Paper Kelompok 4 Pajak Dan Ekonomi Makro

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 33

ANALISIS PENGARUH PAJAK DAN

PEREKONOMIAN MAKRO INDONESIA


(Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Menyelesaikan Tugas
Mata Kuliah Perpajakan Lanjutan)

DISUSUN OLEH :

NUR ROHMAH ZAINUL FITRI (123012211068)


AGUS AHMAD MUFAD (123012211009)
DENY MAULANA (123012211065)

DOSEN PENGASUH :

Dr. Irwan Wisanggeni, SE, SH, M.Si, BKP

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI


UNIVERSITAS TRISAKTI
2023
ABSTRAK

Penulisan karya tulis ini bertujuan untuk memaparkan pengaruh pajak terhadap
parekonomian makro di Indonesia. Adapun yang menjadi latar belakang penulisan ini yaitu
karena pajak merupakan hal yang penting untuk menjalankan perekonomian suatu negara,
dan ekonomi makro mencakup kehidupan bernegara dan berbangsa yang luas, dan meliputi
hidup orang banyak. Sistem perpajakan yang terbaik dipandang dari sudut pandangan ilmu
ekonomi adalah sistem perpajakan yang memiliki pengaruh-pengaruh ekonomi yang paling
baik atau setidak-tidaknya memberikan pengaruh yang paling minimum. Oleh sebab itu,
makalah ini membahas permasalahan tersebut dalam makalah ini. Penulisan ini dianalisis
dengan merujuk pada beberapa sumber dengan metode analisis deskriptif dan kajian
pustaka. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan jawaban pengaruh pajak terhadap
perekonomian makro. Pajak sebagai wujud dari kebijakan pemerintah dalam bentuk
kebijakan fiskal tentu akan berdampak dan berpengaruh terhadap jalannya perekonomian
makro suatu negara. Pengaruh pajak terhadap perekonomian ini dapat dibedakan menjadi
pengaruh pajak terhadap produksi total dan komposisi produksi. Pajak memepengaruhi
produksi total dalam hal kemampuan dan kemauan untuk bekerja, menabung, dan
berinvestasi. Pajak juga mempengaruhi komposisi produksi dalam hal distribusi
pendapatan, dan keinginan untuk bekerja. Ada baiknya pembaca untuk mencari referensi
lain sebagai bahan pertimbangan dalam menganalisis permasalahan ini, dan pemerintah
selaku kendali untuk mempertimbangkan segala kebijakan yang mempengaruhi hajat hidup
orang banyak.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Rochmat Soemitro, Pajak adalah iuran wajib kepada kas negara yang

berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik yang langsung

dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Peran pajak sangat

besar dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara, termasuk di negara Indonesia yang

sedang berkembang. Indonesia menggunakan pajak sebagai salah satu pendapatan utama

untuk membiayai segala macam kebutuhan dan pengeluarannya.

Ada beberapa persoalan mendasar yang terkait dengan mempengaruhi pajak dalam

perekonomian. Dalam hal tersebut akan dibahas melalui pengaruh pajak terhadap

kemampuan dan keinginan untuk melakukan pekerjaan, menabung, dan kemampuan serta

keinginan untuk melakukan investasi. Apabila tabungan yang tersedia lebih besar daripada

investasi yang dilakukan maka akan terjadi suatu keadaan yang disebut dengan deflasi,

sedangkan pada saat terjadi tabungan yang ada dalam masyarakat itu lebih kecil dari

investasi maka akan terjadi inflasi. Melalui kebijaksanaan dalam perpajakan keadaan

inflasi maupun keadaan deflasi dapat dikurangi. Sistem perpajakan yang terbaik dipandang

dari sudut pandangan ilmu ekonomi adalah sistem perpajakan yang memiliki pengaruh-

pengaruh ekonomi yang paling baik atau setidak-tidaknya memberikan pengaruh yang

paling minimum.

Dalam perannya pemerintah dibekali dua kebijakan ekonomi makro yang terwujud

dalam dua instrument utama, yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan

ekonomi makro didefenisikan sebagai penetepan tujuan oleh pemerintah terhadap

perekonomian negara dan penggunaan instrumen pengendalian untuk mencapai tujuan-

tujuan tersebut. Kebijakan fiskal didefinisikan sebagai alat dalam kebijakan ekonomi
makro yang mencari pengaruh dari tingkat aktivitas ekonomi melalui kendali belanja

pemerintah dan perpajakan. Definisi tersebut, dapat kita lihat bahwa kebijakan pemerintah di

bidang perpajakan merupakan bagian dari kebijakan fiskal yang pada akhirnya akan

berpengaruh pada pencapaian tujuan ekonomi negara maupun perekonomian makro.

Penulis mencoba untuk membahas pengaruh pajak sebagai kebijakan fiskal

pemerintah terhadap perekonomian makro suatu negara. Seyogyanya setiap kebijakan yang

dilakukan pasti akan berdampak pada kehidupan bernegara, baik positif maupun negatif.

Maka dari itu penulis membuat makalah dengan judul “Analisis Pengaruh Pajak dan

Perekonomian Makro di Indonesia”.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada makalah ini yaitu,

1. Bagaimana pajak berkaitan dengan ekonomi makro?

2. Bagaimana pengaruh pajak terhadap produksi total?

3. Bagaimana pengaruh pajak terhadap komposisi produksi?

4. Bagaimana dampak impementasi perpajakan terkait ekonomi makro di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini yaitu, untuk menjawab segala sesuatu yang menjadi

rumusan masalah pada makalah ini antara lain,

1. Untuk mengetahui definisi pajak.

2. Untuk mengetahui definisi ekonomi makro.

3. Untuk memahami pengaruh pajak terhadap produksi total.

4. Untuk memahami pengaruh pajak terhadap komposisi produksi.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hubungan Pajak dan Ekonomi Makro

Pajak adalah konstribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau

badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan

imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya

1
kemakmuran rakyat. Pajak sering kali disebut sebagai “Iuran Rakyat”. Pajak dengan

istilah iuran rakyat atau iuran wajib bukan sebagai paksaan yang dipungut dari pihak wajib

pajak atau pengusaha dan rakyat lainnya oleh pemerintah, tetapi pembayaran pajak

merupakan kewajiban dan penuh kesadaran sebagai warga negara. Undang-undang Nomor

6 Tahun 1983 yang kemudian telah diubah terkahir dengan UU Nomor 28 tahun 2007

tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan menyatakan bahwa setiap wajib pajak

mempunyai hak dan kewajiban dalam bidang perpajakan. Di samping itu, pemerintah juga

mempunyai kewenangan dan kewajiban dalam bidang perpajakan.

Dari pengertian pajak yang telah dijelaskan tadi, dapat kita simpulkan bahwa

terdapat beberapa unsur yang melekat dalam pengertian pajak tersebut, yaitu:

1. Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang.

2. Pajak bersifat memaksa karna didasarkan oleh undang-undang.

3. Pajak diambil oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk kesejahteraan

umum.

4. Pajak digunakan untuk membayar pengeluaran pemerintahan dan membiayai

produksi pembangunan pelayanan umum.

1Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
5. Pembayar pajak tidak mendapat imbalan yang langsung dapat dirasakan,

melainkan mendapat fasilitas umum yang akan dibangun berdasarkan pajak

yang telah dibayar.

Pemungutan pajak harus mendapatkan persetujuan dari rakyat, proses persetujuan

rakyat tersebut dapat dilakukan dengan undang-undang. Undang-undang yang dimaksud

adalah UUD 1945 pasal 23 ayat (2) yang menyatakan bahwa segala pungutan pajak harus

berdasarkan undang-undang.

Pajak merupakan konstribusi wajib setiap warga negara. Bila dikaitkan dengan

makroekonomi, maka peran pajak adalah sebagai sumber dana. Untuk dapat menjalankan

fungi-fungsi itu, pemerintah membutuhkan biaya, dari sini pajak memiliki peran penting

dalam memenuhi pembiayan pemerintah. Menurut Budiono (2001), ekonomi makro adalah

ilmu yang mempelajari tentang ekonomi, baik jangka pendek maupun jangka panjang

meliputi stabilitas dan pertumbuhan perekonomian sebuah negara. Ekonomi makro sendiri

menjelaskan perubahan ekonomi yang mempengaruhi banyak masyarakat, perusahaan, dan

pasar (contoh: pengangguran). Bila dikaitkan dengan pajak, ekonomi makro mempunyai

salah satu ciri khas yakni kegiatan mempelajari sebab dan akibat dari fluktuasi penerimaan

negara jangka pendek atau siklus bisnis, dan kegiatan untuk mempelajari faktor penentu

dari pertumbuhan ekonomi jangka panjang atau peningkatan pendapatan nasional. Pajak

merupakan salah sumber pendapatan nasional.

2.2 Pengaruh Pajak terhadap Poduksi Total

Pengaruh pajak terhadap produksi dapat dibagi dalam pengaruhnya terhadap

produksi sebagai keseluruhan dan komposisi produksi. Pengaruh pajak terhadap produksi

sebagai keseluruhan berlangsung melalui pengaruh-pengaruhnya terhadap kerja, tabungan

dan investasi. Kemudian lebih jauh lagi kita melihat pengaruh-pengaruh pajak terhadap
kerja, tabungan dan investasi melalui kemampuan dan keinginan; yaitu kemampuan dan

keinginan untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi.

Apa yang kita inginkan adalah perekonomian pada kesempatan kerja penuh (full

employment) tanpa inflasi maupun deflasi. Gambar 2.1 menunjukkan hubungan antara

tingkat penghasilan nasional (Y) dengan tingkat konsumsi (C) dan tingkat investasi (I).

Pada tingkat penghasilan nasional sebesar OY, perekonomian dalam keadaan seimbang,

tidak ada inflasi maupun deflasi. Pada tingkat penghasilan nasional ini perekonomian

dalam keadaan kesempatan kerja penuh (full employment), maka terdapat suatu

inflationary gap, karena pada tingkat penghasilan itu, investasi (GF) lebih besar daripada

tabungan (AG) sebesar AF yaitu sebesar inflationary gap-nya. Dengan demikian maka

harga-harga akan cenderung untuk naik terus sampai tidak ada lagi perbedaan antara

investasi dan tabungan.

Gambar 2.1

Tujuan kita adalah mencapai penghasilan nasional pada tingkat keseimbangan dan

pada full-employment, maka kalau tingkat penghasilan nasional sebesar OY 2 ingin

dipertahankan, permintaan agregat harus mampu dinaikkan atau dengan kata lain kurva

C+I pada Gambar 2.1 harus digeser ke atas sampai memotong titik D. Tetapi jika

seandainya tingkat penghasilan nasional pada tingkat full-employment itu berada pada

tingkat OY, maka kalau full-employment income ingin dicapai tanpa adanya inflasi dan

deflasi, permintaan agregat harus dikurangi atau dengan kata lain kurva C + I harus digeser
ke bawah sampai memotong titik A. Hal ini dapat ditempuh oleh pemerintah dengan cara

meningkatkan atau menambah tingkat pajak yang dikenakan dalam perekonomian.

a. Pengaruh Pajak terhadap Kemampuan untuk Bekerja, Menabung, dan

Berinvestasi

Kemampuan (ability) setiap orang untuk bekerja akan berkurang apabila ia

dikenai pajak yang dapat mengurangi efisiensi kerjanya. Oleh karena itu suatu pajak

yang dikenakan kepada golongan yang mempunyai tingkat penghasialan yang rendah

dalam suatu masyarakat hanya akan menurunkan efisiensi baik bagi golongan orang

dewasa maupun anak-anak pada masa yang akan datang. Pendapat ini dapat

diterapkan pada pajak langsung yang dikenakan pada golongan yang pengahsilanya

rendah sehingga akan mengurangi tingkat penghasilanya. Juga dapat pula diterapkan

pada pajak tidak langsung yang dikenakan pada barang-barang kebutuhan sehari-hari.

Suatu masalah yang perlu diperhatikan ialah bagaimana cara menentukan suatu

batasan sehingga dapat diketahui bahwa pajak yang dikenakan akan dapat

mengurangi tingkat efisiensi kerja wajib pajak.

Kemampuan untuk mengadakan tabungan jelas akan berkurang dengan adanya

pajak yang dikenakan pada wajib pajak. Orang yang terkena pajak pendapatan

kemampuanya untuk menabung akan berkurang sebesar marginal propensity to save-

nya (mps) dikalikan dengan besarnya pajak yang dikenakan. Bagi orang-orang yang

tergolong penghasilan rendah pengenaan pajak tidak akan mengurangi kemampuanya

untuk menabung, karena memang biasanya mereka sudah tidak mempunyai tabungan

wlaupun belum dikenakan pajak. Sehingga kalau ia dikenakan pajak tidak akan

mengurangi tabunganya melainkan akan dikurangkan dari konsumsinya dan ia akan

mengurangi produktivitas kerjanya. Pajak yang dikenakan


pada golongan penghasilan tinggi akan mengurangi kemampuanya untuk menabung

tetapi tidak mengurangi kemampuan kerjanya. Pengenaan pajak terhadap keuntungan

perusahaan akan mengurangi kemampuan perusahaan untuk menabung tetapi

pengaruhnya akan dirasakan lebih lunak dari pada kalau individu yang dikenai pajak.

Kemampuan untuk mengadakan investasi tergantung pada sumber-suamber

dananya. Kemampuan untuk mengadakan investasi akan berkurang dengan adanya

pajak yang mengurangi kemampuan untuk mengadakan tabungan. Karena tabungan

adalah sumber untuk investasi maka dengan sendirinya kemampuan untuk

mengadakan investasi juga akan berkurang bila kemampuan untuk manabung

berkurang karena adanya pajak.

b. Pengaruh Pajak terhadap Keinginan untuk Bekerja, Menabung, dan

Berinvestasi

Keinginan (desire) untuk bekerja, menabung, dan menginvestasi. Pajak

mempunyai pengaruh yang bersifat insentif artinya meningkatkan keinginan untuk

bekerja, menabung dan mengadakan investasi si wajib pajak. Seperti contoh

kebijakan yang dilakukan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo yaitu Tax

Amnesty. Menurut UU No 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak, tax amnesty

adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi

administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara

mengungkap harta dan membayar uang tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang ini. Pelaksanaan program tax amnesty ini sendiri berlangsung selama 10

bulan mulai dari Juli 2016 hingga April 2017 serentak di seluruh Indonesia.

Keuntungan mengikuti program ini adalah penghapusan untuk semua pajak terutang

baik berupa PPh (Pajak Penghasilan), PPN, PPnBM, sanksi administrasi (denda) dan
sanksi pidana. Kemudian dengan mengikuti program tax amnesty maka WP terbebas

dari pemeriksaan data atas kekayaan yang dimiliki.

Perlu ditambahkan di sini bahwa hanya pajak yang mempunyai sifat dikenakan

secara terus-menerus akan berpengaruh terhadap keinginan untuk bekerja, menabung

dan mengadakan investasi. Sebagai contoh adalah pajak penghasilan dan pajak bumi

dan bangunan.

1) Semua Jenis Pajak

Bagi sebagian besar orang, pajak bukan menimbulkan suatu disinsentif untuk

bekerja, melainkan justru sebaliknya dapat menimbulkan suatu insentif untuk bekerja

sehingga menyebabkan mereka lebih giat bekerja daripada kalau tidak ada pajak.

Selanjutnya pajak dapat menimbulkan suatu disinsentif baik untuk mengadakan

tabungan maupun untuk mengadakan investasi.

Segala hal yang dibahas di atas adalah bagi pajak-pajak pada umumnya. Tetapi

tidak selalu benar bahwa setiap kenaikan pajak bagi suatu jenis pajak tertentu akan

memberikan suatu insentif atau disinsentif untuk bekerja lebih giat. Dan tidak selalu

setiap ada kenaikan pajak bagi suatu jenis pajak tertentu akan menimbulkan suatu

disinsentif untuk menabung maupun untuk mengadakan investasi. Mungkin sekali

bahwa perubahan tingkat pajak dalam jumlah yang kecil akan memiliki pengaruh

yang berbeda dengan adanya perubahan tingkat pajak dalam jumlah yang cukup

besar. Namun, pada umumnya perubahan jumlah pajak yang sedikit atau kecil akan

mempunyai pengaruh yang tidak berarti terhadap insentif untuk menabung dan

berinvestasi.
2) Pajak-pajak Khusus

Pengaruh pajak-pajak tertentu dan perubahannya akan memberikan insentif

yang besar atau tidak tergantung sebagian pada sifat pajak itu sendiri dan sebagian

lainnya tergantung pada reaksi wajib pajak terhadap perubahan pajak tersebut.

Gambar 2.2

Reaksi dari wajib pajak dapat diterangkan dengan menggunakan Gambar 2.2

dimana sumbu vertikal menunjukkan tingginya pendapatan dan sumbu horizontal

menunjukkan banyaknya waktu untuk santai dan untuk berusaha atau bekerja.

Dengan anggapan bahwa seorang wajib pajak punya waktu 24 jam per hari, maka

sumbu horizontal memperlihatkan adanya alternatif pilihan wajib pajak. Kalau ia

memilih untuk bekerja penuh selama 24 jam tanpa istirahat maka ia akan dapat

penghasilan setinggi OP. Jadi OP/OS adalah tingginya tingkat upah per jam.

Sebaliknya kalau ia memilih santai sepanjang hari maka ia akan berpenghasilan

sebesar nol dan santai sebanyak OS0 jam (24 jam). Pada titik Q 1 yaitu persinggungan

antara garis upah PS dengan kurva tak acuh 1 berarti bahwa wajib pajak bersantai

sebanyak OS1, jam dan bekerja selama S1S0 jam kerja dengan mendapatkan upah

sebanyak OP1.

Seandainya kemudian ia dikenai pajak penghasilan maka ini sama halnya

dengan menurunkan tingginya tingkat upah per jam, sehingga akan mempunyai

pengaruh terhadap keinginan untuk bekerja maupun keinginan untuk bersantai.


Katakanlah dengan adanya pajak penghasilan garis upah PS 0 berputar ke kiri dengan

poros pada titik S0 menjadi garis upah RS0. Dengan garis upah RS0 ternyata kurva

tak acuh 2 menyinggung titik Q2. Persinggungan pada titik Q2 ini berarti bahwa

wajib pajak mengurangi waktu santainya dan bekerja lebih lama yaitu dari S 1S0 jam

kerja menjadi S2S0 jam kerja. Atau waktu santainya berkurang dengan S 1S2 jam

kerja. Dari gambar itu ternyata penghasilannya turun dari OP 1 sebelum adanya pajak

menjadi OP2 setelah adanya pajak. Ini berarti bahwa dengan adanya pajak justru
mendorong wajib pajak untuk bekerja lebih keras walaupun jumlah pendapatannya
berkurang.

Perlu diketahui bahwa pengenaan pajak pendapatan tidak selalu mendorong

wajib pajak untuk bekerja lebih giat. Dapat pula pengenaan pajak itu ngeurangi

keinginan wajib pajak untuk bekerja seperti yang dilukiskan oleh Gambar 2.3.

Gambar 2.3

Jadi mengenai bagaimana reaksi seseorang terhadap pajak pendapatan dalam

hubungannya dengan keinginan untuk bekerja tidak selalu positif atau tidak selalu

negatif.

Dari uraian di atas kita tahu bahwa apabila penawaran usaha dalam

hubungannya dengan pendapatan itu elastis dan positif sifatnya dengan adanya pajak,

maka akibat selanjutnya akan mengurangi kegiatan orang untuk bekerja dan
menabung; sehingga ini bersifat disinsentif. Keadaan ini tampak dapat dibenarkan

dan dapat diterapkan pada golongan orang yang bependapatan tinggi dan kelihatan

bahwa hubungan antara pendapatan dan usaha itu bersifat positif. Turunnya

pendapatan mengurangi pula kemauan untuk bekerja dan menabung,

Sebaliknya pada golongaan orang berpenghasilan rendah, karena penawaran

usahanya dalam hubungannya dengan pendapatan adalah elastis sifatnya dan

mempunyai hubungan yang negatif, maka dengan dikenakannya pajak justru akan

mendorong wajib pajak tersebut untuk bekerja lebih giat.

3) Pajak Netral

Sekarang kita lihat bagaimanakah pengaruh masing-masing macam pajak

secara khusus terhadap keinginan untuk bekerja dan menabung. Bagaimana bentuk

elastisitas permintaan wajib pajak terhadap pendapatan atau eleastisitas penawaran

usaha dalam hubungannya dengan pendapatan. Ada beberapa macam pajak yang

sifatnya netral, artinya dengan adanyapajak tersebut tidak memberikan pengaruh apa-

apa terhadap keinginan wajib pajak untuk bekerja maupun menabung.

Sebagai misal untuk pajak yang netral itu adalah pajak terhadap keuntungan

yang tidak diharapkan (windfall profit). Dengan sendirinya wajib pajak juga tidak

mempunyai harapan untuk dikenai pajak sebelum adanya keuntungan tersebut. Oleh

karena itu hal ini juga tidak akan mempengaruhi semangat untuk bekerja maupun

untuk menabung karena seperti telah disinggung di depan bahwa pajak yang

mempunyai pengaruh terhadap keinginan untuk bekerja maupun menabung ialah

pajak yang sifatnya dikenakan terus-menerus. Contoh lain ialah dalam masa inflasi

dimana harga-harga pada umumnya meningkat terutama bagi barang-barang yang

tahan lama, seperti tanah dan bangunan sehingga pajak terhadap tanah seperti PBB
tidak akan mempengaruhi keinginan untuk bekerja, menabung maupun mengadakan

investasi.

Gambar 2.4

Jadi ditegaskan bahwa pajak lump-sump yang dikenakan kepada seorang

monopolist tidak akan menyebabkan monopolist tersebut mau bekerja lebih giat

ataupun sebaliknya dalam arti tidaak mengubah jumlah barang yang dihasilkan.

Tetapi apabila pajak itu bersifat spesifik, maka pajak ini akan mempengaruhi

keinginan untuk bekerja maupun untuk menabung. Pajak yang sifatnya spesifik

berarti bahwa pengenaannya tergantung pada besar-kecilnya jumlah barang yang

dihasilkan. Akibatnya dengan adanya pajak tersebut jumlah barang yag dihasilkan

berubah dan diikuti pula dengan perubahan harga per unit.

Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya pajak yang “specific” seorang

monopolist sebagai wajib pajak akan berkurang minatnya untuk bekerja, mungkin

dengan mengurangi jam kerja ataupun mengurangi jumlah karyawannya.

4) Kemauan Kerja Meningkat

Sekarang bagaimana kalau dengan adanya pajak yang dikenakan justru

menyebabkan jumlah barang yang dihasilkan oleh monopolist bertambah. Dalam hal

yang demikian akan berarti bahwa pajak itu menyebabkan monopolist untuk sudi
bekerja lebih giat dan menabung lebih banyak. Kita ambil contoh dimana pemerintah

menentukan besarnya harga maksimum dari barang yang dihasilkan oleh seseorang

monopolist.

Keadaan seperti ini sesungguhnya sama halnya dengan adanya pungutan pajak

yang dikenakan kepada seseorang monopolist. Sebenarnya kalau tidak ada penentuan

harga oleh pemerintah ia akan dapat menjual barangnya dengan harga yang lebih

tinggi dan mendapatkan keuntungan yang maksimum. Dengan adanya penentuan

harga maksimum dari pemerintah itu seolah-olah seorang monopolist dikenai pajak

keuntungan per unit barang yang dihasilkannya. Jadi sifatnya hampir seperti pajak

lump-sump. Bedanya di sini seorang monopolist tidak dapat menentukan harga

barang dengan semaunya sendiri, sedangkan kalau dalam pajak lump-sump, seorang

monopolist masih dapat menentukan harga barangnya dengan tujuan untuk

memaksimumkan keuntungan. Tetapi kalau dalam hal penentuan harga maksimum

seorang monopolist akan menyesuaikan jumlah barang yang dihasilkannya sehingga

ia akan dapat tetap memaksimumkan keuntungan.

Gambar 2.5
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan adanya penentuan harga

maksimum atau dengan monopolist ternyata memperluas produksinya, sehingga

pajak itu bersifat memberikan insentif untuk bekerja lebih giat.

5) Pajak yang Bersifat Disinsentif

Sebelum kita membahas pajak yang bersifat disinsentif itu yang seperti apa,

penulis akan membahas apa itu disinsentif terlebih dahulu. Disinsentif merupakan

kebalikan dari insentif. Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu

dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaanya berdasarkan ketentuan dalam

2
peraturan pemerintah ini. Pengenaan pajak merupakan salah satu disinsentif dari

pemerintah yang dikenakan kepada masyarakat. Pajak yang dikenakan terhadap

barang-barang tertentu hanya akan sedikit bersifat disinsentif apabila hanya sebagian

kecil saja dari tambahan penghasilan itu yang dikonsumsikan terhadap barang

tersebut. Contohnya terhadap barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari. Walaupun

terhadap konsumsi beras misalnya, dikenakan pajak yang cukup tinggi: maka hal ini

tidak akan menyebabkan orang yang mengkonsumsi beras menjadi sangat kurang

berminat untuk bekerja. Di samping itu konsumen akan berusaha untuk mengganti

barang tersebut dengan barang lain apabila pajak tersebut benar-benar dirasa berat.

Tetapi kalau pajak itu dikenakan pada konsumsi barang-barang yang

mengambil sebagian besar dari penghasilan konsumen, maka hal ini akan

menyebabkan adanya suatu disinsentif. Contohnya adalah pajak yang dikenakan pada

konsumsi barang-barang mewah seperti pajak atas orang-orang yang ber-rekreasi

atau berdarmawisata, orang yang menonton bioskop, orang-orang yang minum-

minuman keras dan sebagainya. Dengan kata lain, ia kurang berminat untuk

2 Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional Pasal 115 Ayat 3
bekerja karena konsumsinya terhadap barang-barang mewah terhalang sedangkan

konsumsi kebutuhan sehari-hari telah terpenuhi. Jadi pajak yang demikian yaitu yang

dikenakan pada konsumsi barang-barang yang bersifat mewah akan mengurangi

keinginan orang untuk bekerja giat.

Begitu pula, pajak yang dikenakan terhadap penghasilan dan tabungan akan

sangat bersifat disinsentif daripada pajak yang dikenakan terhadap barang-barang

yang dikonsumsi oleh seseorang dikenai pajak yang semakin tinggi persentasenya

3
(progresif), maka ini akan sangat bersifat disinsentif. Orang yang bersangkutan akan

kurang berkehendak untuk bekerja giat, karena apabila penghasilannya bertambah

4
sebagian besar hanya akan dipungut oleh pemerintah dalam bentuk pajak.

Pengurangan hasil kerja akibat kenaikan pajak membuat pekerja malas bekerja dan

mengkonsumsi waktu senggangnya (leisure) lebih banyak. Setiap orang akan bekerja

lebih sedikit dalam sistem progresif dibandingkan dengan pajak proporsional, jika

5
jumlah pajak yang dibayarkan sama.

Besarnya disinsentif bekerja karena dikenakannya pajak penghasilan atas

pendapatannya tergantung dari elastisitas permintaan dan penawaran tenaga

6
kerjanya. Semakin tinggi elastisitasnya semakin besar pengurangan jam kerja akibat

pengenaan pajak penghasilan. Untuk mengukur besarnya efek pendapatan terhadap

penawaran kerja ternyata sangat berlainan menurut tipe pekerja, tetapi secara

keseluruhan besarnya dampak pajak terhadap penawaran tenaga kerja tidak begitu
7
besar.

3 Suparmoko, Keuangan Negara dalam Teori dan Praktik, hal. 216.


4Suparmoko, Keuangan Negara dalam Teori dan Praktik, hal. 217.
5 Guritno dalam Eka Yulianti Purwanti, Disinsentif Bekerja Karena Pajak Penghasilan? Jurnal Dinamika
Pembangunan (JDP), hal. 85.
6 Singer (1976) dalam Eka Yulianti Purwanti, Disinsentif Bekerja Karena Pajak Penghasilan? Jurnal
Dinamika Pembangunan (JDP).
7 Musgrave dalam Eka Yulianti Purwanti, Disinsentif Bekerja Karena Pajak Penghasilan? Jurnal Dinamika
Pembangunan (JDP), hal. 86.
Jadi dengan kata lain pajak yang bersifat progresif akan lebih bersifat

disinsentif untuk bekerja, menabung, dan investasi daripada pajak yang sifatnya

regresif. Sebaliknya pajak yang pemungutannya semakin rendah persentasenya

apabila penghasilan yang bersangkutan semakin tinggi akan bersifat memberikan

insentif pada orang yang terkena pajak, karena dengan semakin tingginya

penghasilan yang diperolehnya akan semakin rendah tingkat pajak yang dibayarnya.

Jadi pajak yang bersifat regresif dalam pemungutannya ini akan bersifat memberikan

insentif untuk bekerja menabung dan mengadakan investasi. Pajak regresif ini

biasanya adalah pajak-pajak tidak langsung; sehingga pajak tidak langsung bersifat

lebih banyak memberikan insentif untuk bekerja, menabung dan mengadakan

investasi.

Oleh karena itu kalau tujuan suatu perekonomian adalah untuk menaikkan

tingkat produksi yang setinggi mungkin, maka hendaknya ditempuh pajak tidak

langsung sebagai sumber penerimaan negara, karena pajak yang demikian tidak akan

menghambat jalannya produksi. Sebaliknya kalau tujuan suatu perekonomian adalah

untuk mencapai distribusi penghasilan yang lebih merata, maka sebaiknya ditempuh

pajak langsung yang progresif sebagai sumber utama dari penerimaan negara dan

bukan pajak tidak langsung, karena dalam pajak tidak langsung terkandung sifat

yang tidak mempersempit perbedaan penghasilan sebab sifat dari pajak itu adalah

8
regresif dalam pengenaanya.

2.3 Pengaruh Pajak terhadap Komposisi Produksi

Pajak dapat mengakibatkan adanya penyimpangan dalam penggunaan faktor

produksi, maksudnya : pajak yang dimaksudkan untuk sebanyak mungkin dapat menggeser

8 Suparmoko, Keuangan Negara dalam Teori dan Praktik, hal. 217.


penggunaan faktor produksi dari penggunaan yang satu kepada penggunaan yang lain yang

tidak efisien. Penggunaan yang seharusnya dapat manghasilkan produksi yang maksimum

menuju ke arah penggunaan yang menghasilkan produksi yang lebih sedikit pajak yang

dikenakan. Pajak yang dapat menyebabkan adanya penyimpangan dalam penggunaan

faktor-faktor produksi terutama ialah pajak yang dikenakan terhadap keuntungan-

keuntungan yang tidak diharapkan, peningkatan nilai tanah, dan juga pajak yang dikenakan

kepada monopolist yang ternyata tidak mengakibatkan diubahnya jumlah dan harga barang

barang yang dihasilkan oleh seorang monopolist tersebut.

Oleh karenanya sering disarankan dalam teori bahwa kalau elastisitas permintaan

akan barang yang dihasilkan oleh suatu kegiatan yang itu tinggi, maka sebaiknya

dikenakan pajak yang paling ringan. Sedangkan kalau elastisitas permintaan akan barang

yang dihasilkan oleh suatu kegiatan itu rendah, maka sebaiknya pajak yang dikenakan

lebih berat. Ini semua dimaksudkan agar pengaruh dari pajak yang dikenakan itu tidak

banyak berbeda satu sama lain terhadap penggunaan faktor-faktor produksi yang ada.

Pajak yang dimaksudkan untuk sebanyak mungkin dapat menggeser penggunaan

faktor produksi dari penggunaan yang satu kepada penggunaan yang lain yang lebih

efisien. Contohnya, pajak yang dikenakan pada minuman keras dan barang-barang mewah.

Diharapkan bahwa akibat dari pengenaan pajak itu akan mengurangi konsumsi masyarakat

akan minuman keras dan akan menurunkan konsumsi barang-barang mewah sehingga akan

terjadi penggeseran penggunaan faktor-faktor produksi dari sektor produksi barang-barang

mewah atau sektor impor barang mewah ke sektor produksi sektor-sektor produksi barang-

9
barang esensial atau impor barang-barang esensial.

Penggeseran faktor produksi dari kegiatan ekonomi satu ke sektor kegiatan ekonomi

yang lain atau dari daerah yang satu ke daerah lain akibat pajak. Sebagai contoh pada pajak

9Evi Yulia Purwanti, Disinsentif Bekerja Karena Pajak Penghasilan? Jurnal Dinamika Pembangunan (JDP),
hal. 218-220.
dikenakan pada kekayaan penduduk yang tinggal di kota besar, sedangkan bagi penduduk

yang tinggal di kota-kota kecil tidak dikenai pajak. Akibat dari hal ini ialah bahwa ada

kecenderungan bagi penduduk di kota-kota besar untuk pindah tempat tinggal dari kota-

kota besar tersebut ke kota-kota yang Iebih kecil. Juga kalau misalkan ada pajak yang

dikenakan pada industri-industri yang akan didirikan di kota-kota besar, sedangkan untuk

industri-industri yang didirikan di kota kecil tidak dikenai pajak, ini dimaksudkan untuk

mendorong pembangunon ekonomi (industri) di kota-kota kecil. Akibatnya akan terjadi

perpindahan faktor produksi dari kota besar ke kota kecil karena adanya pajak yang

dikenakan pada industri-industri yang akan didirikan di kota-kota besar.

a. Pengaruh Pajak terhadap Distribusi Pendapatan

Untuk mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi seringkali terjadi

adanya distribusi pendapatan yang kurang/tidak merata, sehingga aspek

distribusi/pemerataan dikorbankan. Alasan yang diberikan oleh teori ini ialah bahwa

dengan distribusi pendapatan yang tidak merata berarti ada golongan yang kaya dan

ada golongan yang miskin dalam suatu perekonomian. Teori ekonomi makro tersebut

dapat diketahui bahwa dengan semakin tinggi tingkat pendapatan semakin rendah

hasrat untuk mengadakan konsumsi tambahan (mpcnya rendah), sehingga dapat

diharapkan bahwa kelompok kaya inilah yang sanggup membentuk tabungan dan

kemudia mengadakan investasi. Sebaliknya apabila diadakan distribusi pendapatan

yang lebih merata, maka akan berarti menurunkan tingkat tabungan nasional yang

berarti pula mengurangidana yang tersedia untuk investasi.

Negara-negara berkembang termasuk Indonesia berusaha untuk meningkatkan

pendapatan per kapita disertai dengan pemerataan (distribusi) pendapatan hasil dari

pembangunan itu. Kemudian pada umumnya dapat diterima bahwa pajak yang dapat
mengurangi ketidakmerataan penghasilan dalam perekonomian adalah baik dilihat

dari sudut perikemanusiaan

Sistem pajak yang regresif cenderung untuk memperbesar adanya

ketidakmerataan penghasilan dalam masyarakat. Sebaliknya semakin progresif sistem

perpajakan yang dianut oleh suatu perekonomian akan semakin berkuranglah

perbedaan penghasilan yang terdapat dalam perekonomian tersebut. Jadi kalau kita

memang ingin mempersempit perbedaan penghasilan yang terdapat dalam

perekonomian, maka sistem pajak yang digunakan hendaknya bersifat progresif

tajam. Pada sistem perpajakan yang mengikuti prinsip minumum aggregate sacrifice,

ada suatu batas penghasilan minimum kena pajak.

Penghasilan di atas jumlah tertentu dikenai pajak dan penghasilan di bawah

penghasilan minimum tidak kena pajak atau bebas dari pajak. Tetapi kalau kita lihat

dari segi produksi, maka pajak yang progresif itu akan cenderung untuk menghambat

produksi korem menekan pendapatan kelompok penduduk yang penghasilannya

tinggi dan tentunya akan mempengaruhi keinginan untuk bekerja, menabung dan

mengadakan investasi. Jadi tampak ada suatu konflik antara tujuan distribusi

pendapatan (income distribution) dengan tujuan pembangunan ekonomi yang lain

seperti untuk menaikkan produksi (growth).

Sebagai contoh dari pajak yang regresif ialah pajak kepala (poll tax). Jika

penghasilan dalam perekonomian sama besarnya maka pajak ini bersifat

proporsional. Tetapi karena kenyataannya penghasilan dalam perekonomian itu tidak

sama maka pajak ini bersifat regresif. Semakin regresif suatu pajak akan semakin

bersifat memperbesar perbedaan penghasilan. Juga pajak terhadap bahan makanan

bersifat regresif karena semakin tinggi tingkat penghasilan seseomng akan semakin

kecil bagian dari panghasilan yang dibelanjakan untuk bahan makanan tersebut.
Masih banyak contoh-contoh lain lagi seperti misalnya cukai tembakau, cukai

minuman keras, dan lain-lain.

b. Pengaruh Struktur Pajak terhadap Keinginan untuk Bekerja

Pajak progresif adalah pajak yang dikenakan dengan persentase yang semakin

tinggi dengan semakin tingginya taxable capacity. Jadi rata-rata tingkat pajak akan

meningkatkan untuk setiap dasar pajak. Jika pajak progresif dikenakan pada

pendapatan kerja maka tenaga kerja tersebut akan berkurang keinginannya untuk

bekerja. Tenaga kerja yang bersangkutan akan kurang berkehendak untuk bekerja

giat, sebab apabila penghasilannya bertambah, maka sebagian besar hanya akan

dipungut oleh pemerintah saja. Jadi pajak progresif akan mengurangi insentif kerja.

Sedangkan pajak regresif merupakan pajak dengan perkembangan yang kurang dari

sebanding dengan perkembangan taxable capacity. Jadi dengan bertambahnya

taxable capacity, persentase pajak yang harus dibayar menjadi semakin kecil atau

average tax rate menurun pada setiap peningkatan tax base. Pajak regresif ini akan

menambah insentif kerja, karena dengan semakin tingginya penghasilan yang

diperoleh, maka pajak yang harus dibayarnya semakin rendah persentasenya. Para

pekerja akan bekerja lebih giat agar memperoleh penghasilan yang lebih besar, dan

dengan demikian pajak yang harus dibayarnya menjadi semakin kecil persentasenya.

Beberapa akibat yang timbul dari adanya pajak penghasilan, dapat dilihat

sebagai berikut:

1) Pemilihan Lapangan Kerja

Dalam hal ini pajak penghasilan dapat mempengaruhi alokasi sumberdaya

dengan mengubah penawaran tenaga kerja relative terhadap perbedaan

pendapatannya. Pajak penghasilan tidak saja mempengaruhi kuantitas total dari


penawaran tenaga kerja, namun ia juga mempunyai pengaruh terhadap alokasi factor

produksi. Misalnya pekerja dapat bekerja sampai 40 jam per minggu, tetapi karena

pertimbangan pajak beberapa pekerja cenderung untuk memasuki kesempatan kerja

lain. Dengan begitu terdapat peningkatan penawaran tenaga kerja di beberapa jenis

pekerjaan tertentu dan tersedianya tenaga kerja di bagian lain berkurang. Alasan

untuk mengisi pekerjaan lain itu dipengaruhi oleh pajak penghasilan yang dipungut

atas hasil suatu pekerjaan.

2) Tabungan

Tingkat hasil yang diharapkan (rate of return) dari tabungan (contoh: bunga

tabungan, dividen, capital gain) merupakan bagian dari pendapatan dan oleh

karenanya dikenakan pajak. Secara kuantitatif, pengaruh pajak penghasilan terhadap

tabungan, belum diketahui. Tetapi apabila kurva tabungan adalah seperti kurva

penawaran tenaga kerja (labor supply curve), yaitu inelastis¸karena income effect dan

substitution effect disatukan dengan adanya perubahan penghasilan, maka pengaruh

kuantitatif pajak penghasilan terhadap tabungan tampaknya tidak begitu berarti.

2.4 Pengaruh Pajak terhadap Ekonomi Makro di Indonesia

Di Indonesia, keberadaan potensi pendapatan dan pengeluaran ini direncanakan sejak

tahun sebelumnya. Perencanaan ini berdasarkan sejumlah asumsi yang disusun dan

dirembug bersama oleh para peneliti dan pegawai yang sehari-hari menangani perkara

pelik itu. Uraian para peneliti dan pengelola keuangan ini kemudian dituangkan dalam

ramuan yang namanya KEM-PPKF, Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok

Kebijakan Fiskal. KEM-PPKF adalah dokumen resmi negara yang berisi ulasan mendalam

terkait gambaran dan skenario arah kebijakan ekonomi dan fiskal. KEM menguraikan

perkembangan ekonomi global dan domestik dalam beberapa tahun terakhir serta perkiraan

dan prospek ekonomi domestik dan global ke depan, khususnya untuk tahun berikutnya.

Gambaran ini nantinya akan jadi asumsi dasar ekonomi makro yang menjadi landasan
dalam menyusun pokok-pokok dan arah kebijakan fiskal ke depan. Sedangkan PPKF

menyampaikan arah dan strategi kebijakan fiskal jangka menengah dan tahunan yang akan

ditempuh Pemerintah. Tujuannya untuk merespon dinamika perekonomian, menjawab

tantangan, mengurai isu-isu strategis, dan mendukung pencapaian sasaran pembangunan.

KEM-PPKF ini disusun setiap tahun untuk dijadikan panduan penyusunan anggaran

di tahun berikutnya. Ramuan ini setidaknya memuat antara lain kondisi ekonomi makro

dan postur makro fiskal, kebijakan pembiayaan yang inovatif dan berkelanjutan, program

prioritas, serta analisis risiko fiskal. Rangkaian informasi ini diperlukan agar anggaran

yang disusun menjadi relevan dan tetap fokus pada misi menuju Indonesia berdaulat, maju,

adil dan makmur. Hal-hal yang termuat dalam KEM-PPKF ini nantinya akan jadi

pertimbangan dalam penyusunan rancangan belanja untuk tahun mendatang, RAPBN.

RAPBN ini setidaknya akan berisi rincian pendapatan tahun depan dari mana saja,

pengeluarannya apa saja, serta pembiayaan apa saja yang memungkinkan untuk dilakukan.

Rencana ini kemudian akan dimintakan dibahas dan disetujui bersama rakyat melalui

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Berikut ini beberapa uraian kondisi, kebijakan dan

dampak ekonomi makro terhadap pajak yang tertuang dalam KEM-PPKF 2024 :

a. Perkembangan Dinamika Kebijakan Fiskal Khususnya Perpajakan

Dilihat dari kinerja makro fiskal keberhasilan pemerintah dalam meredam

perlambatan ekonomi akibat pandemi tercermin dari kinerja APBN tahun 2022 yang

menunjukkan tren positif. Realisasi penerimaan perpajakan yang sempat turun di tahun

2020, kembali meningkat di tahun 2022 tercermin dari capaian tax ratio tahun 2022 sebesar

10,99 persen dari PDB yang lebih tinggi dibandingkan tahun 2019 yang sebesar 9,77

persen dari PDB.


Gambar 2.6

b. Pokok - Pokok Kebijakan Fiskal 2024 dalam Kebijakan Pendapatan Negara


terkait Perpajakan

Melihat sisi perpajakan yang berikatan dengan pendapatan negara, KEM-PPKF 2024
menjelaskan tentang pokok-pokok kebijakan fiskal pada tahun 2024 dalam bab kebijakan
pendapatan negara yang berhubungan dengan pajak yaitu :
1. Kebijakan pendapatan negara tahun 2024 diarahkan untuk mendorong
optimalisasi pendapatan negara dengan tetap menjaga iklim investasi dan
kelestarian lingkungan. Arah kebijakan pendapatan negara tersebut antara lain
sebagai berikut: 1) mendorong efektivitas pelaksanaan reformasi perpajakan (UU
HPP); 2) mendorong sistem perpajakan selaras dengan struktur perekonomian; 3)
mendorong peningkatan tax ratio melalui penggalian potensi peningkatan basis
perpajakan dan kepatuhan wajib pajak; 4) mendorong optimalisasi pengelolaan
aset; dan 5) mendorong inovasi layanan.
2. Tren perkembangan penerimaan perpajakan dalam tahun 2019-2022
menunjukkan kinerja yang meningkat. Tren peningkatan terjadi terutama sejak
pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19 di tahun 2021. Perkembangan
realisasi penerimaan perpajakan kurun waktu 2019-2022 diawali dengan kinerja
penerimaan yang melambat pada tahun 2019 dan terkontraksi di tahun 2020.
Selanjutnya pada tahun 2021 dan 2022 kinerja perpajakan kembali meningkat
secara signifikan seiring perbaikan kondisi ekonomi setelah pandemi. Brikut
merupakan grafik trennya :
3. Pencapaian target penerimaan perpajakan tahun 2024 diperkirakan akan
menghadapi beberapa tantangan. Setelah pencapaian tahun 2022 yang
menunjukkan kinerja sangat baik dan diproyeksikan masih berlanjut hingga tahun
2023, pada tahun 2024 beberapa tantangan utama yang perlu mendapat perhatian
yaitu: (i) risiko masih berlanjutnya pelambatan ekonomi global dan volatilitas harga
komoditas utama; (ii) perubahan struktur perekonomian yang mengarah pada
digitalisasi, industrialisasi, serta ekonomi hijau; (iii) pemenuhan target penerimaan
untuk mendukung agenda pembangunan, termasuk beberapa isu strategis seperti
pemindahan IKN, pelaksanaan pemilu dan perubahan iklim; serta (iv) keberlanjutan
pelaksanaan reformasi perpajakan.
4. Kebijakan umum perpajakan tahun 2024 diarahkan untuk mendukung proses
transformasi ekonomi agar terus berjalan di tengah berbagai tantangan.
Berdasarkan hal tersebut, kebijakan umum perpajakan tahun 2024 adalah: (i)
mendorong tingkat kepatuhan dan integrasi teknologi dalam sistem perpajakan; (ii)
memperluas basis perpajakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi; (iii)
memperkuat sinergi melalui joint program, pemanfaatan data, dan penegakan
hukum; (iv) menjaga efektivitas implementasi UU HPP untuk mendorong
peningkatan rasio perpajakan; serta (v) insentif perpajakan yang semakin terarah
dan terukur guna mendukung iklim dan daya saing usaha, serta transformasi
ekonomi yang bernilai tambah tinggi.
5. Kebijakan teknis pajak serta kepabeanan dan cukai disusun untuk mendukung
kebijakan umum perpajakan tahun 2024. Kebijakan teknis pajak diupayakan
mampu mendukung reformasi struktural untuk mengakselerasi transformasi
ekonomi. Berdasarkan hal tersebut, dukungan kebijakan teknis pajak 2024 terhadap
kebijakan umum perpajakan diarahkan melalui:
1) Optimalisasi perluasan basis pemajakan sebagai tindak lanjut UU HPP;
2) Penguatan kegiatan ekstensifikasi pajak dan pengawasan berbasis
kewilayahan dalam rangka menjangkau seluruh potensi di tiap wilayah;
3) Fokus kegiatan perencanaan penerimaan yang lebih terarah dan terukur
melalui implementasi penyusunan Daftar Sasaran Prioritas Pengamanan
Penerimaan Pajak (DSP4); prioritas pengawasan atas WP High Wealth
Individual (HWI) beserta WP Group, transaksi afiliasi, dan ekonomi digital;
4) Optimalisasi implementasi core tax system dengan menekankan pada
perbaikan layanan perpajakan, pengelolaan data yang berbasis risiko, dan
tindak lanjut kegiatan interoperabilitas data pihak ketiga;
5) Kegiatan penegakan hukum yang berkeadilan melalui optimalisasi
pengungkapan ketidakbenaran perbuatan dan pemanfaatan kegiatan digital
forensics, dan
6) Pemberian insentif pajak yang terarah dan terukur dalam rangka mendorong
pertumbuhan sektor tertentu dan memberikan kemudahan investasi.

c. Dampak Perubahan Ekonomi Makro terhadap Penerimaan Perpajakan

Dalam KEM-PPKF 2024, dijelaskan mengenai dampak perubahan ekonomi makro


terhadap penerimaan perpajakan sebagai berikut :
1. Prospek penerimaan perpajakan diperkirakan membaik di tahun 2024 seiring
dengan membaiknya perekonomian, namun masih terdapat risiko akibat
ketidakpastian ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi global tahun 2024
diperkirakan kembali mengalami rebound dan lebih baik dibandingkan tahun 2023.
Namun, ketidakpastian dari tensi geopolitik yang terjadi masih menjadi ancaman
terhadap perekonomian global. Tantangan jangka menengah-panjang juga tinggi,
baik dari global geopolitical power shift maupun dari kebijakan pengendalian emisi
karbon. Sebagai contoh, implementasi CBAM di Uni Eropa yang menerapkan bea
masuk tambahan dapat berdampak negatif pada kinerja ekspor industri/sektor
tertentu antara lain semen, aluminium, besi baja, dan kimia dari negara
berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini akan berimbas pada penerimaan
perpajakan yang berasal dari industri/sektor tersebut.
2. Terdapat tantangan pemungutan pajak akibat transisi ekonomi. Pertumbuhan
sektor manufaktur yang diikuti oleh peningkatan pertumbuhan sektor barang dan
jasa informal, dan tren shifting konsumsi berbasis digital juga terus berlanjut.
Praktik perdagangan secara digital di satu sisi berdampak positif terhadap efisiensi
perekonomian, tetapi di sisi lain dapat menyebabkan peningkatan shadow economy.
Dengan kondisi sistem administrasi perpajakan saat ini, terdapat risiko kehilangan
basis pajak tax base) khususnya PPN dan PPh badan.
3. Fluktuasi harga dan permintaan atas komoditas menjadi sumber risiko lain
yang perlu diantisipasi. Pada tahun 2021 dan 2022, commodity boom
merupakan faktor penentu dalam keberhasilan capaian penerimaan
perpajakan. Tingginya harga komoditas-komoditas unggulan Indonesia seperti
sawit, batu bara, tembaga, migas, dan lainnya berkontribusi terhadap Pajak Migas,
PPh Badan, PPN, maupun Bea Keluar. Di samping itu, program hilirisasi nikel dan
komoditas lainnya diharapkan memberikan multiplier terhadap PDB yang lebih
besar saat harganya tinggi dan juga nilai tambah dalam negeri lebih besar. Namun
demikian, di tahun 2024 harga komoditas diperkirakan mengalami moderasi
meskipun volatilitasnya masih tinggi yang akan berdampak pada penerimaan pajak.
Pemerintah perlu memerhatikan dinamika konflik perdagangan beberapa negara
yang dapat memengaruhi harga komoditas global. Terdapat risiko jangka panjang
penurunan permintaan global dari beberapa komoditas unggulan Indonesia.
Penurunan tersebut terjadi secara perlahan (low velocity) dengan kemungkinan
likelihood) yang tinggi. Kebijakan efisiensi penggunaan energi fosil di berbagai
negara serta shifting ke sumber energi hijau berpotensi menurunkan permintaan
minyak bumi.
4. Pemerintah perlu menyiapkan langkah-langkah dalam menghadapi tekanan
pada penerimaan pajak khususnya PPh Migas, PPh Badan dan PPN. Kondisi
perekonomian global dan domestik di tahun 2023 yang bergerak secara dinamis
perlu terus dipantau dan dianalisis untuk memperkuat dasar kebijakan di tahun
2024. Reformasi perpajakan dilanjutkan dan terus diperkuat. Tren shifting
konsumsi berbasis digital yang semakin kuat sejak tahun 2023 dan berpotensi
berlanjut di tahun 2024 perlu dimanfaatkan dalam optimalisasi penerimaan pajak
digital. Perkembangan sektor jasa perlu diikuti dengan upaya merangkul sektor
informal agar dapat masuk ke sistem perpajakan sehingga risiko kehilangan basis
paja (tax base) akibat transisi ekonomi.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari pembahasan makalah ini yaitu,

a. Pajak merupakan salah satu pendapatan nasional. Pajak adalah konstribusi wajib

kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa

berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan

digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ekonomi makro adalah ilmu yang mempelajari tentang ekonomi, baik jangka pendek

maupun jangka panjang meliputi stabilitas dan pertumbuhan perekonomian sebuah

negara. Ekonomi makro sendiri menjelaskan perubahan ekonomi yang

mempengaruhi banyak masyarakat, perusahaan, dan pasar. Dalam ekonomi makro

dikenal adanya kebijakan fiskal yang didalamnya mengatur tentang perpajakan.

b. Pajak mempengaruhi produksi total dalam hal kemampuan untuk bekerja, menabung,

dan berinvestasi, serta kemauan untuk bekerja, menabung, dan berinvestasi.

c. Pajak mempengaruhi komposisi produksi dalam hal distribusi pendapatan, dan

struktur pajak terhadap keinginan untuk bekerja.

3.2 Saran

Dari pembahasan di atas, saran yang dapat disampaikan oleh penulis yaitu,

a. Saran Teoritis

Penulis menyarankan bagi pembaca untuk lebih kritis dalam memahami materi yang

disediakan, dan mencari referensi lain seperti buku, jurnal atau bahan bacaan serta

berita, video maupun informasi-informasi lain untuk menjadi pertimbangan dan

perbandingan agar hasil analisis dapat lebih baik dan benar.


b. Saran Praktis

Penulis menyarankan bagi pembaca yang akan menjalankan (praktik) teori-teori di

pembahasan untuk mempertimbangkan segala kebijakan yang akan dikeluarkan

dengan matang. Perekonomian makro mencakup kehidupan bernegara yang luas, dan

meliputi hidup orang banyak, maka dari itu dampak yang akan terjadi harus

dipikirkan serta harus ada rencana yang akan diambil untuk mengatasi dampak

tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Banga, Wempy. 2017. Administrasi Keuangan Negara dan Daerah: Konsep, Teori, dan
Fenomena di Era Otonomi Daerah. Bogor: Ghalia Indonesia.
Damayanti, Sari Minjari. 2014. Analisis Pengaruh Variabel-variabel Makroekonomi
terhadap Tingkat Pengembalian di Pasar Modal Periode 2000-2011 dengan
Membandingkan Hasil Estimasi OLS, GLS, dan MLE. (Online).
(http://journal.binus.ac.id/index.php/BBR/article/download/1215/1083, )
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. 2007. Jakarta.
Kurnianto, dkk. 2017. “Pengaruh Pajak terhadap Perekonomian”. (Online),
(https://sunflovender.wordpress.com/2018/05/28/makalah-pengaruh-pajak-terhadap-
perekonomian/,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional. 2008. Jakarta.
Purwanti, Evi Yulia. 2004. Disinsentif Bekerja Karena Pajak Penghasilan? Jurnal
Dinamika Pembangunan (JDP). Jurnal Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Universitas
Diponegoro.

Hindriks, Jean and Gareth D. Myles. 2004. Intermediate Public Economics. L Mangkusubroto,
Guritno. 1997. Ekonomi Publik. Yogyakarta : BPFE.
Myles, Gareth. 1995. Public Economics. New York : Cambridge University Press.

Suparmoko, M. 2016. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktik Edisi Keenam.
Yogyakarta: BPFE.

Badan Kebijakan Fiskal. KEM-PPKF.


https://fiskal.kemenkeu.go.id/fiskalpedia/2021/05/21/201054032034922-kem-ppkf

Kementerian Keuangan. Kemenkeupedia: KEM PPKF.


https://kemenkeupedia.kemenkeu.go.id/search/konten/11304-kerangka-ekonomi-makro-
dan-pokok-pokok-kebijakan-fiskal-kem-ppkf

Anda mungkin juga menyukai