Anda di halaman 1dari 22

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBAGIAN HARTA WARIS

TERHADAP AHLI WARIS YANG HILANG (MAFQUD)


DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Alvina Olivia Sitorus


NIM 200200013
alvinasitorus89@gmail.com
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Hukum waris Islam adalah suatu proses pemindahan harta peninggalan dari seseorang
yang telah meninggal dunia, baik itu berupa hak-hak kebendaan maupun hak-hak lainnya kepada
ahli warisnya yang dinyatakan berhak secara sah oleh hukum. Dalam istilah lain, waris disebut
juga fara’idh yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang
berhak menerimanya. Masalah kewarisan ini juga terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
di dalam buku II Tentang Hukum Kewarisan yang dimulai dari pasal 171. Di dalam pasal 171
huruf a tersebut dikatakan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris menentukan yang berhak menjadi
ahli waris nya, dan berapa bagian masing-masing untuk ahli warisnya. Sumber hukum waris
islam diatur di dalam Al-Quran, Sunnah/Hadist dan Ijmak atau Ijtihad.
Hukum Islam menyebut orang hilang itu sebagai (mafqud), namun ketika kita ingin
menetapkan seseorang itu berstatus sebagai mafqud atau tidak maka ada aturan-aturan tersendiri
nya yang harus kita perhatikan terlebih dahulu supaya kita tidak salah dalam bertindak dan
supaya kita tidak salah dalam mengambil keputusan mengenai pembagian warisan terhadap
orang yang dinyatakan hilang tersebut untuk menciptakan adanya rasa keadilan terhadap pihak-
pihak ahli warisnya yang lain. Dalam suatu perkara mafqud ini sendiri, pihak yang ingin
mengajukan permohonan penetapan mafqud, dapat mengajukan permohonannya kepada
Pengadilan Agama.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan menjelaskan kepada si ahli waris
agar dalam pembagian harta waris dapat selalu menerapkan prinsip hukum Islam yang
berasaskan keadilan serta dapat memberikan masukan pengetahuan terhadap ahli waris yang
salah satunya tidak diketahui keberadaannya atau hilang (mafqud) sehingga akan timbul adanya
rasa keadilan bagi ahli waris lainnya mengenai berapa jumlah yang harus diterima. Adapun
permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah proses dari pembagian harta warisan itu
apabila ahli waris yang hilang (mafqud) ditinjau dari persfektif hukum Islam serta
bagaimanakah penyelesaian atas batas waktu pewarisan terhadap ahli waris yang hilang
(mafqud) ditinjau dari hukum islam.
Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriptif, metode
ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang dianalisis secara kualitatif dari teori-teori
hukum, doktrin-doktrin hukum dan pendapat-pendapat para pakar Islam dengan pendekatan
normatif. Penelitian bertujuan untuk memperoleh data sekunder melalui penelitian kepustakaan
(library research).
Kata Kunci : Hukum Waris Islam, Ahli Waris, Orang Hilang (Mafqud)

I. PENDAHULUAN
Setiap manusia secara kodrati akan mengalami fase-fase kehidupan, mulai dari ia
lahir, hidup hingga meninggal dunia. Setiap manusia memiliki hak dan kewajiban
masing-masing dalam menjalankan peran serta kedudukannya selama hidup nya
bahkan hingga sampai akhir hayatnya.
Ketika seorang manusia meninggal dunia, maka hubungan hukum atas dirinya tidak
dapat lenyap seketika, karena pihak yang lenyap tidak hanya meninggalkan seorang
manusia melainkan berupa barang yang berpengaruh langsung pada banyaknya
kepentingan-kepentingan berbagai anggota lain dari masyarakat selama hidup orang
tersebut, dengan demikian akan timbul hukum dengan terjadinya peristiwa kematian
orang tersebut yakni masalah dan kewajiban yang membutuhkan pemeliharaan dan
penyelesaian orang lain. Penjelasan hak-hak dan kewajiban tersebut akan diatur
dalam hukum kewarisan.
Indonesia merupakan negara yang mayoritas warga negaranya beragama Islam.
Hukum Islam sendiri dipahami sebagai sebuah hukum yang bersumber dari ajaran
syariat islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits, yang mengatur kehidupan manusia untuk
mencapai kebahagiaan dunia maupun akhirat. Hukum islam ialah hubungan hukum
antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya atau hubungan manusia
dengan benda dan juga hubungan hukum antara manusia dengan tuhan.1
Hukum Islam itu sendiri mencakup berbagai aspek seperti waris, wakaf, hibah dan
wasiat. Hukum islam merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan nya dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Jika kita
berbicara mengenai waris, maka waris merupakan hal yang sangat sensitif di dalam
kehidupan masyarakat dan bahkan cenderung menjadi penyebab keluarga bertikai.
Tak jarang sebuah keluarga hancur dan saling bermusuhan dikarenakan persoalan
waris yang pembagiannya tidak adil. Bagi umat islam pembagian waris menggunakan
ilmu faraid adalah sebuah keharusan sebagai konsekuensi ketaatan dalam
menjalankan syariat islam.2
Hukum waris yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih belum merupakan
unifikasi hukum. Atas dasar peta hukum waris yang di karenakan atau sebab dia
menjadi ahli waris di kerenakan adanya hubungan darah / nasab dan di kerenakan
adanya perkawinan masih demikian pluralistiknya, akibatnya sampai sekarang ini
pengaturan masalah kewarisan di Indonesia ini masih belum terdapat keseragaman.
Hukum waris sebagai salah satu bidang hukum yang berada di luar bidang yang
bersifat netral kirannya sulit untuk di perbaharui dengan jalan perundang-undangan
atau kodifikasi guna mencapai suatu unifikasi hokum yang baik. Hal itu di sebabkan
karena upaya ke arah membuat hukum waris yang mendapat kesulitan, mengingat
beranekaragamnya corak budaya, agama, sosial dan adat istiadat serta sistem
kekeluargaan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia.
Sebagai akibat dari keadaan masyarakat seperti di kemukakan di atas. Hukum
waris yang berlaku di Indonesia dewasa ini bergantung pada hukumnya si pewaris.
Hukum pewaris adalah hukum waris mana yang berlaku bagi orang yang meninggal
dunia atau pewaris termasuk golongan penduduk indonesia, maka yang berlaku
adalah hukum waris adat, sedangkan apabila pewaris termasuk golongan penduduk
eropa atau timur asing cina, bagi mereka berlaku hukum waris barat.
Salah satu sumber tertinggi dalam kaitan ini adalah Al-Qur’an dengan sebagai
pelengkap yang menjabarkannya adalah Sunnah Rasul beserta hasil-hasil ijtihad atau
upaya para ahli hukum islam terkemuka yang berkaitan dengan hal tersebut, di bawah
1
R. Saija dan Iqbal Taufik, 2016, Dinamika Hukum Islam, Yogyakarta : Deepublish, hlm. 1
2
Wirjono Prodjodikoro, 1988, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung : Sumur Bandung, hlm. 13
ini beberapa ayat suci Al-Qur’an yang merupakan sendi utama pengaturan warisan
dalam islam. Ayat-Ayat tersebut secara langsung menegaskan perihal pembagian
harta warisan di dalam Al-Qur’an.
Syariat islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil.
kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik itu laki- laki maupun perempuan dengan
cara yang legal. Syariat islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan
seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan
nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil. Al-
Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan
hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seseorang pun. Bagian yang harus di terima
semuanya di jelaskan sesuai dengan kedudukan nasab terhadap pewaris.
Dalam surah An-Nisa ayat 7 dikatakan :
“ bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan bapak ibu dan kerabatnya
dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan
kerabatnya baik sedikit atau pun banyak menurut bagian yang telah di tetapkan”
Dalam surah An-Nisa ayat 33 dikatakan :
Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan). Kami telah menetapkan ahli
waris atas harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat,
kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah
bersumpah setia dengan mereka, maka kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya
Allah menyaksikan segala sesuatu.
Sumber berikutnya adalah Hadits Seperti Hadits Riwayat Muslim yang berisi
“Bagilah harta warisan kepada ahli waris (ashabul furudh) sesuai dengan ketetapan
kitabullah, sedang sisanya ke pihak keluarga laki-laki yang terdekat” (HR.Muslim)
dan Sumber terakhir adalah ijma’ atau Ijtihad para ulama yaitu Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang sudah menjadi hukum positif berdasarkan Intruksi Presiden Nomor
1 Tahun 1991 di dalam Buku II Pasal 171 s/d 214 termuat hukum kewarisan yang
berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah atau Hadits.
Berdasarkan undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang perubahan atas
undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, maka hukum
kewarisan islam menjadi hukum positif di Indonesia, khususnya bagi umat islam.
Dalam perkembangannya, hukum kewarisan di dalam KHI di atur pada pasal 171
sampai 193.
Para ahli waris yang menerima warisan dari si pewaris tidak hanya berhak atas aktiva
nya saja melainkan juga mempunyai kewajiban untuk menerima pasivanya yaitu
hutang si pewaris. Tidak semua hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris dapat
beralih kepada ahli waris.
Pengertian peninggalan dalam hukum islam yang di kenal di kalangan fuquha
ialah segala sesuatu yang di tinggalkan si pewaris, baik berupa harta(uang) atau
lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang telah di tinggalkan oleh orang yang
meninggal yang dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya
bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok
hartanya seperti harta berstatus gadai, atau utang piutang yang berkaitan dengan
kewajiban pribadi yang mesti di tunaikan misalnya pembayaran kredit atau mahar
yang belum di berikan kepada istrinya.3
Hukum kewarisan dalam islam mendapat perhatian besar, karena pembagian
warisan ini sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi
keluarga yang ditingal mati pewarisnya. Naluriah manusia yang menyukai harta
benda tidak jarang memotivasi seseorang untuk menghalalkan berbagai cara untuk
mendapatkan harta benda tersebut, termasuk di dalamnya terhadap harta benda
peninggalan pewarisnya sendiri. Kenyataan demikian telah ada dalam sejarah umat
manusia hingga sampai sekarang ini. Terjadinya kasus-kasus gugat waris di
pengadilan, baik pengadilan agama maupun pengadilan negeri menunjukan fenomena
ini.
Bahkan turunnanya ayat-ayat Al-Qur’an yang mengatur pembagian harta warisan
yang menunjukannya bersifat qath’i al adalah merupakan refleksi sejarah dari adalah
adanya kecenderungan materialistis umat manusia, di samping sebagai rekayasa
sosial terhadap sosial terhadap sistem hukum yang berlaku di masyarakat.

II. METODE PENELITIAN


Metode penelitian sangatlah berperan penting untuk mendapatkan data yang akurat
3
Lukman-faisal, hak waris dari orang hilang menurut hukum waris islam
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/view/3078, diakses pada [23/10/2022] pukul 09.10 WIB
dan terpercaya. Metode penelitian ini juga dapat digunakan sebagai alat atau cara
untuk dijadikan pedoman dalam melakukan penelitian.
Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian hukum ini adalah dengan
menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Penelitian hukum normatif
merupakan penelitian yang mengutamakan data kepustakaan yaitu penelitian terhadap
data sekunder. Data sekunder tersebut dapat berupa bahan hukum primer, sekunder
maupun tersier. Penelitian ini meliputi penelitian mengenai ketentuan hukum positif
yang berlaku di indonesia yang mengatur mengenai pewarisan harta terhadap ahli
waris yang hilang.
Tahap penelitian yang dilakukan ialah tahap penelitian kepustakaan yaitu sebagai
berikut:
Penelitian Kepustakaan
Sebuah teknik yang mengumpulkan data sekunder dengan cara mempelajari dan
menganalisis bahan-bahan hukum dalam penelitian. Data yang diteliti dapat berwujud
data yang di peroleh melalui bahan-bahan kepustakaan dan/atau secara langsung dari
masyarakat.4
Penelitian Kepustakaan ini terdiri dari:
1) Bahan Hukum Primer
Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian dengan kekuatan yang
mengikat meliputi norma dan kaidah dasar seperti, peraturan perundang-undangan
catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan, dan
putusan hakim, dalam penelitian meliputi:
a. Undang-Undang dasar 1945 amandemen ke empat
b. Interuksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam (KHI)
c. Al-quran
d. Hadits Rasul
e. Ijma’ atau Ijtihad
f. UU Nomor 50 tahun 2009 perubahan atas UU Nomor 3 tahun 2006 perubahan atas
UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama

4
Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum, jakarta : Ghalia Indonesia, 1990, hlm.24.
g. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2) Bahan Hukum Sekunder


Bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan
implementasinya, seperti menganalisis dari buku-buku yang dipinjam dari
perpustakaan universitas sumatera utara yang berkaitan dengan judul penelitian, hasil-
hasil penelitian orang lain yang dijadikan sebagai bahan refrensi pembelajaran, hasil
karya dari kalangan hukum, makalah-makalah, jurnal-jurnal hukum yang berkaitan
dengan judul penelitian, seminar dan karya ilmiah lainnya. Dalam penelitian ini
meliputi bahan-bahan bacaan yang ada hubungannya dengan masalah kewarisan
islam, dan pewarisan orang hilang mengenai objek yang diteliti yaitu literatur dan
karya ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang akan di teliti.

3) Bahan Hukum Tersier


Bahan hukum yang memberikan penjelasan lebih lanjut dari bahan hukum primer
dan sekunder yaitu, kamus, baik itu berupa kamus terjemahan maupun kamus hukum,
majalah dan internet (virtual research)

Teknik Pengumpulan Data


Dalam penelitian ini teknik yang digunakan yaitu teknik studi kepustakaan.
Studi Kepustakaan ini di lakukan dengan penelitian yang sifatnya literatur untuk
mencari, menemukan, menggali informasi dan menggunakan bahan-bahan mengenai
konsepsi-konsepsi, teori-teori, atau pun pendapat-pendapat ahli yang berkaitan
dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian hukum sebagai sebuah sistem
yang berhubungan dan memiliki relevansi yang jelas terhadap norma, asas-asas,
kaidah-kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, serta
doktrin. Sementara itu, metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
ialah berupa Content Analisis, yaitu menganalisis data dalam upaya relevan sebagai
dasar bagi peneliti untuk mengkaji teori dan mencari hubungan content fungsional
dengan judul penelitian.5

III. PEMBAHASAN
Hukum islam menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara pada masa sekarang. Berlakunya hukum islam di indonesia untuk sebagian
besar adalah tergantung pada umat islam yang menjadi pendukung utamanya.
Indonesia bukanlah sebuah negara islam tetapi sebuah negara nasional yang tidak
memberi tempat kepada umat islam untuk melaksanakan hukum islam tetapi juga
pada umat-umat penganut agama lain nya dalam hal ini katholik, kristen protestan,
konghucu, budha dan hindu. Akan tetapi secara formal negara juga tidak sepenuhnya
menutup mata pada pelaksanaan hukum islam sehingga di samping memiliki landasan
dogmatik pada ajaran agama, keberadaan hukum islam ini juga di dukung oleh
umatnya dan untuk sebagian mempunyai landasan formal dari kekuasaan Negara
Republik Indonesia.6
Pencerminan terhadap hukum islam, sebagai salah satu bagian dari aspek agama,
terdapat pula dalam pancasila seperti yang tertuang pada sila pertama yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana Indonesia adalah negara yang berdasar pada
Ketuhanan sebagimana juga dinyatakan dalam alinea ketiga pembukaan Undang-
Undang dasar 1945 amandemen ke IV yang berbunyi:
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaanya”.
Agama islam sendiri memandang berbagai jenis sumber daya yang dimiliki manusia
pada hakekatnya merupakan pemberian dan bahkan titipan dari Allah SWT. Islam
juga mengakui kepemilikan individu dalam batas-batas tertentu, batasan itu berpijak
pada kewajiban untuk mengeluarkan zakat ( bila telah sampai nisab dan haul
tergantung jenisnya) sadaqah, larangan untuk menumpuk harta, dan menolak
terjadinya akumulasi kekayaan oleh segelintir orang. Di saat yang sama, islam juga
menjamin kelangsungan dari harta-harta tersebut untuk generasi mereka selanjunya,
sehingga seseorang akan merasa tenang karena harta benda yang dimilikinya itu di
5
Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 141.
6
R. Abdul Djamali, Hukum Islam, Mandar Maju, Bandung, 1997, hlm.3
jamin oleh hukum untuk dimanfaatkan oleh mereka yang berhak siapapun orangnya,
dengan begitu mereka akan merasa tenang karena terhindar dari ketakutan akan
terjadinya peristiwa perebutan harta (dan) penguasaan secara sepihak oleh orang yang
tidak bertanggung jawab.7
Hukum waris islam yang termuat secara sistematik dari sudut keilmuan dalam
bingkai ilmu faraidh merupakan salah satu sistem jaminan (insurance system) yang
dapat memberikan ketenangan pada seseorang dari bahaya yang mungkin dapat
terjadi dan menyebabkan kerugian materiil maupun immateriil bagi keluarga atau
mereka yang berhak dari harta yang di tinggalkannya. Sistem waris islam juga
merupakan alat yang dapat meminimalisir ketakutan akan kemungkinan terjadinya
sesuatu yang tidak di inginkan dan dapat membawa dampak yang tidak disukai.8
Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dalam hal mengatur hukum waris islam
dapat di jumpai dalam beberapa surat dan ayat, yaitu sebagai berikut:
1. Menyangkut tanggung jawab orang tua dan anak ditemui dalam QS. Al- Baqarah
(2) ayat 233;
2. Menyangkut harta pusaka dan pewarisnya ditemui dalam QS. An-nisa (4) ayat 33,
QS. Al-Anfal (8) ayat 75 dan QS. AlAhzab (33) ayat 6;
3. Menyangkut aturan pembagian harta warisan, di temui dalam QS. An-Nisa (4) ayat
7-14,34, dan 176 ;
4. Ayat- ayat yang memberikan penjelasan tambahan mengenai kewarisan (berisi
pengertian pembantu).9
Orang hilang menurut istilah fiqih disebut (mafqud). Kata “mafqud” ini berasal dari
kata kerja faqoda, yafqidu dan mashdarnya fiqdanan, fuqdanan, fuqudan, yang berarti
ghob anhu wa „adamuhu - telah hilang atau tiada. Dalam Bahasa Arab, mafqud
berarti hilang atau lenyap. Sesuatu yang telah dikatakan hilang jika ia telah tiada. Di
dalam al-Quran terdapat ayat yang menyatakan qolu nahnu nafqidu shuwa‟al maliki,
yang artinya mereka menjawab kami telah kehilangan piala tempat minum raja yang
berarti mafqud itu adalah orang yang pergi meninggalkan kampung halamannya
dalam jangka waktu yang lama, tidak ada kabar beritanya, tidak diketahui tempat

7
Sajuti talib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, sinar grafika, jakarta, 1981, hlm.76
8
Mohammad Daud Ali ,Hukum Islam, PT. Rajagrafindo Persada, jakarta , 1998,
9
Suhrawardi K Lubis dan Komis simanjuntak, Hukum Waris Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2008, hlm.20
tinggalnya dan tidak diketahui apakah orang itu masih hidup atau sudah meninggal
dunia karena keberadaannya sama sekali tidak bisa dilacak.
Apabila orang yang mafqud itu berkedudukan sebagai pewaris maka hartanya tetap
menjadi miliknya dan belum dapat dibagikan kepada ahli warisnya sampai adanya
keyakinan tentang kematian dari si pewaris yang mafqud tersebut. Apabila orang
yang mafqud itu berkedudukan sebagai ahli waris maka harta warisan yang menjadi
bagiannya harus disimpankan pada saat sesudah ditetapkan kematiannya, jika ahli
waris yang lain atau berhak itulah yang diberikan.10
Orang hilang adalah seseorang yang sudah lama hilang tidak diketahui keadaannya
sehingga tidak diketahui apakah dia masih hidup atau sudah meninggal. Penjelasan
mengenai orang hilang terdapat pada dua sisi yaitu:
a. Orang lain mewarisi harta orang hilang; Terkadang, orang yang hilang, namun
yang menjadi pertanyaan nya apakah harta itu boleh diwarisi atau tidak? Asal
hukumnya, orang yang hilang masih dianggap hidup, jika dihubungkan dengan
hartanya. Oleh karena itu harta yang ditinggalkan masih tetap menjadi miliknya dan
harus dipelihara sampai keberadaan orang yang bersangkutan itu jelas. Apabila dia
kembali dalam keadaan hidup, sebelum hakim memutuskan kematiannya, harta
tersebut harus diserahkan kepadanya. Kalau ada yang mengambil hartanya tanpa hak,
maka orang yang mengambil itu harus mengembalikan atau menggantinya. Apabila
kematiannya sudah jelas dan ada buktinya atau ada surat-surat resmi yang
menegaskan kematiannya, maka kematiannya itu adalah kematian yang hakiki. Oleh
sebab itu, ahli warisnya boleh mewarisi terhitung mulai dari tanggal kematiannya.
Namun, jika tidak diketahui dalam posisi masih hidup atau sudah mati, dan keadaan
itu terus berlanjut, maka harta yang ditinggalkannya tetap menjadi miliknya sampai
ada keputusan dari hakim yang berhak mengeluarkan keputusan atas kematiannya itu.
b. Orang hilang mewarisi harta orang lain; Apabila orang yang hilang belum
diketahui secara pasti keadaannya, apakah ia masih hidup atau sudah mati, tidak dapat
diputuskan bahwa ia tidak dapat mewarisi karena ada kemungkinan ia masih hidup
atau sudah meninggal, Oleh karena itu, pembagian harta waris harus ditangguhkan

10
Syamsulbahri Salihima, 2015, Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan Dalam Hukum Islam Dan
Implementasinya Pada Pengadilan Agama, Jakarta : Prenamedia Group, hlm. 98
sampai keberadaan orang hilang itu diketahui.11

Status Hukum Mafqud


Menyangkut status hukum orang yang hilang para ahli hukum Islam menetapkan
bahwa:
a. Istri orang hilang tidak boleh dikawinkan
b. Harta orang yang hilang tidak boleh diwariskan
c. Hak-hak orang yang hilang tidak boleh dibelanjakan atau dialihkan
Menurut hukum Islam, kata hilang sama dengan kata mafqud. Sebagaimana firman
Allah surah Yusuf ayat 72 yang berbunyi:
“Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya”.
Maka dari itu ada dua pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam mencari
kejelasan status hukum orang yang hilang ini untuk menentukan waktu penangguhan
nya diantaranya yaitu:
1. Berdasarkan bukti-bukti otentik yang dapat di terima secara syari’at islam yang
dapat menetapkan suatu ketetapan hukum, sebagaimana dalam kaidah: “Tsa bitu bil
bayyinati katssabinati bil mu‟aa yanah”, artinya “yang tetap berdasarkan bukti
bagaikan yang tetap berdasarkan kenyataan”. misalnya putusan tersebut berdasarkan
persaksian dari orang yang adil lagi terpercaya. Jika demikian halnya, maka si
mafqud sudah hilang status mafqudnya, ia ditetapkan seperti orang yang mati haqiqi
sejak di putuskan oleh pengadilan.
2. Berdasarkan batas waktu lamanya kepergian atau berdasarkan kadaluarsa nya.
Untuk menentukan hidup atau matinya orang yang hilang, ulama-ulama berbeda
pendapat:
a. Seorang yang meninggal dianggap sudah meninggal dunia apabila teman-teman
sebayanya yang ada di tempat itu sudah meninggal dunia juga (ulama hanafiyah),
sedangkan jika di ukur dengan jangka waktu maka imam hanafiyah mengemukakan
harus melewati waktu 90 tahun untuk menentukan bahwa orang hilang itu sudah

11
Muhammad Muhyidin, Panduan Waris Empat Madzhab, (Pustaka Al-Kautsar 2009), Cet. Ke 1, h. 266.
meninggal. Pendapat ini senada dengan pendapat ulama syafi’iyah, akan tetapi
penepatan kematiannya yaitu hanya dapat di lakukan oleh keputusan lembaga
pengadilan.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tenggat waktu itu adalah 70 (tujuh puluh)
tahun, dengan landasan hadits Rasul yang menyatakan bahwa usia umatku berkisar
antara 60 (enam puluh) sampai dengan 70 (tujuh puluh) tahun.
Ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa tenggat waktu itu adalah 90 (Sembilan puluh)
tahun, yaitu batas usia orang-orang yang seperiode dengan dia di daerahnya. Tetapi,
pendapat yang sahih di kalangan ini adalah penentuannya bukan berdasarkan pada
bilangan waktu tertentu, melainkan berdasarkan pada bukti, yakni jika telah ada bukti
bagi hakim tentang kematian mafqud orang yang bersangkutan, maka berdasarkan
bukti itu hakim menetapkan kematian mafqud orang yang bersangkutan dan itu
setelah berlangsung suatu periode di mana secara kebiasan bahwa seseorang sudah
tidak mungkin lagi hidup di atas usia tersebut.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa jika mafqud itu hilang dalam suasana yang
memang memungkinkan yang bersangkutan itu telah binasa, seperti pergumulan
peperangan yang begitu dahsyat di mana kedua belah pihak saling berhadap-hadapan
dalam pnyerangan, atau tenggelamnya alat angkutan yang ditumpanginya, di mana
sebagian penumpang selamat dan sebagian lagi tidak selamat, maka di sini ditunggu
sampai tenggat waktu empat tahun. Tetapi jika ia hilang dalam suasana yang tidak
mungkin ia binasa, seperti pergi untuk berdagang, perjalanan wisata, atau menuntut
ilmu, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
1) ditunggu sampai yang bersangkutan berusia 90 (Sembilan puluh) tahun karena
biasanya di atas usia ini sudah tipis kemungkinannya bagi seseorang untuk dapat
bertahan hidup;
2) diserahkan pada petimbangan hakim.

b. Sedangkan menurut riwayat imam malik, bahwa apabila ada laki-laki yang hilang
di negara islam dan terputus beritanya, maka istrinya harus melapor kepada hakim,
dan apabila hakim tidak mendapatkannya, maka istri diberi waktu menunggu selama
empat tahun, dan kalau selama waktu 4 tahun itu sudah terlewati, maka istrinya
beriddah sebagaimana lazimnya seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, dan
setelah itu istrinya di perkenankan kawin dengan laki-laki lain. Pembagian warisan
telah jelas terdapat dalam penjelasan di atas, namun dalam hal pembagian warisan
orang yang hilang masih perlu di perhatikan kapan batas waktu untuk pembagiannya.
Adapun kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi terhadap orang yang hilang
yaitu sebagai berikut:
1) Apabila orang yang hilang itu diketahui masih hidup, ia boleh mengambil haknya
dari harta waris yang ditangguhkan pembagiannya.
2) Apabila orang hilang itu diketahui telah wafat setelah muwarriṡ meninggal dan ada
bukti yang dapat diterima nya sebagai harta yang ditinggalkannya dan bagian atas
harta waris digabungkan, kemudian dibagikan kembali untuk ahli warisnya yang
masih hidup.
3) Apabila bukti yang dapat diterima secara syari’at islam, jelas menyebutkan bahwa
orang yang hilang meninggal sebelum muwarriṡ wafat, orang yang hilang itu tidak
berhak mendapatkan apa-apa dari harta waris yang ditangguhkan pembagiannya.
Kemudian, harta waris yang ditangguhkan pembagiannya itu dibagikan untuk ahli
waris lain nya, dan harta yang ditinggalkan oleh orang yang hilang itu diserahkan
kepada ahli warisnya untuk dibagikan.
4) Apabila orang yang hilang tidak diketahui dengan pasti kapan kematiannya,
sebelum atau sesudah muwarriṡ wafat, dia tidak dapat mewarisi karena masih ada
keraguan di sana.
5) Apabila hakim memutuskan berdasarkan perkiraan yang kuat bahwa orang yang
hilang meninggal, orang itu dianggap meninggal terhitung sejak ia hilang. Oleh
karena itu, ia tidak dapat mewarisi harta yang ditangguhkan pembagiannya, dan
semuanya dikembalikan kepada ahli waris nya.
Sementara itu, ahli waris yang hidup ketika seseorang hilang, mendapatkan bagian
yang paling kecil dari dua kemungkinan cara menghitung pembagian harta waris,
sampai keberadaan orang yang hilang itu jelas.
Adapun kemungkinan-kemungkinan kondisi yang dihadapi ahli waris itu ada tiga,
yakni sebagai berikut:
1) Dapat mewarisi dalam satu kondisi dan tidak mewarisi dalam kondisi yang lain.
Oleh karena itu, ahli waris yang demikian tidak mendapatkan bagian apa-apa.
2) Bagian warisannya tidak berubah-ubah atau tidak terpengaruh, ketika orang yang
hilang itu masih hidup atau sudah meninggal. Ahli waris yang demikian mendapatkan
bagiannya secara sempurna.
3) Bagian warisannya berubah-ubah atau terpengaruh, ketika orang yang hilang itu
masih hidup atau sudah meninggal. Keadaan ini, ahli waris yang demikian diberikan
bagiannya yang paling sedikit berdasarkan dua kemungkinan cara menghitung
pembagian harta waris, sampai ada kejelasan tentang orang yang hilang itu
Dalam kondisi yang tidak jelas demikian, sudah perlu diambil langkah-langkah untuk
mengetahuinya, atau paling tidak ya menetapkan status hukumnya, baik melalui
pengumuman pada media masa, melaporkan kepada pihak yang berwajib atau melalui
cara-cara yang lainnya.
Apabila ada seseorang yang wafat dan mempunyai ahli waris, dan diantara ahli
warisnya itu ada salah satu ahli warisnya yang hilang tidak dikenal rimbanya, maka
cara pemberian hak warisnya ada dua keadaan yaitu:
1. Ahli waris yang hilang sebagai hijab hirman bagi ahli waris yang lain nya, yakni
membuat pihak yang akan mewariskan lain menjadi mahjub secara totalitas
2. Bukan sebagai hijab (penghalang) bagi ahli waris yang ada, tetapi bahkan sama-
sama berhak mendapat waris sesuai dengan bagian atau fardh-nya (yakni termasuk
ashabul fardh).
Pada keadaan pertama seluruh harta warisan peninggalan si pewaris dibekukan dulu,
tidak diberikan kepada ahli waris untuk sementara waktu hingga ahli waris yang
hilang itu muncul atau datang kembali atau diketahui tempat keberadaannya. Bila ahli
waris yang hilang ternyata masih hidup, maka dialah yang berhak untuk menerima
atau mengambil seluruh harta warisnya. Namun bila ternyata hakim telah
memvonisnya sebagai orang yang telah mati, maka harta waris tadi dibagikan kepada
seluruh ahli waris yang masih ada dan masing-masing mendapatkan sesuai dengan
bagian atau fardh-nya. Sebagai contoh, seseorang telah wafat dan ia meninggalkan
seorang saudara laki-laki, saudara kandung perempuan, dan anak laki-laki yang
hilang. Posisi anak laki-laki yang hilang tadi dalam hal ini disebut sebagai
penghalang apabila dia masih hidup, oleh karena itu seluruh harta warisan yang ada
untuk sementara waktu dibekukan dulu hingga anak laki-laki yang hilang itu muncul
atau datang kembali.
Sedangkan pada keadaan kedua ini, ahli waris yang ada berhak untuk menerima
bagian yang paling sedikit diantara dua keadaan orang yang hilang (sebagai ahli waris
yang hidup atau yang mati atau mirip dengan pembagian hak waris banci).
Maksudnya, bila ahli waris yang ada, siapa saja diantara mereka yang dalam dua
keadaan orang yang hilang tadi sama bagian hak warisnya, hendaknya ia diberi hak
waris secara sempurna tanpa dikurangi atau dilebihkan atau tanpa ada yang
dibekukan. Namun, bagi ahli waris yang berbeda bagian hak warisnya di antara dua
keadaan ahli waris yang hilang tadi (yakni keadaan hidup dan matinya), maka mereka
diberi lebih sedikit di antara kedua keadaan tadi. Namun, bagi siapa saja yang tidak
berhak untuk mendapatkan waris dalam dua keadaan orang yang hilang tadi, maka
dengan sendirinya mereka tidak berhak untuk mendapatkan harta waris sedikit pun.
Sebagai contoh, seseorang wafat dan maninggalkan istri, ibu, saudara laki-laki
seayah, dan saudara kandung laki-laki yang hilang.
Dalam keadaan yang demikian, bagian istri adalah seperempat (1/4), ibu seperenam
(1/6), dan sisanya (yakni yang seperenam) lagi untuk sementara dibekukan hingga
ahli waris yang hilang tadi telah nyata benar keadaannya, atau telah divonis sebagai
orang yang sudah meninggal. Sedangkan saudara laki-laki yang seayah tidak
mendapatkan hak waris apapun.
Dalam contoh tersebut, tampak ada penyatuan antara ahli waris yang tidak berbeda
bagian warisnya dalam dua keadaan orang yang hilang yaitu bagian istri seperempat
(1/4) dengan ahli waris yang berbeda hak warisnya di antara dua keadaan ahli waris
yang hilang tadi, yaitu bagian ibu seperenam (1/6). Sebab bila ahli waris yang hilang
tadi telah divonis oleh hakim sebagai orang yang telah meninggal, maka ibu
akan mendapat bagian sepertiga (1/3).
Dengan demikian mafqud berarti orang yang hilang.
Orang yang hilang dari negerinya dalam waktu yang cukup lama dan tidak diketahui
lagi keberadaannya apakah ia masih hidup atau sudah wafat. Contohnya adalah
seorang pebisnis yang pergi berbisnis ke suatu daerah yang tengah dilanda perang,
para relasinya yang dihubungi tidak diketahui keberadaannya, karena, menurut
mereka, pebisnis tersebut telah pulang ke negerinya, sedangkan keluarganya di rumah
menyatakan bahwa ia telah lama tidak pulang. Jika orang yang hilang berstatus
sebagai salah seorang dari ahli waris, dan orang yang diwarisinya meninggal dunia
sebelum ada keputusan dari hakim tentang kematiannya, maka kita mauqufkan
(bekukan) bagiannya, meskipun bagiannya menghabiskan sebagian besar harta
peninggalan. Lalu kita perlakukan kepada ahli waris lain yang hadir bagian yang
paling minim bagi mereka. Apabila salah seorang dari mereka gugur bagiannya
dengan keberadaan orang yang hilang, maka ia tidak dapat diberi apa pun dari harta
peninggalan (tirkah) sampai jelas duduk perkara orang yang hilang tersebut.
Demikian pula orang yang lebih memiliki bagiannya yang berkurang apabila terbukti
bahwa orang yang hilang masih hidup, maka kita berikan kepadanya bagian yang
paling sedikit untuknya. Adapun bagi orang yang tidak terpengaruh bagiannya oleh
kehidupan dan kematian orang yang hilang, maka kita berikan kepadanya bagian dari
haknya dengan sempurna.12
Macam-Macam Mafqud
Menurut pendapat qawul qadim Syafi‟i bahwa tidak ada perbedaan sebab putusnya
berita seperti karena mengalami musibah, kecelakaan, tenggelam, jatuh dari kapal dan
sebagainya yang serupa dan lainnya.
Macam-macam bentuk orang hilang (Mafqud) menurut mazhab Maliki, yaitu :
a. Hilang di negeri Islam. Dalam hal ini istri diperbolehkan untuk menuntut cerai dari
suaminya.
b. Hilang di negeri musuh (kafir). Mereka berpendapat bahwa hukumnya sama
dengan hukum orang tawanan, artinya istrinya tidak boleh dikawini oleh umat islam
yang lainnya dan harta bendanya tidak boleh dibagi. Kecuali pendapat Asyhab yang
mengatakan bahwa hukum suami tersebut sama dengan hukum orang yang hilang di
negeri islam.
c. Hilang dalam perang Islam, yakni perang antar kaum muslimin.
Malik berpendapat bahwa ia disamakan dengan orang yang mati terbunuh tanpa harus
menunggu. Pendapat lain mengatakan harus ditunggu berdasarkan dekat atau jauhnya
tempat terjadinya peperangan. Akan tetapi bagi Malik, masa menunggu yang paling

12
Al Imam Abu „Abdullah Alias Muhammad Ibnu Ali Ar Rahby, lmu Waris, Bandung : Nuansa Aulia, 2008, hal. 267.
lama adalah satu tahun.
d. Hilang dalam peperangan dengan kaum kafir.
Mengenai hal ini ada empat pendapat yaitu:
Pertama, hukumnya sama dengan hukum orang yang ditawan.
Kedua, hukumnya sama dengan hukum orang yang dibunuh sesudah menunggu masa
satu tahun, kecuali jika ia berada disuatu tempat yang sudah jelas, maka disamakan
dengan hukum orang yang hilang dalam peperangan dan tindak kekerasan yang
terjadi antar kaum muslimin.
Ketiga, hukumnya sama dengan hukum orang yang hilang di negeri kaum muslimin.
Keempat, hukumnya sama dengan hukum orang yang dibunuh berkaitan dengan
istrinya, dan sama dengan hukum orang yang hilang di negeri kaum muslimin
berkaitan dengan harta bendanya, yakni harus ditunggu, baru sesudah itu dibagi.13
Sementara itu dikalangan ulama madzhab Hambali membagi mafqud menjadi 2 (dua)
macam, yaitu:
a. Hilang yang menurut lahirnya selamat, seperti pergi berniaga ketempat yang tidak
berbahaya, pergi menuntut ilmu dan mengembara.
b. Hilang yang menurut lahirnya tidak selamat, seperti orang yang hilang tiba-tiba
diantara keluarganya, atau ia keluar untuk shalat tetapi tidak kembali lagi, atau ia
pergi karena suatu keperluan yang seharusnya ia kembali, lalu tidak ada kabar
beritanya atau ia hilang antara dua pasukan yang bertempur atau bersamaan dengan
tenggelamnya sebuah kapal dan sebagainya.14
Cara Pembagian Warisan Orang Hilang (Mafqud)
Apabila dalam persoalan waris ini ada orang yang belum diketahui keberadaannya,
masalah ini dapat diselesaikan dengan dua cara, karena ada dua kemungkinan.
Pertama, orang yang hilang diperkirakan masih hidup, dan kedua, orang yang hilang
itu diperkirakan sudah meninggal.

a. Contoh pertama; Ahli waris nya terdiri dari paman dan anak laki-laki yang hilang.
Harta warisan nya sebesar Rp. 100 juta. Tentukan bagian mereka?

13
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, jilid 2, diterjemahkan oleh Imam Ghazali Said dan Ahmad Zaidun, Pustaka
Amani, Jakarta, 2007, hal. 514.
14
Mahmoud Syaltout dan M. Ali as sayis, Op.Cit, hal. 248-248.
1) Jika mafqūd diperkirakan masih hidup.
Paman mahjub terhalang oleh anak. Anak laki-laki ashabah 1 x 100 juta = Rp. 100
juta
2) Jika mafqūd diperkirakan sudah mati.
Paman aṣᾱbah 1x 100 juta = Rp. 100 juta. Anak laki-laki sudah mati. oleh karena itu,
menurut ketentuannya, maka harta warisan belum dapat dibagikan sampai jelasnya
wafatnya si mafqūd

b. Contoh kedua; Ahli waris nya terdiri dari istri, ibu, dan saudara laki-laki sekandung
yang hilang. Harta warisan nya sebesar Rp. 360 juta. Tentukan bagian mereka?
1) Jika mafqūd diperkirakan masih hidup.
Istri mendapatkan 1/4 karena tidak ada anak.
Ibu mendapatkan 1/3 karena tidak ada anak dan saudara ada satu. Saudara laki-laki
sekandung aṣᾱbah.

Istri ¼ = 3/12 x 360 juta = 90 juta


Ibu 1/3 = 4/12 x 360 juta = 120 juta
Saudara laki-laki sekandung Aṣᾱbah 5/12 x 360 juta = 150 juta

2) Jika mafqūd diperkirakan sudah meninggal


maka Istri 1/4 karena tidak ada anak.
Ibu 1/3 karena tidak ada anak dan saudara ada satu yaitu saudara laki-laki sekandung
aṣᾱbah
Istri ¼ = 3/12 x 360 juta = 90 juta
Ibu 1/3 = 4/12 x 360 juta = 120 juta
Saudara laki-laki sekandung Aṣᾱbah/Mati 5/12 x 360 juta = 150 juta tidak dapat.
Masalah ini menjadi radd. Sisanya itu berhak dimiliki oleh ibu, karena istri tidak
menerima radd. Oleh karena itu, harta warisan sebesar 150 juta itu harus ditahan
sampai kepastian wafatnya jelas. Jika ternyata sudah mati, maka harta tersebut
menjadi milik ibu.15

IV. PENUTUP

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa yang penulis lakukan maka dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa waris mafqud diatur dalam AlQuran, hadits dan ijtihad. Al-Quran telah
menetapkan bagian waris mafqud di dalam surah An-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 176.
Menurut Ijtihad para ulama bahwa pengaturan ahli waris mafqud di serahkan kepada
Ijtihad hakim yang mana dalam proses pembagian harta waris harus sesuai dengan
penetapan hakim mengenai status mafqud dan mengenai batas waktu pewarisan
terhadap ahli waris yang mafqud tersebut hakim memiliki dua pertimbangan dalam
memutus perkara ahli waris mafqud ini yaitu yang pertama harus berdasarkan bukti-
bukti otentik atau persaksian dalam persidangan dan yang kedua harus berdasarkan
pada batas waktu lamanya kepergian (hilangnya) atau berdasarkan kadaluarsa nya
kasus si mafqud tersebut, dengan melihat teman-teman segenerasinya yang dimana
menurut KUHPerdata sendiri seseorang dapat dikatakan mafqud setelah seseorang itu
pergi selama 30 tahun lamanya.
Apabila orang yang mafqud itu berkedudukan sebagai pewaris maka hartanya tetap
menjadi miliknya dan belum dapat dibagikan kepada ahli warisnya sampai adanya
keyakinan tentang kematian dari si pewaris yang mafqud tersebut. Dalam
kasus Mafqud sebagai pewaris, para ulama sepakat bahwa orang hilang tetap
dianggap masih hidup selama masa hilangnya dan karenanya harta miliknya tidak
dapat dibagikan kepada ahli waris dan juga istrinya tetap berstatus sebagai istri.
Apabila orang yang mafqud itu berkedudukan sebagai ahli waris maka harta warisan
yang menjadi bagiannya harus disimpankan pada saat sesudah ditetapkan
kematiannya, jika ahli waris yang lain atau berhak itulah yang diberikan.
Hak waris terhadap ahli waris yang tidak dapat ditentukan keberadaannya tetap
melekat padanya sesuai dengan ketentuan Pasal 467 KUH Perdata. Namun,
selama ahli waris tidak diketahui keberadaannya maka jabatan nya tersebut akan

15
Abi Hasan Ali, Al-Khaw Al-Kabir, (Baerut-Libanon: Darul Kutub Alamiah, tt), juz. 7, hlm. 88.
digantikan oleh ahli waris penerus.
Status orang yang hilang dalam Hukum Islam ialah dianggap masih hidup dan
hartanya ditahan terlebih dahulu sebelum adanya informasi yang jelas tentang
kematiannya.
Penyelesaian pembagiannya dikerjakan dahulu bagian masing-masing dengan
menganggap ahli waris mafqud masih hidup, dan dikerjakan menurut perkiraan ahli
waris mafqud sudah meninggal, kemudian dari perkiraan tersebut, para ahli waris
diberikan bagian yang terkecil dari perkiraan, sisanya ditahan untuk ahli waris
mafqud sampai ada kejelasan, melalui vonis hakim yang menyatakan tentang
kematiannya.

SARAN
Berdasarkan pemasalahan dalam penelitian ini, maka perkenankanlah penulis untuk
memberikan beberapa saran penting untuk diperhatikan dalam masalah kewarisan
orang yang hilang (mafqud) dari segi persektif hukum islam ini yaitu:
1. Dalam penetapan mafqud seorang hakim merujuk pada pendapat para ulama atau
menggunakan ijtihadnya sendiri, jika tidak terdapat cukup hukum positif yang
mengaturnya, sebagai rujukan dapat menggunakan ketentuan yang bersumber pada
Al-Quran dan Sunnah.
2. Dalam membuktikan seseorang itu dapat dinyatakan mafqud adalah melihat bukti-
bukti yang dihadirkan pada persidangan serta melihat waktu kepergian atau
menghilangnya si mafqud tersebut, sehingga dalam hal ini ketelitian hakim sangatlah
diperlukan untuk menjamin kepastian hukum dari si mafqud itu supaya terciptanya
keadilan.
3. Saran untuk Pemerintah, sebaiknya masalah ahli waris mafqud seperti ini
dimasukkan dalam Kompilasi Hukum Islam yang menjadi landasan dan dasar penting
bagi umat muslim dalam menyelesaiakan kasus ahli waris mafqud.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Lubis, Suhrawardi K dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Jakarta, Sinar
Grafika, 2018.
Al Imam Abu „Abdullah AliasMuhammad Ibnu Ali Ar Rahby, lmu Waris,
Bandung:Nuansa Aulia, 2008.
Ali, Zainuddin, Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Mardani, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2014.
Rusyd, Ibnu,, Bidayatul Mujtahid, jilid 2, diterjemahkan oleh Imam Ghazali Said
dan Ahmad Zaidun, Pustaka Amani, Jakarta, 2007.
Salihima, Syamsulbahri, Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan dalam
Hukum Islam Dan Implemetasinya Pada Pengadilan Agama., Kencana, Jakarta, 2016.
Syarifudin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005.
Syalthud, Mahmud dan Ali As-Syais, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih,
Bulan Bintang, Jakarta, 1993.
Abdul Hamid, Muhammad Muhyidin, Panduan Waris Empat Mazhab, Pustaka
alKautsar, 2009.
asy- Syāfıʻī, Muhammad bin Idris. Al-Umm, Beirut: Daar al-Wafa, 2001.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Banjarmasin: Depag, 1992.
Muhibbin, Moh dan H abdul Wahid, 2009, Hukum Kewarisan Islam; Sebagai
Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

B. Jurnal
Lukman-faisal, hak waris dari orang hilang menurut hukum waris islam
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/view/3078
Alim, Muhammad, 2010, Jurnal Media Hukum: “Asas – Asas Hukum Modern
Dalam Hukum Islam”, vol. 17, No. 1
Dwi Lestari, Novita, 2018, Jurnal Islam Nusantara: “Kompilasi Hukum Islam
(KHI) Dan Pendapat Madzhab Syafi’I Tentang Batasan Masa Tunggu Suami Isteri
Mafqud, Vol. 02, No. 01, Probolinggo: Universitas Nurul Jadid
Faqih, 2015, Penyelesaian Perkara mafqud di Pengadilan Agama, (Jurnal Ilmiah
Universitas Hasanudin Vol.3. No1)
Analisis Yuridis Kedudukan Orang Hilang Dalam Hukum Kewarisan Berdasarkan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jurnal Ilmiah Universitas Sebelas Maret
Surakarta)
Gerry, 2013, Hak Mewaris dari Orang Yang Hilang Menurut Hukum Waris Islam
(Jurnal Ilmiah Vol. 1. No 5
Dery, Tamyiez, Jurnal: “Keadilan Dalam Islam”, Bandung: Universitas Islam
Bandung
Joel Canggayuda, Analisis Yuridis Kedudukan Orang HIlang Dalam Hukum
Kewarisan Berdasarkan KItab Undang-Undang Hukum Perdata, Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Privat Law Edisi 07 Januari-Juni 2015.
Heriyani, Endang, Perlindungan Hukum Bagi Mafqud Dalam Pembagian Harta
Warisan Di Kabupaten Bantul, Jurnal Media Hukum, Vol. 15 No. 1, Juni 2008.
Sariani, Penyelesaian Waris Bagi Ahli Waris Mafqud Menurut Hukum Waris
Islam, Pactum Law Journal Vol 2 No. 03, 2019.
Mursid, Akhmad Faqih, Arfin Hamid, Muammar Bakry, Penyelesaian Perkara
Mafqud di Pengafilan Agama, Program Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum,
Jurnal Universitas Hasanuddin, Makassar.

C. Peraturan Perundang-Undangan
Undang – Undang Dasar 1945
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 mengenai
Kompilasi Hukum Islam
Undang – Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 mengenai Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Anda mungkin juga menyukai