sidang Jemaat XXII GKI Maranatha Remu
Kota Sorong Tahun 2013 dan wawancara dengan PHMJ GKI Maranatha Remu Sorong.

132 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


B. Gereja Kristen Injili Immanuel Boswezen Kota Sorong

1. Gambaran Umum Rumah Ibadat

Keberadaan Gereja Immanuel Bozwesen yang terletak di Jl.


Yos Sudarso No. 1 Sorong tidak terlepas dari kedatangan dua orang
penginjil dari Jerman ke tanah Papua, yaitu Ottow dan Geissler pada 5
Februari 1855 M, di Manokwari (Sekretaris Klasis Sorong Pdt. Nimbrot
Sesa). Sedangkan menurut Ketua Gereja Immanuel Bozwesen dan
Sekretarisnya, kedatangan penginjil dari Jerman ke tanah Papua dan
menyebarkan ajarannya ke seluruh tanah Papua. Khusus di kota
Sorong penyebaran dibawa oleh penginjil B. W. Wogun, yaitu guru
jemaat pada 27 Oktober 1927 hingga 1946.

Sejak berdiri pada 1935 hingga saat ini Gereja Immanuel


Bozwesen sudah mengalami beberapa kali renovasi/perubahan, yaitu
pertama terjadi pada 1960an, 1991, 1998, terakhir pada 2005, dan
selanjutnya diresmikan pada 28 Oktober 2006. Gereja Immanuel
Boswezen yang terletak di Jl. Yos Sudarso Nomor 1 berdiri di atas
areal tanah seluas 19.361 m2, luas bangunan gereja berukuran kurang
lebih 59 x 25 m2 yang terdiri dari lantai dasar dan lantai dua yang
digunakan sebagai pusat kegiatan ibadat.

Ada beberapa tempat yang digunakan sebagai kegiatan Gereja


Immanuel Bozwesen, antara lain gedung TK dua lantai yang berada di
belakang sebelah kanan gedung gereja, gedung Poliklinik dan rumah
pendeta berada di belakang sebelah kiri gedung gereja, di sebelah kiri
terdapat gedung Klasis yang berdiri dengan megah sebanyak tiga
lantai (lantai dasar terdiri dari ruang praktik dokter, apotek, ruang
periksa, mini market, gudang, toko buku agama, tour & travel Pt.
Satria Wisata, kantin, ruang laboratorium, kantor percetakan. Lantai
dua terdiri Kantor Klasis, Kafe Sara, ruang Yesika Grafika, ruang
administrasi atau perkantoran. Sedangkan lantai tiga ruang serba
guna/ruangan pertemuan. Barang bergerak gereja yaitu sebuah mobil
ambulan. Adapun halaman depan dan sebelah kanan halaman
digunakan untuk tempat parkir kendaraan jemaat dan tamu gereja.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 133


2. Struktur Organisasi
Struktur organisasi Jemaat GKI Gereja Imanuel Bozwesen
Sorong terdiri dari Majelis Jemaat:
Ketua : Pdt. Ny. Nussy S.Th M. Si.s
Wakil Ketua : Pdt. Dr. M.E. Hukum, S.Ked
Sekretaris : Pnt. C. A. Manuputty
Wakil Sekretaris : Pnt. M. Hetharia
Bendahara : Pnt. D. Maatita
Majelis jemaat dalam melaksanakan kegiatan harian dibantu
oleh beberapa urusan yang tergabung dalam bidang urusan
kesekretariatan, antara lain:
a. Urusan Pekabaran Injil (P.I) yang ketuai oleh Pnt. R. Imbir, SE
b. Urusan Pelayanan Jemaat (P.J) kegiatannya meliputi Persekutuan
Anak Remaja (PAR), Persekutuan Anak Muda (PAM) dan
Persekutuan Kaum Bapak (PMK)yang diketuai oleh Pnt. M.
Sianaya, S.Pd.I
c. Urusan Diakona kegiatannya meliputi kegiatan sosial dan keesaan
yang diketuai oleh Pnt. A.V Tumuju. Urusan Diakona membawahi
empat bidang, yaitu Bidang Pelayanan PAR sebagai coordinator
adalah Yopy Monihapon, Bidang PAM coordinator bapak Thosan
Sauyai, Bidang Pelayanan Persekutuan Wanita, sebagai
coordinator Ibu Ny. Popy GO, dan Bidang Pelayanan PKB
coordinator adalah Dr. Titus Taba, Sp. THT-KL
d. Urusan Ekubang tugasnya adalah menangani urusan ekonomi,
keuangan dan pembangunan yang diketuai oleh Pnt. J. Tiblola, SE,
MM;

3. Aktivitas Gereja
Aktivitas Gereja Immanuel Bozwesen Kota Sorong tidak ada
bedanya dengan kegiatan di gereja-gereja GKI yang ada di tanah
Papua, karena jemaat khususnya di tanah Papua yang tergabung

134 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


dalam Gereja Kristen Indonesia di tanah Papua tidak mempunyai hak
milik gereja. Gereja merupakan milik Sinode yang berpusat di Ibukota
Provinsi. Sedangkan hak jemaat hanyalah sebatas hak pakai dan
bertanggung jawab memelihara rumah ibadat (gereja) tersebut.
Adapun dana-dana yang terkumpul dari jemaat gereja
diserahkan kepada Sinode dan Klasis dengan perincian 60% untuk
Sinode dan Klasis. Sedangkan 40% untuk dikelola oleh jemaat untuk
biaya operasional gereja dan pembangunan gereja.
Kegiatan Gereja Immanuel Bozwesen Kota Sorong meliputi
pembinaan agama kepada jemaat, yang dilakukan melaui:
a. pembinaan agama (sekolah minggu) bagi anak dilakukan di setiap
rayon (di Sorong ada 5 rayon yang terbagi dalam beberapa sub
rayon)
b. pembinaan Remaja dilakukan pada hari Sabtu pukul 07.00-09.00
dilakukan di setiap rayon (di Sorong ada 5 rayon yang terbagi
dalam beberapa sub rayon)
c. ibadah bulanan gabungan setiap hari Sabtu di Minggu keempat
d. pembinaan Remaja dilakukan di setiap rayon dan sub rayon pada
hari Rabu pukul 19.00
e. Perkesekutuan Kaum Wanita dilaksanakan pada hari Kamis
pukul 17.00-selesai
f. Persekutuan Kaum Bapak, dilakukan pada hari Selasa pukul
19.30-selesai
Kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya adalah:
a. ibadah Kunci Uspu yang dilaksanakan pada hari Sabtu pukul
19.00-20.00
b. ibadah Buka Uspu dilakukan pada setiap hari Senin pukul 08.30-
09.30
c. ibadah Kunci Bulanan, dilaksanakan setiap akhir bulan pada
pukul 18.00-19.30

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 135


Kegiatan ibadah pada hari hari besar atau hari hari tertentu
dilakukan melalui:
a. ibadah Jumat Agung waktunya disesuaikan dengan kalender
(Kematian Isa Al-Masih)
b. kegiatan Paskah, yaitu Kebangkitan Isa Al-Masih
c. kegiatan hari Kenaikan Isa Al-Masih/di sesuaikan dengan
kalender
d. hari Penta Kusta, upacara keagamaan yang dilakukan pada hari
ke-2 setelah Kenaikan Isa Al-Masih atau 10 hari setelah Kenaikan
Isa Al-Masih
e. hari ulang tahun Gereja Immanuel Boswezen setiap tanggal 5 Juli
f. hari ulang tahun GKI di tanah Papua pada tanggal 26 Oktober
g. peringatan Natal dan Tahun Baru
h. peringatan Hari Minggu Adven dilaksanakan empat minggu
sebelum Perayaan Natal
Kegiatan sosial (pelayanan sosial) dilakukan melalui:
a. kegiatan pelayanan sosial yaitu pelayanan kesehatan gratis yang
dilakukan oleh jemaat gereja pada hari Jumat pukul 12.00 sampai
selesai
b. pelayanan lanjut usia (lansia) seperti member santunan,
mengunjungi panti jumpo, berkunjung ke rumah sakit untuk
memberikan pelayanan doa
c. kegiatan jalan pagi pukul 06.30-08.00
d. senam kesehatan setiap pagi pukul 06.30-08.00
e. pemeriksa kesehatan setiap tanggal 10 pada pukul 08.00-selesai.
f. pendidikan Taman Kanak-Kanak
g. pemberdayaan ekonomi bagi jamaat dan masyarakat sekitarnya
antara lain membuka usaha kecil/super market, toko buku agama
Kristen

136 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


h. bantuan model usaha setiap rayon diberikan modal sebesar Rp.
17.000.000 yang dikembalikan dengan cara cicilan sebanyak 10 kali
selama bulan.57

C. Analisis
1. Pemberdayaan Umat sebagai Refleksi Teologi Diakonia
Berteologi merupakan kesanggupan dan keterampilan
mengungkapkan secara teratur dan jelas teologinya. Sedangkan dasar
berteologi adalah kesediaan untuk mendengar apa yang dikatakan
firman Tuhan dan menyakininya, serta mengaktualisasikan. Dengan
kata lain, berteologi merupakan suatu tindakan atau aktifitas
membangun relasi antara konteks Firman Tuhan dan konteks
kehidupan bergereja di masa kini. Berteologi menunjuk pula pada
bagaimana firman Allah menggarami, membarui kehidupan manusia,
dan menerangi permasalahan-permasalahan hidup manusia sehingga
dapat dengan leluasa merespon panggilan Allah. 58
Adapun yang dimaksud dengan diakonia berhubungan
dengan tindakan memberi pertolongan, pelayanan atau melayani.
Pertolongan, pelayanan atau melayani yang dimaksud tidak terbatas
pada segi-segi tertentu yang merupakan kebutuhan hidup sesama
manusia, melainkan bersifat totalistis-humanistis atau holistik. Jadi
pemahaman diakonia sesungguhnya mengandung nilai-nilai etis
maupun teologis yang integral dengan eksistensi manusia sebagai
ciptaan Allah.
Dengan demikian, diakonia baru dapat dipahami sebagai
teologi hanya jika direlasikan dengan seluruh karya dan hidup Yesus.
Diakonia yang hidup adalah tanda dari gereja yang hidup dan
misioner. Ia akan sungguh-sungguh hidup dan misioner, apabila
dilakukan sebagai sebuah “gerakan” (movement) pada aras jemaat,

57 Penjelasan mengenai profil GKI Immanuel Boswezen Kota Sorong, Lihat,

Dokumen Hasil-Hasil Keputusan Sidang Jemaat GKI Immanuel Boswezen Sorong Tahun
2013 dan Wawancara dengan PHMJ Immanuel Boswezen Sorong
58 http://gkiditanahpapua.org/2014/02/03/ber-teologi-dalam-konteks-diakonia-

gki/, Diakses pada tanggal 1 Juni 2014.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 137


klasis dan sinode. Tetapi juga diperlukan kepekaan dan komitmen kita
semua sebagai “pelaku” diakonia.
Dari perspektif fakta Kristus ini, maka diakonia gereja tidak
saja difahami sebagai pelayanan yang bersifat rutinitas dalam jemaat.
Diakonia yang sesungguhnya adalah diakonia yang berpihak dan
mencerminkan “pikiran Kristus”, apa yang dilakukan haruslah
menjadi model tindakan gereja. Tindakan Yesus harus menjadi ukuran
dari tindakan gereja atau umat Allah dan gereja harus mampu
mengikuti jalan ini jika mau menjadi gereja yang melayani. 59
Dalam konteks tersebut, baik GKI Maranatha Remu maupun
GKI Immanuel Bozwesen Kota Sorong menekankan bahwa
membangun kehidupan bergereja tidak hanya melihat kepada
kepentingan individual semata tetapi kepada masyarakat di luar gereja
serta harus pula memikirkan umat gereja di GKI Maranatha Remu
maupun GKI Immanuel Bozwesen kota Sorong dan semua GKI di
tanah Papua. Kesamaan dalam hal ini mendorong Pelaksana Harian
Majelis Jemaat untuk memperhatikan kesejahteraan umat dan
berusaha keras menerjemahkan hal tersebut dalam program-program
pelayanan dan pemberdayaan yang disusun dan dirancang dalam
sidang jemaat untuk dilaksanakan.60
Selanjutnya, dijelaskan oleh Pendeta Iriani Nussy, Ketua
Pelaksana Harian Majelis Jemaat GKI Immanuel Bozwesen bahwa
dalam hal program pemberdayaan, mereka menganut program
berbasis jemaat. Hal ini bercermin pada potret nyata di kalangan
jemaat bahwa masih ada kondisi jemaat yang masuk dalam kategori
lemah secara ekonomi sehingga GKI Immanuel Bozwesen memandang
penting adanya keberlangsungan program-program Diakonia
Transformatif, seperti bantuan beasiswa bagi anak yang kurang
mampu tetapi berprestasi sehingga dapat mendorong anak lain untuk
memiliki prestasi; pemberdayaan ekonomi bagi jamaat dan
masyarakat sekitarnya antara lain membuka usaha kecil/super market,
toko buku agama Kristen dan bantuan model usaha setiap rayon

59Ibid
60 Wawancara dengan Pendeta Iriani Nussy, Ketua Pelaksana Harian Majelis
Jemaat GKI Immanuel Boswezen Sorong, 28 Mei 2014.

138 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


diberikan modal sebesar Rp. 17.000.000 dikembalikan dengan cara
cicilan sebanyak 10 kali selama bulan.61
Selain itu, terdapat pula program diakonia karitatif berupa
pelayanan kesehatan, pengobatan massal dan pemeriksaan kesehatan
rutin setiap hari jumat secara gratis dalam rangka membangun
kerohanian dan kebersamaan yang kokoh tidak hanya melalui
kegiatan peribadatan ritual. Program program semacam ini
mendorong jemaat agar memiliki kesadaran untuk berbuat sesuatu
dan merangkul yang lemah dan adanya persembahan yang diberikan
oleh jemaat untuk membiayai program-program tersebut mendorong
jemaat untuk peduli terhadap kelancaran dan keberhasilan program
program di gereja.62
Selanjutnya pemberdayaan umat yang dilakukan di GKI
Maranatha Remu, Pendeta Sipata, Ketua Pelaksana Harian Majelis
Jemaat GKI Maranatha Remu menjelaskan bahwa sejalan dengan tema
besar GKI di tanah Papua yaitu “Hidup untuk menghidupkan” maka
sangatlah relevan tema tersebut jika diaplikasi dalam kehidupan
bergereja. Menurutnya, kita yang sudah memiliki hidup maka
bertanggung jawab menghidupkan yang lain baik secara rohani
maupun jasmani yang kemudian diterjemahakan ke dalam berbagai
program gereja. Program yang selama ini dirancang dan dilaksanakan
di GKI Maranatha Remu semangatnya mengacu pada visi dan misi
Gereja Kristen Injili di tanah Papua Klasis Sorong yaitu terwujudnya
tanda tanda kerajaan ALLAH di dalam sumber daya gereja yang
berkualitas, mandiri dan sejahtera. Untuk mewujudkan visi tersebut
telah dirumuskan langkah-langkah strategis yang menjadi visi
bersama, yaitu: meningkatkan kualitas kehidupan rohani warga
jemaat dan pelayan; meningkatkan kemandirian pelayanan dan warga
jemaat dan meningkatkan kesejahteraan pelayanan dan warga jemaat.
Adapun program program yang bersifat Diakonia Transformatif yang
dilaksanakan di GKI Maranatha Remu adalah pemberian modal atau
pemberdayaan umat/jermaat diberikan bantuan modal usaha sebesar

61 Penjelasan mengenai profil GKI Immanuel Boswezen Kota Sorong, Lihat,

Dokumen Hasil-Hasil Keputusan Sidang Jemaat GKI Immanuel Boswezen Sorong Tahun
2013 dan Wawancara dengan PHMJ Immanuel Boswezen Sorong
62 Ibid

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 139


Rp. 5.000.000. Apabila ada keuntungan, 10% diberikan ke gereja
sebagai persembahan.63
Dari model pemberdayaan yang dilakukan oleh kedua gereja
tersebut, meskipun belum ada data rinci mengenai berapa jumlah
penerima bantuan dan jumlah penerima bantuan modal yang sukses
dalam membangun kemandiriannya di bidang ekonomi sehingga
meningkatkan kesejahteraan mereka, setidaknya dapat tergambar
nyata bahwa kedua gereja sudah berfikir jauh mengenai perubahan
paradigma diakonia dari sekadar karitatif menjadi transformatif.
Adanya potret nyata mengenai masih adanya jemaat yang
masih dalam kondisi lemah secara ekonomi serta upaya penyelesaian
konkrit yang dilakukan oleh kedua gereja tersebut memperlihatkan
bahwa gereja sebagai lembaga spiritual jemaat mulai mengadakan
pemberdayaan ekonomi yang bertujuan untuk membantu
meningkatkan pendapatan dan taraf hidup warga jemaat. Sebab
kecendrungan gereja memahami ibadah secara ritual saja, akan
menyebabkan ketimpangan terhadap hakekat ibadah itu sendiri.
Sehingga apa yang dilakukan oleh kedua gereja tersebut menunjukan
pula bahwa gereja telah menjatuhkan pilihan itu pada pemberdayaan
umat yang transformatif demi memanusiakan manusia sebagai subjek
yang mandiri dalam memperjuangkan kehidupan bersama yang lebih
manusiawi. Diakonia yang hidup yang bersifat transformatif memang
menantang jemaat dan gereja sendiri untuk melakukan perubahan
paradigma (pemikiran). Dengan demikian mental, sikap dan kemauan
jemaat dan gereja menjadi modal utama bagi lahirnya gerakan
diakonia transformatif dengan pendekatan wira usaha sosial ini.
Program-program yang telah dan sedang berjalan di kedua
gereja tersebut selain didorong oleh panggilan dan kesadaran iman,
tampaknya tidak dapat dilepaskan dari adanya pertemuan penting
yang tidak dapat diabaikan oleh jemaat GKI Marantah Remu dan
Immanuel Bozwesen Sorong, yaitu Konferensi Misi Pekabaran Injil ke-

63 Penjelasan mengenai profil GKI Maranatha Remu Kota Sorong, Lihat,

Dokumen Laporan Ketua Panitia Pelaksana Sidang Jemaat XXII GKI Maranatha Remu
Kota Sorong Tahun 2013 dan wawancara dengan PHMJ GKI Maranatha Remu Sorong.

140 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


II GKI Di Tanah Papua yang telah berlangsung di Sorong, 1-4 Februari
2013.
Pertemuan-pertemuan dan konferensi Sorong penting karena
telah meletakkan landasan berpikir bagi upaya pengembangan teologi
misi yang punya hubungan dengan tiga fungsi pelayanan gereja
(koinonia, diakonia dan marturia), yakni (1) konsep teoritis tentang misi
pekabaran Injil serta korelasinya dengan Tri-panggilan Gereja atau
rancang bangun teologi yang tanggap terhadap kebutuhan konteks.
Kemudian, (2) membangun kesadaran dan tanggung jawab bagi upaya
mengimplementasikan fungsi-fungsi pelayanan gereja tersebut dalam
berbagai aspek kehidupan bergereja secara nyata.
Dengan demikian, berteologi dalam konteks diakonia
mengandung dua makna, yaitu pertama, makna lugas. Makna ini
berarti, tindakan manusia di dalam dunia, tindakan horizontal yang
berhubungan dengan respons gereja dalam menyikapi dinamika
sosial, budaya, ekonomi, politik, yang berdampak terhadap iman serta
misi gereja. Kedua, makna teologis. Makna ini berhubungan dengan
penyesuaian dan partisipasi gereja dalam tindakan Allah.64
Oleh karena itu–sebagaimana halnya dilakukan oleh GKI
Maranatha Remu dan Immanuel Bozwesen Kota Sorong–untuk
menjalankan diakonia transformatif semacam ini, kepemimpinan
transformatif yang visioner, partisipatif, dan mampu mendorong
inisiatif masyarakat dipraktikan dalam kepemimpinan gereja. Gereja
sebagai lembaga yang mempelopori dituntut untuk selalu
mengembangkan sikap terbuka dan mampu beradaptasi dengan
perkembangan situasi yang berubah. Integritas gereja melalui
kepemimpinan kolektif kolegial di dalam majelis gereja pun terus
diupayakan secara optimal terutama menyangkut pengelolaan semua
sumber daya dan modal sosial gereja dengan manajemen terbuka dan
terkontrol guna mencegah terjadinya ketidakpuasan di kalangan
jemaat atau warga gereja.

64 http://gkiditanahpapua.org/2014/02/03/ber-teologi-dalam-konteks-diakonia-
gki/

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 141


2. Manajemen Organisasi
Gereja dalam arti institusi tidak terlepas dari sebuah
organisasi karena di dalam gereja diperlukan suatu tatanan,
pengaturan, penyusunan maupun tentang pengelolaan dalam segala
sesuatu proses yang dilakukan oleh gereja tersebut demi tercapainya
pengorganisasian yang baik sehingga gereja dapat mencapai
tujuannya, sebagai mandataris Allah di dunia. Dalam Perjanjian Baru,
gereja dalam bahasa Yunani yaitu “ekklesia” yang memiliki kata dasar
“kaleo” yang berarti mereka dipanggil keluar.
Pengertian gereja juga berasal dari kata “igreya” yang berarti
menjadi milik Tuhan, jadi yang dimaksud dengan gereja adalah
persekutuan orang percaya yang telah menjadi milik Tuhan. Namun
gereja dapat juga dilihat sebagai organisasi yang ditinjau dari
sosiologis karena gereja tidak akan pernah lepas dari sudut pandang
sosial kemasyarakatan. Alasan yang mendasarinya, bahwa gereja
merupakan bagian sosial kemasyarakatan. Sehingga gereja terdiri dari
beberapa anggota masyarakat yang juga bagian dari negara dari
dunia.65
Oleh karena itu, terkait dengan manajemen organisasi yang
diterapkan di Gereja Kristen Injili Maranatha Remu dan Immanuel
Bozwesen Kota Sorong dapat digambarkan, sebagai berikut:
a. kedua gereja yang merupakan denominasi Gereja Kristen Injili di
tanah Papua memiliki dan menerapkan model manajemen yang
sama yakni setiap keputusan terkait dengan perencanaan kegiatan
dirumuskan dan diputuskan dalam sidang jemaat sebagai forum
tertinggi di aras jemaat yang pelaksanaan sidangnya berdasarkan
pada tata gereja, peraturan pokok, peraturan khusus serta
peraturan pelaksanaan Gereja Kristen Injili di tanah Papua. Hasil-
hasil keputusan Sidang Jemaat tersebut kemudian disampaikan
kepada Badan Pekerja Klasis GKI Sorong dan Sinoda GKI di
Tanah Papua di Jayapura.

65 http://johannes-manurung.blogspot.com/2012/06/manajemen-
kepemimpinan-gereja.html, Diakses pada Tanggal 1 Juni 2014

142 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


b. dalam hal pengorganisasian dan pelaksanaan kegiatan, hasil-hasil
Keputusan Sidang Jemaat terutama berkaitan dengan program-
program yang telah dirumuskan untuk jangka waktu satu tahun
tersebut kemudian diorganisasikan di bawah kepemimpinan
Ketua Pelaksana Harian Jemaat baik di GKI Maranatha Remu
maupun Immanuel Boswezen dan dilaksanakan oleh masing-
masing urusan yang membidangi sebagaimana telah dijelaskan
pada uraian di atas mengenai struktur organisasi di kedua gereja
baik di Gereja Kristen Injili Maranatha Remu dan Immanuel
Bozwesen Kota Sorong.
c. dalam hal evaluasi, seluruh kegiatan yang telah dilaksanakan
berdasarkan hasil-hasil keputusan Sidang Jemaat kemudian
dievaluasi pada forum yang sama yaitu pada Sidang Jemaat tahun
berikutnya.66
d. dalam hal pembagian peran dan pendelegasian peran, manajemen
yang diterapkan adalah mengacu pada manajemen yang disebut
oleh Pendeta Simon, pendeta di GKI Immanuel Bozwesen Sorong
sebagai pola Manajemen Kristus dimana Yesus Kristus telah
membagi peran kepada 12 Rasul untuk melaksanakan misi Kristen
di dunia.
e. partisipasi aktif jemaat berjalan dengan baik. Oleh karena
partisipasi aktif jemaat sangat menentukan keberhasilan program-
program yang diselenggarakan oleh gereja maka Pelaksana Harian
Majelis Jemaat di GKI Maranatha Remu dan Immanuel Bozwesen
Kota Sorong sangat menekankan pentingnya partisipasi aktif dan
kebersamaan jemaat dalam menyukseskan program-program
gereja. Dari aspek tersebut, jelas bahwa peran kepemimpinan dan
manajerial gereja sangat diperlukan untuk membangun solidaritas
dan soliditas jemaat. Hal inilah yang terus dilakukan dan
diupayakan oleh Pelaksana Harian Majelis Jemaat yang bersifat
kolektif kolegial. 67

66 Focus Group Discussion dengan Pelaksana Harian Majelis Jemaat dan Anggota

Jemaat GKI Maranatha Remu dan Immanuel Boswezen Sorong, 28 Mei 2014.
67 Wawancara dengan Pendeta Simon (Kepala Sub Bagian Tata Usaha

Kementerian Agama Kota Sorong dan Pendeta di GKI Immanuel Bozwesen Sorong,
Tanggal 26 Mei 2014.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 143


Dari keempat hal di atas, terlihat jelas bahwa keberhasilan
setiap program yang dilaksanakan gereja tidak terlepas dari dua hal
yaitu manajemen organisasi gereja dan kedudukan jemaat atau warga
gereja sebagai sumber utama atau sumber daya (human resources)
merupakan bagian penting dalam manejemen/pengelolaan sumber
daya baik mereka yang merupakan warga jemaat yang telah terdaftar
secara administratif maupun jemaat simpatisan. SDM gereja dapat
diberdayakan dan dilibatkan secara aktif dengan melakukan banyak
program positif.68 Oleh sebab itu, manajemen organisasi gereja yang
baik, penguatan kapasitas SDM gereja, partisipasi aktif jemaat menjadi
prioritas penting dalam setiap pembahasan perkembangan dan
kemajuan gereja di GKI Maranatha Remu dan Immanuel Bozwesen
Kota Sorong.69

3. Sumber Keuangan
a. GKI Maranatha Remu
Penerimaan keuangan gereja di GKI Maranatha Remu
terdiri dari penerimaan/pemdapatan konvesional dan
penerimaan/pendapatan inkonvensional. Penerimaan/Pendapatan
konvensional bersumber dari dana kolekte, derma ibadah, derma
khusus, derma persepuluhan, derma pengucapan syukur, dana
bulanan per jiwa, pegawai rp. 100.000,- dan jemaah non pegawai
rp. 25.000, dan penerimaan lain lain.
Sedangkan penerimaan/pendapatan inkonven-sional
bersumber dari amplop pengucapan syukur akhir tahun/bulanan,
penerimaan surat surat gerejawi, penerimaan usaha aset gereja,
spontanitas iman untuk diakonia, spontanitas iman untuk
pembangunan, spontanitas iman untuk pendidikan, aksi 5 menit,
peti pembangunan Kantor Klasis, dan pendapatan lain-lain.

68 Pdt. Andreas U, Wiyono, S.Th, D.Min, Drs. Sukardi, M.Si, “Manejemen

Gereja: dasar teologis dan implementasi praktisnya” dalam Bahan bacaan Mata Kuliah
Teologi Kepemimpinan & Manejemen, (Fakultas Teologi UKSW, 2011),55-57.
69 Focus Group Discussion dengan Pelaksana Harian Majelis Jemaat dan Anggota

Jemaat GKI Maranatha Remu dan Immanuel Boswezen Sorong, 28 Mei 2014.

144 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Adapun dana bantuan Pemerintah daerah/Provinsi,
antara lain Gereja Maranatha Ramu menerima bantuan dari
pemerintah Provinsi 3 tahun berturut-turun, yaitu (1) tahun 2011
menerima bantuan sebesar Rp. 200.000.000, (2) tahun 2012
menerima bantuan Rp. 200.000.000, dan (3) tahun 2013 Gereja
Maranatha menerima bantuan sebesar Rp. 100.000.000.

Penggunaan dana yang diperoleh sebagaimana


disebutkan pada poin penerimaan/pendapatan dipergunakan
untuk pengeluaran rutin gereja meliputi belanja pegawai, belanja
inventaris, belanja program, belanja pemeliharaan, belanja
perjamuan kudus, belanja perjalanan, setoran wajib, belanja ATK,
belanja rumah tangga, dan belanja lainnya. Sedangkan
penggunaan dana bantuan pemerintah sejumlah Rp. 500.000.000.

Bantuan yang pertama untuk membangun menera gereja


sedangkan bantuan yang kedua untuk menyelesaikan bangunan
menara dan sisanya untuk merenovasi gedung gereja dan bantuan
yang ketiga yang sampai saat sekarang ini belum digunakan dan
rencananya akan digunakan untuk honor pendeta sebanyak 5
orang, honor guru jemaah 6 orang, membiayai program kerja
operasional gereja, membantu membiayai kegiatan sosial
(santunan kepada jompo dan lansia, beasiswa bagi anak kurang
mampu dan membantu usaha kecil yang membutuhkan dana dan
operasional kendaraan

b. GKI Immanuel Bozwesen

Penerimaan keuangan gereja di GKI Immanuel Bozwesen


Kota Sorong terdiri dari (1) sumber dana gereja berasal dari dana
umat/jemaat, seperti dana persepuluhan, kolekte, derma, dana
kartu ataupun dana spontanitas, dan iuran bulanan setiap Kepala
Keluarga Rp. 2.500, dan (2) dana yang bersumber dari bantuan
baik dari pemerintah (Pemerintah Pusat dan Daerah) maupun
swasta dengan rincian dana dari Pemda Provinsi sebesar Rp.
250.000.000 dan dana dari kota Sorong sebesar Rp. 10.000.000
setiap tahun.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 145


Adapun pemanfaatan dana tersebut dipergunakan untuk:
1) pemanfaatan dana persepuluhan, kolekte, derma dan dana
kartu ataupun dana spontanitas digunakan antara 60% disetor
ke Sinode dan Klasis sedangkan 40% digunakan untuk
operasional gereja;
2) dana bantuan Rp. 250.000.000 untuk pembangunan sarana
dan prasarana Taman Kanak-Kanak;
3) dana bantuan Kota Sorong dimanfaatkan untuk pembinaan
ummat dan Hari-hari besar keagamaan.

4. Manajemen Keuangan Gereja di GKI Maranatha Remu dan


Immanuel Bozwesen Kota Sorong
Dalam hal manajemen keuangan gereja, manajemen yang
selama ini diterapkan oleh GKI Maranatha Remu dan Immanuel
Bozwesen Kota Sorong adalah manajemen keuangan yang transparan
serta memenuhi standard akuntan publik. Seluruh laporan
pertanggungjawaban keuangan baik penerimaan/pendapatan yang
bersumber dari jemaat dan pihak lain serta pengeluaran/belanja
diaudit oleh Badan Pemeriksa Perbendaharaan Gereja atau BPPG dan
dipertanggungjawabkan penggunaannya pada forum Sidang Jemaat
dan selanjutnya diketahui oleh warga gereja mengenai realisasi
penerimaan dan pengeluaran tahunan.
Laporan pertanggungjawaban keuangan gereja menjadi
penjelasan bagi seluruh peserta Sidang Jemaat, warga jemaat serta
pihak pihak yang berkepentingan mengetahui realisasi penerimaan
dan pengeluaran satu tahun. Di samping itu, laporan tersebut menjadi
tolok ukur untuk menganalisis dan mengevaluasi kinerja pelayanan
pada kurun waktu satu tahun sekaligus menjadi acuan penting bagi
penetapan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Jemaat (RAPBJ)
tahun berikutnya.
Penerapan manajemen keuangan semacam ini tidak terlepas
dari komitmen Pelaksana Harian Majelis Jemaat di kedua gereja baik
GKI Maranatha Remu maupun Immanuel Bozwesen Kota Sorong

146 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


untuk menerapkan prinsip-prinsip kejujuran, transparansi dan
akuntabilitas dalam hal manajemen keuangan gereja. 70 Oleh karena itu,
terkait dengan manajemen keuangan dan manajemen organisasi secara
umum yang berlangsung di GKI Maranatha Remu dan Immanuel
Bozwesen Kota Sorong, jika melihat pada tabel di bawah ini dapat
dikemukakan bahwa potret nyata yang tergambar dari penelitian
memperlihatkan bahwa pada level input, proses dan output berjalan
relatif baik terutama dalam hal SDM pengurus, maksimalisasi modal
sosial, perkembangan dan pemeliharaan aset aset gereja,
kepemimpinan, kontinuitas sistem dan proses, penggunaan data,
kepuasan jemaat serta kuantitas (progres/perkembangan rumah
ibadah) yang terus mengalami pertumbuhan seiring dengan
berdirinya pos pos pelayanan yang kemudian bermetamorfosa
menjadi jemaat baru.
Sedangkan dalam hal kesejahteraan jemaah, penelitian ini
belum dapat seutuhnya memotret tingkat perkembangan
kesejahteraan jemaah sebagai dampak dari program program yang
selama ini dilakukan oleh gereja terutama menyangkut program
pemberdayaan atau program diakonia transformatif yang dilakukan di
GKI Maranatha Remu dan Immanuel Bozwesen Kota Sorong.

70 Focus Group Discussion dengan Pelaksana Harian Majelis Jemaat dan

Anggota Jemaat GKI Maranatha Remu dan Immanuel Boswezen Sorong, 28 Mei 2014.
Lihat, Dokumen Hasil-Hasil Keputusan Sidang Jemaat GKI Immanuel Boswezen Sorong
dan GKI Maranatha Remu Tahun 2013

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 147


5. Faktor Pendukung dan Penghambat

a. Pendukung dan Penghambat Pemberdayaan Rumah Ibadah


di GKI Maranatha Remu

1) Faktor Pendukung

a) jemaat gereja yang cukup banyak sehingga dana


gereja bisa diatasi baik itu dari dana persepuluhan,
kolekte, derma dan dana kartu ataupun dana
spontanitas

b) karena anggota jemaat gereja kebanyakan pegawai


akan lebih mudah untuk dikodinasikan

c) bekerja di gereja merupakan panggilan iman


sehingga pengurus dan jemaat gereja sudah saling
memahami tugas dan fungsinya

d) pengurus gereja tidak menerima gaji/honor, yang


digaji adalah pendeta, sekretaris dan bendahara

2) Faktor Penghambat

a) kondisi geografis tanah papua yang berbukit dan


jarak antara jemaat yang satu dengan yang lain saling
berjauhan mempengaruhi aktifitas pelayanan jemaat
yaitu tidak semua jemaat terlayani dengan tepat
waktu

b) fanatisme kedaerahan yang berlebihan berpengaruh


terhadap persekutuan jemaat

c) masalah moral penduduk pribumi yang masih suka


mabuk-mabukan terbilang cukup tinggi

d) rendahnya peran doa dalam membina rumah tangga

e) lapangan kerja bagi jemaat yang minim turut


mempengaruhi kehadiran jemaat dana terhadap
gereja

148 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


f) pemahaman tentang diakonan yang masih rendah,
sehingga sangat mempengaruhi pelayanannya

g) minimnya tenaga pengajar mengakibatkan pelayanan


yang kurang maksimal

b. Faktor Pendukung dan Penghambat Pemberdayaan Rumah


Ibadah di GKI Immanuel Bozwesen Kota Sorong

1) Faktor Pendukung

a) semua pengurus bekerja dengan jemaat

b) pengurus bekerja adalah panggilan tuhan


(pengabdian)

c) dana operasional selama ini bisa diatasi oleh umat


yaitu dari umat dan untuk umat

d) kesadaran umat untuk berderma cukup tinggi karena


sebagian besar umat adalah pegawai dan pekerja

2) Faktor Penghambat

a) tidak semua permasalahan dapat diselesaikan


secepatnya atau kadang tidak sesuai dengan harapan

b) lokasi yang sulit dan jarak yang kurang mendukung


karena lokasi gereja dan tempat tinggal umat saling
berjauhan

c) masih banyak umat yang senang meminum


minuman keras yang berlebihan

d) dana dari umat sering terlambat, atau tidak sesuai


dengan harapan karena umat sering tidak
melaksanakan ibadah sesuai harapan

e) pendidikan umat yang tidak seimbang sehingga


menghambat pelaksanaan ibadah gereja

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 149


Penutup
1. Simpulan
a. GKI Marantha Remu dan Immanuel Bozwesen merupakan
kelompok Kristen Protestan yang beraliran Calvinis yang struktur
keorganisasiannya menganut model Presbyterial Sinodal.
b. Jemaat GKI di tanah Papua termasuk GKI Marantha Remu dan
Immanuel Bozwesen tidak memiliki hak atas gereja sebab hak
tersebut sepenuhnya merupakan hak milik sinode. Sedangkan hak
jemaat hanyalah sebatas hak pakai dan bertanggung jawab
memelihara rumah ibadat (gereja) tersebut
c. Kedua gereja memiliki sarana dan pra sarana yang memadai
dalam mendukung program yang dilakukan oleh kedua gereja
tersebut.
d. Kedua gereja yang merupakan denominasi Gereja Kristen Injili di
tanah Papua memiliki dan menerapkan model manajemen yang
sama baik dalam hal manajemen organisasi maupun manajemen
keuangan. Setiap keputusan terkait dengan perencanaan kegiatan
dirumuskan dan diputuskan dalam sidang jemaat sebagai forum
tertinggi di aras jemaat yang pelaksanaan sidangnya berdasarkan
pada tata gereja, peraturan pokok, peraturan khusus serta
peraturan pelaksanaan Gereja Kristen Injili di tanah Papua. Hasil-
hasil keputusan Sidang Jemaat tersebut kemudian disampaikan
kepada Badan Pekerja Klasis GKI Sorong dan Sinoda GKI di tanah
Papua di Jayapura dan harus dilaksanakan oleh Pelaksana Harian
Majelis Jemaat yang bersifat kolektif kolegial
e. Dalam melaksanakan kegiatan pelayanan di GKI Marantha Remu
dan Immanuel Bozwesen, Pelaksana Harian Majelis Jemaat di
bantu oleh Rayon dan Sub Rayon yang merupakan kepanjangan
tangan GKI Maranatha Remu dan GKI Immanuel Bozwesen.
f. Dalam hal pendanaan, kegiatan di kedua GKI bersumber dari
dana jemaat dan bantuan pemerintah. Khusus mengenai dana
yang bersumber dari jemaat, dana-dana yang terkumpul
diserahkan kepada Sinode dan Klasis dengan perincian 60% untuk
Sinode dan Klasis. Sedangkan 40% untuk dikelola oleh jemaat

150 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


untuk biaya operasional gereja dan pembangunan gereja. Kecuali
dana persepuluhan, 100 % disetorkan kepada Sinode.
g. Di kedua Gereja, model pemberdayaan yang dilakukan adalah
mengacu pada model teologi diakonia transformatif selain model
diakonia yang bersifat karitatif. Sedangkan model manajemen dan
kepemimpinan yang diterapkan adalah model manajemen Kristus
dan Model Kepemimpinan Transformasional.
h. Partisipasi aktif jemaat berjalan dengan baik. Oleh karena
partisipasi aktif jemaat sangat menentukan keberhasilan program-
program yang diselenggarakan oleh gereja maka Pelaksana
Harian Majelis Jemaat di GKI Maranatha Remu dan Immanuel
Bozwesen Kota Sorong sangat menekankan pentingnya partisipasi
aktif dan kebersamaan jemaat dalam menyukseskan program-
program gereja.

2. Rekomendasi
a. Persembahan warga gereja menjadi daya gerak dan daya hidup
gereja. Karena itu, diperlukan penguatan dan implementasi
Diakonia Transformatif di lingkungan GKI Maranatha Remu dan
Immanuel Bozwesen. Langkah yang harus dilakukan adalah
pemetaan potensi yang dipunyai jemaat atau warga gereja secara
komprehensif.
b. Potensi warga gereja tersebut akan menjadi berdaya guna apabila
pendekatan wira usaha sosial diterapkan. Prinsip-prinsip wira
usaha bisa mendukung program diakonia sosial gereja, sebab
menekankan analisis potensi, analisia risiko, analisis biaya-
manfaat, analisis stakeholders (pemangku kepentingan), analisis
daya serap (pasar), dan juga analisis keuntungan (sosial dan
keuangan), akan berpengaruh besar terhadap keberlangsungan
program-program diakonia gereja
c. Program pemberdayaan melaui program wirausaha bagi warga
gereja tentu mereka akan mengharapkan sebuah program akan
terus berlanjut. Oleh karena itu, program program pemberdayaan

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 151


umat harus berorientasi pada keberlanjutan dan bukan program
sekali jalan.
d. Konteks pergumulan sosial yang dilihat, dialami oleh gereja yang
memosisikan kemiskinan sebagai problem bersama yang harus
diupayakan penyelesaiannya, maka diakonia transformatif gereja
di GKI Maranatha Remu dan Immanuel Bozwesen kiranya
berdampak luas manfaat kebaikannya apabila program program
pemberdayaan gereja yang berbasis jemaat tidak hanya untuk
kepentingan jemaat atau warga gereja saja melainkan masyarakat
umum di luar komunitas Kristen. Meskipun dalam hal diakonia
karitatif, kedua gereja sudah memiliki program pelayanan
kesehatan yang menjangkau masyarakat luas tidak hanya warga
gereja/umat Kristen.
e. Intervensi gereja dalam bidang sosial-ekonomi sebagai suatu
panggilan berpihak pada orang lemah harus memikirkan dampak
kertergantungan yang tinggi terhadap sebuah upaya
pemberdayaan yang dilakukan oleh gereja. Kepercayaan jemaat
bahwa gereja merupakan institusi yang baik dalam mengurus
keuangan dan memberikan pelayanan yang baik tidak dapat
dipungkiri akan menimbulkan perilaku ketergantungan. Oleh
karena itu, gereja harus sungguh-sungguh merancang dan
mengimplementasikan format pemberdayaan atau diakonia
transformatif agar tidak terjadi ketergantungan pada modal usaha.
***

152 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Daftar Pustaka

Coleman, J.S., Social Capital In Creation of Human Capital, Amarican Journal


of Sociology, 94 Supplement: S95-120.
Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariat Ditjen Bimas Islam
Kementerian Agama. 2007. Pedoman Pemberdayaan Majid (Melalui
Aspek Idarah, Imarah, dan Ri’ayah).
Dokumen Laporan Ketua Panitia Pelaksana Sidang Jemaat XXII GKI
Maranatha Remu Kota Sorong Tahun 2013
Dokumen Hasil-Hasil Keputusan Sidang Jemaat GKI Immanuel Boswezen
Sorong Tahun 2013
Fukuyama F., 1995. The Social Virtues and The Creation of Prosperity.
Newyork: Free Press.
Halpen, David. 2005. Social Capital. Cambridge: Polity.
Kota Sorong Dalam Angka 2013. Kota Sorong: Badan Pusat Statistik Kota
Sorong
Putnam, R.D., 1993. Marking Democracy Work: Civil Tradition In Modern Italy.
Princeton NJ: Princeton University Press.
Rais, Rahmat. 2009. Modal Sosial Sebagai Strategi Pengembangan Madrasah.
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.
Wiyono, Pdt. Andreas U. 2011. “Manejemen Gereja: dasar teologis dan
implementasi praktisnya” dalam Bahan Bacaan Mata Kuliah
Teologi Kepemimpinan & Manejemen. Salatiga: Fakultas Teologi
UKSW
http://www.sorongkota.go.id, Diakses Tanggal 1 Juni 2014
http://anastat.web.ugm.ac.id/index.php, Diakses Tanggal 1 Juni 2014
http://regional.kompas.com/read/2013/10/28/2013236/Warga.Asli.Papua.Ba
rat.Makin.Terdesak, Diakses Tanggal 1 Juni 2014).
http://gkiditanahpapua.org/2014/02/03/ber-teologi-dalam-konteks-
diakonia-gki/, Diakses Tanggal 1 Juni 2014
http://johannes-manurung.blogspot.com/2012/06/manajemen-
kepemimpinan-gereja.html, Diakses Tanggal 1 Juni 2014

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 153


154 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
MODEL PEMBERDAYAAN GEREJA DI KOTA
YOGYAKARTA:
Menegakkan Hirarkhi dan Meneruskan Keteladanan
Para Romo

Oleh:
Agus Mulyono dan Pormadi Simbolon

Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti


pada tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di
bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur
Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti adalah Negara Mataram dibagi
dua, yaitu setengah masih menjadi hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi
menjadi hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran
Mangkubumi diakui menjadi raja atas setengah daerah Pedalaman
Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing
Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Adapun
daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta),
Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah
mancanegara, yaitu Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan,
Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen,
Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan.
Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran
Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera
menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu
diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di
Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada 13 Maret
1755.
Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini
ialah hutan yang disebut beringin, di mana telah ada sebuah desa kecil
bernama Pachetokan, sedang di sana terdapat suatu pesanggrahan

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 155


dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu
dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan
tersebut diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan
kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan kraton.
Sebelum kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan
menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah
dikerjakan juga. Ia menempati pesanggrahan tersebut resminya pada 9
Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur
pembangunan kraton yang sedang dikerjakan.
Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan
memasuki istana baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian, berdirilah
Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta
Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan
Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di kraton yang baru.
Peresmiannya terjadi 7 Oktober 1756
Kota Yogyakarta dibangun pada 1755, bersamaan dengan
dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai
Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategi
menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu. Sesudah Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri
Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya
pada 5 September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan
bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah
Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18
UUD 1945. Dan pada 30 Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua
yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa
Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri
Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional.
Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari
Kesultanan maupun yang menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat
membentuk suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota yang
dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman, tetapi Kota
Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, sebab kekuasaan

156 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan massih tetap berada
di tangan Pemerintah D.I Yogyakarta.
Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan
Pakualaman baru menjadi kota praja atau kota otonomi dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I yang menyatakan
bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan
Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang
menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah
yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah
tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakaarta.
Untuk melaksanakan otonomi tersebut walikota pertama yang
dijabat oleh Ir. Moh Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut
masih merupakan bagian dari D.I Yogyakarta dan statusnya belum
dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana D.I
Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II
yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selanjutnya wali kota kedua dijabat oleh Mr. Soedarisman
Poerwokusumo yang kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah
Harian serta merangkap menjadi Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu
bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang. DPRD Kota Yogyakarta baru
dibentuk pada 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu
1955.
Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD dipisahkan dan dibentuk Wakil
Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Harian serta sebutan Kota Praja
diganti Kotamadya Yogyakarta.
Atas dasar Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
di Daerah. Berdasarkan Undang-undang tersebut, DIY merupakan
Provinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh Kepala Daerah
dengan sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil
Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat oleh

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 157


ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah lainnya, khususnya bagi beliau Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Sedangkan
Kotamadya Yogyakarta merupakan daerah Tingkat II yang dipimpin oleh
Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II di mana terikat oleh ketentuan
masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala Daerah Tingkat II
seperti yang lain.
Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk
menyelenggarakan pemerintahan di daerah secara otonom semakin
mengemuka, maka keluarlah Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan daerah
menyelenggarakan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung
jawab. Sesuai UU ini maka sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta
diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya
disebut denan Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota
Yogyakarta sebagai Kepala Daerahnya.
Kota Yogyakarta terletak di lembah tiga sungai, yaitu Sungai
Winongo, Sungai Code (yang membelah kota dan kebudayaan menjadi
dua), dan Sungai Gajahwong. Kota ini terletak pada jarak 600 KM dari
Jakarta, 116 KM dari Semarang, dan 65 KM dari Surakarta, pada jalur
persimpangan Bandung-Semarang-Surabaya-Pacitan. Kota ini memiliki
ketinggian sekitar 112 m dpl. Meski terletak di lembah, kota ini jarang
mengalami banjir karena sistem drainase yang tertata rapi yang dibangun
oleh pemerintah kolonial, ditambah dengan giatnya penambahan saluran
air yang dikerjakan oleh Pemkot Yogyakarta.
Kota Yogyakarta telah terintegrasi dengan sejumlah kawasan
disekitarnya, sehingga batas-batas administrasi sudah tidak terlalu
menonjol. Untuk menjaga keberlangsungan pengembangan kawasan ini,
dibentuklah sekretariat bersama Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, dan
Bantul) yang mengurusi semua hal yang berkaitan dengan kawasan
aglomerasi Yogyakarta dan daerah-daerah penyangga (Depok, Mlati,
Gamping, Kasihan, Sewon, dan Banguntapan).

158 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Tabel 1: Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta

Sampai Tahun
No Kecamatan
2012
1 Mantrijeron 31. 695
2 Kraton 17. 561
3 Mergangsan 29. 448
4 Umbulharjo 78. 831
5 Kotagede 32. 052
6 Gondokusuman 45. 526
7 Danurejan 18. 433
8 Pakualaman 9. 366
9 Gondomanan 13. 097
10 Ngampilan 16. 402
11 Wirobrajan 24. 969
12 Gedongtengen 17. 273
13 Jetis 23. 570
14 Tegalrejo 35. 789
Jumlah 394. 012
Sumber: Kota Yogyakarta dalam Angka Tahun 2012
Islam merupakan agama mayoritas yang dianut masyarakat
Yogyakarta, dengan jumlah penganut Kristen dan Katolik yang relatif
signifikan. Seperti kebanyakan dari Islam, kota-kota pedalaman Jawa,
mayoritas masih mempertahankan tradisi Kejawen yang cukup kuat.
Yogyakarta juga menjadi tempat lahirnya salah satu organisasi Islam
terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H
Ahmad Dahlan pada 1912 di Kauman, Ngupasan, Gondomanan,
Yogyakarta. Hingga saat ini, Pengurus Pusat Muhammadiyah masih tetap
berkantor pusat di Yogyakarta.
Yogyakarta juga dikenal sebagai kota pelajar, karena hampir 20%
penduduk produktifnya adalah pelajar dan terdapat 137 perguruan tinggi.
Kota ini diwarnai dinamika pelajar dan mahasiswa yang berasal dari

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 159


berbagai daerah di Indonesia. Perguruan tinggi yang dimiliki oleh
pemerintah adalah UGM, UNY, ISI Yogyakarta, dan UIN Sunan Kalijaga.
Dari 3.629.726 penduduk di DIY, 92,28% di antaranya memeluk
agama Islam. Disusul oleh pemeluk agama Katholik sebanyak 4,73%,
Pemeluk agama Kristen 2,60%, Hindu 0,24%, dan Buddha 0,14%. Sejalan
dengan komposisi di atas, jumlah tempat peribadatan yang tersebar di DIY
juga didominasi oleh tempat ibadah umat Islam berupa masjid, mushola
dan langgar yang tercatat sebanyak 96,40%. Kemudian rumah ibadah
Kristen dan Katholik masing-masing 1,58% dan 1,71% serta tempat ibadat
umat Hindu dan Buddha masing-masing 0,18% dan 0,12%. Jamaah haji
dari D.I. Yogyakarta yang berangkat pada awal tahun 2012 M/1432H
sebanyak 3.093 orang atau menurun sebesar 5,41% dibandingkan dengan
awal tahun 2011M/1431H yang tercatat sebesar 3.270 orang. Berdasarkan
asal jamaah, sebagian besar dari Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul,
dan Kota Yogyakarta masing-masing sebesar 37,96%, 26,32% dan 19,98%
dari keseluruhan jamaah, sedangkan sisanya 8,31% dan 7,44% berasal dari
Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Gunungkidul.

A. Gereja St. Albertus Agung Jetis Yogyakarta (Gereja Jetis)


1. Profil Gereja
Sekitar tahun 1952 Rm. E. Hardjawardaya, Pr dan Rm.
Sumaatmadja, Pr yang bertugas sebagai Pastor Pembantu di
Paroki St. Antonius Kotabaru menawarkan gagasan agar kring-
kring di sebelah Barat Kali Code, yakni Kring Bangirejo, Jetis dan
Gondolayu disatukan dalam satu koordinasi wilayah kerja demi
efektifitas reksa pastoral. Gagasan tersebut disambut dengan baik.
Pada 1954 ketiga kring itu menyatu dan menjadi Stasi Jetis.
Pada awalnya, Stasi Jetis belum memiliki gedung gereja
sendiri, sehingga perayaan Ekaristi pada hari Minggu ataupun
hari raya diselenggarakan di rumah umat, di tempat umum
ataupun di kantor instansi pemerintah yang memungkinkan,
seperti SMPN VI, SPG/SMA XI, STM Jetis dan Kantor Balai
Penyamakan kulit di Jl. Diponegoro (kini: Rumah Makan “Sari
Raja”).

160 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Pertengahan 1959, Stasi Jetis berada dalam reksa pastoral
Rm. Carlo Carri, SJ. Dengan telaten, Rm. Carri mengadakan
pendekatan dengan tokoh-tokoh awam di Stasi Jetis untuk
menjajaki kemungkinan mendirikan gereja di wilayah Jetis. Pada
tanggal 15 Oktober 1960, di Jetis berdiri Susteran Amal Kasih
Darah Mulia dan diresmikan oleh Sr. Patricia, ADM sebagai
provinsial. Atas kebaikan Suster-suster ADM, umat Stasi Jetis
diperbolehkan mengadakan Perayaan Ekaristi di Kapel Susteran.
Karena perkembangan umat semakin pesat, maka untuk
efektifitas pendampingan dan reksa pastoral umat, Kring
Bangirejo dimekarkan menjadi dua kring, yakni Kring Blunyah
dan Kring Bangirejo. Kring Jetis dimekarkan menjadi dua, yakni
Kring Cokrokusuman dan Kring Cokrodiningratan. Mengingat
alasan kedekatan teritorial, Kring Kricak yang sebelumnya
menjadi wilayah Paroki Kumetiran digabung menjadi bagian Stasi
Jetis.
Atas prakarsa Rm. Carri dan tokoh-tokoh awam di
wilayah Stasi Jetis maka pada 8 Oktober 1963, dibentuklah
“Pengurus Gereja dan Papa-Miskin Room Katolik Di Wilayah
Gereja Albertus Agung Soegijopranoto di Yogyakarta” (PGPM)
oleh pejabat Uskup Semarang, Mgr. Justinus Darmojuwono. Akta
Notaris PGPM disahkan di hadapan Notaris RM. Soeprapto pada
tanggal 4 November 1963.
Persoalan besar yang dihadapi oleh PGPM ialah
dimanakah akan didirikan gedung gereja? Pengurus mulai melirik
beberapa tempat yang memungkinkan untuk mendirikan gereja.
Beberapa pilihan mulai bermunculan namun belum ada yang
sesuai. Di tengah kesibukan mencari tanah itu, umat Stasi Jetis
harus rela melepas kepergian Rm. Carri yang diangkat sebagai
Sekretaris Keuskupan Agung Semarang. Sebagai penggantinya
adalah Rm. H. Natasusila, Pr, mulai bulan Agustus 1964.
Sementara itu, perkembangan umat semakin pesat. Hal
itu karena lahirnya kring-kring baru, yakni Kring Karangwaru
dan Poncowinatan. Sedangkan Kring Gowongan dan Penumping
yang sebelumnya menjadi bagian dari Paroki Kumetiran

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 161


digabungkan ke Jetis sehingga Stasi Jetis saat itu mempunyai 12
kring. Bertambahnya jumlah kring ini semakin memperkuat
keinginan umat untuk memiliki gedung gereja sendiri.
Untuk memperlancar reksa pastoral dan usaha pencarian
tanah maka dibentuklah Dewan Paroki yang pertama. Berkat
usaha dan doa yang tidak mengenal lelah, pada Agustus 1964
Stasi Jetis berhasil membeli tanah milik ibu Mohamad Adeline
seluas 3945 m² dengan harga Rp. 850.000. Tanah tersebut sudah
disertifikatkan dengan status hak pakai atas nama PGPM Albertus
Soegiyopranoto Yogyakarta pada tanggal 22 Agustus 1968 dengan
No SK 116/HP/68.
Sebagai ungkapan syukur karena telah mendapatkan
tanah bagi gereja, maka pada bulan November 1965 diadakan
misa syukur. Misa syukur inilah yang kemudian dianggap sebagai
LAHIRNYA PAROKI JETIS. Dan sebagai ungkapan hormat dan
cinta kepada Mgr. Albertus Soegijapranoto, SJ sebagai Pahlawan
Nasional dan khususnya tekad untuk meneladani semangat dan
pengabdian beliau kepada bangsa, negara dan gereja maka nama
pelindung yang dipilih untuk Paroki Jetis adalah nama baptis
Mgr. Soegijapranoto, SJ yakni St. Albertus Agung.
Setelah memiliki gedung gereja sendiri, umat Jetis
semakin bersemangat dalam hidup menggereja. Hal ini terbukti
dengan banyaknya kegiatan yang dilakukan oleh umat dan
tumbuhnya kelompok-kelompok, antara lain:
a. Kelompok Legio Maria yang terbentuk pada September 1968.
Karena pesatnya perkembangannya, paroki Jetis bahkan
dijadikan sebagai pusat legio maria di wilayah DIY, Magelang
dan Jateng Selatan dengan nama Komisium Pohon SUKA
CITA. Banyak dari anggota legio tersebut sekarang menjadi
aktivis paroki, tetapi sayang sekarang legio tersebut sudah
tidak ada. Namun mulai bulan Juli tahun 2007 tumbuh
“kelompok” doa kerahiman/koronka dan senakel, yakni doa
bersama Romo Paroki setiap hari Jumat Pk. 15.00.

162 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


b. Mudika Paroki (PALMA: Putra Albertus Magnus) yang sudah
mengadakan berbagai kegiatan, seperti pentas solidaritas,
menggelar lomba koor antar SD se-DIY, menghidupkan
perpustakaan paroki, pendakian ke sumbing, latihan
kepemimpinan, dll. Memasuki tahun 2000 kelompok ini agak
mlempem namun toh ada kegiatan yang menyolok yakni
mendirikan Radio Komunitas pada bulan Juli 2003. Radio
Komunitas ini bernama Lima Cemara, sebagaimana tertuang
dalam Akta Pendirian No. 10 tanggal 11 Juli 2006.

c. Antiokhia: wadah pembinaan iman remaja. Hingga saat ini


Jetis dapat dikatakan sebagai pelopor pengembangan
Antiokhia di paroki-paroki kevikepan Yogyakarta.

Perkembangan umat Paroki Jetis dapat dikatakan


meningkat dengan pesat. Hal ini mendorong adanya pemekaran
lingkungan sehingga lahirlah lingkungan-lingkungan yang baru.
Pada 1983, lingkungan Kricak dimekarkan menjadi dua, yakni
Kricak dan St. Paulus Jatimulyo. Empat tahun kemudian, pada
1987, lingkungan St. Paulus Jatimulyo dipilah menjadi tiga, yakni
St. Paulus Jatimulyo, St. Thomas Jatimulyo dan St. Alfonsus
Jatimulyo. Seakan tidak mau kalah, pada tahun itu juga
lingkungan Kricak kembali membidani lahirnya lingkungan
Bangunrejo, sedangkan lingkungan Jogoyudan dipilah menjadi
dua, yaitu Jogoyudan Lor dan Jogoyudan Kidul.
Di samping itu mulai tahun 1980, stasi Nandan, yang
sebelumnya termasuk wilayah Paroki St. Aloysius Gonzaga Mlati
digabungkan dengan paroki Jetis. Hal ini mengingat letak
geografisnya dan demi optimalnya pelayanan pastoral. Bahkan
sejak 1 Agustus 1996 Stasi Nandan sudah mempunyai gedung
gereja yang diberkati oleh Rm. Yoh. Harjaya, Pr selaku
Administrator Diosesan Keuskupan Agung Semarang.
Perkembangan umat Nandan sangat dipengaruhi oleh ketekunan
bruder-bruder Karitas, yang dirintis oleh Br. Alfons Wiryataruna
dan juga para romo dan frater dari Konggregasi Redemtoris.
Karenanya pelindung yang dipakai adalah St. Alfonsus Maria de
Ligouri.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 163


Pada 2000 status Stasi Nandan berubah menjadi paroki
administratif. Bahkan pada ulang tahun ke-8, sudah mempunyai
gedung pastoran yang diberkati Uskup Agung Semarang, Mgr.
Ign. Suharyo pada 21 Agustus 2004. Dan sejak 15 Juli 2005
pastoran sudah ditempati Rm. Ig. Jayasewaya, Pr. Karenanya
seluruh reksa pastoral sudah tidak tergantung dengan paroki Jetis,
sekaligus sebagai persiapan untuk menjadi paroki penuh. Sejak 1
Agustus 2012 Uskup Agung Semarang Mgr. Johannes
Pujasumarta menetapkan Paroki St. Alfonsus Nandan menjadi
Paroki Penuh yang tertuang dalam Surat Keputusan Pendirian
Paroki Nomor 0549/b/i/b-79/12. Dengan demikian maka Paroki St.
Alfonsus Nandan sudah tidak menjadi bagian reksa pastora
Paroki St. Albertus Agung Jetis Yogyakarta (Paroki Jetis).

2. Pengelolaan Dana dan Optimalisasi Modal Sosial

Untuk mengatur kegiatan di Paroki Jetis, perencanaan


seluruh kegiatan dan program dilaksanakan berdasarkan arah
dasar yang ditetapkan Keuskupan Agung Semarang. Keuskupan
Agung Semarang menurunkan Arah Dasar Pastoral kepada
Kevikepan untuk diteruskan kepada Paroki. Kemudian Paroki
membuat rencana anggaran pengeluaran belanja dengan meminta
setiap bidang dan tim kerja menyusun program dan kegiatan yang
realistis dan disertakan rincian anggaran biaya.
Selama ini sumber dana Paroki berasal dari persembahan
sukarela umat berupa iuran per KK, di mana jumlahnya tidak
ditentukan. Kemudian dari Kolekte umat dua kali setiap kali
perayaan Ekaristi berasal dari sumbangan bebas dari umat,
sumbangan terima kasih dari umat atas pelayanan administrasi,
dan bantuan lainnya dari Kemenag Kota Yogyakarta berupa hibah
wireless/sound system.
Mengenai kolekte, dikumpulkan ketika perayaan Ekaristi
dibagi menjadi dua, yaitu kolekte 1 disebut kolekte umum dengan
jumlah sekitar 6 juta lebih per minggu untuk keperluan paroki dan
keuskupan. Berdasarkan kebijakan paroki, misalnya amplop
dibagi kepada jemaat untuk perayaan Natal dan seterusnya.

164 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Kolekte 2 disebut kolekte pembangunan yang berjumlah sekitar 3
juta lebih dengan maksud khusus, pendidikan calon imam,
pendirian gereja, pengadaan kursi dan seterusnya.
Untuk pengelolaan dana paroki dibagi berdasarkan
bidang-bidang yang ada dalam paroki. Membiayai bidang
masing-masing (6 bidang-tim kerja dst.). Untuk rumah tangga
pastoran (khusus pastor dan yang tinggal di situ serta untuk
keperluan sehari-hari) biaya hidup pastor, transportasi dan
rumah, ada tukang masak/diberi oleh umat, uang saku. Dan
sebagian dana lagi untuk melanjutkan SD Kanisius Gowongan
yang sudah dinyatakan ditutup oleh Yayasan Kanisius.
Dalam hal pengontrolan program dan kegiatan
dilaksanakan secara bersama-sama melalui rapat berkala 1 (satu
bulan sekali) untuk saling mengingatkan pelaksanaan kegiatan
dan program. Kemudian pada akhir tahun dilaksanakan rapat
pleno untuk mendengarkan laporan keuangan dan melakukan
evaluasi pelaksanaan kegiatan dan program.
3. Kegiatan Gereja

Paroki Santo Albertus Agung Jetis Yogyakarta dipimpin


oleh Pastor Paroki, yaitu Romo Rafael Tri Wijayanto, dibantu oleh
romo pembantu paroki, yaitu Romo Riawinarta, Pr. Setiap hari
Paroki Jetis didatangi oleh para jemaatnya. Hari Senin dan Sabtu
Paroki Jetis didatangi jemaat yang akan melaksanakan ibadat misa
harian, kegiatan ibadat tersebut dimulai pukul 05.30 wib dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Kemudian hari Sabtu
dilaksanakan perayaan Ekaristi pada pukul 17.30 dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Selanjutnya pada hari minggu
dilakukan peribadatan selama tiga kali, dimulai pada pukul 05.30
dengan menggunakan bahasa Jawa, ibadat pada pukul 07.30 dan
17.30 menggunakan bahasan Indonesia. Jumlah jemaat yang
beribadat di Paroki Jetis sekitar 2.500 orang.
Untuk ibadat keagamaan di luar perayaan Ekaristi, yang
dilaksanakan oleh umat adalah doa Rosario (bulan Mei dan
Oktober), ibadah Jalan Salib, yaitu mengenang perjalanan
peristiwa-peristiwa Yesus sampai disalibkan (selama masa pra

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 165


paskah), doa Meditasi Kristiani untuk merenungkan Allah
Tritunggal dilaksanakan setiap Rabu jam 18.00 WIB, doa devosi
untuk pertobatan Indonesia dilaksanakan setiap Senin, doa Paus
Yohanes Paulus II untuk keluarga-keluarga dilaksanakan setiap
Selasa, doa untuk biarawan-biarawati dan selibater awam
dilaksanakan setiap Rabu, doa untuk pembangunan umat Allah
Gereja Santo Albertus Agung Jetis dilaksanakan setiap Jumat dan
Doa untuk para Imam/romo/pastor dilaksanakansetiap Sabtu.
Untuk pelayanan dan pembinaan iman umat, dilakukan
pembinaan iman melalui renungan Sabda Allah/Khotbah (homili)
dalam perayaan Ekaristi, baik di paroki secara rutin setiap hari
Minggu dan setiap dua bulan sekali di tiap lingkungan, pelayanan
pemberkatan pernikahan, pelayanan sakramen pembaptisan,
pelayanan pengurapan orang sakit, sarasehan pastor dengan umat
ketika kunjungan ke lingkungan-lingkungan. Contoh tema: soal
santet, perdukunan, masalah aktual umat local, kunjungan
keluarga oleh romo/pemimpin paroki, pelayanan ibadah arwah
dan pemakaman, dan pembinaan berupa Retret/Rekoleksi
(pembinaan iman secara khusus dalam jangka waktu 1-3 hari
terdiri dari masukan rohani/narasumber tentang kehidupan
sehari-hari, pendalaman kitab suci, ibadat tobat (mohon ampun
atas dosa, diakhiri dengan perayaan ekaristi).
Dalam memberdayakan umat di Paroki Jetis dilakukan
beberapa kelompok Kategorial. Ada kelompok orang muda
Katolik atau sering disebut muda-mudi (Mudika) Paroki (PALMA:
Putra Albertus Magnus) yang sudah mengadakan berbagai
kegiatan seperti pentas solidaritas, menggelar lomba koor antar
SD se-DIY, menghidupkan perpustakaan paroki yang jarang
digunakan lagi kerena umat lebih memilih yang lebih praktis
seperti internet, pendakian ke sumbing, latihan kepemimpinan,
dll. Memasuki tahun 2000 kelompok ini agak mlempem namun ada
kegiatan yang menyolok, yakni mendirikan Radio Komunitas
pada Juli 2003. Radio Komunitas ini bernama Lima Cemara,
sebagaimana tertuang dalam Akta Pendirian No. 10 tanggal 11 Juli
2006. Ada “Kelompok” doa kerahiman/koronka dan senakel,
yakni doa bersama Romo Paroki setiap hari Jumat Pk. 15.00 dan

166 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


ada Antiokhia, yaitu wadah pembinaan iman remaja. Hingga saat
ini Jetis dapat dikatakan sebagai pelopor pengembangan
Antiokhia di paroki-paroki kevikepan Yogyakarta.
Selanjutnya mengenai pemberdayaan ekonomi umat
dilakukan melalui Tim Kerja Pengembangan Sosial Ekonomi.
Pemberdayaan ekonomi umat terutama untuk membantu
ekonomi umat yang kurang mampu, seperti sebagai modal usaha.
Untuk memperoleh pembiayaan, umat mengajukan melalui
pengurus PSE lingkungan, ketua lingkungan, lalu PSE Paroki
melakukan survei atas keadaan pemohon, yang akhirnya
diputuskan Pastor Paroki. Dana pinjaman tidak dikenakan bunga.
Pembayaran baru dilakukan pada bulan ke-4, dan pembiayaan
tersebut dapat dicicil 10 kali.
Ada beberapa aksi sosial yang telah dilakukan oleh
paroki Jetis di antaranya pada saat ulang tahun Paroki, dengan
pemeriksaan kesehatan gratis. Pada saat HUT Kemerdekaan RI
memberi sumbangan kepada masyarakat, turut ikut tugas ronda,
bantuan santunan kepada orang sakit, bantuan santunan dana
bagi orang berduka dan bantuan biaya sekolah kepada anak-anak
yang tidak mampu.
Keberadaan Paroki Jetis tidak lepas dari keberadaan
almarhum Romo YB Mangunwijaya (Romo Mangun). Di mana
pada 1969 Romo Mangun ditugaskan di sini. Romo Mangun
adalah imam Katolik yang pernah ditugaskan oleh Bapak Uskup
di Paroki Santo Albertus Agung Jetis Yogyakarta (1969-1976) dan
sebelumnya bertugas di Paroki Salaman Magelang (1967).
Keberadaan Romo Mangun di Paroki Jetis ini atas ijin Uskup
Agung Semarang. Romo Mangun melaksanakan pastoral
kategorial (kegiatan pelayanan di bidang sosial sebagai imam
Katolik) di daerah kali Code, dengan tinggal dan hidup di Paroki
Santo Albertus Jetis sampai akhir hidupnya. (wawancara dengan
A. Ferry T. Indratno, pegawai Dinamika Edukasi Dasar, Gejayan,
Yogyakarta, 28 Mei 2014).
Sejak 1969 Romo Mangun memulai kativitas sosial yang
berfokus pada kemanusiaan dan religiusitas, tak pernah

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 167


membawa keagamaan kekatolikannya. Seperti dapat dicontohkan,
ketika Romo Mangun mendengar adanya berita tentang rencana
pemerintah melakukan penggusuran penduduk di Kali Code
dengan tujuan membangun waduk dan taman kota, Romo
Mangun merasa terpanggil menolong dan memberi perhatian
orang-orang miskin di pinggiran Kali Code, terutama anak-anak
dan wanita. Melalui bakatnya dibidang arsitektur, dan bakat-
bakat lainnya, Romo Mangun bersama warga Kali Code, menata
dan membangun rumah penduduk dengan arsitektur khasnya.
Dibidang pendidikan, Romo Mangun melihat bahwa
pendidikan formal yang sedang berlaku tidak relevan bagi masa
depan anak-anak miskin. Romo Mangun berinisiatif menggagas
sebuah pendidikan dasar yang membebaskan. Pendidikan dasar
yang digagas Romo Mangun tersebut dikelola untuk
menghasilkan peserta didik yang kreatif, integral, dan
komunikatif. Dibidang hubungan antar agama, Romo Mangun
menggagas komunitas Lintas Agama (Interfidei) bersama Gus Dur
(Islam) dan Ibu Gedong Oka (Hindu). Gerakan ini masih aktif dan
berjalan. Dibidang sastra, Romo Mangun memasukkan ide-ide
perbaikan sosial melalui novel, antara lain, Burung-Burung
Manyar, Burung-Burung Rantau, dll. Di bidang politik, ide Romo
Mangun tampak dalam tulisan artikelnya di berbagai Media
Nasional, seperti Politik Hati Nurani.

4. Faktor pendukung dan Penghambat


a. Faktor pendukung
1) Arahan dan pedoman yang diturunkan dari keuskupan
agung Semarang telah menjadi pedoman yang cukup
ideal bagi Paroki Jetis, sehingga tidak mengalami
kesulitan dalam beberapa pelaksanaanya.
2) Dalam ajaran agama Katolik terkandung pemahaman
bahwa apa yang telah diberikan adalah anugerah Tuhan
yang perlu disyukuri, dan digunakan untuk kesejahteraan

168 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


diri dan sesama, khususnya orang miskin yang
membutuhkan pertolongan.
3) Ketentuan yang telah ditetapkan keuskupan sangat jelas
tentang presentase pembagian dana kolekte untuk
kegiatan sosial, yaitu 25% sehingga memudahkan gereja
dalam mendistribusikan/memanfaatkan dana kolekte
melalui PSE.
b. Faktor penghambat
1) Sebagian jemaat kurang disiplin dalam pelaksanaan
perayaan Ekaristi: datang terlambat, pulang lebih cepat,
main HP saat ibadat, pakaian tidak pantas, dan berisik
saat ibadat
2) Masih rendahnya kesediaan sebagian jemaat gereja dalam
memberikan dana kolekte, tidak seimbang jika dibanding
dengan gaya hidup mereka, misalnya ketika melangsung-
kan perkawinan mampu menyelenggarakannya dengan
biaya yang relatif besar.

B. Model Pemberdayaan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela


Kumetiran (Gereja Kumetiran)
1. Profil Gereja
Paroki HSP Maria Tak Bercela Kumetiran memiliki
sejarah yang cukup panjang dan terkait erat dengan usaha misi
dan situasi politik pada waktu itu. Pada 1922, Rm Frans Strater SJ,
seorang pimpinan Jesuit di Yogyakarta mencoba mengembangkan
kerasulan pewartaan dan menanamkan ajaran Gereja Katolik di
wilayah Yogyakarta. Tujuannya agar Kerajaan Allah dapat
dikenal, diketahui dan dirasakan oleh masyarakat. Ia setiap hari
mengadakan kunjungan ke pedesaan-pedesaan di wilayah
Yogyakarta dan sekitarnya. Ia membangun kapel untuk pelayanan
rohani. Ia juga mendirikan beberapa sekolahan termasuk di
antaranya Sekolah Guru Agama.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 169


Untuk mendukung pendidikan tersebut, Rm. Frans
Strater SJ juga mendirikan Asrama khusus bagi siswa-siswi SGA.
Atas bantuan KRT Harjokusuma, seorang bupati yang kemudian
menjadi Patih KPH Danurejo VIII, Rm. Frans Strater mendapat
sebidang tanah seluas 5.400 m2 lengkap dengan sebuah bangunan
rumah yang berbentuk tiga joglo milik Bpk. Raden Penewu Karto
Kaskoyo (seorang perangkat kraton) yang terletak di tengah-
tengah kampung Pringgokusuman. Karena seorang asing, Rm
Strater tidak boleh memiliki tanah, maka sertipikat tanah tersebut
kemudian diatas namakan Rama Djoyoseputro SJ.
Pada 1939, tempat dan bangunan tersebut menjadi
asrama calon guru agama. Namun fungsi itu tidak berlangsung
lama sebab pada 1942 di Yogyakarta kedatangan tentara Dai
Nippon. Mereka menangkap dan menginternir orang-orang Eropa
dan merampas semua bangunan yang dikuasai oleh orang-orang
Eropa tersebut. Seminari dan Gereja Kotabaru pun tak lepas dari
pendudukan Jepang. Tempat-tempat itu dijadikan gedung
pemerintahan dan gudang perbekalan sehingga peribadatan tidak
mungkin diadakan di Gereja Kotabaru apalagi para gembala juga
ditangkap dan dilarang mengajar agama. Akibat dari
penangkapan dan pelarangan pengajaran agama tersebut, asrama
SGA tidak berfungsi lagi karena tidak ada siswa yang belajar.
Pada 1943, asrama SGA tutup.
Bagaikan ada benih tumbuh di atas tanah yang tandus,
demikianlah yang terjadi dengan keadaan gereja. Setelah para
gembala ditangkap oleh tentara Jepang, muncul tokoh-tokoh
awam katolik yang mengambil alih kegiatan gerejani. Mereka
memberikan pelajaran agama di rumah-rumah, mempersiapkan
orang untuk menerima baptisan dan menyelenggarakan ibadat
sabda. Usaha ini terus berkembang, sampai akhirnya Bruder
Endrodarsono SJ yang waktu itu mengurus asrama Calon Guru
Agama menawarkan agar asramanya itu digunakan untuk
melaksanakan kegiatan Gerejani, sebagai pengganti Gereja
Kotabaru yang dikuasai oleh Jepang.
Pada 13 Agustus 1944, untuk pertama kalinya di asrama
Calon Guru Agama itu diadakan perayaan Ekaristi oleh Rm B. Su-

170 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


marno SJ dari Paroki Bintaran. Sejak saat itulah secara rutin
asrama SGA itu menjadi tempat beribadat. Atas peran serta kaum
awam katolik dan ketekunan Bruder Endro dalam mengajar
agama, membimbing anak-anak muda, perkembangan umat
semakin meningkat.
Kemudian ada peristiwa yang menggembirakan untuk
masyarakat Indonesia, khususnya juga umat katolik Yogyakarta.
Tentara Jepang ditarik kembali ke negaranya karena kota
Hirosima dan Nagasaki dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat.
Mereka mengembalikan kepada para pemiliknya semua gedung
yang dikuasainya, termasuk diantaranya Gereja Kotabaru. Maka
dengan diserahkannya Gereja Kotabaru, Gereja ini dapat
difungsikan kembali untuk peribadatan, umat Kotabaru yang
selama mengungsi ke Kumetiran untuk mengikuti peribadatan.
Sebagian besar umat memang kembali ke Kotabaru, tetapi
umat di sekitar Kumetiran atau umat di bagian barat Jalan
Malioboro tetap menginginkan beribadat di Gereja Kampung
bekas asrama SGA itu. Karena banyaknya umat yang tetap
bertahan dan kemandirian umat di Gereja Kampung Kumetiran,
maka sejak 31 Desember 1945, secara administratif Gereja
Kampung Kumetiran tidak lagi dilayani oleh Gereja Kotabaru dan
kemudian ditetapkan sebagai Paroki mandiri dengan nama
Pelindung Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela.
Sejak tahun berdirinya, yakni tahun 1944 sampai 2005 ini,
telah puluhan imam berkarya di Paroki Kumetiran secara silih
berganti. Masing-masing imam itu memberi warna dan perannya
sendiri untuk kehidupan umat paroki Kumetiran. Rm. Aleksander
Sandiwan Broto Pr (1950-1959) mulai menata kehidupan paroki.
Pada 8 Desember 1950 Rm A. Sandiwan membentuk Yayasan
Gereja dan Kemiskinan (sekarang Pengurus Gereja dan Papa
Miskin) untuk mengurus harta benda paroki baik yang bergerak
maupun tak bergerak. Pada 11 Maret 1951, ia membentuk
Pengurus Paroki untuk pertama kalinya. Semula Pengurus Paroki
itu hanya terdiri dari Pengurus Harian saja, baru dalam perjalanan
waktu ada pembenahan dan penyempurnaan. Tahun 1952, Rm
Sandiwan mulai membenahi wilayah teritorial Kumetiran. Ia

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 171


membagi Gereja Kumetiran dalam 8 kring dan satu stasi Gamping
(sekarang telah berdiri menjadi paroki sendiri).
Mengingat perkembangan umat semakin meningkat dan
gereja tidak bisa menampung umat, maka Rm Sandiwan
mengajukan ijin untuk membangun gedung gereja baru kepada
Rm Kanjeng A. Soegijopranoto SJ saat ada Krisma di Kumetiran 25
Mei 1952. Rm Kanjeng mengijinkan bahkan hendak
membantunya. Pembangunan gereja itu terealisasi pada 30
Desember 1955 dan diberkati/diresmikan pada 16 Februari 1958
oleh Rm Kanjeng sendiri. Setelah selesai pembangunan gedung
gereja, Rm Sandiwan merenovasi gereja tiga joglo menjadi panti
paroki untuk kepentingan pelayanan non sakramental. Sungguh
besar jasa Rm Sandiwan bagi umat Kumetiran, terutama untuk
mengusahakan kemandirian paroki.
Lain dengan Rm Sandiwan, Rm E Hardjowardoyo (1959)
yang waktu itu menjadi pastor pembantunya memberi perhatian
pada paduan suara paroki. Ia membentuk paduan suara paroki,
semula ada dua kelompok yakni kelompok koor putra yang diberi
nama Paduan Suara Gregorius dan koor putri dengan nama
Paduan Suara Caecilia. Dalam perjalanan waktu kedua kelompok
koor tersebut disatukan menjadi Paduan Suara Gregorius Caesilia
(atau lebih dikenal GC).
Dari waktu ke waktu, Paroki Kumetiran semakin tertata.
Rm. B. Liem Bian Bing SJ (1961-1970) menata kembali Dewan
Paroki Kumetiran. Ia bersama Dewan Paroki membuat Garis-Garis
Besar Haluan Paroki dengan prioritas perhatian pada keterlibatan
umat di bidang liturgi, pewartaan, persekutuan dan sosial. Dalam
bidang sosial, ia mendirikan Poliklinik Darma Bhakti untuk
pelayanan kepada masyarakat umum. Dan dalam bidang
pewartaan, ia mengadakan kunjungan ke kring-kring. Kunjungan
ini tidak hanya meneguhkan kehidupan kring tetapi juga
mempengaruhi perkembangan umat secara kwantitatif.
Kegiatan kunjungan ke kring dan keluarga ini dilanjutkan
oleh Rm Joannes Reijnders (1973-1979). Dengan sepeda
simpleknya, ia rajin pergi ke kring-kring. Tidak hanya

172 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


mengunjungi keluarga, tetapi Rm Reijnders juga melatih koor di
tingkat kring. Maka wajar kalau pada masa Rama Rejnders, koor
dari tingkat kring sampai paroki menjadi sangat hidup dan
bersaing antar kring. Di tingkat kring, Rm Reijnders juga
mengadakan misa kring. Saat misa di Kring Kentheng, yang
waktu itu meliputi Kentheng, Nusupan dan Bedog, muncul suatu
ide untuk mendirikan kapel. Akhirnya didapat sebidang tanah
dibulak Ngeban, seluas 455 m2 milik Kas Desa Nusupan. Di
tempat itulah didirikan kapel dengan nama Kapel Santa Lidwina.
Pada 1980, pembangunan kapel telah selesai dan diberkati oleh
Rm R. Mardisuwignya Pr (1978-1980) yang meneruskan karya Rm
Reijnders yang telah pindah ke Solo. Perhatian Rm
Mardisuwignya adalah kaum muda, khususnya pendampingan
mereka untuk persiapan perkawinan.
Rm. Mardisuwignya kemudian diganti oleh Rm.
Evaristus Rusgiarto Pr (1980-1984). Perhatian Rm Rusgiarto pada
bidang pewartaan dan liturgi. Ia membenahi pendampingan para
katekumenat. Para katekumenat diajar secara intensif, kemudian
mereka diuji untuk kelayakan menerima baptisan. Dalam baptisan
bayi, ia menuntut para orang tua untuk mengikuti rekoleksi
sebagai persiapan membaptiskan putra-putrinya. Tujuan rekoleksi
itu adalah agar para orang tua tahu makna baptisan anak-anaknya
dan menyadari tanggungjawabnya untuk mendampingi
perkembangan iman anak-anak mereka. Dalam bidang liturgi,
Rama Rusgiarto mencoba membuat dramatisasi untuk
menggantikan homili, menampilkan sendratari dalam perayaan
ekaristi dan menggunakan gamelan sebagai iringan alternatif
perayaan ekaristi. Usaha Rama Rusgiarto ini sungguh mewarnai
kehidupan paroki Kumetiran, terutama menjadikan perayaan
ekaristi semakin hidup dan sakramen semakin dihayati.
Melalui pendampingan para gembala dengan segala
bentuknya itu, umat Kumetiran semakin bertambah banyak.
Namun keadaan ini belum memuaskan Rm Johanes Hadiwikarto
Pr (1986-1989) yang berkarya sesudahnya. Rama Hadiwikarto
justru menghendaki agar perkembangan umat secara kuantitatif
harus dibarengi dengan peningkatan mutu dan kualitas hidup

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 173


iman. Salah satu kualitas hidup iman adalah kalau mereka
mempunyai perhatian juga pada mereka yang kekurangan dan
bisa menjadi garam bagi masyarakat. Ia kemudian mendirikan
dana sehat untuk pelayanan kesehatan masyarakat. Ia juga
mengajak para awam yang bekerja dalam kepengurusan tingkat
RT/RW untuk melaksanakan tugas itu sebagai panggilan pe-
layanan masyarakat mewujudkan tugas Kristus menjadi garam
dan terang dunia.
Devosinya yang kuat kepada Maria menjadi inspirasi
umat untuk menempatkan Maria di tengah kehidupannya. Maria
tidak hanya dijadikan sebagai pelindung paroki, tetapi juga
menjadi pelindung hidup beriman. Untuk itulah kemudian
didirikan Gua Maria untuk mewujudkan kedekatannya dengan
Maria dalam bentuk doa dan keteladanan.
Setelah Rama Hadiwikarto, silih berganti imam yang
berkarya di Kumetiran. Tetapi yang patut dicatat adalah
kehadiran Rm Gabriel Alimo Notobudyo Pr (1995-2010). Banyak
karya baik fisik maupun non fisik yang diwujudkannya. Secara
fisik, bersama Panitia Pembangunan ia membebaskan tanah di
Jalan Kumetiran 13, 15, 17 dan memulai pembangunan fisik, mulai
dari pembangunan Gedung Pastoran, Gedung Gereja dan
akhirnya Kapel Bedog dan Panti Paroki. Gedung Gereja diberkati
oleh Bapak Uskup Agung Semarang, Mgr. I. Suharyo Pr dan
diresmikan oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X
pada tanggal 8 Desember 2001.
Secara non fisik, Rm. Notobudyo memberi perhatian
terhadap pewartaan kitab suci. Ia mengatakan bahwa sebagai
orang Katolik harus mengenal kitab suci. Orang tidak mungkin
kenal Kristus kalau tidak membaca kitab suci. Untuk itulah ia
mengadakan kursus kitab suci dan sekolah penginjilan kepada
semua umat yang berminat. Tujuan dari kursus itu adalah agar
umat selain memiliki semangat penginjilan, juga memiliki
pengetahuan yang cukup akan kitab suci sehingga bisa
mewartakan secara benar dan memadai. Dengan demikian
semakin sempurnalah kehidupan umat paroki Kumetiran.

174 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Secara fisik, tempat untuk beribadat dan pelayanan pas-
toral sudah memadahi dan secara non fisik, macam-macam pen-
dampingan iman umat telah tertata rapi. Tugasnya sekarang
adalah menjaga, merawat dan mengusahakan agar umat semakin
terdampingi imannya sehingga semakin gembira dalam mengikuti
Yesus Kristus mewartakan kabar gembira dan semakin erat
bersatu dalam membangun paguyuban-paguyuban yang
berpengharapan.
Tahun 2010 sampai sekarang, Rm. Fl. Hartosubono, Pr.
menjadi Pastor Kepala. Dalam gerak Paroki beliau menata kembali
visi-misi Paroki yang dibagi dalam jangka menengah dan jangka
panjang. Beliau juga membuat terobosan-terobosan demi semakin
terlayaninya umat di Paroki Kumetiran dan semakin tertatanya
Paroki dalam hal per-administrasi-an. Demi efektifitas dan efisien
pelayanan, beliau membagi wilayah-wilayah dan lingkungan-
lingkungan ke dalam sistem rayon.
Dengan berdiri kokoh di tengah pemukiman kota
Yogyakarta, kiranya Gereja Kumetiran dapat menjadi tempat
bernaung yang meneguhkan kehidupan religi umatnya sekaligus
memancarkan kasih Tuhan melalui ajaran sosial gereja dalam
masyarakat multikultural kota Yogyakarta dengan
mengedepankan toleransi dan solidaritas dengan seluruh
masyarakat untuk memberdayakan diri menghadapi berbagai
persoalan.

2. Pengelolaan Dana dan Optimalisasi Modal Sosial


Kegiatan di Gereja Kumetiran pada setiap tahunnya
diawali dengan perencanaan seluruh kegiatan dan program yang
juga dilaksanakan berdasarkan arah dasar yang ditetapkan
Keuskupan Agung Semarang. Keuskupan Agung Semarang
menurunkan Arah Dasar Pastoral kepada Kevikepan. Kevikepan
meneruskan kepada Paroki dan Paroki membuat rencana
anggaran pengeluaran belanja dengan meminta setiap bidang dan
tim kerja menyusun program dan kegiatan yang realistis dan
disertakan rincian anggaran biaya. Pengontrolan program dan

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 175


kegiatan dilaksanakan secara bersama-sama melalui rapat berkala,
setiap satu bulan sekali untuk saling mengingatkan pelaksanaan
kegiatan dan program, dan pada akhir tahun dilaksanakan rapat
pleno, untuk mendengarkan laporan keuangan dan melakukan
evaluasi pelaksanaan kegiatan dan program.
Seperti halnya di Gereja Jetis, selama ini sumber dana
paroki berasal dari persembahan sukarela umat berupa iuran tiap
kepala keluarga, di mana jumlahnya tidak tidak ditentukan.
Kemudian dari Kolekte umat dua kali setiap kali perayaan
Ekaristi, berasal dari sumbangan bebas dari umat, sumbangan
terima kasih dari umat atas pelayanan administrasi. Dan bantuan
lainnya dari Kemenag Kota Yogyakarta berupa hibah wireless,
kegiatan peningkatan SDM dalam bentuk kegiatan-kegiatan pro
diakon. Sedangkan dari Pemkot Yogyakarta mendapat bantuan
setiap tahun sebesar 4 juta.
Pemberian dana ke gereja juga dilakukan pada saat
Paskah, umat Katolik diharuskan berpuasa selama 40 hari, puasa
yang dimaksud adalah mengurangi kecenderungan nafsu
duniawi. Umat Katolik biasanya mengurangi pengeluaran yang
bersifat komsumtif dan menyisihkannya untuk kemudian
diberikan kepada sesama yang membutuhkan melalui gereja.
Untuk itu gereja Kumetiran banyak menerima dana selama ibadat
Paskah. Dana tersebut disebut Dana Puasa Pembangunan, dana
ini relatif lebih besar dibanding dengan dana yang diperoleh
gereja lewat ibadat rutin mingguan.
Pengumpulan kolekte dilakukan ketika ada perayaan
Ekaristi. Kolekte tersebut dibagi dua, yaitu kolekte 1 disebut
kolekte umum: untuk keperluan Paroki dan keuskupan.
Berdasarkan kebijakan Paroki, misalnya amplop dibagi kepada
jemaat untuk perayaan Natal dan seterusnya, dan kolekte 2
disebut kolekte pembangunan. Maksud khusus, pendidikan calon
imam, pendirian gereja, pengadaan kursi dst. Tiap bulan Gereja
Kumetiran menyetorkan dana ke Keuskupan Agung semarang
sekitar 18 juta.

176 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


3. Kegiatan Gereja
Gereja Kumetiran dipimpin oleh 1 orang Romo Kepala
Rm. Fl. Hartosubono, Pr. dan dibantu oleh Romo Pembantu.
Paroki Kumetiran terdiri dari 13 wilayah dan 59 lingkungan. Total
umat di Paroki menurut sensus 2010 sebanyak 8.284 orang.
Perayaan Ekaristi yang hadir tiap Minggu diperkirakan 3.200
orang dengan umat yang berasal dari berbagai etnis, namun yang
paling banyak adalah etnis Jawa dan China. Untuk menjangkau
semua umat, maka dibuat kebijakan perayaan Misa/Ekaristi secara
rutin, dua kali sebulan ditiap lingkungan. Wilayah dan
lingkungan ini dibagi menjadi tiga rayon, dan tiap rayon dilayani
secara tetap oleh satu orang romo.
Sarana dan prasarana yang dimiliki paroki sebagai
tempat pembinaan umat, ada 1 kantor sekretariat, gedung gereja, 2
aula paroki, 2 gudang, 1 tempat parkir, 4 ruang belajar keagamaan
dan TK Indriasari yang dikelola oleh ibu-ibu paroki. Untuk
mengelola paroki ada 97 pengurus dan 87 pembimbing agama.
Dalam pelayanan ibadat rutin, Gereja Kumetiran
menyelenggarakan kegiatan ibadat dari hari Senin s.d. Sabtu
mulai jam 05.30-06.00 wib. Pada hari Sabtu jam 18.00-19.30 wib
dan pada hari Minggu jam 06.00-07.30 wib, 08.00-09.30 wib, dan
17.00-18.30 wib. Untuk peringatan hari besar keagamaan dapat
diketahui seperti data di bawah ini:
a. Tanggal 1 Januari : Hari Raya Santa Maria Bunda
Allah
b. Tanggal 5 Januari : Hari Raya Penampakan Tuhan
c. Tanggal 5 Maret : Hari Rabu Abu (permulaan masa
Puasa Katolik)
d. Tanggal25 Maret : Hari Raya Kabar Sukacita
e. Tanggal 13 April : HariMinggu Palma (peringatan
kisah Yesus memasuki Kota
Yerusalem sebelum penyaliban)

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 177


f. Tanggal 17 April : Kamis Putih (peringatan
perjamuan malam terakhir Yesus
sebelum wafatNya)
g. Tanggal 18 April : Jumat Agung (wafatnya Yesus/Isa
Almasih)
h. Tanggal 19 April : Sabtu Suci (sehari sebelum
kebangkitan Yesus)
i. Tanggal 20 April : Hari Raya Kebangkitan Yesus
Kristus
j. Tanggal29 Mei : Hari Raya Kenaikan Tuhan
k. Tanggal 8 Juni : Hari Raya Pentakosta (Hari
turunnya Roh Kudus)
l. Tanggal 15 Juni : Hari Raya Tritunggal Mahakudus
m. Tanggal 22 Juni : Hari Raya Tubuh dan Darah
Kristus
n. Tanggal 24 Juni : Hari Raya Kelahiran Yohanes
Pembaptis
o. Tanggal 27 Juni : Hari Raya Hati Yesus Yang
Mahakudus
p. Tanggal 29 Juni : Hari Raya Santo Petrus dan Santo
Paulus Rasul
q. Tanggal 10 Agustus : Hari Raya Santa Perawan Maria
Diangkat keSurga
r. Tanggal 17 Agustus : Hari Raya Kemerdekaan RI
s. Tgl 1 November : Hari Raya Semua Orang Kudus
t. Tgl 2 November : Peringatan Mulia Arwah Semua
orang Beriman
u. Tgl 23 November : HariRaya Yesus Kristus Raja
Semesta Alam
v. Tgl 8 Desember : Hari Raya Santa Perawan Maria
Dikandung tanpa noda
w. Tgl 25 Desember : Hari Raya Natal

178 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Selain ibadat rutin, ada juga pembinaan keagamaan bagi
anak-anak, Pembinaan Iman Anak (PIA), Pembinaan Keagamaan
Remaja (PIR), dan pembinaan untuk orang tua dengan berbagai
aktivitas, di antaranya: Wara Semedi, Legio Maria, Komunitas
Tritunggal Maha Kudus, Kelompok Doa Kerahiman Ilahi,
Kelompok Doa Kharismatik, Sekolah Evangelisasi, Sekolah Ketua
Lingkungan, Pendalaman Kitab Suci, dan Mitagorgi.

Untuk kegiatan sosial diadakan Klinik Kesehatan,


Pangrukti Laya, Dana Kesehatan dan Pralenan. Klinik kesehatan
digunakan oleh jemaat dan warga sekitar yang membutuhkan.
Selain kegiatan sosial, Gereja Kumetiran juga mempunyai
kegiatan pemberdayaan yang namanya pemberdayaan ekonomi
dengan Dana Papa Miskin. Pada dasarnya, untuk pelayanan ke
jemaat para pembimbing keagamaan siap melayani, dengan
pelayanan yang murah namun tidak murahan. Dan pada
kenyataannya umat memang senang dilayani.

Selama ini Gereja Kumetiran memiliki gerak dinamika


yang baik, kesatuan umat terjaga, kedalaman iman terpelihara,
komunitas antar umat, pengurus, Dewan Paroki, dan pastor
paroki berjalan baik. Hal yang seperti ini jelas memberi gambaran
paroki yang gembira dan hidup. Kehidupan vital paroki ini
memberi agambaran yang jelas. Pewartaan berjalan dengan baik
dengan dampak positif tambahnya baptisan baru, Komuni
Pertama dan Krisma. Liturgi di Paroki Kumetiran ini juga
berkembang dengan baik. Kehidupan devosi di paroki ini subur,
terlebih dengan dibangunnya kapel Adorasi Sakramen Maha
Kudus, sehingga umat mendapat kesempatan untuk berdoa,
berdevosi. Kelompok-kelompok doa, paguyuban-paguyuban
umat (a.l. Paguyuban Tiranus) berjalan baik. Kelompok koor,
pemazmur, Lektor, Misdinar cukup baik. (B. Saryanto, Pr.)

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 179


4. Faktor Pendukung dan Penghambat
a. Faktor pendukung
1) Gereja Kumetiran mempunyai dana yang cukup yang
disebut juga dengan Paroki yang mandiri yang tidak
memperoleh subsidi, sehingga justru dapat menyetorkan
sebagian dananya ke keuskupan Agung Semarang
sampai 18 juta.
2) Para pembimbing keagamaan selalu siap memberikan
pelayanan kepada umat ketika dibutuhkan.
b. Faktor penghambat
1) Sarana parkir baik untuk mobil maupun motor, yang
kapasitasnya terbatas sehingga seringkali ketika ada acara
keagamaan, kendaraan para jemaat sampai ke bibir jalan
raya dan dikhawatirkan mengganggu jalan umum.
2) Masih ada sedikit “benturan budaya” antara etnis Jawa
dan Cina, hal tersebut terjadi baik ketika dalam
kepengurusan dan pelaksanaan perayaan hari-hari besar
kegamaan.

Penutup
1. Simpulan
a. Pengelolaan rumah ibadat Gereja Jetis dan Gereja Kumeriran
dalam memberikan pelayanan di bidang keagamaan dan
pemberdayaan umat beragama digariskan secara hirarkis mulai
dari Uskup (Keuskupan), diturunkan lagi kepada Kevikepan
(perwakilan uskup dengan wilayah tertentu), kemudian
dilaksanakan dalam paroki oleh pastor paroki beserta jajarannya.
Pola ini merupakan kekhasan Katolik, dan pola organisasinya
sama untuk Paroki-Paroki. Perbedaannya, berjalan tidaknya
organisasi Paroki tergantung kepemimpinan dan kreativitas
Pastor Paroki.

180 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


b. Pemberdayaan ekonomi umat untuk kedua gereja di atas tidak
begitu kelihatan. Adapun upaya yang difasilitasi adalah berupa
pelatihan-pelatihan umat untuk menambah penghasilan misalnya
berdagang. Ada juga pemberian pinjaman dana dengan
keringanan pembayaran cicilan di bulan keempat seperti yang
dilakukan di paroki Santo Albertus Jetis Yogyakarta.
Pemberdayaan ekonomi umat pada umumnya bersifat karitatif,
bantuan bagi umat yang kurang mampu. Umat yang kurang
mampu dibantu berupa dana membiayan uang sekolah atau uang
sosial bagi yang sakit atau berduka.

c. Kesadaran umat cukup tinggi dalam memberikan persembahan


sukarela (iuran bulanan) yang dikelola untuk memberi
penghidupan yang layak bagi para uskup/imam, pelaksanaan
karya-karya pembinaan iman umat dan pelaksanaan karya amal
kasih terutama bagi mereka yang berkekurangan. Adapun
bantuan yang diterima oleh Santo Albertus Jetis Yogyakarta dan
paroki Santa Perawan Maria Tak Bercela adalah berupa hibah
barang/peralatan seperti sarana wireless/sound system, dan bantuan
sejumlah dana untuk kegiatan pembinaan orang muda Katolik.
Pada awal tahun Dewan Paroki Pleno merencanakan program
pelayanan pastoral paroki, masukan umat, kondisi paroki dan
pelayanan berdasarkan data terkini. Dan pada akhir tahun Dewan
Paroki Pleno melakukan evaluasi dan refleksi pelayanan pastoral
atas semua program dan kegiatan dalam setahun

d. Faktor pendukung di antaranya adanya kesadaran untuk terlibat


dalam melayani umat dan menyumbangkan tenaga, dana dan
waktu untuk terlibat dalam pembangunan iman umat paroki
tanpa gaji atau honor. Sedangkan faktor penghambatnya adalah
kurangnya disiplin umat pada pelaksanaan perayaan Ekaristi:
datang terlambat, pulang lebih cepat, main HP saat ibadat, ada
yang berpakaian tidak pantas dan berisik saat ibadat.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 181


2. Rekomendasi

a. Segenap komponen yang berpengaruh pada umat Katolik agar


lebih mengintensifkan internalisasi ajaran berderma kepada
seluruh lapisan umat Katolik, sehingga mereka dapat
meningkatkan pengamalan apa yang ditetapkan dalam ajaran
agama dan dapat meningkatkan pemberian bantuan kepada
masyarakat yang tidak mampu baik yang karitatif maupun
pemberdayaan.

b. Perlu pembinaan umat secara rutin dan berkelanjutan melalui


kunjungan ke lingkungan-lingkungan secara rutin ketika
Perayaan Ekaristi, maupun pada saat-saat dibutuhkan jemaat.

***

182 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Daftar Pustaka

Pemda Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta dalam Angka Tahun 2012. Badan
Pusat Statistik
Bdk. Dokumen Konsili Vatikan II
Bdk. Hukum Gereja Katolik, KHK.
http://romojost.blogspot.com/2013/02/ybmangunwijaya.html
http://www.jogjajavacarnival.com/sejarah-kota-jogja-2/

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 183


184 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
MODEL PEMBERDAYAAN PURA DI KOTA
DENPASAR:
“Membagi Dunia” melalui Rwa Bhineda, Tri
Mandala dan Tri Hita Karana

Oleh:
I Nyoman Yoga Segara dan Selamet

Gambaran Umum Wilayah Penelitian


Kota Denpasar adalah ibukota Provinsi Bali setingkat kabupaten
dan menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat perekonomian dan
pendidikan. Berdasarkan letak geografisnya, Kota Denpasar berada antara
08 35’ 31’’ - 8 44’ 49’’ lintang Selatan dan 115 10’ 23’’ - 115 16’ 27’’ bujur
Timur.71 Sedangkan berdasarkan letaknya, Kota Denpasar berbatasan
langsung dengan kabupaten Badung, kabupaten Gianyar dan Selat
Lombok.
Luas wilayah Kota Denpasar adalah 12,78 km2 atau 2,18% dari
luas Provinsi Bali dengan jumlah penduduk berdasarkan data 2011
sebanyak 804.905 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak
413.335 (48,65% dari jumlah penduduk) dan perempuan sebanyak 391.570
jiwa (48,65% dari jumlah penduduk).72 Kota Denpasar berada pada lokasi
dan aksesibulitas yang baik sebagai faktor penetapan Kota Denpasar
sebagai ibukota Provinsi Bali.
Dengan posisinya seperti di atas, Denpasar mengemban peran
ganda dan multi fungsi, sekaligus memiliki dinamika terhadap
keterbukaan, pluralistik dan kompleks sebagai barometer Bali dalam
lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kondisi ini telah
berdampak langsung terhadap pertumbuhan kota dengan jumlah dan

71 BPS 2012 dalam Profil Kementerian Agama Kota Denpasar, 2013:2


72 Ibid

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 185


kepadatan penduduk yang signifikan. Secara administratif, pemerintahan
kota Denpasar terdiri dari 4 kecamatan dan 43 desa/kelurahan.
Hindu adalah agama mayoritas yang dianut penduduk Denpasar.
Hampir tiap hari ditemukan perayaan hari suci keagamaan. Hal ini karena
dalam agama Hindu dikenal hari-hari suci yang dilaksanakan berdasarkan
wewaran, pawukon dan sasih.73 Perayaan hari suci juga dilaksanakan karena
piodalan74 sebuah tempat suci. Pemandangan ini menjadi daya tarik wisata
budaya yang dinikmati oleh para wisatawan, baik domestik maupun
asing, sehingga sering agama Hindu dan budaya dianggap menyatu dan
susah untuk dibedakan.75 Semaraknya perayaan hari suci Hindu tidak
luput dari amatan para ahli, terutama antropolog, 76 juga oleh kalangan
intelektual dan akademisi.
Denpasar sebagai penggerak denyut nadi ibukota provinsi juga
menghadapi sejumlah tantangan, terutama dengan merasuknya
modernisasi yang membawa serta perubahan yang berdampak pada
dimensi kehidupan alamiah maupun sosial-buadaya. Denpasar tampak
menjadi kota yang terbuka. Namun satu hal yang menggembirakan,
dampak perubahan tidak menggoyahkan kerukunan antaragama yang
telah lama terbangun,77 dan ini menjadi modal sosial berharga bagi

73 Perayaan hari suci agama dalam Hindu didasarkan atas perhitungan


wewaran, seperti kajeng kliwon, pawukon, seperti Galungan, Kuningan, Saraswati,
Tumpek, dll., dan sasih, seperti Nyepi dan Siwaratri
74 Piodalan sering juga disebut rerahinan atau pujawali adalah peringatan tegak

ngenteg linggih sebuah pura. Untuk memahami secara sederhana, dalam bahasa
Indonesia, piodalan sering dipadankan seperti hari ulang tahun, meski masih tidak
sepenuhnya tepat seperti itu.
75 Michel Picard menggambarkan suasana keagamaan di Bali seperti ini dalam

Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata (2006) sebagai atraksi dan karnaval buadaya yang
tidak pernah mati dalam kehidupan masyarakat Bali. Hal ini sudah sangat lama
berlangsung, bahkan sejak kedatangan wisawatan pertama, George Kreus ke Bali dan
mempublikasikannya ke dalam Majalah BALI.
76 Penelitian tentang Bali dan agama Hindu telah sejak lama dilakukan para

orientalis, sebut saja Gregory Bateson; Jean Belo; James A. Boon; M. Covarrubias, dll.
77 Selepas publikasi massif tersebut, Bali menjadi sangat terbuka terhadap

dunia luar. Kajian ini dijelaskan dengan baik oleh Henk Schulte Nordholt (2010) dalam
Bali Benteng Terbuka 1995-2005. Menurutnya, keterbukaan seperti ini memiliki ragam
dampak hingga hari ini, sekarang sangat tergantung dari bagaimana orang Bali kini
menghadapinya.

186 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Denpasar untuk menawarkan rasa aman kepada siapapun yang datang.
Untuk mengenal lebih detail tentang Denpasar, dapat dibaca melalui data-
data berikut ini.
Tabel 1: Data Kepadatan Penduduk Kota Denpasar Berdasarkan
Kecamatan
Kepadatan
Luas Wilayah Jumlah
No Kecamatan Penduduk
(km2) Penduduk (jiwa)
(orang/km2)

1 2 3 4 5

1 Denpasar Selatan 49,99 222.315 4.447

2 Denpasar Timur 22,31 152.054 6.815

3 Denpasar Barat 24,06 242.622 10.084

4 Denpasar Utara 31,42 187.914 5.981

Jumlah 127,78 804.905 27.327

Sumber: BPS Kota Denpasar (dalam Profil Kementerian Agama Kota


Denpasar, 2013:2)

Tabel 2: Data Kepadatan Penduduk Kota Denpasar Berdasarkan


Kecamatan
Desa Banjar
No Kecamatan Desa
Dinas/Kelurahan Dinas Adat
1 2 3 4 5 6 7
1 Denpasar Kelurahan Sesetan 10 11 105 90
Selatan
2 Denpasar Timur Kelurahan 11 12 87 97
Kesiman
3 Denpasar Barat Kelurahan 11 2 112 106
Padangsambian
4 Denpasar Utara Desa Dauh Puri 11 10 102 99
Kaja
Jumlah 43 35 406 392
Sumber: BPS Kota Denpasar (dalam Profil Kementerian Agama Kota
Denpasar, 2013:4)

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 187


Tabel 3: Data Penduduk Kota Denpasar Berdasarkan Agama

Kecamata Katoli Buddh Kong- Junlah


No Hindu Islam Kristen
n k a hucu Total

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Denpasar 170.725 54.013 10.094 5.692 4.263 64 244.581


Selatan

2 Denpasar 96.637 31.107 3.371 5.427 1.845 16 138.403


Timur

3 Denpasar 143.548 70.455 7.367 3.870 4.165 30 229.435


Barat

4 Denpasar 127.256 39.470 4.440 2.260 2.431 43 175.900


Utara

Jumlah 538.166 195.045 12.704 25.272 17.249 153 788.589

Sumber: BPS Kota Denpasar (dalam Profil Kementerian Agama Kota


Denpasar, 2013:17)

188 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Tabel 4: Data Tempat Peribadatan Umat Beragama di Kota Denpasar
Kong
Hindu Islam Buddha Katolik Kristen
hucu
Kah
Kah
Kah yanga
Kec Swagi yanga Mas Lang- Mo- Klen- Vihar Cetya/ Kate- Gere Ka Gere
Ya n Jml Jml Jml Jml Jml Jml
na n jid gar shala teng a TITD dral ja pel ja
ngan lainny
Jagat
a
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Denpa-
sar 33 18 21 - 74 8 - 26 34 - - 2 - 2 1 2 - 3 21 21
Selatan
Denpa-
sar 36 1 24 - 61 4 - 23 27 - - - - - - - - - 13 13
Timur
Denpa-
6 16 10 1 32 14 - 41 55 1 - 5 - 5 - 1 1 2 20 20
sar Barat
Denpa-
30 70 20 - 120 4 - 21 25 - - 3 - 3 - - - - 15 15
sar Utara
Jml 105 105 75 1 287 30 - 111 141 1 - 10 - 10 1 3 1 5 69 69
Sumber: Profil Kementerian Agama Kota Denpasar (2013:18)

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


189
Tabel 5: Data Pemuka dan Tokoh Agama di Kota Denpasar

190
Kris-
Hindu Buddha Konghucu Islam Katolik
ten
Kec Su Pe Su Jiao
Bhik Pand Upa Pend Wen Xue Ula Khot Mub Past Brud Sust
lingg mang Jml Ma Jml Shen Jml Jml Jml
su ita sak eta Shi Shi ma ib a-lig ur er er
ih ku ner g
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Denpas
ar 54 537 591 2 - 10 - 12 15 1 1 - 2 2 16 9 27 1 - 12 13
Selatan
Denpas
ar 30 318 348 - - - - - 18 2 1 - 3 3 18 6 27 7 1 3 11
Timur
Denpas
28 375 403 5 18 20 - 43 26 2 1 - 3 4 42 18 64 1 - - 1
ar Barat
Denpas
ar 29 360 389 - - - - - 9 4 1 - 8 2 23 10 35 - - - -

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Utara
173
Jml 141 1590 7 18 30 - 55 68 9 4 - 16 11 99 43 153 9 1 15 25
1
Sumber: Profil Kementerian Agama Kota Denpasar (2013:18)
A. Model Pemberdayaan Pura Desa dan Puseh Desa Pakraman Ubung
1. Profil Pura (Parahyangan)
Seperti pada umumnya desa pakraman di Kota Denpasar, Desa
Pakraman Ubung juga memiliki Kahyangan Tiga dan masuk
wilayah administrasi Kecamatan Denpasar Barat. Pura Desa
biasanya terletak di tengah-tengah atau pusat desa, yaitu pura
untuk memuja Dewa Brahma dengan manifestasi sebagai pencipta;
Pura Puseh letaknya di hulu atau arah Timur pekarangan desa,
tempat suci untuk memuja Dewa Wisnu sebagai pemelihara, dan
Pura Dalem terletak di area kuburan (bhs Bali: sema, setra). Pura
Dalem adalah sthana Dewa Siwa dengan fungsi sebagai pemralina
atau pengembali semua yang ada di alam semesta. Pura Dalem
biasanya juga berdekatan dengan Pura Prajapati, tempat
bersthananya Dewi Durga, sakti dari Dewa Siwa. Dengan demikian,
setiap krama atau umat di desa pakraman memuja Dewa Brahma,
Wisnu dan Siwa sebagai Tri Murti, yakni tiga manifestasi Tuhan
sebagai pencipta-pemelihara-pemralina atau lahir-hidup-mati.
Ketiganya menjadi siklus kehidupan umat Hindu. Untuk itulah
Kahyangan Tiga menjadi tempat suci yang sangat dihormati.
Masalah letak Kahyangan Tiga tidak bersifat mutlak seperti di
atas, karena tetap harus disesuaikan dengan tipologi desa
pakraman, juga konsensus bersama yang diselesaikan secara adat,
sepanjang disepakati dengan nilai-nilai kebersamaan. Misalnya,
jika di desa pakraman tersebut tidak memiliki pekarangan yang
luas, maka ada kesepakatan tertentu yang dibuat bersama.
Falsafah inilah yang membuat krama desa pakraman menempatkan
Pura Desa dan Pura Puseh menjadi satu panyengker (Bhs Ind:
tembok pembatas), hanya dibatasi tembok pembatas, dan bahkan
memiliki hari suci piodalan78 yang sama. Piodalan Pura Desa dan
Pura Puseh adalah Saniscara Kliwon Wuku Kuningan. Kahyangan Tiga
Desa Pakraman Ubung terletak di Banjar Sedana Mertha.

78 Piodalan sering juga disebut rerahinan, yaitu peringatan tegak ngenteg linggih

sebuah pura. Untuk memahami secara sederhana, dalam bahasa Indonesia, piodalan
sering dipadankan seperti hari ulang tahun, meski masih tidak sepenuhnya tepat seperti
itu.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 191


Selain Kahyangan Tiga, di Desa Pakraman Ubung juga terdapat
pura di masing-masing banjar, pura panti, sanggah/pemrajan, pura
subak, pura bedugul dan pura melanting. Berdasarkan data dalam Ika
Ilikita, di Desa Pakraman Ubung terdapat 37 pura. Pada saat
piodalan, di Kahyangan Tiga selalu dilaksanakan persembahyangan
bersama dimulai dengan Tri Sandhya dan kramaning sembah.
Persembahyangan yang sama juga dilakukan pada saat hari-hari
suci lainnya, seperti purnama, tilem, saraswati, siwaratri, galungan,
kuningan, dll. Sampai saat ini, khusus untuk Pura Desa dan Pura
Puseh belum dapat diuraikan secara jelas asal usul dan sejarahnya,
bahkan belum dapat diuraikan dalam Eka Ilikita.

2. Umat Pangempon (Pawongan)


Pura Desa dan Pura Puseh sebagai bagian dari Kahyangan Tiga
diempon oleh krama Desa Pakraman Ubung yang menurut data
dalam Eka Ilikita berjumlah 424 kepala keluarga, yang tersebar di
masing-masing banjar, yaitu Banjar Sedana Mertha (118); Banjar
Tengah (101); Banjar Sari (101); Banjar Batur (50) dan Banjar Merta
Gangga (54). Krama desa pakraman ini adalah mereka yang sudah
memiliki syarat-syarat yang telah ditentukan dalam awig-awig desa
pakraman yang telah dituliskan sejak 29 Januari 1983.
Selain krama yang tersebar di banjar, di Desa Pakraman
Ubung juga memiliki Sekeha Teruna yang juga terdapat di masing-
masing banjar. Sekeha79 yang lain adalah Sekeha Pesantian, Sekeha
Gong, Sekeha Barong dan Sekeha Rurung. Semua sekeha ini sangat
aktif dalam membuat denyut agama, adat dan budaya Bali. Krama
Desa Pakraman Ubung memiliki pekerjaan yang beragam, seperti
buruh, dagang, tukang bangunan (biasanya bangunan khas Bali),
tukang jahit, PNS dan TNI.

79 Sekeha atau juga disebut sekaa adalah perkumpulan atau organisasi yang

terdapat di banjar atau institusi lain, misalnya, perkumpulan pemuda di banjar dikenal
dengan Sekeha Teruna. Sekeha juga merupakan perkumpulan orang-orang memiliki
kesamaan minat terutama kesenian, sehingga di Bali banyak ditemukan Sekeha
Gambelan, Sekeha Santi, dll. Sekeha juga terbentuk karena kesamaan profesi, misalnya
Sekeha Subak, Sekeha Semal, Sekeha Manyi, dll

192 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Kehidupan adat krama Desa Pakraman Ubung ditata
sedemikian rupa melalui prajuru-prajuru yang terdapat mulai dari
organisasi terkecil, seperti kelian maksan, kelihan banjar hingga
kelihan desa yang biasa disebut Jero Desa yang dibantu empat baga
atau wakil ketua sesuai bidang-bidang yang ditentukan, antara
lain Wakil Ketua I (Petajuh Baga Parahyangan) yang bertugas dalam
urusan persembahyangan dan pura; Wakil Ketua II (Petajuh Baga
Palemahan) yang bertugas mengurusi soal lingkungan dan tata
ruang desa; Wakil Ketua III (Petajuh Baga Pawongan) yang bertugas
mengurusi siklus hidup seperti perkawinan, cerai, ngaben, dan
upacara lainnya dan Wakil Ketua IV (Petajuh Baga Badan Usaha
Milik Desa/BUMDES) yang bertugas memutar roda ekonomi dan
usaha desa. Selain empat baga, Jero Bendesa juga dibantu oleh
Sekretaris I (Penyarikan I), Sekretaris II (Penyarikan II) dan
Bendahara (Petengen).
Kelihan Desa dengan perangkatnya adalah adalah semacam
lembaga eksekutif yang dalam menjalankan program dan
kegiatannya diawasi oleh semacam lembaga yudikatif, yakni
Kertha Desa. Sedangkan lembaga yang bertugas menjadi mediator
untuk melakukan musyawarah adalah Sabha Desa atau semacam
legislatif. Seluruh permasalahan yang ada di desa pakraman
diselenggarakan secara sinergis antarlembaga tersebut. Untuk
menunjang dan mendukung kelancaran pelaksanaan seluruh
tugas yang dijalankan, Kelihan Desa dibantu oleh selain krama,
juga prajuru-prajuru dimasing-masing banjar serta alat-alat desa
untuk memberikan rasa aman krama, seperti pecalang yang saat ini
memiliki aset satu mobil dan empat motor patroli.

3. Kondisi Geografis (Palemahan)


Pura Desa dan Pura Puseh yang berada di tengah Desa
Pakraman Ubung berbatasan langsung dengan Desa Pakraman
Pohgading di sebelah Utara, Tukad Badung di sebelah Timur,
Desa Pakraman Denpasar di sebelah Selatan dan Tukad Mati di
sebelah Barat. Adapun perumahan krama dibatasi oleh tembok
panyengker, dianjurkan menghadap ke jalan sehingga terlihat asri

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 193


serta membuat taman-taman di depan rumah, dan paling penting
di sekitar sanggah ditanam pohon berbunga.
Adapun total luas Desa Pakraman Ubung adalah 184.878 ha
yang terbagi ke dalam pekarangan umah seluas 78.87 ha, tanah
tegalan 104.878 ha dan tempat suci seluas 1.13 ha. Untuk membuat
kenyamanan krama dilakukan ragam kegiatan seperti
membersihkan sampah setiap hari yang di mana masing-masing
banjar memberikan dua tenaga tukang sampah, setiap minggu
oleh krama banjar, PKK dan sekeha. Sedangkan kelestarian taman
desa dilaksanakan oleh Sekeha Teruna dari masing-masing banjar.

4. Sumber Dana Pemberdayaan Pura dan Pengelolaannya


Sebagaimana diceritakan oleh Jero Bendesa Desa Pakraman
Ubung, I Dewa Putu Mayun (wawancara tanggal 22 Mei 2014),
Pemerintah Daerah Bali sangat memperhatikan keberadaan dan
ketahanan seluruh Desa Pakraman. Menurut Mayun, hal ini
menjadi strategi kebudayaan untuk menjadikan desa pakraman
sebagai benteng kokoh untuk menyaring arus kencang globalisasi
yang masuk melalui investasi ekonomi seperti pembangunan dan
tourisme.
Informasi dari Mayun, yang juga diiyakan oleh Sekretaris I, I
Made Jesna, setiap tahun selalu ada dana pembinaan yang
diberikan oleh Pemda Bali, karena Pemda sangat berkepentingan
untuk memperkuat desa pakraman. Jesna mengatakan Bali bisa
seperti ini karena keberadaan desa pakraman masih
mempertahankan tradisi luhur dan mampu berkolaborasi dengan
desa dinas sebagai wakil pemerintah. Menurut dua pengurus inti
Desa Pakraman ini, bantuan yang diterima setiap tahunnya selalu
meningkat. Tahun lalu mendapatkan bantuan 100 juta dari Pemda
Tk I Bali, dan 25 juta dari Pemkot Denpasar.
Namun bantuan-bantuan tersebut oleh para pengurus masih
dianggap belum mencukupi kebutuhan riil tiap tahun desa
pakraman yang bahkan menghabiskan anggaran lebih dari 1 milyar
untuk berbagai kegiatan, baik kegiatan fisik maupun non fisik

194 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


(lihat lampiran penggunaan anggaran desa pakraman). Sementara
menurut I Wayan Miarsa, seorang umat yang sangat aktif di pura
Desa mengatakan bantuan-bantuan tersebut hanya menjadi
stimulus bagi krama untuk termotivasi menjalankan seluruh
kegiatan Desa Pakraman. Bahkan menurutnya, bantuan yang
diterima belum cukup untuk mendanai upacara keagamaan.
Miarsa dan beberapa krama yang hadir dalam focus group
discussion (FGD) pada 24 Mei 2014, mengharapkan bantuan yang
besar datang dari Kementerian Agama untuk aktivitas
keagamaan, namun ternyata masih sangat minim, yakni hanya 50
juta dan tahun ini masih belum direalisasikan.80 Kondisi ini
dibenarkan oleh Ni Ketut Oka Sutriani, Penyuluh Agama Hindu
Kementerian Agama Kota Denpasar. Ia bahkan mengatakan baru
kali ini bisa memberikan bantuan kepada Desa Pakraman Ubung.
Secara kompak, peserta FGD tetap memberikan apresiasi seraya
optimis bantuan tersebut bisa direalisasikan karena seluruh
prosedur telah dilalui dengan baik.
Senada dengan peserta FGD, I Dewa Putu Mayun dan I Made
Jesna mengatakan bahwa meskipun bantuan dari Pemda dan
Kementerian Agama yang diterima masih kecil, Desa Pakraman
Ubung telah sejak lama memiliki mekanisme untuk mengatasi
masalah ini, namun tetap tidak memberatkan krama desa pakraman.
Mayun menjelaskan bahwa meski desa pakraman tidak memiliki
pelaba (bhs Ind: aset atau barang berharga, bisanya dalam bentuk
tanah) berupa tanah seperti desa pakraman lainnya, namun Desa
Pakraman Ubung memiliki cukup aset berupa Lembaga
Perkreditan Desa (LPD), yaitu lembaga simpan pinjam krama desa
dan pasar desa yang keduanya dikelola oleh BUMDES. Setiap
tahun, LPD dan pasar mampu memberikan subsidi sebesar 20%
dari laba yang diperoleh atau sekitar 600 juta.

80 Berdasarkan informasi awal yang diperoleh dari Penyuluh Agama Hindu

dan Prajuru Desa Pakraman, dana 50 juta dari Kementerian Agama Kota Denpasar akan
digunakan untuk membangun bataran (pondasi dasar Pura Desa), namun sampai saat ini
belum bisa direalisasikan karena menunggu hari baik untuk membangun, yang di Bali
dikenal dewasa hayu.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 195


Sumber dana lain yang digunakan untuk memberdayakan
pura dan umat diperoleh dari iuran krama banjar yang besarnya
tidak dibuat seragam tergantung kemampuan setiap banjar serta
bersifat insidental, seperti piodalan dan kegiatan lainnya. Secara
tegas dapat dikatakan sumber pembiayaan untuk pemberdayaan
pura lebih banyak dilakukan secara swadaya. Bahkan para
pemuda juga secara kreatif mencari dana untuk kebutuhan
mereka dengan mengadakan bazzar pada setiap hari raya,
terutama Galungan dan Kuningan. Biasanya dilakukan dibanjar-
banjar.
Berdasarkan Rekapitulasi Laporan Keuangan Desa Pakraman
Ubung per 31 Maret 2014, dana masuk ke kas Desa Pakraman
mencapai 5.679.286.900, dengan pengeluaran mencapai pada
periode tersebut 751.221.300. Saldo yang tersisa dari rekapitulasi
ini masih sekitar 4.928.065.600. Jika dibandingkan dengan bantuan
yang diterima dari pemerintah, tentu tidak cukup untuk
membiayai berbagai kebutuhan desa pakraman yang terbagi ke
dalam biaya untuk parahyangan, pawongan dan palemahan. Dapat
dikatakan, seluruh dana tersebut lebih banyak habis untuk
kegiatan non-fisik, seperti upakara dan upacara agama.

5. Model Pemberdayaan Pura


a. Pengelolaan Modal-Modal Sosial
Pengelolaan modal sosial yang dimiliki pura sejalan
secara koheren dengan program dari desa pakraman yang
dituangkan sepenuhnya ke dalam Ika Ilikita, dan secara linear
berkorelasi dengan tujuan agama Hindu melalui Tri Hita
Karana. Bagaimana Desa Pakraman Ubung mengelola dan
memberdayakan modal sosial yang mereka miliki, dapat
dilihat dari program yang mereka lakukan selama ini. Seluruh
program ini berimplikasi terhadap pengelolaan keuangan dan
pemberdayaan umat, antara lain:
Bidang Parhyangan:

196 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


1) memberikan bantuan secara rutin tiap pujawali kepada
Pura Kahyangan Desa
2) membangun Bale Pedaunan Pura Desa dan Puseh
3) mengadakan persembahyangan bersama saat
Purnama/Tilem, Siwaratri, Saraswati dan Pujawali
4) pelaksanaan upacara/upakara sebagai prosesi pergantian
Tahun Baru Caka dari melasti, mecaru dan Nyepi
5) dharmayatra ke situs-situs atau peninggalan kerajaan
Hindu di Jawa Timur
Bidang Pawongan:
1) melaksanakan Pasraman anak-anak dan remaja
2) meningkatkan peran lembaga adat sesuai dengan
aturan/kewenangan desa/banjar
3) meningkatkan keahlian kaum perempuan dalam
membuat upakara/bebantenan dan upacara agama
melalui kursus-kursus
4) meningkatkan peran serta krama desa dalam menghadapi
gangguan keamanan (bankamdes)
5) sosialisasi tentang rencana nyekah missal tahun 2015
6) membantu anggota yang meninggal Rp. 1.000.000.
7) mensubsidi biaya sekolah pada anak-anak yang akan
masuk di TK/PAUD Widyasanti
8) melakukan pendataan krama desa sesuai dengan tingkat
umur sebagai upaya mengoptimalkan peran desa
pakraman terhadap perkembangan anggota dalam hal
tertib administrasi kependudukan
9) mengadakan koordinasi dengan desa dinas (kelurahan)
sebagai upaya membangun sinergitas antarlembaga
ditingkat desa
10) pembinaan bidang seni dan budaya terhadap generasi
muda/remaja dengan mengadakan pelatihan bersama
antarbanjar se-desa pakraman

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 197


11) merivisi awig-awig desa, menyesuaikan dengan keadaan
saat ini dan mensosialisasikan pada krama desa
Bidang Palemahan:
1) menetapkan batas wilayah desa pakraman
2) menetapkan batas-batas tanah milik desa
3) membersihkan/menata palemahan/halaman Pura Desa dan
Puseh melalui tamanisasi lingkungan pura
4) mengajukan permohonan kepada pemerintah agar dapat
membuat jalur irigasi utama dari hulu sampai ke
hilir/pembuangan di sungai Badung untuk mengatasi
banjir
5) melestarikan sumber-sumber mata air yang ada
dilingkungan desa pakraman
6) melaksanakan kerja bakti gotong royong kebersihan tiap
minggu pertama bagi krama laki-laki dan minggu ketiga
bagi krama perempuan
7) mengelola sampah secara swadaya
8) membuat resapan air (biopori) disetiap keluarga sebagai
upaya mengurangi banjir dan menjaga air tanah

b. Manajemen Tri Partit Plus

Seperti telah dijelaskan bahwa pelaksanaan program dan


kegiatan yang dibuat oleh desa pakraman berjalan secara
terbuka, transparan dan akuntabel, karena terdapat sinergi
tiga kekuatan desa pakraman, yakni Bendesa Adat (eksekutif),
Kertha Desa (yudikatif) dan Sabha Desa (legislatif).
Kepemimpinan yang kuat (strong leadership) masing-masing
lembaga ini berada di wilayah adat dan agama sehingga
dipersatukan oleh nilai-nilai agama sebagai pengikat moral.
Telah sejak lama, awig-awig dan perarem menjadi garis-
garis haluan desa pakraman sekaligus legitimasi agama
karena melibatkan hal-hal yang bersifat religius, rohaniah dan
niskala, salah satunya berlakunya hukum karma. Kekuatan lain

198 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


yang menyertai lembaga tersebut adalah kebutuhan untuk
menjadikan pengabdian yang lebih banyak didasari oleh
kebutuhan rohani. Bagi mereka, menjadi prajuru desa
pakraman adalah sebuah panggilan yajna.
Selain melalui hubungan yang harmoni antartiga lembaga
di atas, di Desa Pakraman Ubung, seperti Desa Pakraman
lainnya, berlaku pula pelaksanaan Catur Guru,81 di mana
pemerintah, dalam hal ini desa dinas dianggap sebagai Guru
Wisesa yang wajib diajak bekerja sama dan dimintakan
sarannya. Selama ini, Jero Bendesa dan para prajuru lainnya
selalu melakukan kerjasama yang baik terutama meminta
saran dan pertimbangan dalam mengelola dana bantuan. Hal
ini mereka lakukan karena selama ini ada hambatan
administrasi dan prosedur.
Seperti diketahui, di Bali, terdapat desa dinas dan desa
adat. Keduanya bukanlah bentuk dualisme tetapi justru
dualitas yang saling melengkapi sesuai tugas dan fungsinya.
Dalam desa dinas, peraturan yang berlaku bersifat nasional,
sebagai perbantuan dari pemerintahan di atasnya, yaitu
Kecamatan, Kabupaten/Kota, atau Provinsi. Desa dinas dapat
menampung penduduk yang bersifat plural karena bersifat
nasional. Desa adat mengelola urusan agama, adat dan
budaya. Sehingga bagi desa pakraman, bantuan dana yang
mereka terima, terlebih untuk kepentingan pura harus jauh
dari tindakan menyimpang. Bentuk riil dari kerjasama itu
adalah LPJ di mana mereka merasa perlu mendapat
pendampingan dan bimbingan teknis agar direalisasikan dan
dilaporkan benar dan tepat. Sehingga pemberi dan penerima
bantuan tidak terkena hukuman niskala, karena ini sangat
berat.

81 Catur Guru adalah empat guru yang harus dihormati oleh umat Hindu.

Keempatnya adalah guru rupaka (orang tua), guru pengajian (guru, dosen atau mereka
yang memberikan ilmu pengetahuan), guru wisesa (pemerintah dan perangkat negara
lainnya), guru swadyaya (Tuhan)

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 199


c. Bentuk-Bentuk Pemberdayaan

Sumber dana yang diperoleh Desa Pakraman Ubung, baik


dari pemerintah selama ini dan terutama swadaya dari krama,
sepenuhnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan krama
dari berbagai aspek. Sesuai dengan LPJ Desa Pakraman
Ubung yang selalu dilaporkan tiap tahun baru caka (bulan
April), sumber pembiayaan tersebut digunakan untuk aspek-
aspek berikut ini.

1) Aspek Sosial-Budaya
a) memberikan santunan kepada krama yang
meninggal sebesar 1 juta. Selain dari desa pakraman,
krama yang terkena duka meninggal juga diberikan
patis oleh krama dilingkungan banjarnya senilai
harga 1 kg beras dan 5000.
b) melakukan pembinaan terhadap sekeha yang ada di
desa pakraman, melalui penguatan sekeha-sekeha
yang ada di masing-masing banjar, baik yang
dilakukan oleh para pemuda melalui Sekeha Teruna
maupun para ibu-ibu melalui organisasi Wanita
Hindu Dharma Indonesia (WHDI)
c) melibatkan sekeha dalam setiap kompetisi seni,
budaya dan olah raga yang diadakan setiap tahun
oleh Pemkot Denpasar, seperti lomba ogoh-ogoh, gong
kebyar dan utsawa dharma gita.
d) membentuk Gabungan Anak-Anak Gemar Seni Bali
(GANGSA) dengan struktur langsung berada di
bawah binaan desa pakraman
e) melaksanakan Pasraman Kilat pada hari libur sekolah
setiap tahun sekali dan membiayai penyelenggaraan
PAUD/TK
f) memberikan pelatihan sarati banten kepada ibu-ibu

2) Aspek Agama

200 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


a) melakukan memukur massal yang dilaksanakan setiap
lima tahun sekali
b) melaksanakan persembahyangan hari-hari suci
keagamaan
c) melaksanakan dharmayatra setiap tahun ke pura
maupun tempat-tempat bersejarah
d) mengembangkan prasarana pura berdasarkan
bantuan tempat ibadah yang diterima
e) memberdayakan para pemuda untuk ngayah di pura
jika ada kegiatan keagamaan melalui tabuh
f) memberikan peran kepada ibu-ibu untuk ngayah
sebagai sarati banten
g) membuat dan atau membeli bahan upakara untuk
kepentingan upacara agama
h) menjadikan pura, terutama madya mandala sebagai
tempat untuk melakukan aktivitas agama saat
upacara keagamaan
3) Aspek Ekonomi
a) memberikan gaji kepada para pegawai LPD
b) mengelola pasar desa
c) memberikan insentif kepada pekerja sampah

d. Faktor Pendukung dan Penghambat

1) Faktor Pendukung
a) Terdapat sinergi tiga kekuatan desa pakraman, yakni
Bendesa Adat (eksekutif), Kertha Desa (yudikatif) dan
Sabha Desa (legislatif) sehingga pelaksanaan program
dan kegiatan yang dibuat oleh desa pakraman berjalan
secara terbuka, transparan dan akuntabel. Pola ini
memperlihatkan adanya kepemimpinan yang kuat
(strong leadership) masing-masing lembaga dan
dipersatukan oleh nilai-nilai agama sebagai pengikat
moral.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 201


b) Telah sejak lama, awig-awig dan perarem menjadi
garis-garis haluan desa pakraman sekaligus legitimasi
agama karena melibatkan hal-hal yang bersifat
religius, rohaniah dan niskala, salah satunya dengan
meyakini berlakunya hukum karma. Keyakinan ini
menyertai pemimpin dan pengurus lembaga-lembaga
adat dan agama untuk menjadikan pengabdian
mereka lebih banyak didasari oleh kebutuhan rohani.
Bagi mereka, menjadi prajuru desa pakraman adalah
sebuah panggilan yajna.
c) Selain melalui hubungan yang harmoni antartiga
lembaga di atas, di Desa Pakraman Ubung, seperti
desa pakraman lainnya, berlaku pula pelaksanaan
Catur Guru,82 di mana pemerintah, dalam hal ini desa
dinas dianggap sebagai Guru Wisesa yang wajib
diajak bekerja sama dan dimintakan sarannya.
Selama ini, Jero Bendesa dan para prajuru lainnya
selalu melakukan kerjasama yang baik terutama
meminta saran dan pertimbangan dalam mengelola
dana bantuan. Hal ini mereka lakukan karena selama
ini ada hambatan administrasi dan prosedur. Seperti
diketahui, di Bali, terdapat desa dinas dan desa adat.
Keduanya bukanlah bentuk dualisme tetapi justru
dualitas yang saling melengkapi sesuai tugas dan
fungsinya. Dalam desa dinas, peraturan yang berlaku
bersifat nasional, sebagai perbantuan dari
pemerintahan di atasnya, yaitu kecamatan,
kabupaten/kota, atau provinsi. Desa adat mengelola
urusan agama, adat dan budaya. Sehingga bagi desa
pakraman, bantuan dana yang mereka terima, terlebih
untuk kepentingan pura harus jauh dari tindakan
menyimpang.

82 Catur Guru adalah empat guru yang harus dihormati oleh umat Hindu.

Keempatnya adalah guru rupaka (orang tua), guru pengajian (guru, dosen atau mereka
yang memberikan ilmu pengetahuan), guru wisesa (pemerintah dan perangkat negara
lainnya), guru swadyaya (Tuhan)

202 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


2) Faktor Penghambat
a) Bantuan-bantuan yang diterima selama ini masih
dianggap belum mencukupi kebutuhan riil tiap tahun
desa pakraman karena mereka menghabiskan anggaran
lebih dari 1 milyar untuk berbagai kegiatan, baik
kegiatan fisik maupun non fisik. 83 Artinya bantuan
tidak utuh untuk satu kegiatan atau bangunan yang
diajukan. Namun bagi mereka, bantuan-bantuan
yang diterima selama ini dianggap sebagai stimulus
semata agar krama termotivasi menjalankan seluruh
kegiatan desa pakraman. Bahkan menurutnya, bantuan
yang diterima belum cukup untuk mendanai upacara
keagamaan.
b) Meski bukan sebuah hambatan, adanya ketentuan
bahwa pura itu suci, para prajuru tidak bisa leluasa
untuk memberdayakannya dengan aktivitas di luar
keagamaan. Atas dasar ini, pemberdayaan
pendidikan yang bersifat sekuler seperti PAUD/TK
tidak bisa diselenggarakan di area pura. Berbeda
dengan pendidikan ini, pasraman kilat dan malam
sastra yang dilaksanakan setiap tahun atau
bertepatan dengan hari suci dapat dilaksanakan
diarea pura karena selain bersifat temporer juga
karena bernuansa agama.

83 Berdasarkan Rekapitulasi Laporan Keuangan Desa Pakraman Ubung per 31

Maret 2014, dana masuk ke kas Desa Pakraman mencapai 5.679.286.900, dengan
pengeluaran mencapai pada periode tersebut 751.221.300. Saldo yang tersisa dari
rekapitulasi ini masih sekitar 4.928.065.600. Jika dibandingkan dengan bantuan yang
diterima dari pemerintah, tentu tidak cukup untuk membiayai berbagai kebutuhan desa
pakraman yang terbagi ke dalam biaya untuk parahyangan, pawongan dan palemahan. Dapat
dikatakan, seluruh dana tersebut lebih banyak habis untuk kegiatan non-fisik, seperti
upakara dan upacara agama.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 203


B. Model Pemberdayaan Pura Subak Pakel II Desa Pakraman Ubung
Kaja
1. Profil Pura (Parahyangan)
Pura Subak Pakel II adalah salah satu pura swagina yang
pengemponnya berprofesi sebagai petani, terutama petani
penggarap di sawah. Pura ini tidak terlalu besar, dan dahulu
berada di tengah sawah. Kini karena banyak sawah beralih fungsi
menjadi perumahan dan industri, pura ini tampak kecil dan
sempit karena berdampingan dengan rumah dan pertokoan. Di
depan pura ada sebidang sawah namun terhimpit bangunan di
sebalah kanan, kiri dan belakangnya.
Bangunan pura tampak baru dipugar, terutama pada
penyengkernya. Terlihat batu bata yang menjadi bahan dominan
dari penyengker cukup kokoh dengan warna merah kehitamannya.
Di dalamnya terdapat bale, biasanya digunakan untuk pertemuan
maupun persembahyangan yang dilaksanakan setiap Purnama
Sasih Kapat. Di pojok kanan dari candi bentar terdapat bale kulkul
(bhs Ind: kentongan) yang kulkulnya terlihat ringkih karena cukup
tua dan termakan jaman. Di bagian hulu terdapat pelinggih tempat
memuja Dewi atau Bhatara Sri sebagai perwujudan Tuhan yang
berfungsi memberikan kemakmuran kepada para petani.

Meski terbilang kecil untuk ukuran sebuah pura subak,


aktivitas pengempon dan umat Hindu disekitarnya cukup dinamis,
ditambah letaknya yang tepat dipinggir jalan, serta jalanan sempit
yang membelah pura dengan bangunan diseberangnya. Dari jauh
pura ini terlihat selalu ramai karena kendaraan melambatkan
lajunya.

Dengan letaknya yang kini berdekatan dengan rumah-


rumah penduduk, mungkin di masa lalu tidak terbayangkan pura
ini seperti terjepit. Bahkan pernah suatu ketika pura ini hendak di
pralina karena jumlah sawah yang makin berkurang dan
masyarakat beralih ke sektor lain, terutama industri pariwisata.
Bahkan para pemilik tanah atau sawah di desa ini sudah mulai

204 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


memberikan peluang bagi pendatang untuk memiliki tanah, dan
hal ini menambah semakin terbatasnya jumlah luas sawah yang
berarti pula mengurangi pekerja atau penggarap. Padahal
kelangsungan pura ini sangat tergantung dari dua hal ini.

2. Umat Pangempon (Pawongan) dan Kondisi Geografis


(Palemahan)

Secara kelembagaan, Pura Subak Pakel II ini diempon oleh


krama petani Desa Pakraman Ubung Kaja. Krama tersebut berasal
dari jumlah pemilik sawah sebanyak 175 orang, petani pemilik
(75), petani penyakap (50) dan petani pemakai air (125).84 Terdapat
ketentuan bahwa pemilik sawah belum tentu menjadi krama subak,
namun penyakap atau penggarap wajib ikut menjadi krama subak.

Menurut I Nyoman Narta (wawancara tanggal 23 Mei


2014), pengempon pura memang adalah para petani, namun jumlah
krama yang ikut berkontribusi terhadap keberadaan pura ini
datang dari krama yang bukan bekerja sebagai petani. Bahkan ada
di antara mereka yang bukan krama Desa Pakraman Ubung Kaja.
Hal ini bisa terjadi masyarakat yang membeli dan menjadikan
tanah atau sawah sebagai tempat tinggal atau warung dan toko
memiliki keyakinan bahwa mereka juga ingin mendapatkan
kerahayuan dari Bhatara Sri sebagai “pemilik” tanah dan sawah.
Atas keyakinan ini mereka juga ikut berkewajiban secara moral
bersama-sama dengan petani lainnya menjadikan Pura Subak Pakel
II ini sebagai pusat pemujaan dewi kemakmuran. Petani dan yang
bukan petani tetapi membeli dan berusaha di atas tanah sama-
sama memiliki ketergantungan terhadap pura subak ini.

Atas alasan tersebut, pura ini masih tetap bisa berdiri


tegak dan menjadi milik bersama secara kolektif. Sehingga ketika
ada piodalan dan hari-hari suci keagamaan lainnya, pura ini sangat

Monograf Subak Pakel II, tahun 1999/2000. Namun kini seperti penuturan I
84

Nyoman Narta selaku Kelihan Subak, pemilik sawah tinggal 114 orang

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 205


ramai dipuja umat Hindu. Melalui pura ini pula, mereka ingin
menjadikannya sebagai media untuk meneruskan ilmu dan
mengajarkan kepada anak-anak muda di Desa Pakraman Ubung
Kaja untuk juga mencintai profesi petani yang di Kota Denpasar
mulai ditinggalkan. Narta menegaskan, mungkin di daerah luar
Denpasar, krama subak belum terlalu risau karena masih terdapat
sawah-sawah yang luas dan penggarap yang juga sangat banyak.

Dengan segala keterbatasannya, para pengurus subak


masih bersemangat untuk melakukan aktivitas pertanian. Mereka
memperkuat diri melalui kepengurusan organisasi subak yang
dipimpin oleh seorang Pekaseh (bhs Ind: pemimpin) dan lima
orang Pangliman yang bertugas dimasing-masing wilayah dengan
dibantu Kelihan Munduk serta melalui pengurus subak dengan
seorang Ketua dibantu Sekretaris, Bendahara dan prajuru atau
kesinoman.

Secara geografis, Pura Subak Pakel II terletak di Desa


Pakraman Ubung Kaja yang berbatasan dengan Desa Adat Sading
disebelah Utara, Tukad Badung Pakel II di sebelah Timur, Banjar
Benoh disebelah Selatan dan Tukad Yeh Keling disebelah Barat.
Desa Pakraman Ubung Kaja tempat di mana pura ini berada
secara topografi bentuk datarannya bergelombang dengan
ketinggian lebih kurang 46 m dari permukaan air laut, sedangkan
tingkat kesuburan tanahnya sedang. Adapun status kepemilikan
tanah terdiri dari sawah hak milik 82.50 ha, sawah pelaba pura 2.87
ha dan tidak ada sawah negara yang digarap. Total sawah yang
dimiliki atau digarap adalah 85.37 ha.

3. Sumber Dana Pemberdayaan Pura dan Pengelolaannya

Seperti selintas disebutkan di atas, pura subak ini sempat


hendak di pralina karena dirasakan sudah terdesak oleh
keterbatasan lahan dan sumber daya manusia. Namun atas
keinginan mempertahankan salah satu heritage atau warisan

206 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


dunia ini, mereka tetap menjadikan pura subak ini sebagai pengikat
moral untuk memuja Bhatara Sri. Usaha ini tentu terasa berat
karena pura ini juga harus terus menerus dipelihara serta
mempertahankannya melalui berbagai aktivitas keagamaan, sosial
dan budaya.

I Nyoman Narta beserta para anggotanya merasakan


beratnya tanggung jawab ini. Apa yang mereka lakukan lebih
karena pengabdian kepada leluhur dan Tuhan, dalam hal ini
termanifestasi ke dalam sosok Bhatara Sri. Sebagai petani, hanya
pengabdian ini yang mereka bisa persembahkan, sama halnya
persembahan para pedagang kepada Dewa Rambut Sedana di Pura
Melanting atau para nelayan kepada Dewa Baruna di Pura Segara.
Tentu pengabdian tinggi ini tidak sebanding dengan insentif yang
mereka terima setiap bulan sebesar 500 ribu dari Pemda Tk I Bali.

Mengingat subak telah menjadi heritage, para pengurus


tiap tahun mendapat subsidi dari Pemda Bali yang tiap tahun
meningkat jumlahnya, mulai dari 30 juta hingga 55 juta. Bantuan
dana ini lebih banyak mereka gunakan untuk upacara keagamaan
dan biasanya tidak cukup, karena dalam setahun mereka bisa
menghabiskan biaya di atas 100 juta.

Sumber dana untuk membiayai kelangsungan aktivitas


subak selain dari pemerintah juga dari iuran tidak wajib. Mereka
sadar bahwa hasil pertanian tidak cukup membuat mereka hidup
berkecukupan. Sehingga biasanya pula nilai iuran ini bersifat
tidak wajib dan sukarela sesuai kemampuan. Mereka menjalankan
kewajiban sebagai anggota yang terikat secara niskala sehingga
bagi para penggarap tidak bisa menolak untuk tidak menjadi
krama subak.85

85 Secara terinci, sumber-sumber dana untuk mempertahankan pura Subak dan

kelangsungan hidup para pengemponnya berasal dari bantuan insentif dari pemerintah;
hasil pungutan dari utpeti itik Rp. 50,-/ekor setiap panen di sawah; sari tahun (penguot)
Rp. 50,- per are setiap panen di sawah, urunan dari krama subak dan segala yang bersifat
dana (Monograf Subak Pakel II, tahun 1999/2000: 11

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 207


Pada 2013 lalu, mereka baru pertama kali mendapat
bantuan biaya dari Kementerian Agama Kota Denpasar sebesar 25
juta. Dana ini telah habis mereka gunakan untuk membuat
panyengker pura yang menelan biaya lebih dari 100 juta, dan
bantuan 25 juta sebetulnya hanya bisa mereka gunakan membeli
batu bata saja. Selebihnya dari iuran tidak wajib, dana punia dan
bantuan Pemda lainnya, terutama Dinas Pertanian dan Dinas
Kebudayaan.
Menurut Narta, meskipun dana 25 juta terbilang sangat
minim, tetapi sudah cukup membantu meringankan beban krama
subak. Dalam LPJ yang mereka sampaikan kepada Kepala Kantor
Kementerian Agama Kota Denpasar, terbaca jelas bagaimana
mereka menggunakan dana tersebut dengan baik. Oleh I Ketut
Warta selaku Kasi Urusan Agama antara proposal yang diajukan,
realisasi dan prosedur administrasi telah dilalui dengan cukup
baik oleh Panitia Pembangunan, sebagaimana dalam laporan
berikut ini.
Tabel 6: Uraian Penggunaan Bantuan Pura Subak
Pakel II
Harga Satuan
No Uraian Volume Jumlah (Rp)
(Rp)
Bidang Parhyangan Tembok Penyengker Pura Subak
I Pembelian Bahan
Batu Bata 7000 bh 1.500 10.500.000,-
Besi ulat 40 mtr 14.000 560.000
Semen Gresik 40 kg 20 sak 51.000 1.020.000
Pasir urug 5 colt 200.000 1.000.000
Ember 2 bh 10.000 20.000
Jumlah 13.100.000
II Ongkos Tukang
Nama Tukang Jumlah Hari Harga Satuan Jumlah (Rp)
I Wayan Mudita 35 hari 100.000 3.500.000
I Made Kuryata 35 hari 100.000 3.500.000
Wayan Juliarta 35 hari 70.000 2.450.000
Wayan Bagiana 35 hari 70.000 2.450.000
Jumlah 11.900.000
Jumlah Total 25.000.000
Sumber: Pertanggungjawaban Bantuan Keuangan Kantor
Kementerian Agama Kota Denpasar Tahun 2013

208 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Secara administrasi, sebagaimana tertuang dalam LPJ,
bantuan tersebut berhasil direalisasikan, dan ketika diperiksa juga
tidak ditemukan masalah, namun menurut salah seorang prajuru,
terdapat beberapa kesulitan yang cukup berat yang mereka
rasakan. Misalnya, kelengkapan SIUP bagi penjual bahan
bangunan dan SIUP bagi para tukang. Di Bali syarat ini bagi
mereka tidak begitu lazim dimiliki oleh penjual dan tukang
bangunan. Hambatan lainnya adalah pencairan dana bantuan
sangat berhubungan dengan hari baik atau dewasa hayu saat akan
memulai pekerjaan. Jika dewasa hayu belum ditentukan maka akan
berdampak pada pencairan dana, pelaksanaan kegiatan dan
pelaporan hasil pekerjaan.

4. Model Pemberdayaan Pura


a. Pengelolaan Modal-Modal Sosial
Mengingat Pura Subak Pakel II adalah pura swagina
maka pemberdayaannya lebih diarahkan hanya untuk hal-hal
yang berkenaan dengan profesi para pengemponnya. Dengan
demikian, pura menjadi titik pusat atau sumber kehidupan di
mana vibrasi religiusitas sebagai penuntun dalam
menjalankan pekerjaan.
Nilai-nilai tersebut mengaliri berbagai kegiatan yang
dilakukan para pengemponnya dan menjadi modal untuk
mereka mengukuhkan diri sebagai komunitas yang memiliki
identitas berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Ada
beberapa bidang yang menjadi panduan para pengempon pura
subak, antara lain bidang agama, pengairan, pertanian,
perikanan, peternakan, agrarian, administrasi dan keuangan.86
Berdasarkan bidang-bidang tersebut, dituangkan
sepenuhnya ke dalam program kerja subak, yaitu:

86 Ibid, hlm 11-12

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 209


1) Program Jangka Pendek
a) melaksanakan dan memelihara sistim kerta masa dan
pola tanam
b) mentaati awig-awig dan pasuara subak
c) melaksanakan aci (upacara di Pasubakan)
d) melaksanakan dan memelihara stabilitas dan
kelestarian yang meliputi Parhyangan (Pura Penghulu
Subak), saluran-saluran air, dan mengatur sistim
pengairan semaksimal mungkin
e) melaksanakan Panca Usaha Pertanian agar tercapai
program peningkatan hasil pangan dan usaha
pertanian yang terpadu
f) meningkatkan sumber dana/sumber modal subak
2) Program Jangka Panjang
a) merehabilitasi sarana-sarana pengairan yang rusak
b) meningkatkan hasil petani dengan sistem Paket D
c) mentaati iuran termasuk pelunasan Ipeda/PBB
d) merehabilitasi Parhyangan Pura Penghulu Subak
e) membuat bale kulkul
f) membuat bale timbang
b. Bentuk-Bentuk Pemberdayaan
Berdasarkan wawancara dengan para prajuru subak,
mereka mengatakan bahwa pemberdayaan krama subak
dengan menjadikan pura sebagai sumber inspirasi telah
membawa mereka pada satu ikatan keluarga yang kuat.
Mereka meyakini, dengan profesi petani, Bhatara Sri akan
selalu hadir untuk memberikan kemakmuran. Bhatara Sri dan
pura subak telah menjadi legitimasi moral dan agama untuk
memohon kerahayuan, dan dengan itu semua, terdapat
kesadaran kolektif di antara mereka untuk terus

210 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


mempertahankan pura dan sawah-sawah karena hampir 90%
subak berurusan dengan tanah atau palemahan.
Setidaknya ada beberapa bentuk pemberdayaan yang
dilakukan, antara lain: Pertama, melalui pura, mereka para
prajuru itu berusaha terus membina krama subak melalui
berbagai kegiatan, namun yang paling utama adalah
pembinaan pada tingkat kelihan munduk karena permasalahan
utama dalam pertanian dimulai dari pengaturan air atau
irigasi. Dikalangan petani di Bali pada umumnya, tidak jarang
masalah air bisa menjadi masalah besar, bahkan konflik
antarsubak. Kelihan munduk bertanggung jawab terhadap
keteraturan pembagian air. Menurut I Nyoman Narta,
pembinaan dan penyuluhan yang mereka dapatkan baik dari
Dinas Pertanian maupun Dinas Kebudayaan memprioritaskan
kelihan munduk untuk mendapatkan bimbingan teknis.
Bahkan dalam setahun para kelihan munduk mendapat
bimbingan teknis 3 kali setahun.
Kedua, melibatkan peran serta krama subak untuk
mengikuti berbagai lomba seni yang terutama sering
dilaksanakan Dinas Pertanian dan Dinas Kebudayaan,
misalnya Lomba Lelakut, Lomba Sunari, Lomba Pindekan, serta
lomba-lomba lain yang berkenaan dengan pertanian yang
diadakan dalam rangka ulang tahun Pemda Kota Denpasar.
Ketiga, memberdayakan peran aktif krama subak
melalui Gabungan Kelompok Tani (Gapotan) Bina Bhakti
Lestari sebagai wadah simpan pinjam dan kebutuhan dasar
para petani. Mereka berharap ide ini menjadi embrio koperasi
dengan alasan bahwa kesulitan para petani yang semakin
besar, juga atas pikiran supaya kelangsungan hidup petani
dan anak-anaknya dapat dijamin. Gagasan untuk menjadikan
Gapotan sebagai koperasi juga untuk berinvestasi sosial
dengan memanfaatkan subsidi dari berbagai instansi, baik
dari pemerintah maupun iuran krama subak.
Keempat, menyadari tantangan yang tidak ringan di
masa-masa yang akan datang, krama subak menjadikan pura

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 211


bukan lagi hanya sebagai pengikat sraddha dan bhakti melalui
aktivitas agama, tetapi juga menjadi media untuk menemukan
solusi-solusi pertanian melalui pertemuan di bale. Dengan
demikian pura bagi mereka berfungsi kompleks baik untuk
urusan sekala (sakral) maupun niskala (profan), sehingga
kesadaran kolektif di antara mereka terbangun semakin kuat.

c. Faktor Pendukung dan Penghambat

1) Faktor Pendukung
a) Adanya kesamaan profesi dapat melahirkan apa yang
dalam ilmu antropologi sebut sebagai kesadaran
kolektif. Solidaritas ini tumbuh atas berbagai
hambatan berupa keengganan anak-anak petani
melanjutkan profesi orang tua dan keterbatasan lahan
sawah
b) Subak adalah salah satu heritage dan warisan dunia,
sehingga para pengempon Pura Subak Pakel II merasa
dilindungi dan ini terbukti dengan perhatian besar
dari Pemda Bali melalui Dinas Pertanian dan Dinas
Kebudayaan. Khusus untuk Dinas Kebudayaan
dalam kegiatan yang bersifat teknis sering melakukan
kolaborasi dengan Kementerian Agama.
c) Terdapat kesadaran moral, terutama bagi pemilik
tanah, rumah dan usaha swasta yang berdiri di atas
tanah atau bekas sawah. Menariknya mereka ikut
terlibat aktif untuk mempertahankan Pura Subak Pakel
II dan bahkan ikut berkontribusi. Kesadaran ini diikat
dengan sebuah legitimasi agama di mana mereka
harus tetap menghormati Bhatara Sri sebagai pemilik
atau penguasa tanah.
2) Faktor Penghambat
a) Secara administrasi, menurut para prajuru, terdapat
beberapa kesulitan yang cukup berat yang mereka

212 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


rasakan. Misalnya, kelengkapan SIUP bagi penjual
bahan bangunan dan SIUP bagi para tukang. Di Bali
syarat ini tidak begitu lazim dimiliki oleh penjual dan
tukang bangunan.
b) Keengganan anak-anak muda untuk meneruskan
profesi petani serta keterbatasan lahan sawah
menjadi hambatan yang cukup signifikan yang akan
menjadi masalah sekaligus tantangan di masa depan.

Penutup

1. Simpulan

a. Pemberdayaan tempat ibadat umat Hindu di Bali, khususnya di


Denpasar sangat berkaitan erat dengan klasifikasi pura
berdasarkan ikatan keluarga dari keluarga batih (inti) hingga
kumpulan keluarga besar, berdasarkan kesamaan profesi,
berdasarkan wilayah teritorial dan berdasarkan kesamaan
manusia secara universal. Masing-masing klasifikasi pura tersebut
memiliki pengempon atau komunitas di pura bersangkutan,
sehingga pemberdayaan tempat ibadat sangat tergantung pula
dari program dan kegiatan yang mereka (baca: pengempon), baik
yang rutin maupun kegiatan-kegiatan insidental untuk komunitas
internalnya. Misalnya, Pura Kawitan diberdayakan untuk para
keluarga yang memiliki hubungan sedarah; pura swagina
diberdayakan untuk pengempon yang memiliki kesamaan profesi
dan fungsi; Pura Kahyangan Tiga untuk pengempon yang berada
diwilayah yang sama secara teritorial, dan Pura Kahyangan Jagat
untuk semua umat Hindu tanpa memandang perbedaan.

b. Berdasarkan pemetaan seperti tersebut, modal sosial yang dimiliki


sebuah pura untuk memberdayakan pengemponnya akan secara
konkrit, dirasakan, dinikmati dan tepat sasaran untuk para
pengemponnya, baik untuk memenuhi kebutuhan ekonomi melalui
koperasi, LPD, pasar, dll; kebutuhan seni-budaya melalui sekaa
atau kelompok-kelompok sosial yang memberikan kesempatan

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 213


kepada umat untuk mengekspresikan seni dan budayanya;
kebutuhan rohani melalui aktivitas keagamaan. Artinya
pemberdayaan pura semata untuk memenuhi kebutuhan manusia
akan nilai-nilai ketuhanan yang bersifat rohaniah yang
diimplementasikan ke dalam konsep parahyangan, kebutuhan
manusia secara jasmaniah (pawongan) dan kebutuhan untuk hidup
dialam semesta atau lingkungan hidup (palemahan). Tujuan ini
adalah inti dari ajaran Tri Hita Karana yang implementasinya
secara konkrit juga dilakukan di pura berdasarkan Tri Mandala,
yaitu nista mandala untuk kegiatan manusia secara profan, madya
mandala masih untuk kegiatan manusia tetapi lebih berorientasi
kepada Tuhan dan utama mandala total untuk Tuhan.

c. Berdasarkan dua poin di atas, apa yang dimaksud dengan total


management quality telah secara nyata dan langsung dilakukan oleh
para pengempon secara mandiri dan otonom meskipun berada
dalam atap yang sama, yakni manajemen pemerintahan baik
melalui desa pakraman maupun desa dinas. Artinya Pengempon
Pura Kawitan, Pura Swagina, Pura Kahyangan Tiga dan Pura
Kahyangan Jagat tetap berada dalam satu wilayah. Sinergi ini
menghasilkan kemampuan untuk membagi kekuatan kepada para
leader dari masing-masing komunitas (pengempon). Sebagai contoh,
pemberdayaan Pura Kawitan akan diserahkan kepada kelihan
maksan atau pemaksan; pura swagina, seperti subak diserahkan
kelihan subak; Pura Kahyangan Tiga diserahkan kepada Jero Bendesa
dan Pura Kahyangan Jagat oleh Pemda, Kementerian Agama dan
majelis umat Hindu. Selain itu, dengan berdasarkan awig-awig
yang dibuat di masing-masing pura, akuntabilitas dari
pemberdayaan umat dan pengelolaan bantuan misalnya, dapat
dilakukan secara transparan karena legitimasi agama berupa awig-
awig menjadi pengikat moral kepercayaan umat. Melalui awig-awig
pula, para pengempon dan pengurus pengempon serta para leadernya
(kelihan dan bendesa) akan diikat secara spiritual dan niskala
melalui konsep karmaphala yang tidak bisa dilanggar.

214 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


2. Rekomendasi
a. Dalam memberikan bantuan, sebaiknya mengakomodir spesifikasi
yang berlaku di daerah tertentu dengan kearifan lokal yang
digunakan sebagai falsafah bagi penganutnya. Hal ini karena
seringkali terjadi perbedaan yang sangat krusial ketika spesifikasi
yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat tidak sesuai dengan
spesifikasi di daerah. Di Bali, misalnya, barang atau benda yang
dipersembahkan ke pura tidak dapat dinilai dengan ukuran uang
karena selain mengandung dimensi estetis juga berdimensi
religious, yakni sebagai yajna atau persembahan suci
b. Perencanaan bantuan perlu mempertimbangkan kebutuhan riil
dari pengguna bantuan, termasuk standar kuantitas nominal
sebuah bantuan. Misalnya, perlu dipikirkan bantuan utuh
terhadap sebuah bangunan pura, bukan sepotong-sepotong
karena akan berdampak pula dalam menyusun Laporan
Pertanggung Jawaban (LPJ). Misalnya, bantuan pembangunan
bale kulkul, bale agung, padmasana, dll, bukan bantuan kulkulnya
saja, atau balenya saja.
c. Perlu standarisasi dari peruntukan dan pertanggung jawaban atas
bantuan yang diterima karena masing-masing instansi memiliki
ukuran yang berbeda-beda, sehingga berdampak pada orientasi
para penggunanya. Misalnya, LPJ kepada Pemda Bali relatif lebih
mudah dan sederhana dengan LPJ kepada Kementerian Agama.
Kendalanya memang karena Kementerian Agama adalah instansi
vertical sehingga belum bisa mengodopsi sistem tersebut.
d. Atas berbagai kendala yang ditemukan, perlu secara terus
menerus dilaksanakan sosialisasi, bimbingan teknis hingga
pendampingan kepada pengguna bantuan, sehingga tertib
administrasi sampai ke tingkat bawah yang menjadi keinginan
pemberi bantuan, khususnya Kementerian Agama dapat
melakukan perencanaan yang matang, pengawasan yang
maksimal dan evaluasi yang komprehensif, sekaligus
membelajarkan umat untuk menjadi masyarakat yang
berintegritas sejalan dengan agama yang dianut dan akuntabel
dengan menganut prinsip transparansi
***

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 215


Daftar Pustaka

Nordholt, Henk Schulte. 2010. Bali Benteng terbuka 1995-2005. Terjm. Arif B.
Prasetyo dari Bali, an open fortress, 1995-2005. Regional autonomy,
electoral democracy and entrenched identities. Denpasar: Pustaka
Larasan.
Pemerintah Daerah Tingkat I Bali. 1993/1994. Himpunan Keputusan Seminar
Kesatuan Tafsir terhadap aspek-aspek Agama Hindu I- XV.
Picard, Michel. 2006. Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Terjm.
Jean Couteau dan Warih Wisatsana dari Bali: Tourism Culturel et
culture tourisque, 1992. Jakarta: Forum Jakarta-Paris.
Siwananda, Sri Swami. 2003. Inti Sari Ajaran Agama Hindu. Surabaya:
Paramita.
Tim Penyusun. 2013. Profil Kementerian Agama Kota Denpasar. Denpasar:
Kementerian Agama Kota Denpasar.
Tim Penyusun. tt. Ika Likita (Monografi Desa Pakraman Ubung) Denpasar:
Desa Pakraman Ubung.
Tim Penyusun. 1999/2000. Monografi Pura Subak Pakel. Denpasar: Pura
Subak Pakel
Tim Penyusun. 2013. Pertanggungjawaban Bantuan Keuangan Kantor
Kementerian Agama Kota Denpasar Tahun 2013.
Tim Penyusun. 2014. Rekapitulasi Laporan Keuangan Desa Pakraman Ubung
Tahun 2013 dan 2014.
Wiana, I Ketut & Raka Santeri. 1993. Kasta dalam Hindu Kesalahpahaman
Berabad-Abad. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.
Wiana, I Ketut. 1995. Yajña dan Bhakti dari Sudut Pandang Agama Hindu.
Denpasar: Pustaka Manikgeni.
Wiana, I Ketut. 2006. Menyayangi Alam Wujud Bhakti Pada Tuhan, Surabaya:
Paramita.
Wiana, I Ketut. 2007. Tri Hita Karana menurut Konsep Hindu. Surabaya:
Paramita.

216 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


MODEL PEMBERDAYAAN VIHARA DI KOTA
SEMARANG:
Memandirikan Vihara melalui Pendidikan

Oleh:
Achmad Rosidi

Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Pegawai Negeri Sipil (PNS) beragama Buddha yang bertugas di


Kantor Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah terdiri dari satu orang
pembimas dan tiga orang staf. Sebanyak satu orang adalah tenaga honorer,
sedangkan tenaga penyuluh agama Buddha berstatus PNS sebanyak 5
orang dan tenaga penyuluh honorer sebanyak 250 orang. Sementara itu,
rumah ibadat umat Buddha (vihara) di wilayah Jawa Tengah berjumlah
553, dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 1: Rumah Ibadat Umat Buddha

No Daerah Jumlah

1. Kabupaten Banjar Negara 7


2. Kabupaten Banyumas 16
3. Kabupaten Batang 1
4. Kabupaten Blora 5
5. Kabupaten Boyolali 20
6. Kabupaten Brebes 2
7. Kabupaten Cilacap 21
8. Kabupaten Demak 4
9. Kabupaten Grobogan 20
10. Kabupaten Jepara 45

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 217


11. Kabupaten Karanganyar 8
12. Kabupaten Kebumen 19
13. Kabupaten Kendal 8
14. Kabupaten Klaten 17
15. Kabupaten Kudus 13
16. Kabupaten Magelang 6
17. Kabupaten Pati 29
18. Kabupaten Pekalongan 2
19. Kabupaten Pemalang 3
20. Kabupaten Purwokerto 9
21. Kabupaten Rembang 14
22. Kabupaten Semarang 63
23. Kabupaten Sragen 4
24. Kabupaten Sukoharjo 9
25. Kabupaten Tegal 3
26. Kabupaten Temanggung 98
27. Kabupaten Wonogiri 36
28. Kabupaten Wonosobo 8
29. Kota Magelang 1
30. Kota Pekalongan 3
31. Kota Salatiga 7
32. Kota Semarang 39
33. Kota Surakarta 11
34. Kota Tegal 2
Jumlah 553

Sedangkan nama-nama dan alamat vihara di Kota Semarang dapat


dibaca dalam tabel berikut:

218 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Tabel 2: Vihara di Kota Semarang

No Nama Vihara Alamat

1. Adi Dharma Jl. Widoharjo No 22


2. Buddha Gaya Jl. Watu Gong
3. Buddha Dipa Ds. Pakintenan Kec. Gunung Pati
4. C. Setya Budhi Jl. Jagalan No 48
5. Candra Kumara Jl. Candirejo 01/II Mukti Harjo Kidul
6. Cetiya Surya Sukamma Ramsi Jl. Veteran 59A Semarang
7. Gong Suan Tong Jl. Kenanga No 15 Semarang
8. Gungung pati Ds. Sadeng Kec. Gunung Pati
9. Maha Bodhi Jl. Seroja Timur No 11
10. Maha Bodhi Maitreya Jl. Ligu Utara No 476-477
11. Maha Welas Asih Jl. Taman Hasanuddin No A 19
12. Mahavira Graha Jl Marina Semarang
13. Maitri Jl. Kapas Tengah V/F 770 Genuk Indah
14. Sasana Santi Jl. Peterongan Kobong No 24
15. Satya Buddha Dharma Jl. Citarum Raya No 108B Semarang
16. Satya Maitreya Jl. Beton Mas Selatan No 18B
17. Setya Dharma Jl. Kentangan 93 Semarang
18. Tanah Putih Jl. Dr. Wahidin 12 Semarang
19. TI Sansosial Rasa Dharma Jl. Gang Pinggir No 31 Semarang
20. TITD Buddhi Luhur Sakti Jl. Tanjung Mas Lingkar No 2 Semarang
21. TITD Dharma Abadi Jl. Dr. Suratmo Kav No 193 Semarang
22. TITD Granjen Jl. Granjen Karanglo 103 Semarang
23. TITD Hok San tong Jl. Sebandaran Timur 368 A
24. TITD Hok Sing Bio Jl. Bugangan No 42 Semarang
25. TITD Hoo Hok Bio Jl. Gang Cilik No 7 Semarang
26. TITD Kam Hok Bio Jl. Layur No 12 Semarang
27. TITD Ling Hok Bio Jl. Gang Pinggir No 110 Semarang
28. TITD Lithang Kong How Coe Jl. Gang Lombok No 62 Semarang
29. TITD Sam Poo Kong Jl. Simongan 129 Semarang
30. TITD San Kin Tong Jl. Taman Pakunden Timur No 14
31. TITD Seeho Kiong Komplek Jl. Sebandaran I/32 Semarang
32. TITD Sinar Samudera Jl. Gang Pinggir 105-107.
33. TITD Sinar Tao Jl. Madukara Semarang Blok A BB
34. TITD Sioe Hok Bio Jl. Wot Gandul 38 Semarang
35. TITD Tang Pik Bio Jl. Gang Pinggir No 70 Semarang
36. TITD Tay Kak Sie Jl. Gang Lombok No 62 semarang
37. TITD Wie Hwie Kiong Jl. Sabandaran I / 26 Semarang
38. Vimalakirti Jl. Rejomulyo III/24 Semarang
39. Vihara Watugong Jl. Raya Pudak Payung Watugong

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 219


A. Model Pemberdayaan Vihara Tanah Putih
1. Sejarah dan Profil Vihara
Vihara Tanah Putih berdiri pada 1960-an dari keinginan yang
kuat para pemeluk umat Buddha kota Semarang terhadap tempat
ibadat yang memadai. Rintisan awal lokasi vihara berada di Jl. Dr.
Wahidin No. 6 sebagai tempat pembinaan umat Buddha. Sejak 1
Januari 1965 wihara tersebut resmi digunakan sekaligus deklarasi
pendirian organisasinya, yaitu Buddhist Indonesia. Sebagai tempat
Puja Bhakti, tempat ibadahnya dinamakan dengan Vihara Maha
Dhammaloka. Pada perkembangannya, vihara tersebut dirasa sudah
kurang memadai dan tidak menampung umat yang melakukan puja
bhakti dan perayaan keagamaan. Untuk mengatasi persoalan tersebut,
pada 1970-an dipilih tempatnya di Jl. Dr. Wahidin Nomor 12.
Pada 23 Oktober 1976, Sangha Theravada Indonesia (STI) atas
prakarsa Bhikkhu Ym. Bhante Anggabalo, Ym. Bhante Khemasarano,
Ym. Bhante Sudhammo, Ym. Bhante Khemiyo, Ym. Bhante
Nanavuttho, dibentuklah Dhammasala Vihara Tanah Putih yang kini
menjadi ruang serba guna. Selain itu juga diselenggarakan Pabbajja
Samanera (latihan menjadi samanera) yang pertama kali
diselenggarakan di Indonesia. Pabbajja samanera adalah satuan
pendidikan keagamaan Buddha pada jalur pendidikan non-formal.87
Perkembangan Vihara Tanah Putih dimulai pada tanggal 1
Januari 1965, dengan diresmikannya Vihara Maha Dhammaloka
beralamat di Jl. Dr. Wahidin No. 6 itu. Vihara Maha Dhammaloka ini
berada di bawah pengelolaan Yayasan Buddha Canti yang diprakarsai
oleh Poa Bing Swan dan kawan-kawan. Di dalam Vihara tersebut
terdapat Rupang Buddha di atas altar Dhammasala yang merupakan
persembahan dari raja dan masyarakat Thailand. Hal tersebut tidak
lepas dari jasa mendiang Jenderal Gatot Subroto dapat sampai di
Indonesia. Pada akhir 1977, Dhammasala yang baru walaupun belum
berpintu telah digunakan sebagai tempat perayaan Kathina, yaitu hari
berdana bagi para Bhikkhu yang meliputi empat kebutuhan pokok

87Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Tentang


Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan

220 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


bagi para Bikkhu, seperti jubah, makanan, obat-obatan, dan tempat
tinggal.
Vihara Tanah Putih merupakan pusat kegiatan agama Buddha
dan sebagai tempat yang banyak menerima tamu kehormatan (Bikkhu
dari mancanegara) yang berkunjung serta membabarkan Dhamma.
Demikian juga upacara-upacara perayaan Waisak di Vihara Tanah
Putih sejak 1970an hingga awal 1980an selalu dihadari oleh para
Bikkhu mancanegara. Dhammasala Vihara Tanah Putih pernah
digunakan sebagai tempat Upasampada Ym. Bhante Kuladhiro pada
bulan Oktober 1979.

Pada 1980an, sejak Ym. Bhante Khemasarano menetap di


Vihara Tanah Putih, tercatat banyak para Bikkhu dan samanera yang
berdiam sementara untuk memperdalam Dhamma. Ym. Bhante
Khemasarano Thera menjabat sebagai kepala Vihara Tanah Putih era
1980 hingga 1990. Beliau telah banyak memberikan sumbangsih untuk
perkembangan Vihara. Tokoh lainnya yang sangat berperan ialah
mendiang Bapak KB. Soetrisno yang merupakan romo pandita yang
aktif dalam membabarkan Dhamma dan menjabat sebagai Ketua
Yayasan Buddha Canti hingga akhir hayatnya.

Vihara Tanah Putih sudah seringkali menyelenggarakan


Pabbaja Samanera yang diselenggarakan oleh Sangha Theravada
Indonesia dan telah banyak melahirkan Bhikku. Pada perayaan
upacara keagamaan, Vihara Tanah Putih selalu menyelenggarakan
empat hari besar agama Buddha, yaitu Maghapuja, Visakhapuja,
Asalhapuja, Khatinapuja. Karena memiliki peran dalam sejarah
perkembangan Theravada di Indonesia, Vihara Tanah Putih ini
beberapa kali digunakan untuk rapat pimpinan Sangha Theravada
Indonesia. Untuk kepengurusan organisasi, Vihara Tanah Putih
menjadi kantor kedudukan Pimpinan Darah Theravada Jawa Tengah.

Vihara Tanah Putih memiliki berbagai ruangan beserta


kegunaannya masing-masing. Ruangan yang dibangun dengan tujuan
yang beranekaragam sehingga dapat membantu kenyamanan umat
dalam bermeditasi. Vihara ini semula direncanakan akan dilakukan
perbaikan (renovasi) melalui empat tahap, yaitu tahap pertama telah

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 221


selesai dan hingga kini belum dilakukan tahap kedua. Renovasi tahap
pertama dilakukan kurang lebih dalam dua tahun. Setelah selesai
renovasi, kemudian diresmikan pada 12 Februari 2011 oleh Walikota
Semarang.

Wadah kegiatan berupa organisasi yang ada di Vihara Tanah


Putih itu memiliki empat macam yang masing-masing memiliki tugas
dan fungsi tersendiri. Keempat wadah tersebut adalah:

a. Sangha Theravada Indonesia (STI) membawahi para Bhikku.

b. Majelis Theravada Indonesia (Magabudhi) yang membawahi para


romo.

c. Wanita Theravada Indonesia (Wandani) yang membawahi wanita


umat Buddha Theravada.

d. Pemuda Theravada Indonesia (Patria) mewadahi anak-anak muda


pengikut Theravada.

Semua wadah tersebut memiliki aktivitas di vihara yang


selalu terjalin dengan sangat baik sehingga terdapat koordinasi yang
baik dalam membentuk satu organisasi atau keluarga besar.
Organisasi tersebut dinamakan KBTI (Keluarga Besar Theravada
Indonesia).88

2. Model Pemberdayaan oleh Yayasan Buddha Canti

Vihara Tanah Putih adalah salah satu aset yang dimiliki oleh
Yayasan Buddha Canti yang beralamat di Jl. Dr. Wahidin No 6 & 12
Semarang Desa Jomblang Kecamatan Candi Sari Provinsi Jawa
Tengah. Sebagai organisasi, Yayasan Buddha Canti dipimpin oleh
Sutikno berdiri pada tahun terdiri 1965. Lokasi vihara dan yayasan
memiliki luas bangunan 2500 m2 dan menempati lahan tanah seluas
5000 m2. Legalitas rumah ibadat telah mendapatkan pengesahan atas
perizinan dengan status terdaftar di Kemenkumham no 381/2007.

88 Wawancara dengan Romo Arief Wijaya, 30 Mei 2014.

222 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Status Tanah adalah Hak Guna Bangunan di Kementerian Agama
Provinsi Jawa Tengah.

Daya tampung maksimal Vihara Tanah Putih sebanyak 400


orang, dilayani oleh 45 orang pengurus dan 8 orang pembimbing
agama. Jumlah umat tetap yang dilayani terdiri atas anak usia sekolah
sebanyak 75 anak, usia remaja dan pemuda sebanyak 125 serta orang
tua sebanyak 90 orang. Umat yang dilayani di Vihara Tanah Putih
memiliki profesi yang bermacam-macam, diantaranya karyawan
sebanyak 85, pedagang sebanyak 65, PNS sebanyak 5 orang dan lain-
Lain sebanyak 9 orang.

3. Bangunan Fisik
a. Ruang Dhammasala
Ruang ini merupakan ruang utama di Vihara Tanah Putih yang
memiliki luas 750 m2, dan digunakan untuk melakukan kebaktian
(Pujabakti) dengan membaca Paritta. Juga terdapat ruang
meditasi, Dhamma Dissana (khotbah dhamma) di dalamnya
terdapat rupang Buddha raksasa di atas Dhammasala. Di sisi
kanan kiri dinding ruangan terdapat relief yang menggambarkan
kisah perjalanan Sang Buddha Gautama dari kelahirannya hingga
mencapai pencerahan (Nibbana).
b. Ruang Kuti
Bangunan ini berbentuk seperti rumah yang merupakan tempat
tinggal para Bikkhu dan samanera. Terdapat tiga orang Bhikku
yaitu Bikkhu Cattamana, Bikhhu Dammamito dan Bikkhu
Attakusalo. Juga ada dua orang samanera (calon Bikkhu) yang
menempati Kuti tersebut.
c. Ruang Sekolah Minggu
Di dekat ruang samanera terdapat ruang sekolah Minggu bagi
para umat yang masih sekolah, yang duduk di tingkat SD, SMP
dan SMA menempati gedung seluas 300 m2
d. Ruang Abu

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 223


Ruangan ini digunakan untuk menyimpan abu jenazah bagi para
umat Buddha yang salah satu keluarganya telah meninggal dunia.
Untuk proses pembakaran, Yayasan Buddha Canti tidak
menyediakan Krematorium. Lokasi kremetorium terdekat berada
di Kedung Mundu Kota Semarang.
e. Ruang Serba Guna

Ruangan ini sering digunakan sebagai tempat Dhamma Class,


pengajaran-pengajaran tentang Dhamma, serta dapat digunakan
pula sebagai tempat pertemuan saat ada acara bersama dengan
pihak luar Vihara, seperti diskusi bersama antarpemeluk agama,
acara pernikahan umat Buddha, dan lain sebagainya.

f. Ruang tamu Bhante

Ruangan ini berbentuk segi empat dengan luas 300 m 2, yang


didigunakan untuk menjamu tamu-tamu khusus Bhante.

g. Kantor Sekretariat

Kantor sekretariat seluas 35 m2 menempati lokasi di dekat tempat


parkir kendaraan umat. Lahan parkir seluas 700 m2 dapat
menampung kendaraan umat baik kendaraan roda dua maupun
roda empat. Kantor sekretariat memiliki tugas mengatur segala
aktivitas yang ada serta dana sumbangsih bagi perkembangan
Vihara Tanah Putih. Fasilitas penunjang berupa sambungan
telephone, 2 unit komputer yang tersambung ke internet, sebuah
meja kantor dan lemari filling cabinet. Kendaraan operasional
berupa satu buah sepeda motor Honda Supra dan satu unit mobil
Suzuki APV yang digunakan salah satunya untuk memenuhi
kebutuhan para Bikkhu. Kantor ini pula yang mengkoordinir
tugas melayani kebutuhan para Bikkhu seperti kebutuhan makan,
baju ganti dan aktivitas ke luar. Para karyawan harian yang
bekerja di Wihara tanah putih ada 6 orang yang terdiri dari satu
orang di sekretariat, 3 orang bagian keamanan (sekuriti), 2 orang
sopir, dan 2 orang bertugas mengurusi Dhammasala dan
kebutuhan para Bikkhu.

224 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


h. Ruang Metta Karuna
Ruangan Kebaktian atau “Siamsie” bagi umat Konghucu atau
Tionghoa terletak di lokasi bangunan awal Vihara Tanah Putih.
i. Perpustakaan
Ruang selus 50m2 ini menyediakan berbagai macam buku
pengetahuan yang terkait dengan ajaran-ajaran Buddha yang
sangat dibutuhkan oleh umat.
j. Pohon Boddhi
Merupakan pohon yang mana sang Buddha memperoleh
pencerahan saat meditasi di bawah pohon Boddhi. Pohon tersebut
ditanam semenjak berdirinya Vihara.
k. Gudang
Ruang seluas 40 m2 ini digunakan untuk gudang masih
difungsikan dengan baik untuk menyimpan berbagai macam alat-
alat.
l. Taman
Untuk mempercantik lingkungan Vihara, taman dengan luas 1000
m2 sangat bermanfaat bagi keindahan lokasi vihara.
m. Buddhist Shop
Buddhist Shop yang menjual berbagai macam kebutuhan umat
Buddha, seperti buku-buku bacaan, hiasan atau ornamen-
ornamen Buddha, cinderamata (souvenir) bertuliskan Vihara
Tanah Putih, kaset/rekaman ceramah-ceramah para Bikkhu
perlengkapan untuk beribadah seperti dupa, lilin, dan lain-lain.
Ruangan yang berbagai raga mini dapat dimanfaatkan dengan
baik oleh mereka para umat Buddhis Theravada Vihara Tanah
Putih Semarang.

4. Pelayanan dan Sumber Dana


a. Pelayanan
1) Ibadah Rutin (Puja Bakti)
Puja Bakti diselenggarakan oleh Vihara Tanah Putih pada hari
Minggu sebanyak 2 gelombang (kelompok), yaitu pukul

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 225


07.00-09 WIB dan kedua dilaksanakan pukul 09.00-11.00 WIB.
Secara rinci dapat dilihat dalam tabel.
2) Sekolah Minggu

Sekolah minggu diselenggarakn oleh yayasan Buddha Canti


diikuti oleh anak-anak yang orang tuanya mengikuti Puja
Bakti di Dhammasala sejak usia SD sampai SMA. Pengajar
dari sekolah minggu adalah guru agama Buddha yang
direkrut oleh Yayasan untuk memberikan wawasan keilmuan
agama Buddha yang sesuai dengan usia anak-anak tersebut.
Sekolah ini tidak dipungut biaya, hanya saja orang tua/wali
dianjurkan untuk menyalurkan dana pemberdayaan Vihara
semampunya. Materi yang diajarkan adalah berkaitan dengan
ajaran agama Buddha.

Tabel 3: Jadual Puja Bhakti


No Hari Waktu Kegiatan
1 Minggu 07.00 – 09.00 WIB Puja Bhakti umum
09.00 – 11.00 WIB I Puja Bhakti
09.00 – 10.00 WIB umum II Sekolah
Minggu
2 Rabu 19.00 – 21.00 WIB Latihan meditasi
3 Sabtu 17.00 – 19.00 WIB Kegiatan Muda
(minggu Mudi
pertama)

3) Konsultasi umat
Konsultasi umat dilayani langsung oleh para Bikkhu di vihara
Tanah Putih dan dibantu oleh para romo yang sudah lama
memberikan pelayanan pada saat ibadah rutin.
4) Wisuda
Pelayanan untuk umat yang hendak diwisuda adalah pada
saat yang telah diniatkan dengan bulat untuk mengikuti

226 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Buddha. Biasanya ditandai dengan pemberian nama Buddhist
kepada orang-orang tersebut dengan tetap menyematkan
nama aslinya. Pemberian nama Buddhist (wisuda) dilakukan
pada saat seseorang telah bertekad untuk melaksanakan sila
yang telah diajarkan Buddha.89
b. Sumber Dana
Dana yang dihimpun Yayasan Buddha Canti untuk kegiatan
Vihara Tanah Putih berasal dari penyimpanan abu jenazah,
Budhist Shop dan dana sukarela dari umat.
1) Penyimpanan Abu Jenazah
Tempat ini merupakan salah satu unit usaha yang sangat
besar andilnya dalam penggalian dana untuk pengembangan
vihara. Rumah ini berfungsi untuk menyimpan abu jenazah
keluarga umat Buddha yang telah dikremasi. Jumlah yang
menitipkan abu jenazah setiap tahun mengalami perubahan,
bergantung pada keinginan keluarga yang menitipkan abu
tersebut. Saat penelitian ini dilakukan, umat yang menitipkan
abu jenazah di rumah abu sekitar 500-an. Biaya penitipan abu
antara Rp 15.000 s.d Rp 20.000 setiap bulan. Selain itu, di
rumah abu juga disediakan kotak yang diperuntukkan bagi
yang hendak menyerahkan dananya secara sukarela. Jika
keluarga yang menitipkan abu di rumah tersebut
menganggap waktu penyimpanannya sudah cukup, mereka
mengambil abu tersebut dan kemudian dibuang ke laut.
Waktu berkunjung ke rumah abu mulai pukul 08.00 s.d 16.00
WIB. Ruang penyimpanan abu ini dijaga oleh satu orang
karyawan.
2) Buddhist Shop
Tempat usaha ini beralamat di Jl. Wahidin No 2, yang
lokasinya berdampingan dengan vihara yang lama. Meski
dijaga hanya satu orang, properti yang terdapat di toko ini

89 Pria asal Salatiga ini berusia 24 tahun dengan nama asli Ngatino. Setelah

dewasa dan diwisuda memiliki nama Buddhist pada usia 21 tahun dengan nama Acaro
yang artinya memiliki kesopanan. Tino telah bekerja di Vihara Tanah Putih selama 2
tahun.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 227


cukup banyak yaitu berbagai macam kebutuhan umat
Buddha, seperti buku-buku bacaan, hiasan atau ornamen-
ornamen Buddha, cinderamata (souvenir) bertuliskan Vihara
Tanah Putih, kaset/rekaman ceramah-ceramah para Bikkhu
perlengkapan untuk beribadah seperti dupa, lilin, dan lain-
lain. Ruangan yang terbilang sederhana ini memiliki berbagai
ragam barang-barang yang dapat dimanfaatkan dengan baik
oleh umat Buddha.
3) Kantin
Kantin menyediakan makanan dan minuman yang
dibutuhkan oleh umat pada saat mengunjungi vihara, baik
pada saat ibadah minggu maupun pada saat mereka
konsultasi dengan Bikkhu. Kantin ini melayani pengunjung
pukul 07.00-13.00 WIB.
4) Sumbangan Sukarela
Dana sukarela ini diperoleh dari umat pada saat Puja Bakti
mingguan dan perayaan-perayaan hari besar Buddha.
Perayaan hari besar, seperti yang dilakukan oleh umat Tri
Dharma (TITD) dikenal dengan upacara Ulambama, di
Theravada dikenal dengan istilah Patti Dana yaitu
pelimpahan jasa dari yang menyerakan dana (uang) kepada
Vihara, jasa dilimpahkan kepada para leluhur yang telah
meninggal dunia. Para leluhur akan menerima perbuatan baik
(jasa) yang dilakukan oleh yang masih hidup untuk
dilimpahkan kepada mereka. Patti Dana dilakukan dengan
cara melakukan kebajikan. Nominal yang disediakan pada
acara Patti Dana bervariasi antara Rp 200.000-Rp 500.000.
Kegiatan Patti Dana dilaksanakan setahun satu kali.

5. Kegiatan Pendukung Lainnya


a. Dhamma class setiap Minggu akhir bulan
b. Dhamma artinya ajaran Sang Buddha yang mengandung
kebenaran tertinggi yang membimbing manusia untuk
mencapai Kebebasan.

228 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


c. Bincang-bincang antar agama setiap 3 bulan
d. Anjangsana dan ulang tahun umat lansia
e. Donor darah rutin per 3 bulan ( pada waktu merayakan hari
raya Buddhis )
f. Sebulan Pendalaman Dhamma, 1 bulan penuh menjelang hari
raya Tri Suci Waisak
g. Dhamma tour remaja, setiap liburan sekolah ( 2x per tahun )
h. Bakti sosial (pengobatan, bantuan bencana alam )
i. Mendokumentasikan lagu-lagu Buddhist dan kotbah para
bhikkhu dalam bentuk kepingan CD.
j. Mimbar agama Budhha di Radio Gajah Mada FM dan TVRI
Jawa Tengah tiap bulan
k. Puja Pralaya
l. Visudhi upasakha upasikha dan Perkawinan Buddhis
m. Vihara Tanah Putih menyelenggarakan pelayanan ini untuk
umat yang telah resmi menjadi umat dan mengikuti Buddha
serta bertekad untuk mengamalkan ajaran sang Buddha
dalam kehidupan sehari hari maupun dalam acara ritual
religiusnya.
n. Ulang tahun bersama tiap akhir bulan

6. Aksi Sosial
Modal sosial yang dimiliki oleh Vihara Tanah Putih merupakan
aset yang berharga sehingga dapat menjadikannya makin hari
makin nampak geliatnya. Beberapa kegiatan yang dilakukannya
seperti penanaman pohon-pohon di pinggir jalan, pembagian bahan
kebutuhan pokok kepada masyarakat tidak mampu dan para janda.
Rutin pula dilakukan aksi donor darah sebagai wujud solidaritas
dan kepedulian terhadap sesama yang membutuhkan.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 229


Beberapa aksi insidentil digalang oleh Vihara Tanah Putih
bekerja sama dengan berbagai instansi baik pemerintah maupun
lembaga swasta. Aksi tersebut dilakukan pada saat kejadian atau
musibah bencana alam berupa banjir seperti banjir di daerah Pati,
Juwana dan Kudus pada awal tahun 2014. Juga tanggap bencana
terhadap korban letusan Merapi dan Kelud. Dengan dibantu oleh
berbagai pihak dan donatur, Vihara Tanah Putih dapat menyalurkan
bantuan-bantuan yang dibutuhkan oleh para korban bencana alam
tersebut.

7. Bantuan Pemerintah
Menurut informasi yang diperoleh dari narasumber yang tidak mau
disebutkan, Yayasan Budhi Canti ini sama sekali belum pernah
mendapat bantuan dari pemerintah untuk pembangunan rumah
ibadat. Masalahnya adalah jumlah bantuan untuk rumah ibadat
sekalipun untuk operasional dirasa sedikit namun persyaratan yang
ditentukan dan harus dipenuhi oleh yayasan atau vihara menurut
mereka terlalu rumit. Sehingga sampai saat ini, semua dana yang
ada dan digunakan untuk menunjang kegiatan vihara diperoleh
murni dari upaya para donatur perorangan baik umat sendiri
maupun dari pihak lain.

B. Model Pemberdayaan Vihara Mahabodhi

Vihara Maha Bodhi beralamat di Jl. Seroja Timur 11 Semarang


adalah salah satu vihara aliran Budhayana. Di samping memberikan
pelayanan umat berupa spiritual, juga menyelenggarakan fungsi
sosialnya. Vihara ini dipimpin oleh Bhante Nyanasuryanadi. Pada
perkembangannya, kiprah vihara ini cukup besar dan namun sarana
yang dimiliki sangat terbatas.
Vihara ini lebih banyak melakukan kegiatan sosial yang
dilakukan oleh Vihara Maha Bodhi seperti memberikan bantuan untuk
korban Merapi, gempa di Jogja, banjir di wilayah Cilacap. Juga
menyalurkan bantuan untuk kaum fakir miskin dan lansia berupa
bahan pokok. Kegiatan sosial ini diselenggarakan pada saat saat

230 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


perayaan Tri Suci Waisak. Namun, dapat dipastikan vihara ini lebih
banyak mengelola pendidikan dan berikut penjelasannya.

1. STIAB SMARATUNGGA

Berdirinya Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha (STIAB) ini


berawal dari permasalahan yang dihadapi oleh Dharmaduta Vihara
Mahabodhi Semarang yang pada saat itu mengalami kesulitan dalam
pembinaan umat Buddha di Wilayah Jawa Tengah. Untuk
mengantisipasi keterbatasan yang ada pengurus Vihara mengadakan
pelatihan Dharmaduta, namun usaha tersebut mengalami hambatan.
Dalam upaya memenuhi kebutuhan akan dharmaduta,
beberapa tokoh umat Buddha Vihara Maha Bodhi bersama dengan
Majelis Buddhayana Provinsi Jawa Tengah mengambil inisiatif untuk
mendirikan perguruan tinggi agama Buddha yang diberi nama
Pendidikan Guru Agama Buddha (PGAB) SMARATUNGGA di Ampel
Boyolali. Kemudian dibentuklah Yayasan Sariputra Sadono sebagai
badan pengelola PGAB. Nama yayasan diambil dari nama tokoh
agama Buddha di Jawa Tengah, yaitu Romo Sariputra Sadono
almarhum.
Pada mulanya, kegitan pembelajaran diselenggarakan di
rumah penduduk Dukuh Ngelo Desa Kaligentong, Kecamatan Ampel,
Kabupaten Boyolali selama tiga tahun. Rupanya merupakan angin
segar bagi yayasan yang pada waktu itu mendapat kunjungan Y.M.
Bhante Ashin Jinarakkhitta selaku Maha Nayaka Sangha Agung
Indonesia. Bhante Ashin Jinarakkhitta merasa gembira dan langsung
memberi dukungan yang amat besar dengan memberikan sumbangan
dana sebesar satu juta rupiah untuk pembelian tanah seluas 600 m2.
Atas dukungan tersebut maka dimulailah pembangungan gedung
Sekolah PGAB SMARATUNGGA. Y.M. Maha Sthavira Ashin
Jinarakkhitta secara bertahap memberikan dukungan secara moril
maupun material hingga selesainya bangunan gedung hingga tahun
1985.
Pada tanggal 2 Januari 1986 didirikan Crash PGAB Diploma
Dua (D2) yang diikuti 18 mahasiswa sebagai cikal bakal STIAB

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 231


SMARATUNGGA. Kemudian diubah menjadi Akademi Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Agama Buddha (AKIB) SMARATUNGGA.
Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah No 30. 1989 tentang pendirian
perguruan tinggi, maka dari AKIB diubah menjadi Institut Ilmu
Agama Buddha (IIAB) SMARATUNGGA dengan Surat Keputusan
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha No.
H/15/SK/1989 tanggal 27 Juli 1989, yang didahului dengan Surat Ijin
Penerimaan Mahasiswa Baru Program D II, D III, dan S1 Guru Agama
Buddha oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan
Buddha No. H/TL-00/637/1988. Berdasarkan ketentuan Peraturan
Pemerintah No. 60 Tahun 1999, IIAB SMARATUNGGA berubah lagi
menjadi STIAB SMARATUNGGA dengan Surat Keputusan Direktur
Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha No. H/02/SK/2002
tanggal 2 Januari 2002.
Dalam mewujudkan maksud dan tujuan yang mulia ini, Y.M.
Maha Sthavira Ashin Jinarakkhitta bersedia menjadi Badan Pendiri
Yayasan Buddhayana. Yayasan tersebut kini diketuai oleh
Nyanasuryanadi Mahathera. Beliau juga sebagai Ketua Umum Sangha
Agung Indonesia. Sedangkan pimpinan Perguruan tinggi ini sekarang
adalah Bhikkhu Ditthisampanno.

Sesuai dengan tuntutan perkembangan globalisasi, dan laju


perkembangan masyarakat, serta perkembangan teknologi yang
semakin maju, maka para alumi STIAB SMARATUNGGA tentunya
membutuhkan pendidikan akademik dan profesional yang mantap
serta lebih profesional dibidangnya. Untuk maksud dan tujuan
tersebut maka dibutuhkan sarana dan prasarana pendukung berupa
penambahan gedung tempat perkuliahan dan gedung Sekolah
Laboratorium (Sekolah Tempat Praktek Mahasiswa). Sementara ini
Sekolah Laboratorium masih mempergunakan gedung STIAB
SMARATUNGGA. Pembangunan Sekolah Laboratorium ini akan
dilengkapi dengan pembanguan asrama bagi para siswa dan
mahasiswa serta kini telah memiliki laboratorium yang juga dapat
dimanfaatkan untuk memenuhi pembelajaran jenjang pendidikan
menengah, untuk program pelatihan Dharmaduta dan program Latih
Diri Pabbaja Samanera dan Upasika Athangasila sementara setiap
tahunnya juga untuk Latihan Vipassana.

232 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Kampus STIAB SMARATUNGGA terletak di Jl. Semarang-
Solo Km 60 Ampel, Boyolali, Jawa Tengah. Lembaga pendidikan
berpedoman pada esensi dasar ajaran Buddha dan bertanggungjawab
untuk berperan serta mencerdaskan kehidupan bangsa. STIAB
SMARATUNGGA menyelenggarakan pendidikan tinggi untuk
menghasilkan tenaga pendidikan buddhis yang cerdas, pluralis,
universal, dan konstektual sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta globalisasi. Dalam mewujudkan
akuntabilitas publik, STIAB SMARATUNGGA membangun sistem
penjaminan mutu secara internal dan eksternal dengan ditandai
jurusan Dharma Achariya sebagai satu-satunya jurusan di perguruan
tinggi buddhis yang Terakreditasi B oleh Badan Akreditasi Nasional
Perguruan Tinggi (BAN PT).
Untuk meningkatkan mutu pedidikan di STIAB
SMARATUNGGA telah melakukan kerja sama dengan perguruan
tinggi dalam negeri maupun luar negeri. Kompetensi lulusan untuk
dapat bersaing dalam dunia global mahasiswa dibekali paket
kompetensi profesional dalam komputer dan bahasa Inggris.

a. Visi dan Misi STIAB SMARATUNGGA


Visi Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha
SMARATUNGGA sebagai pusat keunggulan Pendidikan Agama
Buddha di Indonesia (Center Of Excellent Buddhist Education). Visi
ini dicapai melalui Misi, yaitu:
1) Mengembangkan pendidikan akademik dan/atau profesional
dalam bidang kependidikan dan nonkependidikan Buddhis
yang diarahkan untuk menghasilkan manusia berkesadaran
tinggi yang memiliki kecerdasan dan keterampilan yang
bermanfaat bagi dirinya sendiri, pembangunan bangsa, dan
negara;
2) Mengembangkan kegiatan penelitian, pendidikan,
pengabdian masyarakat untuk mengkaji dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 233


Buddhism yang menyejahterakan individu, masyarakat, dan
mendukung pembangunan.
3) Mengembangkan kegiatan pengabdian kepada masyarakat
yang mendorong pengembangan segala potensi alam dan
manusia, baik secara individu maupun bersama, untuk
mewujudkan masyarakat belajar.
4) Menghasilkan lulusan dengan integritas yang tinggi, terbuka,
peka serta mandiri, berkualitas, berperilaku baik, akademis,
terpadu, dan inklusif di dunia global.
Visi Program Studi, yaitu “Menghasilkan sumber daya
manusia dalam bidang tenaga kependidikan yang profesional dan
memiliki integritas yang tinggi, terbuka, peka serta mandiri
dengan dilandasi dan dijiwai oleh nilai-nilai Buddhayana”.
Sedangkan misinya adalah:
1) Mengembangkan pendidikan akademik dan/atau profesional
dalam bidang kependidikan dan nonkependidikan Buddhis
yang diarahkan untuk menghasilkan manusia berkesadaran
tinggi yang memiliki kecerdasan dan keterampilan yang
bermanfaat bagi dirinya sendiri, pembangunan bangsa, dan
negara;
2) Mengembangkan kegiatan penelitian, pendidikan,
pengabdian masyarakat untuk mengkaji dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
Buddhism yang menyejahterakan individu, masyarakat, dan
mendukung pembangunan.
3) Mengembangkan kegiatan pengabdian kepada masyarakat
yang mendorong pengembangan segala potensi alam dan
manusia, baik secara individu maupun bersama, untuk
mewujudkan masyarakat belajar.
4) Menghasilkan lulusan dengan integritas yang tinggi, terbuka,
peka serta mandiri, berkualitas, berperilaku baik, akademis,
terpadu, dan inklusif di dunia global.

234 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


b. Faktor yang Mempengaruhi Minat Mahasiswa Kuliah di STIAB
SMARATUNGGA

1) Faktor internal

Faktor yang tumbuh dalam diri mahasiswa memilih kuliah di


STIAB SMARATUNGGA, di antaranya kemauan mahasiswa,
kepercayaan (trust), minat, karier (masa depan).

2) Faktor eksternal

Faktor eksternal di antarannya keluarga, figur guru, ekonomi


keluarga, sarana atau prasarana pendidikan yang
mendukung, program beasiswa, kegiatan ekstrakurikuler dan
akreditasi perguruan tinggi. Untuk bidang ekstrakurikuler
STIAB SMARATUNGGA cukup memberikan pengaruh
kepada mahasiswa. Pada sekitar bulan Mei 2010 STIAB
SMARATUNGGA telah mengirimkan duta besar ke Thailand
lewat seni tari dan juga mengirim duta besar ke Singapura
juga lewat seni teater, sehingga hal ini membawa nama harum
STIAB SMARATUNGGA dan sekaligus mengundang minat
individu untuk melanjutkan ke STIAB SMARATUNGGA.

2. SMK PEMBANGUNAN Ampel

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) PEMBANGUNAN


Ampel merupakan lembaga pendidikan menengah yang sederajat
dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). SMK
PEMBANGUNAN Ampel merupakan peralihan nama dari Sekolah
Menengah Ekonomi Tingkat Atas (SMEA) PEMBANGUNAN sebagai
antisipasi pembubaran PGA Buddha SMARATUNGGA yang sudah
ditutup berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun
1991 yang menyatakan bahwa semua bentuk sekolah keguruan
(SPG/PGA) yang terdapat di wilayah Indonesia ditutup.

PGA Buddha SMARATUNGGA pada waktu itu berjalan


hingga meluluskan kelas terakhirnya pada tahun ajaran 1993/1994.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 235


Setelah kurang lebih satu tahun gedung PGA Buddha
SMARATUNGGA tidak difungsikan, untuk memanfaatkannya
kemudian direncanakan untuk membentuk suatu sekolah pengganti
yang berbentuk sekolah pendidikan.

Pembentukan SMEA PEMBANGUNAN itu sendiri


mengalami banyak sekali hambatan baik secara material maupun
administrasi. Berkat adanya bantuan yang mengalir dari berbagai
pihak, maka pembentukan gedung serta fasilitas pendukungnya dapat
terlaksana.

Pada kondisi demikian, akhirnya berdasarkan Surat


Keputusan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Kab. Boyolali No. 1474/103.09/A.E/94 tertanggal 06 Februari 1995 yang
berisi izin pendirian untuk mendirikan SMEA PEMBANGUNAN
Ampel-Boyolali.

SMEA PEMBANGUNAN pada Tahun Pelajaran 1996/1997


sesuai dengan keputusan pemerintah yang berkenaan dengan
penggantian nama sekolah kejuruan (STM/SMEA/sekolah kejuruan
lainnya yang diubah menjadi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
berganti nama menjadi SMK PEMBANGUNAN Ampel-Boyolali dan
pada 2007/2008 SMK PEMBANGUNANA telah terakreditasi dan
terbagi menjadi dua jurusan, yaitu Akuntansi dan RPL (Rekayasa
Perangkat Lunak) sampai sekarang.

Dalam dokumen resmi, tercatat SMK PEMBANGUNAN


AMPEL memiliki NPSN 00340090 dan NSS 342030902009. Sekolah ini
beralamat di Jl. Baru Kaligentong, Ampel, Boyolali Desa Kaligentong
Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali.

a. Kepengurusan

SMK PEMBANGUNAN berada di bawah naungan Yayasan


Sariputra Sadono yang sebelumnya juga menaungi PGA Buddha
SMARATUNGGA. Susunan pengurus yayasan tersebut saat ini
adalah:

236 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Ketua : Bhikkhu Nyanasuryanadi
Wakil Ketua : Bhikkhu Nyanakaruno
Sekretaris : Bhikkhu Nyanaputra
Wakil Sekretaris : Bhikkhu Nyanasubalo
Bendahara : Bhikkhu Nyanachandra
Sedangkan sebagai kepala sekolah adalah Bapak
Kartomo, S.Ag. Guru pendidiknya berjumlah 22 orang dari
berbagai bidang ilmu dan dibantu oleh 3 orang tenaga
administrasi, 1 tenaga teknisi, dan 1 penjaga sekolah.

b. Keadaan Siswa dan Lingkungan Fisik SMK PEMBANGUNAN


Sekolah ini terletak di Dukuh Tangkisan, Desa
Kaligentong, Kec. Ampel yang berdampingan dengan SMU Tunas
Harapan dan SLTP Kanisius Ampel. Disebabkan lingkungan yang
kurang mendukung, di samping gedung sempit dan kurang
memadai untuk proses belajar mengajar, SMK PEMBANGUNAN
Ampel-Boyolali terhitung mulai tahun Ajaran 2002/2003 pindah
dan menempati gedung baru yang terletak di Dukuh Ngelo, dan
masih di wilayah Desa Kaligentong, Kec. Ampel, Kab. Boyolali.

Prosentase keadaan siswa SMK PEMBANGUNAN


mengalami proses yang meningkat. Hal ini dipengaruhi oleh
animo masyarakat dan kepercayaan pada lembaga pendidikan
kejuruan. Pada tahun pertama berdirinya, yaitu tahun ajaran
1995/1996, SMK PEMBANGUNAN menerima siswa baru
sejumlah 37 siswa. Jumlah tersebut tidak memungkinkan untuk
membuka 2 jurusan, sehingga pada waktu itu baru satu jurusan,
yaitu Jurusan Akuntansi.

Pada tahun berikutnya, yaitu tahun ajaran 1996/1997


mengalami peningkatan yang bagus dengan menerima 65 siswa
baru yang kemudian dibagi menjadi 2 kelas dalam dua program
jurusan, yaitu Akuntansi dan Manajemen Bisnis. Pada Tahun

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 237


Ajaran 1997/1998 hanya menerima 35 siswa untuk satu jurusan,
yaitu Manajemen Bisnis. Pada Tahun Ajaran 1998/1999 menerima
45 siswa untuk satu jurusan yang sama.

Pada tahun ajaran 1999/2000 mengalami penurunan


karena hanya menerima 32 siswa untuk jurusan Manajemen
Bisnis. Penerimaan siswa baru pada tahun ajaran 2000/2001
menerima 32 siswa untuk jurusan Manajemen Bisnis, sedang pada
tahun ajaran 2001/2002 menerima siswa baru sebanyak 35 Siswa.
Pada Tahun Ajaran 2002/2003 setelah pindah ke gedung Baru
menerima 58 Siswa yang terbagi dalam dua kelas.

Pada tahun ajaran 2003/2004 menerima siswa berjumlah


74 siswa baru. Para siswa SMK Pembangunan merupakan siswa
yang beragam dan pluralis baik secara etnik, daerah maupun
agama, secara global terdiri dari beberapa daerah di luar kota
selain Ampel sendiri, antara lain dari Lampung, Jepara, Pati,
maupun Jawa Timur dan daerah lainnya.

c. Bantuan Pemerintah
Bantuan pemerintah untuk STIAB SMARATUNGGA
dirasakan sangat bermanfaat dan membantu kegiatan belajar
mengajar. Bantuan tersebut sebagaimana disampaikan oleh
Bhante Suryanadi adalah beasiswa untuk para mahasiswa yang
diterima setiap tahunnya, namun dalam jumlahnya dapat
bertambah atau berkurang. Beasiswa tersebut sangat menarik
minat calon mahasiswa untuk mengenyam pemdidikan di STIAB
SMARATUNGGA.
Adapun bantuan pemerintah untuk SMK
PEMBANGUNAN Ampel berupa bantuan operasional.
Sedangkan sumber dana yang rutin diperoleh dari SPP para siswa.
Bantuan juga berasal dari donatur meskipun diterima dalam
waktu yang tidak dapat dipastikan. Bantuan pemerintah
meskipun dalam jumlah kecil menurut manajemen sekolah juga
sangat dirasakan manfaatnya.

238 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Penutup
1. Simpulan
a. Pengelolaan manajemen di Vihara Tanah Putih dilakukan oleh
Yayasan Buddha Canti. Pelayanan yang dilakukan dibidang
keagamaan berupa peribadatan mingguan dan perayaan hari-hari
besar. Demikian pula pelayanan keagamaan yang diselenggarakan
oleh Vihara Buddhayana. Untuk pelayanan konsulting, umat
dapat menemui para Bikkhu setiap saat di vihara masing-masing.
b. Manajemen kelembagaan dibidang sosial diselenggarakan oleh
Yayasan, sementara urusan pelayanan keagamaan peran diambil
oleh vihara yang dipimpin oleh para Bikkhu. Modal sosial
didasarkan pada kepercayaan manajemen yayasan di figur para
Bikkhu.
c. Sumber dana di Vihara Tanah Putih yang terbesar diperoleh dari
para donatur baik perorangan maupun swasta, juga dari umat
yang dilayani di Vihara ini. Sedangkan dari Pemerintah belum
pernah memperoleh bantuan. Bantuan yang diterima dikelola oleh
yayasan untuk kebutuhan yang diperlukan oleh vihara.
Pengembangan bantuan belum nampak secara signifikan untuk
menunjang kemandirian vihara. Sedangkan dana yang diperoleh
oleh Vihara Maha Boddhi diperoleh juga dari para donatur dan
umatnya. Untuk bantuan dari pemerintah, bantuan berupa
bantuan operasional vihara, juga bantuan beasiswa untuk para
mahasiswa yang mengikuti perkuliahan di STIAB
SMARATUNGGA. Di bidang sosial, Vihara Maha Bodhi
menyelenggarakan pendidikan tinggi dan pendidikan kejuruan.
d. Faktor-faktor pendorong pengelolaan dana di kedua vihara
tersebut tidak lepas dari animo umat yang makin menyadari
peran yang diambil oleh vihara, juga kharisma para Bikkhu yang
memimpin di vihara juga makin besar. Meski dengan jumlah umat
yang sedikit di tengah mayoritas penduduk muslim, keberadaan
umat Buddha diakui kebebasannya dalam menjalankan
keyakinannya. Selama ini tidak pernah terjadi benturan dengan
umat lainnya.

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 239


2. Rekomendasi
a. Dinamika kedua Vihara tersebut memiliki karakteristik sendiri-
sendiri dan memiliki ciri khas masing-masing. Tokoh spiritual
(Bhikku) pada masing-masing vihara memiliki pengaruh yang
sangat kuat bagi perkembangannya.
b. Pemerintah (Dirjen Bimas Buddha Kemenag) sangat penting
melakukan pembinaan dengan cara pendekatan kerjasama
dalam melayani umat. Umat Buddha yang nota bene jumlah
umatnya terbatas ternyata memiliki persoalan yang sangat
rumit.
c. Sosialisasi alokasi bantuan kepada rumah ibadat Buddha secara
luas sehingga dapat dipahami oleh tokoh-tokoh yang ada di
vihara tersebut.
***

240 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Daftar Bacaan

Coleman, J.S., Social Capital In Creation of Human Capital, Amarican Journal


of Sociology, 94 Supplement: S95-120.
Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariat Ditjen Bimas Islam
Kementerian Agama. 2007. Pedoman Pemberdayaan Majid (Melalui
Aspek Idarah, Imarah, dan Ri’ayah).
Fukuyama F., 1995. The Social Virtues and The Creation of Prosperity.
Newyork: Free Press.
Halpen, David. 2005. Social Capital. Cambridge: Polity.
Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia Tahun 2012,
Balitbang dan Diklat Kementerian Agama.
PP Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan
Putnam, R.D., 1993. Marking Democracy Work: Civil Tradition In Modern Italy.
Princeton NJ: Princeton University Press.
Rais, Rahmat. 2009. Modal Sosial Sebagai Strategi Pengembangan Madrasah.
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.

Internet:
http://sosiohistoryedi.blogspot.com/2012/03/asal-usul-wangsa-
sailendra.html

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 241


242 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
EPILOG

Oleh Imam Addaruqutni


Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia (DMI)

Kebanggaan kita sebagai bangsa di antaranya adalah klaim kita


sebagai bangsa sekaligus umat yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Namun, kekecewaan kita serta merta muncul manakala menimbang
kondisi yang kontras antara menjamurnya rumah-rumah ibadah yang nota
benesebagai pusat-pusat spiritualitas religious serta menguatnya peran sub-
kultur yang boleh dikata sebagai sangat otonom, ternyata belum maksimal
dalam peran transformasi sosial termasuk transformasi politik
yang─dibanding dengan Negara-negara industrial maju semisal Jepang,
Korea, dan sebagainya─masih menyedihkan. Mengapa kondisi ini terjadi?
Mengapa kita menjadi seperti bangsa yang mengalami keterbelahan
kepribadian (split personality) dan sebagai bangsa yang ambigu dalam arti
bangsa dan umat beragama dengan perbuatan nyata yang secara kualitatif
dan kuantitatif dapat dikatakan sebagai melecehkan kebanggaan
kebangsaan (national pride) dan kesucian agama (religious sanctity) anutan?
Jika praktik/tradisi kehidupan dalam rumah ibadah sanggup
mewujudkan kepercayaan publik (public trust) melalui pola yang akuntabel
dan transparan misalnya sebagai tampak dalam laporan rutin/berkala
berkenaan dengan penerimaan-pengeluaran keuangan/dana amal, maka
mengapakah hal itu tiba-tiba gagal ketika memasuki arena publik (public
sphere) dalam usaha mewujudkan pemerintahan yang bersih dan tata-
kelola pemerintahan yang baik (clean government and good governance).
Mengapa praktik korupsi begitu menggejala di sementara kalangan yang
justru pemegang otoritas kebijakan dan tidak jarang dipuji sebagai di
anatara putra terbaik bangsa. Mentalitas yang mana dari manusia yang
sama maka tiba-tiba menjadi pribadi yang asing dan lain dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan dan kenegara-bangsaan?
Karena itu, sesuai dengan tradisi akuntabel dan transparan yang
lazim berlangsung di berbagai rumah ibadah, dapat dikatakan bahwa pada
dasarnya itu semua merupakan sumbangan social capital yang mestinya
sangat berarti tehadap kehidupan dalam spektrum masyarakat luas dan
Negara (Ronald Inglehart and Pippa Norris, Rising Tide: Gender Equality
and Cultural Change around the World, 2003). Lebih-lebih dalam era ini di
mana agenda transformasional kebangsaan kita mau tidak mau metinya
mampu menapaki proses peralihan pola kehidupan bangsa kita dari strata

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 243


(kehidupan) agrarian ke strata (budaya) kehidupan (Negara) industrial
dan bahkan strata post-industrial sebagaimana sejumlah Negara sekawasan
telah berhasil menapakinya (Inglehart, Modernization and Postmodernization:
Cultural, Economic and Political Change in 43 Societies, 1997).
Akan halnya dengan peran pemberdayaan rumah ibadah juga
sekaligu pemberdayaan sosial (social empowerment)yang diharapkan datang
dari rumah ibadah itu sendiri, dengan mengingat peran strategisnya
sebagai pusat masyarakat (community center) kiranya dengan tetap
mengapresiasi eksistensinya sebagai “lembaga” non-profited oriented yang
mengutamakan kesalehan sosial. Dengan demikian mengukur dengan
pendekatan-pendekatan analisis profesional murni (fully professional)
semisal Total Quality Management (TQM) sebagaimana hal itu lazim berlaku
di dunia bisnis professional yang diterapkan oleh penelitian dari buku
yang sedang di tangan pembaca ini. Kehati-hatian dan kecermatan dalam
mengaplikasikan pendekatan analisis ini juga dimaksudkan untuk
menghindari anachronisme ilmiah (scientific anachronism) dan terjadinya
deviasi dalam kesimpulannya. Akan tetapi, sejauh hal itu dimaksudkan
sebagai perlunya penggagasan pengelolaan rumah-rumah ibadah beserta
program pemberdayaannya dalam bidang tertentu, khususnya program
yang mengait agenda besar yaitu penyediaan semakin banyak jumlah
tenaga terampil (skilled-manpowers) yang diangankan dapat diakomodasi
oleh sistem selektif dalam masyarakat dan Negara, maka hal demikian
perlu diapreiasi.
Karena itu, hemat saya, buku ini, dengan data kualitatif lapangan
yang banyak serta pendekatan analisis TQM yang tidak lazim, dapat
dikatakan cukup kreatif ditawarkan oleh para penelitinya dan karena itu
sangat penting untuk dibaca dan lebih-lebih dapat menjadi inspirasi bagi
rintisan langkah penelitian lebih lanjut di masa depan bagi para peneliti di
satu pihak dan para perancang program pemberdayaan rumah ibadah
pada umumnya di lain pihak.
Saya yakin bahwa sumbangan ilmiah dari penelitian ini cukup
signifikan dan semoga, karena itu, para khalayak pemangku kepentingan
rumah-rumah ibadah secara keseluruhan mendapatkan kesempatan untuk
mengikuti telaahnya.

Ciputat, 20 Oktober 2015

244 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Indeks

A
D
Agama, 1, 3, 4, 5, 10, 20, 22, 24, 55,
70, 74, 75, 96, 98, 120, 122, 124, Dakwah, 25, 26, 28, 37, 53, 80, 91
143, 153, 168, 169, 170, 185, 187, Dana, 26, 41, 80, 89, 103, 108, 109,
188, 189, 190, 195, 200, 208, 212, 110, 115, 118, 164, 167, 175, 176,
214, 215, 216, 217, 220, 223, 231, 179, 194, 206, 208, 225, 227, 228
232, 233, 241 Dharma, 200, 216, 219, 228, 233
Allah SWT, 2 Diakona, 134
Al-Qur’an, 27, 31, 34, 35, 36, 37, 38,
41, 43, 47, 48, 49, 50, 68, 82, 92 G
Aset, 28, 29, 33, 35, 55, 60, 69
Gereja, 75, 99, 101, 102, 103, 104,
105, 106, 107, 108, 109, 110, 111,
B
112, 113, 114, 115, 116, 117, 118,
Bali, 20, 23, 79, 185, 186, 191, 192, 119, 120, 122, 124, 125, 126, 127,
194, 195, 199, 200, 202, 207, 209, 128, 129, 131, 133, 134, 135, 136,
211, 212, 213, 215, 216 139, 141, 142, 143, 144, 145, 146,
Banjar, 73, 74, 75, 76, 77, 83, 84, 87, 150, 151, 153, 160, 161, 165, 166,
90, 92, 96, 187, 191, 192, 206, 217 169, 170, 171, 174, 175, 176, 177,
Banjarmasin, 20, 73, 74, 75, 80, 81, 179, 180, 183
84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, Gereja Jetis, 160, 176, 180
93, 94 Gereja Kumetiran, 169, 172, 175,
Batak, 11, 23, 97, 98, 99, 100, 114 176, 177, 179, 180
Bhakti, 172, 211, 216, 220, 226 GKI Immanuel Boswezen, 137, 138,
Bhiksu, 190 139, 147, 153
Buddha, 3, 4, 12, 19, 24, 74, 75, 98, GKI Maranatha Remu, 128, 131,
122, 160, 188, 189, 190, 217, 219, 132, 138, 139, 140, 141, 143, 144,
220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 146, 147, 148, 150, 151, 152, 153
227, 228, 229, 231, 232, 233, 235,
236, 239, 240 H
Buddha Gautama, 223
Haji, 27, 28, 78
Hindu, 3, 4, 12, 19, 24, 74, 75, 79,
98, 122, 160, 168, 186, 188, 189,

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 245


190, 191, 195, 196, 197, 199, 200, K
202, 204, 206, 213, 214, 216, 232
HKBP, 11, 19, 97, 99, 100, 101, 102, Katolik, 3, 4, 11, 19, 24, 74, 98, 122,
103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 159, 161, 166, 167, 168, 169, 174,
110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 176, 177, 180, 181, 182, 183, 188,
117, 118, 119, 120 189, 190
HKBP Cinta Damai, 100, 102, 104, Kebaktian, 225
105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, Klenteng, 75
117, 119 Kristen, 3, 4, 11, 24, 75, 98, 99, 100,
HKBP Maranatha, 107, 111, 113, 103, 108, 114, 115, 120, 122, 124,
114, 117, 119 125, 126, 127, 131, 133, 135, 136,
138, 139, 142, 143, 150, 152, 159,
I 160, 188, 189

Injil, 99, 122, 125, 126, 129, 130, 131, M


134, 140, 141
Islam, 1, 2, 3, 4, 10, 11, 19, 20, 22, Masjid, 2, 20, 24, 25, 26, 27, 28, 29,
24, 25, 26, 36, 39, 40, 44, 45, 47, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 39,
48, 52, 65, 68, 71, 74, 75, 76, 77, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 49,
79, 82, 83, 85, 87, 88, 91, 94, 96, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58,
98, 122, 124, 153, 159, 160, 168, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67,
188, 189, 190, 241 68, 69, 70, 73, 75, 77, 78, 79, 80,
81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89,
J 90, 91,92, 93, 94, 122, 124, 243
Masjid Al Falah, 24, 25, 26, 27, 28,
Jaringan, 40, 63 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37,
Jawa, 20, 23, 25, 26, 49, 74, 79, 98, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47,
155, 159, 165, 177, 180, 197, 217, 49, 50, 51
221, 222, 229, 231, 233, 238 Masjid Jami Sungai Jengah, 85, 89,
Jemaah, 82, 89, 91 90, 91, 93, 94
Jemaat, 122, 125, 126, 128, 129, 130, Masjid Sultan Suriansyah, 75, 78,
131, 132, 134, 137, 138, 139, 140, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 93, 94
142, 143, 144, 146, 147, 150, 151, Medan, 97, 98, 99, 100, 102, 103,
153 104, 105, 106, 111, 120
Modal sosial, 8, 9, 35, 119, 229, 239

246 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat


Model, 4, 47, 60, 66, 75, 85, 93, 105, Pura Desa, 191, 192, 193, 195, 197,
111, 151, 169, 191, 196, 204, 209, 198
220, 222, 230 Pura Puseh, 191, 192, 193
Pura Subak Pakel II, 204, 205, 206,
N 209, 212
Purnama, 197, 204
Networking, 23, 40
Norma, 43, 64
R
Norms, 23
Resiprositas, 45, 65
P Romo, 155, 162, 165, 166, 167, 168,
177, 222, 231
Papua, 121, 122, 123, 124, 125, 126, Rumah ibadat, 1, 10
127, 128, 132, 133, 134, 136, 138,
139, 141, 142, 150, 153
S
Paroki, 160, 161, 162, 163, 164, 165,
166, 167, 168, 169, 171, 172, 174, Semarang, 158, 161, 163, 164, 167,
175, 176, 177, 179, 180, 181 168, 174, 175, 180, 218, 219, 220,
Pastor, 160, 165, 167, 175, 180 222, 224, 225, 230, 231, 233
Pastoral, 164, 175 Strong Leadership, 97
Pelayanan, 30, 47, 66, 107, 126, 134, Subak, 12, 192, 205, 207, 208, 210,
225, 226, 239 212, 216
Pemberdayaan, 4, 7, 10, 20, 22, 24, Surabaya, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 32,
45, 47, 66, 67, 71, 75, 88, 96, 120, 33, 34, 35, 37, 39, 41, 49, 50, 51,
137, 148, 149, 153, 167, 169, 181, 53, 54, 55, 61, 62, 66, 67, 68, 70,
191, 194, 196, 200, 204, 206, 209, 98, 158, 216
210, 213, 220, 222, 230, 241
Pendeta, 102, 103, 110, 120, 128, T
138, 139, 143, 190
Pengelolaan, 28, 55, 56, 80, 85, 89, Tilem, 197
99, 103, 105, 108, 110, 111, 119, Total Quality Management, 13, 14,
124, 164, 175, 180, 196, 209, 239 16, 244
Puasa, 176, 177 TQM, 13, 14, 15, 16, 19, 244
Pura, 75, 122, 191, 192, 193, 194, Tri Hita Karana, 185, 196, 214, 216
195, 196, 197, 198, 204, 205, 206, Tri Mandala, 185, 214
207, 208, 209, 210, 212, 213, 214, Tri Sandhya, 192
216 Trust, 23, 36, 39, 60

Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat 247


U W
Ulama, 39, 96, 190 Wakaf, 33
Umat, 10, 20, 108, 115, 137, 176,
181, 189, 192, 205, 217, 223, 240 Y
Umroh, 28
Yayasan, 25, 26, 27, 28, 31, 32, 33,
34, 36, 40, 41, 47, 49, 50, 125, 165,
V
171, 216, 220, 221, 222, 224, 226,
Vihara, 75, 189, 217, 219, 220, 221, 227, 230, 231, 232, 236, 239
222, 223, 224, 225, 226, 227, 228, Yesus Kristus, 126, 143, 175, 178
229, 230, 231, 239, 240
Vihara Maha Bodhi, 230, 231, 239 Z
Vihara Tanah Putih, 220, 221, 222,
223, 224, 225, 227, 228, 229, 230, Zakat, 27, 68
239

248 Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat

Anda mungkin juga menyukai