Anda di halaman 1dari 6

Pluralisme: Rahmat atau Laknat?

Di saat konflik horisontal merebak di berbagai wilayah negeri ini, kata damai
dan perdamaian memang terasa sangat indah. Di mana-mana orang berbicara
dan meneriakkan keinginan untuk mewujudkan perdamaian. Bahkan TNI,
lembaga yang selama ini anggotanya dikenal kerap melakukan tindak
kekerasan dan melanggar HAM, tak mau ketinggalan menyuarakan seruan
damai, seperti nampak dari berbagai spanduk yang berbunyi, "Damai itu
indah" di berbagai markas dan kantornya di Jakarta.
Sebagai sebuah bangsa dan negara dengan jumlah penduduk yang sangat
besar serta sangat beragam (plural), Indonesia memang memiliki risiko
konflik dan perpecahan yang cukup besar. Karenanya sangat wajar apabila
ada sejumlah pihak tak bosan-bosannya berupaya merukunkan berbagai
elemen masyarakat yang selama ini terjebak konflik, termasuk konflik antar
ummat beragama di Maluku, Poso, dan wilayah lainnya.
Upaya itu dilakukan antara lain dengan melakukan dialog antar ummat
beragama yang sudah diselenggarakan berkali-kali di berbagai tempat. Ada
juga apel keagamaan, seperti yang diselenggarakan Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII) yang kebanyakan anggotanya pemuda NU dan Unit
Kegiatan Kerohanian Kristen (UKKK) Universitas Dr Soetomo Surabaya.
Acara bertajuk 'Cinta Damai dan Persahabatan Antarumat Beragama' itu
menampilkan pembicara lintas agama, seperti H. Ali Maschan Moesa, MSi
(Ketua PWNU Jatim), Didik (Pastor Paroki Sidoarjo), serta I Made Gunartha
(Ketua I Parisada Hindu Dharma Kota Surabaya).
Yang lebih jauh adalah doa bersama lintas agama, seperti yang dilakukan
kalangan LSM dan mahasiswa di pelataran Gedung Pola, bundaran Tugu
Selamat Datang (HI) Jakarta dan beberapa tempat lainnya, tahun-tahun silam.
Meski kegiatan seperti itu baru merebak sejak gerakan reformasi bergulir,
rintisannya sudah berlangsung sejak lama berupa wacana kenisbian ajaran
agama. Sejak 1970-an pemerintah Orde Baru melalui pelajaran Pendidikan
Moral Pancasila (PMP) sudah mengajarkan siswa untuk berpartisipasi pada
acara ritus ibadah agama yang tidak dianutnya. Lewat PMP pula digulirkan
paham bahwa semua agama sama baiknya, sama-sama menyembah Tuhan
dan sama-sama mengajarkan ummatnya berbuat kebajikan. Namun karena
menuai banyak protes dari berbagai ormas Islam, bagian kontroversial itu
akhirnya ditiadakan.
Selesai? Ternyata tidak. Meski tidak lagi diajarkan melalui PMP (kini
berganti nama menjadi PPKN), wacana tersebut bergulir terus. Dimotori para
cendekiawan dari berbagai IAIN dan Yayasan Paramadina, seperti (alm)
Harun Nasution, Nucholish Madjid, Djohan Effendi, serta Komarudin
Hidayat, berbagai pemikiran keagamaan yang meminjam istilah kalangan ini
bercorak Neo-Modernisme terus ditumbuhsuburkan melalui berbagai tulisan
di media massa dan forum-forum ilmiah.
Ada berbagai gagasan yang dilontarkan, seperti Islam Rasional, Islam
Peradaban dan Islam Transformatif. Belakangan, sejak akhir 1990-an

1
kemudian muncul gagasan Islam Inklusif, Islam Pluralis dan terakhir Islam
Liberal.
Maret tahun ini Penerbit Paramadina menerbitkan buku berjudul Islam
Pluralis, yang merupakan kumpulan tulisan Budhy Munawar-Rachman.
Kemudian tengah bulan silam penerbit yang sama meluncurkan buku
berjudul Wacana Islam Liberal. Buku terakhir ini merupakan kumpulan
tulisan berbagai pemikir Islam bertaraf internasional yang disunting oleh
Charles Kurzman, asisten profesor pada University of North Carolina. Di
penulisnya terdapat nama antara lain Muhammad Iqbal, Chandra Muzaffar,
Yusuf al-Qardhawi, Mohammad Natsir, Mehdi Bazargan, Benazir Bhutto,
Fatima Mernissi, Mohamed Arkoun, Fazlur Rahman, dan Nurcholish Madjid.
Inklusif dan Pluralis
Di antara berbagai wacana itu, yang paling gencar disosialisasikan adalah
wacana Islam Inklusif. Karena kalangan tersebut menganggap banyak ummat
beragama terutama yang sering disorot kalangan Muslim bersikap eksklusif.
Apa maksudnya? Menurut salah seorang aktivis kalangan ini, Sukidi,
seseorang tergolong eksklusif manakala merasa ajaran yang paling benar
hanyalah agama yang dipeluknya, sedangkan agama-agama lain dituduh
sesat. Mereka yang eksklusif, masih kata Sukidi, cenderung memonopoli
kebenaran agama (claim of truth) dan paham keselamatan (claim of
salvation).
Sikap seperti itu, menurut Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat
(LSAF), Budhy Munawar Rachman, membuat berbagai konflik sosial politik,
juga membawa berbagai macam perang antar-agama.
Senada dengan hal itu, Jabir Al Faruqi, Direktur Lembaga Studi Agama dan
Pembangunan (LSAP) Semarang, dengan mengutip pendapat ilmuwan Barat
Paul Knitter, menulis di harian Kompas (13/6/1997), "Semua agama pada
dasarnya adalah relatif. Karena itu sekarang ini sikap menganggap sebuah
agama lebih baik dari yang lain dirasa sebagai sebuah sikap yang agak salah
dan ofensif."
Budhy juga mengecam orang-orang yang meyakini bahwa hanya ada satu
jalan keselamatan, yaitu agama mereka sendiri. "Pandangan ini jelas
mempunyai kecenderungan fanatik, dogmatis dan otoriter!!!" tulisnya di
Republika (24/06/2000).
Budhy kemudian mengajak orang menuju suatu teologi yang disebutnya
teologi pluralis. Yakni, melihat agama-agama lain dibanding dengan agama-
agama sendiri, dalam rumusan: Other religions are equally valid ways to the
same thruth (John Hick); Other religions speak of different but equally valid
thruts (John B Cobb Jr); Each religion expresses an important part of the
truth (Raimundo Panikkar); atau setiap agama sebenarnya mengespresikan
adanya The One in the many (Sayyed Hossein Nasr). Benang merahnya,
teologi pluralis mengajak orang menuju sikap pararelisme terhadap berbagai
agama, dengan menganggap semua agama sama sahihnya sebagai jalan
menuju kebenaran. "Satu Tuhan, dalam banyak jalan," ungkap Budhy.

2
Untuk menopang pendapatnya itu Budhy tak lupa mengutip pendapat ahli
sufi, Jalaluddin Rumi yang menyatakan, "Meskipun ada bermacam-macam
agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tidak tahu bahwa ada banyak
jalan menuju ka'bah? Oleh karena itu apabila yang Anda pertimbangkan
adalah jalannya, maka sangat beraneka ragam dan sangat tidak terbatas
jumlahnya; tetapi apabila yang Anda pertimbangkan adalah tujuannya, maka
semuanya terarah hanya pada satu tujuan."
Masih ada sejumlah pemikir yang mempunyai pandangan senada dengan
Budhy. Salah seorang di antaranya adalah Abdurrahman Wahid, yang baru
saja dimakzulkan dari kursi kepresidenan RI oleh MPR. Ketika baru terpilih
jadi presiden, dalam kunjungannya di Bali ia mengungkapkan, "Kalau kita
benar-benar beragama, maka akan menolak kebenaran satu-satunya di pihak
kita dan mengakui kebenaran semua pihak. Kebenaran mereka yang juga kita
anggap berbeda dari kita. Ini yang paling penting. Oleh karena itu semuanya
benar."
Sebagian pemikir Islam nampaknya terkagum-kagum dengan hasil Konsili
Vatikan II (1965) yang dihasilkan kalangan Katolik. Dalam konsili memang
terdapat pandangan yang mengakui adanya jalan keselamatan dalam agama-
agama non-Kristen. Lalu para pemikir itu menghendaki kalangan Islam juga
menghasilkan pandangan seperti itu melalui wacana pluralisme.
Sinkretisme
Berbagai gagasan itu menurut Sekretaris Komite Indonesia untuk Solidaritas
Dunia Islam (KISDI), Adian Husaini, sebenarnya hanyalah gagasan lama
yang dikemas dengan istilah-istilah yang lebih indah. Karena pluralisme pada
hakekatnya sama dengan sinkretisme, paham yang mencampurkan ajaran
satu agama dengan agama lainnya.
Jika diperhatikan dengan seksama, ada sejumlah pemikir dan pengamat yang
entah sengaja atau tidak kerap merancukan makna antara pluralitas dan
pluralisme. Memang keduanya berasal dari akar kata yang sama: plural, yang
artinya majemuk atau beragam. Namun setelah menjadi kata jadian, pluralitas
berbeda dengan pluralisme.
Pluralitas yang berarti kemajemukan adalah fakta kehidupan dan merupakan
kehendak Allah, misalnya tentang kemajemukan bangsa dan suku
sebagaimana termaktub dalam Al-Quran surat Al-Hujurat (49) ayat 13: "Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal-mengenal..." Juga pada surat Ar-Ruum (30),
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan
bumi dan berain-lainan bahasamu dan warna kulitmu"
Allah juga menciptakan kemajemukan ummat, meski Ia mampu menciptakan
satu ummat manusia saja, agar tiap-tiap mereka berlomba menuju kebaikan.
Bahkan hal itulah yang menjadi tujuan-Nya mencipta manusia, sebagaimana
termaktub dalam surat Hud (11) ayat 118-119: "Jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia ummat yang satu, tetapi

3
mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi
rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka."; dan
pada surat Al-Maidah (5) ayat 48, "Sekiranya Allah menghendaki, niscaya
kalian dijadikan-Nya satu ummat saja, tetapi Allah hendak menguji kalian
terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan"
Jadi pluralitas atau kemajemukan adalah realitas dan keniscayaan yang tidak
bisa dipungkiri. Terhadap kenyataan itu Rasulullah Muhammad saw, para
sahabat dan pengikutnya telah menunjukkan pada dunia tentang bagaimana
cara hidup dan bergaul di tengah masyarakat yang majemuk.
Ketika Rasulullah menjadi pemimpin di Madinah, masyarakat negeri itu tidak
homogen, melainkan terdiri dan beragam bangsa (Arab dan Bani Israel), suku
(Aus, Khajraj, Quraisy dll), kelompok (Muhajirin dan Anshar) dan agama
(Islam, Yahudi dan paganis). Untuk menggalang persatuan di antara mereka,
termasuk dengan kelompok Yahudi, Rasulullah kemudian mengadakan
perjanjian persatuan dan kerjasama seperti yang tertuang dalam Piagam
Madinah.
Salah satu pasalnya berbunyi: "Kaum Mukminin dan kaum Muslimin, dari
Quraisy dan penduduk Yatsrib, dan orang yang mengikuti mereka, maka
bergabung dengan mereka dan berjuang bersama-sama. Mereka ummat
yang satu yang berbeda dengan kelompok masyarakat yang lain Orang-
orang Yahudi adalah satu ummat bersama kaum Mukminin. Bagi orang
Yahudi agama mereka dan bagi kaum Muslimin agama mereka."
Dalam berbagai buku sejarah Islam dapat jelas terbaca bahwa Rasulullah dan
para sahabatnya di Madinah sangat biasa bergaul dan bermuamalah dengan
orang-orang Yahudi. Mereka hidup berdampingan secara damai. Dalam
sebuah hadits diriwayatkan Nabi Muhammad pernah berhutang pada orang
Yahudi. Dan hadits lain diriwayatkan Nabi pernah menjenguk orang Yahudi
yang sedang sakit, hingga tersentuh hatinya lalu masuk Islam. Konflik baru
terjadi ketika orang-orang Yahudi melakukan pengkhianatan terhadap
Piagam Madinah dalam perang Khandaq, sehingga diusir keluar dari
Madinah.
Ketika Dinasti Umayyah (etnis Arab) berkuasa lima abad di Andalusia
(Spanyol), di negeri itu tiga agama, Islam, Kristen, dan Yahudi, hidup
berdampingan secara damai dan penuh toleransi. Tapi ketika negeri itu
berhasil ditaklukkan kembali oleh Kerajaan Spanyol yang Katolik, terjadi
pembantaian besar-besaran terhadap orang Muslim dan orang Yahudi oleh
pasukan Kerajaan Spanyol.
Artinya, ummat Islam jika benar-benar memahami ajaran agamanya tanpa
dikuliahi teori-teori Barat pasti mereka akan dapat mengembangkan sikap
toleran, bersahabat terhadap kalangan non-Muslim. Dalam menjalankan
hubungan sosial yang bersifat muamalah, ummat Islam akan bersikap
inklusif. Tetapi jika sudah menyangkut masalah keimanan dan akidah tidak
ada kompromi dan konvergensi.

4
Namun bagi kalangan pengusung gagasan pluralisme, sikap inklusif seperti
itu dianggap tidak memadai. Harus ada upaya konvergensi, seperti yang
diharap Sukidi, "Mengingat pluralisme agama merupakan sunnatullah
(kehendak Tuhan), maka sangat urgen sekali adanya konvergensi agama-
agama, yaitu usaha mencari titik temu agama-agama Jadi meskipun secara
eksoterik, agama itu bersifat plural (pluralisme agama), namun secara
esoterik, semuanya bermuara pada Satu Tuhan atau Tuhan Yang Maha Esa."
Pandangan seperti itu ditentang keras oleh Daud Rasyid Sitorus, staf pengajar
LIPIA Jakarta yang pernah berpolemik dengan Nucholish Madjid.
Menurutnya, ajaran Islam mengakui adanya pluralitas, tapi tidak
membenarkan pluralisme. "Masyarakat yang beragam diakui dalam Al-
Quran, tapi Islam tegas mengatakan bahwa tidak semua agama itu benar.
Karena tidak mungkin orang menganut suatu agama kalau dia tidak meyakini
agamanya yang paling benar."
Lebih lanjut Daud menjelaskan, Islam tidak melarang ummatnya
berhubungan sosial dengan ummat lain dalam konteks bermuamalah. Tapi
jika sudah menyangkut aqidah dan ibadah, tidak ada kompromi. "Kita boleh
bergaul dan menghormati orang beragama lain, tapi jangan sampai mengakui
semua agama benar. Dalam riwayat Nabi pernah bermuamalah dengan orang
Yahudi, tapi dalam hal aqidah tidak ada kompromi."
Upaya menggebu-gebu kalangan pemikir Islam dalam mengkampanyekan
pluralisme dan konvergensi agama patut diberi tanda tanya. Sebab ujung-
ujungnya mengajak untuk kompromi aqidah, dengan turut memberi
pembenaran kepada ajaran agama lain. Padahal pemikir Kristen yang juga
gencar menyuarakan pluralisme dan dialog antar ummat beragama, seperti
mendiang pendeta Victor Tanja, tidak berfikir sampai sejauh itu. "Dalam
setiap agama para pemeluknya menyembah Tuhan YME menurut pandangan
agama masing-masing. Kejelasan ini perlu dipegang untuk menghindari
kompromi aqidah," tulisnya di Republika.
Victor dengan mengutip pendapat seorang uskup gereja Ortodok Syria, juga
memberi contoh hubungan antar ummat beragama yang proporsional dan
tidak kebablasan, "Tujuan kemitraan bukan untuk membentuk satu agama
dunia dengan memperpadukan semua agama. Menurut dia ini adalah usaha
sia-sia. Tujuan sebenarnya adalah untuk mencari suatu landasan bersama
yang di atasnya semua budaya dunia dapat saling bertemu dalam suasana
saling menghormati, serta dapat hidup dalam kepelbagaian agama-agama
secara global tanpa kehilangan identitas masing-masing."
Bicara tentang kompromi aqidah dan ibadah akan mengingatkan kita pada
suatu peristiwa yang monumental dan diabadikan dalam Al-Quran. Alkisah
para pemuka kafir Quraisy tiba pada suatu kondisi merasa tak mampu lagi
membendung upaya da'wah yang dilakukan Nabi Muahammad dan
menyadari bahwa suatu saat kepercayaan paganisme (menyembah berhala)
yang mereka anut akan tersingkir oleh risalah Islam, maka kemudian mereka
mendatangi Nabi dan menawarkan kompromi.

5
Mereka mengajak kedua belah pihak saling mengakui kebenaran kepercayaan
keduanya Islam dan paganismelalu kedua belah pihak melakukan ibadah
bersama secara bergantian. Caranya, hari ini kedua belah pihak melakukan
ibadah Islam, keesokan harinya kedua belah pihak melakukan ibadah
penyembahan berhala.
Tawaran kompromi aqidah dan ibadah ini ditolak mentah-mentah oleh Allah
dan rasul-Nya. Allah kemudian mengutus malaikat Jibril menurunkan surat
Al-Kafirun, yang mengajarkan ummat Islam untuk menolak segala bentuk
kompromi aqidah dan ibadah dengan orang kafir.
Ayat 2 surat tersebut berbunyi, "Aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah." Larangan menyembah apa yang disembah orang kafir, mengandung
arti larangan membenarkan kepercayaan mereka dan larangan mempercayai
bahwa ajaran mereka membawa keselamatan duniawi dan ukhrawi.
Dalam ajaran Islam dikenal konsep orang Muslim dan orang kafir. Bagi
orang kafir tidak ada jalan keselamatan untuk mereka. Tempat mereka adalah
neraka jahanam.
Kalau kalangan pengusung pluralisme mengakui kebenaran dan adanya jalan
keselamatan bagi kalangan non-Muslim, lantas menurut mereka, siapakah
yang Allah maksud dengan orang kafir yang Dia janjikan masuk neraka
jahannam?
Wallahu a'lam bish-shawab.· (shw, dek)

Anda mungkin juga menyukai