Anda di halaman 1dari 3

Kesimpulan

1. Perlu sekali adanya keseragaman istilah dan pengertian ”kewenangan hukum”, ”kecakapan
bertindak”, dan ”kewenangan bertindak”.
2. Dalam hubungannya dengan kecakapan bertindak, yang dikaitkan dengan umur dewasa, kita
telah mempunyai patokan usia dewasa yang berlaku bagi semua anggota masyarakat dalam UU
Perkawinan.
3. Ukuran dewasa 18 tahun adalah ukuran yang pantas karena juga sudah tertulis dalam
ketentuan pasal 47 dan Pasal 50 dalam Undang-Undang Perkawinan bahwa UU Perkawinan itu
berpegang kepada patokan pada usia dewasa 18 tahun
4. Kewenangan pihak bagi si yang belum dewasa untuk menuntut pembatalan terhadap suatu
perjanjian yang telah ditutupnya, harus dibatasi sampai sejauh si belum dewasa itu mendapat rugi
atau tidak mendapat manfaat daripada perjanjian tersebut

Istilah Kecakapan Dari penelusuran literatur yang ada, secara eksplisit tidak disebutkan
definisi dari kecakapan. Menurut Pasal 2 BW, manusia menjadi pendukung hak dan
kewajiban dalam hukum sejak lahir sampai meninggal. Tetapi undang-undang
menentukan tidak semua orang sebagai pendukung hukum (recht) adalah cakap
(bekwaam) untuk melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya. Cakap (bekwaam) adalah
kriteria umum yang dihubungkan dengan keadaan diri seseorang. Ter Haar dalam
Djojodigoeno melihat kecakapan atau Volwassen adalah suatu kondisi sudah kawin dan
hidup terpisah dari orang tuanya. Subekti menulis orang yang membuat suatu perjanjian
harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil
baliq dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Cakap menurut Subekti
diartikan mengerti akan sesuatu yang dilakukan serta mengetahui dampak dari perbuatan
yang dilakukannya. Dengan kata lain, sudah dapat mengendalikan apa yang diperbuatnya
serta mampu mempertanggungjawabkannya. J. Satrio menulis kecakapan melakukan
tindakan hukum dalam hukum perdata, dapat disimpulkan bahwa pada asasnya yang
dapat melakukan tindakan hukum secara sah dengan akibat hukum yang sempurna adalah
mereka yang telah dewasa. Masalah ketidakcakapan bertindak di dalam hukum, tidak
harus sesuai dengan kenyataan atau dengan kata lain, ketidakcakapan di sini adalah
ketidakcakapan yuridis atau ketidakcakapan yang dipersangkakan (jurisische
onbekwaamheid atau veronderstelde onbekwaamheid), bukan ketidakcakapan yang
senyatanya (sesuai dengan kenyataan yang ada).

Istilah Dewasa Terhadap kata dewasa, di dalam literatur dijumpai banyak definisi yang
berasal dari pengertian belum dewasa dalam Pasal 330 BW. Namun, yang menarik adalah
adanya perbandingan kedewasaan dalam BW dengan makna dewasa dalam Hukum Islam
maupun hukum adat. Hal ini diperlukan mengingat Hukum Perdata kita pada
kenyataannya masih menggunakan sistem pluralisme. Bahkan, hal ini dapat dibuktikan
bahwa masalah kedewasaan dalam Putusan Hakim masih ada yang menggunakan
pertimbangan hukum adat. Dari penelusuran literatur diperoleh tahapan batasan umur
dengan pendekatan psikologis yang kemudian dikaitkan dengan batasan umur kecakapan
hukum, dimulai dari dewasa awal, dewasa pertengahan hingga dewasa akhir, namun pada
umumnya batasan umur seorang anak telah dianggap mampu dan bertanggung jawab
pada umur 18 tahun.

Analisis Undang-Undang Perkawinan terhadap Kecakapan dan Kewenangan Bertindak


Berdasarkan Umur Dalam UU Perkawinan, ada beberapa pasal yang menjadi perhatian
peneliti berkaitan dengan ”Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasarkan Batas
Umur”. Pasal tersebut adalah sebagai berikut;
Pasal 6
ayat (2) Untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur 21 (dua
puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
ayat (3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin yang dimaksud pada ayat (2)
pasal 6 ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang
mampu menyatakan kehendaknya.
Pasal 7
ayat (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Di dalam
ketentuan Pasal 6 ayat (2) memperlihatkan bahwa kewenangan untuk melakukan
perkawinan bersifat mutlak ketika seseorang sudah berumur 21 tahun. Jadi, meskipun
menurut Pasal 7 ayat (1), pria yang mencapai umur 19 tahun dan wanita yang mencapai
umur 16 tahun berwenang untuk melakukan perkawinan, kewenangan tersebut bersifat
terbatas karena masih memerlukan izin dari kedua orang tua. Dengan melakukan
perbuatan hukum perkawinan akan membawa dampak kepada orang tersebut untuk
menjadi cakap bertindak dalam hukum. Namun, terdapat permasalahan penafsiran
terhadap bunyi Pasal 47 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan: ”Anak yang belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan
ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.”
Dengan demikian, anak yang sudah melampaui umur 18 tahun, tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua atau wali. Hal ini menunjukkan bahwa dia sudah mampu
bertanggung jawab secara hukum (cakap). Berbeda dengan pengaturan dalam Pasal 1330
jo 330 BW yang mendasarkan kecakapan pada umur dewasa, yaitu 21 tahun.

Batas umur kedewasaan, baik di dalam BW maupun di dalam UU No. 1 Tahun 1974
mengalami konsistensi, yaitu sama-sama mengatakan ”dewasa” adalah berumur 21 tahun.
Namun, untuk izin menikah mengalami peningkatan, dari semula 18 tahun menjadi 19
tahun untuk laki-laki dan dari semula 15 tahun menjadi 16 tahun untuk perempuan

Anda mungkin juga menyukai