Anda di halaman 1dari 18

ISLAMISASI ILMU, ILMUISASI ISLAM DAN ITEGRASI ILMU

Makalah Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah

Filsafat Ilmu

Di Susun Oleh :
1.IZARYANI
2.ULFIANTI

(PAI UNIT 1)

PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
LHOKSEUMAWE2021
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemikiran tentang integrasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini
yang dilakukan oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran
beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat
Islam akan maju dapat menyusul orang-orang barat apabila mampu
mentransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam
rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan.
Dipandang dari sisi aksiologis ilmu dan teknologi harus memberi manfaat
sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi
instrumen penting dalam setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk
mewujudkan kemaslahatan hidup manusia seluruhnya khususnya umat Islam.
Dengan demikian, ilmu dan teknologi haruslah memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi kehidupan manusia dan bukan sebaliknya.1
Untuk mencapai sasaran tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya
mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu keIslaman, sehingga ilmu-
ilmu umum tersebut tidak bebas nilai atau sekuler. Pendekatan interdisciplinary dan
inter koneksitas antara disiplin ilmu agama dan umum perlu dibangun dan
dikembangkan terus-menerus tanpa henti.2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana yang dimaksud dengan Islamisasi Ilmu, Ilmuisasi Islam, dan
Integrasi Ilmu?
2. Bagaimana Hubungan Ilmu Dan Agama?
3. Bagaimana Perbedaan Integrasi-interkoneksi Ilmu, Islamisasi Ilmu, Dan
Ilmuisasi Islam?
II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Islamisasi Ilmu, Ilmuisasi Islam, dan Integrasi Ilmu


1. Islamisasi Ilmu
1
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 15.
2
Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur‟an Terjemas Edisi Tahun 2002, (Jakarta: AlHuda,
2005), hlm. 602.
Gagasan Islamisasi ilmu sebenarnya bukanlah konsep baru tetapi konsep
lama yang kembali diaktualkan, mungkin hanya beda istilah saja. Namun, ketika
umat Islam berada pada posisi kemunduran dan ingin bangun dari kemunduran
gagasan Islamisasi ilmu dianggap baru, tepat dan membumi. Karena itu, tidaklah
mengherankan gagasan Islamisasi disambut positif oleh kalangan dunia Islam dan
para ilmuannya. Ada sejumlah tokoh yang telah berbicara tentang Islamisasi ilmu,
yaitu:
1. Al-Farabi, lahir di Turki di daerah Farab, dalam Filsafat Islam disebut guru
kedua, maksudnya Aristoteles disebut guru pertama, al-Farabi guru kedua. Ia
terkenal penganut filsafat emanasi yang diadopsi dari filsafat emanasi
Aristoteles. Karya-karyanya yang terkenal di antaranya yaitu Ihsha‟ Al-Ulum
(klasifikasi ilmu). Seperti yang dijelaskan oleh Osman Bakar, klasifikasi ilmu
menurut Al-Farabi yaitu ilmu religious; tafsir, hadis, ushul fikih. Psikologi, ilmu
kebahasaan dan logika, ilmu-ilmu filosofis; matematika, ilmu alam, metafisika,
ilmu politik, yurispurdensi dan teologi.3 Klasifikasi ilmu ini pada dasarnya
merupakan kerangka berpikir untuk Islamisasi ilmu. Karena pada waktu itu
terdapat kebuntuan di kalangan ilmuan Islam mengenai dikotomi antara ilmu
dan agama (Islam). Sebagai solusinya maka Al-Farabi menciptakan klasifikasi
ilmu. 3
2. Al-Ghazali, (1058-1111 M) gelar hujjatul Islam, filosof, fuqaha, teolog dan sufi,
lahir di Thus, sekarang masuk wilayah Khurasan. Karya-karyanya yang terkenal
di antaranya Ihya Ulumuddin, al-Munkiz min ad-dalal (penyelamat dari kesesatan),
dan Tahafut al-Falasifah (kerancuan filsafat). Para pencari ilmu menurutnya
dibagi empat. 1) Para teolog. 2) Filosof. 3) Taklimiyah dan 4) Sufi. Sedangkan
klasifkasi ilmu menurutnya dibagi dua. Pertama, ilmu syar‟iyah (naqliyah) dan
kedua ghairi syar‟iyah (aqliyah). Pembagian ini sering juga disebut ilmu teoritis
dan praktis. 4
3. Syed Muhammad An-Naquib Al-Attas. Lahir di Bogor pada tahun 1931, ibunya
berasal dari Sunda dan ayahnya dari Johor, Malaysia. Ia dikenal seorang militer,
pendidik, intelektual muslim, ahli dalam bidang filsafat dan tasawuf. Mengutip
3
Sutrisno, Critical Issues and reform in Muslim Higher Education, (Kuala Lumpur: IIUM,
2015), hlm. 186.
4
Sutrisno, Critical Issues and reform in Muslim Higher Education, (Kuala Lumpur: IIUM,
2015), hlm. 186.
Arqom Kuswanjono Al-Attas adalah tokoh Islamisasi ilmu dan ia yang pertama
kali memperkenalkan pentingnya Islamisasi ilmu pada World Confrence on
Islamic Education (Konfrensi Internasional tentang pendidikan Islam), di Mekkah
tahun 1977 dan di Islamabad, Pakistan tahun 1980 dan kemudian gagasan ini
dikembangkan dan dipopulerkan oleh Ismai Rajiq Al-Faruqi.6 Gagasan inilah
yang melambungkan nama Al-Attas dipanggung pemikiran pendidikan Islam
internasional, seorang keturunan Indonesia yang mendunia. 5
4. Ismail Rajiq al-Faruqi. Lahir di daerah Jaffa, Palestina tahun 1921. Pemikiran
Islamisasi ilmu yang dikembangkan oleh Al-Faruqi diilhami oleh pemikiran
Naquib Al-Attas, salah satu karya terbesarnya ialah Islamization of Knowledge;
General Principles and Workplan. Buku ini merupakan salah satu rujukan tentang
pentingnya Islamisasi ilmu pengetahuan di dunia Islam terutama pada era
tahun 1980-an. Karena itu, tidaklah heran dalam pandangan M. Dawam
Rahardjo tokoh utama Islamisasi ilmu adalah Ismail Rajiq Al-Faruqi, orang
Malaysia menyebut ide itu “dicuri “oleh Ismail Rajiq Al-Faruqi lalu
dipopulerkannya.
Secara historis, ide atau gagasan Islamisasi Ilmu pengetahuan muncul pada
saat diselenggarakan Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam di Mekah
pada tahun 1977. Konferensi yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz University ini
berhasil membahas 150 makalah yang ditulis oleh sarjana-sarjana dari 40 negara,
dan merumuskan rekomendasi untuk pembenahan serta penyempurnaan sistem
pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia. Salah satu
gagasan yang direkomendasikan adalah menyangkut Islamisasi Ilmu pengetahuan.
Gagasan ini antara lain dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam
makalahnya yang berjudul “Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the
Definition and the Aims of Education dan Ismail R. al-Faruqi dalam makalahnya
“Islamicizing Social Science.”.
Islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Attas, yaitu Pembebasan manusia
dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan
Islam) dan dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran. Untuk melakukan

5
Syamsul Arifin, “Dimensi Profetisme Pengembangan Ilmu Sosial Dalam Islam Perspektif
Kuntowijoyo”, Jurnal Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 4, Nomor 2, Desember
2014, hlm. 1.
Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut, menurut al-Attas, perlu melibatkan dua
proses yang saling berhubungan. Pertama ialah melakukan proses pemisahan
elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaandan
peradaban Barat, dan kedua, memasukan elemen-elemen Islam dan
konsepkonsepkunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang
relevan.
Menurut Al-Faruqi Islamisasi ilmu pengetahuan berarti melakukan aktifitas
keilmuan seperti eliminasi, perubahan, penafsiran kembali dan penyesuaian
terhadap komponen-komponennya sebagai world view Islam (pandangan dunia
Islam) dan menetapkan nilai-nilainya. Dengan demikian, islamisasi ilmu
pengetahuan dapat diartikan dengan mengislamkan ilmu pengetahuan modern
dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains ilmu
pasti dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam.
Menuangkan kembali ilmu pengetahuan sebagaimana dikehendaki Islam, yaitu
memberi definisi baru, mengatur data, mengevaluasi kembali kesimpulan dan
memproyeksikan kembali tujuan-tujuannya.6
Islamisasi ilmu pengetahuan ini memiliki banyak arti penting bagi kaum
muslimin. Pertama, kepentingan akidah. Islam adalah agama tauhid yang
menekankan kepada keesaan allah. Islam semata-mata karena allah, iradah,
kalimah, perintah dan larangan-nya, dan sunah dan aturan-nya di alam dunia dan
kehidupan ini. tidak ada perubahan dan pertentangan di dalam sunah-nya. hal ini
tentunya menuntut adanya pengetahuan terhadap sunah-nya itu berikut dengan
segala rahasia, susunan dan rinciannya. Pengetahuan terhadap sunah-nya yang
terdapat di alam semesta dan kehidupan ini bertujuan untuk menunjang manusia
dalam mencapai kemajuan, kesenangan dan kebahagiaan di bawah sinar keimanan.
Iman menjadi pendorong utama bagi manusia dalam melakukan pengamatan dan
penyelidikan terhadap berbagai fenomena alam, baik itu yang tertulis di dalam kitab
suci, alam semesta, ataupun dalam diri manusia. 7
Kedua adalah kepentingan kemanusiaan. kepentingan kemanusiaan dari
agenda Islamisasi ilmu berkaitan erat dengan kepentingan akidah. apabila akidah
Muhammad Zainal Abidin, Paradigma Islam Dalam Pembangunan Ilmu Integralistik:
6

Membaca Pemikiran Kuntowijoyo,(Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2016), hlm. 9.


7
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu (Epistemologi, Metodologi dan Etika), (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2007), hlm. 50.
itu bertujuan untuk membina manusia yang beriman, berpikir, seimbang dan
bahagia, maka aktivitas keilmuwan yang dikendalikan oleh pandangan iman itu
akan mampu membantu mewujudkan tujuan tersebut. hal ini tidak dapat
dimengerti dengan jelas kecuali dengan cara mengambil pelajaran dari berbagai
peristiwa dan malapetaka besar yang melanda umat manusia akibat penggunaan
hasil temuan ilmu pengetahuan yang tidak dikendalikan oleh moral agama seperti
kasus bom nagasaki dan Hiroshima dan korban perang dunia pertama dan kedua.
Penyingkiran moral agama dalam kehidupan manusia kontemporer saat ini
menimbulkan banyak persoalan seperti kekecewaan, kebimbangan, penderitaan
batin dan berbagai persoalan sosial lainya, walaupun mereka berhasil dari segi
prestasi intelektual dan kemajuan fisik. Dapat ditegaskan bahwa “aktivitas keilmuwan
yang berlawanan dengan tuntunan iman, akan mengarah pada mengikuti godaan kekuatan
dan kekuasaan, mengikuti seruan untuk lebih mendahulukan ras, negara, dan sekte.” 8
Ketiga adalah kepentingan keilmuwan dan peradaban. Meniru peradaban
lain, terutama Barat, dan mengimpornya tidak akan membangun suatu peradaban
dan merehabilitasinya dari kehancuran dan kerusakan. suatu peradaban itu
dibangun oleh ilmu pengetahuan yang memiliki kaitan yang sangat erat dengan
pandangan dunia, kepercayaan dan nilai-nilai yang dimiliki oleh peradaban
tersebut. Walaupun sekarang ini diakui bahwa peradaban Barat memiliki prestasi
yang cukup berarti dalam bidang pembangunan fisik, sains dan teknologi, namun
peradaban ini sedang mengalami krisis yang akut dalam bidang pemikiran (dan
falsafah), spiritual dan moral. Mengikuti langkah Barat, berarti kaum muslimin akan
menuju krisis yang serupa. sebagaimana dikatakan oleh S.H. Nasr, “peradaban
modern yang berkembang di Barat sejak zaman renaissance adalah sebuah eksperimen yang
telah mengalami kegagalan sedemikian parahnya sehingga ummat manusia menjadi ragu
apakah mereka dapat menemukan cara-cara lain di masa yang akan dating”.
2. Ilmuisasi Islam
Gencarnya wacana islamisasi ilmu pengetahuan ternyata tidak semudah yang
dibayangkan. Faktanya, terjadi pro dan kontra dalam kubu internal ilmuwan
muslim. Diantara tokoh yang mendukung terhadap proyek islamisasi ini antara lain
adalah Seyyed Hossein. Ziauddin Sardar (1951) dan beberapa tokoh lain yang

8
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), hlm. 335.
menolak adanya westernisasi ilmu. Sedangkan pihak yang menentang terhadap
gagasan islamisasi ini yaitu beberapa pemikir muslim kontemporer seperti Fazlur
Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul Karim Soroush dan Bassam Tibi.
Mereka bukan hanya menolak akan tetapi juga mengkritik gagasan islamisasi ilmu
pengetahuan.9
Kritik yang dilontarkan pihak kontra cenderung mengarah pada aspek
metodologi dalam merealisasikan islamisasi itu sendiri, karena langkah-langkah
yang digagas oleh beberapa ilmuwan dinilai kurang “ampuh” untuk mewujudkan
islamisasi ilmu pengetahuan, bahkan sebagian menganggap itu semua sebagai
langkah yang sia-sia. Sementara pihak pro menilai adanya perbedaan mencolok
antara epistemologi Islam dan barat dalam memproduksi ilmu pengetahuan,
sehingga islamisasi harus dilakukan untuk menangkal dampak dari pemikiran barat
tersebut. Mereka yang menolak Islamisasi ilmu berargumen bahwa ilmu
pengetahuan bersifat obyektif, dan karenanya selalu netral, seperti dalam konsep
netralitas etik. Gugatan dari kelompok yang menolak Islamisasi Ilmu itu
menyodorkan persoalan seperti bagaimana memberi label matematika yang Islam.
Adakah perbedaan arkeologi Islam dan arkeologi non-Islam? 10 Pertanyaan-
pertanyaan problematik seperti ini tampaknya menjadi landasan kritik terhadap
gagasan “Islamisasi Pengetahuan”. Menyikapi hal ini, Fazlur Rahman berpendapat
bahwa pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam
ilmu pengetahuan, masalahnya hanya dalam menyalahgunakan. Bagi Fazlur
Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas, seperti “Pisau bermata dua”
yang harus digunakan dengan penuh kehati-hatian dan bertanggungjawab,
sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar ketika memperolehnya.
Islam mengakui objektivitas, maka ilmu yang benar-benar objektif tidak perlu
diislamkan, suatu teknologi akan sama ditangan orang Islam atau orang kafir.
Metode dimanapun sama, apakah itu metode survey, metode partisipan, atau
metode grounded dapat dipakai dengan aman tanpa resiko bertentangan dengan
keimanan. Maka tidak perlu ada kekhawatiran pada ilmu-ilmu yang benar-benar
objektif dan sejati. Untuk ilmu yang benar-benar objektif kiranya sangat bergantung

9
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu ..., hlm. 51.
10
Suprayogo, I. Paradigma Pengembanagan Keilmuan pada Perguruan Tinggi: Konsep Pendidikan
Tinggi yang dikembangkan UIN Malang, Malang: UIN Malang Press, 2005. Hal. 214.
pada niat individu, maka niat individu itu yang memerlukan Islamisasi bukan
ilmunya.
Contoh konkret dari proses objektivikasi keilmuan Islam adalah Ekonomi
Syariah yang prakteknya dan teori-teorinya berasal dari wahyu Tuhan. Islam
menyediakan etika dalam perilaku ekonomi antara lain; bagi hasil (al-Mudharabah)
dan kerja sama (al-Musyarakah). Di sini Islam mengalami objektivitas dimana etika
agama menjadi ilmu yang bermanfaat bagi seluruh manusia, baik muslim maupun
non muslim, bahkan arti agama sekalipun. Kedepan, pola kerja keilmuan yang
integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang humanistik dituntut dapat
memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas seperti: psikologi, sosiologi, antropologi,
kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional, hukum dan
peradilan dan seterusnya .11
Secara harfiah, frasa “Pengilmuan Islam” berarti menjadikan Islam sebagai
ilmu. Dengan “Pengilmuan Islam”, yang ingin ditujunya adalah aspek universalitas
klaim Islam sebagai rahmat bagi alam semesta bukan hanya bagi pribadi-pribadi
atau masyarakat Muslim, tapi semua orang; bahkan setiap makhluk di alam semesta
ini. “Rahmat bagi alam semesta” adalah tujuan akhir pengilmuan Islam. Rahmat itu
dijanjikan bukan hanya untuk Muslim tapi untuk semuanya. Tugas Muslim adalah
mewujudkannya; pengilmuan Islam.
Pengilmuan Islam dicoba dipahami dengan membandingkannya dengan
Islam sebagai mitos dan ideologi. Untuk lebih jauh memahami ini dalam konteks
yang lebih luas, kita bisa melihat alternatif lain bagi gerakan Pengilmuan Islam.
Dalam konteks yang berbeda, Kuntowijoyo membandingkan pengilmuan Islam
dengan kodifikasi Islam dan Islamisasi Ilmu. Pengilmuan Islam (yang dalam
konteks ini disebutnya sebagai demistifikasi Islam) adalah gerakan dari teks
(wahyu) ke konteks (realitas social);, Islamisasi adalah sebaliknya, dari konteks ke
teks; sementara kodifikasi berkutat di sekitar eksplorasi teks, nyaris tanpa
memperhatikan konteks. Ketiga gerakan ini adalah ragam perwujudan dari
keinginan untuk kembali kepada teks (al-Qur‟an dan Sunnah). Islamisasi Ilmu,
menurutnya, lebih bersikap reaktif, yaitu reaksi terhadap bangunan keilmuan yang

11
Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas,(Bandung: Mizan, 2002), hlm.
213.
sudah wujud, yang dipandang tak sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan ingin
dikembalikan kepada Islam yang lebih dipahami sebagai teks.
Konsep pengilmuan Islam pada dasarnya adalah bagaimana membangun
ilmu yang (sudah) ada dalam teks ajaran Islam. Jika Islamisasi itu arusnya dari
konteks ke teks, maka pengilmuan Islam ini sebaliknya, dari teks ke konteks. Al-
Qur‟an dan Sunnah yang bersifat universal dan kaffah ini mengisyaratkan adanya
bangunan teori-teori yang dibutuhkan umat manusia. Bangunan teori atau grand
theory ini nantinya bisa dikembangkan menjadi sebuah ilmu yang relevan dengan
realitas yang ada. Di sinilah kemudian dibutuhkan apa yang oleh Kuntowijoyo
disebut perumusan teori dengan paradigma Al-Qur‟an.
Kuntowijoyo memaknai periode mitos sebagai cara berpikir pralogis (mistik),
pergerakan politik yang berlokasi di desa, bersifat lokal, latar belakang ekonomi
agraris, masyarakat petani, dan kepemimpinan karismatik. Periodisasi yang
sesungguhnya dibangun pada sejarah masyarakat Nusantara ini, pada periode awal
ditandai dengan berbagai mitos akan kepemimpinan karismatik. Kuntowijoyo
menyebut sampai pada abad ke-20, masyarakat Indonesia masih masuk pada
periode ini. Pemberontakan Jawa pada tahun 1888 di Banten adalah akhir dari
periode ini.
Periode berikutnya adalah ideologi. Islam sebagai ideologi sudah bersifat
lebih rasional, tetapi masih terlalu apriori. Di sini Islam ditampilkan sebagai ideologi
tandingan bagi ideologi-ideologi dunia seperti kapitalisme dan komunisme. Dalam
bidang politik, ciri utama gerakan ini adalah berdirinya organisasi-organisasi politik,
dan ditandai dengan gagasan pembentukan negara Islam. Kelahiran Sarekat Islam
(SI) pada tahun 1911 adalah penanda periode ideologi ini. Periode ini menandai cara
berpikir masyarakat yang sudah rasional, meskipun masih apriori tentang nilai-
niliai abstrak, lokasi di kota, perkumpulan bersifat nasional, ekonomi komersial dan
industri kecil, masyarakat pedagang dan kepemimpinan intelektual.
Jika pada periode pertama gerakan masih bersifat “pemberontakan”, maka
pada periode ini berbentuk pengerahan massa untuk tujuan damai. Misalnya
dengan rapat, aksi solidaritas, pemogokan, resolusi, penerbitan, gerakan ekonomi,
dan gerakan kebudayaan. Menurut Kuntowijoyo, periode ini berakhir sampai pada
era 1985 ketika diadakan perubahan dalam orsospol (organisasi sosial politik) di
Indonesia oleh Orde Baru.
Dan, periode yang terakhir adalah periode ilmu. Dalam periode ilmu, yang
diperlukan adalah objektivikasi Islam. Objektivikasi bermula dari internalisasi nilai,
tidak dari subjektivikasi kondisi objektif. Di sini objektivikasi menerjemahkan nilai-
nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif. Jadi, objektivikasi merupakan
perilaku yang wajar dan alamiah. Suatu perbuatan dikatakan objektif bila perbuatan
tersebut dirasakan oleh orang lain (non-Muslim) sebagai sesuatu yang natular
(sewajarnya), tidak sebagai perilaku keagamaan. Di sinilah objektivikasi ini akan
menghindarkan diri dari dua hal, sekuralisasi dan dominasi.
3. Integrasi Ilmu
Secara bahasa integrasi berasal dari kata integrated yang memiliki arti pertama
keseluruhan atau utuh, yang kedua berarti bersatunya antar bagian menjadi satu,
yang ketiga berarti menghilangkan hambatan. Sedangkan interkoneksi berasal dari
kata interconnection yang berarti menghubungkan yang satu dengan yang lain.
Dengan demikian penyatuan dan keterhubungan dalam hal ini adalah sains dengan
agama. Amin Abdullah mengibaratkan integrasi-interkoneksi seperti halnya mata
uang yang memiliki dua bagian yang tidak bisa dipisahkan.
Integrasi-interkoneksi merupakan dua kata yang berbeda, tapi mempunyai
maksud dan tujuan yang sama yaitu menggabungkan dan mengkaitkan dua
persoalan yang dianggap terpisah. Dalam hal ini, mengkaji atau mempelajari
tentang satu bidang tertentu dengan tetap melihat bidang keilmuan lainnya itulah
integrasi; sedangkan melihat kesaling-terkaitan dengan berbagai disiplin keilmuan
adalah yang dimaksud dengan interkoneksi. Kata integrasi-interkoneksi akhir-akhir
ini menjadi trend baru bagi civitas akademika dalam mengembangkan disiplin
keilmuan baik di tingkat pendidikan dasar maupun ditingkat perguruan tinggi. Kata
integrasi di dalam kamus ilmiah populer mempunyai makna “penyatuan”,
“penggabungan”, dan “penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh”. 12 Jadi, pada
hakikatnya paradigma integrasi-interkoneksi ingin menunjukkan bahwa antar
berbagai bidang keilmuan tersebut sebenarnya saling memiliki keterkaitan, karena
memang yang dibidik oleh seluruh disiplin keilmuan itu adalah realitas alam
12
Abdullah, M. Amin. 2006. Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif,
Cet. ke-1. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Hlm. 242.
semesta yang sama. Hanya saja, dimensi dan fokus yang dilihat oleh masing-masing
disiplin keilmuan berbeda.
Pendekatan kontak mengemukakan bahwa pengetahuan ilmiah dapat
memperluas cakrawala keyakinan religius (teologi) dan bahwa perspektif keyakinan
religius dapat memperdalam pemahaman kita tentang alam semesta (kosmologi) .
Selanjutnya, jika ditelisik lebih jauh, gagasan integrasi ilmu pengetahuan agama dan
ilmu pengetahuan umum sebenarnya bukan merupakan fenomena baru dalam
khazanah epistimologi keilmuan Islam, pada asasnya Islam tidak mendikotomikan
antara ilmu agama dan ilmu umum. Hal itu dapat dilihat dari sabda Nabi
Muhammad saw., “Menuntut ilmu pengetahuan wajib bagi setiap muslim” Kata ilmu
yang tertera di dalam hadis tersebut tidak secara spesifik merujuk ilmu apa yang
wajib dipelajari: apakah ilmu agama (islamic studies) ataukah ilmu-ilmu umum
(modern science). Hal ini mengindikasikan bahwa Islam sebagai asas normatif-inklusif
memberikan kebebasan kepada umat Islam dalam mempelajari ilmu pengetahuan
dengan tidak memandang atau memilah-memilih terhadap bidang keilmuan, baik
ilmu yang berasal dari Islam (Al-Qur‟an dan hadis) maupun ilmu yang berasal dari
Barat (sekuler) Oleh sebab itu, gagasan integrasi-interkoneksi tidak menjadi
persoalan dan tidak pula diperdebatkan ke permukaan karena semua itu
merupakan ilmu yang berasal dari Allah swt.13
Secara epistemologis, paradigma integrasi-interkoneksi merupakan jawaban
atau respon terhadap kesulitan-kesulitan yang dirasakan selama ini. Kesulitan yang
diwariskan dan diteruskan selama berabad-abad dalam peradaban Islam tentang
adanya dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama. Kedua disiplin ilmu ini
berjalan sendiri-sendiri tanpa perlu saling tegur sapa. Setelah adanya paradigma
integrasi-interkoneksi yang dilakukan dalam domain internal ilmu-ilmu keislaman,
dan juga dalam disiplin keilmuan ilmu-ilmu umum, masing-masing rumpun ilmu
menyadari keterbatasan-keterbatasan yang melekat pada dirinya dan oleh karena itu
keduanya bersedia untuk berdialog dan bekerjasama satu sama lain untuk
melengkapi kekurangan masing-masing.
Dr. M. Quraish Shihab mengatakan, membahas hubungan Alquran dan ilmu
pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan

13
Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu: Epistimologi. Metodologi dan Etika, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006).hlm 10-24.
yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori
ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat
sesuai dengan kemurnian dan kesucian al-Quran dan sesuai pula dengan logika
ilmu pengetahuan itu sendiri. Tidak perlu melihat apakah di dalam Alquran
terdapat ilmu matematika, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu komputer dll, tetapi yang
lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat–ayatnya menghalangi kemajuan ilmu
pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Alquran yang bertentangan
hasil penemuan ilmiah yang telah mapan.14
. Kuntowijoyo mengatakan bahwa Alquran sesungguhnya menyediakan
kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagai cara berpikir. Cara berpikir
inilah yang dinamakan paradigma Alquran, paradigma Islam. Pengembangan
eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada paradigma
Alquran jelas akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan. Kegiatan itu mungkin
menjadi pendorong munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alternatif. Jelas bahwa
premis-premis normatif Alquran dapat dirumuskan menjadi teori-teori empiris dan
rasional. Struktur transendental Alquran adalah sebuah ide normatif dan filosofis
yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Ia akan memberikan kerangka
bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan rasional yang orisinal, dalam arti
sesuai dengan kebutuhan pragmatis umat manusia sebagai khalifah di bumi. Itulah
sebabnya pengembangan teori-teori ilmu pengetahuan Islam dimaksudkan untuk
kemaslahatan umat Islam.15
Pendekatan integratif-interkonektif merupakan usaha untuk menjadikan
sebuah keterhubungan antara keilmuan agama dan keilmuan umum. Muara dari
pendekatan integratif-interkonektif menjadikan keilmuan mengalami proses
obyektivikasi dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh orang non-Islam sebagai
sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan. Sekalipun
demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa tetap menganggapnya sebagai
perbuatan keagamaan, termasuk amal, sehingga Islam dapat menjadi rahmat bagi
semua orang.
4. Perbedaan Integrasi-interkoneksi Ilmu, Islamisasi Ilmu, Dan Ilmuisasi
Islam
14
M. Quraish Shihab, Sejarah dan Ulum al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 41.
15
Kuntowijoyo, Paradigma Islam..., hlm.130
Sebelum penulis membahas lebih dalam tentang perbedaan antara Integrasi-
Interkonkesi ilmu, Islamisasi ilmu, dan Ilmuisasi Islam, alangkah baiknya jika
penulis memaparkan pengertian secara singkat antara ketiga istilah diatas. Sehingga
tidak akan menimbulkan kerancuan dalam pemahaman tentang perbedaan antara
ketiganya.
Integrasi-interkoneksi merupakan dua kata yang berbeda, tapi mempunyai
maksud dan tujuan yang sama yaitu menggabungkan dan mengkaitkan dua
persoalan yang dianggap terpisah. Dalam hal ini, mengkaji atau mempelajari
tentang satu bidang tertentu dengan tetap melihat bidang keilmuan lainnya itulah
integrasi; sedangkan melihat kesaling-terkaitan dengan berbagai disiplin keilmuan
adalah yang dimaksud dengan interkoneksi. Kata integrasi-interkoneksi akhir-akhir
ini menjadi trend baru bagi civitas akademika dalam mengembangkan disiplin
keilmuan baik di tingkat pendidikan dasar maupun ditingkat perguruan tinggi. Kata
integrasi di dalam kamus ilmiah populer mempunyai makna “penyatuan”,
“penggabungan”, dan “penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh”. 16 Jadi, pada
hakikatnya paradigma integrasi-interkoneksi ingin menunjukkan bahwa antar
berbagai bidang keilmuan tersebut sebenarnya saling memiliki keterkaitan, karena
memang yang dibidik oleh seluruh disiplin keilmuan itu adalah realitas alam
semesta yang sama. Hanya saja, dimensi dan fokus yang dilihat oleh masing-masing
disiplin keilmuan berbeda.
Islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Attas, yaitu Pembebasan manusia
dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan
Islam) dan dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran. Sedangkan Menurut
Al-Faruqi Islamisasi ilmu pengetahuan berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti
eliminasi, perubahan, penafsiran kembali dan penyesuaian terhadap komponen-
komponennya sebagai world view Islam (pandangan dunia Islam) dan menetapkan
nilai-nilainya. Islamisasi Ilmu berusaha supaya umat Islam tidak begitu saja meniru
metode-metode dari luar dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya,
yaitu tauhid.17

16
M.Amin Abdullah, Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, (Yogyakarta: SUKS Press,
2007), hal. ix.
17
Armas, Adnin. 2005. Westernisasi dan Islamisasi Ilmu, dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan
Peradaban Islam. Jakarta: INSIST. Thn II No.6/ Juli-September. Hal 9-10.
Secara harfiah, frasa “Pengilmuan Islam” berarti menjadikan Islam sebagai
ilmu. Dengan “Pengilmuan Islam”, yang ingin ditujunya adalah aspek universalitas
klaim Islam sebagai rahmat bagi alam semesta bukan hanya bagi pribadi-pribadi
atau masyarakat Muslim, tapi semua orang; bahkan setiap makhluk di alam semesta
ini. “Rahmat bagi alam semesta” adalah tujuan akhir pengilmuan Islam. Rahmat itu
dijanjikan bukan hanya untuk Muslim tapi untuk semuanya. Tugas Muslim adalah
mewujudkannya; pengilmuan Islam.
Dari pengertian integrasi-interkoneksi ilmu, Islamisasi ilmu, dan ilmuisasi
Islam di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan perbedaan dari ketiganya
sebagai berikut: Integrasi-iterkoneksi ilmu mengambil ilmu pengetahuan umum
(sains) dan ilmu agama sebagai objeknya. Integrase mengakaji ilmu pengetahuan
umum (sains) tetapi dengan tetap melihat ilmu agama, begitupun sebaliknya.
Interkoneksi mengkaji saling keterkaitan anatara ilmu pengetahuan umum (sains)
dengan ilmu agama, sehinga intgrasi-interkoneksi berusaha mengkaji kedua bidang
ilmu tersebut dengan mencari kesinambungan dan keterkaitan antara kedua bidang
ilmu tersebut, sehingga keduanya saling menyapa dan berjalan saling beriringan.
Islamisasi ilmu berusaha mengembalikan ilmu (konteks) ke teks (al-Qur‟an
dan al-Hadis), dengan kata lain konteks ke teks. Artinya islamisasi ilmu berusaha
mengembalikan ilmu pengetahuan kepada pusatnya yaitu tauhid, serta
membebaskan manusia dari belenggu paham sekular. Paham sekular yang berarti
menganggap manusia sebagai pusat ilmu dan kebenaran dengan mengganntikan
kedudukan wahyu Tuhan sebagai petunjuk kehidupan manusia. Namun timbulah
pertanyaan, apakah ilmunya Al-Kwarizm yaitu algoritma, ilmunya Al-bantani yaitu
trigonometri, dan ilmunya Ibnu Sina yaitu kedokteran, bisa di Islamkan? Tentu
jawaanya tidak. Maka dari itu, Islamisasi ilmu mengalami stagnasi.
Ilmuisasi Islam merupakan kebalikan dari Islamisasi ilmu, Islamisasi ilmu
bergerak dari konteks ke teks, sedangkan Ilmuisasi Islam berangkat dari teks ke
konteks yang berarti menjadikan Islam sebagai ilmu. Dengan tujuan aspek
universalitas, Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta, bukan hanya bagi
pribadi-pribadi ataupun bagi umat muslim saja. Tapi bagi seluruh umat manusia
bahkan setiap mahluk hidup di alam semesta ini.
B. Hubungan Ilmu dan Agama
Pada hakikatnya, teori integrasi ilmu menjelaskan tentang bagaimana
hubungan ilmu dan agama, dalam hal ini Islam. Menurut Ian Barbour ada 4 pola
hubungan antara ilmu dan agama, yaitu konflik, independen, dialog, dan integrasi.
Dalam bentuk konfllik hubungan ilmu dan agama diposisikan pada posisi saling
berhadap-hadapan, di mana yang satu menegasikan yang lain. Dalam lintasan
sejarah, hubungan ilmu dan agama semacam ini pernah terjadi pada beberapa era
dan dikalangan umat Islam dan juga kristen. Bagaimana konflik filsafat dan ulama
pada era kemunduran Islam memadai untuk menjelaskan bagaimana hubungan
konflik hampir serupa terjadi antara ilmuan Galelio Galeli dengan pihak Gereja.
Konflik terjadi akibat pengaburan batas-batas sains dan agama. Keduanya bersaing
dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama sehingga orang harus memilih
salah satunya.18
Pada fase selanjutnya hubungan ilmu dan agama bersifat independen,
dimana agama berjalan dan berkembang sendiri disatu sisi, sedangkan ilmu
pengetahuan berjalan dan berkembang sendiri disisi lain. Keduanya ditarik garis
pemisah untuk menunjukkan kontras atau independensi. Dalam situasi bentuk
hubungan seperti ini menggambarkan seolah-olah agama dan ilmu merupakan dua
hal yang berbeda dengan ilmu, karena itu tidak dapat disatuka. Sementara ilmu
tetap dianggap sebagai ilmu. Keduanya merupakan dua hal yang berjalan sendiri-
sendiri tidak saling menyapa apa lagi berdialog.
Baru pada era modern muncul gagasan untuk meningkatkan keintiman
hubungan ilmu dan agama dari taraf dialog ke jenjang integrasi. Hal ini berupaya
untuk mengukuhkan sains beserta asumsi metafisinya pada pandangan dasar
agama mengenai realitas yang akhirnya berakar pada wujud yang disebut Tuhan. Di
kalangan Muslim muncul beberapa tokoh yang mempelopori gerakan integrasi atau
Islamisasi ilmu, seperti Ziau’ al-Din Sadr, Ismail Al-Faruq. Naquib Al-Attas,
Abdullah Sa’ed, Mahdi Ghulsyani, Fazlurrahman, M. Iqbal dan lainnya. Di
indonesia muncul tokoh yang menggerakkan proses islamisasi dan model integrasi
ilmu, antara lain Mulyadi Kertanegara, Hanna Djumhana Bastamam, Kuntowijoyo,
dan M, Amin Abdullah.

18
Khoirul Warisin, RELASI SAINS DAN AGAMA PERSPEKTIF IAN G. BARBOUR DAN ARMAHEDI MAZHAR,
Rahmatan Lil Alamin Journal of Peace Education and Islamic Studies pISSN 2622-089X eISSN 2622-0903, Vol. 1
No. 1 Juli 2018. hal. 17-18.
III. Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa model
Islamisasi Ilmu, Ilmuisasi Islam, dan Integrasi yang ditawarkan para ilmuan di atas
berangkat dari spirit yang sama yaitu hasrat untuk menjadi Islam dan umatnya
sebagai umat terbaik melaui langkah pembangun ilmu pengetahuan dan ideology
yang shahih, valid, dan visible dalam memecahkan berbagai persoalan kontemporer.
Sehingga umat Islam menjadi pemain, tidak hanya penonton dalam panggung
kehidupan ini.
Setiap model yang digagas memiliki kelebihan dan kelemahan, sehingga
semuanya dapat saling melengkapi. Jika pemikiran mereka dirajut satu sama lain,
maka terbentuklah sebuah konstruksi filosofis pembangunan umat Islam dan ilmu
pengetahuan serta teknologi, sekaligus langkah praktis untuk mewujudkannya.
Rekontruksi aspek ontologies dan aspek aksiologis sains modern yang diintrodusir
antara lain oleh Mahdi Ghulsyani dan Sayyed Naquib al-Attas, dan Kuntowijoyo
dirajut dengan rekontruksi epistemology Muhammas Amin Abdullah, serta
langkah-langkah praktis yang digagas al-faruqi, maka akan melahirkan sebuah
bangunan ilmu pengetahuan yang mampu mengoreksi kelemahan yang
dimilikisains modern sekaligus menjamin kemaslahatan manusia dunia dan
sekaligus akhirat.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. 2006. Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan


Integratif-Interkonektif, Cet. ke-1. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
Armas, Adnin. 2005. Westernisasi dan Islamisasi Ilmu, dalam Islamia: Majalah
Pemikiran dan Peradaban Islam. Jakarta: INSIST. Thn II No.6/ Juli-September.
Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur‟an Terjemas Edisi Tahun 2002, (Jakarta:
AlHuda, 2005).
Khoirul Warisin, RELASI SAINS DAN AGAMA PERSPEKTIF IAN G.
BARBOUR DAN ARMAHEDI MAZHAR, Rahmatan Lil Alamin Journal of Peace
Education and Islamic Studies pISSN 2622-089X eISSN 2622-0903, Vol. 1 No. 1 Juli 2018.
Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas, (Bandung: Mizan,
2002).
Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu: Epistimologi. Metodologi dan Etika,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006).
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu (Epistemologi, Metodologi dan Etika,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007).
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan,
2008).
M.Amin Abdullah, Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi,
(Yogyakarta: SUKS Press, 2007).
M. Quraish Shihab, Sejarah dan Ulum al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000).
Muhammad Zainal Abidin, Paradigma Islam Dalam Pembangunan Ilmu
Integralistik: Membaca Pemikiran Kuntowijoyo, (Banjarmasin: IAIN Antasari Press,
2016).
Suprayogo, I. 2005, Paradigma Pengembanagan Keilmuan pada Perguruan Tinggi:
Konsep Pendidikan Tinggi yang dikembangkan UIN Malang, Malang: UIN Malang Press.
Sutrisno, Critical Issues and reform in Muslim Higher Education, (Kuala Lumpur:
IIUM, 2015).
Syamsul Arifin, “Dimensi Profetisme Pengembangan Ilmu Sosial Dalam Islam
Perspektif Kuntowijoyo”, Jurnal Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 4,
Nomor 2, Desember 2014.
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008).

Anda mungkin juga menyukai