Anda di halaman 1dari 22

KOMPILASI HUKUM ISLAM

(KHI)

 BUKU I
 Hukum Perkawinan
BAB I
KETENTUAN UMUM
 Pasal 1
Yang dimaksud dengan:
a. Peminangan ialah kegiatan-kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara
seorang pria dengan seorang wanita;
b. Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang
ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah;
c. Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh
mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi;
d. Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik
berbentuk. barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam;
e. Taklik-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang
dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu
keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang;
f. Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-
sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan per kawinan berlangsung selanjutnya
disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun;

BAB II
DASAR-DASAR PERKAWINAN

 Pasal 2
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
 Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,
dan rahmah.
 Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat
(1) Undang undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

BAB III
PEMINANGAN

 Pasal 11
Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan
jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya.
 Pasal 12
(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap
janda yang telah habis masa iddahnya.
(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada da lam masa iddah raj'iyah, haram dan
dilarang untuk dipinang.
(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama
pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
(4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya per nyataan tentang putusnya hubungan
pinangan atau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan
wanita yang dipinang.
PENJELASAN ATAS BUKU KOMPILASI HUKUM ISLAM

 Penjelasan Umun
1. Bagi bangsa dan negara Indonesia yang berdasar kan Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945 adalah mutlak adanya suatu hukum nasional yang menjamin
kelangsungan hidup beragama berdasar kan Ketuhanan Yang Maha Esa yang
sekaligus merupakan perwujudan kesadaran hukum ma rakat dan bangsa Indonesia.
2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, jo Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang sederajat dengan
lingkungan peradilan lainnya sebagai peradilan negara.
3. Hukum materiil yang selama ini berlaku di ling kungan Peradilan Agama adalah
Hukum Islam yang pada garis besarnya meliputi bidang-bidang hukum Perkawinan,
hukum Kewarisan dan hukum Perwakafan. Berdasarkan Surat Edaran Biro Pe radilan
Agama tanggal 18 Februari 1958 Nomor B/1/735 hukum Materiil yang dijadikan
pedoman dalam bidang-bidang hukum tersebut di atas adalah bersumber pada 13 kitab
yang kesemuanya madzhab Syafi'i.
4. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik maka
kebutuhan hukum masyarakat semakin berkembang sehingga kitab-kitab tersebut
dirasakan perlu pula untuk diperluas baik dengan menambahkan kitab-kitab dari
madzhab yang lain, memperluas penafsiran terhadap ketentuan didalamnya
membandingkannya dengan yurisprudensi peradilan agama, fatwa para ulama maupun
perbandingan di negara-negara lain.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 Menimbang
Bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita cita untuk pembinaan hukum nasional,
perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.
 Mengingat
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 29 Undang-Undang
Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.

Dengan Persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Memutuskan:
 Menetapkan
UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.

BAB I
DASAR PERKAWINAN
 Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN

 Penjelasan Umum
1. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang
Per kawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan
landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi
berbagai golongan dalam masyarakat kita.
2. Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warganegara
dan berbagai daerah seperti berikut:
a. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum Agama yang
telah diresipiir dalam Hukum Adat;
b. bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat;
c. bagi orang-orang Indonesia Asli yang ber agama Kristen berlaku Huwelijks
Ordonnantie Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74);
d. bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku
ketentuan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit
perubahan;
e. bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan
Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum Adat mereka;
f. bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang
disamakan dengan mereka berlaku kitab undang-undang Hukum Perdata.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2019
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa


Presiden Republik Indonesia

 Menimbang
a. Bahwa negara menjamin hak warga negara untuk membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, menjamin hak anak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Bahwa perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang
anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak
pendidikan, dan hak sosial anak;
c. Bahwa sebagai pelaksanaan atas putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Nomor 22/PUU-XV/2017 perlu melaksanakan perubahan atas ketentuan Pasal 7
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c, perlu membentuk undang-undang tentang perubahan atas undang-undang
nomor 1 tahun 7974 tentang perkawinan.
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2019 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN

 Umum
Dalam ketentuan Pasal 288 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dicantumkan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah serta Negara menjamin hak anak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas pelindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa
perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun
dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun, ketentuan tersebut
memungkinkan terjadinya perkawinan dalam usia anak pada anak wanita karena dalam
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak didefinisikan bahwa anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah mengeluarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 22/ PUU-XV/2017 yang salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi
dalam putusan tersebut yaitu "Namun tatkala pembedaan perlakuan antara pria dan wanita
itu berdampak pada atau menghalangi pemenuhan hak hak dasar atau hak-hak
konstitusional warga negara, baik yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak sipil dan
politik maupun hak-hak ekonomi, pendidikan, sosial, dan kebudayaan, yang seharusnya
tidak boleh dibedakan semata-mata berdasarkan alasan jenis kelamin, maka pembedaan
demikian jelas merupakan diskriminasi.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2004
TENTANG WAKAF

Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa


Presiden Republik Indonesia

 Menimbang
a. Bahwa lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat
ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan untuk
memajukan kesejahteraan umum;
b. Bahwa wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan
dalam masyarakat, yang pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar dalam
berbagai peraturan perundang-undangan;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b,
dipandang perlu membentuk Undang-Undang tentang Wakaf.

 Mengingat
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 29, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF

 Umum
Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai mana diamanatkan dalam
Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain
adalah memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu menggali
dan mengembangkan potensi yang terdapat dalam pranata keagamaan yang memiliki
manfaat ekonomis.
Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu
meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan
menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi
yang berpotensi, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu
dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.
Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan
tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak ter pelihara
sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan
hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan Nazhir
dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf tetapi karena juga sikap
masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang
seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
peruntukan wakaf.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2006
TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 41 TAHUN 2004
TENTANG WAKAF

Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa


Presiden Republik Indonesia

 Menimbang
Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14, Pasal 21, Pasal 31, Pasal 39, Pasal
41, Pasal 46, Pasal 66, dan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

 Mengingat
1. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 159; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4459).
Memutuskan:
 Menetapkan
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAK SANAAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF.
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 42 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF

 Umum
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf memuat beberapa ketentuan
dalam Pasal 14, Pasal 21, Pasal 31, Pasal 39, Pasal 41, Pasal 46. Pasal 66, dan Pasal 68
yang perlu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Keseluruhan peraturan
pelaksanaan tersebut diintegrasikan ke dalam satu peraturan pemerintah sebagai
pelaksanaan Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004. Hal itu dimaksudkan untuk
menyederhanakan pengaturan yang mudah dipahami masyarakat, organisasi dan badan
hukum, serta pejabat pemerintahan yang mengurus perwa kafan, BWI, dan Lembaga
Keuangan Syariah, sekaligus menghindari berbagai kemungkinan perbedaan penafsiran
terhadap ketentuan yang berlaku. Beberapa hal penting yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini adalah sebagai berikut:
1. Nazhir merupakan salah satu unsur wakaf dan memegang peran penting dalam
mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai de ngan peruntukannya.
Nazhir dapat merupakan perseorangan, organisasi atau badan hukum yang wajib
didaftarkan pada Menteri melalui Kantor Urusan Agama atau perwakilan BWI yang
ada di provinsi atau kabupaten/kota, guna memperoleh tanda bukti pendaftaran Nazhir.
Ketentuan mengenai syarat yang harus dipenuhi oleh Nazhir dan tata cara pendaftaran,
pemberhentian dan pencabutan status Nazhir serta tugas dan masa bakti Nazhir
dimaksudkan untuk memastikan keberadaan Nazhir serta pengawasan ter hadap kinerja
Nazhir dalam memelihara dan mengembangkan potensi harta benda wakaf.
2. Ketentuan mengenai ikrar wakaf baik secara lisan maupun tertulis yang berisi
pernyataan kehendak Wakif untuk berwakaf kepada Nazhir memerlukan pengaturan
rinci tentang tata cara pelaksanaannya dan harta benda wakaf yang akan diwakafkan.
Ikrar wakaf diselenggarakan dalam Majelis Ikrar Wakaf yang dihadiri oleh Wakif,
Nazhir, dua orang Saksi serta wakil dari Mauquf alaih apabila ditunjuk secara khusus
sebagai pihak yang akan memperoleh manfaat dari harta benda wakaf berdasarkan
kehendak Wakif. Kehadiran Mauquf alaih dianggap perlu agar pihak yang akan
memperoleh manfaat dari peruntukan harta benda wakaf menurut kehendak Wakif
dapat mengetahui penyerahan harta benda wakaf oleh Wakif kepada Nazhir untuk
dikelola dan dikembangkan sesuai dengan prinsip ekonomi Syariah.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2018
TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 42 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF

Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa


Presiden Republik Indonesia

 Menimbang
a. Bahwa untuk meningkatkan pengamanan, efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas harta
benda wakaf serta untuk menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum,
perlu menyempurnakan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf;
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf,

 Mengingat
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 159, Tambahan Lebaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4459);
3. Undang-undang nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22,
Tambahan Lebaran Negara Republik Indonesia Nomor 5280).

Memutuskan:
 Menetapkan
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN
PEMERINATAH NOMOR 42 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN UNDNAG-
UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF.
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN
PEMERINTAH
NOMOR 42 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANGG WAKAF

 Umum
Untuk meningkatkan pengamanan, efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas pengelolaan
harta benda wakaf serta untuk menyesuaikan dengan peraturan perundang undangan yang
mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, perlu
00 menyempurnakan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Beberapa hal penting yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini adalah sebagai berikut:
1. Penukaran harta benda Wakaf terhadap harta benda Wakaf yang memiliki luas sampai
dengan 5.000 m² (lima ribu meter persegi), Menteri memberi mandat kepada Kepala
Kantor Wilayah untuk menerbitkan izin tertulis.
2. Kepala Kantor Wilayah menerbitkan izin tertulis berdasarkan:
a. Persetujuan dari BWI provinsi;
b. Harta benda penukar sudah bersertifikat atau bukti kepemilikan sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c. Nilai dan manfaat harta benda penukar paling sedikit sama dengan harta benda
Wakaf semula.
3. Nilai dan manfaat harta benda penukar ditetapkan oleh Kepala Kantor berdasarkan
rekomendasi Tim Penetapan dan untuk menetapkan nilai dan manfaat harta benda
penukar harus memenuhi ketentuan dinilai oleh Penilai atau Penilai Publik dan harta
benda penukar berada di wilayah yang strategis dan mudah untuk dikembangkan sesuai
dengan peruntukannya.
4. Instansi atau pihak yang akan menggunakan tanah Wakaf wajib mengajukan
permohonan sertifikat Wakaf atas nama Nazhir terhadap tanah pengganti.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011
TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa


Presiden Republik Indonesia

 Menimbang
a. Bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu;
b. Bahwa menunaikan zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai
dengan syariat Islam;
c. Bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan
keadilan dan kesejahteraan masyarakat;
d. Bahwa dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola
secara melembaga sesuai dengan syariat Islam;
e. Bahwa Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat sudah tidak
sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu
diganti;
f. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf
c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat;

 Mengingat
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 29, dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23
TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

 Umum
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Penunaian zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai dengan
syariat Islam. Zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan
keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan.
Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara
melembaga sesuai dengan syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian
hukum, terintegrasi, dan akuntabilitas sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat. Selama ini pengelolaan zakat berdasarkan
Undang Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dinilai sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu
diganti. Pengelolaan zakat yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi kegiatan
perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan.
Dalam upaya mencapai tujuan pengelolaan zakat, dibentuk Badan Amil Zakat
Nasional (BAZNAS) yang berkedudukan di ibu kota negara, BAZNAS provinsi. dan
BAZNAS kabupaten/kota. BAZNAS merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang
bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. BAZNAS
merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.
Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
LAZ wajib melaporkan secara berkala kepada BAZNAS atas pelaksanaan pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit syariat dan keuangan.
Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam.
Pendistribusian dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip
pemerataan, keadilan, dan kewilayahan. Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif
dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat apabila kebutuhan
dasar mustahik telah terpenuhi.
Selain menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak, sedekah, dan
dana sosial keagamaan lainnya. Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan
dana sosial keagamaan lainnya dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan sesuai
dengan peruntukan yang diikrarkan oleh pemberi dan harus dilakukan pencatatan dalam
pembukuan tersendiri. Untuk melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Hak Amil. Sedangkan BAZNAS provinsi
dan BAZNAS kabupaten/kota dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
dan Hak Amil, serta juga dapat dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2014
TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa


Presiden Republik Indonesia

 Menimbang
Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 13, Pasal 14 ayat (2), Pasal 16 ayat (2),
Pasal 20, Pasal 24, Pasal 29 ayat (6), Pasal 33 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat;

 Mengingat
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5255);

Memutuskan:
 Menetapkan
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAK SANAAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT.
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

 Umum
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Penunaian zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai dengan
syariat Islam. Zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan
keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan.
Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara
melembaga dan profesional sesuai dengan syariat Islam yang dilandasi dengan prinsip
amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan akuntabilitas, sehingga
dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat.
Dalam upaya melaksanakan pengelolaan zakat yang melembaga dan profesional
diperlukan suatu lembaga yang secara organisatoris kuat dan kredibel. Untuk itu dibentuk
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang secara kelembagaan mempunyai
kewenangan untuk melakukan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
secara nasional. BAZNAS yang merupakan lembaga pemerintah nonstruktural bersifat
mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. Penguatan kelembagaan
BAZNAS dengan kewenangan tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan,
pembinaan, dan pelayanan kepada muzaki, mustahik, dan pengelola zakat serta untuk
menjamin adanya kepastian hukum dalam pengelolaan zakat.
Dengan pertimbangan luasnya jangkauan dan tersebarnya umat muslim di seluruh
wilayah Indonesia serta besarnya tugas dan tanggung jawab BAZNAS dalam mengelola
zakat, maka dalam pelaksanaannya dibentuk BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/
kota. BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota ini bertugas dan bertanggung
jawab dalam pengelolaan zakat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota masing masing.
Untuk membantu pengumpulan zakat, BAZNAS sesuai dengan tingkat dan
kedudukannya dapat membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) pada lembaga negara,
kementerian/lembaga pemerintah non kementerian, badan usaha milik negara, perusahaan
swasta nasional dan asing, perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, kantor-kantor
perwakilan negara asing/ lembaga asing, dan masjid-masjid. Selain itu, dalam pelaksanaan
pengelolaan zakat masyarakat juga dapat membantu BAZNAS untuk melakukan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat dengan membentuk LAZ Sesuai
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/ PUU-X/2012 tanggal 31 Oktober 2013 perihal
pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat,
pembentukan LAZ oleh masyarakat dapat dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan Islam
yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial, atau lembaga berbadan hukum
setelah memenuhi persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan dan mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. Sedangkan
untuk perkumpulan orang, perseorangan. tokoh umat Islam (alim ulama), atau
pengurus/takmir masjid/musholla di suatu komunitas dan wilayah yang belum terjangkau
oleh BAZ dan LAZ, dapat melakukan kegiatan pengelolaan zakat dengan memberitahukan
secara tertulis kepada pejabat yang berwenang.
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2001
TENTANG BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL

Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa


Presiden Republik Indonesia

 Menimbang
a. Bahwa dalam rangka pengelolaan zakat secara lebih berdaya guna dan berhasil guna
serta dapat dipertanggungjawabkan perlu dilakukan oleh Badan Amil Zakat;
b. Bahwa Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
mengamanatkan untuk membentuk Badan Amil Zakat Nasional yang pelaksanaannya
dilakukan Presiden;
c. Bahwa nama-nama yang tercantum dalam Lampiran Keputusan Presiden ini memenuhi
persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku untuk diangkat sebagai anggota Badan Amil Zakat Nasional;
d. Bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut pada huruf a, huruf b, dan huruf c di atas
dan untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat, dipandang perlu membentuk dan mengangkat anggota Badan Amil
Zakat Nasional dengan Keputusan Presiden.
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2004
TENTANG OPTIMALISASI PENGUMPULAN ZAKAT DI
KEMENTERIAN/LEMBAGA, SEKRETARIAT JENDERAL LEMBAGA NEGARA,
SEKRETARIAT JENDERAL KOMISI NEGARA, PEMERINTAH DAERAH,
BADAN USAHA MILIK NEGARA, DAN BADAN USAHA MILIK DAERAH
MELALUI BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL

Dalam rangka mengoptimalkan pengumpulan dan pemanfaatan zakat untuk mewujudkan


kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan, dengan ini menginstruksikan:
Kepada:
1. Para Menteri;
2. Jaksa Agung:
3. Panglima Tentara Nasional Indonesia;
4. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
5. Para Pimpinan Lembaga Pemerintah Non- Kementerian;
6. Para Sekretaris Jenderal Lembaga Negara;
7. Para Sekretaris Jenderal Komisi Negara;
8. Para Gubernur;
9. Para Bupati/Walikota; dan
10. Ketua Badan Amil Zakat Nasional
DAFTAR PUSTAKA

Tim Redaksi Nuansa Aulia. (2020). Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Nuansa Aulia.

Anda mungkin juga menyukai